BAB I11 SNSE REGIONAL DAN HASIL-HASILNYA Bab ini akan menjelaskan mengenai kemngka SNSE regional tahun 1990
propinsi NTT dan prapinsi Riau yang t e M berhasil disusun &an hasil-hasil mengenai kerniskinan rumahtangga dan pernbangunan e k o m i wilayah di kedua propinsi yang dapat diperoleh dari ketangka SNSE regional tersebut. Kerangka SNSE Regional
Kerangka SNSE regional propinsi NTT d m propinsi Riau disusun dengan menggunakan empat neraca utama, yaitu:
,
a. faktor produksi, b. institusi,
c. sektor produksi, d. neraca lainnya.
Klasifikasi masing-masing kerangka SNSE dibuat sebagai berikut: a. Neraca faktor produksi disusun dengan menggunakan 2 (dua) neraca, yaitu: i. 1 (satu) neraca tenagakeja; dan ii. 1 (satu) neraca modal; b. Neraca institusi disusun dengan menggunakan 4 (empat). neraca rumahtangga, 1
(satu) neraca perusahaan, dan 1 (satu) neraca pemerintah. Neraca rumahtangga terdiri dari : i. Rumahtangga buruh di sektor pertanian; ii. Rurnahtangga bukan b u d di sektw pertanian; iii. Rumahtangga b w h di sektor bukan pertanian; dan iv. Rumahtangga bwkan buruh di sektor bukan pertanian;
c. Neraca sektor produksi disusun dengan menggunakan 17 neraca sektor produksi, dan 1 neraca margin perdagangan dan pengangkutan; dan d. Neraca lainnya yang terdiri dari 1 (satu) neraca kapital, 1 (saw) nemca pajak tidak langsung, dan 1 (satu) neraca luar negeri (luar wilayah).
30
Secara rinci klasifikasi SNSE regional kedua propinsi kasus disajikan oleh lampim
tabel 3. Dengan klasifikasi seperti yang ditunjukkan oleh lampiran tabel 3, maka
SNSE regional kedua propinsi kasus mempunyai ukuran 29x29 dan disusun dalam hentuk matrik bujur sangkar dimana masing-masing neraca menempati lajur baris dan k&m. Kerangka SNSE regional masing-masing propinsi disajikan pada lampirim tabel 4 dan 5; sedangkan arti perpotonga~antar masing-masing neraca diberikan okh lampiran tabel 6 (lampiran A menyajikan metode penyusuraan kemngka SNSE regional kedua propinsi kasus). Distribusi Penda~atandan Kerniskinan Rumahtanegq 1. Diiribusi Pendapatan Rumahtangga Info~masimengenai distribusi pendapatan menurut golongan rumahtangga di propinsi NTT dan di propinsi Riau pada tahun 1990 dapat dipemleh dari kerangka
SMSE (lihat neraca baris 3 sampai &ngan 6 pada lampiran tabel 4 dan 5). Kerangka SNSE kedua propinsi kasus merinci mmahtangga menjadi:
a. Golongan rumahtangga buruh di sektor pertanian (disebut juga sebagai rumahtangga buruh tani), yaitu rumahtangga yang memperoleh pendapatan utama atau pendapatan kepala rurnahtangga dari sektor pertanim yang berupa upah dan gaji; b. Golongan rumahtangga bukan bumh di sektor pertanian, yaitu rumahtangga yang
rnemperdeh pendaptan utama atau pendapatan kepala mmahtangga dari sektor pertanian yang berupa bukan upah dan gaji (yaitu pendapatan yang diperokh karena berusaha); c. Golongan rumahtangga buruh di sektor bukan pertanian, yaihr rumahtangga yang memperoleh pendapatan utama atau pendapatan kepala mmahtangga dari sektor bukan pertanian yang berupa upah dan gaji; dan d. Golongan rumahtangga bukan buruh di sektor bukan pertanian, yaitu rumahtangga
yang memperoleh pendapatan utama atau pendapatan kepala rumahtangga dari
sektor bukan pertanian yang berupa bukan upah dan gaji (yaitu pendapatan yang diperoleh karena berusaha). Distribusi pendapatan menurut gdongan rumahtangga tersebut disajikan oleh tabel 3.1 untuk propinsi NIT dan oleh tabel 3.2 untuk propinsi Riau. Distribusi pendapatan ini disajikan dalam bestuk rata-rata pendapatan disposabel (disposabk
i n c m ) per kapita karena pendapatm ini yang mencerminkan pendapatan yang dapat digunakan okk rumahtangga wttuk
dapat
memenuhi berbagai kebutuhan
rumahtangga bersanghtan. Tabel 3.1 Distribusi Pendapatan Rumahtangga di Propinsi NTT, 1990* Golongan Rumahtangga
Jumlah Pendudu k (satuan)
1. Buruh Tani 22.375 2. Bkn Buruh di 2,605.714 Sektor Pertanian 3. Buruh di Sektor Bkn Pertanian 480.086 4. Bkn Buruh di Sektor Bkn Pertanian 160.469
Jumlah
3.268.644
Total Pendapatan Pendapatan per Kap per T ~ R (RpRibu) (RpRibu) 6.576.323
293,91
339.449.225
130,27
483.611.965
1.007,34
68.800.099
428,74
898.437.612
274,87
* Yang dimaksud dengan pendapatan disini adalah pendaptan dispo-1. Sumber: Diolah dari lampiran tabel 4.
Tabel 3.2 Distribusi Pendapatan Rumahtangga di Propinsi Riau, 1990* Golongan Rumahtangga
Jumlah Pendud& (satuan)
1. Buruh Tani 439.773 2. Bkn Buruh di Sektor Pertanian 1.389.759 3. Buruh di Sektor Bkn Pertanian 904.400 4. Blcn Bumh di Sektor Bkn Permian 547.1 16 Jumlah
3.281.046
Total Pendapatan Pendapatan per Kap per Thn (Rp Ribu) (Rp Ribu) 158.289
359,93
338.562
243,61
956.093
1.057,16 ,
222.71 1
407,06
1,675.655
510,71
* Yang dimaksud dengan pendapatan disini adalah pendapatan disposabel. Sumber: Diolah dari lampiran tabel 5. Dari tabel 3.1 &pat diketahui hhwa rata-rata pendapatan disposabel per kapita per tahun penduduk propinsi NTT pada tahun 1990 diperkirakan sebesar Rp 274,87 ribu.
Urutan atau perincian golongan rumahtangga menurut besarnya
pendapatan disposabel per kapita per tahun adalah sebagai berikut: a. Rumahtangga bukan buruh di sektor pertanian (Rp 130,27 ribu); b. Rumahtangga buruh tani (Rp 293,91 ribu); c. Rumahtangga bukan bumh di sektor bukan pertanian (Rp 428,74 ribu); d.Rumahbngga buruh di sektor bukan pertanian (Rp 1007,34 ribu). Demikian juga dari tabel 3.2 dapat diketahui bahwa rata-rata pendapatan disposabel per kapita per tahun penduduk propinsi Riau pada tahun 1990 diperkirakan sebesar Rp 510,71 ribu, dengan urutan atau perincian menurut golongan rumahtangga sebagai beri kut : a. Rumahtangga bukan buruh di sektor pertanian (Rp 243,61 ribu);
b. Rumahtangga buruh tani (Rp 359,93 ribu);
33
' L
c. Rumahtangga bukan buruh di sektor bukan pertanian (Rp 407,06 ribu); d. Rumahtangga buruh di sektor bukan pertanian (Rp 1057,16 rtbu). Dari hasil tersebut dapat diperlihatkan bahwa golongan rumahtangga bukan buruh di sektor pertanian di kedua propinsi kasus merupakan gakmgan rumahtangga dengan pendapatan disposabel per kapita yang paling rendah dibandingkan dengan golongan-gdongan rumahtangga lainnya.
Sementara itu, golmgan rumahtangga
buruh rani di kedua plropjnsi kasus ternyata memperoleh pendapatan disposabel per kapita yang secara rehtif lebih tinggi dari pada yang diperoleh oleh golongan rumahtangga bukan burub di sektor pertanian. Hal hi disebabkan karena golongan rumahtangga buruh tani dapat bertindak lebih fleksibel dalam melakukan usaha mereka. Pekejaan utama rnereka adalah sebagai buruh tani, tetapi mefeka dapat m e b k a n pekerjaan lain, misalnya di l u x sektor pertanian (sebagai supir kendaraan umum), yang dapat dilakukan oleh kepda atau anggota-anggota rumahtangga, bila pekerjaan memburuh (di sektor pertanian) tidak tersedia,
sehingga mereka
memperoleh pendapatan. Sedangkan golongan rumahtangga bukan buruh di sektor pertanian secara retatif kurang dapat bertindak fleksibel dalam melakukan kegiatan mereka karena mereka mempuny& kendala terhadap lahan pertanian yang mereka otah sehingga kemungkinan melakukan pekerjaan-pekerjaan lain menjadi lebih sedikit. Dengan demikian, pendapatan yang diterima deh golongan rumahtangga bukan buruh di sektor pertanian xmra relatif lebih rendah dari pada yang diterima oleh gdongan rurnahtangga buruh tani. Distribusi pendapatan antar golongan mmahtangga di propinsi NIT tersebut disajikan oleh gambat 3.1. Jumlah penduduk menurut golongan rumahtangga ditunjukkan oleh sumbu mendatar; pendapatan disposabel per kapita peP tahun ditunjukkan oleh sumbu tegak; total pendapatan disposabel rumahtangga selama setahun ditunjukkan akh perkalian jumlah penduduk (sumbu mendatar) dengan rata-rata pendapatan disposabel per kapita per tahun (sumbu tegak); sedangkan
rata-rata pendapatan disposabel seluruh rumahtangga ditunjukkan oleh garis yang
sejajar dengan sumbu mendatar pada tingkat pendapatan Rp 274,87 ribu. Distribusi pendapatan antar golongan rumahtangga di propinsi Riau pada tahun
1990 juga disajikan oleh gambar 3.2 dengan keterangan yang serupa dengan gambar 3.1.
Junloh Ponduduk Buruh dl Soktor Portonkn Bukon Buruh dl Sektor P.ttOnlm Buruh dl Soktor Bukan P 8 r t n b n Bukan Buruh df Sektor 8&n
FertOniOn
Gambar 3.1 Distri busi Pendapatan An tar Golongan Rumahtangga Propinsi NTT, 1990
Jumlah Penduduk Buruh dl Sektor Pertonlon
-&on
Bwuh dl Sektor PortonIan
Buruh dl Sektor Bukan Pertonlan Bukon Buruh dl Sektor Bukon Pertanion
Gambar 3.2 Distribusi Pendapatan Antar Golongan Rumahtangga Propinsi Riau, 1990
Untuk mengetahui penyebaran (distribusi) pendapatan mmahtangga di kedua propinsi kasus, indek Gini dan k u ~ Lorenz a akan dihitung b digambar dengan menggunakan informasi yang terdapat pa& tabel 3.1 dan 3.2. Tabel-tabel 3.3 dan 3.4
serta gambar-gambar 3.3 dan 3.4 menyajikan ha1 tersebut. Tabel 3.3 Indek Gini Propinsi N T f , 1990 (Dihitung Berdasarkan Kerangka SNSE Propinsi NTT) Judah Jumlah Kumuhtif Penduduk Pendapatan Jum)ak Pendapatan (Pi) (4-3 (Qi +%I) (96)
Pi(Q+Q,)
(S)
Tabel 3.4 Indek Gini Propinsi Riau. 1990 (Dihitung Berdasarkan Kerangka SNSE Propinsi Riau) Jumlah Kumulatif Judah Penduduk Pendapatan Jumlah Pendapatan (Pi) (Qi) (Qi + Qi-I) (96)
+
Pi(Qi Ql)
--- Berdosarkan Surenos Berdosarkan SNSE
Gambar 3.3 Kurva Lurenz Propinsi N l T , 1990
- -- Bordororkon Susonas
-
Berdoswkon SNSE
Gambar 3.4 Kurva Lorenz Propinsi Riau, 1990
39
Berdasarkan hasil-hasil tersebut dapat diperlihatkan bahwa distribusi pendapatan di kedua propinsi kasus ternyata berada dalam keadaan yang sangat tidak /
1
merata (highly unequal income distribution) k a m indek Gini kedua propinsi kasus ternyata mekbihi nilai 0,5 (lihat tab& 3.3 dan 3.4).' Keadaan ini juga diperjelas oleh kurva Lorenz masing-masing propimi dimana masing-masing kurva cenderung berat ke arah bwah kanan yang mencermir~kankondisi atau k e a h n distribusi pendapatan yang rekitif tidak merata (lihat garnbm-gambar 3.3 dan 3.4).
Hasil yang diperoleh berdasarkan kerangka SNSE regional kedua prqinsi kasus ternyata sangat berbeda dengan yang diperoleh dari publikasi resmi statistik yang menghitung
indek Gini
dengan pendekatan pengeluaran.
Berdasarkan
publikasi resmi statistik (lihat KS Propinsi NTT, 1992a dan BPS, 1992b), indek Gini kedua propinsi kasus pada tahun 1990 masing-rnasing diperkirakan sebesar 0,296 (untuk propinsi NTT) dan 0,256 (untuk propinsi Riau). Berdasarkan hasil ini dapat dinyatakan bahwa distribusi pendapatan di kedua propinsi kasus tersebut bemda dalam keadaan merata karena indek Gini bemda diantara nilai 0,2 dm 0.,35. Keadaan ini juga ditunjukkan oieh kurva Lorenz kedua propinsi kasus yang secara retatif lebih mendekati garis lurus AB yang mencerminkan kondisi atau keadaan distribusi pendapatan yang relati f merata (lihat gambar-garnbar 3.3 dm 3.4). Perbedaan hasil penghitungan ini terutama karena perbedaan pendekatan penghitungan indek Gini. Indek Gini pada publikasi resmi dihitung berdasarkan hasil 'Todaro (1987) menyatakan bahwa bila indek Gini berada di antan 0,5 sampai dengan 0,7, maka distribusi pndapatan disebut sebagai sangat tidak merota ( h i m unequal income distribution); tetapi bila berada di antara 0,2 sampai dengan 0.35, maka &ribusi penciapatan disebut sebagai relatif merata. Dalam ha1 ini perlu juga dijelaskan b k w a nilai indek Gini sangat dipengaruhi okh banyaknya kelompok rumahtangga. Misalnya, dengan ernpat kelompdr mmahtangga sebagaimana d i k h k a n &lam penelitian ini, nilai indek Gini di propinsi NTT dipeskirakan sebesar 0,5266. Bila kelompok rumahtangga dibuat, katakan, menjadi dua gdongan saja, yaitu g o h g a a rumahtangga buruh tani, bukan buruh di sektor pertanian, bukan buruh di sektor bukan pertanian sebagai satu kelompdr dan rumahtangga buruh di sektor bukan pertanian sebagai satu kelompok yang lain, maka nilai indek Gini tumn menjadi 0,4592. Namun, hasil ini juga menunjukk.n bahwa distribusi pendapatan di propinsi NTT termasuk dalam kategori tidak merata. Dengan demikian &pat dinyatakan bahwa distribusi pendapatan di propinsi N7T paling tidak masih berada dr1.m kondisi tidak rnerata. Keadaan yang sama terjadi juga di propinsi Riau.
Susenas, yaitu suatu survei yang meneliti mengenai pola pengeluaran rumahtangga, sedangkan indek Gini pada tabel-tabel 3.3 dan 3.4 dihitung berdasarkan kerangka I
\
SNSE yang lebih cenderung merupakan pendekatan pendapatan.
Distribusi
penciapatan yang dihitung dengan menggunakan pendekatan pengeluaran akan memberikan suatu hasil distribusi yang relatif merata dibandingkandengan distribusi pendaptan yang dihitung dengan menggunakan pendekatan pendapatan (lihat Todaro,
1 W atau Atkinson, 1975). Perbedaan indek Gini publikasi resmi dan yang dihitung bedasarkan kerangka SNSE, salah satu, disebabkan karena informasi mengenai tabungan rumahtangga kurang tercermin pada hasil Susenas, yang memang dirancang untuk Iebih memberikan informasi mengenai pola konsumsi dan pengeluaran rumhtangga. Bila informasi mengenai tabungan disertakan juga dalam penghitungan in&& Gini dengan menggunakan data Susenas, maka penulis percaya bahwa hasil yang diperoleh akan sama dengan yang ditunjukkan gambar-gambar 3.3 dm 3.4. Gambar-gambar 3.5 dan 3.6 menyajikan distribusi konsumsi dan distribusi tabungan antar golongan rumahtangga di propinsi N'JT dan di propinsi Riau. Bagian atas dari gambar-gambar 3.5 dan 3.6 menunjukkan distribusi konsumsi; sedangkan bagian bawah menunjukkan distribusi tabungan.
Sumbu mendatar pada
gambar-gambar 3.5 dan 3.6 menunjukkan jumlah penduduk; sumbu tegak menunjukkan rata-rata konsumsi dan rata-rata tabungan per kapita per tahun; masing-masing kotak (yaitu perkalian jumlah penduduk dengan ma-rata konsumsi atau dengan rata-rata tabungan per kapita per tahun) menunjukkan total konsumsi dm total tabungan; jumlah kedua kotak (total konsumsi ditambah dengan total tabungan) menunjukkan total pendapatan disposabel masing-masing golongan rumahtangga per tahun. Gambar-gambar 3.5 dan 3.6 dibuat dengan menggunakan tabel-tabel 3.5 dan
3.6. Dari gambar-gambar 3.5 dan 3.6 tersebut dapat diperlihatkan bahwa distribusi konsumsi (pengeluaran) antar golongan rumahtangga di kedua propinsi kasus dapat dikatakan relatif lebih merata dibandingkan dengan distribusi pendapatan antar nrmabtangga (lihat gambar-gambar 3.3 dan 3.4).
