BAB II DASAR TEORI
Dalam bab ini dijelaskan mengenai hak atas tanah (Bab 2.1), TNI sebagai lembaga pemerintah (Bab 2.2), dan ketahanan nasional (Bab 2.3) terkait dengan status hukum tanah TNI. Bab 2.1 menjelaskan tentang seluruh peraturan mengenai hak atas tanah yang diatur dalam UUPA, serta siapa saja yang menjadi subjek hak atas tanah dan apa saja yang menjadi objek hak atas tanah. Bab 2.2 menjelaskan mengenai TNI, yaitu keseluruhan bentuk dan postur TNI. Postur TNI penting untuk diketahui karena dalam penelitian ini TNI sebagai subjek yang menggunakan tanah pengalokasian dari pemerintah dan akan diketahui status tanah yang dipakainya dalam hukum pertanahan nasional. Bab 2.3 mengenai ketahanan nasional yang menjelaskan konsep ketahanan nasional dan arti penting tanah dalam menciptakan ketahanan nasional terkait dengan pemanfaatan dan pengalokasian tanah oleh pemerintah kepada TNI sebagai alat negara untuk menciptakan ketahanan nasional.
2.1 Hak Atas Tanah Pengaturan hak-hak penguasaan atas tanah dalam hukum tanah dapat berbentuk sebagai lembaga hukum dan hubungan hukum konkret. Yang dimaksud hak atas tanah merupakan suatu lembaga hukum adalah jika hak atas tanah tersebut belum dihubungkan dengan tanah dan orang atau badan hukum tertentu sebagai pemegang haknya. Contohnya ketentuan hukum tanah yang mengatur hak-hak penguasaan tanah seperti memberi nama hak penguasaannya, menetapkan isinya, yaitu mengatur apa saja yang boleh, wajib dan dilarang untuk diperbuat oleh pemegang haknya serta jangka waktu penguasaannya, mengatur hal-hal mengenai subjeknya, siapa saja yang boleh menjadi pemegang haknya dan syarat-syarat bagi penguasaannya. Hak penguasaan atas tanah merupakan hubungan hukum konkret jika telah dihubungkan dengan tanah tertentu sebagai objeknya dan orang atau badan hukum tertentu sebagai pemegang haknya. Contohnya mengatur hal-hal mengenai pemindahan hak kepada orang lain,
9
mengatur hapusnya hak, dan mengatur hal-hal mengenai pembuktian haknya (Peranginangin, 1994).
Hukum tanah ialah hukum yang mempersoalkan masalah pertanahan atau yang terdiri dari kumpulan norma yang mengatur manusia dalam masalah pertanahan, agar tanah tersebut bermanfaat bagi kesejahteraan manusia (Triyadi, 1999). Hukum tanah juga dapat didefinisikan sebagai keseluruhan peraturan hukum, baik yang tertulis maupun tidak tertulis yang mengatur hak-hak penguasaan atas tanah yang merupakan lembaga-lembaga dan hubunganhubungan yang konkret dengan tanah (Peranginangin, 1994).
Untuk menjelaskan mengenai pengaturan hak atas tanah, maka akan dijelaskan selanjutnya pada bab 2.1.1 yaitu jenis hak atas tanah, bab 2.1.2 subjek tanah, dan bab 2.1.3 objek tanah.
2.1.1 Jenis Hak Atas Tanah
Dalam UUPA terdapat hak-hak penguasaan atas tanah, sebagai berikut : 1) Hak Bangsa Indonesia (Pasal 1); 2) Hak Menguasai dari Negara (Pasal 2); 3) Hak Ulayat masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya masih ada (Pasal 3); 4) Hak Individual a. Hak-hak atas tanah yang bersifat tetap (Pasal 4): ¾ Hak Milik (HM) (diatur dalam pasal 20 sampai dengan pasal 27 UUPA), ¾ Hak Guna Usaha (HGU) (diatur dalam pasal 28 sampai dengan pasal 34 UUPA), ¾ Hak Guna Bangunan (HGB) (diatur dalam pasal 35 sampai dengan pasal 40 UUPA), ¾ Hak pakai (HP) (diatur dalam pasal 41 sampai pasal 43 UUPA),
10
¾ Hak Sewa untuk bangunan (HS) (diatur dalam pasal 44 dan pasal 45 UUPA), b. Hak-hak atas tanah yang bersifat sementara (pasal 53 UUPA) (Halim, 1998) yakni : ¾ Hak Gadai (HG), ¾ Hak Usaha Bagi Hasil (HUBH) ¾ Hak Menumpang (HMe) ¾ Hak Sewa Tanah Pertanian (HSTP) c. Wakaf (pasal 49) d. Hak jaminan atas tanah : Hak Tanggungan (pasal 23, 33, 39, 51 dan Undang-Undang 4/1996)
2.1.1.1 Hak Bangsa Indonesia
Bab ini menjelaskan definisi hak bangsa Indonesia. Hak ini merupakan hak penguasaan atas tanah yang tertinggi dalam Hukum Tanah Nasional yang tercantum dalam pasal 1 UUPA. Hak Bangsa mengandung dua unsur, yaitu unsur kepunyaan dan unsur tugas kewenangan untuk mengatur dan memimpin penguasaan dan penggunaan tanah bersama yang dimilikinya.
2.1.1.2 Hak Menguasai Dari Negara
Dasar hak menguasai dari negara tercantum dalam pasal 2 ayat 1 UUPA, kewenangannya tercantum pada pasal 2 ayat 2 dalam huruf (a) nya terdapat kewajiban bagi pemerintah untuk menyusun suatu “rencana umum”, yang kemudian akan dirinci lebih lanjut dalam rencana-rencana regional dan daerah oleh Pemerintah Daerah. Selain kepada Pemerintah Daerah dan masyarakat hukum adat, pelimpahan pelaksanaan sebagai kewenangan Negara dapat juga dilakukan kepada badan-badan otorita, perusahaan-perusahaan negara dan perusahaan-perusahaan daerah, dengan penguasaaan tanah-tanah tertentu, yang disebut dengan Hak Pengelolaan.
11
Hak pengelolaan ialah hak yang memberi wewenang kepada si empunya untuk merencanakan pembentukan dan penggunaan tanah yang dihakinya, menggunakannya untuk diri sendiri, menyerahkan bagian-bagian dari tanah yang dihakinya kepada pihak ketiga menurut persyaratan yang ditentukan oleh pemegang hak tersebut dengan ketentuan bahwa pemberian hak kepada pihak ketiga itu dilakukan oleh pejabat yang berwenang untuk memberikan hak atas tanah (Peranginangin, 1994.a.).
Hak Pengelolaan berisikan wewenang untuk (Harsono,1997): ¾ Merencanakan
peruntukkan
dan
penggunaan
tanah
yang
bersangkutan; ¾ Menggunakan tanah tersebut untuk keperluan pelaksanaan usahanya; ¾ Menyerahkan bagian-bagian dari tanah itu kepada pihak ketiga menurut pernyataan yang ditentukan oleh perusahaan pemegang hak tersebut, yang meliputi segi-segi peruntukkan, penggunaan, jangka waktu dan keuangannya, dengan ketentuan bahwa pemberian hak atas tanah kepada pihak ketiga yang bersangkutan dilakukan oleh pejabat yang berwenang menurut peraturan menteri dalam negeri No. 6 tahun 1972 tentang “Pelimpahan Wewenang Pemberian Hak Atas Tanah, sesuai dengan peraturan perundangan agraria yang berlaku”.
Jangka waktu hak pengelolaan tidak ditentukan dan umumnya berlangsung selama tanahnya masih diperlukan oleh pemegang haknya.
2.1.1.3 Hak Ulayat
Menurut Peraturan Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 5 Tahun 1999, Hak Ulayat merupakan serangkaian wewenang
dan kewajiban suatu masyarakat hukum adat, yang
berhubungan dengan tanah yang terletak dalam lingkungan wilayahnya.
