BAB I : SEKTOR PUBLIK INDONESIA
A. Dasar Konsepsi Otonomi Daerah Dasar upaya menjaga keutuhan kerangka konstitusi NKRI pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia dapat dilacak dalam UUD 1945 yaitu terdapatnya dua nilai dasar yang dikembangkan yaitu : 1. Nilai dasar unitaris (wujud nilai dasar ini, bahwa di Indonesia tidak akan lahir kesatuan pemerintah lain yang bersifat Negara. Artinya kedaulatan yang melekat pada rakyat, bangsa dan negara Republik Indonesia tidak akan terbagi
di
antara
kesatuan-kesatuan
pemerintahan
regional atau lokal). 2. Nilai dasar desentralisasi (wujud nilai dasar ini, bahwa pembentukan
daerah
otonom
dan
penyerahan
kewenangan untuk menyelenggarakan urusan-urusan pemerintahan yang telah diserahkan diakui sebagai domain rumah tangga daerah otonom). Terkait dengan dua nilai dasar konstitusi tersebut, penyelenggaraan desentralisasi di Indonesia terkait dengan pola pembagian kewenangan antara pemerintah pusat dan pemerintah
daerah,
karena 1
dalam
penyelenggaraan
desentralisasi selalu terdapat dua elemen penting, yakni pembentukan daerah otonom dan penyerahan kewenangan secara hukum dari pemerintah pusat untuk mengatur bagian tertentu urusan pemerintahan di Daerah.. Sesuai UUD 1945, Indonesia adalah Eenheidstaat, maka di dalam lingkungannya tidak dimungkinkan adanya daerah yang bersifat staat juga dalam arti sebagai pembatas besar dan luasnya daerah otonom adalah menghindari daerah otonom menjadi negara dalam negara. Dengan demikian pembentukan daerah otonom dalam rangka desentralisasi di Indonesia memiliki ciri-ciri : a. Daerah Otonom tidak memiliki kedaulatan atau semi kedaulatan layaknya di negara federal; b. Desentralisasi
dimanifestasikan
dalam
bentuk
penyerahan atas urusan pemerintahan; c. Penyerahan urusan pemerintahan sebagaimana dimaksud tersebut di atas utamanya terkait dengan pengaturan dan pengurusan kepentingan masyarakat setempat (lokalitas) sesuai dengan prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat.
2
Dengan demikian jelas bahwa desentralisasi merupakan instrumen untuk mencapai tujuan bernegara dalam kerangka kesatuan bangsa (national unity) pemerintahan yang demokratis (democratic government). Keseimbangan
antara
menyelenggarakan
desentralisasi
kebutuhan dengan
untuk kebutuhan
memperkuat kesatuan nasional harus sejalan dengan konteks UUD 1945. Oleh sebab itu penyelenggaraan desentralisasi di Indonesia mempunyai ciri umum sesuai dengan UUD 1945 yaitu : 1. Pemerintah
daerah
merupakan
hasil
bentukan
Pemerintah pusat dan dapat dihapus melalui proses hukum apabila daerah tidak mampu menjalankan otonominya setelah melalui fasilitasi pemberdayaan; 2. Dalam rangka desentralisasi, di wilayah Indonesia dibentuk wilayah Provinsi yang dalam wilayah Provinsi dibentuk Kabupaten dan Kota sebagai daerah otonom; 3. Sebagai konsekuensinya, maka kebijakan desentralisasi dirumuskan
oleh
Pemerintah
pusat
yang
penyelenggaraan otonomi daerah dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat
3
Daerah
dengan
melibatkan
masyarakat
yang
mencerminkan pemerintahan yang demokratis; 4. Hubungan antara pemerintah daerah otonom dengan pemerintah pusat adalah bersifat tergantung (dependent) dan bawahan (subordinate). Hal ini berbeda dengan hubungan antara pemerintah negara bagian dengan pemerintah federal yang menganut prinsip federalism yang sifatnya independent dan koordinatif; 5. Penyelenggaraan desentralisasi menuntut persebaran urusan pemerintahan oleh pemerintah pusat kepada daerah otonom sebagai badan hukum publik. Urusan pemerintahan yang didistribusikan hanyalah merupakan urusan
pemerintahan
yang
menjadi
kompetensi
pemerintah pusat dan tidak mencakup urusan yang menjadi kompetensi Lembaga Negara yang membidangi legislatif (pembentuk UU) dan yudikatif ataupun lembaga Negara yang berwenang mengawasi keuangan Negara. Penyelenggaraan
pemerintahan
daerah
yang
di
desentralisasikan menjadi kewenangan Kepala Daerah dan DPRD dalam pelaksanaannya sesuai dengan mandat yang
4
diberikan rakyat.