Tabel 3.5 Pendapatan Disposabl Menurut Rumahtangga Dirinci Atas Konsurnsi dan Tabungan Propinsi NTT, 1990
Golongan Rurnahtangga 1
K#mswmsi (@ Ribu) Ttbungan (Rp Ribu)
Pdpatan Dfqwabel (Rp Ribu)
2
3
5.642.923 354.549.463 354.147.267 933.400
-15.100.238 129.464.698
6.576.323 339.449.225 483.611.965
4
Total
116.750.850
831.090.503
-47.950.751
67.347.109
68.800.099
898.437.612
160.469
3.268.644
fu d a h Penduduk (Jiwa)
22.375
2.605.714
480.086
Rata-rata Konsurnsi per kapita (Rp Ribu)
252,2
136,l
737.7
727,6
254,3
Rata-rata Tabungan per kapita (Rp Ribu)
41,7
-5,8
269,7
-298.8
20,6
428.8
274.9
Rata-rata Pendapatan Disposabei per kapita (Rp Ribu)
293.9
130,3
Sumher: Diolah dari lampiran tabel 4 Keterangan mengenai golongan mmahtangga: 1. Buruh di Sektor Pertanian 2. Bukan Buruh di Sektor Pertanian 3. Bunth di Sektor Bukan Pertanian 4. Bukan Bunth di Sektor Bukan Pertanian
1007.4
Tabel 3.6 Pendapatan Disposabel Menurut Rumahtangga Dirinci Atas Konsumsi dan Tabungan Propinsi Riau, 1990
Golongan Rumahtangga 1
2
3
4
Total
168.145
427.854
636.1 19
288.609
1.520.m
-9.856
-89.292
319.974
-65.898
154.928
158.289
338.562
956.093
222.711
1.675.655
439.773
1.389.759
940.400
547.116
3.281.046
Rata-rata Konsumsi per kapita(RpRibu)
382.3
307.9
703,4
527,s
463,s
Rata-rata Tabungan per kapita (Rp Rihu)
-22.4
-64.3
353,8
-120,4
47,2
243.6
1057.2
407,l
510,7
Konsumsi (Rp Juta) Tabungan (Rp futa) Pendapatan Disposabel (RP) Jundah Penduduk (f iwa)
Rata-rata Pendapatan Disposabel per kapita (Rp Ribu)
359,9
Lihat tabel 3.5 mengenai keterangan golongan rumahtangga. Sumher: Diolah dari lampiran tabel 5
3
= C
L:
z z
L
0
C
0 ,
S: 5:
Rp 274,87 rlbu 3 0
2
0 '
5 w
f a C
Jumloh Ponduduk
S!
1 7 1 Bukon Bwuh dl Sokter PortanIan I_id Buruh Ol S e k t r Bukan P.rtonlan 1
4
_j
1
I Konsumsl
Bukan Buruh dISoktor Bukm Pertonion
Gambar 3.5 Distribusi Konsumsi dan Tabwtgan Menurut Golongan Rumahtangga Propinsi N?T, 1990
1 7 1 Nu Buruh dl S@kt-
hr(oll
Gambar 3.6 Distribusi Konsumsi dan Tabungan Menurut Golongan Rumahtangga Propinsi Riau, 1990
45
Hasil yang dijelaskan di atas menyatakan bahwa distribusi pendapatan di kedua propinsi kasus berada pada tingkat yang (sangat) tidak merata; walaupun pembangunan ekonomi telah dilaksanakan selama beberapa pel;iode. Kuznets (1966) dan juga beberapa ahli ekonomi pembangunan, percaya bahwa ketidakmerataan penclapatan di negara-negara yang sedang berkembang mengikuti sitati~kurva U yang te~balik(lihat gambar 3.7).
Gambar 3.7 Kurva Kuznets
L
Kurva tersebut menyatakan bahwa ketidakrnerataan pendapatan akan meningkat pada tahap awat pembangunan; tetapi pada tahap selanjutnya ketidakmerataan pendapatan akan menurun sejalan dengan pertumbtlhan ekonomi. Hal ini berarti bahwa keadaan atau kondisi distribusi pendapatan di kedua propinsi kasus pada tahap sekarang diperkirakan berada pada daerah sekitar pun& kurva Kuznets. Kondisi tersebut terjadi karena pada tahap awal pembangunan ekonomi sektor-sektor
modem yang menggunakan teknologi tinggi akan menarik banyak penduduk dari pedesaan ke kota karena sektor-sektor modern rnenjanjikan pendapatan yang relatif lebih tinggi dari pada sektor-sektor tradisional. Keadaan ini ditunjang oleh data KS Propinsi NTT (1991b) maupun data KS Propinsi Riau (1991b) yang menunjukkan bahwa baik di propinsi NTT maupun di prapinsi Riau telah terjadi pergeseran struktur ekonomi dari sektor-sektor primer ke sektor-sektor sekunder dan tersier, dan juga telah terjadi perpindahan lapangan usaha tenagakeja dari sektor pertanian ke sektor-sektor bukan pertanian (lihat juga lampiran tabel 7 dan 8 mengenai hal ini}. Keadaan
ini kemudian menyebabkan sektor-sektor tradisional (seperti sektor
pertanian) kehilangan tenagakerja sehingga produksi sektor tradisional menurun. Pada tahap ini, ketidakmerataan pendapatan yang tinggi akan terjadi. Secara umum, ha1 tersebut disebabkan karena perbedaan yang tajarn mengenai tingkat upah dan gaji yang diterima oleh tenagakerja sektor-sektor modern yang berlokasi di kota dan oleh tenagakerja sektor-sektor tradisional yang berlokasi di desa yang mempakan implikasi dari perbedaan keterampilan antara kedua jenis tenagakerja tersebut. Kemudian, pada tahap pembangunan selanjutnya, walaupun pendapatan kedua jenis tenagakexja tersebut meningkat ,tetapi karena perbedaan peroepatan peningkatan pendapatan yang relatif besar, ketidakmerataan pendapatan di k e h a propinsi kasus masih berada pada tingkat yang tinggi. Dengan demikian, distribusi pendapatan masih berada pada tingkat yang sangat tidak merata.Pada sisi yang lain, Ahluwalia (1976) menunjukkan bahwa ketidakmerataan pendapatan masih akan berada pada tingkat yang tinggi (yang ditunjukkan oleh 40 persen penduduk berpendapatan rendah menerima sekitar kurang
-
dari 12 persen pendapatan nasional) sampai penclapatan penhduk mencapai sekitar
US$700 (dikutip kembali dari Killick, 1983; lihat gambar 3.8).
D&
hasil
pembahasan sebelumnya telah ditunjukkan bahwa rata-mta pendapatan disposdxl per kapita penduduk propinsi NTT pada tahun 1990 diperkirakan sekitar Rp 274,87 ribu dan penduduk propinsi Riau Rp 510,71 ribu yang masik berada jauh dari jumlah
US700. Dengan dernikian, hasil yang dfperdeh oleh Ahluwalia juga meRduhg has2 yang ditunjukkan oleh penelitian ini. Salah satu sebab terjadinya distribusi penclapatan yang sangat tidak rnerata adalah karena dampak pembangunan (pertumbuhan) ekonmi ternyata lebih banyak ditangkap (dinikmati) d e h penduduk golongan mesrengah dan gblongan atas dari pada oleh penduduk golongan bawah. Keadaan ini diperlihatkan oleh data yang disajikan oleh lampiran tabel 9 yang menyatakan bahwa kesenjangan pendapatan antara penduduk miskin dan penduduk kaya cenderung bertambah lebar yang berarti bahwa pendapatan golongan atas dan golongan menengah meningkat lebih cepat dari pada pendapatan golongan bawah. Data tersebut secara Sidak langsung menunjukkan bahwa dampak pembangunan (pertumbuhan) ekonomi lebih banyak dinikmati oleh penduduk kaya dari pada oleh penduduk miskin (hal ini juga akan ditunjukkan pada waktu membahas aplikasi model pengganda neraca yang membahas mengenai pertumbuhan ekonomi dan distribusi pendapatan; lihat juga Adelman dm Moris, 1973).
Gambar 3.8 Hitbungan Antara Ketidakmerataan Pendapatan Dengan PNB per kapita di Negara-negara Berkembang
'
2. Kerniskinan Rumahtangga dsn Jumlah Penduduk Miskin
Dari hasil pembahasan pada bagian terdahulu dapat ditunbkkan bahwa
golongan rumahtangga yang secara relatif mempunyai pendapatan disposabel per kapita yang terrendah di kedua propinsi kasus acWah golongan rumahtangga bukan buruh di sektor pertanian (mereka yang bekeja bukan sebagai buruh di sektor pertanian). Dari hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa secara rebtif golongan rumahtangga bukan buruh di sektor pertanian termasuk sebagai rumahtangga (ter)miskin karena pendapatan per kapita rumahmgga ini secara relatif (ter)renda.b dibandingkan dengan pendapatan golongan rumahtangga yang lain. Hasil tersebut belum dapat rnenjefaskan mengenai rumahtangga miskin ddam ukuran absolut karena hasil tersebut baru menjelaskan mengenai penyebaran atau distn'busi pendapatan di antara gohgan rumahtangga. Dan juga, dari ha& tersebut belum &pat diinterpretasikan bahwa semua penduduk pada golongan rumahtangga bukan buruh di sektor pertanian di masing-masing propinsi, yaitu sebanyak 2,6 juta jiwa di propinsi NTT (lihat tabel 3.1), dan sebanyak 1,4 juta jiwa di propinsi Riau m a t tabel 3.2) tergolong sebagai penduduk miskin. Dapat terjadi bahwa sehagian penduduk pada golongan rumahtangga bukan buruh di sektor pertanian tidak termasuk sebagai penduduk miskin walaupun secara rata-rata golongan rumahtangga ini termasuk sebagai rumahtangga dengan pendapatan per kapita terrendah; atau sebaliknya. Hal ini disebabkan karena adanya vanasi pendapatan dalam masing-masing golongan rumahtangga. Bagian ini bermaksud untuk memberikan dugaan banyaknya penduduk miskin dan penentuan rumahtangga miskin dalarn ukum absolut di kedua propinsi kasus. Untuk dapat melakukan ha1 tersebut, perlu membeatuk suatu ukuran kemiskinan yang dapat digunakan untuk maksud ini. Untuk itu, ukuran kemiskinan yang berupa pendapatan minimum untuk dapat mengkonsumsi 2 100 kilokalori per kapita per hari di masing-masing propinsi kasus akan digunakan. Akan tetapi, karena ukuran ini belum tersedia, maka ukuran tersebut harus diduga terlebih di-rhulu. Pendugaan ini-
dilakukan dengan cara menghubungkan pendapatan dan konsumsi energi dengan menggumkan golongan rumahtangga buruh tani sebagai objek peneMan. Penggunan rumahtangga buruh tani sebagai objek penelitian untuk maksucf ini di1akuk.m karena 2 alasan: a. data yang tersedia hanya dapat diperdeh dari golongan ~mahtanggaburub tani;
h. disamping itu, penggunaan rumahhngga buruh tani untuk maksud pengukuran ini juga mencerminkan kondisi rumahtqga miskin di kedua propinsi kasus. Tabel 3.7 Beberapa Karakteristik Rumahtangga Buruh Tani di Propinsi NTT, Propinsi Riau, daa Indonesia, 1990
1. Rata-rata anggota rumahtangga 2. Tingkat pendidikan kepala rumahtangga (5%):
a. Tidak tamat SD b. SD c. SLTP d. SLTA e. Di atas SLTA 3. Konsumsi kalori perhari per kapita (kalori) 4. Konsumsi protein perhari per kapita (gram)
5.5
5,1
4.5
69,53 27.00 2,m 1.03 0.03
37,63 52.63 6.53 3,08 0,12
63.33 30,80 4,03 1,79 0,05
1901,17
1803.90
1901,44
45,35
43,41
46,oo
'
Keadaan rumahtangga b u ~ tani. k
* Keadaan rumahtangga niiskin secant keseluruhau. Dikutip kembali dari BPS (1992a) Sumber: Sakemas 1990, Susenas 1990, dan Lampiran tabel 4 dan 5
Hasil yang diperoleh ditunjukkan oleh tabel 3.7. Hubungan pendapatan dan konsumsi energi seperti yang ditunjukkan oleh tabel 3.7 menyatakan bahwa golongan rumahtangga buruh tani, yang secara relatif mempunyai pendapatan disposabel per kapita yang lebih tinggi dari pada golongan rumahtangga bukan buruh di sektor perranian di kedua propinsi kasus, ternyata masih belum dapat mengkonsumsi energi (kalori) dan protein secara cukup (yaitu 2100 kilokalori dan 46 gram protein per
kqib per hari). Di propinsi NTT, dengan rata-rata pendapatan disposabel per kapita setmar Rp 293,91 ribu per tahun, gobngan rumahtangga buruh tani hanya dapat
mengkonsumsi energi per kapita per hari sebanyak 1901,17 kilokalori; sedan*
di
propinsi Riau, dengan rata-rata pendapatan disposabel per kapita sebesar Rp 359,93 ribu per tahun, g h g a n rumahtangga buruh tani hanya d a p t mengkonsumsi energi
per kapita per hari sebanyak 1803,90 kilokalori. Dengan hubungan ini, kemudian dapat dianalogikan bahwa untuk dapat mengkonsumsi sebanya.2100 kalori per kapita per hari di propinsi NTT dibutuhkan pendapatan minimal sebesar Rp 324,6 ribu per tahun (yaitu 2 100/1901,17 dikali dengan Rp 293,91 ribu). Besaran ini dapat dianggap
sebagai batas atau garis kemiskinan dalan u kuran absolut di propinsi NTT.Demikian juga, garis kemiskinan di propinsi Riau akan setam dengan Rp 419,O ribu per tahun (yaitu 2 100/1803,90 dikali dengan Rp 359,93 ribu).
Hasil ini sekaligus rnernberikan kesimpulan bahwa garis kemiskinan antar propinsi tidak sama karena nilai uang (yang dapat disebabkan oleh tingkat harga atau tingkat biaya hidup) cSi masing-masing propinsi berbeda-beda, .sehingga &ngan sejurnbh uang yang sama banyaknya energi (kalori) yang dapat diperoleh atau dikonsumsi juga berbeda. Atau, pada sisi yang lain dapat juga diinterpretasikan bahwa sumber energi (kalori) dan protein di propinsi N'IT dan di propinsi Riau W a ; misalnya, di propinsi NTT, kebanyakan, diperoleh dari ubi kayu, sedangkan
di propinsi Riau dari beras. Hasil-hasil lain yang dapat diperoleh dari tabel 3.7 dalah: a. Rata-rata anggota rumahtangga buruh tani (termasuk kepala rumahtangga) baik di propinsi NTT maupun di propinsi Riau diperkirakan *tar
5 jiwa setiap
rumahtangga; b. Tingkat pendidikan kepala rumahtangga buruh tani relatif &;
rata-rata tidak
tamat SD untuk kasus di propinsi ITIT dm tamat SD m u k kasus di propinsi Riau.
Dengan menggunakan garis kemiskinan seperti yang dihasilkan tersebut di atas, maka siapa atau golongan mmahtangga mana yang termasuk sebagai rumahtangga miskin dalam ukuran absolut dapat ditentukan. H a i l yang diperoleh ad&
bahwa golongan rumahtangga bukan b u d di sektor pertanian dan golongan
rumahtangga buruh tani merupakan dua golongan xumahtangga miskin di propinsi
m,sedangkan di propinsi Riau termasuk juga golongan rumahtangga bukan bumh di sektor bukan pertanian karena rata-sata pendapatan disposabel golongan-golongan rulrrahtangga tersebut masih herada di bawah garis kemiskinan yang ditetapkan. Dengan menggunakan garis kemiskinan sebesar Rp 324,6 ribu per tahun untuk propinsi N I T dan Rp 4 19,O rtbu per tahun untuk propinsi Riau2perkiraan banyaknya penduduk miskin di kedua propinsi kasus dapat juga ditentukan. Hal ini dilakukan dengan c a n meneliti semua penduduk p d a masing-masing gdongan rumahtangga
yang berada di bawah garis kemiskinan tersebut, dan kemudian memperkirakan jumlah penduduk miskin. Hasil yang diperoleh addah bahwa di propinsi NTT terdapat sebanyak 944,9 ribu jiwa penduduk miskin, sedangkan di propinsi Riau sebanyak 644,4 ribu jiwa. Kesimpulan ini memberikan suatu perkiraan atau dugaan jumlah penduduk mislrin yang berbeda dari hasil publikasi resmi yang ada. Publikasi resmi yang a& (KS Propinsi NTT, 1992a dan BPS, 1992b) m e n y a w bahwa di propinsi NTI' pada tahun 1990 terdapat sekitar 718,4 ribu jiwa penduduk miskin atau sekitar 22,25 persen dari jumlah seluruh penduduk; d m sekitar 45 1,6 ribu jiwa penduduk miskin di propinsi Riau atau sekitar 13,66 persen dari jumlah seluruh penduduk (lihat lampiran tabel 10). Hal tersebut disebabkan karma penggunaan garis kemiskinan yang berbeda. Garis kemiskinan yang digunakan okh BPS atau Kantor Statistik Propinsi dalam menghitung jumlah penduduk miskin adalah koosumsi energi 2100 kilokalori per kapita per hari; sedangkm pada pemlitian ini adalah pendapatan minimum yang dibutuhkan untuk memenuhi konsumsi energi 2100 kilokalori peg kapita per hari tersebut.
3. Sumber-sumber Pendapatan dan P o h Pengeluaran Rumahtangga
lnformasi mengenai sumber-sumber pendapatan dan pola pengeluaran mmahtangga dibutuhkan untuk &pat mengetahui mengenai sumber-sumber dana ekonomi rumahtangga, misalnya apakah dari upah dan gaji, dsb; dan juga untuk mengetahui bagaimana dana ekonomi rurnahtangga tersebut dibelanjakan, rnisalnya untuk konsumsi barang dan jasa, dsb.
