BAB II EKSISTENSI KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI (KPK) DALAM PENYELESAIAN TINDAK PIDANA KORUPSI JIKA DIKAITKAN DENGAN KEWENANGAN KEJAKSAAN A.
Kedudukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Kejaksaan dalam sistem Ketatanegaraan di Indonesia Membahas sistem ketatanegaran berarti membicarakan pula mengenai
pembagian kekuasaan dan hubungan antar lembaga negara. Sistem ketatanegaran dapat diartikan sebagai segala sesuatu yang merupakan perbuatan pemerintahan yang dilakukan oleh organ-organ atau lembaga-lembaga negara seperti legislatif, eksekutif, yudikatif, dan sebagainya, di mana dengan kekuasannya masing-masing lembaga negara tersebut saling bekerjasama dan berhubungan secara fungsional dalam rangka menyelenggarakan kepentingan rakyat.87 Berdasarkan rumusan di atas, sistem ketatanegaraan dapat ditinjau dari segi pembagian kekuasaan di antara lembaga-lembaga negara dan sifat hubungan antar lembaga negara. Pembagian kekuasaan dapat dibedakan atas :
a.
Pembagian kekuasan secara horizontal, yaitu pembagian kekuasaan yang didasarkan pada fungsi maupun mengenai lembaga negara yang melaksanakan fungsi tersebut; dan
b.
Pembagian kekuasaan negara secara vertikal, yaitu pembagian kekuasaan di antara beberapa tingkatan pemerintah yang akan
87
Sri Soemantri, Sistem Pemerintahan Negara ASEAN, (Bandung: Penerbit Transito, 1976), h 58.
45
46
melahirkan garis hubungan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah atau antara pemerintah federal dan pemerintah negara bagian.88 Sejalan dengan bangkitnya paham mengenai demokrasi, teori-teori mengenai pemisahan kekuasaan pun berkembang. Teori ini mempunyai tujuan untuk memisahkan secara tegas kekuasaan negara atas beberapa kekuasaan yang masing-masing dipegang oleh lembaga-lembaga tertentu guna mencegah timbulnya monopoli seluruh kekuasaan negara di tangan satu orang yaitu raja seperti terjadi di dalam sistem pemerintahan monarki absolut.89 Sejalan dengan Locke90, ajaran pemisahan kekuasaan juga disampaikan oleh Montesquieu. Berdasarkan teori Montesquieu, terdapat tiga kekuasaan yang dikenal secara klasik dalam teori hukum maupun politik, yaitu fungsi eksekutif, legislatif, dan yudikatif yang kemudian dikenal sebagai trias politica. Montesquieu mengidealkan ketiga fungsi kekuasaan negara tersebut dilembagakan masingmasing dalam tiga organ negara, dengan ketentuan satu organ hanya menjalankan
88
Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, cet. ke-22, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2001), h. 138 89 M. Suradijaya Natasondjana, “Pengisian Jabatan Wakil Presiden dalam Teori dan Praktik,” (skripsi program sarjana pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Depok, 1992),h. 14. 90 Ismail Suny, Pembagian Kekuasaan Negara, (Jakarta: Penerbit Aksara Baru, 1978), h.6, John Locke adalah sarjana yang pertama kali mengemukakan teori pemisahan kekuasaan yang membagi kekuasaan pada negara menjadi kekuasaan legislatif (kekuasaan membentuk undangundang), kekuasaan eksekutif (kekuasaan yang menjalankan undang-undang), serta kekuasaan federatif (kekuasaan yang meliputi perang dan damai, membuat perserikatan, dan segala tindakan dengan semua orang serta badan-badan di luar negeri)
47
satu fungsi dan tidak boleh mencampuri urusan masing-masing dalam arti yang mutlak.91 Konsep klasik di banyak Negara mengenai pemisahan kekuasaan tersebut dianggap tidak lagi relevan karena tiga fungsi kekuasaan yaitu eksekutif, legislatif,
yudikatif92
tidak
mampu
menaggung
beban
Negara
dalam
menyelenggarakan pemerintahan. Untuk menjawab tuntutan tersebut, negara membentuk berbagai jenis lembaga negara baru yang diharapkan dapat lebih responsif dalam mengatasi persoalan aktual negara. Maka, berdirilah berbagai lembaga negara yang membantu tugas lembaga-lembaga negara tersebut yang menurut Jimly Asshidiqie disebut sebagai “Lembaga Nagara Bantu” dalam bentuk dewan (council), komisi (commissian), komite (committee), badan (board) ataupun otorita (authority)93. Beberapa ahli tetap mengelompokkan beberapa Lembaga negara bantu94 dalam lingkup eksekutif, namun ada pula sarjana yang menempatakan tersendiri sabagai cabang keempat kekuasaan pemeritahan. Kehadiran lembaga negara bantu di Indonesia menjamur paska perubahan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945. Berbagai lembaga negara tersebut tidak dibentuk dengan dasar
92
Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, (Jakarta: Rajawali pers, 2012)
h. 281 93
Jimly Asshiddiqie, 2006, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi, (Jakarta: Sekretaris Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI), h.vi-viii. 94 Rizky Argama, Kedudukan Lembaga Negara Bantu dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia : Analisis Kedudukan Komisi Pemberantasan Korupsi sebagai Lembaga Negara Bantu, Skripsi (Depok : Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2007), h.127, Lembaga negara bantu adalah lembaga yang dalam pelaksanaan fungsinya tidak memposisikan diri sebagai salah satu dari tiga lembaga kekuasaan sesuai trias politica, banyak istilah untuk menyebut jenis lembaga baru ini, antara lain state auxiliary institutions atau state auxiliary organs yang berarti institusi atau organ negara penunjang, kemudian ada pula yang menyebutnya lembag anegara sampiran, lembaga negara independen, ataupun komisi negara
48
hukum yang seragam. Beberapa diantaranya berdiri atas amanat konstitusi, namun ada pula yang memperoleh legitimasi berdasarkan undang-undang ataupun keputusan presiden. Salah satu konsekuensi dari dilakukannya perubahan terhadap UUD Negara RI Tahun 1945 adalah munculnya beragam penafsiran mengenai istilah “lembaga negara” akibat kekurang jelasan UUD Negara RI Tahun 1945 dalam mengatur lembaga negara. Hal ini dapat terlihat dari tiadanya kriteria untuk menentukan apakah suatu lembaga dapat diatur atau tidak dalam konstitusi. Dari berbagai penafsiran yang ada, salah satunya adalah penafsiran yang membagi lembaga negara menjadi lembaga negara utama (state main organ) dan lembaga negara bantu (state auxiliary organ). Untuk menentukan institusi mana saja yang disebut sebagai lembaga negara bantu dalam struktur ketatanegaraan RI lebih dahulu harus dilakukan pemilihan terhadap lembaga-lembaga negara berdasarkan dasar pembentukannya. Pasca perubahan konstitusi, Indonesia membagi lembaga-lembaga negara kedalam tiga kelompok. Pertama, lembaga negara yang dibentuk berdasarkan atas perintah UUD Negara RI Tahun 1945 (constitutionally entrusted power). Kedua, lembaga negara yang dibentuk berdasarkan perintah undang-undang (legislatively entrusted power). Dan ketiga, lembaga negara yang dibetuk berdasarkan perintah keputusan presiden.95
95
Refly Harun, dkk, Menjaga Denyut Konstitusi: Refleksi Satu Tahun Mahkamah Konstitusi, (Jakarta: Konstitusi Pers, 2010), h. 60-61, Mahkamah Konstitusi menjelaskan bahwa kelahiran lembaga-lembaga negara baru dalam berbagai bentuk merupakan sebuah konsekuensi logis dari sebuah negara demokrasi modern yang ingin secara lebih sempurna menjalankan prinsip check and balances. Maraknya pembentukan lembaga-lembaga negara yang baru, juga karena tekanan internal yang di Indonesia berupa kuatnya reformasi politik, hukum, dan sistem
49
Lembaga negara pada kelompok pertama adalah lembaga-lembaga negara yang kewenangannya diberikan secara langsung oleh UUD 1945, yaitu Presiden dan Wakil Presiden, MPR, DPR, DPD, BPK, MA, MK, dan KY. Selain delapan lembaga tersebut, masih terdapat beberapa lembaga yang juga disebut dalam UUD RI Tahun 1945 namun kewenangannya tidak disebutkan secara eksplisit oleh konstitusi. Lembaga-lembaga negara yang dimaksud adalah Kementrian Negara, Pemerintahan Daerah, Komisi Pemilihan Umum, Bank Sentral, Tentara Nasional Indonesai (TNI), Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri), dan Dewan Pertimbangan Presiden. Salah satu yang perlu ditegaskan adalah kedelapan lembaga yang sumber kewengannya berasal langsung dari konstitusi tersebut merupakan pelaksanaan kedaulatan rakyat dan berada dalam suasana yang setara, seimbang, serta independen satu sama lain.96 Berikut, berdasarkan catatan lembaga swadaya masyarakat Konsorium Reformasi Hukum Nasional (KRHN)97, paling tidak terdapat sepuluh lembaga negara yang dibentuk atas dasar perintah undang-undang. Lembaga-lembaga tersebut adalah Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Komis Penyiaran Indonesia (KPI), Komisi Pengawasan Persaingan Usaha (KPPU), Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi
kemasyarakatan secara politis dan hukum telah menyebabkan dekosentrasi kekuasaan negara dan reposisi atau restrukturisasi dalam sistem ketatanegaraan. Secara eksternal berupa fenomena gerakan arus global pasar bebas, demokratisasi, dan gerakan hak asasi manusia internasional. 96 Firmansyah Arifin dkk., Lembaga Negara dan Sengketa Kewenangan Antarlembaga Negara, (Jakarta: Konsorsium Reformasi HukumNasional (KRHN), 2005), h.88, UUD Negara RI Tahun 1945 menetapkan delapan organ negara yang mempunyai kedudukan sama/sederajat, yang secara langsung menerima kewenangan konstitusional, yaitu MPR, Presiden dan Wakil Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Mahkamah Agung (MA), Mahkamah Konstitusi (MK), dan Komisi Yudisial (KY). Lihat Bab II, Bab III, Bab VII, Bab VIIA, Bab VIIIA, dan Bab IX UUD Negara RI Tahun 1945 97 Ibid.