12
Wewenang dan kewajibannya ada yang termasuk bidang hukum perdata, yang berhubungan hak bersama kepunyaan atas tanah tersebut. Ada juga yang termasuk hukum publik, berupa tugas kewenangan untuk mengelola, mengatur dan memimpin peruntukkan, penguasaan, penggunaan dan pemeliharaannya.
2.1.1.4 Hak-hak Individual
Hak-hak atas tanah
Dalam UUPA terdapat kewajiban-kewajiban secara umum, artinya berlaku terhadap setiap hak atas tanah, diatur dalam (Harsono, 1997); 1. Pasal 6, yang menyatakan bahwa semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial. 2. Pasal 15 dihubungkan dengan pasal 52 ayat 1 tentang kewajiban memelihara hak atas tanah yang dihaki. 3. Pasal 10 khusus mengenai tanah pertanian, yaitu kewajiban bagi pihak yang mempunyai untuk mengerjakan atau mengusahakan sendiri secara aktif.
Berikut diterangkan wewenang, kewajiban dan larangan tiap hak atas tanah:
Hak Milik
Hak milik itu pada dasarnya (Halim, 1998): 1. Merupakan hak yang asli (jadi bukan merupakan hak turunan) dalam arti sumber langsung dari negara, serta merupakan hak yang terpenuh, terkuat dan paling sempurna bila dibandingkan hak-hak kebendaan lainnya, dalam arti pemegangnya dapat berbuat apa saja terhadap barang miliknya tersebut dengan
13
batasan sehubungan dengan adanya tata guna tanah dan kepentingan umum (Peranginangin,1994.a), misalnya: i. Mendiaminya dengan mendirikan bangunan diatasnya. ii. Mengusahakannya dengan tujuan pertanian. iii. Meminjamkan,
menyewakan
atau
mengontrakkannya (dengan segala cara) kepada pihak lain. iv. Memindahtangankan kepada pihak lain (dengan segala
cara)
misalkan
melalui
jual
beli,
pewarisan, pewasiatan, penghibahan pertukaran dan sebagainya (pasal 20 ayat (2) UUPA). v. Mewakafkan atau menyerahkan objek hak miliknya itu untuk digunakan masyarakat demi kepentingan-kepentingan keagamaan, misalkan: untuk didirikan mesjid, dibuat untuk menjadi tanah pekuburan dan sebagainya. vi. Menjadikannya sebagai jaminan hutang (pasal 25 UUPA). 2. Jangka waktunya tidak terbatas, sehingga; 3. Dapat beralih atau menurun kepada ahli waris pemegangnya tanpa batas keturunan. 4. Pemegangnya wajib menggunakan hak miliknya tersebut dengan seyogyanya dalam arti : a. Dipergunakan dengan baik, tidak melebihi batas atau disalah gunakan; b. Penggunaannya harus diusahakan agar sedapat mungkin ada manfaatnya bagi kepentingan umum baik secara langsung maupun tak langsung, mengingat setiap hak atas tanah (termasuk hak milik) tentunya mempunyai fungsi sosial (pasal 6 UUPA); c. Tidak disia-siakan atau tidak ditelantarkan.
14
Hak Guna Usaha
Hak guna usaha itu pada dasarnya (Halim,1998): 1. Merupakan hak yang asli (jadi bukan merupakan hak turunan) dalam arti bersumber langsung dari negara karena hak ini terdiri di atas tanah yang langsung dikuasai oleh negara dan memberikan
wewenang
kepada
pemegangnya
untuk
mengusahakan tanah yang bersangkutan dalam arti luas (termasuk di dalamnya perikanan, peternakan dan perkebunan). Tetapi wewenang ini hanya terbatas sampai sini saja sehingga hak guna usaha atas tanah tersebut tidak akan diberikan kalau kegiatan usahanya tidak bersumbu pada bidang pertanian. 2. Jangka waktunya terbatas : secara umum paling lama 25 tahun (dua puluh lima) tahun dan secara khusus (khusus untuk usahausaha yang memang perlu waktu lebih lama), jangka waktu hak guna usaha itu paling lama 35 (tiga puluh lima) tahun (pasal 29 ayat (1) dan (2) UUPA). Dalam keadaan yang memaksa, setiap hak guna usaha dapat diperpanjang selama 25 tahun (pasal 29 ayat (3) UUPA). 3. Dapat dijadikan jaminan hutang (pasal 33UUPA). 4. Tidak dapat diwakafkan. 5. Dapat beralih atau menurun kepada ahli waris selama jangka waktu berlakunya belum habis. 6. Dapat dipindah-tangankan (pasal 28 ayat (3) UUPA). 7. Pemilik hak berhak untuk mendirikan bangunan-bangunan di atas tanah itu sepanjang bangunan itu berkaitan dengan usaha pertanian dan peternakan (Peranginangin, 1994.a.). 8. Tidak memberi wewenang kepada yang empunya tanah untuk mengambil kekayaan alam yang terkandung di dalam tubuh bumi di bawah tanah yang dikuasai dengan hak tersebut (Harsono.,1971).
15
Hak Guna Bangunan
Hak Guna Bangunan pada dasarnya (Halim,1998): 1. Merupakan hak yang asli (jadi bukan turunan dari hak lain) dalam arti bahwa eksistensi atau adanya hak ini tidak tergantung pada hak lain yang manapun juga dan memberikan wewenang kepada pemegangnya untuk dapat mendirikan bangunan di atas tanah yang bukan miliknya sendiri. 2. Tanah yang bersangkutan dapat berupa: a. Tanah hak milik orang lain. b. Tanah yang langsung dikuasai oleh negara. 3. Jangka waktunya terbatas yakni paling lama 30 (tiga puluh) tahun pasal 35 ayat (1) UUPA, yang bila terpaksa dapat diperpanjang dengan jangka waktu paling lama 20 (dua puluh) tahun (pasal 35 ayat (2) UUPA). 4. Dapat dipindah tangankan (pasal 35 ayat (3) UUPA) 5. Dapat beralih atau menurun kepada ahli waris selama jangka waktunya belum habis. 6. Dapat dijadikan jaminan hutang (pasal 39 UUPA). 7. Tidak dapat diwakafkan. 8. Pemilik hak tidak berwenang menggunakan tanah HGB untuk tempat usaha pertanian atau peternakan (Peranginangin, 1994.a.) 9. Tidak memberi wewenang kepada yang empunya tanah untuk mengambil kekayaan alam yang terkandung di dalam tubuh bumi di bawah tanah yang dikuasai dengan hak tersebut (Harsono, 1971).
16
Hak pakai
Hak pakai pada dasarnya (Halim, 1988): 1. Hak pakai merupakan hak atas tanah yang asli (orisinal), erat kaitannya dengan hak yang lain, misalkan dari hak milik, hak menguasai negara dan sebagainya dan memberikan wewenang kepada pemegangnya untuk menggunakan tanah yang bukan miliknya, yang pada dasarnya dapat berupa; a. Tanah milik orang lain. b. Tanah yang dikuasai langsung oleh negara. 2. Jangka waktunya terbatas atau tertentu atau selama tanahnya digunakan untuk keperluan tertentu (pasal 41 ayat (2) UUPA, pasal 45 Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1996). 3. Dapat tidaknya dipindah tangankan tergantung pada perjanjian yang diadakan sebelumnya (pasal 43 ayat (2) UUPA) yakni dalam hal tanahnya adalah tanah hak milik orang lain, atau dapat dipindahtangankan kepada pihak lain dengan izin pejabat yang berwenang dalam hal tanahnya adalah tanah yang dikuasai langsung oleh negara (pasal 43 ayat (1) UUPA). 4. Tidak dapat turun temurun pada ahli waris. 5. Tidak dapat dijadikan jaminan hutang. 6. Tidak dapat diwakafkan. 7. Diperlukan untuk keperluan tempat bangunan-bangunan, dan bisa untuk pertanian (Peranginangin, 1994.a.). 8. Tidak memberi wewenang kepada yang empunya tanah untuk mengambil kekayaan alam yang terkandung di dalam tubuh bumi di bawah tanah yang dikuasai dengan hak tersebut (Harsono.,1971).