Dari kenngka SNSE dapat 'iketahui
bahwa rumahtangga menerima
pendapatan dari 3 (tiga) sumber, yaitu: a. upah dan gaji; b. pendaptan kapital; dan
c. penerimaan transfer. Upah dan gaji merupakan pendapatan yang diterima oleh rumahtangga sebagai balas jaw karena menyediakan faktor produksi tenagakerja. Pendapatan kapitak, seperti sewa rumah, bunga, dividen, dsb merupakan pendapatan yang diterima oleh rumahtangga dari kapital (modal) rumahtangga. Sedangkan penerimaan transfer rnerupakan pendapatan yang diterima oleh ~mahtanggasebagai hadiah, hibah, sumbangan dsb. Total pendapatan dari ketiga sumber tersebut merupakan pendapatan yang digunakan oleh rumahtangga untuk membiayai semua kebutuhan-kebutuhan rumahtangga. Total pendapatan yang diterima oleh rumahtangga dari ketiga sumber tersebut
di propinsi NTT pada tahun 1990 diperkirakan berjumlah Rp 965031,6 juta; dan dengan j u mlah pendudu k sebanyak 3268644jiwa, maka pendapatan rumahtangga per kapita per tahun diperkirakan sebesar Rp 295,2 ribu. Sedangkan di propinsi Riau, total pendapatan rumahtangga diperkirakan sebesar Rp 1873137 juta; dan dengaa jumlah penduduk sebanyak 3281046 jiwa, maka pendapatan rumahtangga per kapita per tahun berjumlah Rp 570,9 ribu (pendapatan yang dimaksud di sini b u m pendapatan disposabel per kapita, tetapi pendaptan total sebelum dikurangi pajak).
Pada sisi yang lain, dari kerangka SNSE dapat juga diketahui bahwa rumahtangga menggunakan pendapatan tersebut untuk keperlw-keperluan:
a. konsumsi aWlir barang dan jasa; b. pembayaran pajak langsung;
c. pembayaran transfer; dan Pengeluaran konsumsi barang dan jasa, m d n y a , untuk pembelian sandang, pangan, dan papan. Pengeluaran pjak langsung, misalnya, addah untuk pembayaran
pajak bumi clan bangunan, pajak kendaraan bemotor dsb. Pembayaran transfer, misatnya, pengiriman uang kepada anak atau orang tua yang merupakan rumahtangga yang berbeda. Tabungan rnerupakan selisih pendapatan dengan pengeluaran.
Tabel 3.8 men yaji kan sumber-sumber pendapatan cian pola pengeluaran mmahtangga secara umum (secara agregat) dalam persentase di propinsi Nl'T dan
di propinsi Riau pa& tahun 1990. Tabel 3.8 Sumber Pendapatan,.dan Pola Pengeluaran Rumahtangga di Propinsi NTT dan di Propinsi Riau, 1990 Pendapatan
NTT (%)
1. Upah dan gaji 2. Pendapatan Kapital 3. Penerirnaan Transfer Total*
.Riau
Pengeluaran
(%)
69,24
65,75
23,86
23,70
6,90
10,54
100,Oo 100,OO
1. Kmsurnsi akhir 2. Tmsfer 3. Tabungan
Total*
*Total dapat tidak sama dengan 100% karena pernbulatan Sumber: Diolah dari lampiran tabel 4 dan 5
Nl'T
Riau
1
(%I
86,12 6,90 6,98
81,19 10,54 8,27
100,OO 100,OO
55
Dari tabel tersebut dapat dilibat bahwa pendapatan rumahtangga baik di propinsi NTT maupun di propinsi Rim lebih banyak diterima dari upah dm gaji (69,24 persen untuk propinsi N'TT dan 65,75 persen untuk propinsi Riau). Namun perlu dijelaskan di sini bahwa besarnya persentase upah dm gaji tersebut mencakup juga imputasi upah dan gaji (imputed w q e s a d salaries)*bagi anggota rumahtangga (penduduk) di kedoa propinsi hsus yang bekerja sebagai pekerja keluarga dan kontribusi mereka &lam kegiatan ekonomi dSmasulckan sebagai bagian h i upah dan gaji. Data dari hasil Sakernas 1990 menjehskan bahwa 50,5 persen dari jumlab penduduk di propinsi NTT dm 26,5 persen di propinsi Riau bekerja sebagai pekerja keluarga (lihat lampiran tabel 11). Sehingga, bila besamya imp&
upah dan gaji
tersebut dikeharkan dari komponen upah dm gaji, maka persentase penclapatan berupa upah dan gaji yang diterima oleh rumahtangga di kedua propinsi kasus akan menjadi lebib kecil. Hal ini juga sekaligus menjelaskan aiasan tejadinya ketidakmerataan pendapatan di propinsi NTT, bahwa ketidakrnerataan pendapatan terjadi karena masih banyak penduduk di propinsi NTI' yang 'bekerja' hanya sebagai pekerja keluarga yang tidak memperoleh pendapatan.
Pada sisi yang
lain,
pengeiuaran rumahtangga lebih bin yak digunakan untuk konsumsi akhir barang dan jasa (86,12 persen untuk propinsi N'IT dan 81,19 persen untuk propinsi Riau). Tabungan rumahtangga di propinsi NTT pada tahun 1990 diperkirakan sekitar 6,98 persen dari total pendapatan; sedangkan di propinsi Riau 8,27 persen. Dari tabel 3.8 dapat juga diperlihatkan bahwa: a. Secara relatif, persentase tabungan penduduk propinsi NTI' lebih rendah dari pada penduduk propinsi Riau (6,98 persen versus 8,27 persen). Hal ini berkaitan dengan pendapatan penduduk di propinsi bersangkutan. Dengan pendapatan yang relatif lebih rendah, maka tabungan yang mungkin dilakukan okh penduduk akan lebih sedikit; dan sebaliknya; 'Imputasi upah dan gaji adalah perkiraan besamya upah dan gaji yang diterima oleh pekej a keluarga atau pekerja yang bzkej a sendiri (seyentployed) seandainya pekeGageirej a tersebut bekerja sebagai h u n ~ h(menerima upah dan gaji).
56
b. Secara relatif, persentase konsumsi akhir barang dan jasa yang dibelanjakan oleh penduduk propinsi
NTT masi h lebih besar dibandingkan dengan pendud&
propinsi Riau (86,12 persen versus 81,19 persen).
Hal ini juga disebabkan
karena pendapatan penduduk propinsi NTT pada tahun 1990 lebih rendah dari p d a penduduk propinsi Riau-. Hal ini sesuai dengan teori ekonomi yang menyaw
kan bahwa semakin tinggi pendapatan penduduk maka porsi untuk konsumsi akhir cenderung akan semakin kecil; dan sebaliknya;
c. Pendapatan dari kapital (seperti pendapatan berupa surplus usaha, bunga tabungan, dsb) yang diterima oleh rumahtangga di kedua propinsi kasus secara persentase relatif kecil dibandingkan dengan pendapatan berupa upah dan gaji. Hal ini mencerminkan bahwa pendapatan yang diperoleh dari hasil usaha ternyata
secara relatif masih rendah. Keadaan ini berhubungan dengan kemampuan atau
skill penduduk yang secara relatif masih rendah dalam hal pengelolaan usaha yang mereka lakukan . Penjelasan di atas menguraikan mengenai sumber-sumber pendapatan dan pola pengeluaran rumahtangga secara umum (keseluruhan rumahtangga). Berikut ini akan dijelaskan mengenai sumber-sumber pendapatan dan pola pengeluaran menurut masing-masing golongan rumahtangga di kedoa propinsi kasus. Tabel-tabe13.9 dan 3.10 men yajikan informasi mengenai sumber-sumber penciapatan dan pola pengeluaran menurut golongan rumahtangga di propinsi N'IT jmda tahun 1990; sedangkan tabel-tabel 3.1 1 dan 3.12 menyajikan keadaan y a q serupa di propinsi Riau .
Tabel 3.9 Pota Pendapatan Berbagai Golongan Rumahtangga di Propinsi NTT. 1990 (dalarn persentase terhadap total penhpatan masingmasing golongan rumahtangga)* Golongan Rumahtangga
1. Upah dan gaji 2. Pendapatan
Kapital
97.57
0,00
91.04
0,OO
0,00
90.51
4.09
91.38
2,43
9.49
4.87
8.62
3. Peneri maan
Transfer
100,OO 100.00 100,OO 100.00
Total
T o t a l dapat tidak sarna dengan 100% k a m a pembulatan Sumber: Diolah dari lampiran tabel 4 Keterangan mengenai golongan rumahtangga: 1. Buruh di Sektor Pertanian 2. Bukan Buruh di Sektor Pertanian 3. Buruh di Sektor Bukan Pertanian 4. B u b Buruh di Sektor Bukan Pertanian
Tabel 3.10 Pola Pengeluaran Berbagai Golongan Rumahtangga di Propinsi N l T , 1990 (dalam persentase terhadap total pengeluaran masingmasing golongan rumahtangga)* ,
Golongan Rumahtangga
1. Konsumsi akhir 2. Pembayaran Pajak Langsung 3. Pembayaran Transfer Lainnya 4. Tabungan
Total
83.61
97.80
68.81
143,95
0.23
0,50
0,40
2.34 13.83
5,86 -4.17
5,63 25.16
13,64 -59.12
100,OO 100,OO 100.00
100,OO
1,s
*Total dapat tidak sama dengan 100 46 karena pembulatan Keterangan: Lihak tabel 3.9 mengenai arti kode golongan ~ m a h t a n g g a Sumkr: Diolah dari lampiran tabel 4
Tabel 3.11 Pola Pendapatan Berbagai Golongan Rumahtangga di Propinsi Riau, 1990 (dalam persentase terhadap total pendapatan masingrnasing golongan rumatrtangga)* Golongan Rumahtangga
1. Upah dan gaji 2. Pendapatan Kapital 3. Penenmaan Transfer Total
80.16
0,OO
0,OO 91,26 19.84
8.74
87,26 57,97 1.73
38,07
11,Ol
3.97
100.00 100,OO 100,00 100,OO
*Total dapat tidak sama dengan 100% karena pembulatan Keterangan: Lihat tabel 3.9 mengenai arti kode golongan rumahtangga. Sumber: Diolah clan lampiran tabel 5
Tabel 3.12 Pola Pengeluaran Berbagai Golongan Rumahtangga di Propinsi Riau, 1990 (dalam persentase terhadap total pengeluarao masing-masing golongan rumahtangga)* Golongan Rumahtangga
1. Konsumsi akhir 2. Pembayaran Pajak Langsung 3. Pembayaran Transfer Lainnya 4. Tabungan Total
84,W 119,32 0,02
1.06
20.82 4.52 -4.93 -24,90 100,OO 100,OO
60,25
111.54
0,41
1 ,oo
9,04 30.30
12.93 -25.47
100,00 100,OO
Votal dapat tidak sama dengan 100% karena pembulatan Keterangan: Lihat tabel 3.9 mengenai art; kode golongan rumahtangga Sumher: Diolah dari lampiran tabel 5
59
Hasil-hasil yang dapat disimpulkan dari keempat tabek tersebut untuk keadaan di propinsi NTT maupun di propinsi Riau pada tahun 1990 &ah
sebagai berikut:
a. Secara umum, rumahtangga buruh, baik buruh di sektor pertanian maupun b w h di sektor bukan pertanian, memperoleh pendapatan lebim banyak dari upah dan gaji; sedangkan rumahtangga bukan b w h , baik di sektor perbnian maupun di sektor bukan pertanian, memperoleh pendapatan lebih banyak dari s u m s usaha. Pengecualian terdapat pada golongan rumahtangga b u h buruh di sektor bukan pertanian (yaitu mereka yang memperoleh pendapatan utama dari hasil berusaha bukan sebagai buruh di sektor bukan pertanian) di propinsi Riau. Golongan rumahtangga ini mernperoleh pendapatan lebih banyak dari upah dan gaji (57,9 persen dari total pendapatan). Hal ini memberikan i n d i w bahwa pada golongan rumahtangga ini terdapat anggota rumahtangga ymg bekerja sebagai buruh (mungkin di sektor pertanian atau mungkin di sektor btrkan pertania~~);~ b. Secara umum, porsi pengeluaran konsumsi akhir rnengikuti pendaptan rumahtangga secara terbalik. Artinya, rumahtangga dengan pendapatan yang relatif tinggi akan mempunyai porsi konsurnsi akhir yang relatif rendah; dan sebaliknya j uga, ru mah tangga dengan penhpatan yang relatif rendah akan mempunyai parsi konsumsi akhir yang relatif tinggi;
c. Secara umum, golongan rumahtangga miskin mempunyai bbungan yang defisit; sedangkan yang kaya surplus. Pengecualian w a d i pada golongan rumahtangga buruh tani di propinsi NTT. Walaupun golongan ru-gga
ini termasuk
mmahtangga miskin tetapi tabungan mereka tidak defisit, &ah surplus. Dengan perkataan lain, dengan kondisi mereka sebagai mmahtangga miskin, mereka masih dapat menabung walaupun secara nominal relatif kecil, yaitu Rp 55,9 ribu per kapita per tahun. Hal ini dapat tejadi karena di d z m h mereka berdornisili (di desa) tidak banyak pengaruh-pengaruh yang menimbuikan sifat konsumtif,
'Yang dimaksud dengan pendapatan rumahtangga adalah pzdapahn yang diperoleh d e h semua mgsota rumahtangga (kepala dan anggota nmahtangga).
60
sehingga pendapatan mereka dapat ditabung. Sebaliknya terjadi pada golongan rumahtangga bukan buruh di sektor bukan pertanian, baik di pmpinsi NTT maupun di propinsi Riau. Tabungan golongan rumahtangga ini defisit. Namun, seandainya golongan rumahtangga ini lebih dirinci, maka diperkirakan bahwa tidak semua golongan rumahtangga dalam klasifikasi ini mempunpi tabungan yang defisit. Rumahtangga dalam klasifikasi ini yang mempunyai bbungan yang defisit, diperkirakan, misdnya mereka yang berusaha kecil-kecilan, seperti usaha warthg, bengkel sepeda dsb yang kondisi mereka tidak jauh berbeda dengan rumahtangga miskin lainnya; d. Golongan rumahtangga yang mengusahakan lahan pertanian mempunyai tabungan
yang defisit. Hal ini memberikan indikasi kurang berhasilnya usaha mereka. Hal ini disebabkan, salah satu, karena kurang baiknya kondisi lahan di ptopinsi NTI' (misalnya lahan kering yang tidak berpengairan) dan di propinsi Rim (misalnya lahan gambut, bencana banjir, dan hama babi, gajah dsb). Distribusi Pendamtan Faktorial Masalah lain yang dapat ditelaah dari kerangka SNSE regional kedua propinsi adalah masalah distribusi pendapatan faktorial. Distribusi pendapatan ini menggambarkan distribusi atau pola pendapatan yang diterima oleh faktor-faktoll produksi tenagakej a dan modal. Analisis ini akan dihubungkan dengan masalah kemiskinan rumahtangga dalam upaya untuk mengetahui penyebab kemiskinan mahtangga. Untuk itu, analisis pada bagian ini akan dibagi atas 2 (dua) bagian, yaitu analisis distribusi pendapatan tenagakej a dan analisis kon tribusi faktor-faktor produksi (pendapatan tenagakej a dan surplus usaha) terhadap total nilai tarnbah. Faktor produksi tenagakej a mendapat baias jasa berupa upah d m gaji karena berpartisipasi dalam kegiatan produksi. Misalnya, tenagakej a pertanian memperoleh upah dan gaji sebagai balas jasa karena bekerja sebagai buruh di sektor pertanian. Seorang karyawan pemerintah mendapat upah dan gaji sebagai balas jasa karena
partisipasinya dalam sektor pemerintahan.
Dengan berpartisipasi, tenagakerja
meningkatka~nilai tambah sektor produksi dimana dia bekeja. Sedangkan faktor produksi modal memperoleh balas jasa, misalnya, berupa surplus usaha, dividen, sewa rumah, dsb. Dengan modal, proses produksi pada suatu sektor ekmomi dapat berlangsung dan menghasilkan nilai tambah.
Dalam kerangka SNSE regional kedua propinsi kasus, distribusi pendapatan faktorial digambarkan oleh perpotongan neraca baris faktor produksi tenagakej a dan modal dengan neraca kolom sektor procfuksi (lihat baris I dm 2 kolom 9 sampai dengan 25 pada lampiran tabel 4 dan 5). Neraca ini juga sekaligus menggambarkan alokasi nilai tambah yang dapat diciptakan oleh berbagai sektar produksi ke faktorfaktor produksi (tenagakerja dan modal).
1. Distribusi Pendapatan Tenagakerja Dalam kerangka SNSE regional kedua propinsi, tenagakerja dirinci atas: a. tenagakerja pertanian ; dm b. tenagakerja bukan pertar~ian.~ Pada bgian ini, analisis distribusi pendapatan tenagakerja di kedua propinsi difokuskan untuk meninjau perbedaan rata-rata upah dan gaji yang diterima oleh para pekerja. Tabel 3.13 memberikan gambaran tersebut.
4Pada bagian ini, istilah tenagakerja diartikan sebagai pekerja atau buruh (workers), mengikuti istilah pada kerangka SNSE nasional.
Tabei 3.13 Jumlah dan Upah Pekeja (Buruh) Menurut Lapangan Usaha di Propinsi NTT dan Propinsi Riau, 1990 Jumlah Buruh (satuan)'
N'lT 1. Pertanian Tanaman Pangan 2. Bert. Tanaman Lainnya 3. Peternakan 4. Kehutanan 5. Perikanan 6.Sektor Bkn Pertanian Sektor Pertanian Sektor Bkn Pertanian Total
Riau
Rata-rata Upah per Bulan (Rp - Ribu)*
NTT
Riau
15795
3711
57,?8
36077
7006 3312 1422 8595 114742 36130 114742 150872
17716 2382 17673 2491 1 195150 66393 195150 261543
42,85 189,41 26,48 23,47 35,M 57,56 35,05 40,44
97,18 151,75 14,W 18,45 235,19 62,21 235,19 191,28
Sumber: ' Sakernas 1990 * Rata-rata upah dan gaji= Total upah dan gajiljumlah pekeja setelahjumlah pekej a keluarsa dikeluarkan. Total upah dan gaji diperoleh dari lampiran tabel 4 dan 5.
