BAB II GURU DAN KECERDASAN EMOSIONAL
A. Guru 1. Makna Guru Dalam pengertian yang sederhana, guru adalah orang yang memberikan ilmu pengetahuan kepada anak didik. Guru dalam pandangan masyarakat adalah orang yang melaksanakan pendidikan di tempat-tempat tertentu, tidak mesti di lembaga pendidikan formal, tetapi bisa juga di masjid, mushala, rumah, dan sebagainya. Guru memang memiliki kedudukan yang terhormat di masyarakat. Kewibawaanlah yang menyebabkan guru dihormati, sehingga masyarakat tidak meragukan figur guru. Masyarakat yakin bahwa gurulah yang dapat mendidik anak didik mereka agar menjadi orang yang berkepribadian mulia.1 Dengan kepercayaan yang diberikan masyarakat, maka di pundak guru diberikan tugas dan tanggung jawab yang berat. Mengemban tugas memang berat, tetapi lebih berat lagi mengemban tanggung jawab. Sebab tanggung jawab guru tidak hanya sebatas dinding sekolah, tetapi juga di luar sekolah. Pembinaan yang harus guru berikan pun tidak hanya secara kelompok (klasikal), tetapi juga secara individual. Hal ini menuntut guru
1
Syaiful Bahri Djamarah, Guru dan Anak Didik dalam Interaksi Edukatif, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2000), hlm. 31.
19
20
agar selalu memperhatikan sikap, tingkah laku, dan perbuatan anak didiknya, tidak hanya di lingkungan sekolah tetapi di luar sekolah sekalipun. Karena itu, tepatlah apa yang dikatakan oleh Drs. N.A. Ametembun, bahwa guru adalah semua orang yang berwenangdan bertanggung jawab terhadap pendidikan murid-murid, baik secara individual ataupun klasikal, baik di sekolah maupun di luar sekolah.2 Guru atau pendidik merupakan sosok yang seharusnya mempunyai banyak ilmu, mau mengamalkan dengan sungguh-sungguh ilmunya tersebut dalam proses pembelajaran dalam makna yang luas, toleran, dan senantiasa berusaha menjadikan siswanya memiliki kehidupan yang lebih baik. Secara prinsip, mereka yang disebut sebagai guru bukan hanya mereka yang memiliki kualifikasi keguruan secara formal yang diperoleh melalui jenjang pendidikan di perguruan tinggi saja, tetapi yang terpenting adalah mereka yang mempunyai kompetensi keilmuan tertentu dan dapat menjadikan orang lain pandai dalam matra kognitif, afektif, dan psikomotorik. Matra kognitif menjadikan siswa cerdas dalam aspek intelektualnya, matra afektif menjadikan siswa mempunyai sikap dan perilaku yang sopan, dan matra psikomotorik menjadikan siswa terampil dalam melaksanakan aktivitas secara efektif dan efisien, serta tepat guna.3 2. Persyaratan Guru Dengan kemuliannya, guru rela mengabdikan diri di desa terpencil sekalipun. Dengan segala kekurangan yang ada, guru berusaha membimbing 2
Ibid., hlm. 32. Ngainun Naim, Menjadi Guru Inspiratif: Memberdayakan dan Mengubah Jalan Hidup Siswa, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2013), hlm. 4. 3
21
dan membina anak didik agar menjadi manusia yang berguna bagi nusa dan bangsanya di kemudian hari. Gaji yang kecil, jauh dari memadai, tidak membuat guru berkecil hati dengan sikap frustasi meninggalkan tugas dan tanggung jawab sebagai guru. Karenanya sangat wajar di pundak guru diberikan atribut sebagai pahlawan tanpa tanda jasa. Menjadi guru berdasarkan tuntutan hati nurani tidaklah semua orang dapat melakukannya, karena orang harus merelakan sebagian besar dari seluruh hidup dan kehidupannya mengabdi kepada negara dan bangsa guna mendidik anak didik menjadi manusia susila yang cakap, demokratis, dan bertanggung jawab atas pembangunan dirinya dan pembangunan bangsa dan negara.4 Pekerjaan guru adalah pekerjaan profesional maka untuk menjadi guru harus pula memenuhi persyaratan yang berat. Beberapa di antaranya adalah: a. Harus memiliki bakat sebagai guru. b. Harus memiliki keahlian sebagai guru. c. Memiliki kepribadian yang baik dan terintegrasi. d. Memiliki mental yang sehat. e. Berbadan sehat. f. Memiliki pengalaman dan pengetahuan yang luas. g. Guru adalah manusia berjiwa pancasila.