17
Hak sewa untuk bangunan
Hak sewa untuk bangunan pada dasarnya menurut pasal 44 UUPA (Halim, 1988): 1. Merupakan hak seseorang atau badan hukum yang berhak mempergunakan tanah milik orang lain untuk keperluan bangunan, dengan membayar kepada pemiliknya sejumlah uang sebagai sewa. 2. Tanah yang digunakan adalah tanah milik orang lain. 3. Pemberian imbalan dilaksanakan dengan pembayaran uang sewa yang dapat dilakukan: a. Satu kali atau pada tiap-tiap waktu tertentu b. Sebelum atau sesudah penggunaan tanah tersebut. 4. Perjanjian sewa tanah yang dimaksudkan tidak boleh disertai syarat-syarat yang mengandung pemerasan. (Peranginangin, 1979). 5. Jangka waktunya: menurut perjanjian.
Hak gadai atas tanah
Hak gadai atas tanah pada dasarnya, (Halim, 1988); 1. Merupakan suatu hak yang dimiliki oleh seorang kreditur atas tanah milik debitnya untuk dapat menguasai atau turut mengambil atau menikmati sebagian dari hasilnya selama debiturnya belum melunaskan hutangnya kepada si kreditur itu. 2. Hak gadai atas tanah merupakan suatu lembaga hukum yang berasal dari hukum adat (hukum tanah adat), dimana dalam sistem atau stelsel hukum adat dikenal adanya penggadaian tanah, baik tanah tersebut berupa tanah pertanian maupun berupa tanah untuk bangunan. 3. Selama uang gadai belum dikembalikan maka pemegang gadai berwenang untuk mempergunakan atau manfaat dari tanah
18
yang digadaikan. Mengenai tanah pertanian penguasaan itu berlangsung paling lama tujuh tahun. Pengembalian uang gadai atau yang lazim disebut “penebusan” itu tergantung pada kemauan
dan
kemampuan
pemilik
tanah
yang
menggadaikannya kecuali jika diperjanjikan lain. Hanya tanah hak milik yang dapat digadaikan. 4. Jangka waktu hak gadai untuk tanah pertanian maksimal tujuh tahun, berlangsung terus selama belum dilakukan penebusan.
Hak usaha bagi hasil
Pada dasarnya (Harsono, 1971): 1. Jangka waktunya terbatas, tiga tahun bagi sawah dan lima tahun bagi tanaman kering bisa kurang dari lima tahun jika tanah diusahakan sendiri oleh pemiliknya. 2. Tidak hapus dengan berpindahnya hak milik atas tanah yang bersangkutan kepada pihak lain. 3. Tidak hapus jika penggarap meninggal dunia. Tetapi hak itu hapus jika pemilik tanahnya meninggal dunia. 4. Didaftar menurut peraturan khusus (di kantor Kepala Desa). 5. Penggarap selama perjanjiannya berlangsung berhak untuk mengusahakan tanah yang bersangkutan dan menerima bagian dari hasil tanah itu sesuai dengan pertimbangan yang ditetapkan bagi daerahnya (Harsono, 1971). 6. Kewajiban penggarap (Harsono, 1971): ¾ Mengusahakan tanah tersebut dengan baik. ¾ Menyerahkan bagian yang menjadi hak pemilik kepadanya. ¾ Memenuhi beban-beban yang menjadi tanggungannya sebagi yang telah diuraikan di atas. ¾ Pada akhir perjanjian, ia wajib menyerahkan kembali tanahnya kepada pemilik dalam keadaan baik, artinya
19
dalam keadaan yang tidak merugikan pemilik sesuai dengan keadaan dan ukuran setempat. 7. Penggarap terlarang untuk menyerahkan penguasaan tanah yang bersangkutan kepada pihak lain tanpa izin pemilik (Harsono, 1971).
Hak menumpang atas tanah
Pada dasarnya (Harsono, 1971): 1. Hak menumpang ialah hak seseorang atau suatu pihak untuk menumpang tinggal di atas tanah milik orang lain dengan jalan: a. Mendiami rumah atau bangunan yang sudah ada di atas tanah tersebut bila bangunan itu masih kosong, atau: b. Mendirikan rumah atau bangunan sendiri untuk ditinggali bila tanah tersebut masih kosong atau belum ada bangunan apapun yang berdiri di atasnya. Tetapi bila orang yang menumpang itu sendiri yang membuat rumah atau bangunan itu, maka tentu saja rumah atau bangunan
tersebut
tidak
boleh
dibangun
secara
permanen kecuali bila pembangunannya itu berdasarkan pada kemauan atau perintah pemilik tanah yang bersangkutan. prakteknya,
Hal setiap
ini saat
disebabkan pemilik
karena tanah
pada
tersebut
memerlukan tanahnya secara keseluruhan, pihak yang menumpang itu harus segera keluar atau pergi dari situ. 2. Hanya mengenai tanah pekarangan (tanah untuk bangunan, bukan tanah pertanian). 3. Pemegang hak tidak wajib membayar sewa. 4. Bersifat turun temurun. 5. Tidak dapat dialihkan kepada pihak lain, kalaupun boleh memerlukan persetujuan lebih dulu dari empunya tanah.
20
6. Sewaktu-waktu dapat diputuskan oleh yang empunya tanah jika ia memerlukannya sendiri. 7. Pemegang hak wajib membantu pemilik tanah dalam melakukan pekerjaan desa. 8. Jangka waktunya tidak ditentukan tetapi sewaktu-waktu dapat dihentikan.
Hak Sewa Tanah Pertanian
1. Hak sewa tanah pertanian ialah hak mempergunakan tanah hak milik orang lain untuk keperluan pertanian dengan membayar kepada pemiliknya sejumlah uang untuk sewa. 2. Sewa ditetapkan dalam bentuk hasil yang jumlahnya tertentu, misalnya sekian kwintal padi, tapi umumnya para petani memilih menggunakan sistem bagi hasil. Dalam hubungan bagi hasil maka yang menerima dan mengusahakan tanah wajib menyerahkan sebagian dari hasilnya kepada pemilik menurut imbangan yang telah disetujui sebelumnya misalnya seperdua, sepertiga, jadi bukan jumlah yang tentu (Harsono, 1971).
2.1.3
Subjek Hak Atas Tanah
Pada bagian ini akan dijelaskan mengenai subjek hak atas tanah, yaitu individu atau badan hukum yang berhak memperoleh hak atas tanah. Penjelasan mengenai Subjek hak atas tanah akan disesuaikan dengan jenis-jenis hak atas tanah yang ada di bab 2.1.1.
2.1.3.1 Hak Bangsa Indonesia
Subjek dari hak bangsa ialah seluruh rakyat Indonesia sepanjang masa yang bersatu sebagai Bangsa Indonesia, yaitu generasi-generasi terdahulu, sekarang dan generasi-generasi yang akan datang.