Gambaran umum mengenai distribusi pendapatan tenagakerja (tingkat upah dan gaji) di kedua propinsi pada tahun 1990 adalah bahwa tingkat upah yang diterima oleh tenagakerja di kedua propinsi kasus (terutama di propinsi NIT) ternyata relatif masih rendah. Secara rinci, perbandingan tingkat upah di kedua propinsi kasus adalah sebagai berikut: a. Secara umum, pekerja (buruh) di propinsi Riau memperoleh balas jasa (upah dan gaji) yang lebih tinggi dari pada mereka yang bekej a di propinsi NTT (Rp 191,28 ribu versus Rp 40,44 ribu per bulan per pekeja); b. Di propinsi NTT, upah bekerja di sektor pertanian lebih besar dari pada di sektor bukan pertanian (Rp 57,56 ribu versus Rp 35,05 ribu per bulan per pekerja). Kebalikannya terjadi di propinsi Riau (Rp 62,21 ribu versus Rp 235,19 ribu per bulan per pekerja). Hal ini disebabkan karena sektor bukan pertanian belum
berkembang di propinsi NTT; dan kebalikannya di propinsi Riau;
c. Upah bekerja sebagai buruh di sub-sektor pertanian (seperti di sub-sektor pertanian tanaman pangan dsb) bervariasi. Rendahnya tingkat upah dan gaji yang diterima oleh tenagakerja di kedua propinsi kasus, teru tama di propinsi N'TT, disebabkan karena adanya kelebihan (surplus) tenagakerja (terutama tenagakej a keluarga).' Dengan masuknya tambahan tenagakerja (yaitu tenagakerja keluarga) ke dalam pasar tenagakerja, maka marginal
product of labor (MPL), yang pada awalnya sudah rendah, menjadi lebih turun lagi yang kemudian akan menyebabkan tingkat upah dan gaji menjadi t ~ r u n . ~ Keadaan tersebut dijelaskan secara grafis oleh gambar 3.9. Gambar tersebut menjelaskan bahwa pada tahap awal dimana pekerja keluarga belum masuk ke dalam pasar tenagakerja, MPL ditunjukkan oleh v, dengan banyaknya tenagakerja yang bekerja berjumlah 1,. Pada kondisi tersebut, keseimbangan supply dan demand di pasar tenagakerja
menghasilkan jurnlah tenagakej a yang dapat dipekerjakan
sebanyak 1, dengan tingkat upah sebesar w,. Dengan masuknya (karena adanya tambahan) pekerja keluarga ke dalam psar tenagakerja, maka MPL turun menjadi
v,. Hal ini memberikan implikasi bahwa tingkat upah turun menjadi w, dan banyaknya tenagakerja yang dapat dipekerjakan bertambah menjadi 1,.
'Data dari hasil Sakernas 1990 menyatakan bahwa pada tahun 1990 di propinsi N I T sekitar 50,s persen dari jumlah pznduduk yang beke j a merupakan pekerja keluarga; d a n g k a n di propinsi Riau besaran ini diperkirakan 26.5 persen (I~hatlampiran tabel 11). w e n u rut teori pzrs:ti ngan sempurna, dalam kadaan keseimhangan (equilibrium) di pasar input tznagakerja tingkat upah akan sama dzngan r)rtrrgitrol prducr of lnbor (MPL).
: J
S.1
L 0 .
S.2 V.I!
v.2 '
L
I,
l2
Jumloh Tenogokrrla
Gambar 3.9 Marginal Product of Labor (MPL), Tingkat Upah, dan Banyaknya Tenagakerja di Propinsi NTT dan Propinsi Riau, 1990
1
I1
I I2
2. Kontribusi Faktor-Faktor Produksi (Factor Share) Bagian ini dimaksudkan untuk mengetahui besarnya porsi masing-masing faktor produksi (tenagakerja dan modal) terhadap pembentukan nilai tambah atau terhadap PDRB suatu wilayah. Misalkan suatu sektor (atau industri) di suatu wilayah beroperasi dalam p a w persaingan sempurna @e@?ct competition) dm menggunakan hanya dua faktor produksi, yaitu tenagakerja (L) dan modal (K), untuk menghasifkan output (y), dan mengikuti fungsi produksi Cobb-Douglas: = LaK(1-a)
......................................... (3.1)
Dengan menggunakan manipulasi matematika dapat' ditunjukkan bahwa kontribusi masing-masing faktor produksi terhadap total pendapatan sama dengan parameter-parameter fungsi produksi tersebut, dimana parameter a menunjukkm elastisitas tenagakerja (6y/y)(6L/L) dan parameter (1-a) menunjukkan elastisitas kapital (6yly)(6KIK) (lihat Nafziger, 1990 atau lampiran C pada disertasi ini). Tabel 3.14 menunjukkan dugaan parameter-parameter fungsi Cobb-Douglas dimaksud untuk propinsi NTT dan propinsi Riau menurut sektor yang sekaligus mencerminkan porsi masing-masing faktor produksi dalam pembentukan nilai tambah sektor atau dalam pembentukan PDRB masing-masing wilayah. Dari tabel 3.14 dapat diperlihatkan bahwa secara umum proses produksi di propinsi NTT bersifat intensif tenagakerja (labor intensive) yang dicerminkan oleh parameter tenagakerja (a) yang lebih besar dari pada parameter kapital (1-a); sedangkan di propinsi Riau bersi fat in tensif kapital (capital intensive) yang dicerminkan oleh parameter kapital (1-a) yang kbih besar dari pa& parameter tenagakerja (a). Infarmasi ini juga menjelaskan, misalnya, bahwa nilai tambah di propinsi NTT akan meningkat sekitar 32,48 persen bila modal ditingkatkan sebesar
100 persen. In terpretasi sedelnikian dapat j uga diaplikasikan terhadap parameter tenagakerja, baik di propinsi NTT maupun di propinsi Riau.
Tabel 3.14 Dugaan Parameter Fungsi Cobb-Douglas Menurut Sektor Propinsi NTT dan Propinsi Riau, 1990 NTT
Pert. Tanaman Pangan Pert. Tanaman Lainnya Peternakan Kehutanan 5. Perikanan 6. Industri 7. Lainnya
0,6479 0,4298
0,6073 0,7402 0,7012 0,585 1 0,5714 0,4716 0,4723
0,3927 0,2598 0,2988 0,4 149 0,4286 0,5284 0,5277
Sektor Pertanian Sektor Bkn Pertanian
0,7817 0,2183 0,5671 0,4329
0,6610 0,4723
0,3390 0,5273
Total
0,6752 0,3248
0,4825
0,5 175
1. 2. 3. 4.
0,7956 0,8111 0,7982 0,6480 0,6518 0,3521 0,5702
Sumber: Diolah dari lampiran tabel 4 dan 5
0,2044 0,1889 0,2018 0,3520
Riau
0,3482
Pembanpunan Ekonomi Wilavah 1. Kerniskinan clan Pembangunan Ekonomi
Salah satu indikator yang dapat digunakan untuk menjelaskan mengenai kinerja atau keragaan ekonomi suatu wilayah (propinsi) adalah apa yang disebut sebagai Produk Domestik Regional Bruto (PDRB). Kerangka SNSE regional kedua propinsi kasus dapat rnemperlihatkan besarnya PDRB dimaksud, yaitu jumlah nilai tambah yang diciptakan oleh berbagai sektor ekonomi termasuk pajak tidak langsung (lihat baris 1, 2, dan 28; kohm 9 sampai dengan 25 pada lampiran tabel 4 dan 5). Besamya PDRB masing-masing propinsi kasus atas dasar harga berlaku pada tahun 1990 masing-masing diperkirakan berjumlah Rp 1172174 juta' untuk propinsi NTT dan berjumlah Rp 2671561 juta untuk propinsi Riau (lihat tabel 3.15).7 Tabel 3.15 Neraca PDRB dan Penggunaannya Propinsi N'IT dan Propinsi Riau, 1990 (dalam Rp Juta) Sumber
NTT
Riau
Penggunaan
Upah dan gaji
475 150 (40.5)
1231649 . (461)
Konsumsi akhir
Surplus usaha (tennasuk penyusutan) 6760 13 Pajak tidak langsung net0
Jumlah
Investasi
(57.7)
1320904 (49.4)
2 1011 (198)
1 19008 (4 ,5)
1172174
2671561
Ekspor dikurangi Impor
Kebocoran regional Jumlah
N?T
Riau
1047935 (89,4) 298586 (2595) 342840 (292) 5 17 187 (441)
-
1172174
2671561
- Angka dalam tanda kurung rnenunjukkan persentase terhadap total. Sumher: Diolah dari lampiran tabel 4 dan 5
qotal PDRB termasuk minyak bumi propinsi Riau pada tahun 1990 diperkirakan berjumlah Rp 13230881 juta; sedangkan bila tidak tennasuk rninyak bumi berjumlah Rp 2671561 juta (BPS, 1992a). Total PDRB Rp 2671561 juta dianggap sebagai total PDRB yang dapat dinikmati okh penduduk di propinsi Riau.
68
Dari hasil ini dapat diperlihatkan bahwa secara nominal, total PDRB yang dapat diciptakan oleh propinsi NTT pada tahun 1990 ternyata lebih kecil dari pada yang dapat diciptakan oleh propinsi Riau. Dan berdasarkan BPS (1992b), kontribusi PDRB propinsi N'IT terhadap pernbentukan total PDB nasional (Indonesia) hanya
&sar
0,62 persen; sedangkan propinsi Riau 6,95 persen (lihat lampiran tabel 12). Dengan penduduk propinsi NTT pada tahun 1990 bejumlah 3249972 jiwa,
maka PDRB per kapita propinsi ini pada tabun bersangkutan diperkirakan sekitar Rp 360672. Dan, dengan penduduk propinsi Riau pada tahun 1990 berjumlah 3260607 jiwa, maka PDRB per kapita propinsi ini pada tahun krsangkutan diperkirakan
sebesar Rp 819345. Dengan perbandingan ini dapat dilihat bahwa pendapatan per kapita propinsi penduduk NTT lebih kecil dari pada penduduk propinsi Riau. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa penduduk propinsi NTT secara relatif lebih miskin dari pack penduduk propinsi Riau. Miskinnya propinsi N'IT secara relatif dibandingkan dengan propinsi Riau, salah satu, disebabkan karena adanya kendala kondisi pisik di propinsi tersebut. Propinsi NTT ternyata secara umum mempunyai keadaan geografis yang kurang baik karena hampir semua wilayah di propinsi ini mempakan lahan kering yang kurang subur.
Dan dari total luas lahan yang dapat berproduksi ternyata 70 persen
rnemplcan tanah kering yang kurang subur dan 15 persen merupakan lahan sawah yang tidak berpengairan (KS Propinsi NTT, 1991b). Tabel 3.15 juga menunjukkan bahwa PDRB yang telah dihasilkan oleh propinsi NTT pada tahun 1990, sekitar 89,4 persen dari total PDRB tersebut digunakan sebagai konsumsi akhir dan sekitar 25,5 persen untuk investasi. Sehingga jumlah konsumsi akhir dan investasi di propinsi NIT pada tahun 1990 sudah bejumlah 114,9 persen (yaitu 89,4 persen ditambah dengan 25,5 persen) yang telah melebihi total PDRB yang dapat diciptakan oleh propinsi ini. Keadaan ini memberikan indikasi bahwa sebagian investasi di propinsi NTT pada tahun tersebut dibiayai oleh hutang (dari luar negeri atau dari luar wilayah). Tabel 3.16 lebih lanjut
rnenjelaskan bahwa investasi di prqinsi N?T yang berjurnlah Rp 298586 juta ternyata dibiayai oleh tabungan dornestik sebesar Rp 124238 juta (41,6 persen Qari total investasi); sedangkan sisanya Rp 174347juta (58,4 persen) dibiayai oleh hutang luar negeri (luar wilayah). Demikian juga, dari total PDRB yang dapat dinikmati oleh penduduk propinsi Riau (yaitu sebesar Rp 2671561 juta), sekitar 67,2 persen digunakan untuk konsurnsi akhir clan 158,5 persen untuk investasi. Hal ini juga mempunyai implikasi bahwa investasi di propinsi Riau pada tahun 1990 sebagian dibiayai oleh hutang (dari luar negeri atau luar wilayah). Tabel 3.16 juga lebih lanjut rnenjelaskan bahwa investasi di propinsi Riau yang berjurnlah Rp 4233595 juta ternyata dibiayai oleh tabungan dornestik sebesar Rp 877251juta (20,7 persen dari total investasi); sedangkan sisanya Rp 3356344 juta (79,3 persen) dibiayai oleh hutang luar negeri (luar wilayah). Tabel 3.16 Neraca Kapital Propinsi NTT dan Propinsi Riau, 1990 (dalam Rp Juta) Pengeluaran Investasi
NTT
. Riau
Penerinraan
298586 (100.0)
4233595 (100.0)
Tabungan Hutang
Jumlah
298586 4233595 (1(33,0) (100,O)
Jurnlab
NTT
Riau
124238 (41,6) 174347 (58,4)
877251 (20,7) 3356344 (79,3)
298585 (100,O)
4233595 (100,O)
- Angka dalam tanda kurung menunjukkan persentase terhadap total. - Total persentase dapat tidak sama dengan 100% karena pembulatan. Sumber: Diolah dari lampiran tabel 4 dan 5
Hasil-hasil lain yang dapat diperoleh dari kerangka SNSE regional kedua propinsi kasus adalah: a. Tabungan regional di propinsi NTT pada tahun 1990 diperkirakan sebesar 10,6 persen dari total PDRB propinsi tersebut; sedangkan di propinsi Riau sebesar 32,8 persen (lihat tabel 3.16 atau tabel 3.17). Fakta ini menunjukkan bahwa tabungan
propinsi NTT dapat disebut sebagai kecil; sedangkan tabungan propinsi Riau
be=.
Dan menurut istilah Rostow (1961), propinsi Riau telah siap untuk tinggal
landas; sedangkan propinsi ITIT belum.'
Secara nasional, keadaan ini
mncerminkan kesulitan Indonesia dalam upaya melakukan tinggal landas karena
belum semua propinsi di Indonesia dapat melakukan strategi yang sama. Tabungan propinsi NTT yang kecil, menurut vicious circle theory (dikutip kembali dari Nafziger, 1990), menjadi penyebab dari kemiskinan di propinsi tersebut. Karena pendapatan propinsi ini (yang dicerminkan oleh besarn ya PDRB) rendah, maka hampir semua porsi pendapatan tersebut digunakan untuk konsumsi; sehingga sisa pendapatan yang ditabung untuk maksud pembentukan modal (capitalformation) menjadi kecil.
Oleh karena itu, produktivitas juga menjadi rendah
yang
berimplikasi kepada pendapatan wilayah yang juga rendah; b. Neraca perdagangan propinsi NTT pada tahun 1990 mengalami defisit sekitar Rp 174347 juta dengan ratio ekspor dibanding dengan impor sekitar 2:3. Sedangkan propinsi Riau mempunyai surplus neraca perdagangan sebesar Rp 7202976 juta dengan ratio ekspor terhadap impor 4,7: 1 (lihat tabel 3.18); c. Telah tejadi kebocoran region.al sebanyak Rp 10559320 juta di propinsi Riau
pada tahun 1990 (lihat tabel 3.15). Kebocoran regional ini ternyata cukup besar, yaitu sekitar 6,2 kali dari total PDRB yang dapat dinikmati oleh masyankat propinsi Riau. Kebocoran regional ini dapat berupa keuntungan (profit) yang mengalir ke luar wilayah propinsi Riau karena diperoleh oleh perusahaan asing yang beroperasi di propinsi Riau (seperti Caltex); atau dividen yang diperoleh oleh penduduk yang berdomisili di luar propinsi Riau atas saham yang mereka miliki
'Rostow (1961) menyatakan bahwa untuk dapat menuju tahap tinggal landas (take o m suatu negara (wilayah) hams mempunyai investasi neto sebesar 10 persen atau lebih dari Produk Nasional Neto (PNN) atau Produk Regional Neto (PRN), yaitu PDB atau PDRB setelah dikurangi dengan pajak tidak langsung neto dan penyusutan. Dari data SNSE &pat diperkirikan bahwa besarnya tabungan propinsi NTT dan propinsi Riau masing-masing berjurnlah 6,2 persen dan 27,8 persen dari total PRN. Keadaan ini mencerminkan bahwa, berdasarkan kriteria Rostow tersebut, propinsi Riau sudah layak melakukan tinggal landas; sedangkan propinsi NTT belum.
p d a perusahaan-perusahaan yang beroperasi di propinsi Riau; atau balas jasa atas penggunaan sumberdaya manusia dan modal dari l u a ~negeri atau luar wilayah. Dari hasil-hasil tersebut dapat disimpulkan sementara bahwa kemiskinan d m ketidakmerataan pendapatan di propinsi N?T lebih disebabkan karena kurangnya intensitas pembangunan ekonomi di propinsi bersangkutan yang dihalangi oleh adanya kenciala kondisi pisik wilayah yang kurang baik, yang kemudian menyebabkan kurangn ya sumberday a sosial dan ekonomi propinsi tersebut dalam melakukan pembangunan ekonomi. Hasil yang diperoleh kemudian addah kemiskinan kembdi
(vicious circle theory). Dengan demikian, kemiskinan di propinsi NTT dapat digolongkan sebagai kemiskinan struktural. Sedangkan di propinsi Riau kemiskinan dan ketidakmerataan pendapatan lebih disebabkan karena kegagalan fungsional dari berbagai kebiiakan, yang dicerminkan oleh adanya kebocoran regional di propinsi tersebut, sehingga hasil-hasil pembangunan ekonomi di propinsi tersebut tidak &pat dinikmati oleh penduduk setempat. Dengan demikian, kemiskinan di propinsi Riau dapat digolongkan sebagai kemiskinan fungsional. Kasus di propinsi Riau yang diperoleh oleh penelitian ini kelihatannya sesuai dengan pernyataan Pakpahan dan Hermanto (1993) yang mengatakan bahwa kemiskinan sebagai suatu proses yang mencerminkan kegagalan suatu sistem masyarakat dalam mengalokasikan sumberdaya dan dana secara adil kepada masyarakat. Hal yang senada juga dinyatakan oleh Penny
(1990) yang mengatakan bahwa salah satu penyebab kemiskinan adalah kegagalan mekanisme pasar (market failure) dalam mengalokasikan sunberdaya secara adil kepda masyarakat.