4
Syaiful Bahri Djamarah, Op. Cit. hlm. 32.
22
h. Guru adalah seorang warga negara yang baik.5 Menjadi guru menurut Zakiah Daradjat dan kawan-kawan (1992: 41) tidak sembarangan, tetapi harus memenuhi beberapa persyaratan seperti di bawah ini: a. Takwa kepada Allah swt. Guru, sesuai dengan tujuan ilmu pendidikan Islam, tidak mungkin mendidik anak didik agar bertakwa kepada Allah, jika ia sendiri tidak bertakwa kepada-Nya. Sebab ia adalah teladan bagi anak didiknya sebagaimana Rasulullah saw. menjadi teladan bagi umatnya. Sejauhmana seorang guru mampu memberi teladan yang baik kepada semua anak didiknya, sejauh itu pulalah ia diperkirakan akan berhasil mendidik mereka agar menjadi generasi penerus bangsa yang baik dan mulia. b. Berilmu Ijazah bukanlah semata-mata secarik kertas, tetapi suatu bukti, bahwa pemiliknya telah mempunyai ilmu pengetahuan dan kesanggupan tertentu yang diperlukannya untuk suatu jabatan.6 c. Sehat jasmani Kesehatan jasmani kerapkali dijadikan salah satu syarat bagi mereka yang melamar untuk menjadi guru. Guru yang mengidap penyakit menular, umpamanya, sangat membahayakan kesehatan anak-anak. d. Berkelakuan baik Budi pekerti guru penting dalam pendidikan watak anak didik. Guru harus menjadi teladan, karena anak-anak bersifat suka meniru. Di antara tujuan pendidikan yaitu membentuk akhlak yang mulia pada diri pribadi anak didik dan ini hanya mungkin bisa dilakukan jika pribadi guru berakhlak mulia pula.7 3. Tugas dan Tanggung Jawab Guru a. Tugas Guru Tugas guru sebagai suatu profesi menuntut kepada guru untuk mengembangkan
profesionalitas
diri
sesuai
perkembangan
ilmu
pengetahuan dan teknologi. Mendidik, mengajar, dan melatih anak didik 5
Oemar Hamalik, Proses Belajar Mengajar, (Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2013), hlm.
6
Syaiful Bahri Djamarah, Op. Cit., hlm. 33. Ibid., hlm. 34.
118. 7
23
adalah tugas guru sebagai suatu profesi. Tugas guru sebagai pendidik berarti meneruskan dan mengembangkan nilai-nilai hidup kepada anak didik.
Tugas
guru
sebagai
pengajar
berarti
meneruskan
dan
mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi kepada anak didik. Tugas guru sebagai pelatih berarti mengembangkan keterampilan dan menerapkannya dalam kehidupan demi masa depan anak didik. Menurut Roestiyah N.K., bahwa guru dalam mendidik anak didik bertugas untuk: 1) Menyerahkan kebudayaan kepada anak didik berupa kepandaian, kecakapan, dan pengalaman-pengalaman. 2) Membentuk kepribadian anak yang harmonis, sesuai citacita dan dasar negara kita Pancasila. 3) Menyiapkan anak menjadi warga negara yang baik sesuai Undang-Undang Pendidikan yang merupakan Keputusan MPR No. II Tahun 1983. 4) Sebagai perantara dalam belajar. 5) Sebagai pembimbing, untuk membawa anak didik ke arah kedewasaan, pendidik tidak maha kuasa, tidak dapat membentuk anak sekehendaknya. 6) Guru sebagai penghubung antara sekolah dan masyarakat. 7) Sebagai penegak disiplin, guru menjadi contoh dalam segala hal, tata tertib dapat berjalan bila guru dapat menjalani lebih dahulu. 8) Guru sebagai administrator dan manajer. 9) Pekerjaan guru sebagai suatu profesi. 10) Guru sebagai perencana kurikulum. 11) Guru sebagai pemimpin (guidance worker). 12) Guru sebagai sponsor dalam kegiatan anak-anak.8
b. Tanggung Jawab Guru Guru adalah orang yang bertanggung jawab mencerdaskan kehidupan anak didik. Pribadi susila yang cakap adalah yang diharapkan ada pada diri setiap anak didik. Tidak ada seorang guru pun yang
8
Ibid., hlm. 38-39.