21
2.1.3.2 Hak Menguasai Dari Negara
Subjek hak menguasai dari negara adalah negara republik Indonesia, sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat Indonesia (Harsono, 1997). Yang boleh mempunyai hak pengelolaan, menurut pasal 29 PMDN No. 5 tahun 1973 ialah dapat diberikan kepada (Peranginangin, 1979): 1. Departemen dan Jawatan-jawatan pemerintah. 2. Badan-badan hukum yang ditunjuk oleh pemerintah;
2.1.3.3 Hak Ulayat Pemegang Hak Ulayat adalah masyarakat hukum adat.
2.1.3.4 Hak-hak Individual.
Hak-hak atas tanah
Yang dapat menjadi pemegang hak milk, pada prinsipnya (Peranginangin, 1979): 1. Warga negara Indonesia tunggal (pasal 21 ayat 1 jo ayat 4 UUPA). Hak milik hanya boleh dipunyai orang-orang baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain. 2. Badan hukum yang ditetapkan oleh pemerintah (pasal 21 ayat (2) UUPA), yang tentu saja badan hukum Indonesia. Sebenarnya badan hukum tidak boleh mempunyai tanah dengan hak milik (pasal 21 ayat (2) UUPA), kecuali yang ditunjuk berdasarkan Peraturan Pemerintah No.38 tahun1963 ialah: a. Bank-bank yang didirikan oleh Negara. b. Perkumpulan-perkumpulan Koperasi pertanian yang didirikan berdasarkan Undang-Undang No.79 tahun 1958. c. Badan-badan
keagamaan
yang
ditunjuk
oleh
Menteri
Pertanian/Agraria setelah mendengar Menteri Agama;
22
d. Badan-badan
sosial
yang
ditunjuk
oleh
Menteri
Pertanian/Agraria setelah mendengar Menteri Sosial;
Khusus untuk tanah pertanian terdapat syarat-syarat khusus bagi subjeknya, baik perseorangan maupun badan hukum yaitu sebagai berikut: 1.
Syarat-syarat bagi perorangan berdasarkan Pasal 21 ayat 1 UUPA yo UU No. 56 Prp. 1960 yo PP No.224/1961 yo PP No.41/1964 (Peranginangin, 1979): a. WNI tunggal. b. Bertempat tinggal di kecamatan dimana tanah-tanah pertanian itu terletak. Boleh di kecamatan yang berdampingan asal terjamin penggunaannya secara efisien. c. Penguasaan orang itu atas tanah pertanian tidak boleh lebih dari batas maksimum yang ditentukan untuk daerah setempat.
2.
Syarat-syarat bagi badan hukum berdasarkan PP No.38 tahun 1963 (Peranginangin, 1979): a. Bentuknya : Koperasi yang didirikan menurut UU No. 79/1958. b. Usahanya : bidang pertanian, dan tanah itu dipergunakan untuk pertanian. c. Wilayah kerjanya : berada dalam suasana pedesaan. d. Luasnya tanah yang dimiliki; terbatas sampai batas maksimum yang dimaksudkan UU No. 56 Prp.1960.
Yang tidak boleh mempunyai hak milik ialah (Peranginangin, 1979): 1. Orang asing yang sesudah berlakunya undang-undang ini memperoleh hak milik karena pewarisan tanpa wasiat atau percampuran harta karena perkawinan, demikian pula warga negara Indonesia yang mempunyai hak milik dan setelah berlakunya undang-undang ini kehilangan kewarganegaraannya wajib melepaskan hak itu didalam jangka waktu satu tahun sejak diperolehnya hak tersebut atau hilangnya kewarganegaraan itu. Jika sesudah jangka waktu tersebut
23
lampau hak milik itu tidak dilepaskan, maka hak tersebut hapus karena hukum dan tanahnya jatuh kepada negara, dengan ketentuan bahwa hak-hak pihak lain yang membebaninya tetap berlangsung. 2. Selama seseorang disamping kewarganegaraan Indonesia mempunyai kewarganegaraan asing maka ia tidak dapat mempunyai tanah dengan hak milik dan baginya berlaku ketentuan No.1 diatas.
Sedangkan bagi hak guna usaha (pasal 30 ayat 1) dan hak guna bangunan (pasal 36 ayat 1) yang mempunyai hak ialah (Halim, 1988): 1. Warga negara Indonesia. 2. Badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia.
Bagi hak pakai atas tanah (menurut pasal 42) dan hak sewa untuk bangunan (menurut pasal 45) yang menjadi subjek dan pemegangnya adalah (Halim, 1988): 1. Warga negara Indonesia. 2. Orang asing yang berkedudukan di Indonesia. 3. Badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia. 4. Badan hukum asing yang mempunyai perwakilan di Indonesia.
Yang boleh mempunyai hak gadai atau hak gadai menggadai tanah hanya dilakukan di antara orang-orang Indonesia asli, akan tetapi berhubung dengan adanya azaz yang ditetapkan dalam pasal 9 ayat 2, yang menandakan perbedaan antara warga negara asli dan keturunan asing dalam memperoleh sesuatu hak atas tanah, maka kiranya hak gadai sesudah berlakunya UUPA dapat juga dipunyai oleh para warga negara Indonesia keturunan asing (Peranginangin, 1979).
Bagi hak usaha bagi hasil, yang boleh mempunyai hak tersebut ialah penggarap yaitu pada azaznya hanya perseorangan, dalam pasal 2
24
Undang-Undang No. 2 tahun 1960 atau Undang-Undang Perjanjian Bagi Hasil (UUPBH) ia haruslah seorang petani (menurut azaz pasal 9 UUPA) haruslah seorang warga negara Indonesia, yang tanah garapannya, baik kepunyaan sendiri maupun yang diperolehnya secara menyewa, dengan perjanjian bagi hasil ataupun secara lainnya tidak akan lebih dari sekitar tiga hektar. Kalau melebihi tiga hektar diperlukan ijin dari kepala desa (Harsono, 1971).
Yang boleh mempunyai menjadi pemegang hak menumpang ialah perseorangan, warga negara Indonesia, baik asli maupun keturunan asing. Umumnya orang-orang yang menumpang itu orang-orang yang tidak mampu (Harsono, 1971). Sedangkan yang mempunyai hak sewa untuk tanah pertanian adalah sama dengan subjek hak sewa untuk bangunan (Harsono, 1971).
Semuanya itu dapat disimpulkan dalam berbagai ketentuan sebagai berikut (Harsono, 1997): 1. Ketentuan pokok, yaitu : pasal 9, bahwa: Hanya warga negara Indonesia dapat mempunyai hubungan yang sepenuhnya dengan bumi, air dan ruang angkasa, dalam batas-batas ketentuan pasal 1 dan 2. Tiap-tiap warga negara, baik laki-laki maupun wanita, mempunyai kesempatan yang sama untuk memperoleh sesuatu hak atas tanah seta untuk mendapat manfaat dan hasilnya, baik bagi diri sendiri maupun keluarganya. 2. Ketentuan-ketentuan umum, terdapat beberapa asas umum sebagai berikut: a.
Dalam hukum tanah nasional tidak ada kebebasan dalam pemindahan hak atas tanah, karena bagi tiap hak atas tanah ditentukan syarat yang harus dipenuhi subjeknya. Contohnya jika ingin mendapatkan suatu hak atas tanah dari suatu tanah milik orang lain, maka harus melalui beberapa syarat, misalnya syarat jual beli atau sewa menyewa.
25
b.
Tiap warga negara Indonesia diperbolehkan menguasai tanah dengan hak apapun, kecuali jika secara tegas ada larangan yang tidak memungkinkannya.
c.
Tidak diadakan perbedaan antara sesama warga negara Indonesia, yang didasarkan atas perbedaan ras atau kelamin, melainkan atas perbedaan kedudukan ekonomi yang kuat dan lemah. Dalam arti akan diberikan jaminan perlindungan bagi kepentingan golongan ekonomis yang lemah serta persamaan perlakuan terhadap laki-laki dan wanita (pasal 9 dan 11).
d.
Bagi badan-badan hukum dan orang-orang asing hanya terbuka kemungkinan menguasai tanah dan sesuatu hak, jika hal itu secara tegas disebut dalam peraturan yang bersangkutan.
e.
Dalam hukum tanah nasional status hukum tanah tidak mengikuti status hukum pemegang haknya. Yang dimaksud status hukum tanah ialah status hak penguasaan atas tanah, dan yang dimaksud dengan status hukum pemegang haknya ialah status sebagai status dihadapan pidana dan perdata hukum. Contohnya, seorang tersangka kasus hukum dapat memiliki hak milik atas suatu bidang tanah.
f.