50
(KKR), Komisi Nasioanal Perlindungan Anak Indonesia (Komnas Perlindungan Anak), Komisi Kepolisian Nasional. Komisi Kejaksaan, Dewan Pres, Dewan Pendidikan. Jumlah ini kemungkinan dapat bertambah atau berkurang mengingat lembaga negara dalam kelompok ini tiak bersifat permanen melainkan bergantung pada kebutuhan negara. Misalnya, KPK dibentuk karena dorongan kanyataan bahwa fungsil lembaga-lembaga yang sudah ada sebelumnya, seperti Kepolisian dan Kejaksaan, dianggap tidak maksimal atau tidak efektif dalam melakukan pemberantasan korupsi. Apabila kelak, korupsi dapat diberantas dengan efektif oleh Kepolisian dan Kejaksaan, maka keberadaan KPK dapat di tinjau kembali. Sementara itu, lembaga negara pada kelompok terahkir atau yang dibentuk berdasarkan perintah dan kewengannya deberikan oleh Keputusan Presiden antara lain adalah Komisi Ombusdman Nasional (KON), Komisi Hukum Nasional (KHN),
Komisi
Nasional
Antikekerasan
terhadap
Perempuan
(Komnas
Perempuan), Dewan Maritim Nasioanal (DMN), Dewan Ekonomi Nasional (DEN), Dewan Pengembangan Usaha Nasioanal (DPUN), Dewan Riset Nasional (DRN), Dewan Pembina Industri Srategis (DPIS), Dewan Buku Nasional (DBN), serta lembaga-lembaga negara dalam kelompok yang terahkir ini pun bersifat sementara bergantung pada kebutuhan negara. Lembaga-lembaga negara dalam kelompok kedua dan ketiga inilah yang disebut sebagai lembaga negara bantu.98 Pembentukan lembaga-lembaga negara yang bersifat mandiri ini secara umum disebabkan oleh adanya ketidak percayaan publik terhadap lembaga-lembaga negara yang ada dalam menyelesaikan
98
Ibid, h.90
51
persoalan ketatanegaraan. Selain itu pada kenyataanya, lembaga-lembaga negara yang telah ada belum berhasil memberikan jalan keluar dan menyelesaikan persoalan yang ada ketika tuntutan perubahan dan perbaikan semakin mengemuka seiring dengan berkembangnya paham demokrasi di Indonesia.99
1. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Salah satu lembaga negara bantu yang dibentuk dengan undang-undang adalah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), lembaga ini dibentuk sebagai salah satu bagian dari agenda pemberantasan korupsi yang merupakan salah satu agenda terpenting dalam pembenahan tata pemerintahan di Indonesia100. Walaupun bersifat independen dan bebas dari kekuasaan manapun101, KPK tetap bargantung kepada kekuasaan eksekutif dalam kaitannya dalam masalah keorganisasian, dan memiliki hubungan khusus dengan kekuasaan yudikatif dalam hal penuntutan dan persidangan perkara tindak pidana korupsi. Namun demikian, dalam perjalanannya yang belum menginjak tahun keempat sejak pendiriannya, keberadaan dan kedudukan KPK dalam struktur negara Indonesia mulai dipertanyakan oleh berbagai pihak. Tugas, wewenang, dan kewajiban yang dilegitimasi oleh Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi memang membuat komisi ini terkesan menyerupai sebuah superbody. Sebagai organ kenegaraan yang namanya tidak tercantum dalam UUD Negara RI Tahun 1945, KPK dianggap oleh sebagian 99
Rizky Argama, op.cit.,h.129 Mahmuddin Muslim, Jalan Panjang Menuju KPTPK, (Jakarta: Gerakan Rakyat Anti Korupsi Indoneisa, 2004), h.33 101 Jeremy Pope, 2003, Strategi Memberantas Korupsi Elemen Sistem Integritas Nasional, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia dan Transparency nternational Indonesiad ), h.177 100
52
pihak sebagai lembaga ekstrakonstitusional. Beberapa orang sebagai pemohon mengajukan
judicial
review
kepada
Mahkamah
Konstitusi102
dengan
mempersoalkan eksistensi KPK dengan menghadapkan Pasal 2, Pasal 3, dan Pasal 20 Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dengan pasal 1 ayat (3) UUD 1945 tentang negara hukum. Mereka berpendapat bahwa ketiga pasal Undang-undang KPK tersebut bertentangan dengan kosep negara di dalam UUD 1945 yang telah menetapkan delapan organ negara yang mempunyai kedudukan yang sama atau sederajat yang secara langsung mendapat fungsi konstitusional dari UUD 1945 yaitu MPR, Presiden, DPR, DPD, BPK, MA, MK dan KY. Ada tiga prinsip yang dapat dipergunakan untuk menjelaskan soal eksistensi KPK. Pertama, dalil yang berbunyi salus populi supreme lex, yang berarti keselamatan rakyat (bangsa dan negara) adalah hukum yang tertinggi. Jika keselamatan rakyat, bangsa, dan negara sudah terancam kerana keadaan yang luar biasa maka tindakan apapun yang sifatnya darurat atau khusus dapat dilakukan untuk menyelamatkan. Dalam hal ini, kehadiran KPK dipandang sabagai keadaan darurat untuk menyelesaikan korupsi yang sudah luar biasa.103 Kedua, di dalam hukum dikenal adanya hukum yang bersifat umum (lex generalis) dan bersifat khusus (lex spescialis).104 Dalam hukum dikenal asas lex specialis derogate legi generali, yang artinya udang-undang istimewa/khusus didahulukan berlakunya 102
Lihat Putusan MK RI Nomor 012-016-019/PUU-IV/2006, h.33 Para pemohon pengujian Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi terhadap UUD Negara RI Tahun 1945, yang terdiri dari Mulyana Wirakusumah, Nazaruddin Sjamsuddin, dkk., dan Capt. Tarcisius Walla, menilai KPK sebagai lembaga ekstrakonstitusional karena telah mengambil alih kewenangan lembaga lain yang diperoleh dari UUD Negara RI Tahun 1945 yang sebetulnya telah terbagi habis dalam kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif. 103 Jimly Asshiddiqie, Menuju Negara Hukum yang Demokratis, (RI.Jakarta: Sektretaris Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI ,Cetakan Pertama, 2008) 104 Ibid.
53
daripada undang-undang yang umum.105 Keumuman dan kekhususan itu dapat ditentukan oleh pembuat Undang-Undang sesuai dengan kebutuhan, kecuali UUD jelas-jelas menentukan sendiri. Dalam kaitan ini, dipandang bahwa kehadiran KPK merupakan perwujudan dari hak legislasi DPR dan pemerintah setelah melihat kenyataan yang menuntut perlunya itu. Sulit menerima argumen bahwa keberadaan KPK yang diluar kekuasaan kehakiman dianggap mengacaukan sistem ketatanegaraan, mengingat selama ini Kejaksaan dan Kepolisian pun berada di luar kekuasaan kehakiman, oleh karena Undang-undang telah mengatur hak yang tak dilarang atau disuruh tersebut maka keberadaan KPK sama sekali tak menimbulkan persoalan dalam sistem ketatanegaraan. Tentang persoalan menimbulkan abuse of power106, justru hal itu tidak relevan jika dikaitkan dengan keberadaan KPK, sebab abuse of power itu bisa terjadi di mana saja. KPK justru dihadirkan utnuk melawan abuse of power yang terlanjur kronis.107 Mengenai fungsi Kejaksaan dan Kepolisian di bidang peradilan, adalah Undang-Undang yang memberikan fungsi kepada lembaga-lembaga itu yang bisa di pangkas atau ditambah oleh pembuat Undang-undang itu sendiri. Jadi, ketentuan ini tak dapat dipersoalkan malalui judicial review, sebab pembuat
105
Adiwinata, Istilah Hukum Latin-Indonesia, (Jakarta: PT Intermesa,Cetakan Pertama, 1977), h.63. 106 Philipus M. Hadjon dkk., Pengantar Hukum Administrasi Indonesia (Introduction to The Indonesian Administrative Law cetakan ke-10, 2008), h.277, Asas suatu wewenang tidak boleh digunakan untuk tujuan lain selain untuk tujuan ia diberikan yang di dalam hukum Belanda tidak banyak diketemukan bagaimana contoh aturan ini yang menyebabkan pembatalan. “Pada umumnya penyalahgunaan suatu wewenang juga akan bertentangan dengan suatu peraturan perundang-undangan 107 Firmansyah Arifin dkk, op.cit.,h.102
54
Undang-Undang itu sudah mengaturnya menjadi seperti itu seharusnya delakukan melalui legislative review, bukan melalui judicial review.108 KPK sabagai lembaga pemberantas korupsi yang diberikan kewenangan yang kuat bukan berada di luar sistem ketatanegaraan, tetapi justru ditempatkan secara yuridis didalam sistem yang rangka dasarnya sudah ada di dalam UUD 1945. KPK juga tidak mengambil alih kewenangan dari pembuat undang-udang sebagai bagian dari upaya melaksanakan perintah UUD 1945 di bidang penegakan hukum, peradilan, kekuasaan kehakiman. Bahwa keberadaan KPK itu konstitusional, hal itu dapat didasarkan juga konstitusi tertulis yang menurut teori mencakup UUD (sebagai dokumen tersebar) mengenai pengorganisasian negara. Dari cakupan pengertian ini, maka kehadiran KPK adalah Konstitusional karena bersumber dari salah satu dokumen tersebar sebagai bagian dari konstitusi yang sama sekali tidak bertentangan dengan dokumen khususnya.109 KPK dibentuk sebagai lembaga negara bantu kerena adanya isi insidentil menyangkut korupsi di Indonesia pasca era Orde Baru. KPK merupakan aplikasi bentuk politik hukum yang diberikan kewenangan oleh UUD 1945 kepada badan legislatif sebagai pembuat Undang-undang.110
108
Ibid, h.105 Jimly Asshiddiqie, op cit, h.197-198 110 Firmansyah Arifin dkk, op.cit., h.105 109
55
2. Kejaksan Republik Indonesia Kedudukan Kejaksaan Republik Indonesia dalam sistem ketatanegaran dapat dilihat sejalan dengan perkembangan dan pertumbuhan negara Indonesia melalu beberapa fase. Pada masa Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, tepatnya pada tanggal 19 Agustus 1954, Rapat Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) memutuskan mengenai Kedudukan Kejaksaan dalam struktur Negara Republik Indonesia dalam lingkungan Departemen Kehakiman. Secara yuridis formal Kejakaan Republik Indonesia diproklamasikan.111 Kedudukan Kejaksaan dalam struktur kenegaraan Negara Republik Indonesia adalah selaku alat kekuasaan eksekutif dalam bidang yudisial yang sudah berakar sejak zaman kerajaan Majapahit, Mataram, Cirebon, serta zaman penjajahan.112 Isilah kejaksaan dipergunakan secara resmi oleh Undang-undang Balantentara Penduduk Jepang No.1 Tahun 1942, yang kemudian diganti oleh Osamu Seirei No.3 Tahun 1942, No.2 Tahun 1944 dan No.49 Tahun 1944. Peraturan tersebut tetap dipergunakan dalam Negara Republik Indonesia Proklamasi berdasarkan Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945 yang diperkuat oleh Peraturan Pemerintah No.2 Tahun 1945.113 Berdasarkan Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945 jo PP No.2 Tahun 1945, ketentuan yang digariskan oleh Osamu Seirei No.3 Tahun 1942 menegaskan
111
R.M. Surachman dan Andi Hamzah, Jaksa di berbagai negara, (Jakarta: Sinar Grafika, 1966), h.3 112 Ibid, h.4 113 Ibid.
56
bahwa Jaksa yang menjadi satu-satunya pejabat penuntut umum tetap berlaku di Negara Republik Indonesia Proklamasi.114 a. Masa Konstitusi Republik Indonesia Serikat (KRIS) (1949-1950)115 Pada masa Republik Indonesia Serikat (RIS) 27 Desember 1949-17 Agustus 1950 , sejak bulan Januari 1950, Jaksa Agung RID setelah aktif menjalankan tugasnya walaupun perihal Jaksa Agung baru diatur kemudian dalam KRIS dan dalam Undang-undang No.1 Tahun 1950 tentang Sususan dan Kekuasaan serta Jalannya Peradilan Mahkamah Agung Indonesia Undang-undang Mahkamah Agung (UUMA). Sesuai dengan susunan kenegaraan RIS sebagai negara federal yang komponennya terdiri dari alat-alat perlengkapan negara tingkat Pusat (Federal) dan tingkat Daerah Bagian, maka struktur organisasi Kejaksaan terdiri dari Kejaksaan Tingkat Pusat dan Tingkat Daerah-daerah Bagian. Pada tingkat Pusat (Federal) hanya ada satu instansi Kejaksaan yaitu Kejaksaan Agung RIS, yang merupakan Kejaksaan tingkat tertinggi di RIS. Sedangkan, daerah tidak mempunyai instansi Kejaksaan. Dalam usianya yang hanya 7 bulan 20 hari, RIS belum sempat mangangkat Jaksa Agung Muda dan tidak terdapat keterangan mengenai hubungan fungsional antara Jaksa Agung RIS dan para Jaksa Agung Muda.