24
mengharapkan anak didiknya menjadi sampah masyarakat. Untuk itulah guru dengan penuh dedikasi dan loyalitas berusaha membimbing dan membina anak didik agar di masa mendatang menjadi orang yang berguna bagi nusa dan bangsa. Karena besarnya tanggung jawab guru terhadap anak didiknya, hujan dan panas bukanlah menjadi penghalang bagi guru untuk selalu hadir di tengah-tengah anak didiknya. Guru tidak pernah memusuhi anak didiknya meskipun suatu ketika ada anak didiknya yang berbuat kurang sopan pada orang lain. Bahkan dengan sabar dan bijaksana guru memberikan nasihat bagaimana cara bertingkah laku yang sopan pada orang lain. Menjadi tanggung jawab guru untuk memberikan sejumlah norma itu kepada anak didik agar tahu mana perbuatan yang susila dan asusila, mana perbuatan yang bermoral dan amoral. Semua norma itu tidak harus guru berikan ketika di kelas, di luar kelas pun sebaiknya guru mencontohkan melalui sikap, tingkah laku, dan perbuatan. Pendidikan yang dilakukan tidak semata-mata dengan perkataan, tetapi dengan sikap, tingkah laku dan perbuatan.9 Menurut Oemar Hamalik, tanggung jawab guru meliputi beberapa hal, di antaranya adalah: 1) Guru harus menuntut murid-muridnya belajar. 2) Turut serta membina kurikulum sekolah. 3) Melakukan pembinaan terhadap diri siswa (kepribadian, watak, dan jasmaniah). 4) Memberikan bimbingan kepada murid.
9
Ibid., hlm. 34-35.
25
5) Melakukan diagnosis atas kesulitan-kesulitan belajar dan mengadakan penilain atas kemajuan belajar. 6) Menyelenggarakan penelitian. 7) Mengenal masyarakat dan ikut serta aktif. 8) Menghayati, mengamalkan, dan mengamankan Pancasila. 9) Turut serta membantu terciptanya kesatuan dan persatuan bangsa dan perdamaian dunia. 10) Turut menyukseskan pembangunan. 11) Tanggung jawab meningkatkan peranan profesional guru.10 4. Peranan dan Kode Etik Guru a. Peranan Guru Banyak peranan yang diperlukan dari guru sebagai pendidik, atau siapa saja yang telah menerjunkan diri menjadi guru. Semua peranan yang diharapkan dari guru antara lain: 1) Korektor. 2) Inspirator. 3) Informator. 4) Organisator. 5) Motivator. 6) Inisiator. 7) Fasilitator. 8) Pembimbing. 9) Demonstrator. 10) Pengelola kelas. 11) Mediator. 12) Supervisor.
10
Oemar Hamalik, Op. Cit., hlm. 127-133.
26
13) Evaluator.11 Dalam arti yang luas, di mana sekolah berfungsi juga sebagai penghubung antara ilmu dan teknologi dengan masyarakat, di mana sekolah merupakan lembaga yang turut mengemban tugas modernisasi masyarakat dan di mana sekolah turut serta secara aktif dalam pembangunan. Maka dengan demikian peranan guru menjadi lebih luas yang meliputi: 1) Guru sebagai pengajar. 2) Guru sebagai pembimbing. 3) Guru sebagai pemimpin. 4) Guru sebagai ilmuwan. 5) Guru sebagai pribadi. 6) Guru sebagai penghubung. 7) Guru sebagai pembaharu. 8) Guru sebagai pembangunan.12 b. Kode Etik Guru Guru sebagai tenaga profesional perlu memiliki kode etik guru dan menjadikannya sebagai pedoman yang mengatur pekerjaan guru selama dalam pengabdian. Kode etik guru ini merupakan ketentuan yang mengikat semua sikap dan perbuatan guru. Bila guru telah melakukan perbuatan asusila dan amoral berarti guru telah melanggar kode etik guru.
11 12
Syaiful Bahri Djamarah, Op. Cit., hlm. 43-48. Oemar Hamalik, Op.Cit., hlm. 123-126.