Tabel 3.17 Neraca Pendapatan dan Pengeluaran Institusi Propinsi NTF dan Propinsi Riau, 1990 (dalam Rp Juta) Pengeluaran Pengeluaran konsumsi rumahtangga Pengeluaran konsumsi pemerintah Tabungan
NTT
Riau
83 1091 (70.9)
1520724 (56,9)
Pendapatan faktor
216845 (18.5) 124238 1 172174
Jumlah
Penerirnaan
(100.0)
Pajak tidak langsung
273586 (10,2) 877251 (l0,6) (32,8) 2671561 (100.0)
NTT
Riau
1151163 (982)
2552553 (95,5)
21011 (198)
119008 (495)
1172174 (1~90)
Jurnlah
2671561
(1oo;o)
- Angka dalam tanda kurung menunjukkan persentase terhadap total. - Total persentase dapat tidak sama dengan 100% karena pernbulatan. Sumber: Diolah dari lampiran tabel 4 dan 5
Tabel 3.18 Neraca Perdagangan Luar Negeri Propinsi NTT dan Propinsi Riau, 1990 (dalam Rp Juta) Pemasukan
NTT
Riau
Pengeluaran
NlT
Riau
Ekspor Defisit
342840 174347
9098603
Impor Surplus
517187
1895627 7202976
Jumlah
517187
9098603
Jumlah
517187
9098603
Sumber: Diolah dari lampiran tabel 4 dan 5
-
73
2. Kemiskinan dan Sektor Pertanian Dari kerangka SNSE regional kedua propinsi kasus dapat juga diperdeh
in formasi mengenai peranan sektor-sektor ekonomi dalam pembentukan PDRB masing-masing propinsi. Tabel 3.19 dan 3.20 menyajikan informasi tersebut.' Dari tabel-tabel terseht dapat diperlihatkan bahwa sektor pertanian merupakan sektor yang paling besar peranannya (sekitar 52,2 persen) dalam pembentukan PDRB propinsi NTT pada tahun 1990. Sedangkan di propinsi Riau, sektor perdagangan menrpakan sektor yang mempunyai peranan yang paling besar (sekitar 6,3 persen, di luar sektor pertambangan dan penggalian dan sektor pengilangan minyak) di
antara sektor-sektor lainnya dalam pembentukan PDRB pada tahun 19901°; wdaupun sektor pertanian juga berperan besar dalam pembentukan PDRB propinsi ini, yaitu sekitar 4,8 persen. Hal ini menggambarkan bahwa, secara total, nilai tambah yang diciptakan oleh sektor pertanian relatif besar dibandingkan dengan sektor-sektor lainnya. Sementara itu, dari data KS Propinsi N I T (1991b) dan KS Propinsi Riau (1991b) menunjukkan bahwa sektor pertanian, dimana banyak penduduk miskin menggantungkan hidup mereka, berkernbang relatif kurang baik yang dicerminkan oleh turunnya kontribusi sektor pertanian terhadap PDRB masing-masing propinsi (lihat lampiran tabel 7) dan oleh rendahnya tingkat pertumbuhan sektor pertanian (lihat lampiran tabel 13). Keadaan ini mencerminkan bahwa sektor pertanian kurang dapat mendukung penduduk miskin dalam memperoleh penghasilan yang relatif cukup, sehingga dalam usaha memperokh penghasilan yang lebih baik, banyak 91nformasi mengenai ha1 ini sebenamya diperoleh dari tabel 1-0 regional kedua propinsi kasus (disajikan pada lampiran A.3 dan A.4 masing-masing untuk propinsi N'IT dan propinsi Riau) yang merinci sektor-sektor ekonorni di kedua propinsi kasus secpra lebih nnci dari pada yang disajikan oleh kerangka SNSE regional. I0Menurut tabel 3.20, sektor pertambangan dan penggalian dan sektor pengilangan minyak di propinsi Riau rnemherikan kontribusi yang sangat besar terhadap perekonomian propinsi Riau, tetapi seperti telah dijelaskan sebelumnya bahwa sebagian besar kontribusi sektor ini temyata bocor ke luar propinsi Riau. Dengan pertimhangan tersebut, rnaka analisis kontribusi sektoral di propinsi Riau tidak mnyertakan sektor ini.
penduduk yang berpindah lapangan pekerjaan dari sektor pertanian ke sektor bukan pertanian (lihat lampiran tabel 8). Namun, dalam h d ini penulis berpendapat bahwa menurunnya nilai tambah sektor pertanian terutama disebabkan karena harga komoditas-komoditas sektor pertanian yang relatif rendah sehingga pendapatan mereka yang tergantung kepada sektor pertanian juga menjadi rendah. Tabel 3.19 Kontribusi Sektor-Sektor Ekonomi Propinsi NTT, 1990 Terhadap Output, Nilai Tambah, Pendapatan Tenagakerja, Ekspor, dan Impor Sehor
Jumlah 1. P a d i 2. Beraa Turbuk 3. Beras G i l i n g 4.
Jaqtmg
5. K e t d a Pohon 6. Umbi-umbian
Nilai Tambah
Output
lainnya
7 . Gaplek dan P a t i
8. Kacang Tanah
9. K-lai 10. Kacnrg-kaaangan
Lainnya
11. Tarnuan Bhn Uak Lainnyo 12. Z r n w n Pmrkebunan 13. Pmternakan 14. Kmhutanm 15. Perikonan 16. I n d u s t r i Hpk d a n Hin 17. I n d u s t r i Lainnya 18. P e n g i l a n g a n Hinyak 19. L i s t r i k dan A i r Hfnum 20. Bangunan d m K o n s t r u k s i 21. Perdagangan 22. R a s t o r a n d m S o t e l 23. Pengangkutan dan for 24. Labg Keuangan/Sewa Rmh 25. Pem dan P e r t a h a n a n 26. J a s r - j a a a Lainnyo 27. S r l i s i h
%
Jumlah
Pendapatan
%
Jumlah
%
Jumlsh 6074000
B e t a s Tumbuk 3. Beras O i l i n g 4. J a q u n g 5 . K e t e l a Pohon 6. Vmbi-urbian l a i n n y a 7. c a p l e k dam P a t i 8 . Xacaag Tanah 9. X e d r l a i 10. Xacmg-kacangan L a i n n y a 11. Tanaman Bhn X l k Lailrnya 12. T a n u a n P e r k e b u n a n 13. P e t e r n a k a n 14. Kehutanan 15. P e r i k a a a n 16. I n d u s t r i X l k d a n Hinuman 17. I n d u s t r i L a i n n y a 18. P e n g i l a n g a n Minpak 19. L i s t r i k d a n A i r H i n u r 20. Bangunan d a n K o n s t r u k s i 21. P e r d a g a n g a n 22. R e s t o r a n d a n H o t e l 23. Pengangkutan d a n X a 24. Iabg Keuangan/Sewa Rmh 25. P u d a n P o r t a h a n a n 26. J a s a - j a s a L a i n n y a 27. K o n s u r s i A k h i r 2.
Total
3065 554976 67136 30720 8775 256 12633 4746 6628 2791624 697260 368528 222812 4237768 494845 187401 2779660 3686002 38354088 4623136 za4't76 35760832 573808 16 1745672 413653820
Jumlah 0
Tabel 3.20 Kontribusi Sektor-Sektor Ekonomi Propinsi Riau, 1990 Terhadap Output, Nilai Tambah, Pendapatan Tenagakerja, Impor, dan Ekspor
Output Jumlah 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. 28.
Nilai Tambah
%
Jumlah
Pendapabn %
Jumlah
%
Padi Beras Tumbuk Beras Giling Jagung Ketela Pohon Umbi-umbian lainnya Gaplek dan Pati Xacang Tanah Kedelai Kacang-kacangan Lainnya Tanaman Bhn Mak Lainnya Tanaman Perkebunan Peteraakan Kehutanan Perikanan Pertamb dan Penggalian Industri Mak dan Min Industri Lainnya Pengilangan Minyak Listrik dan Air Minum Bangunan dan Konstruksi Perdagangan Restoran dan Hotel Pengangkutan dan Kom Lmbg xeuangan/Sewa ruth Pen dan Pertahanan Jasa-jasa Lainnya Seliaih Total
17939414 100.0
23230883 100.0
1788031 100.0
Sektor
Impor Juntlah
%
Ekspor Jumlah
%
1. Padi 2. Beras Tumbuk 3 . Beras Giling 4. Jagung 5. Ketela Pohon 6. Ombi-umbian lainnya 7. Gaplek dan Pati 8. Kacang Tanah 9. Kedelai 10. Kacang-kacangan Lainnya 11. Tanaman Bhn Mak Lainnya 12. Tanaman Perkebunan 13. Petexnakan 14. Kehutanan 15. Perikanan 16. Pertamb ban Penggalian 17. Industri Mak dan Min 18. Industri Lainnya 19. Pengilangan Minyak 20. Listrik ban Air Minun 21. Bangunan &an Konstruksi 22. Perdagangan 23. Restoran ban Hotel 24. Pengangkutan dan Kom 25. Lrnbg Keuangan/Sewa Rmh 26. Pen dan Pertahaxran 27. Jasa-jasa Lainnya 28. Konsumsi Akhir Total
1895627 100.0
9090603 100.0
78
Pada sisi sektor pertanian sendiri, dari tabel-tabel 3.19 dan 3.20 dapat diperlihatkan bahwa sektor peternakan di propinsi NTT merupakan sektor yang memberikan kontribusi yang relatif besar, baik terhadap output, nilai tambah, pendapatan tenagakerja, maupun ekspor propinsi ini.I1 Sedangkan di propinsi Riau, dapat diperlihatkan bahwa sektor tanarnan perkebunan merupakan sektor yang memberikan kontribusi yang relatif besar baik terhadap output, nil& tambah, pendapatan tenagakeja, dan ekspor.
3. Pertumbuhan Ekonomi dan Distribusi Pendapatan Bagian ini akan menjelaskan mengenai pertumbuhan ekonomi dan kerniskinan rumahtangga serta hubungan kedua permasalahan tersebut di kedua propinsi kasus. Salah satu permasalahan yang akan dijelaskan pada bagian ini adalah mengenai perkiraan dampak yang terjadi terhadap perekonomian kedua propinsi kasus seandainya suatu injeksi dilakukan terhadap salah satu komponen permintaan akhir. Untuk maksud ini, model yang akan digunakan adalah model tabel Input-Output (model 1-0): X = (I - A)"F .............................. (3.2) dimana (I - A)-' = matrik kebalikanI2 = matrik pengganda
Matrik tersebut menjelaskan dampak yang tejadi terhadap neraca endogen akibat perubahan pada neraca eksogen; yaitu akibat perubahan 1 unit pada neraca eksogen (neraca permintaan akhir) akan men yebabkan perubahan sebesar @-A)-' unit pada neraca endogen.
"Yang dimaksud dengan ekspor di sini adalah semua ekspor yang dilakukan oleh propinsi bersangkutan, baik ke luar negeri maupun ekspor antar propinsi atau antar pulau. "Matrik ini b i a s juya disebut sebagai Leontief brterse matrix. Matrik ini dapat diperdeh dengan card mencari matrik kehalikan (inverse nrntrir) kuadran I (perlama) tabel 1-0 regional kedua propinsi kasus.
Dalam penelitian ini, model 1-0 seperti ditunjukkan oleh persamaan (3.2) dimodifikasi lagi menjadi bentuk persamaan (3.2a) untuk dapat lebih menjelaskan dampak perubahan neraca eksogen (neraca permintaan akhir)
terhadap neraca
endogen (yaitu neraca kegiatan sektor-sektor ekonomi dalam wilayah) masing-masing propinsi kasus. Modifikasi tersebut menjadi: X = (I - Ad)-IF
............................. (3.2a)
dimana (I - Ad)-' = matrik pengganda domestik Perbedaan persamaan (3.2) dengan persamaan (3.2a) adalah bahwa pada persamaan (3.2) matrik A merupakan matrik koefisien input'antara (intermediate inputs) domestik dan impor (dari luar negeri atau dari luar wilayah); sedangkan matrik Ad pada persamaan (3.2a) merupakan matrik koefisien input antara domestik saja (input antara impor sudah dikeluarkan dari struktur input). Sebagai akibat dari modifikasi ini adalah bahwa kerangka SNSE regional kedua propinsi kasus harus dibuat dalam bentuk transaksi domestik atas dasar harga produsen. Dan juga dalam penelitian ini, penghitungan matrik pengganda dengan menggunakan persamaan (3.2a) dilakukan dengan menggunakan model pengganda tertutup (closed multiplier). Model pengganda tertutup mengasumsikan bahwa dalam kegiatan ekonomi suatu wilayah, sektor rumahtangga dianggap sebagai sektor endogen, yaitu suatu sektor dimana pendapatan atau pengeluaran sektor bersangkutan tergantung kepada sistem perekonomian atau, dengan perkataan lain, ditentukan di dalam sistem. Disamping itu, dalam bagian ini akan dijelaskan juga mengenai keterkaitan yang terdapat antar sektor ekonomi di kedua propinsi kasus. Keterkaitan tersebut dibedakan atas keterkai tan ke belakang (backward linkages) dan keterkaitan ke depan (jbnvard linkages) yang masing-masing didefinisikan sebagai: b, = (C,c,)/((l/n)(C,CJc,))
........................
(3.3)
f, = (CJc,J)/((l/n)(C,CJc,))
.........................
(3.4)
dan
dimana bj
= keterkaitan ke belakang
fi
= keterkaitan ke depan
cij = elemen matrik kebalikan (I-Ad)-'baris ke-i, kolom ke-j Cici = dampak yang ditimbulkan oleh suatu unit permintaan akhir sektor ke-j terhadap semua sektor Cjc6 = dampak yang ditimbulkan oleh satu unit permintaan akhir semua sektor terhadap salah satu sektor Bila keterkaitan ke belakang (koefisien bi) suatu sektor tinggi (biasanya lebih besar dari satu), m a h ha1 itu berarti bahwa sektor bersangku& berpengaruh besar terhadap perkembangan sektor-sektor lain. Bila keterkaitan ke depan (koefisien fi) suatu sektor tinggi (biasanya lebih besar dari satu), maka ha1 tersebut berarti bahwa sektor bersangkutan sangat peka terhadap perkembangan sektor-sektor lainnya. Nilai koefisien keterkaitan ke belakang maupun keterkaitan ke depan dihitung atas dasar model pengganda tertutup untuk output sektor dan juga untuk pendapatan tenagakerja. Tabel 3.21 dan 3.22 masing-masing menunjukkan pengganda output dm pengganda pendapatan tenagakerja untuk propinsi NTT pada tahun 1990. Tabel 3.21, rnisalnya, menjelaskan bahwa bila terdapat suatu injeksi (perubahan dalam permintaan akhir) sebesar 1 unit terhadap sektor 1 (yaitu sektor padi)13, maka injeksi tersebut akan menyebabkan kenaikan output sektor itu sendiri akibat dampak transfer (dampak awal) sebesar 0,0666 unit; akibat dampak industri sebesar 0,0084 unit; dan akibat dampak konsumsi sebesar 0,1979 unit; sehingga menghasilkan dampak total sebesar 1,2730 unit (yaitu 1 +0,0666+0,0084 +0,1979). Secara persen tase, kenaikan output sektor padi sebesar 1,2730 unit akibat adanya injeksi sebesar 1 unit pada kuadran permin taan akhir akan mengakibatkan kenaikan sekitar 27,30 persen (yaitu 11,2730-1]/ 1, ditunjukkan oleh ope 2b pada tabel 3.2 1) terhadap output sektor padi.
"Lihat tabel 3 . 1 9 atau tabel 3.20 mengenai arti dari nomor sektor-sektor ekonomi yang terdapat pada tahel 3.21 dan 3.22.
81
Interpretasi yang serupa dapat dilakukan terhadap sektor-sektor yang lainnya di propinsi NTT dengan menggunakan hasil mengenai dampak pengganda seperti ditunjukkan oleh tabel 3.2 1 .
Pengganda Output Propinsi NTT, 1990* SEXTOR
INETIAL
FIRST
INDUST
1
1.0000
0.0666
0.0084
2
1.0000
0.7751
0.0636
3
1.0000
0.8980
0.1029
4
1.0000
0.0794
0.0116
5
1.0000
0.0339
0.0046
6
1.0000
0.0263
0.0035
7
1.0000
0.6006
0.0339
8
1.0000
0.1590
0.0308
9
1 .OOOO
0.0475
0.0059 0.0374
10
1 .OOOO
0.1835
11
1.0000
0.0398
0.0041
12
1.0000
0.0158
0.0026
13
1.0000
0.0649
0.0069
14
1 .OQOO
0.0377
0.0084
15
'1.0000
0.1325
0.0380
16
1.0000
0.1193
0.0249
17
1 .OOOO
0.6374
0.6094
18
1 .OOOO
0.3047
0.0559
19
1 .OOOO
0.2359
0.0616
20
1 .OOOO
0.2377
0.0391
21
1.0000
0.1056
0.0236
22
1.0000
0.3755
0.1379
23
1.0000
0.1982
0.0494
24
1.0000
0.1419
0.0388
25
1.0000
0.0000
0.0000
26
1.0000
0.2207
0.0553
* Liltat trhel 3.19 ~ u s ~ p s rrti ~ a ikode sektnr.
CONS'H
TOTAL
R P E 1A
TYPE 18
%XPE 2&
=PI:
2B
Tabel 3.22 Pengganda Pendapatan Tenagakerja Propinsi NTT, 1990* SEKTOR
INITIAL
FIRST
INDUST
18
0.1880
0.0741
19
0.2417
0.0578
0.0157 0.0157
20
0.2370
0.0561
0.0107
21
0.2499
0.0285
0.0062
22
0.2179
0.0790
0.0285
23
0.2329
0.0625
0.0137
24
0.2681
0.0344
0.0100
25
0.9488
0.0000
0.0000
26
0.4605
0.0586
0.0142
* Lihal tabel 3.19 mengenai ani kode sektor.
CONS'M
TOTAL
TYPE l A
TYPE l B
TYPE 2A
TYPEZB
83
Injeksi 1 unit yang terjadi pada neraa permintaan akhir di propinsi NTT tersebut, selain n~emberikandampak kepada output sektor, juga akan menyebabkan kenaikan pendapatan tenagakej a secara total sebesar 0,2232 unit. Kenaikan ini dapat dirinci sebagai berikut: 0,O 141 unit sebagai dampak transfer (dampak awal); 0,002 1 unit sebagai akibat dampak industri; dan 0,0378 unit sebagai akibat dampak konsumsi. Secara persentase, total k e n a i h pendapatan tenagakerja akibat adanya injeksi 1 unit pada neraca permintaan akhir diperkirakan sekitar 31,87 persen (yaitu 0,2232 unit dibagi dengan 0,1693 unit, lihat type 2b pada tabel 3.22) dimana 0,1693 unit merupakan struktor nilai tambah untuk pendapatan tenagakerja (upah dan gaji) yang diperoleh dari tabel 1-0 regional propinsi NTI' (lihat lampiran A.3). Dari tabel 3.21 dan 3.22 dapat ditunjukkan bahwa sektor 17 (industri lainnya) merupakan sektor dengan pengganda output yang terbesar (sebesar 1,4606 unit atau dengan dampak kenaikan sebanyak 146,06 persen); dan sektor 3 (beras giling) merupakan sektor dengan pengganda pendapatan tenagakerja yang terbesar di propinsi N I T pada tahun 1990 (sebesar 0,2536 unit atau dengan dampak kenaikan sebanyak
597,92 persen).