Persebaran urusan pemerintahan ini
memiliki dua prinsip pokok: a. Selalu terdapat urusan pemerintahan yang secara universal tidak dapat diserahkan kepada daerah karena menyangkut kepentingan kelangsungan hidup bangsa dan negara (seperti urusan pertahanan-keamanan, politik luar negeri, moneter, dan peradilan); b. Tidak ada urusan pemerintahan pusat yang sepenuhnya dapat diserahkan kepada daerah. Untuk urusan-urusan pemerintahan yang berkaitan kepentingan lokal, regional dan nasional dilaksanakan secara bersama (concurrent). Ini berarti ada bagian dari urusan pemerintahan tertentu yang dilaksanakan oleh Kabupaten/Kota, ada bagian yang diselenggarakan oleh Provinsi dan ada juga yang diselenggarakan oleh pemerintah pusat. Dalam hal ini diperlukan adanya hubungan koordinasi antar tingkatan pemerintahan agar urusan-urusan pemerintahan yang bersifat concurrent tersebut dapat terselenggara secara optimal. Mengingat urusan pemerintahan bersifat dinamis, maka dalam penyerahan urusan pemerintahan tersebut selalu mengalami perubahan dari waktu ke waktu yang kepastian, 5
perubahan tersebut
perlu
didasarkan pada
peraturan
perundang-undangan. Oleh sebab itu selalu ada dinamika dalam distribusi urusan pemerintahan (inter-governmental function
sharing)
antar
tingkatan
pemerintahan;
Kabupaten/Kota, Provinsi dan Pemerintah Pusat. Secara
umum
terdapat
dua
pola
besar
dalam
merumuskan distribusi urusan pemerintahan, yaitu : 1. Pola Otonomi Luas (Pola-general competence), dalam pola
ini
dirumuskan
bahwa
urusan-urusan
yang
dilakukan oleh Pemerintah Pusat bersifat limitatif dan sisanya (urusan residu) menjadi kewenangan Pemerintah Daerah. 2. Pola Otonomi Terbatas (Pola ultra vires), dalam pola ini urusan-urusan Daerah yang ditentukan secara limitatif dan sisanya (urusan residu) menjadi kewenangan Pusat. Dalam rangka melaksanakan otonomi daerah Provinsi dipimpin oleh Gubernur yang juga bertindak sebagai wakil Pusat di Daerah untuk melakukan supervisi, monitoring, evaluasi, fasilitasi dan pemberdayaan kapasitas (capacity building) terhadap Kabupaten/Kota yang ada di wilayahnya agar otonomi daerah Kabupaten/Kota tersebut bisa berjalan secara optimal. Disamping itu Gubernur juga melaksanakan 6
urusan-urusan nasional yang tidak termasuk dalam otonomi daerah dan tidak termasuk urusan instansi vertikal di wilayah Provinsi yang bersangkutan. Selain urusan pemerintahan yang diselenggarakan secara sentralisasi,
terdapat
urusan
pemerintahan
yang
diselenggarakan secara desentralisasi dalam arti luas dapat dilakukan secara devolusi, dekonsentrasi, privatisasi dan delegasi (Rondinelli & Cheema, 1983). Pemahaman devolusi di Indonesia mengacu kepada desentralisasi sedangkan delegasi
terkait
dengan pembentukan
lembaga
semi