27
Sebab kode etik guru ini sebagai salah satu ciri yang harus ada pada profesi guru itu sendiri.13 Berbicara mengenai kode etik guru Indonesia berarti kita membicarakan guru di negara kita. Berikut akan dikemukakan kode etik guru Indonesia sebagai hasil rumusan kongres PGRI XIII pada tanggal 21 -25 November 1973 di Jakarta, terdiri dari sembilan item, yaitu: 1) Guru berbakti membimbing anak didik seutuhnya untuk membentuk manusia pembangunan yang ber-Pancasila. 2) Guru memiliki kejujuran profesional dalam menerapkan kurikulum sesuai kebutuhan anak didik masing-masing. 3) Guru mengadakan komunikasi, terutama dalam memperoleh informasi tentang anak didik, tetapi menghindarkan diri dari segala bentuk penyalahgunaan. 4) Guru menciptakan suasana kehidupan sekolah dan memelihara hubungan dengan orang tua anak didik sebaik-baiknya bagi kepentingan anak didik. 5) Guru memelihara hubungan baik dengan masyarakat di sekitar sekolahnya maupun masyarakat yang lebih luas untuk kepentingan pendidikan. 6) Guru sendiri atau bersama-sama berusaha mengembangkan dan meningkatkan mutu profesinya.
13
Syaiful Bahri Djamarah, Op. Cit., hlm. 49.
28
7) Guru menciptakan dan memelihara hubungan antara sesama guru, baik berdasarkan lingkungan kerja maupun dalam hubungan keseluruhan. 8)
Guru secara hukum bersama-sama memelihara, membina, dan meningkatkan mutu organisasi guru profesional sebagai sarana pengabdiannya.
9) Guru melaksanakan segala ketentuan yang merupakan kebijaksanaan pemerintah dalam bidang pendidikan.14 B. Kecerdasan Emosional 1. Pengertian Kecerdasan Emosional Daniel Goleman, dalam karyanya Working with Emotional Intelligence mendefinisikan kecerdasan emosional dengan kemampuan mengenali perasaan
kita sendiri dan perasaan orang lain, kemampuan
memotivasi diri sendiri, dan kemampuan mengelola emosi dengan baik pada diri sendiri dan dalam hubungannya dengan orang lain.15 Salovey dan Mayer mendefinisikan kecerdasan emosi sebagai kemampuan memantau dan mengendalikan perasaan sendiri dan orang lain, serta menggunakan perasaan-perasaan itu untuk memandu pikiran dan tindakan.16 Kecerdasan emosional atau yang lebih dikenal dengan sebutan Emotional Intelligence (EI) mengacu pada kemampuan mengenali,
14
Ibid., hlm. 50. Daniel Goleman, Kecerdasan Emosi untuk Mencapai Puncak Prestasi, terjemahan Alex Tri Kantjono Widodo, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2001), hlm. 512. 16 Ibid., hlm. 513. 15
29
memahami, mengatasi dan mengekspresikan emosi dengan layak. Kecerdasan emosional meliputi perasaan, pemikiran, dan perilaku. Konsep ini secara khusus diasosiasikan dengan Daniel Goleman, seorang psikolog Amerika. Hasil kerjanya ternyata banyak memengaruhi bidang pendidikan (maupun bisnis). Konsep ini dilihat sebagai cara meningkatkan pencapaian murid-murid serta membantu mereka dalam menjalani kehidupan, baik pribadi maupun di lingkungan kerja.17 Menurut Makmun Mubayidh, para pakar memberikan definisi beragam pada EQ, di antaranya adalah kemampuan untuk menyikapi pengetahuan-pengetahuan emosional dalam bentuk menerima, memahami, dan mengelolanya. Menurut definisi ini, EQ mempunyai empat dimensi berikut: a. Mengenali, menerima, dan mengekspresikan emosi (kefasihan emosional). b. Menyertakan emosi dalam kerja-kerja intelektual. c. Memahami dan menganalisa emosi. d. Mengelola emosi.18 Pada saat kita mendefinisikan kecerdasan emosional, sebenarnya kita sedang membicarakan potensi kecerdasan emosional yang oleh cendekiawan muslim kuno disebut kekuatan. Artinya, kita sedang membicarakan potensi kecerdasan. Potensi memerlukan kesempatan untuk ditampakkan dan dikuatkan secara nyata. Sejak dilahirkan, manusia mempunyai kemampuan menulis dan membaca dengan kekuatan. Hanya saja, setelah ia belajar, maka ia benar-benar bisa menulis dan membaca secara nyata.19 Kecerdasan emosional bawaan bisa berkembang atau rusak. Hal ini tergantung pada pengaruh yang diperoleh si anak di masa kecil atau remaja. Pengaruh ini bisa datang dari orangtua, keluarga, atau sekolah.