b. Masa Demokrasi Parlementer (1950-1959)116 114
R.M Surachman dan Andi Hamza, Jaksa di Berbagai Negara, Peranan dan Kedudukanya, (Jakarta: Sinar Grafika, 1996, )Harmuth Horstkotte, seorang Hakim Tinggi Federasi Jerman, memberikan julukan kepada jaksa sebagai bosnya perkara (master of the procedure), sepanjang perkaranya itu tidak diajukan ke muka pengadilan. 115 Marwan Effendy, op.cit., h.67
57
Pada masa Republik Indonesia (17 Agustus 1950- 5 Juli 1959), kedudukan Kejaksaan sama seperti pada masa RIS, yaitu masuk kedalam Departemen Kehakiman. Sesuai dengan statusnya dalam Negara Kesatuan, Wewenang Jaksa Agung, yang antara lain tertera dalam Pasal 156 ayat 2, 157 ayat 1 dan Pasal 158 ayat 3 KRIS serta Pasal 22 ayat 2 dan Pasal 31 ayat 1 UUMA, tidak berlaku bagi Jaksa Agung pada Mahkamah Agung Republik Indonesia. Dengan berdirinya Negara Kesatuan RI, Kejaksaan Agung dari bekas Negara Bagian Republik Indonesia semestinya bubar dan tidak berfungsi lagi. Namun tidak demikian kenyataannya. Kejaksaan Agung di bekas negara Bagian Republik Indonesia tidak jelas kapan dibubarkan, namun menurut Jaksa Agung Tanggal 28 Februari 1951 dapat diketahui bahwa Kejaksaan Agung tersebut masih ada kendatipun pekerjaan yang diperbolehkan untuk ditangani hanya kasus-kasus lama yang belum terselesaikan dan bukan pekerjaan baru. c. Masa Demokrasi Terpimpin (1959-1965)117 Pada masa setelah dekrit Presiden (5 Juli 1959- 11 Maret 1966) terjadi perubahan dalam status Kejaksaan dari lembaga nondepartemen dibawah Departmen Kehakiman menjadi lembaga yang berdiri sendiri, yang dilandaskan pada Putusan Kabinet Kerja I Tanggal 22 Juli 1960, yang kemudian diperkuat dengan Keputusan Presiden No. 204 Tahun 1960 Tanggal 15 Agustus 1960 yang berlaku surut terhitung mulai tanggal 22 Juli 1960. Peristiwa ini didahului dengan berubahnya kedudukan Jaksa Agung dari pegawai tinggi Departemen Kehakiman
116 117
Ibid, h.68 Ibid,
58
menjadi menteri ex Officio118 dalam Kabinet Kerja I dan kemudian Menteri dalam Kabinet Kerja II, III, dan IV, Kabinet Dwikorsa dan Kabinet Dwikora yang disempurnakan, yang merupakan Jaksas Agung pertama yang menyandang status Menteri, walaupun hanya Menteri ex Officio. Pimpinan dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong dengan surat No: 5263/DPR GR/1961 Tanggal 30 Juni 1961 perihal Pengesahan Rancangan Undang-undang tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kejaksaan RI, selanjutnya disampaikan kepada Presiden untuk disahkan. Ahkirnya Pemerintahan cq.Presiden tanggal 30 Juni 1961 mensahkan Undangundang No.15 Tahun 1961 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kejaksaan Republik Indonesia. Dalam pasal 1 ditegaskan Kejaksaan adalah alat negara penegak hukum yang betugas sebagai Penuntut Umum, dan pasal 5 mengatur bahwa penyelenggaraan tugas Departemen Kejaksaan dalam Keputusan Presiden. Untuk mengatur dan menetapkan kedudukan, tugas, dan wewenang Kejaksaan dalam rangka sebagai alat revolusi dan menempatkan Kejaksaan dalam struktur organisasi Departemen disahkan Undang-udang No. 16 Tahun 1961 tentang Pembentukan Kejakaan Tinggi. Pada masa ini terjadi 5 (lima) kali penggantian Jaksa Agung yang terdiri atas R.Soeprapto, Gatot Taroenamihardja, R. Goenawan, Kadaroesman, dan A. Soetardhio. Dari kelima Jaksa Agung ini Gatoto Taroenamihardja menjabat paling singkat, yaitu kurang lebih 5 (lima) bulan, dan
118
Andi Hamzah, Kamus Hukum, cetakan pertama (Jakarta: Ghalia Indnesia, 1986), h.187. Pengertian hak officio berasal dari Bahasa Latin yang berarti karena jabatan tanpa diperlukan lagi pengangkatan. Seperti dalam kalimat kepala kejari ex officio anggota Muspida daerah tingkat satu. Selanjutnya menurut subekti pengertian hak ex officio berasal dari Bahasa Latin, ambtshalve Bahasa Belanda yang berarti karena jabatan, tidak berdasarkan surat penetapan atau pengangkatan, juga tidak berdasarkan suatu permohonan. Subekti dan R Tjitorosoedhibio, Kamus hukum, cetakan keempat (Jakarta: Pradnya Paramita, 1979), h.43
59
pada periode ini pertama kali Jaksa Agung diangkat dari kalangan militer, yaitu Jaksa Agung Brigjen A.Soetardhio. d. Masa Orde Baru (1966-1998)119 Pada masa orde Baru, Kejaksaan selain mengalami beberapa perubahan dalam kekuasaannyajuga mengalami beberapa kali perubahan pimpinan, organisasi, dan tata kerjanya. Perubahan pimpinan pertama kali terjadi pada tanggal 27 Maret 1966 dengan digantinya Menteri/Jaksa Agung Sutardhio oleh Brigjen. Sugih Arto, Asisten I Menteri/Panglima Angkatan Darat sehari sebelum dibubarkannya Kabinet Dwikora yang disempurnakan dan diganti dengan Kabinet Dwikora yang Disempurnakan lagi. Ketika itu, organisasi Kejaksaan dibawah koordinasi Wakil Perdana Menteri Bidang Pertahanan dan Keamanan yang merangkap Menteri Angkatan Darat, Ltiga orang etjen. Soeharto. Setelah perubahan pimpinan berdasarkan Surat Keputusan Wakil Perdana Menteri Bidang Pertahanan dan Keamanan No.:KEP/A/16/1966 Tanggal 20 Mei 1966, dilakukan perubahan dan pembaharuan mengenai Pokok-pokok Organisasi Kementrian Kejaksaan, yang intinya sabagai berikut : 1. Menteri /Jaksa Agung memimpin langsung Kementrian Kejaksaan dengan dibantu oleh Deputi Menteri/Jaksa Agung, masing-masing dalam bidang-bidang Intelijen/Operasi Khusus dan Pembinaan, dan seorang Pengawas Umum (Inspektur Jenderal); 2. Ketiga Deputi dan Pengawas Umum dalam melaksanakan tugasnya dipimpin dan dikoordinasikan oleh Menteri/Jaksa Agung;
119
Marwan Effendy, op.cit., h.69
60
3. Dibawah para Deputi ada Direktorat-direktora, Bagian, Biro, dan Seksi, sedangkan di bawah Pengawasan Umum hanya ada Inspektoratinspektorat. Menyusul setelah perubahan organisasi adalah perubahan dalam susunan para pembantu Menteri/Jaksa Agung berdasarkan Surat Keputusan Wakil Perdana Mentri Bidang Pertahanan dan Keamanan No.:KEP/E/40/1966 Tanggal 16 Juni 1966. Pada tanggal 25 Juli 1966 Kabinet Dwikora yang Disempurnakan Lagi dibubarkan dan dibentuklah Kabinet Ampera, dimana Jaksa Agung tidak dicantumkan sebagai Menteri. Dalam rangka pemurnian pelaksanaan Undangundang Dasar 1945 status Kejaksaan sebagai Departemen ditiadakan dan Kejaksaan Agung dinyatakan sebagai Lembaga Kejaksaan Tinggi Pusat dan Jaksa Agung tidak diberi kedudukan Menteri. Hal tersebut ditegaskan dalam Keputusan Presidium kabinet Ampera No. 26/U.Kep/9/66 Tanggal 6 September 1966 tentang Penegasan Status Kejaksaan Agung. Kemudian Kejaksaan Agung mengalami perubahan dalam bidang organisasi yang ditetapkan oleh Jaksa Agung dalam Surat Keputusan Sementara Jaksa Agung No.:KEP-086/D.A/7/1968 Tanggal 6 Juli 1968. Setelah memperhatikan hasil-hasil Musyawarah Kerja Kejaksaan seluruh Indonesia Tahun 1967, keluarkan Keputusan Presiden No. 29 Tahun 1969 tanggal 22 Maret 1969 tentang Pokok-pokok Organisasi Kejasaan yang mencabut Keputusan Wakil Perdan Menteri Bidang Pertahanan dan Keamanan No.: KEPA/16/1966 Tanggal 20 Mei 1969 dan oleh Keppres No.29 Tahun 1969 Bidang Operasi/Intelijen dijadikan Bidang Intelijen saja. Menyusul pelaksanaan Keppres No.29 Tahun 1969 dikeluarkan surat Keputusan Jaksa Agung No.:KEP-
61
061/D.A/7/1969 tentang Tugas dan Organisasi Kejaksaan dan Kejaksaan Daerah. Dalam Musyawarah Kerja Kejaksaan tahun 1971 dikeluarkan Keppres No.29 Tahun 1971 yang dalam pelasanaannya dikeluarkan Keputusan Jaksa Agung No.: KEP-022/D.A/5/71 dalam tanggal 15 Mei 1971 tentanh Kelengkapan Susunan Organisasi Tata Kerja dan Perincian Tugas Kejaksaan Agung No.:KEP061/.A/7/1969 Tanggal 4 Juli 1969. Pada masa Kabinet Pembangunan IV, kedudukan Jaksa Agung setingkat dengan Menteri Negara yang tercantum dalam Keppres No.48/M Tahun 1983 Tanggal 16 Maret 1983. Dalam pemberian kedudukan tersebut Kejaksaan tidak berubah menjadi Departemen. Dalam Ketetapan MPRS No.: II/MPRS/1960 Lampiran A.III No. 47 ditetapkan dengan tegas Jaksa Agung sebagai Pembantu Presiden. Selaku pembantu langsung Presiden maka kepada Jaksa Agung dapat diberikan predikat dan kedudukan apa pun, baik sebagai Menteri/Menteri Negara/Menteri ex Officio, maupun setingkat Menteri, dan sebagainyaatau tanpa predikat sama sekali, sebagaimana yang terjadi sejak Kabinet Ampera hingga Kabinet Pembangunan III. Selain itu susunan organisasi dan tata kerja institusi kejakasaan Republik Indonesia mengalami perubahan mendasar dengan Keluarnya Keputusan Presiden Republik Indonesia tanggal 20 November 1982 susunan organisasi Kejaksaan terdiri dari: 1. Jaksa Agung 2. Jaksa Agung Muda Pembinaan 3. Jaksa Agung Muda Pembinaan 4. Jaksa Agung Muda Intelijen
62
5. Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum 6. Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus 7. Pusat Penelitian dan Pengembangan, Pusat Pendidikan dan Latihan, Pusat Penyuluhan Hukum, Pudat Operasi Intelijen, dan 8. Instansi Vertikal: Kejaksaan Tinggi dan Kejaksaan Negeri. Sedangkan dalam Keputusan Presiden No.55 Tahun 1991 terdiri dari : 1. Jaksa Agung 2. Wakil Jaksa Agung 3. Jaksa Agung Muda Pembinaan 4. Jaksa Agung Muda Intelijen 5. Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum 6. Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus 7. Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara 8. Jaksa Agung Muda Pengawas 9. Pusat Penelitian dan Pengembangan, Pudat Pendidikan dan Latihan, Pusat Penyuluhan Hukum dan; 10. Kejaksaan di daerah: Kejaksaan Tingi dan dan Kejaksaan Negeri Pada periode ini, terjadi 7 (tujuh) klai pergantian Jaksa Agung RI dan dari 7 (tujuh) kali pergantian, 5 (lima) orang diantaranya militer, yaitu Sugih Arto, Ali said, Imail Saleh, Hari Suharto, dan Sukarton Marmo Sudjono. Dengan demikian, ternyata dalam perjalanan ketatanegaran Indonesia, kedudukan Kejaksaan mengalami beberapa kali perubahan. Kedudukan kejaksaan yang mengalami
63
perubahan adalah dalam upaya mendudukkan dan memfungsikan Kejaksaan secara optimal. e. Masa Orde Reformasi (1998- sekarang)120 Pada orde reformasi, selain terjadi 6 (enam) kali pergantian Jaksa Agung dalam periode dan juga penambahan fungsi yang berkaitan dengan fungsi dan wewenang, Jaksa Agung diberi legi keweangan untuk melakukan penyidikan dan penuntutaan terhadap pelanggaran HAM dengan keluarnya Undang-udang No.26 Tahun 1999 Tentang Peradilan Hak Asasi Manusia. Disamping itu pengurangan tugas dan kewenangan penyidikan dan penuntuttan berkaitan dengan tindakan pidana korupsi dengan dibentuknya Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK) pada tanggal 29 Desember 2003 berdasarkan Keppres No.266/M/2003 yang merupakan tindak lanjut dari Undang-undang No.30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dari keenam Jaksa Agung tersebut A. Soedjono Atmonegoro hanya menjabat selama 3 (tiga) bulan, sedangkan Marsilam Simanjuntak belum sempat menduduki ruang kerjanya karena terjadi pergeseran kursi kepresidenan dari Abdurrahman Wahid kepada Megawati Soekarno Putri di mana ia langsung digantikan oleh M.A. Rachman.121 Pencopotan A.Soedjono Atmonegoro oleh Presiden B.J.Habibie adalah karena dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya ia tidak sejalan denga Presiden mengingat keinginan Kejaksaan RI pada saat itu untuk melakukan penyidikan terhadap mantan presiden Soeharto yang diduga melakukan tindak pidana korupsi. Meskipun dalam masa jabatan Jaksa Agung Marzuki Darusman tetap dilakukan 120
Ibid, h.72 Web Resmi Kejaksan, Jaksa Agung dari Masa ke masa, (http:// www.kejaksaan.go.id/ tentang_kejaksaan.php?id=12, di akses Tanggal 19 Maret 2015, pukul 02.00 WIB) 121
64
penyelidikan terhadap mantan presiden Soeharto atas dugaan melakukan tidak pidana korupsi sama jabatannya namun hingga sekarang perkaranya tetap tidak pernah digulirkan kepangadilan karena alasan kesehatan. Dalam periode era reformasi, perkara-perkara yang berkaitan dengan tindak pidan korupsi dan perkara lainnya disinyalir oleh masyarakat bernuansa politis belum serius ditangani oleh Kejaksaan. Contonya dalam perkara kasus Ginanjar Kartasasmita (mantan Mentri Pertambangan dan Energi / Ketua Bappenas), perkara Syahril Sabirin (Gubernur Bank Indonesia), perkara Akbar Tanjung (Ketua DPR RI), Djakfar Umar Sidik (Panglima Komando Jihad) dalam kasus penghinaan kepada diri Kepala Negara, dan perkara KH.Abubakar Baasyir dalam kasus terror bom dan makar. Selain itu, perkara pelanggaran HAM Timor Timur dan Tanjung Priok juga belum diselesaikan secara tuntas. Dengan demikian, situasi dan kondisi dihadapi Kejaksaan RI periode Orde Reformasi tidak jauh dari periode Orde Baru. Namun, satu hal yang menggembirakan adalah digantinya Undang-undang No.5 Tahun 1991 tentang Kejaksaan RI dengan Undang-undang No.16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia. Dalam masa periode Reformasi setelah Marzuki Darusman, berturut-turut terjadi penggantian Jaksa Agung. Pergantian dari Marsilam Simanjuntak ke Baharuddin Lopa. Lopa hanya sempat menjabat Jaksa Agung selama 1 (satu) bulan karena setelah itu meninggal dunia, kemudian digantikan oleh H.M.A. Rachman. Adapun susunan organisasi dan tata kerja institusi kejakasaan Republik Indonesia mengalami perubahan mendasar dengan
65
Keluarnya Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2010 yang terdapat dalam pasal 5, susunan organisasi Kejaksaan122, terdiri dari: Gambar 1. Struktur Organisasi Kejaksaan Republik Indonesia
B.
Kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan kejaksaan dalam penuntutan tindak pidana korupsi Komperasi pengaturan mengenai tugas dan wewenang Kejaksaan RI secara
normatif dapat dilihat dalam beberapa ketentuan
mengenai Kejaksaan
sebagaimana hendak dijelaskan dibawah ini.123 1. Undang-undang Dasar 1945 yang mengatur secara implisit keberadaan Kejaksaan RI dalam sistem ketatanegaraan, sebagai badan yang berkait dengan kekuasaan kehakiman (vide Pasal 24 ayat 3 UUD 1945 jo.Pasal 41 UU No.4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman), dengan fungsi yang sangat dominan sebagai penyandang asas dominuslitis, pengendali 122
Ibid. Pusat Litbang Kejaksaan Agung R.I., Studi tetang Implementasi Kekuasaan Penuntutan Di Negara Hukum Indonesia, 2008 (www.kejaksaan.go.id/unit_kejaksaan diakses Tanggal 16 Maret 2015 pada Pukul 18.50 WIB) 123
66
proses perakara yang menetukan dapat tidaknya seorang dinyatakan sebagai terdakwa dan diajukan ke Pengadilan berdasarkan alat bukti yang sah menurut Undang-undang, dan sebagai executive ambtenaar pelaksaan penetapan dan keputusan pengadilan dalam perkara pidana. 2. Pasal 13 KUHAP yang menegaskan bahwa Penuntut Umum adalah Jaksa yang
diberi
wewenang
oleh
Undang-undang
untuk
melakukan
penuntutan.124 3. Pasal 2 Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI yang menempatkan posisi dan fungsi kejaksaan dengan karakter spesifik dalam sitem ketatanegaraan yaitu sebagai lembaga pemerintah yang melaksanakam kekuasaan negara di bidang penuntutan secara bebas dari pengaruh kekuasaan pihak manapun. 4. Pasal 30 ayat 1 Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI, melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap125, melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan putusan pidana bersyarat126, putusan
124
Ibid., h.126, Dalam penjelasan pasal 30 ayat 1 huruf a Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004, dijelaskan bahwa dalam melakukan penuntutan, Jaksa dapat melakukan prapenuntutan. Prapenuntutan adalah tindakan Jaksa untuk memantau perkembangan penyidikan setelah menerima pemberitahuan dimulainya penyidikan dan penyidik, mempelajari atau meneliti kelengkapan berkas perkara hasil penyidik yang diterima dari penyidik serta memberikan petunjukguna dilengkapi oleh penyidik untuk dapat menentukan, apakah berkas perkara tersebut dapat dilimpahkan atau tidak ke tahap penuntutan. 125 Penjelasan Pasal 30 Ayat 1 huruf b Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004 menjelaskan bahwa dalam melaksanakan putusan pengadilan dan penetapan hakim, kejaksaan memperhatikan nilai-nilai hukum yang hidup di masyarakat dan peri kemanusiaan berdasarkan Pancasila tanpa mengesampingkan ketegasan dalam bersikap dan bertindak. Melaksanakan putusan pengadilan termasuk juga tugas dan wewenang untuk mengedalikan pelaksanaan hukuman mati dan putusan pengadilan terhadap barang rampasan yang telah dan akan disita untuk selanjutnya dijual lelang. 126 Dalam penjelasan Pasal 30 ayat 1 huruf c bahwa Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004 menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan „keputusan lepas bersyarat‟ adalah keputusan yang dikeluarkan oleh Menteri yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang pemasyarakatan.
67
pidana pengawasan dan keputusan pidana bersyarat, melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan Undang-undang, dan melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan kepengadilan yang dalam pelaksanaannya dikoordinasi dengan penyidik 5. Pasal 33 Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004 mengatur bahwa dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, Kejaksaan membina hubungan kerja sama dengan badan penegak hukum dan keadilan serta badan negara atau instansi lainnya.127 Tumpang tindih kewenangan dalam hal siapa yang berwenang untuk malakukan penuntutan
terhadap tindak pidan korupsi muncul setelah
dikeluarkannya Undang-undang nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan tindak pidana korupsi128. Pasal 26 Undang-undang ini menyebutkan bahwa penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang Pengadilan terhadap tindak
127
Penjelasan Pasal 33 menyatakan: adalah menjadi kewajiban bagi setiap abdan negara terutama dalam bidang penegakan hukum dan keadilan untuk melaksanakan dan membina kerja sama yang dilandasi semangat keterbukaan, kebersamaan, dan keterpaduan dalam suasana keakraban guna mewujudkan sistem peradilan pidana terpadu. Hubungan kerja sama ini dilakukan melalui kordinasi horizontal dan vertikal secara berkala dan berkesinambungan dengan tetap menghormati fungsi, tugas, dan wewenang masing-masing. Kerja sama anatara Kejaksaan dan instansi penegak hukum lainnya dimaksudkan untuk memperlancar upaya penegakan hukum sesuai dengan asas cepat, sederhana, dan biaya ringan, serta bebas, jujur, dan tidak memihak dalam penyelesaian perkara. 128 Loebby Loqman, Masalah Tindak Pidana Korupsi di Indonessia, (Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia), h.5, Loebby Loqman mengemukakan bahwa sejak dirancangnya Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi disadari bahwa undang-dang tersebut merupakan undang-undang pidana khusus, yaitu Undang-Undang Hukum Pidana yang sekaligus mengatur substansi maupun hukum acara pidana diluar KUHP dan KUHAP.
68
pidana korupsi, dilakukan berdasarkan hukum acara pidana yang berlaku, kecuali ditentukan lain oleh Undang-undang ini.129 Secara gramatikal arti kalimat berdasarkan hukum acara pidana yang berlaku merujuk kepada Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP, karena selain KUHAP tidak ada lagi hukum acara pidana lain yang berlaku di Indonesia secara umum. Hal tersebut berarti bahwa terhadap tindak pidana korupsi, harus dilakukan penuntutan menurut pasal 137 sampai 144 KUHAP oleh penuntut umum yaitu jaksa130. Bahwa selanjutnya terjadi tumpang tindih konsepsi yang berhubungan dengan tugas dan kewenangan Kejaksaan disebabkan karena beberapa faktor yaitu: 1. Sistem
peradilan
pidana
terpadu
yang
dianut
dalam
KUHAP
menimbulkan permasalahan sehubungan dengan kewenangan penuntutan 129
Evi Harianti, op.cit., h.71-72, Kalimat “kecuali ditentukan lain dalam Undang-undang ini” di dalam Pasal 26 , dasar untuk melakukan penyelidikan, penyidikan dan pemeriksaan di sidang pengadilan dalam perkara tindak pidana korupsi adalah: (a) Ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 yang mengatur tentang penyelidikan, penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan dalam perkara tindak pidana korupsi. (b) Jika dalam Undang-undang Nomor 30 tahun 2002 tidak terdapat ketentuan-ketentuan yang mengatur seuatu kegiatan dalam melakukan penyelidikan, penyidikan, penunututan dan pemeriksaan di sidang pengadilan, maka yang berlaku adalah ketentuan-ketentuan yang terdapat di dalam Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 yang kemudian diubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 yang mengatur tentang penyelidikan, penyidikan, penunututan dan pemeriksaan di sidang pengadilan dalam perakara tindak pidana korupsi. (c) JIka di dalam Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 yang kemudian diubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tidak terdapat ketentuan-ketentuan yang mengatur suatu kegiatan dalam melakukan penyelidikan, penyidikan, penunututan dan pemeriksaan di sidang pengadilan dalam perakara tindak pidana korupsi, maka yang berlaku adalah ketentuan-ketentuan yang terdapat di dalam KUHAP atau Undang-undang Nomor 31 Tahun 1997 sesuai dengan kompetensi absolutnya. Sebagai peraturan pelaksanaan dari ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam KUHAP, telah dikeluarkan PP Nomor 27 Tahun 1983 tentang pelaksanaan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana. 130 Sahuri Lasmadi, Tumpang Tindih Kewenangan Penyidikan Pada Tindak Pidana Korupsi Dalam Presspektif Sistem Peradilan Pidana, (http://www.google.co.id/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=8&cad=rja&uact=8&ved =0CFYQFjAH&url=http%3A%2F%2Fonlinejournal.unja.ac.id%2Findex.php%2Fjimih%2Farticle %2Fdownload%2F200%2F177&ei=FiQHVbOdB9DbuQTu2oKgBA&usg=AFQjCNGOLIYifbdw tWqLuXp9t6B2gN8DdA&sig2=cizYIEdPj4VXjX1ZGFTXJw&bvm=bv.88198703,d.c2E, diakses Tanggal 16 Maret 2015, pukul 02.15 WIB.) h.36
69
Kejaksaan dan sub-sistem penegakan hukum lainnya yaitu Kepolisian dalam hal penyidikan dan Pengadilan dalam proses peradilan. 2. Kedudukan Kejaksaan dalam konteks hukum nasional berdasarkan Undang-undangNo.16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI menempatkan lembaga ini berada di lingkungan eksekutif yang menyebabkan Kejaksaan tidak mandiri dan independen. 3. Pengurangan dan pembatasan kewenangan oleh Undang-undang, baik di bidang penyidikan maupun dalam bidang penuntutan. Hal ini dapat dilihat dengan terbentuknya Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi berdasarkan Keppres No.266/M/2003 sebagai tindak lanjut Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberatasan Korupsi. Hal tersebut dapat dilihat dalam rumusan Pasal 6 huruf c yaitu KPK mempunyai tugas melakukan tindakan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi. Rumusan pasal ini jelas bahwa KPK mempunyai kewenangan melakukan tindakan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi. Namun, Undang-undang KPK tersebut memberikan kualifikasi terhadap tindak pidana korupsi mana saja yang dapat ditangani oleh KPK. Sebagaimana yang ditegaskan dalam pasal 11 Undang-Undang KPK bahwa dalam melaksanakan tugasnya , KPK berwewenang untuk melakukan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi:
70
1. Yang melibatkan aparat penegak hukum, penyelenggara negara, dan orang lain yang ada kaitannya dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum atau penyelenggara negara; 2. Mendapat perhatian yang meresahkan masyarakat; 3. Menyangkut kerugian negara paling sedikit satu miliar rupiah.131 Kualifikasi mengandung arti bahwa apabila suatu tindak pidana korupsi masuk dalam rumusan dari pasal tersebut, maka KPK yang berwenang untuk melakukan tindakan penuntutan. Namun, dalam hal beberapa kasus korupsi di Indonesia yang nilai kerugian negara ditafsir diatas satu miliyar rupiah serta melibatkan penyelenggara negara dalam hal ini pemerintahan (sesuai dengan kualifikasi pasal 11 Undang-Undang KPK), penuntutan dalam perkara korupsi tersebut malah ditangani Kejaksaan, bukan KPK. Contohnya kasus yang melibatkan Elly Lasut, Bupati Kepulauan Talaud Sulawesi Utara, dalam kasus Surat Perintah Perjalanan Dinas (SPPD) fiktif senilai 7,7 Milyar rupiah 132 serta kasus Gerakan Daerah Orang Tua Asuh (GDOTA) senilai 1,5 Milyar rupiah.133 Perkara korupsi yang melibatkan penyelenggara negara tersebut tindakan penuntutannya dilakukan oleh Kejaksaan bukan oleh KPK. Hal seperti ini yang menimbulkan suatu ketidakjelasan dan ketidakpastian hukum dalam hal siapa sebenarnya yang berwenangn untuk melakukan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi. 131
Evi Hertati, op.cit.,h.70 Korupsi Dana Bencana Alam: Dua Pejabat Talaud Ditahan Kejaksaan, (http://infokorupsi.com/id/korupsi.php?ac=5689&l=korupsi-dana-bencana-alam-duapejabattalaud-ditahan-kejaksaan, diakses Tanggal 16 Maret 2015, pukul 03.30 WIB) 133 Dugaan Korupsi Beasiswa GDOTA Kabupaten Talaud ke Penyidikan, (http://infokorupsi.com/id/korupsi.php?ac=5114&l=dugaan-korupsi-beasiswa-gdota-kabupatentalaud-ke-penyidikan, diakses pada tanggal 16 Maret 2015, pukul 03.40 WIB) 132
71