pemerintah (Quasi Government Organisation/Quango) yang mendapatkan delegasi Pemerintah untuk mengerjakan suatu urusan yang menjadi kewenangan Pemerintah (Muthallib & Khan, 1980). Lembaga yang terbentuk berdasarkan prinsip delegasi dapat berbentuk Badan Otorita, Badan Usaha Milik Negara, Batan, LEN, Bakosurtanal dsb. Konsep privatisasi berimplikasi pada dilaksanakannya sebagian fungsi yang semula merupakan kewenangan Pemerintah Pusat/ Pemerintah Daerah oleh pihak swasta, dengan variant privatisasi adalah terbukanya kemungkinan kemitraan (partnership) antara pihak Pemerintah Pusat/ Pemerintah Daerah dengan pihak swasta dalam bentuk Built 7
Operate Own (BOO), Built Operate Transfer (BOT), management contracting out dsb. Penyelenggaraan
tugas
pembantuan
(Medebewind)
diwujudkan dalam bentuk penugasan oleh pemerintah pusat kepada
Daerah
atau
Desa
atau
Provinsi
kepada
Kabupaten/Kota dan Desa untuk melaksanakan suatu urusan pemerintahan. Pembiayaan dan dukungan sarana diberikan oleh
yang
penugasan
menugaskan wajib
sedangkan
untuk
yang
menerima
mempertanggung
jawabkan
pelaksanaan tugas tersebut kepada yang menugaskan. Untuk melaksanakan kewenangan Pusat di Daerah digunakan azas dekonsentrasi yang dilaksanakan oleh instansi vertikal balk yang wilayah yurisdiksinya mencakup satu wilayah kerja daerah otonom maupun mencakup beberapa wilayah kerja daerah otonom seperti adanya KODAM, POLDA, Kejaksaan, Badan Otorita Pusat di Daerah dan lain-lainnya. Penyelenggaraan pemerintahan daerah dilaksanakan oleh Kepala Daerah dan DPRD yang bekerja atas dasar kemitraan, bukan saling membawahi satu sama lain untuk menyusun
dan
merumuskan
kebijakan
daerah
serta
bekerjasama dengan semangat kemitraan. Namun pada saat 8
pelaksanaan (implementasi), kedua institusi memiliki fungsi yang berbeda yaitu Kepala Daerah melaksanakan kebijakan Daerah dan DPRD melakukan pengawasan atas pelaksanaan kebijakan daerah. Dalam rangka mewujudkan tata pemerintahan yang baik (good governance) mengaadopsi prinsip penyelenggaraan pemerintahan daerah yang efektif, efisien, transparan, demokratis, partisipatif, dan akuntabel. Oleh sebab itu hubungan Kepala Daerah, DPRD dan masyarakat daerah dalam rangka checks and balances menjadi kebutuhan yang bersifat mutlak. Perimbangan keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah menjadi salah satu ciri penting pelaksanaan otonomi daerah, karena karakteristik sumber daya alam, sumber daya buatan dan sumber daya manusia yang sangat beragam antar daerah. Sebagai perwujudan nilai dasar konstitusi maka diperlukan pengaturan tentang pembagian hasil
atas
pengelolaan sumber daya alam, buatan maupun atas basil kegiatan
perekonomian
lainnya
yang
intinya
untuk
memperlancar pelaksanaan otonomi daerah dan pada saat yang
sama
memperkuat
Negara
Indonesia. 9
Kesatuan
Republik
Dua tujuan utama yang ingin dicapai melalui kebijakan desentralisasi yaitu : 1). Tujuan politik sebagai refleksi dari proses demokratisasi yang memposisikan Pemda sebagai medium pendidikan politik bagi masyarakat di tingkat lokal yang pada gilirannya secara agregat akan berkontribusi pada pendidikan politik secara nasional untuk mempercepat terwujudnya civil society (masyarakat madani). 2). Tujuan kesejahteraan
memposisikan
Pemda
sebagai
unit