Sedangkan sektor petemakan (kode 13) mempunyai dampak
pengganda output sebesar 1,4477 (dengan dampak kenaikan sebesar 44,77 persen); dan dampak pengganda pendapatan tenagakerja 0,4241 (dengan dampak kenaikan sebesar 25,98 persen). Informasi dan interpretasi yang serupa mengenai pengganda output dan pengganda pendapatan tenagakerja dapat juga diperoleh untuk propinsi Riau. Tabel-tabel 3.23 dan 3.24 menyajikan ha1 tersebut. Dari tabel-tabel tersebut dapat disimpulkan bahwa sektor 26 (pemerintahan dan pertahanan) merupakan sektor dengan pengganda output yang terbesar (sebesar 2,6677 unit atau dengan dampak kenaikan sebanyak 166,77 persen); dan sektor 18 (industri lainnya) merupakan sektor dengan pengganda pendapatan tenagakerja yang terbesar di propinsi Riau pada tahun 1990 (sebesar 0,22 12 unit atau dengan dampak kenaikan sebanyak 1021 3 4 persen). Sedangkan sektor tanaman perkebunan (kode 12) mempunyai dampak pengganda
84
output sebesar 1,5283 (dengan dampak kenaikan sebesar 52,83 persen); dan dam@ pengganda pendapatan tenagakerja 0,3288 (dengan darnpak kenaikan sebesar 24,60 persen). Tabel 3.23 Penggancta Output Propinsi Riau, 1990* SEATOR
INITIAL
FIRST
INDOST
CONSVM
TOTAL
TYPE 1A
TYPE 1B
TYPE 2A
TYPE 2B
Tabel 3.24 Pengganda Pendapatan Tenagakerja Propinsi Riau, 1990* SEKTOR
INITIAL
FTRST
INDUST
CONS'M
T07AL TYPE 1A
TYPE l B
1.1583 2.8098 5.8357 1.0965 1.1406 1.2542 1.0349 1.3144 1.iosr 1.1000 1.1056 1.0354 1.0834 1.4057 3.0238 1.1344 3.8786 9.320' 1.3336 1.4856 1.2626 1.6634 1.5286 1.5620 1.1603 1.0000 27
0.3507
0.0520
0.0238
*LiLat tshd 3.19 l u e ~ l g e ~arti t i kc& sektor.
1.1161
TYPE 2A
TYPE 2B
Dari hasil-hasil pengganda output dan pengganda pendapatan tenagakerja seperti yang telah dijelaskan sebelumnya dapat disimpulkan bahwa sektor peternakan di propinsi NTT dan sektor tanaman perkebunan di propinsi Riau, yang pada bagian sebelumnya telah ditunjukkan sebagai sektor ekonomi dalam lingkup sektor pertanian yang memberikan kontribusi relatif besar terhadap perekonomian kedua propjnsi kasus, ternyata mempunyai dampak output dan dampak pendapatan tenagakerja yang tidak besar, tetapi masih berada pa&
tingkatan menengah dibandingkan dengan
sektor-sektor ekonomi lainnya. Tabel 3.25, yang diperoleh dari matrik kebalikan tertutup tabel 1-0 propinsi
NTT, menjelaskan mengenai kete~kaitanke belakang output suatu sektor terhadap output sektor-sektor yang lainnya akibat adanya injeksi (adanya perubahan) pada neraca permintaan akhir di propinsi NTT. Dari tabel tersebut dapat diperlihatkan bahwa output sektor ekonomi di propinsi NTT yang mempunyai pengaruh terbesar terhadap perkembangan output sektor-sektor yang lain adalah sektor 17 (industri lainnya), yaitu sebesar 2,4606 dibandingkan dengan rata-rata keterkaitan ke belakang sebesar 1,5964. Sedangkan sektor peternakan (kode 13), yaitu sektor ekonomi dalam lingkup sektor pertanian yang mempunyai kontribusi relatif besar terhadap output sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, mempunyai keterkaitan ke belakang sebesar 1,4477, berada di bawah rata-rata propinsi (1,5964). Dengan demikian, peningkatan output sektor peternakan di propinsi NTT dapat dikatakan kurang berpengaruh terhadap output sektor-sektor lainnya. Tabel 3.26 menjelaskan mengenai keterkaitan ke &pan (menjelaskan mengenai masalah kepekaan) output suatu sektor terhadap output sektor-sektor yang lainnya di propinsi NTT. Dari tabel tersebut dapat diperlihatkan bahwa output sektor ekonomi
di propinsi N?T yang mempunyai kepekaan terbesar terhadap perkembangan output sektor-sektor yang lain adalah sektor 1 (padi), yaitu sebesar 4,5783 dibandingkan dengan rata-rata keterkaitan ke depan sebesar 1,5964. Sedangkan sektor peternakan (kode 13) mempunyai keterkaitan ke depan sebesar 1,2701, berada di bawah rata-rata
87
propinsi (1,5964). Dengan demikian, output sektor peternakan di propinsi NTF juga dapat dikatakan kurang peka terhadap perkembangan output sektor-sektor lainnya. Tabel 3.25 Keterkaitan Ke Belakang Output Suatu Sektor Terhadap Output Sektor-Sektor yang Lain Propinsi NTT, 1990* s=========s=====--==s=====3---==s==-L----=--s---
SEKTOR - 5 s
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26
TWAL
MEAN
---=====-3=--
1.1730 2.0942 2.2257 1.3080 1.2256 1.2170 1.9119 1.4768 1.2757 1.4960 1.3327 1.4380 1.4477 1.3558 1.4644 1.3686 2.4606 1.6571 1.6339 1.6010 1.4329 1.8606 1.5774 1.5141 2.0124 1.8451
0.0490 0.0805 0.0856 0.0503 0.0471 0.0468 0.0735 0.0568 0.0491 0.0575 0.0513 0.0553 0.0557 0.0521 0.0563 0.0526 0.0946 0.0637 0.0628 0.0616 0.0551 0.0716 0.0607 0.0582 0.0774 0.0710
---------------------------=--............................. Rata-rats
STmDARD COEFFICIEWT DEVlATlON VARIATION
1.5964
X
0.2086 0.2426 0.2664 0.2047 0.1998 0.1948 0.3174 0.2023 0.1979 0.2225 0.2021 0.1949 0.1985 0.1949 0.1980 0.1967 0.2465 0.1959 0.2155 0.1952 0.2033 0.1963 0.2224 0.2003 0.1961 0.2047
4.2613 3.0120 3.1123 4.0683 4.2396 4.1616 2.9558 3.5623 4.0341 3.8665 3.9435 3.5238 3.5654 3.7367 3.5152 3.7364 2.6049 3.0731 3.4288 3.1702 3.6894 2.7428 3.6650 3.4393 2.5334 2.8841
BACKWARD LINKAGE
--
0.7974 1.3118 1.3942 0.8193 0.7677 03.7623 1.1977 0.9251 0.7991 0.9371 0.8348 0.9008 0.9069 0.8493 0.9173 0.8573 1.5414 1.0380 1.0235 1.0029 0.8976 1.1655 0.9881 0.9484 1.2606 1.1558
= c p _ I
x
=E===E====I-=I--====I=-====E==II____-a=_m_=-=-Z-
Contoh: 0 , 7 9 7 4 = ( 1 , 2 7 3 0 / 1 , 5 9 6 4 ) ' D i h i t u n g berdasarkan m a t r i k k e b a l i k a n t e r t u t u p . L i b a t t a b e l 3 . 1 9 mengenai a r t i kode s e k t o r .
X
x
Tabel 3.26 Keterkaitan Ke Depan Output Suatu Sektor Terhadap Output Sektor-Sektor yang Lain Propinsi NIT, 1990*
-
=-z?--=f======il====-=-__=I===S==v
S E m R
TOTAL
MEAN
STANDARD COEFFICIENT DEVIATION VARIATION
FORWARD LINKAGE
--==S====E=l=s=n==-=E====:=1-----
1 2 3 4 5 6 7 8
9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26
4.5783 1.0347 3.2402 1.6744 2.2859 1.0080 1.0013 1.0941 1.0540 1.1540 1.5674 1.03M 1.2701 1.0944 1.0662 1.1122 1.0703 1.1138 1.4190 1.2867 2.7768 1.0868 3.1348 1.8331 1.0000 1.5126
0.1761 0.0398 0.1246 0.0644 0.0879 0.0388 0.0385 0.0421 0.0405 0.0444 0.0603 0.0399 0.0489 0.0421 0.0410 0.0428 0.0412 0.0428 0.0546 0.0495 0.1068 0.0418 0.1206 0.0705 0.0385 0.0582
0.2946 0.1961 0.2281 0.2016 0.2172 0.1961 0.1961 0.2039 0.1992 0.2245 0.1999 0.1966 0.1984 0.1963 0.1994 0.1980 0.1962 0.1959 0.2157 0.1957 0.1943 0.1967 0.2123 0.1967 0.1961 0.2031
1.6728 4.9264 1.8305 3.1311 2.4701 5.0590 5.0924 4.8464 4.9139 5.0572 3.3162 4.9300 4.0621 4.6625 4.8622 4.6280 4.7661 4.5724 3.9525 3.9546 1.8194 4.7054 1.7611 2.7896 5.0990 3.4909
---------
2.8679 0.6481 2.0297 1.0489 1.4319 0.6314 0.6272 0.6854 0.6603 0.7229 0.9818 0.6496 0.7956 0.6855 0.6679 0.6967 0.6705 0.6977 0.8889 0.8060 1.7394 0.6808 1.9636 1.1483 0.6264 0.9475
..............................................
Rata-rata
1.5964
x
x
x
z==E-====l============___=====E==x=L
C o n t o h : 2,8679=(4,5783/1,5964) L i h a t t a b e l 3.19 m e n g e n a i a r t i k o d .
-=----
x
sektor.
Ditinjau dari sisi pendapatan tenagakerja, sektor di propinsi NTT yang berpengaruh besar terhadap pendapatan tenagakeja maupun yang sangat peka terhadap perkembangan sektor-sektor lain, yang dihitung dari matrik kebalikan tertutup, adalah sektor 25 atau sektor pemerintahan dan pertahanan dengan indek keterkaitan ke belakang sebesar 1,1420, berada jauh di atas rata-rata propinsi sebesar 0,3605 dan indek keterkaitan ke depan sebesar 0,9488, juga berada jauh di atas ratarata propinsi 0,3605 (lihat tabel 3.27 dan 3.28). Sektor peternakan (kode 13) di propinsi NTT mempunyai keterkaitan ke belakang dan ke &pan masing-masing sebesar 0,4241 dan 0,4276, berada di bawah rata-rata propinsi (0,3605). Dengan demikian, sektor peternakan di propinsi N I T juga dapat dikatakan kurang krpengaruh dan kurang peka terhadap perkembangan sektor-sektor lainnya.
Tabel 3.27 Keterkaitan Ke Belakang Suatu Sektor Terhadap Pendapatan Tenagakerja Propinsi NTT, 1990* -----------------------------======= ------==----------............................. ==-----------SECTOR
TOTAL
MEAN
STAWDARD COEFFICIENT DEVIATION VARSATION
BACKWARD LXNXAGE
........................................................
1
2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26
0.2232 0.2882 0.2536 0.2448 0.2109 0.2112 0.3129 0.3237 0.2508 0.3105 0.3258 0.4733 0.4241 0.3495 0.3315 0.2531 0.2412 0.3345 0.3794 0.3657 0.3426 0.3917 0.3721 0.3761 1.1420 0.6419
0.0086 0.0111 0.0098 0.0094 0.0081 0.0081 0.0120 0.0125 0.0096 0.0119 0.0125 0.0182 0.0163 0.0134 0.0128 0.0097 0.0093 0.0129 0.0146 0.0141 0.0132 0.0151 0.0143 0.0145 0.0439 0.0247
0.0353 0.0306 0.0302 0.0373 0.0330 0.0325 0.0326 0.0447 0.0385 0.0460 0.0524 0.0758 0.0669 0.0540 0.0472 0.0339 0.0216 0.0371 0.0521 0.0464 0.0509 0.0426 0.0521 0.0538 0.1848 0.0942
4.1099 2.7642 3.0943 3.9573 4.0725 3.9965 2.7076 3.5922 3.9963 3.8508 4.1828 4.1665 4.1034 4.0209 3.7023 3.4854 2.3235 2.8859 3.5734 3.2964 3.8615 2.8310 3.6417 3.7171 4.2082 3.8145
0.6192 0.7992 0.7034 0.6790 0.5851 0.5857 0.8679 0.8978 0.6955 0.8611 0.9037 1.3126 1.1764 0.9693 0.9195 0.7021 0.6689 0.9276 1.0524 1.0142 0.9502 1.0863 1.0321 1.0431 3.1675 1.7803
....................................
Rata-rata
0.3605
x
x
x
====fl========E===========-===========Z~=5-C__====1==tL-==-
Contoh: 0 , 6 1 9 2 = ( 0 , 2 2 3 2 / 0 , 3 6 0 5 ) + Libat t a b e l 3 . 1 9 r e n g e n a i a r t i kode s e k t o r .
x
-.
Tabel 3.28 Keterkaitan Ke Depan Suatu Sektor Terhadap Pendapatan Tenagakerja Propinsi N'TT, 1990* =------
XEe====E==--i=S=?-=_II====E====----
SEKTOR
TOTAL
MEAN
...................................... -----------------------------------------=1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26
0.7751 0.0931 0.1177 0.3049 0.3783 0.1682 0.1453 0.2415 0.2053 0.2385 0.4059 0.4022 0.4276 0.3030 0.2540 0.1917 0.0670 0.2094 0.3429 0.3050 0.6939 0.2368 0.7302 0.4914 0.9488 0.6966
STANDARD COEFFICIENT DEVIATION VRRIATION
0.0298 0.0036 0.0045 0.0117 0.0146 0.0065 0.0056 0.0093 0.0079 0.0092 0.0156 0.0155 0.0164 0.0117 0.0098 0.0074 0.0026 0.0081 0.0132 0.0117 0.0267 0.0091 0.0281 0.0189 0.0365 0.0268
-------
0.0499 0.0176 0.0083 0.0367 0.0359 0.0327 0.0285 0.0450 0.0388 0.0464 0.0518 0.0763 0.0668 0.0543 0.0475 0.0341 0.0123 0.0368 0.0521 0.0464 0.0486 0.0429 0.0495 0.0527 0.1861 0.0935
.............................................. ----------------------------------------------== Rata-rata 0,3605 x x ............................................... ..................................................
1.6728 4.9264 1.8305 3.1311 2.4701 5.0590 5.0924 4.8464 4.9139 5.0572 3.3162 4.9300 4.0621 4.6625 4.8622 4.6280 4.7661 4.5724 3.9525 3.9546 1.8194 4.7054 1.7611 2.7896 5.0990 3.4909
FORWARD LINKhGE 2.1497 0.2581 0.3266 0.8458 1.0493 0.4664 0.4030 0.6698 0.5694 0.6614 1.1257 1.1156 1.1860 0.8403 0.7044 0.5318 0.1859 0.5809 0.9511 0.8458 1.9246 0.6568 2.0253 1.3629 2.6315 1.9320 i
x
-x
Contoh: 2 , 1 4 9 7 = ( 0 , 7 7 5 1 / 0 , 3 6 0 5 ) * L i b a t t a b e l 3 . 1 9 mengenai a r t i kode s e k t o r .
Hasil-hasil mengenai keterkaitan ke belakang dan keterkaitan ke depan di propinsi Riau dalam ha1 output dan juga pendapatan tenagakerja dapat dilihat pada tabel-tabel 3.29 sampai dengan 3.32.
Interpretasi hasil dapat dilakukan serupa
dengan cara mengin terpretasi kan hasil-hasil keterkai tan ke belakang atau keterkaitan ke depan di propinsi NTT. Kesimpulan yang dapat diambil mengenai sektor tanaman perkebunan, yang pada bagian sebelumnya dianggap sebagai sektor ekonomi dalam lingkup sekta~ pertanian yang memberikan kontribusi relatif besar terhadap perekonomian propinsi Riau, adalah bahwa sektor ini kurang berpengaruh dan kurang peka terhadap perkembangan outpi~tsektor-sektor lainnya karena indek keterkaitan ke belakang clan indek keterkaitan ke depan sektor ini relatif berada di bawah rata-rata propinsi
(1,8189). Namun, dari sisi pendapatan tenagakej a , dapat dikatakan bahwa sektor ini relatif berpengaruh dan peka terhadap perkembangan sektor-sektor lainnya karena
indek keterkaitan ke belakang dan keterkaitan ke depan sektor ini berada di atas ratarata propinsi (0,2659). Tabel 3.29 Keterkaitan Ke Belakang Output Suatu Sektor Terhadap Output Sektor-Sektor yang Lain Propinsi Riau, 1990*
--------------------=--------------==--------.................... SEKTOR
TOTAL
HEAN
5 = -
STANDARD COEFFICIENT DEVIATION VARIATION
--------------------=-------------------------==--.--------------------- .......................... 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27
1.4238 2.2349 2.3407 1.5087 1.2329 1.2374 1.4913 1.3987 1.2713 1.2872 1.3771 1.5283 1.5269 1.6934 2.4286 1.2037 2.3050 2.4797 2.2340 2.2751 2.1265 1.7936 2.0655 2.1461 1.5238 2.6677 2.3090
0.0527 0.0828 0.0867 0.0559 0.0457 0.0458 0.0552 0.0518 0.0471 0.0477 0.0510 0.0566 0.0566 0.0627 0.0899 0.0446 0.0854 0.0918 0.0827 0.0843 0.0788 0.0664 0.0765 0.0795 0.0564 0.0988 0.0855
0.2040 0.2290 0.2405 0.2002 0.1941 0.1951 0.1907 0.2226 0.2008 0.1961 0.2033 0.1960 0.2009 0.1986 0.2689 0.2047 0.2067 0.2238 0.2527 0.2160 0.2080 0.2102 0.1920 0.2146 0.1993 0.2003 0.2042
................................... -------------------------------------=======Rata-rat~
1.8189
x
x
3.8683 2.7664 2.7740 3.5828 4.2503 4.2574 3.4523 4.2963 4.2654 4.1126 3.9855 3.4632 3.5531 3.1672 2.9895 4.5914 2.4209 2.4368 3.0540 2.5635 2.6415 3.1643 2.5095 2.6996 3.5311 2.0273 2.3874
x
= = = = = t = = = = = = = E l = = = - T = = = = = = = = = = - i = = = = = s I - = 5 E P
C o n t o h : 0,7828=(1,4238/1,8189) + L i h a t t a b e l 3.19 m e n g e n a i a r t i k o d e s e k t o r .