17
Carolyn Meggit, Memahami Perkembangan Anak, terjemahan Agnes Theodora W, (Jakarta: PT. Indeks, 2013), hlm. 257. 18 Makmun Mubayidh, Kecerdasan dan Kesehatan Emosional Anak, terjemahan Muhamad Muchson Anasy. (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2007), hlm. 7-9. 19 Ibid., hlm. 10.
30
Anak memulai hidupnya dengan potensi yang baik untuk perkembangan emosinya. Hanya saja, pengalaman emosi yang dialaminya di lingkungan anarkis atau tidak bersahabat menyebabkan grafik perkembangan EQ-nya menurun. Sebaliknya, bisa saja seorang anak mempunyai EQ bawaan yang rendah, namun EQ-nya ini bisa berkembang dengan baik, jika ia dididik dengan baik melalui pengalaman-pengalaman emosional yang ramah dan bersahabat. Perilaku emosi cerdas yang diperlihatkan lingkungannya menyebabkan grafik EQ-nya menjadi tinggi.20 2. Ciri-ciri Kecerdasan Emosional Kaum pria yang tinggi kecerdasan emosionalnya, secara sosial mantap, mudah bergaul dan jenaka, tidak mudah takut atau gelisah. Mereka berkemampuan besar untuk melibatkan diri dengan orang-orang atau permasalahan, untuk memikul tanggug jawab, dan mempunyai pandangan moral, mereka simpatik dan hangat dalam hubungan-hubungan mereka. Kehidupan emosional mereka kaya, tetapi wajar, mereka merasa nyaman dengan dirinya sendiri, dengan orang lain, dan dunia pergaulan lingkungannya. Sebaliknya, kaum wanita yang cerdas secara emosional cenderung bersikap tegas dan mengungkapkan perasaan mereka secara langsung, dan memandang dirinya sendiri secara positif, kehidupan memberikan makna bagi mereka. Sebagaimana kaum pria, mereka mudah bergaul dan ramah, serta mengungkapkan perasaan mereka dengan takaran yang wajar, mereka mampu menyesuaikan diri dengan beban stres. Kemantapan pergaulan mereka membuat mereka mudah menerima orang-orang baru, mereka cukup nyaman dengan dirinya sendiri sehingga selalu ceria, spontan, dan terbuka terhadap pengalaman sensual. Berbeda dengan kaum wanita yang semata-mata ber-IQ tinggi, mereka jarang merasa cemas atau bersalah atau tenggelam dalam kemurungan.21
20
Ibid., hlm. 11. Daniel Goleman, Emotional Intelligence, terjemahan T. Hermaya. (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1999), hlm. 60-61. 21
31
Salovey menempatkan kecerdasan pribadi Gardner dalam definisi dasar
tentang
kecerdasan
emosional
yang
dicetuskannya,
seraya
memperluas kemampuan ini menjadi lima wilayah utama: a. Mengenali emosi diri. Kesadaran diri, mengenali perasaan sewaktu perasaan itu terjadi merupakan dasar kecerdasan emosional. Kemampuan untuk memantau perasaan dari waktu ke waktu merupakan hal penting bagi wawasan psikologi dan pemahaman diri. Ketidakmampuan untuk mencermati perasaan kita yang sesungguhnya membuat kita berada dalam kekuasaan perasaan.22 b. Mengelola emosi. Penderitaan maupun kebahagiaan adalah bumbu kehidupan, tetapi keduanya harus berjalan seimbang. Dalam kalkulus perasaan, rasio antara emosi positif dan negatiflah yang menentukan rasa sejahtera itu. Setidaknya begitulah kesimpulan studi yang mengkaji suasana hati di mana ratusan kaum pria dan wanita membawa radio panggil yang sewaktu-waktu memanggil untuk mencatat emosi mereka saat itu. Intinya, bukan menjauhi perasaan tidak menyenangkan agar selalu bahagia, namun tidak membiarkan perasaan menderita berlangsung tidak terkendali
sehingga
menghapus
semua
suasana
hati
yang
menyenangkan.23
22
Daniel Goleman, Emotional Intelligence, terjemahan T. Hermaya. (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1999), hlm. 58. 23 Ibid., hlm. 78.