pemerintahan di tingkat lokal yang berfungsi untuk menyediakan pelayanan publik secara efektif, efisien dan ekonomis untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat lokal. Pelayanan Pemda kepada masyarakat ada yang bersifat regulative
(public
regulations)
seperti
mewajibkan
penduduk untuk mempunyai KTP, KK, IMB dll, dan pelayanan yang bersifat penyediaan public goods yaitu barang-barang untuk memenuhi kebutuhan masyarakat seperti jalan, pasar, rumah sakit, terminal dll untuk menjawab kebutuhan riil warganya. Tanpa melalukan pelayanan tersebut Pemda kesulitan dalam memberikan akuntabilitas atas legitimasi yang telah diberikan warga kepada Pemda untuk mengatur dan 10
mengurus masyarakat, karena seluas apapun otonomi/ kewenangan yang dilaksanakan Daerah, kewenangan itu tetap ada batas-batasnya,
yaitu rambu-rambu berupa
pedoman dan arahan, serta kendali dari Pemerintah, baik berupa UU, PP, atau kebijakan lainnya. Kewenangan tersebut harus berkorelasi dengan kebutuhan riil masyarakat, sehingga memungkinkan Daerah mampu memberikan pelayanan
publik
yang
sesuai
dengan
kebutuhan
masyarakatnya. Alasaninilah yang menjadi dasar mengapa urusan
pemerintahan
yang
diserahkan
ke
daerah
dikelompokkan menjadi dua yaitu : a). urusan wajib berkorelasi dengan penyediaan pelayanan dasar dan b). urusan pilihan terkait dengan pengembangan potensi unggulan yang menjadi ciri khas daerah yang bersangkutan. Berdasarkan tujuan demokratisasi dan kesejahteraan diatas, maka misi utama keberadaan Pemda adalah bagaimana mensejahterakan masyarakat melalui penyediaan pelayanan publik secara efektip, efisien dan ekonomis serta melalui cara-cara
yang
menyediakan
demokratis.
pelayanan
Agar
publik
Pemda
yang
mampu
optimal
dan
mempunyai kepastian maka untuk penyediaan pelayanan dasar diperlukan adanya Standard Pelayanan Minimum 11
(SPM) yang menjadi benchmark bagi Pemda dalam mengatur aspek kelembagaan, personil, keuangan, dan mengukur kinerja dalam penyediaan pelayanan publik. Demokratisasi berimplikasi bahwa Pemda dijalankan oleh masyarakat daerah sendiri melalui wakil-wakil rakyat yang dipilih secara demokratis. Dalam misi untuk mensejahterakan rakyat, wakil rakyat akan
selalu
menyerap,
mengartikulasikan
serta
mengagregasikan aspirasi rakyat kedalam kebijakan publik di tingkat lokal yang tidak boleh bertentangan dengan kebijakan publik nasional dan diselenggarakan dalam koridor-koridor norma, nilai dan hukum positif yang berlaku.
B. Pemerintah dan Pemerintahan Daerah 1. Pemerintah Daerah Pemerintah Daerah dan DPRD adalah penyelenggara pemerintahan daerah
menurut asas otonomi dan tugas
pembantuan berdsar prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) seperti maksu Undang-Undang Dasar 1945.
Pemerintah
daerah 12
adalah
Gubernur,
Bupati/Walikota dan Perangkat Daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah. NKRI dibagi atas daerah-daerah provinsi, provinsi dibagi atas daerah kabupaten/kota dan
setiap daerah
provinsi/kabupaten/kota
pemerintahan
mempunyai
daerah yang diatur dengan undang-undang. Gubernur/Bupati /Walikota masing-masing sebagai Kepala Pemerintah Daerah Provinsi/ Kabupaten/ Kota dipilih
secara
demokratis.