Bersadarkan contoh kasus tersebut seharusnya ada pemisahan yang jelas antara tugas dan wewenang KPK dan Kejaksaan dalam menangani tindak pidana korupsi, secara khusus dalam hal penuntutan134. Jangan sampai terkesan bahwa lembaga yang satu mengambil kewenangan lembaga lainnya. Hal tersebut dimaksud agar adanya penjernihan fungsi yang bertujuan untuk menghilangkan kekacauan dan tumpang tindih fungsi dan wewenang penunututan. Selain itu dengan adanya spesifikasi yang jelas dalam wewenang untuk melakukan penuntutan akan memberikan dan menjamin terwujudnya suatu kepastian hukum, sehingga hasil yang didapat akan lebih efektif dan maksimal. Kewenangan KPK untuk melakukan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi lebih diperluas dari dengan wewenang untuk mengambil alih penuntutan terhadap tindak pidana korupsi. Hal ini didasarkan pada tugas KPK sebagaimana diatur dalam Pasal 6 huruf b Undang-Undang KPK, yang berbunyi KPK mempunyai tugas supervisi terhadap instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi135. Selanjutnya, dalam melaksanakan tugas supervisi tersebut, KPK berwenang melakukan pengawasan, penelitian, atau penelaahan terhadap instansi yang mejalankan tugas dan wewenang yang berkaitan dengan pemberatasan tindak pidana korupsi, dan instansi yang dalam melaksanakan pelayanan publik.136
134
Sahuri Lasmadi, op.cit.,h.37, Mengapa masalah kewenangan yang perlu diperjelas, mengingat penegakan hukum pidana (perkara tindak korupsi) sangat berkaitan dengan Hak Azasi Manusia, jadi jika suatu lembagamempunyai kewenangan dalam hal penegakan hukumnya harus diatur secara limitatif, hal ini disebabkan bahwa dalam hukum pidana menganut Azas Legalitas. 135 Ibid. 136 Lihat pasal 8 ayat (1) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002
72
KPK dalam melaksanakan wewenangnya, berwenang untuk mengambil alih penuntutan137 terhadap pelaku tindak pidana korupsi yang sedang dilakukan oleh pihak Kejaksaan dengan alasan bahwa proses penanganan tindak pidana korupsi
secara
berlarut-larut
atau
tertunda-tunda
tanpa
alasan
yang
dipertanggungjawabkan, penanganan tindak pidana korupsi karena campur tangan dari eksekutif, yudikatif, dan legislatif, atau keadaan lain yang menurut pertimbangan Kejaksaan penanganan tindak pidana korupsi sulit dilaksanakan secara baik dan dapat dipertanggungjawabkan.138 Undang-Undang KPK tidak memberikan defenisi tentang penuntutan, dengan demikian maka pengertian penuntutan mengacu kepada KUHAP sebagai hukum acara pidana yang bersifat umum. Undang-undang KPK tersebut hanya mengatur kewenangan KPK untuk melakukan penuntutan yang mana dilakukan
137
Romli Atmasasmita, Memahami Undang-undang Komisi Pemberantasan Korupsi, (http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4b0a444f23252/UU%20KPK, diakses Tanggal 16 Maret 2015, pukul 03.15 WIB), Ketentuan Pasal 6 huruf b, dirinci lebih lanjut dalam Pasal 8 yang menegaskan di dalam menjalankan wewenang supervisi tersebut, KPK berwenang untuk mengambil alih penyidikan dan penuntutan terhadap pelaku tindak pidana korupsi yang sedang dilakukan oleh kepolisian atau kejaksaan (Pasal 8 ayat (2). Konsep “unwilling” atau “unable” usulan pemerintah kemudian disepakati dan dirinci secara limitatif menjadi 6 (enam) alasan sebagai tercantum di dalam Pasal 9 UU KPK. Perlu digarisbawahi oleh para penegak hukum bahwa, ketentuan Pasal 8 dan Pasal 9 telah membatasi pengambilalihan pada wewenang penyidikan dan penuntutan saja, tidak termasuk pengambil alihan wewenang penyelidikan, dengan pertimbangan bahwa, ketika kepolisian atau kejaksaan sedang melakukan langkah penyelidikan atau penyidikan, KPK telah dibentuk, dan telah melaksanakan koordinasi dan supervisi dengan kedua instansi penegak hukum tersebut sehingga KPK terus mengikuti perkembangan penanganannya. Ketika KPK mengambil alih penanganan perkara korupsi tersebut, maka KPK cukup dapat mengambil sejak tahap penyidikan saja, tidak diperlukan melakukan pengambilalihan sejak penyelidikan. Namun demikian terhadap perkara korupsi yang terjadi sebelum terbentuknya KPK, di mana KPK belum dapat melaksanakan tugas koordinasi dan supervisi terhadap Kepolisian atau Kejaksaan, maka sangat tepat jika KPK harus mengambil alih penanganan korupsi tersebut sejak tahap penyelidikan, dengan pertimbangan untuk memelihara kesinambungan penanganan perkara korupsi, memelihara kepastian hukum dan keadilan serta keseimbangan kepentingan antara pelaku dan korban kejahatan 138 Lihat pasal 8 ayat (2) dan Pasal 9 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002
73
oleh Penunutut Umum pada KPK. Penunutut Umum yang dimaksud adalah Jaksa Penuntut Umum yang melaksanakan fungsi penuntutan tindak pidana korupsi.139 Apabila ditinjau kembali maka pada kenyataanya berdasarkan rumusan dalam Undang-undang timbul permasalahan dalam hal dualisme kewenangan penuntutan antara Kejaksaan dan KPK terhadap penanganan perkara tindak pidana korupsi. Kewenangan Kejaksaan dan KPK dalam melakukan penuntutan dalam tindak pidana korupsi diberikan berdasarkan perintah Undang-undang sebagaimana yang diatur dalam KUHAP, Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI, dan Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana yang telah diubah menjadi Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Bedanya kewenangan KPK untuk melakukan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi diatur lagi dalam UndangUndang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Apabila dilihat dalam rumusan KUHAP, maka yang berwenang untuk melakukan penuntutan adalah jaksa yang bertindak sebagai penunutut umum. KPK dan Kejaksaan sama-sama mempunyai jaksa yang bertindak sebagai penuntut umum sebagaimana terdapat dalam Undang-undang Kejaksaan dan Undang-undang KPK sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya. Bahwa dalam KUHAP tidak menyebutkan secara eksplisit tentang jaksa di institusi mana yang berwenang melakukan penuntutan. Hal itu yang kemudian muncul pendapat140, menginginkan agar kewenangan
139
penuntutan
sepenuhnya
diberikan
kepada
Lihat pasal 51 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002
Kejaksaan,
dan
74
kewenangan penuntutan yang ada di KPK dikembalikan kepada Kejaksaan. Hal tersebut dikarenakan kewenangan penunututan yang ada dalam diri KPK telah menerobos dan mengesampingkan asas dominus litis, dimana Kejaksaan sebagai pengendalian proses perkara, dan prinsip een on deelbaar141 yaitu kejaksaan satu dan tidak terpisah-pisahkan. Undang-undang KPK dinilai didorong oleh semangat memberantas korupsi yang terlalu menggebu-gebu. Semangat itu berakibat ditabraknya beberapa asas hukum dan sistem hukum. Salah satunya Penuntut Umum tidak tunduk pada Jaksa Agung. Namun, sebenarnya perlu diketahui bahwa jaksa yang bertugas di KPK adalah jaksa yang diambil dari Lembaga Kejaksaan yang dinonaktifkan sementara dari tugasnya di lembaga Kejaksaana. Sehingga Jaksa yang berada di KPK itu kemudian melakukan tugas penuntutan sama sekali tidak menyalahi ketentuan yang diatur dalam KUHAP yang mengatur bahwa yang dapat bertindak sebagai penuntut umum adalah Jaksa, dengan tidak menyebutkan nama lembaga yang berwenang. Sehingga jaksa yang bertindak sebagai penuntut umum yang ada di lembaga Kejaksaan dan KPK tetap berwenang melakukan penuntutan.142
140
Jaksa Agung: Tidak Masalah Kewenangan Penuntutan Dipegang Satu Lembaga (http://sp.beritasatu.com/home/jaksa-agung-tidak-masalah-kewenangan-penuntutan-dipegang-satulembaga/5205, diakses tanggal 16 Maret 2015 pada pukul 01.40 WIB), Jaksa Agung Basrief Arief berpendapat bahwa kewenangan penuntutan perkara korupsi dikembalikan lagi kelembaga Kejaksaan sebagai Jaksa Penuntut Umum sesuai dengan ketentuan KUHAP. Secara universal di dunia, yang berwenang malakukan penuntutan adalah Kejaksaan dan Jaksa Agung sebagai penuntut umum tertinggi. Oleh karena itu jika semua penuntutan dari KPK nantinya diserahkan kepada kejaksaan tidak ada masalah. 141 Pasal 2 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI menyatakan, Kejaksaan adalah ”satu dan tidak terpisahkan”. Bagian penjelasan atas pasal tersebut menyatakan bahwa yang dimaksud dengan ”Kejaksaan adalah satu dan tidak terpisahkan” adalah satu landasan dalam pelaksanaan tugas dan wewenangnya di bidang penuntutan yang bertujuan memelihara kesatuan kebijakan di bidang penuntutan sehingga dapat menampilkan ciri khas yang menyatu dalam tata pikir, tata laku, dan tata kerja Kejaksaan berdasarkan undang-undang. Ketentuan ini dikenal dengan prinsip een on deelbaar. 142 Rangga Trianggara Paonganan, Kewenangan Penuntutan Komisi Pemberantasan
75
Selanjutnya, pendapat yang mengatakan bahwa jaksa yang ada di KPK telah melanggar prinsip een on dellbaar sebagaimana yang juga diatur dalam Pasal 2 ayat (3) Undang-Undang Kejaksaan yang mengatakan bahwa Kejaksaan satu dan tidak terpisahkan adalah keliru. Karena sesungguhnya maksud dari pasal ini sebagaimana yang ada dalam penjelasan pasal tersebut ialah apabila dalam melakukan penuntutan perkara korupsi di pengadilan oleh Kejaksaan tidak akan terhenti hanya karena Jaksa yang semula bertugas berhalangan. Karena tugas penuntutan oleh Kejaksaan akan tetap berlangsung dan dilakukan oleh Jaksa pengganti. Jaksa yang berada di KPK sebagai bentuk kerja sama yang terjalin antara Kejaksaan dan KPK, hal itu dapat dilihat dalam Pasal 33 Undang-undang Kejaksaan
yang
mengatakan
bahwa
dalam
melaksanakan
tugas
dan
wewenangnya, Kejaksaan membina hubungan kerja sama dengan badan penegak hukum dan keadilan serta badan negara atau instansi lainnya, dalam hal ini adalah KPK. Sebagian pihak beranggapan bahwa kewenangan yang dimiliki oleh KPK untuk melakukan penuntutan adalah tidak sah karena menimbulkan ketidakpastian hukum sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, yang kemudian diusulkan untuk melakukan judicial review terhadap Undang-Undang KPK khususnya pasal 6 huruf c. Kepasitian hukum menuntut ketegasan berlakunya suatu aturan hukum (lex cetra) yang mengikat secara tegas dan tidak meragukan dalam pemberlakuaanya. Dikatakan bahwa pemberlakuan Pasal 6
Korupsi Dan Kejaksaan Dalam Penanganan Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia, Lex Crimen Vol.II, No.1 Edisi Januari-Maret 2013 (Manado: Universitas Sam Ratulangi), h.30
76
huruf c Undang-Undang KPK menyebabkan munculnya pertentangan antara dua undang-undang atau lebih yang berlaku atau mengikat pada saat yang sama , yaitu Undang-Undang Kejaksaan dan Undang-Undang KPK. Ketika ternyata lembaga legislatif memberikan kewenangan kepada KPK untuk dapat melakukan penuntutan, isi Undang-undang itu sah dan tidak bertentangan dengan Undang-Undang yang lain, sebab hubungan yang terjadi (dengan Undang-undang lain) sebenarnya hanya lah pengkhususan karena situasi dan tujuan khususnya. Bukan bertentangan karena hak itu memang harus diberikan oleh Undang-undang. Akan menjadi tidak sah kalau itu tidak diberikan oleh lembaga lain, bukan kepada KPK.143 Kalaupun itu dianggap bertentangan dengan Undang-undang Kejaksaan maka masalahnya adalah legislative review bukan judicial review.144 Pendapat yang beranggapan bahwa ketentuan itu dirasakan tidak menjamin kepastian hukum, justru sebaiknya dapat dikatakan pula bahwa disana ada kepastian hukum, karena secara khusus KPK diberikan kewenangan oleh Undang-undang untuk melakukan itu. Harus diingat bahwa kedaulatan rakyat yang harus dilakukan menurut UUD di sini sudah dipenuhi, yakni menurut UUD hal seperti itu diatur oleh lembaga legislatif. Lembaga legislatif dapat menentukan mana yang umum dan mana yang khusus. Harus diingat pual bahwa hak-hak asasi yang dituangkan dalam semua isi Pasal 28 UUD 1945 dapat dilangkahi hanya dengan ketentuan Undang-undang kalau ada alasan-alasan untuk menegakkan 143
Ni‟matul Huda, Sengketa Lembaga Negara (MK dan KY), artikel dalam majalah keadilan, ed 1/XXII/2007. Sengketa yang trjadi ditubuh lembaga-lembaga negara menurutnya berasal diantaranya adalah dari keruwetan yuridis yang terdapat dalam kewenangan-kewenangan yang dimiliki lembaga-lembaga tersebut. 144 Rangga Trianggara Paonganan, op.cit. h.31
77
hukum dan melindungi hak asasi orang lain. (lihat Pasal 28J ayat (2) UUD 1945), dan ketentuan itu telah dipenuhi oleh Undang-undang KPK.145
Tabel 1. Perbedaan Keweanangan yang dimiliki oleh KPK dan Kejaksaan dalam memberantas Korupsi di Indonesia No 1.