32
c. Memotivasi diri sendiri. Menata emosi sebagai alat untuk mencapai tujuan adalah hal yang sangat penting dalam kaitan untuk memberi perhatian, untuk memotivasi diri sendiri dan menguasai diri sendiri, dan untuk berkreasi. Kendali
diri
emosional,
menahan diri
terhadap kepuasan dan
mengendalikan dorongan hati adalah landasan keberhasilan dalam berbagai bidang.24 d. Mengenali emosi orang lain. Kemampuan
berempati
merupakan
kemampuan
untuk
mengetahui bagaimana perasaan orang lain, ikut berperan dalam pergulatan dalam arena kehidupan, mulai dari penjualan dan manajemen hingga ke asmara dan mendidik anak, dari belas kasih hingga tindakan politik. Emosi jarang diungkapkan dengan kata-kata, emosi jauh lebih sering diungkapkan melalui isyarat. Kunci untuk memahami perasaan orang lain adalah mampu membaca pesan nonverbal: nada bicara, gerakgerik, ekspresi wajah, dan sebagainya.25 e. Membina hubungan. Untuk
dapat
memanifestasikan
kemampuan
antarpribadi,
seseorang terlebih dahulu harus mencapai tingkat pengendalian diri tertentu, yaitu dimulainya kemampuan untuk menyimpan kemarahan serta beban stres mereka, dorongan hati dan kegairahannya bahkan seandainya kemampuan tersebut lazimnya masih belum mantap. 24 25
Ibid., hlm. 58. Ibid., hlm. 136.
33
Penyesuaian
dengan
tuntutan
orang
lain
membutuhkan
sedikit
ketenangan dalam diri seseorang.26 Menurut Goleman, ada beberapa ciri pikiran emosional sebagaimana akan dijelaskan di bawah ini: a. Respons pikiran emosional (emotional mind) itu lebih cepat dari pikiran rasional (rational mind). Kecepatan pikiran emosional itu mengesampingkan pemikiran hati-hati dan analitis yang merupakan ciri khas akal yang berpikir (thinking mind). Pikiran emosional itu langsung melompat dalam bertindak, tanpa sekejap pun mempertimbangkan apa yang dilakukannya. Tindakan yang muncul dari pikiran emosional membawa rasa kepastian yang sangat kuat. b. Emosi itu mendahului pikiran. Menurut Ekman, secara teknis, memuncaknya emosi itu berlangsung sangat singkat, hanya dalam hitungan detik, bukan dalam hitungan menit, jam, atau hari. Dorongan pertama dalam situasi emosional, kata Goleman adalah dorongan hati, bukan dorongan kepala. Alasannya, karena pikiran rasional membutuhkan waktu sedikit lebih lama untuk mendata dan menanggapi daripada waktu yang dibutuhkan oleh pikiran emosional. c. Logika emosional itu bersifat asosiatif. Itulah sebabnya mengapa perumpamaan, kiasan, dan gambaran secara langsung ditujukan pada pikiran emosional, demikian juga karya seninovel, film, puisi, nyanyian, teater, dan opera. d. Memposisikan masa lampau sebagai masa sekarang. Akal emosional bereaksi terhadap keadaan sekarang seolah-oleh keadaan itu adalah masa lampau.27 3. Pentingnya Kecerdasan Emosional Kecerdasan emosional adalah jenis kecerdasan yang mencakup pengendalian diri, semangat dan ketekunan, dan kemampuan untuk memotivasi diri sendiri. Keterampilan ini bisa diajarkan. Perlunya kecerdasan emosional bertumpu pada hubungan antara perasaan, watak, dan naluri moral. Semakin banyak bukti, bahwa sikap etik dasar dalam kehidupan berasal dari kemampuan emosional yang melandasinya. Karena, 26
Ibid., hlm. 158. Agus Efendi, Revolusi Kecerdasan Abad 21: Kritik MI, EI, SQ, AQ & Succesful Intelligence atas IQ, (Bandung: Alfabeta, 2005), hlm. 192-194. 27