I_
BACKIJARD LINMGE 0.7828 1.2287 1.2868 0.8295 0.6778 0.6803 0.8199 0.7690 0.6989 0.7076 0.7571 0.8402 0.8394 0.9310 1.3352 0.6618 1.2672 1.3633 1.2282 1.2508 1.1691 0.9861 1.1355 1.1799 0.8377 1.4667 1.2694
x
Tabel 3.30 Keterkaitan Kedepan Output Suatu Sektor Terhadap Output Sektor-Sektor yang Lain Propinsi Riau, 1990* .............................. ------------
-
-----------------------------E====iIZ----------
SEKTOR
MEAN
TOTAL
STANDARD COEFFICIENT DEVIATION VARIATION
FORWARD LINKAGE
=====ir============:=I======Z=====-E--==========-
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27
3.0792 1.0159 1.7547 1.0757 1.1155 1.0362 1.0498 1.1871 1.6047 1.0356 1.8130 1.5138 1.4212 1.1321 2.5104 5.2425 1.3069 1.5393 5.6016 1.2712 1.0153 4.0021 1.1018 1.8528 1.6819 1.0000 1.1505
0.1140 0.0376 0.0650 0.0398 0.0413 0.0384 0.0389 0.0440 0.0594 0.0384 0.0671 0.0561 0.0526 0.0419 0.0930 0.1942 0.0484 0.0570 0.2075 0.0471 0.0376 0.1482 0.0408 0.0686 0.0623 0.0370 0.0426
0.2710 0.1924 0.1935 0.2018 0.1951 0.1963 0.1924 0.2238 0.2134 0.1974 0.2004 0.1970 0.2012 0.1970 0.2531 0.2418 0.1940 0.2029 0.2324 0.1927 0.1924 0.1969 0.1926 0.1947 0.1964 0.1925 0.1947
.................................................. ............................................. Rata-rata 1.8189 x x ................................................. ...................................................
2.3760 5.1139 2.9778 5.0659 4.7217 5.1147 4.9479 5.0893 3.5911 5.1479 2.9848 3.5130 3.8223 4.6975 2.7224 1.2453 4.0089 3.5592 1.1204 4.0920 5.1168 1.3286 4.7185 2.8367 3.1524 5.1962 4.5689
1.6929 0.5585 0.9647 0.5914 0.6133 0.5697 0.5712 0.6526 0.8822 0.5693 0.9967 0.8322 0.7813 0.6224 1.3801 2.8822 0.7185 0.8463 3.0797 0.6989 0.5582 2.2003 0.6058 1.0186 0.9247 0.5498 0.6325
x
x
Contoh: 1 , 6 9 2 9 = ( 3 , 0 7 9 2 / 1 , 8 1 8 9 ) * L i h a t t a b e l 3 . 1 9 mengenai a r t i kode s c k t o r .
-
Tabel 3.31 Keterkaitan Ke Belakang Suatu Sektor Terhadap Pendapatan Tenagakej a Propinsi Riau, 1990* ____---___--____---------------=----_--_--_--_---_----_-____-____---------------
-----___---_----_-----_P
SEXTOR
TOTAL
STANDARD COEFFICIENT
DEVIATION VARIATION ............................ -=---_-----_--_-_-____--_--__--
----------=_-----------------1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27
hU3N
0.1872 0.2254 0.2018 0.2650 0.1115 0.0923 0.2798 0.1126 0.1279 0.1358 0.1841 0.3288 0.2863 0.2169 0.2156 0.0828 0.2096 0.2212 0.2882 0.3620 0.3196 0.2107 0.3007 0.3152 0.2401 1.1460 0.5133
0.0069 0.0083 0.0075 0.0098 0.0041 0.0034 0.0104 0.0042 0.0047 0.0050 0.0068 0.0122 0.0106 0.0080 0.0080 0.0031 0.0078 0.0082 0.0107 0.0134 0.0118 0.0078 0.0111 0.0117 0.0089 0.0424 0.0190
0.0275 0.0218 0.0206 0.0403 0.0157 0.0119 0.0430 0.0158 0.0193 0.0201 0.0281 0.0519 0.0443 0.0258 0.0202 0.0124 0.0131 0.0175 0.0392 0.0419 0.0404 0.0229 0.0315 0.0357 0.0343 0.1822 0.0686
3.9597 2.6104 2.7542 4.1086 3.8116 3.4825 4.1499 3.7932 4.0750 4.0016 4.1331 4.2627 4.1747 3.2129 2.5259 4.0457 1.6834 2.1412 3.6752 3.1233 3.4132 2.9387 2.8327 3.0597 3.8615 4.2932 3.6110
BACKWARD LlNXAGE
----
0.7039 0.8474 0.7589 0.9964 0.4195 0.3470 1.0519 0.4233 0.4808 0.5106 0.6924 1.2363 1.0767 0.8156 0.8106 0.3115 0.7882 0.8319 1.0837 1.3612 1.2019 0.7921 1.1306 1.1852 0.9029 4.3094 1.9300
= = = = = = = = = = ~ = = = = = = = = - - - - - - X 3 - - - X = = = = - ~ ~ - - - -
Rata-rata
0.2659
x
x
====-------==-----------=--------------------
Contoh: 0 , 7 0 3 9 = ( 0 , 1 8 7 2 / 0 , 2 6 5 9 ) L i h a t t a b e l 3 . 1 9 rnengenai a r t i kode s e k t o r .
x
x
----=
Tabel 3.32 Keterkaitan Kedepan Suatu Sektor Terhadap Pendapatan Tenagakerja Propinsi Riau, 1990* L---I====-=~--=lPPT---
SEKTOR
TOTAL
-
3 =
MEAN
STANDARD COEFFICIENT DEVIATION VARIATION
FORLINMGE
======-===-=--5=====5.===-=P=-
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27
0.4136 0.0677 0.0504 0.2160 0.0907 0.0634 0.2358 0.0845 0.1543 0.1062 0.2509 0.3994 0.3121 0.1452 0.1487 0.3181 0.0587 0.0304 1.0060 0.2574 0.2136 0.4212 0.1801 0.3107 0.2893 0.9524 0.4035
0.0153 0.0025 0.0019 0.0080 0.0034 0.0023 0.0087 0.0031 0.0057 0.0039 0.0093 0.0148 0.0116 0.0054 0.0055 0.0118 0.0022 0.0011 0.0373 0.0095 0.0079 0.0156 0.0067 0.0115 0.0107 0.0353 0.0149
0.0364 0.0128 0.0056 0.0405 0.0159 0.0120 0.0432 0.0159 0.0205 0.0203 0.0277 0.0520 0.0442 0.0253 0.0150 0.0147 0.0087 0.0040 0.0417 0.0390 0.0405 0.0207 0.0315 0.0326 0.0338 0.1833 0.0683
2.3760 5.1139 2.9778 5.0659 4.7217 5.1147 4.9479 5.0893 3.5911 5.1479 2.9848 3.5130 3.8223 4.6975 2.7224 1.2453 4.0089 3.5592 1.1204 4.0920 5.1168 1.3286 4.7185 2.8367 3.1524 5.1962 4.5689
------
'
1.5554 0.2546 0.1896 0.8123 0.3409 0.2382 0.8868 0.3177 0.5801 0.3995 0.9436 1.5020 I . 17 38 0.5459 0.5593 1.1962 0.2207 0.1142 3.7827 0.9679 0.8032 1.5838 0.6772 1.1683 1.0877 3.5812 1.5173
- = - = = = = = - - - - - = = E f = = c - = = = - - P
Rata-rata
0.2659
x
x
-S==IZ=========---====s==x===---====s-
x
x 4
Contoh: 1 , 5 5 5 4 = ( 0 , 4 1 3 6 / 0 , 2 6 5 9 ) + L i h a t t a b e l 3 . 1 9 rmngenai a r t i kode smktor.
Bagian ini selanjutnya akan membahas mengenai hubungan pertumbuhan ekonorni wilayah dan pemerataan pendapatan dengan mengaplikasikan model pengganda neraca (accounting multiplier) yang dapat diturunkan dari kerangka SNSE regional kedua propinsi kasus (lihat lampiran D yang menjelaslcan secara lebih rinci mengenai model pengganda neraca dimaksud). Dengan perkataan lain, studi ini bermaksud untuk meneliti mengenai dampak pertumbuhan ekonomi terhadap distribusi pendapatan dan kerniskinan (relatif) di masing-masing propinsi kasus. Pertumbuhan ekonomi dicerminkan oleh peningkatan produksi atau
output
sektor-sektor ekonomi yang dapat dilakukan melalui peningkatan investasi (misalnya melalui suatu injeksi terhadap neraca kapi tal) , atau melalui peningkatan pengeluaran
pemerintah
(melalui suatu injeksi terhadap neraca pemerintah), atau melalui
peningkatan bantuan luar negeri atau luar wilayah (melalui suatu injeksi terhdap neraca luar negeri atau luar wilayah). Namun, perlu dijelaskan di sini bahwa model pengganda neraca lebih diaplikasikan terhadap komoditas-komoditas sektor pertanian karena kerangka SNSE kedua propinsi kasus tidak mengklasifikasikan sektor-sektor di luar sektor pertanian secara rinci. Modef pengganda neraca yang dimaksud adalah: dt = (I-A)-'~x = M,dX
........................................................
(3.5)
dimana M, = (I-A)" = pengganda neraca Model tersebut menjelaskan bahwa perubahan neraca eksogen (X) &an menyebabkan perubahan terhadap neraca endogen (t) sebesar &A)-'. Sebelum model pengganda neraca diaplikasikan terhadap kerangka SNSE kedua propinsi kasus, suatu tindakan penyesuaian terhadap kedua kerangka SNSE tersebut perlu dilakukan. Tindakan penyesuaian tersebut adalah mengenai penetapan neraca-neraca eksogen dalam kerangka SNSE dan implikasinya terhadap bentuk kerangka SNSE tersebut dalam usaha memperoleh pengganda neraca. Yang dianggap sebagai neraca-neraca eksogen dalam model pengganda neraca kedua propinsi kasus adalah :
a. Neraca pemerin tah, b. Neraca kapital, c. Neraca pajak tidak langsung neto, dan d. Neraca luar negeri (luar wilayah). Karena neraca pemerintah dianggap sebagai neraca eksogen, maka neraca tersebut (pada kerangka SNSE kedua propinsi kasus diberi kode nomor 8; lihat lampiran tabel 4 dan 5) perlu dipindahkan letaknya dari bagian atas ke bagian bawah kerangka SNSE, digabung dengan neraca kapital, neraca pajak tidak langsung neto,
dan neraca luar negeri. Besaran pengganda neraca untuk masing-masing propinsi kasus diberikan oleb lampiran tabel 14 (propinsi NTT) dan lampiran tabel 15 (propinsi Riau). Hasil studi aplikasi pengganda neraca yang menjelaskan dampak peningkatan output suatu sektor terhadap pemerataan pendapatan secara ringkas diberikan oleh tabel 3.33 (dampak terhadap distribusi pendapatan di propinsi NTT)dan 3.34 (dampak terhadap distribusi pendapatan di propinsi Riau). Dari tabel-tabel tersebut dapat diperlihatkan bahwa secara umum peningkatan produksi suatu komoditas tertentu mempunyai dampak yang berbeda-beda bagi berbagai golongan mmahtangga yang ada. Dampak tersebut relatif nyata di propinsi NTT, tetapi tidak demikian mencolok di propinsi Riau. Dari tabel 3.33, misalnya, dapat dilihat bahwa dampak peningkatan produksi suatu komoditas (pertanian) tertentu relatif besar bagi peningkatan pendapatan golongan rumahtangga bukan buruh di sektor pertanian dan golongan mrnahtangga buruh di sektor bukan pertanian; tetapi relatif kecil bagi golongan mmahtangga bukan buruh di sektor bukan pertanian apalagi bagi golongan rumahtangga buruh tani. Sebagai contoh, peningkatan 1 unit produksi sektor peternakan di propinsi NTT akan meningkatkan pendapatan rumahtangga buruh di sektor bukan pertanian sebesar 0,7038 unit, golongan rumahtangga bukan buruh di sektor pertanian sebesar 0,6026 unit, golongan rumahtangga bukan buruh di sektor bukan pertanian sebesar 0,1334 unit, dan golongan rumahtangga buruh tani sebesar 0,0092 unit.
Tabel 3.33 Dampak Peningkatan Produksi 1 Unit Suatu Komoditas Tertentu Terhadap Distribusi Pendapatan di Propinsi NTT
Komoditas
1. Padi 2. Beras tumbuk 3. Beras giling 4. Jagung 5. Ketela pohon 6. Umbi-umbian lainnya 7. Gaplek dan Pati 8. Kacang Tanah 9. Kedelai 10. Kacang-kacangan Lainn ya 11. Tan Bhn Mkn Lainnya 12. Tanaman Perkebunan 13. Peternakan dan Hasilnya 14. Kehutanan 15. Perikanan 16. Industri 17. Sektor Lainnya
Peningkatan Pendapatan Golongan Rumahtangga (unit) 1 0,0067 0,0076 0,0072 0,0072 0,0068 0,0068 0,0080 0,0081 0,0070 0,0079 0,0079 0,0098 0,0092 0,0063 0,0086 0,0004 0,0093
2 0,6640 0,6330 0,6380 0,6847 0,7110 0,7131 0,6440 0,6275 0,6632 0,6584 0,6255 0,5835 0,6026 0,4731 0,6049 0,0247 0,3805
Sumber: Lampiran tabel 14 Keterangan mengenai arti kode golongan rumahtangga: 1. Rumahtangga buruh di sektor pertanian 2. Rumahtangga bukan buruh di sektor pertanian 3. Rumahtangga buruh di sektor bukan pertanian 4. Rumahtangga bukan buruh di sektor bukan pertanian
3 0,5320 0,5913 0,5626 0,5664 0,5407 0,5413 0,6255 0,6309 0,5522 0,6208 0,6154 0,7467 0,7038 0,4894 0,6608 0,0305 0,6955
4 0,1478 0,1407 0,1419 0,1524 0,1584 0,1589 0,1430 0,1393 0,1476 0,1463 0,1389 0,1290 0,1334 0,1050 0,1341 0,0055 0,0834
Tabel 3.34 Dampak Peningkatan Produksi 1 Unit Suatu Komoditas Tertentu Terhadap Distribusi Pendapatan di Propinsi Riau Peningkatan Pendapatan Golongan Rumahtangga (unit)
Komoditas
1. Padi 2. Beras tumbuk 3. Beras giling 4. Jagung 5. Ketela pohon 6. Umbi-umbian lainnya 7. Gaplek dan Pati 8. Kacang Tanah 9. Kedelai 10. Kacang-kacangan Lainnya 11. Tanaman Bhn Makanan Lainn ya 12. Tanaman Perkebunan 13. Peternakan dan Hasiln ya 14. Kehutanan 15. Perikanan 16. Industri 17. Sektor Lainnya '
0,0197 0,0251 0,0218 0,0314 0,0084 0,0057 0,0338 0,0087 0,0112
0,0303 0,0305 0,0301 0,0308 0,0296 0,0294 0,0314 0,0296 0,0297
0,1034 0,1313! 0,1141 0,1614 0,0447 0,0302 0,1768 0,0463 0,0589
0,0238 0,0279 0,0253 0,0328 0,0150 0,0128 0,0349 0,0152 0,0171
0,0107 0,0252 0,0562 0,0154 0,0194 0,0302 0,1017 0,0235 0,04 12 0,03 19 0,2154 0,0407 0,0340 0,0218 0,0189 0,0100 0,0154
0,0303 0,0297 0,0292 0,0151 0,0281
0,1775 0,1142 0,0990 0,0525 0,0808
0,0346 0,0252 0,0228 0,0120 0,0199
Sumber: Lampiran tabel 15 Keterangan: Lihat tabel 3.33 rnengenai arti kode golongan ~mahtangga.
Dari tabel 3.34 dapat dilihat bahwa dampak peningkatan produksi suatu komoditas (pertanian) tertentu secara relatif memberikan dampak yang tidak demikian berbeda bagi peningkatan pendapatan berbagai golongan rumahtangga yang ada. Sebagai contoh, peningkatan 1 unit produksi sektor tanaman perkebunan di propinsi
Riau akan meningkatkan pendapatan rumahtangga buruh di sektor bukan pertanian sebesar 0,2 154 unit, golongan n~mahtanggaburuh di sektor pertanian sebesar 0,0412 unit, golongan rumahtangga bukan buruh di sektor bukan pertanian sebesar 0,0407 unit, dan golongan rumahtangga bukan buruh di sektor pertanian sebesar 0,0319 unit. Hasil penelitian di atas sekaligus juga memberikan suatu kesimpulan bahwa dampak peningkatan output suatu sektor tertentu ternyata lebih ban yak dinikrnati oleh golongan rumahtangga kaya (yaitu golongan buruh di sektor bukan pertanian) dibandingkan oleh golongan ru mahtangga miskin (lihat kembali hasibhasil mengenai siapa yang termasuk sebagai golongan rumahtangga miskin dan yang tidak miskin pada bagian sebelumnya). Tabel
3.35 mencoba untuk memberikan informasi mengenai dampak
peningkatan pendapatan wilayah dan dampak distribusi pendapatan rumahtangga sebagai akibat peningkatan output suatu komoditas pertanian tertentu.