KPK Kewenangan Komisi
yang
Kejaksaan dimiliki
Pemberantasan
oleh Menyangkut masalah penyidikan,
Korupsi Berdasarkan pasal 184 ayat (4)
dalam penyelidikan, penyidikan dan KUHAP, penuntutan dengan
tidak
KUHAP
hanya dan
Jaksa
tetap
diberi
terkait wewenang melakukan penyidikan Undang- terhadap
Undang Nomor 20 tahun 2001 seperti
tindak tindak
pidana pidana
khusus korupsi,
tentang perubahan terhadap Undang- Undang-undang Nomor 20 tahun Undang Nomor 31 Tahun 1999 2001 tentang
Pemberantasan
tentang
perubahan
atas
Tindak Undang- undang Nomor 31 tahun
Pidana Korupsi, tetapi juga dapat 1999 tentang Pemberantasan Tindak melakukan terobosan diluar KUHAP Pidana Korupsi dilengkapi dengan sesuai dengan ketentuan didalam hukum acara pidana khusus yang Undang-Undang Nomor 30 tahun merupakan pengecualian daripada 2002 tentang Komisi Pemberantasan yang
diatur
pada
KUHAP.
Korupsi. Hal tersebut dikarenakan Kewenangan Kejaksaan didasarkan bahwa
145
Ibid.
Komisi
Pemberantasan pada
Pasal
17
Undang-Undang
78
Korupsi
(KPK)
adalah
lembaga Nomor 31 tahun 1999 tentang
Negara yang dalam melaksanakan Pemberantasan
Tindak
Pidana
tugas dan kewenangannya besifat Korupsi , sebagai berikut: independen dan bebes dari pengaruh “Penyidik menurut ketentuan khusus acara pidana sebagaimana tersebut kekuasaan manapun, sehingga pada undang-undang tertentu sebagai mana yang dimaksud dalam pasal pembetukan Komisi Pemberantasan 284 ayat 2 KUHAP dilaksanakn oleh penyidik, jaksa dan pejabat Penyidik Korupsi (KPK) bertujuan yang berwenang berdasarkan peraturan perundangan” meningkatkan upaya pemberantasan perkara tindak pidana korupsi.
Kewenangan jaksa sebagai penyidik berdasarkan Pasal 30 ayat (1) huruf d Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan , sebagai berikut : Melakukan penyidikan terhadap
tindak
pidana
tertentu
berdasarkan undang-undang”
2.
Pasal 11 Undang-Undang Nomor 30 Tidak diatur secara limitatif di dalam tahun
2002
tentang
Komisi Undang-undang sebagaimana halnya
Pemberantasan
Korupsi,
memberi kewenangan yang dimiliki oleh KPK
kewenangan
kepada
Pemberantasan
Korupsi
Komisi yang yang diberikan oleh Undang(KPK) undang.
mengatasi perkara tindak pidana korupsi yang seperti berikut:
79
1. Melibatkan aparat penegak hukum,
penyelenggara
negara, dan orang lain yang ada kaitannya dengan tindak pidana
korupsi
yang
oleh
aparat
dilakukan penegak
hukum
atau
penyelenggaranegara 2. Mendapat
perhatian
meresahkan
yang
masyarakat
dan/atau 3. Menyangkut kerugian negara paling
sedikit
Rp.1.000.000.00 (satu milyar rupiah)
3
Korupsi
(KPK)
melakukan Jaksa
melakukan
pemeriksaan
pemeriksaan terdapat Pasal 46 ayat terhadap pejabat negara dapat ditarik (1) Undang-Undang Nomor 30 tahun dari Pasal 36 ayat 1 dan 2 Undang2002 tentang Komisi Pemberantasan Undang Nomor: 32 Tahun 2004 Korupsi yang berbunyi :
tentang Pemerintahan Daerah yang
“Dalam hal seseorang ditetapkan menyatakan : sebagai tersangka oleh Komisi
80
“Tindakan penyelidikan dan penyidikan terhadap Kepala Daerah dan atau Wakil Kepala Daerah dilaksanakan setelah adanya persetujuan tertulis dari Presiden atas permintaan penyidik. Dan apabila persetujuan tertulis tidak diberikan dalam waktu 60 (enam puluh) hari terhitung sejak KPK dapat melakukan pemeriksaan diterimanya permohonan, proses penyelidikan dan penyidikan dapat terhadap tersangka tanpa harus dilakukan.” Pemberatasan Korupsi, terhitung sejak tanggal penetapkan tersebut prosedur khusus yang berlaku dalam rangka pemeriksaan tersangka yang diatur dalam peraturan perundangudangan lain, tidak berlaku dalam berdasarkan undang-undang ini”.
meminta izin pemeriksaan terlebih dahulu. 4
KPK
dalam
wewenangnya,
melaksanakan berwenang
Sementara
untuk undang
Kejaksaan, hanya
Undang-
memberikan
mengambil alih penuntutan terhadap kewenangan untuk menajalin kerja pelaku tindak pidana korupsi yang sama dengan badan pebegak hukum sedang
dilakukan
oleh
pihak dan keadilan serta badan negara atau
Kejaksaan sebagaimana diatur dalam instamsi lain. Sebagaimana diatur pasal 8 ayat
2 Undang-undang dalam pasal
Nomor 30 Tahun 2002:
33 Undang-undang
Nomor 16 Tahun 2004 tentang
“Dalam melaksanankan wewanag Kejaksaan RI. sebagaimana dimaksud pada ayat 1, Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang juga mengambil alih penyidikan atau penuntutan terhadap palaku tindak pidana korupsi yang sedang dilakukan oleh kepolisian atau kejaksaan”
81
C.
Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi yang ditangani oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Kejaksaan Menurut Jaksa Agung Basrief Arief146, sekarang sudah dimulai satu
kebijakan yakni segala kasus perkara korupsi diserahkan kepada pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor). Baik dari Penunutut Umum maupun KPK, itu semua bermuara kepada Pengadilan Tipikor. Jadi satu kebijakan sudah jelas yaitu semua perkara korupsi diserahkan kepada Pengadilan Tipikor. Lalu kenapa tidak di sisi lain yaitu kebijakan seluruh penunututan diserahkan kepada Kejaksaan. Hal tersebut benar bahwa setelah dibentuknya Pengadilan Tindak Pidana Korupsi di Indonesia, maka sudah seharusnya tidak ada dualisme hukum dalam sitem peradilan pidana. Hal tersebut juga selaras dengan Keputusan Mahkamah Konstitusi Nomor 012-016-019/PUU-IV/2006 terhadap judicial review147 diajukan oleh Mulyana W.Kusuma, dkk. Mahkamah Konstitusi dalam putusan tersebut meminta pembuat Udang-Undang harus segera mungkin melakukan penyelarasan Undang-undang KPK dengan UUD 1945 dan membentuk Undangundang tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi , sehingga dualisme sistem pengadilan tindak pidana korupsi yang telah dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dapat dihilangkan.148 Namun, untuk lebih mengoptimalkan dan mengefektifkan penanganan kasus korupsi
146
akan lebih baik apabila ditangani
Suara Pembaharuan, Jaksa Agung: Tidak Masalah Kewenangan Penuntutan di Pegang satu Lembaga, (Sp.beritasatu.com/home/jaksa-agung-tidak-masalah-kewenangan-penuntutandipegang-satu-lembaga/5205, diakses Tanggal 19 Maret 2015, pada pukul 09.00 WIB 147 Jimly Asshiddiqie, Hukum Acara Pengujian Undang-Undang, (Jakarta: PT PajarInterpratama Mandiri,2006), h. 1-2, Judicial review adalah pengujian yang dilakukan melalui mekanisme lembaga peradilan terhadap kebenaran suatu norma. 148 Tim Taskforce, Naskah Akademik dan Rancangan Undag-Undang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, (Jakarta Pusat: Konsorium Reformasi Hukum Nasional, 2008), h.1.