34
dorongan hati itu merupakan medium emosi. Benih semua dorongan adalah perasaan. Dan perasaanlah yang memunculkan diri dalam bentuk tindakan. Mendalamnya makna kecerdasan emosional akan dapat dipahami ketika kita sudah sampai pada kesimpulan dibutuhkannya kecakapan dalam menangani emosi, menyelesaikan pertengkaran secara damai, dan bergaul biasa. Sedangkan inti kecerdasan emosional menurut Goleman adalah pengenalan atau kesadaran diri, yakni kesadaran akan perasaan diri sendiri sewaktu perasaan itu timbul. Menurutnya, kesadaran diri bukanlah perhatian yang larut dalam emosi, bereaksi secara berlebihan dan melebih-lebihkan apa yang diserap. Kesadaran diri lebih merupakan modus netral yang mempertahankan refleksi diri bahkan di tengah badai emosi. Begitulah makna dan pentingnya kecerdasan emosional.28 EQ berperan penting di tempat kerja, dalam keluarga, masyarakat, pengalaman romantis, dan bahkan kehidupan spiritual; kesadaran emosi membuat keadaan jiwa kita diperhatikan. EQ memungkinkan kita menentukan pilihan-pilihan yang baik tentang apa yang akan kita makan, siapa yang akan kita jadikan teman hidup, pekerjaan apa yang akan kita lakukan, dan bagaimana menjaga keseimbangan antara kebutuhan pribadi kita dan kebutuhan orang lain.29 Orang yang cerdas secara emosional mengetahui perbedaan antara apa yang penting bagi mereka dan apa yang penting bagi orang lain. Mereka
28
Ibid., hlm. 191. Jeanne Segal, Melejitkan Kepekaan Emosional: Cara Baru-Praktis untuk Mendayagunakan Potensi Insting dan Kekuatan Emosi Anda, terjemahan: Ary Wulandari, (Bandung: Kaifa, 2000), hlm. 27. 29
35
juga mengetahui perbedaan antara yang mereka lakukan untuk bertahan hidup dan yang harus diabaikan. Yang terpenting, mereka dapat menyelesaikan ribuan kekecewaan hidup. Mereka sadar betul bahwa “orang-orang paling berotak di antara kita justru sering gagal pada usia muda.30 Emosi memberi makna pada situasi-situasi dalam hidup kita. Emosi bukanlah pengganggu atau pengacau, bahkan merupakan sesuatu yang paling penting dalam keberadaan kita, mengisinya dengan kekayaan dan memasok sistem dengan makna dan nilai-nilai yang menentukan apakah hidup dan kerja kita akan tumbuh berkembang atau akan berhenti dan mati. Emosi pulalah, bukan nalar, yang mendorong kita menjawab pertanyaanpertanyaan yang mendalam dan penting mengenai keberadaan kita.31 4. Peran Guru dalam Pembentukan Kecerdasan Emosional Manusia pada hakekatnya bukan hanya hidup di dunia fisik saja, tetapi juga hidup di dunia mental yang tak kalah pentingnya. Kebahagiaan manusia bukan terletak pada materi, namun tergantung pada faktor pertumbuhan emosinya.32 Guru menempati posisi yang sangat penting dalam meningkatkan EQ siswanya. Langkah yang harus dilakukannya adalah meningkatkan EQnya sendiri, dan dalam waktu yang sama berusaha meningkatkan EQ
30
Ibid., hlm. 30. Robert K. Cooper dan Ayman Sawaf, Executive EQ: Kecerdasan Emosional dalam Kepemimpinan dan Organisasi, terjemahan: Alex Tri Kantjono Widodoooo, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1999), hlm. 8. 32 Sandy Widiatmoko, Memprogram Pikiran: Memadukan Jiwa dan Pikiran yang akan Mengubah Cara Berpikir Anda, (Yogyakarta: ST Book, 2011), hlm. 38. 31
36
siswanya.