Dari
pengganda neraca yang diperoleh kerangka SNSE regional kedua propinsi dapat diperoleh informasi mengenai kontribusi peningkatan produksi masing-masing komoditas terhadap masing-masing PDRB propinsi kasus, yang merupakan penjumlahan pengganda neraca untuk faktor produksi tenagakerja ditambah dengan pengganda neraca untuk faktor produksi modal (lihat lampiran tabel 14 dan 15). Nilai pengganda yang besar mencerminkan dampak yang besar terhadap peningkatan PDRB propinsi bersangkutan; sehingga nilai yang besar lebih diinginkan dari pada yang rendah karena nilai yang besar mencerminkan tingkat pertumbuhan (ekonomi) yang tinggi.
Tabel 3.35 Dampak Peningkatan Produksi 1 Unit Suatu Komoditas Tertentu Terhadap Pertumbuhan dan Kesenjangan Pendapatan di Propinsi N?T dan Propinsi Riau Dampak Terhadap Pemerataan* * Pertumbuhan*
Komoditas
-
1. Padi 2. Beras tumbuk 3. Beras giling 4. Jagung 5. Ketela pohon 6. Umbi-umbian lainnya 7. Gaplek dan Pati 8. Kacang Tanah 9. Kedelai 10. Kacang-kacangan Lainn ya 1 1. Tan Bhn Makanan Lainnya 12. Tanaman Perkebunan 13. Peternakan dan Hasilnya 14. Kehutanan 15. Perikanan 16. Industri 17. Sektor Lainnya
NTI'
Riau
1,7112 1,8016 1,8266 1,8310 1,7810 1,7552 1,7483 1,8033 1,7372 1,7813 1,7770 1,3363 1,7412 0,0744 1,3560
,114 :,131: 1,1106 1,1567 1,0695 1,0553 1,1820 1,0697 1,0778 0,9153 1,1127 1,2136 1,1425 1,0980 1,0735 0,5561 1;0296
NTT
Riau
99,l 83,3 88,6 95,l 113,4 104,9 80,s 77,s 94,7 83,3 79,2 76,2 76,s 77,7 76,8 76.3 74;8
5,24 5,23 5,23 5,24 5,32 5,30 5,63 5,32 5,26 5,25 5,24 6,75 5,86 5,24 5,24 5.25 5;25
* Nilai yang besar mencerminkan pertumbuhan yang tinggi, dan sebaliknya ** Nilai yang kecil mencerminkan pemerataan, dan sebaliknya Sumber: Lampiran tabel 14 dan 15 Dari lampiran tabel 14 dan 15, inforrnasi mengenai dampak distribusi pendapatan akibat peningkatan produksi masing-masing komoditas di masing-masing propinsi kasus juga dapat diperoleh. Dengan perkataan lain, dari lampiran tabel 14 dan 15 dapat diperoleh informasi mengenai perbedaan peningkatan pendapatan pada masing-masing golongan rumahtangga sebagai akibat peningkatan produksi di masingmasing propinsi kasus. Hasil-hasil ini telah dijelaskan pada pembahasan sebelumnya (lihat tabel 3.33 dan 3.34).
Sebagai contoh, sebagaimana telah dijelaskan
sebelumnya, akibat peningkatan produksi 1 unit sektor peternakan di propinsi NTT, pendapatan rumahtangga buruh di sektor bukan pertanian akan meningkat sebesar 0,7038 unit; rumahtangga bukan buruh di sektor pertanian 0,6026 unit; rumahtangga bukan buruh di sektor bukan pertanian 0,1334 unit; dan rumahtangga buruh tani 0,0092 unit. Dari hasil ini dapat diperlihatkan bahwa, akibat kebijakan tersebut, temyata rumahtangga buruh tani menerima dampak yang terkecil, sedangkan rumahtangga buruh di sektor bukan pertanian menerima yang terbesar. Ratio perbedaan peningkatan pendapatan kedua golongan rumahtangga tersebut sebagai akibat kebijakan tersebut diperkirakan sebesar 1 dibanding dengan 76,5 (yaitu 0,7038 dibagi dengan 0,0092). Nilai ratio yang tinggi dalam kasus ini mencerminkan kesenjangan pendapatan yang relatif lebar; dan sebaliknya.
Sehingga, dari tabel
3.35, nilai ratio yang rendah lebih diinginkan dari pada yang tinggi karena nilai ratio yang rendah mencerminkan pemerataan pendapatan. Dari tabel 3.35 dapat diperlihatkan bahwa sektor peternakan dm hasil-hasilnya (kode nomor 13) di propinsi NTT yang pada bagian sebelumnya disebut sebagai sektor ekonomi dalam lingkup sektor pertanian yang memberikan kontribusi yang relatif besar terhadap perekonomian propinsi ini (dicerminkan juga oleh dampak pengganda neraca dengan nilai 1,7770 pada tabel 3.35) memberikan dampak distribusi pendapatan yang relatif merata (dengan indek 76,5 yang berada pada tingkatan rnenengah dibandingkan dengan sektor-sektor lainnya). Sektor peternakan sebenamya merupakan sektor ekonomi yang memiliki potensi baik bagi masyarakat di propinsi NTT, terutama bagi golongan fai walu yang tidak memiliki tanah. Tetapi dengan diberlakukannya Perda No. 1111972 mengenai pengandangan ternak (dalam rangka Operasi Nusa Hijau) populasi ternak di propinsi NTT cenderung turun. Hal
ini disebabkan karena Perda No. 11/1972 yang semula dimaksudkan untuk memberi ruang kepada perkembangan pertanian tanaman pangan ternyata telah menimbulkan ekses, yaitu mengakibatkan masyarakat, terutama golongan fai walu, tidak lagi dapat memelihara ternak dalam jumlah banyak karena ternak harus dikandang (Sajogyo,
perekonomian propinsi ini (dicerminkan j uga oleh dampak pengganda neraca dengan nilai 1,2136 pada tabel 3.35) ternyata memberikan dampak distribusi pendapatan yang
relatif tidak rnerata (dengan indek 6,75 yang merupkan indek tertinggi
dibandingkan dengan sektor-sektor lainnya). Dengan informasi ini dapat disimpulkan bahwa bagi propinsi Riau akan lebih baik tidak mengembangkan sektor tanaman perkebunan, tetapi mengembangkan sektor bukan pertanian, seperti sektor perdagangan karena, seperti telah ditunjukkan pada bagian sebelumnya, memberikan kontribusi yang relatif besar terhadap perekonomian propinsi ini, terrnasuk memberikan dampak output dan dampak pendapatan tenagakeja yang juga relatif besar. Dari tabel 3.35 dapat juga diperlihatkan bahwa dampak distribusi sebagai akibat dari peningkatan output suatu komoditas pertanian di propinsi N'IT menyebar secara bervariasi atau dengan perkataan lain menimbulkan dampak ketidakmerataan yang berbeda-beda; sedangkan di propinsi Riau secara relatif menimbulkan dampak ketidakmerataan yang sama. Hal ini disebabkan karena pola keterampilan danlatau pola kepemilikan modal rumahtangga di propinsi NTT secara relatif lebih bervariasi dari pada di propinsi Riau, yang pada gili~annyaakan menggambarkan perbedaan daya tangkap rumahtangga terhadap perkembangan ekonomi di masing-masing propinsi kasus. Keadaan ini akan dijelaskan lebih lanjut dengan menggunakan andisis dekomposisi. Model pengganda neraca seperti yang diberikan oleh persarnaan (3.5) dapat didekomposisi menjadi pengganda transfer (rranrfer multiplier), pengganda lompatan terbuka (open loop rnrrbiplier), dan pengganda lompatan tertutup (closed loop multiplier) un tu k dapat menunjukkan proses pemben tukan matrik pengganda harga tetap. Secara teoritis, pengganda harga tetap dapat didekomposisi menjadi bentuk pertambahan sebagai berikut (lihat juga lampiran D yang menjelaskan lebih rinci mengenai dekomposisi ini): M,=I+T,+O,+C,
.........................................
(3.6)
1994).
Sektor tanaman perkebunan di propinsi NTT sebenarnya juga memberikan dampak peningkatan yang relatif besar terhadap PDRB dan juga dampak distribusi pendapatan yang relatif merata bagi propinsi ini @hat tabel 3.35). Tanaman perkebunani4 (disebut juga sebagai tanaman perdagangan) yang telah digalakkan penanamannya di propinsi NTT melalui suatu program yang disebut sebagai Operasi Nusa Hijau adalah kemiri (disamping kelapa), coklat, dan jambu mente. Namun, menurut Sitorus dan Weka (dalam Sajogyo, 1994) terdapat permasalahan dengan penggalakan tanaman perdagangan di propinsi N'lT, yaitu bahwa program ini bersifat diskriminatif atau memihak kepada petani pemilik lahan l&s, seperti golongan masyarakat yang disebut sebagai mosa laki yang merupakan golongan pemilik tanahllahan dari penguasa adat, dari pada kepada golongan fai walu yang merupakan bukan pemilik tanahllahan (yang tidak memiliki hubungan darah dengan golongan
mosa laki). Dengan demikian, golongan fai walu hanya memiliki peluang yang kecil untuk dapat mengusahakan tanaman perdagangan yang pada gilirannya akan menyebabkan kecilnya pendapatan golongan masyarakat ini yang kemudian akan menyebabkan kerniskinan. Dari in formasi tersebut dapat disimpulkan bahwa kedua sektor atau komoditas (yaitu tanaman perkebunan dan sektor peternakan) di propinsi NTT perlu dikembangkan secara bersama-sama karena masing-masing sektor atau komoditas mempunyai nilai-nilai pemerataan pendapatan bagi masing-masing golongan masyarakat (tanaman perkebunan untuk golongan mosa la&; sedangkan peternakan untuk golongan fui walu). Sedangkan bagi propinsi Riau, komoditas tanaman perkebunan (kode nomor 12) yang pada bagian sebelumnya disebut sebagai sektor ekonomi dalam lingkup sektor pertanian yang rnemberikan kontribusi yang relatif besar terhadap
II
Yang dirnaksud dengan tanaman prrkebunan adalah tanaman yang biasajuga disebut sebagai
tanaman tahunan, sepzrti kelapa, kopi, karet, coklat, ungkeh, dsb.
dimana
M, = pengganda neraca I
=
injeksi awal
T, = pengganda transfer
0, = pengganda lompatan terbuka
C, = pengganda lompatan tertutup Matrik-matrik T,, O,, dan C, masing-masing disajikan oleh lampiran-lampiran tabel 16, 17, dan 18 untirk propinsi NTT; dan lampiran-lampiran tabel 19, 20, dan 21 untuk propinsi Riau. Untuk menjelaskan ha1 ini akan digunakan komoditas tanaman perkebunan sebagai contoh, baik untuk propinsi NTT maupun untuk propinsi Riau. Dengan menggunakan lampiran-lampiran tabel 16, 17, 18 (untuk propinsi NTT) dan 19, 20, dan 21 (untuk propinsi Riau) dapat diperlihatkan jalannya proses pengganda yang tejadi
di dalam berbagai kegiatan dan institusi ekonomi akibat meningkatkan
output sektor tanaman perkebunan di masing-masing propinsi. Tabel-tabel 3.36 (untuk propinsi NTT) dan 3.37 (untuk propinsi Riau) memberikan gambaran proses dekomposisi tersebut. Tabel 3.36, yang diperoleh dari lampiran-lampiran tabel 16, 17, dan 18, menjelaskan, misalnya, injeksi sebesar 10000 unit (moneter) yang diberikan kepada sektor tanaman perkebunan di propinsi NTT pertama s e m i akan menyebabkan kenaikan pendapatan bagi sektor-sektor ekonomi yang ada di propinsi N'IT (dampak ini disebut sebagai darnpak transfer).
Kenaikan tersebut, misalnya, tejadi pada
sektor perkebunan itu sendiri sebesar 34 unit, sektor padi 1 unit, sektor beras giling 1 unit, sektor peternakan 2 unit, sektor kehutanan 3 unit, sektor industri 112 unit,
sektor lainnya 158 unit, dan rnarjin perdagangan dan pengangkutan 70 unit (lihat perincian kolom nonior 20 pada lampiran tabel 16). Dampak ini merupakan dampak atau pengaruh antar industri (init~r-industrialimpacts) yang tejadi di dalam kegiatan
ekonomi propinsi NTT akibat adanya perubahan output sektor tanaman perkebunan. Informasi yang serupa dapat juga ditunjukkan bagi propinsi Riau dengan rnenggunakan tabel 3.37. Tabel 3.36 Dekomposisi Pengganda Neraca M,* Kerangka SNSE Regional Propinsi NTT, 1990 Dampak Pengganda Neraca Neraca Yang diinjeksi
Tan. Perkeb.
Neraca yang dipengaruhi
Padi Beras Tumbuk Beras Giling Jagung Ketela Pohon Umbi-umbian Laimya Gaplek dan Pati Kacang Tanah Kedelai Kacang-kacangan Lain Tanaman Bhn Mkn Lainnya Tanaman Perkebunan Peternakan Kehutanan Perikanan lndustri Sektor Lainnya TTM Tenagakerja Modal
Injeksi Transfer Awal Effects I (Ma.,-1)
Closed Loop Effects Effects (M.2-1) (M..3-0 Ms., M..2M*.I
Open
L&I
1
0 1
loo00
RT Buruh Tani RT Bukan Buruh di Sektor Pert. RT Bun~hdi Sektor Bukan Pert. RT Bukan Buruh di Sektor Bkn Pert. Perusahaan Sumkr: Lampiran t a k l 16. 17, dan 18
0 0 0 0 0 0 0 0 34 2 3 0 112 158 70 3950 5860
1726 46 2012 901 1046 10 2 73 54 3 748 15 240 53 51 3990 53 12 328 2926 5078
Sub Total M,
1727 46 2013 901 1046 10 2
73 54 3 749 10049 242
56 51 4102 5470 398 6876 10937
Tabel 3.37 Dekomposisi Pengganda Neraca Ma* Kerangka SNSE Regional Propinsi Riau, 1990 Dampak Pengganda Neraca Neraca Yang diinjeksi
Neraca yang dipengaruhi
Injeksi Transfer Awal Effects
I (Ma.,-1)
Tan. Perkeb.
Open Loop Effects (Ma.2-1) Ma.,
Closed Loop Effects w.3-1) M,,M..,
Sub Total Ma
Padi Beras Tumbuk Beras Giling Jagung Ketela Pohon Umbi-umbian Lainnya Gaplek dan Pati Kacang Tanah Kedelai Kacang-kacangan Lain Tanaman Bhn Mkn Lainnya Tanaman Perkebunan Peternakan Kehutanan Perikanan Industri Sektor Lainnya TTM Tenagakerja Modal
RT Buruh Tani RT Bukan Buruh di Sektor Pert. RT Buruh di Sektor Bukan Pert. RT Bukan Buruh di Sektor Bkn Pert. Perusahaan Sumher: Lampiran tabel 19, 20, dan 21
375 259 1958 360 429
37 61 196 46 113
412 3 19 2154 407 543
Dampak berikutnya yang terjadi adalah bahwa dengan kenaikan output sektor tanaman perkebunan sebesar 10000 unit akan menyebabkan kenaikan pendapatan tenagakerja dan pendapatan kapital di masing-masing propinsi, yang kemudian akan menaikkan pendapatan rumahtangga, misalnya di propinsi NTT, rumahtangga buruh tani sebesar 56 unit, rumahtangga bukan bunth di sektor pertanian 3134 unit, rumahtangga buruh di sektor bukan pertanian 4269 unit, rumahtangga bukan buruh di sektor bukan pertanian 692 unit, dan perusahaan 410 unit; sedangkan di propinsi Riau adalah sebagai berikut: rumahtangga buruh tani sebesar 375 unit, rumahtangga bukan buruh di sektor pertanian
256 unit, rumahtangga buruh di sektor bukan
pertanian 1958 unit, rumahtangga bukan buruh di sektor bukan pertanian 360 unit, dan perusahaan 429 unit (dampak ini disebut sebagai dampak lompatan terbuka). Perbandingan kenaikan pendapatan berbagai golongan rumahtangga di kedua prqinsi
ini menunjukkan bahwa dampak distribusi di propinsi NTT ternyata lebih bervariasi dari pada di propinsi Riau. Disamping itu, dari hasil tersebut dapat juga ditunjukkan bahwa kenaikan output sektor tanaman perkebunan di kedua propinsi kasus akan sangat mempengaruhi pendapatart rumahtangga buruh di sektor bukan pertanian; tetapi sangat sedikit sekali berpengaruh terhadap rumahtangga buruh tani (rumahtangga mi skin). Dampak yang terakhir adalah apa yang disebut sebagai dampak lompatan tertutup. Dampak ini menjelaskan pengaruh balik yang terjadi kepada berbagai kegiatan
sektor ekonomi sebagai akibat kenaikan pendapatan berbagai institusi
ekonomi (yaitu berbagai golongan rumahtangga dan perusahaan). Kenaikan pendapatan berbagai institi~siakan menyebabkan kenaikan permintam terhadap output sektor-sektor ekonomi . Dan kemudian ,.akibat kenaikan output sektor ekonomi akan meningkatkan pendapatan institusi; sedemikian seterusnya sehingga dampak yang teqadi data111perekonomian suatu wilayah menjadi kecil sekali dan dapat diabaikan. Hasil ini juga menunjukkan bahwa dampak distribusi di propinsi N l T ternyata lebih bervariasi dari pada di propinsi Riau; dan juga kenaikan output sektor tanaman
108
perkebunan lebih banyak mernberikan dampak terhadap sektor industri dan terhadap rumahtangga buruh di sektor bukan pertanian. Total injeksi awal ditambah dengan dampak transfer, dampak lompatan terbuka, dan dampak lompatan tertu tup akan menghasilkan dampak pengganda neraca
(MJ dimana interpretasi yang sama seperti yang telah dijelaskan sebelumnya dapat diperoleh. Hasil yang diperoleh, sekali lagi menunjukkan bahwa dampak distribusi di propinsi NTT ternyata lebih bervariasi dari pada di propinsi Riau.
Hal ini
mencerminkan perbedaan keterampilan atau kepemilikan modal rumahtangga antara kedua propinsi kasus.