Biarpun mempunyai eksistensi tersendiri, bagi terciptanya dan kelangsungan
keberadaannya,
sesuatu
hak
atas
tanah
dipengaruhi oleh status calon pemegang hak atau pemegang haknya. Yang dimaksud status pemegang hak atas tanah adalah status dalam strata tingkatan tertentu. Contohnya, seorang berstatus pegawai departemen pemerintah diberikan hak pakai atas tanah dari departemen pemerintah tersebut. 3. Ketentuan-ketentuan khusus, yaitu: a.
UUPA menentukan sikap khusus terhadap warga negara Indonesia yang berkewarganegaraan ganda. Contohnya pada pasal 26 ayat 2 dan pasal 54 UUPA.
b.
Pekerjaan seseorang ada kalanya merupakan faktor penentu untuk bisa mempunyai sesuatu hak atas tanah. Contohnya
26
seorang pegawai departemen diberikan hak pakai atas suatu tanah dan bangunan dinas dari departemennya sebagai salah satu
fasilitas
departemen
sehingga
pegawai
tersebut
mempunyai hak pakai atas tanah dan bangunan tersebut. c.
Tempat tinggal seseorang juga bisa merupakan faktor penentu untuk dimungkinkannya mempunyai seseuatu hak atas tanah.
2.1.4 Objek Hak Atas Tanah
Dalam hukum tanah terdapat pengaturan tentang objek tanah yang menjelaskan mengenai tanah sebagai objek dari suatu hukum tanah. Pengaturan tentang objek tanah menjelaskan syarat tanah yang dapat menjadi hak dari subjek tanah yang ada. Objek hak atas tanah dijelaskan sesuai dengan jenis-jenis hak atas tanah yang ada di bab 2.1.1.
2.1.4.1 Hak Bangsa Indonesia
Objek hak atas tanah dari hak bangsa meliputi semua tanah yang ada dalam wilayah Negara Republik Indonesia.
2.1.4.2 Hak Menguasai dari Negara
Hak menguasai dari negara meliputi semua tanah dalam wilayah Republik Indonesia, baik tanah-tanah yang tidak atau belum maupun yang sudah dihaki dengan hak-hak perorangan. Sedangkan luas tanah yang dapat dihaki hak pengelolaan tidak dibatasi, sehingga dapat diberikan sesuai dengan keperluan (Peranginangin, 1979).
2.1.4.3 Hak Ulayat
Yang menjadi objek hak ulayat adalah semua tanah dalam wilayah masyarakat hukum adat yang bersangkutan.
27
2.1.4.4 Hak-hak Individual
Tanah
meerupakan
tempat
membangun
suatu
bangunan,
tempat
tumbuhnya tanaman. Beberapa ketentuan tanah yang dapat dijadikan hak atas tanah:
Hak-hak atas tanah
Hak Milik Untuk tanah pertanian tidak lebih dari 20.000 m2 sedangkan untuk tanah bangunan atau perumahan tidak lebih dari 2.000 m2, yang berwenang memberikan hak milik diatas adalah Gubernur atau Kepala Daerah. Untuk tanah pertanian yang luasnya lebih dari 20.000 m2 dan tanah bangunan yang luasnya lebih dari 2.000 m2, yang berwenang memberikan adalah Menteri Dalam Negeri (Peranginangin, 1979).
Hak Guna Usaha
Menurut pasal 28 ayat 2 UUPA Hak Guna Usaha diberikan atas tanah yang luasnya paling sedikit lima hektar, jika luasnya 25 hektar atau lebih harus memakai investasi modal yang layak dan teknik perusahaan yang baik, sesuai dengan perkembangan jaman (Peranginangin, 1979). Hak guna usaha yang berasal dari konversi khususnya konversi hak-hak Indonesia sebagai yang dimaksudkan dalam pasal 2 ayat 2 ketentuan-ketentuan konversi tanahnya biasanya kurang dari lima hektar (Harsono, 1971).
Hak Guna Bangunan
Ketentuan tanah untuk hak guna bangunan, luasnya tidak lebih dari 2.000 m2, diberikan kepada WNI dan badan hukum yang bukan bermodal asing yang berwenang memberikan ialah Gubernur atau Kepala daerah. Selainnya disebut di
28
atas
yang
berwenang
memberikannya
ialah
Menteri
Dalam
Negeri
(Peranginangin, 1994).
Hak pakai
Menurut Pasal 14 Peraturan Menteri Muda Agraria No. 15 tahun 1959 menetapkan batas maksimal luas tanah yang dikenai hak pakai 10 hektar, kecuali kalau ada ijin menteri (Harsono, 1971). Jika hak pakai diberikan kepada WNI atau badan hukum Indonesia yang bukan bermodal asing, luas tanahnya tidak lebih dari 2.000 m2, yang berwenang memberikan ialah Gubernur atau Kepala Daerah (Peranginangin, 1979).
Hak Sewa
Untuk tanah pertanian, jumlah tanah yang dikuasai dengan hak sewa terkena ketentuan tentang luas maksimum yang ditetapkan berdasarkan undangundang No. 56 Prp. Tahun 1960, yaitu: 1.
Di daerah yang tidak padat, luas maksimum pemilikan : 15 hektar untuk sawah atau setara dengan 20 hektar untuk tanah kering;
2.
Di daerah yang kurang padat, luas maksimum pemilikan : 10 hektar untuk sawah atau setara dengan 12 hektar untuk tanah kering;
3.
Di daerah yang cukup padat, luas maksimal pemilikan: 7,5 hektar untuk sawah atau setara dengan 9 hektar untuk tanah kering;
4.
Di daerah yang sangat padat (umumunya Pulau Jawa) luas maksimal pemilikan tanah: 5 hektar untuk sawah atau setara dengan 6 hektar untuk tanah kering.
Hak Gadai
Untuk tanah pertanian, jumlah luas tanah yang dikuasai dengan hak gadai terkena ketentuan tentang maksimum yang diterapkan dalam Undang-Undang No. 56 Prp Tahun 1960, dengan ketentuan sama seperti di atas (Harsono, 1971).
29
Hak Usaha Bagi Hasil
Luas tanahnya tidak boleh dari tiga hektar, kecuali jika mendapat ijin dari Menteri Dalam Negeri atau Direktur Jenderal Agraria atau camat yang bersangkutan (Harsono, 1971).
Dari ketentuan di atas, dapat disimpulkan terdapat ketentuan-ketentuan sebagai berikut (Harsono, 1997): 1. Ketentuan pokok, diatur dalam pasal 4 yaitu, bahwa hak atas tanah adalah hak atas permukaan bumi, yang disebut “tanah”. Kewenangan menggunakan tanah yang dihaki, meliputi juga kewenangan untuk menggunakan sebagian tubuh bumi yang ada di bawahnya dan sebagian ruang yang ada di atasnya. 2. Ketentuan-ketentuan khusus, dibagi tiga yaitu: a. Ketentuan khusus mengenai jenis tanahnya. Ada hak-hak atas tanah yang objeknya terbatas pada tanah-tanah pertanian seperti HGU dan HUBH (pasal 28 dan 53). Ada yang khusus diperuntukkan bagi tanah-tanah bangunan, seperti HGB dan HS untuk bangunan (pasal 53 dan 44). Sebagian besar hak-hak atas tanah objeknya bisa tanah pertanian maupun tanah bangunan, seperti Hak Milik, Hak pakai, Hak Gadai dan lain-lainnya (pasal 20, 41, dan 53) b. Ketentuan khusus mengenai letak tanahnya. Ketentuan tersebut diadakan dalam rangka melarang pemilikan tanah pertanian secara “guntai” (pasal 3 Prp No. 224 tahun 1961). c. Ketentuan khusus mengenai luas tanah yang dihaki. Tidak dibenarkan pemilikan dan penguasaan tanah yang melampaui batas yang ditetapkan (pasal 7). Atau untuk tanah pertanian tidak dibenarkan mengadakan perbuatan hukum yang mengakibatkan tanah yang dimiliki menjadi kurang dari batas minimum yang ditetapkan (pasal 9 UU No. 56 Prp 1960 tentang penetapan luas tanah pertanian).