82
suatu lembaga mulai dari penyelidikan, penyidikan hingga sampai melakaukan penuntutan dalam penanganan suatu kasus tindak pidana korupsi , dalam hal ini ditangani oleh KPK.149 Hal ini juga akan semakin memperjelas maksud dari Pasal 53 Undang-undang KPK bahwa Pengadilan Tindak Pidana Korupsi bertugas dan berwenang
memeriksa
dan
memutuskan
tindak
pidana
korupsi
yang
penunututannya diajukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)150. Jadi , ketika Pengadilan Tindak Pidana Korupsi dipandang sebagai satu-satunya pengadilan pidana korupsi, maka KPK sangat tepat bertidak sebagai satu-satunya lembaga yang berwenang melakukan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi. Kewenangan KPK yang dinilai sangat luas, temasuk dalam hal kewenagan dibidang penuntutan tindak pidana korupsi, membuat DPR berencana merevisi Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi. Revisi Undang-undang tentang KPK yang menjasi inisiatif Komisi III tersebut berada dalam urutan keempat dalam prioritas Perogram Legislasi Nasional (Polegnas) 2011. Wakil ketua DPR dari Partai Golkar, Priyo Budi Santoso menyebutkan kalau kewenagan KPK sebagai lembaga superbody terlalu kuat151. Oleh karena itu dia berharap melalui revisi terhadap Undang-undang KPK, maka nanti bisa mamangkas kewenangan tersebut. Pro kontra kemudian bermunculan ketika Rapat Panitia Kerja (Panja) Rancangan Undang-Undang (RUU) Pengadilan
149
Ibid. h.2 Ibid. 151 Jimly Assidhhiqie, dalam Peluncuran buku Antasari Azhar yang berjudul Testimoni Antasari Azhar untuk Hukum dan Keadilan, Salah satu yang manarik yang terdapat dalam buku tersebut dimana Antasari menyebut bahwa KPK bukan merupakan lembaga „super body‟, seperti selama ini digaungkan, karena tidak ada dalam Undang-undang menyatakan bahwa KPK itu superbody. KPK itu limatitif, h.243 150
83
Tindak Pidana Korupsi pada tahun 2009 telah sepakat memangkas kewenangan penuntut yang dimiliki oleh KPK. Khusus
pengkebirian
kewenangan
penuntut
KPK
ada
sejumlah
pertimbangan dari aspek hukum, jelas usulan tersebut menyesatkan. Ada dua pertimbangan hukum yang digunakan Panja152. Pertama, kewenangan Penuntutan di KPK harus dialihkan hanya pada Kejaksaan , karena diatur di Undang-Undang Nomor 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan RI, tepatnya Pasal 1 butir (2) yaitu Penuntut Umum adalah jaksa yang diberi wewenang oleh Undang-Undang ini untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan putusan hakim. Dari pasal inilah kemudian Panja berpendapat, bahwa hanya Kejaksaan yang dapat melakukan penuntutan. Tentu saja analisis tersebut terlalu dangkal dan mengada-ada. Perhatikan kata “yang di beri wewenang oleh Undang-undang ini”, secara a contratio153, sesungguhnya dimungkinkan ada Undang-Undang lain yang juga memberikan kewenangan penuntutan pada lembaga/pihak lain. Jadi, tidak merupakan monopoli Kejaksaan. Disinilah Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK menjadi dasar hukum penting, bahwa boleh saja, KPK diberi kewenangan penuntutan.154 Kedua, karena Undang-Undang Kejaksaan RI disahkan tahun 2004, maka Undang-Undang KPK yang disahkan tahun 2002 harus dikesampingkan.
152
Rangga Trianggara Paonganan, op.cit., h.32 Hukum Online, Kapan dan Bagaimana Hakim Melakukan Penemuan Hukum?, (http:// www.hukumonline.com/klinik/detail/lt4f0aa8449485b/kapan-dan-bagaimana-hakim-melakukanpenemuan-hukum?, diakses Tanggal 19 Maret 2012 pada Pukul 10.30 WIB), Argumentum a contrario atau sering disebut a contrario, yaitu menafsirkan atau menjelaskan undang-undang yang didasarkan pada perlawanan pengertian antara peristiwa konkrit yang dihadapi dan peristiwa yang diatur dalam undang-undang. 154 Rangga Trianggara Paonganan, op.cit. 153
84
Kesesatan berpikir hukum semakin terlihat disini. Karena asas “lex posterior derogate legi priori” atau Undang-Undang yang baru mengesampingkan yang lama. Asas ini hanya berlaku jika dua Undang-undang tersebut mengatur materi yang sama. Misalnya, di tahun 1999 telah disahkan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, kemudian tahun 2001 dilakukan Revisi maka yang berlaku materi perbaikan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001.155 Sedangkan untuk Undang-Undang KPK tentu saja analisis hukumnya berbeda
yaitu,
seperti
yang
dikatakan
Mahkamah
Agung
melalui
KMA/694/RHS/XII/2004 dan diatur tegas di Undang-Undang KPK, bahwa Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 bersifat khusus. Maka berlakulah asas “lex specialis derogate legi generalis”. Artinya, Undang-undang yang bersifat khusus mengenyampingkan Undang-undang yang bersifat Umum. Karena Undang-Undang Kejaksaan RI yang mengatur secara umum keberadaan dan kewenangan
Jaksa,
maka
Undang-Undang
Kejaksaan
tersebut
dan
dikesampingkan dengan Undag-undang KPK.156 Dari dua poin itu saja, bahwa pertimbangan hukum Panja sebenarnya terlalu lemah sehingga yang menonjolkan justru kehendak mengebiri KPK atau konklusi/kesimpulan mendahului analisis. Selain itu, analisis hukum lain yang sangat penting untuk membantah sikap Panja yaitu:157 1. Adanya upaya pensiasatan melanggar konstitusi. Karena sejauh ini MK pun bahkan sudah mengakui, kewenangan penuntutan KPK sah dan konstitusional. Bagaimana mungkin kostitusi tidak setuju dengan 155
Ibid. Ibid, h.33 157 Ibid. 156
85
penguatan KPK dan upaya pemberantasan korupsi? Artinya, upaya Panja tesebut sesungguhnya bertentangan dengan sejumlah putusan MK dan rentan untuk dibatalkan kembali. 2. Memicu kekacauan hukum. Sejumlah pasal Undang-Undang KPK sesungguhnya menginginkan kesatuan aktor penyidik (polisi/non-polisi), auditor, dan jaksa penuntut umum. Pasal 21 ayat (4) Undang-undang KPK menyebutkan pimpinan KPK adalah penyidik dan penuntut umum. Hal ini berarti selain Jaksa (seperti diatur di Undang-undang Kejaksaan RI), ada penuntut umum lain yang diberikan kewenagan oleh KPK, yaitu pimpinan KPK. Sehingga ia dapat mendelegasikan kewenangan tersebut pada sejumlah jaksa yang bertugas di KPK. 3. Membuka Intervensi Politik. Kita ketahui, KPK dibentuk dan dikehendaki agar menjadi lembaga yang independen, yang bebas dari pengaruh kekuasaan manapun.158 Padahal jika kewenangan penuntutan menjadi monopoli Kejaksaan, maka sama artinya sifat independensi KPK sedang rusak dan diserang. Kurang lebih, dapat dikatakan jantung lemabaga KPK ditikam, tentu saja dapat membunuh KPK. Karena di Undang-Undang Kejaksaan RI, jelas sekali tertulis, lembaga Kejakasan berada di lingkup pemerintahan/eksekutif, bahkan Jaksa Agung sebagai pimpinan dan penanggung jawab tertinggi dipilih dan diberhentikan oleh Presiden. Artinya, jika semua kewenangan penuntut KPK ada di Kejaksaan, maka sama halnya Presiden atau kekuatan hukum politik
158
Lihat pasal 3 Undang-undang No 30 Tahun 2002 tentang KPK
86
lainnya bisa melakukan intervensi terhadap KPK. Sehingga tugas-tugas pemberantasan korupsi KPK akan mati sebelum berkembang.159 Anggota dewan dari FPKS, Nasir Djamil menilai kondisi di Indonesia saat ini masih berada dimasa transisi, kejahatan korupsi masih tinggi. Dia berpendapat bahwa penuntut umum ada di kejaksaan dan KPK pun masih bisa melakukan penuntutan. Hal itu, kata Natsir dibuktikan dengan indeks persepsi korupsi di Indonesia yang msih rendah. Artinya, tingkat korupsi di Indonesia masih tinggi, sehingga kita masih perlu tenaga lebih untuk memberantas korupsi sehingga KPK harus dipertahankan. Dalam Undang-Undang KPK juga dituliskan bahwa KPK bisa menuntut kasus korupsi karena kejahatan itu dianggap luar biasa. Memberantas korupsi tak cukup dengan menggunakan penegakan hukum konvensional, sehingga diperlukan lembaga seperti KPK.160 Kewenangan penuntutan yang ada pada KPK bukanlah mengambil alih kewenangan lembaga yaitu Kejaksaan, melainkan diberi atau mendapat kewenangan dari pembuat Undang-Undang 161 yaitu legislatif untuk memberantas tindak pidana korupsi yang saat ini sudah meresahkan masyarakat Indonesia. KPK harus dianggap sebagai kompetitor yang dijadikan pemicu oleh lembaga Kejaksaan, yang oleh sebagian besar masyarakat Indonesia semenjak reformasi menggangap bahwa performance Kejaksaan kurang maksimal dalam penanganan kasus tindak pidana korupsi. Hal yang perlu diperhatikan jug adalah kewenangan Kejaksaan melakukan penanganan terhadap tindak pidana yang bersifat secara 159
Indonesia Corupption Watch, Tolak Monopoli Kewenangan Penuntutan di Kejaksaan Agung, (http://www/antikorupsi.org, diakses pada tanggal 14 Desember 204, pukul 12.10 WIB) 160 Rangga Trianggara Paonganan, op.cit., h 33 161 Jimly Asshiddiqie, Op.cit,.hlm.198.
87
umum, sehingga ketika terjadi probabilitas perkara di Kejaksaan, ditakutkan penyelesaian bahkan tidak terselesaikan, sedangkan kasus korupsi sendiri di Indonesia harus mendapatkan prioritas penanganan dan penyelesaiannya sesuai dengan agenda reformasi bangsa Indonesia. 162 Hingga hari ini, tingginya keadaan korupsi di Indonesia paling tidak dapat dilihat dari berbagai penelitian dan survei persepsi masyarakat internasional dan juga nasional mengenai korupsi di Indonesia. Secara global, dalam sepuluh tahun terakhir, survei Transparency International (TI) menempatkan Indonesia masuk dalam kelompok negara-negara yang tinggi tingkat korupsinya. Dari Corruption Perception Index (CPI) untuk skor 10 (terbersih) hingga skor 0 (terkorup), Indonesia sejak tahun 2001 hingga 2010 selalu dibawah skor 3 atau masih tergolong negara sangat korup. Pada 2014, dengan skor CPI senilai 2,8, Indonesia berada di posisi 110 dari 178 jumlah negara yang disurvei163. Gambaran ini tidak mengalami kemajuan jika dibandingkan pada 2013.