Baik
guru
maupun siswa dapat
memanfaatkan proses
pembelajaran guna meningkatkan EQ mereka. Dengan demikian, proses pembelajaran akan sangat menyenangkan karena dibangun di atas sikap saling menghargai dan menjawab kebutuhan masing-masing. EQ anak mempengaruhi kecerdasan intelektualnya. EQ juga mempengaruhi keinginannya untuk belajar dan mendapatkan keterampilan serta pengalaman baru. Ini menjadi lebih penting saat kita mengetahui bahwa setiap anak atau siswa mempunyai karakter emosi yang berbeda. Dengan begitu, setiap siswa harus diperlakukan sesuai dengan karakter emosi dan perasaannya.33 Sebagian orang menyatakan bahwa guru dibebani dengan tugas yang sangat banyak. Mereka menyatakan bahwa guru tidak memiliki waktu untuk memberikan materi tambahan guna mengembangkan EQ siswa. Sebenarnya kita tidak membutuhkan materi baru yang khusus ditujukan untuk mengembangkan EQ. Namun, kita bisa menggabungkan unsur pendidikan EQ dalam materi pelajaran yang sudah ada, sehingga tidak diperlukan lagi waktu ekstra. Menurut
Daniel
Goleman,
contoh
pengajaran
kecerdasan
emosional adalah seperti yang termuat dalam pengajaran self-science (pengetahuan tentang diri). Inti pengajaran self-science memiliki kemiripan butir demi butirnya dengan unsur-unsur kecerdasan emosional.34
33 34
Makmun Mubayidh, Op.Cit., hlm. 125-126. Agus Efendi, Op.Cit., hlm.203.
37
Menurut Makmun Mubayidh, guru memiliki peranan dalam mengembangkan EQ siswanya, antara lain sebagai berikut: a. Membantu siswa mempelajari bahasa emosi dan kalimat yang digunakan untuk mengekspresikannya. b. Membantu siswa untuk merasa dirinya diperhatikan oleh guru, bukan dikuasai guru. c. Melatih siswa untuk mengenali berbagai situasi emosi dan membedakan satu emosi dengan lainnya. d. Guru harus memahami emosi dan ketakutannya sendiri. e. Guru berusaha mengetahui faktor-faktor yang menyebabkan emosinya muncul, dan jangan mencela siswa karena emosinya sendiri. f. Guru berusaha mengenali kebutuhan emosinya yang belum terpenuhi, jangan sampai memenuhi kebutuhan tersebut dengan melampiaskan emosi pada siswa, atau jangan mengutamakan kebutuhan dirinya di atas kebutuhan siswa.35
5. Sekolah yang Mengajarkan EQ Menurut Makmun Mubayidh, sekolah yang ideal adalah sekolah yang berupaya mengembangkan secara berimbang kecerdasan emosi (EQ) dan kecerdasan intelektual (IQ) yang mencakup antara lain geografi, matematika, dan baca-tulis. Sekolah dapat mengembangkan EQ siswa melalui banyak aktivitas dan pengarahan yang mendidik siswa dengan nilainilai luhur, seperti mengajar siswa agar menjadi orang penyayang dan lembut. Kelembutan adalah sifat manusia yang usianya sama dengan usia manusia itu sendiri. Hal baru yang berkaitan dengan kelembutan ini adalah bahwa ia bisa dimanfaatkan dalam proses pembelajaran, pendidikan, dan pelatihan sesuai dengan potensi EQ. Guru pasti menuntut muridnya untuk berperilaku terpuji dan bermain bersama temannya dengan cara yang benar. Perilaku terpuji ini dapat diajarkan dengan cara disinergikan dalam kurikulum pendidikan. Metode ini ditujukan untuk mengajarkan pada anak bagaimana cara mengenali perasaan mereka sendiri, perasaan dan emosi orang lain, dan berusaha menjaga emosi ini. Di masa lalu, murid yang nakal disuruh menhadap kepala sekolah untuk mendapatkan hukuman. Sekarang kita menggunakan cara lain. Dengan mengikuti metode pengembangan EQ, siswa dianjurkan untuk memikirkan faktor-faktor yang menyebabkan peristiwa gaduh dalam kelas. Setelah mengetahui faktor tersebut, siswa dimotivasi untuk memikirkan solusi atas permasalahan yang dihadapinya. Dengan cara ini, siswa lebih ma`mpu menganalisa perilakunya, dan belajar dari kesalahan dan
35
Makmun Mubayidh, Op.Cit., hlm. 128.
38
pengalaman. Cara ini lebih baik daripada jika kita memberikan hukuman atau mengeluarkannya dari sekolah.36
36
Ibid., hlm. 133-134.