30
d. Ketentuan mengenai lamanya tanah yang dikuasai. Diatur dalam pasal 21 ayat 3, 30 ayat 2 dan 36 ayat 2. batas waktu penguasaan tanah pertanian dalam pasal 6 UU No. 56 Prp 1960. dalam pasal 7 UU 56 Prp 1960 diadakan ketentuan, bahwa jika gadai sudah berlangsung 7 tahum, tanah yang bersangkutan wajib dikembalikan kepada pemberi gadai, tanpa pembayaran uang tembusan.
Wakaf
Dalam pasal 49 UUPA yang ditegaskan lagi dalam pasal 4 PP 28/1977, bahwa tanah yang dapat diwakafkan terbatas pada tanah yang berstatus hak milik. Jika yang akan diwakafkan itu bukan tanah Hak Milik, tanah yang bersangkutan harus ditingkatkan dahulu menjadi Hak Milik (Harsono, 1997).
Hak Tanggungan
Objek Hak tanggungan ialah (Harsono, 1997): 1. Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan (pasal 25, 33, dan 39 UUPA). 2. Hak pakai atas tanah negara. 3. Bangunan rumah susun dan Hak Milik Atas satuan Rumah Susun yang berdiri di atas tanah Hak Milik, Hak Guna Bangunan atau hak pakai yang diberikan oleh negara.
Salah satu pihak yang menggunakan tanah di Indonesia adalah Departemen Pertahanan. Tanah yang digunakan oleh Departemen Pertahanan diserahkan kepada TNI. Dalam bahasan ini diterangkan mengenai struktur tubuh TNI dan departemen petahanan.
31
2.2 TNI Sebagai Lembaga Pemerintah
Tentara Nasional Indonesia dibentuk sebagai alat pertahanan negara adalah segala usaha untuk menegakkan kedaulatan negara, mempertahankan keutuhan wilayah negara kesatuan Indonesia, yang bertugas melaksanakan kebijakan
pertahanan
negara
untuk
menegakkan
kedaulatan
negara,
mempertahankan keutuhan wilayah, dan melindungi keselamatan bangsa, menjalankan operasi militer untuk perang dan operasi militer selain perang, serta ikut secara aktif dalam tugas pemeliharaan perdamaian regional dan internasional.
TNI dibangun dan dikembangkan secara profesional sesuai kepentingan politik negara, mengacu pada nilai dan prinsip demokrasi, supremasi sipil, hak asasi manusia, ketentuan hukum nasional, dan ketentuan hukum internasional yang sudah diratifikasi, dengan dukungan anggaran belanja negara yang dikelola secara transparan dan akuntabel.
2.2.1 Jati Diri, Kedudukan, dan Fungsi TNI
Jati diri TNI sebagai tentara rakyat, tentara pejuang, tentara nasional, dan tentara profesional. TNI sebagai tentara rakyat, yaitu tentara yang anggotanya berasal dari warga negara Indonesia. Yang dimaksud sebagai tentara rakyat adalah tentara yang berasal dari rakyat bersenjata yang berjuang melawan penjajah untuk merebut dan mempertahankan kemerdekaan pada perang kemerdekaan tahun 1945-1949 dengan semboyan “merdeka atau mati”. Rakyat yang menjadi dasar terbentuknya TNI pada saat itu adalah bekas prajurit hindia belanda dan jepang, antara lain Heiho, dan PETA serta berasal dari rakyat, yaitu barisan pemuda, hisbullah, sabilillah, dan pelopor, disamping laskar-laskar dan tentara pelajar yang tersebar di daerah-daerah lain, baik yang sudah maupun yang belum memperoleh latihan militer, yang keseluruhannya terhimpun dalam Badan Keamanan Rakyat (BKR). Dalam proses perjalanan sejarah serta penataan untuk mendukung profesionalisme dan mengakomodasi potensi kekuatan perjuangan, maka dilakukanlah penyempurnaan organisasi. BKR berubah menjadi Tentara
32
Keamanan Rakyat (TKR) yang berubah lagi menjadi Tentara Keselamatan Rakyat (TKR), kemudian menjadi Tentara Republik Indonesia (TRI), dan terakhir mulai tanggal 3 Juni tahun 1947 menjadi Tentara Nasional Indonesia (TNI). Dalam perkembangannya, pada tanggal 21 Juni tahun 1962, TNI pernah berubah nama menjadi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI). ABRI terdiri dari Angkatan Darat, Angkatan Laut, Angkatan Udara, dan Kepolisian Negara Republik Indonesia. Pada tahun 2000 ABRI kembali berubah menjadi TNI setelah dikeluarkannya Ketetapan MPR No. VI/MPR/2000 tentang Pemisahan Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia. Dalam jati dirinya TNI sebagai Tentara Rakyat berarti bahwa anggota TNI direkrut dari warga negara Indonesia.
Tentara Pejuang, yaitu tentara yang berjuang menegakkan Negara Kesatuan Indonesia dan tidak mengenal menyerah dalam melaksanakan dan menyelesaikan tugasnya. Yang dimaksud dengan tentara pejuang adalah bahwa TNI dalam melaksanakan tugasnya berjuang menegakkan dan mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Secara moral, berjuang memiliki makna tidak mengenal menyerah terhadap setiap tantangan tugas yang dilaksanakan. Pemahaman “tidak mengenal menyerah” di sini berarti tidak menyerah kepada lawan dalam konteks taktik dan strategi perang. Tidak mengenal menyerah berarti bahwa setiap upaya untuk mencapai tujuan harus selalu diusahakan dengan terukur.
Tentara Nasional, yaitu tentara kebangsaan Indonesia yang bertugas demi kepentingan negara di atas kepentingan daerah, suku, ras, dan golongan agama. TNI mengutamakan kepentingan nasional dan bangsa diatas semua kepentingan daerah, suku, ras, dan golongan agama.
Tentara Profesional, yaitu tentara yang terlatih, terdidik, diperlengkapi secara
baik,
tidak
berpolitik
praktis,
tidak
berbisnis,
dan
dijamin
kesejahteraannya, serta mengikuti kebijakan politik negara yang menganut prinsip demokrasi, supremasi sipil, hak asasi manusia, ketentuan hukum nasional, dan
33
hukum internasional yang telah diratifikasi. Yang dimaksud dengan tentara profesional adalah tentara yang mahir menggunakan peralatan militer, mahir bergerak, dan mahir menggunakan alat tempur, serta mampu melaksanakan tugas secara terukur dan memenuhi nilai-nilai akuntabilitas. Untuk itu tentara perlu dilatih dalam menggunakan senjata dan peralatan militer lainnya dengan baik, dilatih manuver taktik secara baik, dididik dalam ilmu pengetahuan dan Teknologisecara baik, dipersenjatai dan dilengkapi dengan baik, serta kesejahteraan prajuritnya dijamin oleh negara sehingga diharapkan mahir bertempur. Tentara tidak berpolitik praktis dalam arti bahwa tentara hanya mengikuti politik negara, dengan mengutamakan prinsip demokrasi, supremasi sipil, hak asasi manusia, ketentuan hukum nasional, dan ketentuan hukum internasional yang telah diratifikasi.
Yang dimaksud dengan supremasi sipil adalah kekuasaan politik yang dimiliki atau melekat pada pemimpin negara yang dipilih rakyat melalui hasil pemilihan umum sesuai dengan asas demokrasi. Supremasi sipil dalam hubungannya dengan TNI berarti bahwa TNI tunduk pada setiap kebijakan dan keputusan politik yang ditetapkan presiden melalui proses mekanisme ketatanegaraan.