162 163
Rangga Trianggara Paonganan, op.cit., h.34 Indonesia Corruption Watch, Modul Monitoring Penegakan Hukum, (Jakarta: 2014) h.9
88
Gambar 2. Indeks Persepsi Korupsi Indonesia di Dunia
Penilaian serupa juga dapat dilihat dari hasil survei Political & Economic Risk Consultancy atau PERC, sebuah lembaga survei berbasis di Hongkong pada Maret 2013 dimana mereka menempatkan Indonesia sebagai negara terkorup dari 16 negara di Asia Pasifik. Posisi kedua ditempati Kamboja, kemudian Vietnam, Filipina, Thailand, India, China, Malaysia, Taiwan, Korea Selatan, Makao, Jepang, Amerika Serikat, Hongkong, Australia, dan Singapura sebagai negara yang paling bersih. Hasil yang dicapai ini tidak berbeda dengan tahun sebelumnya (2013) yang juga menempatkan Indonesia sebagai negara terkorup di Asia Pasifik versi PERC. Dari persepsi masyarakat ditingkat nasional, Survei yang dilakukan oleh Lembaga Survei Indonesia (LSI) pada Oktober 2013 lalu menunjukkan masyarakat umumnya menilai tingkat korupsi di Indonesia masih tinggi dan sangat tinggi. Dari 1.824 responden di 34 provinsi yang disurvei, sebanyak 21,9 persen menyatakan kondisi korupsi Indonesia sangat tinggi dan 47,2 persen
89
lainnya menyatakan tinggi. Hanya 14,6 persen menyatakan korupsi di Indonesia masuk kategori sedang dan 4,7 persen yang menyatakan rendah dan hanya 0,4 persen menyebutkan sangat rendah.164 Gambar 3. Tingkat Korupsi Secara Nasional Menurut Survei LSI
Dilihat dari aspek kerugian keuangan negara, hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) memperlihatkan nilai penyimpangan yang terjadi di sejumlah instansi pemerintah di Indonesia sangat besar dan cenderung meningkat setiap tahunnya. Hingga tahun 2007, dari laporan audit BPK terdapat 36.009 temuan pemeriksaan dengan nilai kerugian Rp.3.657,71 triliun.165 Data terakhir menyebutkan selama semester I 2010 hingga Semester I 2013, BPK menemukan indikasi kerugian Negara senilai Rp 73,55 triliun166
164
Ibid.h.10 Badan Pemeriksa Keuangan RI, Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester (IHPS) I Tahun 2007. h. 287. 166 Indonesia Corruption Watch, op.cit., h.10, Diolah dari Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester (IHPS) Badan Pemeriksa Keuangan RI, 2010-2012 165
90
Tabel 2. Indikasi Kerugian Negara Hasil Audit BPK Semester I 2010-Semester I 2012167 Sem 1
Sem 2
Sem 1
Sem 2
Sem 1
2010
2010
2011
2011
2012
468
483
491
769
528
Potensial
7.41
11.84
28.49
16.26
9.55
Kerugian
Triliun
Triliun
Triliun
Triliun
Triliun
Objek Pemeriksaan
Indonesia Corruption Watch (ICW) dalam laporan kajian tren korupsi Semester I dan II Tahun 2010 mencatat, bahwa modus korupsi yang sering terjadi selama tahun 2010 adalah penggelapan. Tingginya modus penggelapan tersebut terkait dengan penyimpangan dana yang langsung berhubungan dengan APBD dan kepentingan masyarakat seperti dana-dana bantuan kemasyaratan (sosial), sementara modus lain yang dominan adalah modus mark-up, penyalahggunaan anggaran, proyek fiktif dan suap.168
167 168
Ibid. Dokumen ICW, diolah dari hasil pemeriksaan BPK 2010-2012. Indonesia Corruption Watch, op.cit., h.12
91
Gambar 4. Klasifikasi Modus Korupsi Di Indonesia
Sementara dari sektor yang ditangani, dapat dilihat bahwa kerugian negara tertinggi diakibatkan oleh korupsi di sektor pertambangan (senilai Rp. 566 miliar). Lima besar sektor lainnya adalah keuangan daerah (APBD): Rp 344,7 miliar (44 kasus), Energi Rp 240,3 miliar (4kasus), Pertanahan/Lahan Rp 143 miliar (18 kasus), Pajak Rp 47,3 miliar (8 kasus) dan infrastruktur Rp 40,9 miliar (53 kasus).169
169
Indonesia Corruption Watch, op.cit., h.13
92
Tabel 3. Sektor Terkorup Di Indonesia No
Sektor
Jumlah Kasus
Kerugian Negara
1
Pertambangan
1
576.0
2
Keuangan Daerah
44
344.7
3
Energi
4
240.3
4
Pertanahan dan
18
143.0
Pengadahan Lahan 5
Pajak
8
47.3
6
Infrastruktur
53
40.9
7
Pendidikan
30
39.6
8
Bantuan Bencana
3
20.1
9
Sosial Masyarakat
23
15.3
10
Perdagangan
2
14.2
Kinerja Kejaksaan dalam upaya pemberantasan korupsi di Indonesia dinilai belum optimal. Data Kejaksaan Agung RI menyebutkan;
Tabel 4. Kasus korupsi yang Ditangani Kejaksaan No
Tahun
Jumlah Kasus
Menyelamatkan Kerugian Negara
1
2006-2008
3.641
6.7 Triliun
2
2009
1.533
4.8 Triliun
3
2010
2.296
4.5 Triliun
Potensi
93
Jika dicermati kembali secara kualitas tidak banyak kasus korupsi kelas kakap (big fish) baik dari segi aktor maupun jumlah kerugian negara yang berhasil diproses hingga pada tahap penuntutan. Misalnya di dalam Penanganan perkara korupsi Bantuan Likuiditas Bantuan Indonesia (BLBI) yang merugikan keuangan negara sekitar Rp 150 triliun sejak tahun 1998 hingga tahun 2010 tidak kunjung selesai. Selain BLBI, ICW mencatat terdapat 40 kasus korupsi kelas kakap yang ditangani Kejaksaan belum jelas perkembangannya.170 Kejaksaan juga masih bersikap kompromi terhadap kepentingan politik. Kejaksaan hanya tegas terhadap pelaku korupsi yang tidak memilki handicap politik. Sedangkan terhadap mereka yang memiliki dukungan kuat secara politis, cenderung melemah. Sejumlah kasus korupsi kelas kakap dan kasus yang melibatkan Kepala Daerah dari partai politik yang berkuasa cenderung lambat seperti dalam kasus korupsi yang melibatkan Awang Farouk (Gubernur Kaltim) dan juga Agusrin Najamuddin (Gubernur Bengkulu). Sejumlah kasus korupsi kakap bahkan dihentikan penyidikannya (SP3) seperti dalam kasus korupsi BLBI yang melibatkan Gordianus Setio L, Sjamsul Nursalim, Kasus Timor Putra Nasional Tommy Soeharto, kasus pengadaan kapal VLCC dengan tersangka Laksamana Sukardi, Arifi Nawawi, Alfred Rohimone, kasus korupsi di PT Asabri yang melibatkan Tan Kian, dan kasus korupsi di KBRI Thailand yang melibatkan Muhammad Hatta Djumantoro Purbo, dan Suhaeni Kegagalan yang sama juga dialami pada saat pengembalian aset hasil korupsi 170
WIB.
http://www.kejaksaan.go.id, diakses pada Tanggal 10 Januari 2015 pada pukul 23.00
94
berupa uang pengganti. Hingga tahun 2007 dari total jumlah uang pengganti yang harus dieksekusi oleh Kejaksaan sebesar Rp 11,034 triliun dan US$ 301,45 juta yang baru tertagih Rp 4,153 triliun dan USD 189 ribu (40%). Sedangkan berdasarkan catatan BPK, yang belum dapat ditagih lebih dari separuhnya atau sebesar Rp 6,9 triliun dan USD 111,9 juta Pengelolaan uang pengganti kerugian negara yang sudah dieksekusi juga perlu mendapat perhatian khusus. Kejaksaan seringkali mengklaim telah berhasil menyelamatkan uang negara dalam jumlah besar Namun, data Departemen Keuangan menunjukkan jumlah uang yang disetorkan jauh lebih kecil dari yang sudah disetorkan. Pemberantasan korupsi yang digulirkan oleh pemerintah juga tidak diikuti dengan perbaikan sistem atau reformasi di institusi kejaksaan. Sama halnya dengan Kepolisian, Kejaksaan pun terhambat masalah izin pemeriksaan dalam penanganan perkara korupsi yang melibatkan Kepala Daerah dan Anggota Dewan. Dalam beberapa tahun terakhir, sejumlah penegak hukum ditangkap dan diproses karena dugaan suap dan korupsi. Beberapa diantaranya bahkan sudah divonis bersalah oleh pengadilan dan mendekam di Penjara. Sebut saja kasus suap terhadap Urip Tri Gunawan, Jaksa yang menangani kasus korupsi Dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia. Urip akhirnya divonis 20 tahun penjara karena terbukti suap.
95
Tabel 5. Daftar Laporan Masyarakat soal Penegakan Hukum kepada Pengawas Eksternal Lembaga
Aparatur yang
Jumlah Laporan
diawasi
Masyarakat
Keterangan
(per 2011) Komisi Kejaksan
Jaksa
1502
Sejak 2006
Komisi Kepolisian
Polisi
1192
Sejak 2007
Komisi Yudisial
Hakim
11.469
Sejak 2005
Data pembanding lainnya dapat dilihat dari laporan masyarakat yang masuk ke Satgas Pemberantasan Mafia Hukum. Hingga 12 Mei 2011, dari 4160 laporan yang masuk, institusi penegak hukum yang paling banyak dilaporkan. Kepolisian (1163 laporan- 28%), Peradian27%) dan Kejaksaan (615 laporan-15 %). Tidak dapat dipungkiri bahwa KPK telah menjadi garda terdepan pemberantasan korupsi. Meskipun dengan sejumlah catatan, kinerja yang ditunjukkan KPK setidaknya telah membangun kepercayaan publik tentang adanya lembaga penegak hukum yang secara serius melakukan pemberantasan korupsi. Khusus tahun 2010, Laporan akhir tahun KPK menyebutkan dalam bidang penindakan jumlah kasus ditingkat penyelidikan (52 kasus), penyidikan (62 kasus), penuntutan (55 kasus), perkara incraacht (34 perkara) dan eksekusi (35 perkara). Sedangkan uang negara yang diselamatkan Rp 175 miliar.171
171
Indonesia Corruption Watch, Modul Monitoring Penegakan http/antikorupsi.org , diakses pada tanggal 20 Januari 2015 pada pukul 21.00 WIB
Hukum,
96
Tabel 6. Data Penangan Korupsi oleh KPK Inkracht
2010
2011
2012
2013
2014
2015
Jumlah
Pengadilan Negeri
20
21
8
10
20
1
126
Pengadilan Tinggi
3
0
3
10
7
0
28
Mahkamah Agung
11
13
17
20
13
3
133
Jumlah
34
34
28
40
40
4
287
Hasil evalusi yang dilakukan ICW selama 2010 menunjukkan bahwa kinerja KPK kenyataannya memiliki sejumlah catatan baik positif maupun negatif. Kinerja KPK yang dapat dinilai sebagai catatan positif antara lain KPK sudah mulai menangani kasus korupsi di sektor yang dikehendaki masyarakat (korupsi politik, korupsi peradilan, korupsi perbankan) meskipun hasilnya belum maksimal. KPK juga mulai memberikan perhatian untuk menangani korupsi daerah. Tercatat 26 kasus di daerah yang ditangani KPK. Terakhir, kinerja KPK masih didukung penuh Pengadilan Tipikor. Dari 45 kasus yang dilimpahkan ke pengadilan, seluruhnya divonis bersalah, meskipun dengan tingkat hukuman badan yang bervariasi.172
172
Ibid.
97
Tabel 7. Modus Korupsi Di Indonesia yang ditangani KPK Jabatan 2010 2011 2012 2013 2014 2015 Jumlah Pengadaan Barang/Jasa 16 10 8 9 15 0 128 Perijinan 0 0 0 3 5 0 18 Penyuapan 19 25 34 50 20 6 192 Pungutan 0 0 0 1 6 1 20 Penyalahgunaan Anggaran 5 4 3 0 4 1 43 TPPU 0 0 2 7 5 0 13 Merintangi Proses KPK 0 0 2 0 3 0 5 Jumlah 40 39 49 70 58 5 419
Anggota DPR menjadi aktor yang paling banyak ditetapkan tersangka oleh KPK,
dilanjutkan
dengan
aktor
lainnya,
berlatar
belakang
direktur
swasta/pengusaha, pegawai kementrian/lembaga dan pejabat tinggi kementrian. Sedangkan catatan kritis yang bisa digarisbawahi, kemampuan KPK Jilid II masih sebatas membongkar kasus namun belum dapat menuntaskan. Sedikitnya terdapat 10 kasus korupsi yang ditangani KPK tidak menjerat pelaku secara tuntas. Umumnya yang dijerat adalah pelaku dilapangan, bukan aktor utama. Penindakan KPK juga melemah ketika berhadapan dengan pelaku yang memiliki latar belakang aparat penegak hukum, politisi, pengusaha besar,atau pihak lain yang mendapatkan dukungan politis serta menteri/anggota kabinet yang masih aktif. Misalnya kasus suap dalam Deputi Gubernur Bank Indonesia, yang dilaporkan Agus Condro, diduga karena melibatkan politisi dari partai besar maka kasusnya baru berjalan setelah dua tahun dilaporkan. Bahkan terdapat beberapa tersangka yang lebih dari 1 tahun belum diproses sama sekali. Pada aspek lain, kriminalisasi terhadap 2 Pimpinan KPK (Bibit dan Chandra) memiliki pengaruh negatif terhadap penangan perkara di KPK. Jaksa KPK juga dinilai belum maksimal melakukan penuntutan. Rata-rata tuntutan jaksa KPK di pengadilan Tipikor hanya
98
5 tahun 7 bulan penjara. Padahal untuk memberikan efek jera, tuntutan terhadap koruptor sebaiknya diberikan secara maksimal. KPK juga belum optimal menggunakan UU Tipikor untuk menjerat pelaku korupsi. Terbukti sepanjang tahun 2010, KPK tidak menggunakan pasal-pasal yang berkaitan dengan perbuatan curang dan benturan kepentingan dalam pengadaan. Dalam penuntutan terjadi selisih yang besar antara potensi kerugian negara dengan tuntutan uang pengganti/denda.173 Dari survei opini publik nasional yang dilakukan oleh LSI pada 10-12 Oktober 2010 lalu menyebutkan, dari empat lembaga, hanya KPK yang aparatnya dinilai punya integritas. Sementara aparat kepolisian, kejaksaan dan pengadilan dinilai tidak punya integritas, atau integritasnya buruk. Lembaga-lembaga tersebut tidak mampu mencegah aparatnya dari tindakan korupsi, dan dari tekanan atau suap dari kelompok kepentingan masyarakat, termasuk pengusaha, dan dari politisi atau partai politik.174
173 174
Ibid. Ibid.
99
Gambar 5. Survei Integritas Lembaga-Lembaga Penegak Hukum di Idonesia.