Dalam pengerahan dan penggunaan kekuatan militer, TNI berkedudukan di bawah Presiden (kekuasaan TNI dibawah Presiden). Dalam kebijakan dan strategi pertahanan serta dukungan administrasi, TNI di bawah koordinasi Departemen Pertahanan. Segala sesuatu yang berkaitan dengan perencanaan strategis yang meliputi aspek pengelolaan pertahanan negara, kebijakan penganggaran, pengadaan, perekrutan, pengelolaan sumber daya nasional, serta pembinaan teknologi industri pertahanan yang diperlukan oleh TNI dan komponen pertahanan lainnya, sedangkan pembinaan kekuatan TNI berkaitan dengan pendidikan, latihan, penyiapan kekuatan, doktrin militer berada pada Panglima TNI dengan dibantu para Kepala Staf Angkatan. Dalam rangka pencapaian efektivitas dan efisiensi pengelolaan pertahanan negara, institusi TNI berada dalam Departemen Pertahanan.
34
TNI terdiri atas TNI Angkatan Darat, TNI Angkatan Laut, dan TNI Angkatan Udara yang melaksanakan tugasnya secara matra atau gabungan di bawah pimpinan Panglima. Tiap-tiap angkatan mempunyai kedudukan yang sama dan sederajat. TNI berperan sebagai alat negara dibidang pertahanan yang dalam menjalankan tugasnya berdasarkan kebijakan dan keputusan politik negara.
TNI sebagai alat pertanahan negara, berfungsi sebagai: a. Penangkal terhadap setiap bentuk ancaman militer dan ancaman bersenjata dari luar dan dalam negeri terhadap kedaulatan, keutuhan wilayah, dan keselamatan bangsa. b. Penindak terhadap setiap bentuk ancaman. c. Pemulih terhadap kondisi keamanan negara yang terganggu akibat kekacauan keamanan.
Dalam melaksanakan fungsinya TNI merupakan komponen utama sistem pertahanan negara. Tugas pokok TNI adalah menegakkan kedaulatan negara, mempertahankan keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, serta melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia dari ancaman dan gangguan, terhadap keutuhan bangsa dan negara.
2.2.2 Postur dan Organisasi TNI
Postur TNI dibangun dan dipersiapkan sebagai bagian dari postur pertahanan negara untuk mengatasi setiap ancaman militer dan ancaman bersenjata. Postur TNI dibangun dan dipersiapkan sesuai dengan kebijakan pertahanan negara.
Organisasi TNI terdiri atas Markas Besar TNI yang membawahkan Markas Besar TNI Angkatan Darat, Markas Besar TNI Angkatan Laut, Markas Besar TNI Angkatan Udara. Markas Besar TNI terdiri atas unsur pimpinan,
35
pembantu pimpinan, unsur pelayanan, badan pelaksana pusat, dan Komando Utama Operasi. Dalam organisasi pemerintah Indonesia, TNI berada dibawah Departemen Pertahanan. Berikut ini dijelaskan struktur Departemen Pertahanan, dan struktur TNI:
36
Struktur Departemen Pertahanan RI
Gambar 2.1 Struktur Organisasi Dephan
37
Struktur Tentara Nasional Indonesia PANGLIMA
STAF UM
ITJEN
SRENUM
SAHLI
SATKOM LEK STAF INTEL
STAF OPS
STAF PERS
STAF LOG
PUSKODAL
SPROGAR SETUM
STAF KOMLEK
STAF TER
DENMA SPRI
SESKO TNI
BAIS TNI
PASPAMPRES
MAKO AK
BABIN KUM
PUSPOM
TNI
PUSPEN TNI
PUS JARAH
PUSKU TNI
TNI AD
TNI AL
BABEK
PUSKES
TNI
TNI
PUSBINTAL
TNI
TNI AU
KOHANUDNAS
Gambar 2.2 Struktur Organisasi TNI
38
Keterangan bagan :
1. Pimpinan
:
Panglima TNI
2. Staf Umum
:
Kepala Staf Umum
3. Inspektorat Jenderal
:
Irjen TNI
4. Staf Perencanaan Umum
:
Asisten Perencanaan Umum
5. Staf Ahli
:
Koordinator Staf Ahli
6. Staf Intelijen
:
Asisten Intelijen
7. Staf Logistik
:
Asisten Logistik
8. Staf Operasi
:
Asisten operasi
9. Staf Personalia
:
Asisten Personalia
10. Staf Teritorial
:
Asisten Teritorial
11. Staf Komunikasi Elektronik:
AsistenKomunikasiElektronik
12. Pusat Komando Pengendalian:
Kepala Puskodal
13. Sekretariat Umum
:
Kepala Setum
14. Datasemen Markas
:
KomandanDatasemen Markas
15. Staf Pribadi
:
Koordinator Spri
16. Sekolah Staf & Komando :
Komandan Jenderal Sesko
17. Badan Intelijen Strategis :
Kepala Bais
18. Markas Komando Akademik:
Dan Komando Akademik
19. Badan Pembinaan Hukum:
Kepala Babinkum
20. Pusat Polisi Militer
:
Danjen Polisis Militer
21. Pusat Sejarah
:
Kepala Pusjarah
22. Badan Perbekalan
:
Kepala Babek
23. Pusat Kesehatan
:
Kepala Puskes
24.Pasukan Pengawal Presiden:
Danjen Paspampres
25. Pusat Penerangan
:
Kepala Puspen
26. Pusat Keuangan
:
Kepala Pusku
27. Pusat Pembinaan Mental :
Kepala Pusbintal
28. Komando Pertahanan Udara:
Panglima Kohanudnas
29. TNI AD, TNI AL, TNI AU:
Kepala Staf Angkatan
39
2.2.3 Ketentuan Hukum TNI
Hukum militer dibina dan dikembangkan oleh pemerintah untuk kepentingan penyelenggaraan pertahanan negara. Hukum militer dibina oleh Badan Pembinaan Hukum TNI.
Yang dimaksud hukum militer adalah semua perundang-undangan nasional yang subjek hukumnya adalah anggota militer atau orang yang dipersamakan sebagai militer berdasarkan perundang-undangan yang berlaku. Disamping itu segala hukum dan ketentuan perundang-undangan yang dipakai sebagai dasar pelaksanaan tugas TNI dalam melaksanakan fungsi pertahanan negara dikategorikan sebagai hukum militer. Hukum militer sebagaimana dimaksud di atas perlu dicapai kesatuan hukum, kepastian hukum dan kodifikasi hukum. Oleh sebab itu, hukum militer tersebut perlu dibina dan dikembangkan oleh departemen yang melaksanakan fungsi pemerintahan di bidang pertahanan negara.
Prajurit TNI tunduk pada ketentuan hukum yang berlaku bagi prajurit. Hukum yang dimaksud adalah hukum administrasi, hukum disiplin dan hukum pidana yang berlaku bagi prajurit termasuk peraturan khusus yang dikeluarkan oleh pimpinan lembaga pendidikan yang bersangkutan. Prajurit TNI tunduk kepada kekuasaan peradilan militer dalam hal pelanggaran hukum pidana militer dan tunduk kepada kekuasaan peradilan umum dalam hal pelanggaran hukum pidana umum yang diatur dengan undang-undang. Apabila kekuasaan peradilan umum sebagai mana dimaksud diatas tidak berfungsi, maka prajurit TNI tunduk di bawah kekuasaan peradilan yang diatur dengan undang-undang.
2.2.4 Pembiayaan TNI
TNI dibiayai dari anggaran pertahanan negara yang berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Keperluan anggaran diajukan oleh Departemen Pertahanan.
40
Dalam hal pemenuhan dukungan anggaran TNI, Panglima mengajukan kepada Menteri Pertahanan untuk dibiayai seluruhnya dari APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara). Dalam hal pemenuhan dukungan anggaran operasi militer yang bersifat mendesak, Panglima mengajukan anggaran kepada Menteri Pertahanan untuk dibiayai dari anggaran kontijensi yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Dukungan dimintakan persetujuan oleh menteri pertahanan kepada Dewan Perwakilan Rakyat.
TNI wajib mengelola anggaran pertahanan negara yang dialokasikan oleh pemerintah.
TNI
wajib
mempertanggungjawabkan
pengelolaan
anggaran
pertahanan negara, kepada Menteri Pertahanan. Pengelolaan anggaran pertahanan negara dilakukan berdasarkan prinsip akuntabilitas, pertanggung jawaban, serta efisiensi untuk menerapkan tata pemerintahan yang baik. Pengelolaan anggaran pertahanan negara oleh TNI dilaksanakan berdasarkan peraturan perundangundangan. Pengawasan dan pemeriksaan pengelolaan anggaran pertahanan negara oleh TNI dilakukan oleh BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) Republik Indonesia.
2.3 Konsep Ketahanan Nasional
Konsepsi ketahanan nasional adalah konsepsi pengembangan kekuatan nasional melalui pengaturan dan penyelenggaraan kesejahteraan dan keamanan yang seimbang, serasi dan selaras dalam seluruh aspek kehidupan secara utuh dan terpadu berlandaskan Pancasila dan UUD 1945 dan wawasan nusantara dengan kata lain konsepsi ketahanan nasional merupakan pedoman untuk meningkatkan keuletan
dan
ketangguhan
bangsa
yang
mengandung
kemampuan
mengembangkan kekuatan nasional dengan pendekatan kesejahteraan dan keamanan. Kesejahteraan dapat digambarkan sebagai kemampuan bangsa dalam menumbuhkan dan mengembangkan nilai-nilai nasionalnya demi sebesarbesarnya kemakmuran yang adil dan merata, rohaniah dan jasmaniah. Sedangkan keamanan adalah kemampuan bangsa melindungi nilai-nilai nasional terhadap ancaman dari luar maupun dari dalam (Lumintang, 2001).
41
Konsep ketahanan nasional ini mempengaruhi segala aspek penggunaan kemampuan pertahanan yang diatur dalam UUD 1945. salah satu kemampuan pertahanan adalah penggunaan tanah untuk membantu kegiatan pertahanan negara. Didalam konsep ketahanan nasional terdapat penjelasan mengenai sifat ketahanan nasional, kedudukan, fungsional, dan aspek ketahanan nasional, yang mampu mendukung untuk menganalisa fungsi aset tanah dalam mewujudkan ketahanan nasional.
2.3.1 Sifat Ketahanan Nasional
1. Mandiri Percaya kepada kemampuan dan kekuatan diri sendiri, keuletan dan ketangguhan yang mengandung prinsip tidak mudah menyerah serta bertumpu pada identitas, integritas dan kepribadian bangsa. Kemandirian merupakan syarat untuk menjalin kerja sama yang saling menguntungkan dalam perkembangan global.
2. Dinamis Ketahahanan nasional dapat meningkat atau menurun tergantung pada situasi dan kondisi bangsa dan negara serta lingkungan strategisnya. Hal ini sesuai dengan hakekat dan pengertian bahwa yang ada di dunia ini selalu berubah dan perubahan itu sendiri senantiasa berubah pula. Upaya peningkatan Ketahanan Nasional harus senantiasa diorientasikan kemasa depan dan dinamikanya diarahkan untuk pencapaian kondisi kehidupan nasional yang baik.
3. Wibawa Keberhasilan pembinaan ketahanan nasional secara berlanjut dan berkesinambungan akan meningkatkan kemampuan dan kekuatan bangsa. Makin tinggi tingkat ketahanan nasional Indonesia berarti makin tinggi daya tangkal yang dimiliki bangsa dan negara Indonesia.
42
4. Konsultasi dan Kerjasama Konsultasi dan kerjasama berarti tidak mengutamakan sifat konfrontatif dan antagonis, tidak mengandalkan kekuasaan dan kekuatan fisik semata, tetapi lebih bersikap konsultatif dan kerjasama serta saling menghargai dan mengandalkan pada kekuatan moral dan kepribadian bangsa.
2.3.2 Kedudukan dan Fungsi Ketahanan Nasional
1. Kedudukan Konsepsi Ketahanan Nasional adalah suatu ajaran yang diyakini kebenarannya oleh bangsa Indonesia serta merupakan cara terbaik yang dapat dan perlu diimplementasikan secara berlanjut dalam rangka membina kehidupan nasional yang akan diwujudkan. Wawasan Nusantara dan ketahanan Nasional berkedudukan sebagai landasan konsepsional yang didasari oleh Pancasila sebagai landasan idiil dan UUD 1945 sebagai landasan konstitusional dalam paradigma kehidupan nasional.
2. Fungsi a. Ketahanan Nasional sebagai Doktrin Nasional hendaknya harus dipahami sebagai doktrin dasar nasional untuk menjamin terjadinya pola pikir, pola sikap dan pola tindak untuk menyatukan upaya bersama bangsa yang bersifat inter regional (wilayah), inter sektor, dan multi disiplin.
b. Sebagai pola dasar pembangunan nasional, konsepsi Ketahanan Nasional pada hakekatnya merupakan arah dan pedoman dalam pelaksanaan pembangunan nasional yang meliputi segenap bidang dan sektor pembangunan secara terpadu yang dilakukan melaui tahap-tahap program lima tahun.
c. Metode Pembinaan Kehidupan Nasional, pada hakekatnya Konsepsi Ketahanan Nasional merupakan metode komprehensif integral, dimana dalam merumuskan kebijaksanaan nasional berdasarkan Asta Gatra yang meliputi unsur
43
Geografi, Kekayaan alam, Kependudukan, Ideologi, Politik, Ekonomi, Sosial budaya dan Pertahanan dan keamanan.
2.3.3 Aspek Ketahanan Nasional
Berdasarkan rumusan pengertian Ketahanan Nasional dan kondisi kehidupan nasional Indonesia, ketahanan nasional sesungguhnya merupakan gambaran dari kondisi sistem kehidupan nasional dalam berbagai aspek pada saat tertentu. Tiap-tiap aspek terutama aspek-aspek dinamis dalam tata kehidupan nasional relatif berubah menurut waktu, ruang, dan lingkungan sehingga terjadi interaksi dapat menciptakan kondisi umum yang kompleks dan sulit dipantau. Dalam rangka pemahaman dan pembinaan tata kehidupan nasional tersebut diperlukan penyederhanaan tertentu dari berbagai aspek kehidupan Nasional. Penyederhanaan tersebut berbentuk model dari hasil pemetaan keadaan nyata melalui analisa yang mendalam yang dilandasi oleh hubungan antara manusia dan Tuhan, manusia dan masyarakat serta manusia dengan lingkungannya. Dari pemahaman hubungan tersebut timbul gambaran bahwa konsepsi Ketahanan Nasional akan menyangkut hubungan antar aspek yang mendukung kehidupan antara lain :
1.
Aspek yang berkaitan dengan alam bersifat statis disebut TRI GATRA yang mencakup aspek Geografis, aspek Kependudukan dan aspek Sumber Kekayaan Alam.
2.
Aspek yang berkaitan dengan sosial bersifat dinamis disebut PANCA GATRA, yang meliputi, Ideologi, Politik, Sosial Budaya dan Pertahanan Keamanan.
Dalam konsepsi Ketahanan Nasional (TanNas) terhadap status tanah TNI adalah ketahanan nasional yang tangguh dalam melihat pentingnya pemanfaatan tanah dan status hukum tanah TNI yang mengacu kepada Pancasila dan UUD 1945. Aspek panca gatra dan tri gatra dalam ketahanan nasional diperlukan
44
sebagai alat ukur pentingnya status hak atas tanah TNI dalam hukum pertanahan nasional. Berdasarkan falsafah negara yang berbentuk Pancasila, maka TNI sebagai alat utama pertahanan negara berfungsi untuk menegakkan dan menjaga falsafah negara kesatuan republik Indonesia. Dalam melaksanakan tugasnya TNI harus didukung dengan pemanfaatan tanah yang termasuk kedalam kategori sumber daya alam di Indonesia.
45