Pemerintah
daerah
menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan Pemerintah Pusat. Susunan
Pemerintah
Daerah
adalah
unsur
penyelenggara Pemerintahan Daerah yang terdiri dari Gubernur/Bupati/Walikota dan perangkat daerah yang bernama : a. Pemerintah Daerah Provinsi (Pemprov) terdiri atas Gubernur dan Perangkat Daerah yang meliputi Sekretariat Daerah, Dinas Daerah, dan Lembaga Teknis Daerah b. Pemerintah
Daerah
Kabupaten/Kota
(Pemkab/Pemkot) terdiri atas Bupati/Walikota dan 13
Perangkat Daerah yang meliputi Sekretariat Daerah, Dinas Daerah, Lembaga Teknis Daerah, Kecamatan, Kelurahan, Desa. Kepala daerah untuk provinsi disebut Gubernur, kabupaten disebut Bupati dan kota adalah Walikota. Kepala daerah dibantu oleh satu orang wakil kepala daerah disebut Wakil Gubernur, Wakil Bupati dan Wakil Walikota. Kepala dan wakil kepala daerah memiliki tugas,
wewenang
dan
kewajiban
serta
larangan,
disamping mempunyai kewajiban untuk memberikan laporan penyelenggaraan pemerintahan daerah kepada Pemerintah
dan
memberikan
pertanggungjawaban menginformasikan
kepada laporan
laporan
keterangan
DPRD
serta
penyelenggaraan
pemerintahan daerah kepada masyarakat.
2. Pemerintahan daerah Indonesia adalah sebuah negara yang wilayahnya terbagi atas daerah-daerah Provinsi/Kabupaten/Kota. Setiap daerah mempunyai pemerintahan daerah yang diatur dengan undang-undang. Pemerintahan Daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh 14
Pemerintah Daerah dan DPRD menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluasluasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam UUD 1945. Pemerintahan
daerah
Provinsi/Kabupaten/Kota
memiliki Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang anggota-anggotanya dipilih melalui pemilihan umum. Gubernur/ Bupati/ Walikota masing-masing sebagai Kepala Pemerintah Daerah dipilih secara demokratis. Hubungan wewenang antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah provinsi/kabupaten/ kota atau antara provinsi/ kabupaten/ kota diatur dengan undang-undang dengan memperhatikan kekhususan dan keragaman daerah.
Hubungan keuangan,
pelayanan umum,
pemanfatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah diatur dan dilaksanakan secara adil dan selaras berdasarkan undang-undang. Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang. Negara 15
mengakui
dan
menghormati
kesatuan-kesatuan
masyarakat hukum adat serta hak-hak tradisonalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang. Pembentukan daerah Provinsi/ Kabupaten/ Kota ditetapkan
dengan
undang-undang,
dapat
berupa
penggabungan beberapa daerah atau bagian daerah yang bersandingan atau pemekaran dari satu daerah menjadi dua daerah atau lebih. Daerah dapat dihapus dan digabung dengan daerah lain apabila daerah yang bersangkutan tidak mampu menyelenggarakan otonomi daerah. Penghapusan dan penggabungan daerah beserta akibatnya ditetapkan dengan undang-undang. Untuk menyelenggarakan fungsi pemerintahan tertentu yang bersifat khusus bagi kepentingan nasional, Pemerintah dapat menetapkan kawasan khusus dalam wilayah Provinsi/ Kabupaten/Kota. Pemerintahan
Pusat,
Pemerintahan
Daerah
menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangannya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh 16
Undang-undang ditentukan menjadi urusan pemerintah pusat. Urusan pemerintahan yang menjadi urusan Pemerintah Pusat meliputi: 1. Politik luar negeri; 2. Pertahanan; 3. Keamanan; 4. Yustisi; 5. Moneter dan fiskal nasional; 6. Agama ; 7. Norma ; dan 8. Ekonomi Penyelenggaraan
urusan
pemerintahan
dibagi
berdasarkan kriteria eksternalitas, akuntabilitas, dan efisiensi dengan memperhatikan keserasian hubungan antar susunan pemerintahan. Urusan pemerintahan yang menjadi
kewenangan
pemerintahan
daerah
diselenggarakan berdasarkan kriteria di atas terdiri atas urusan wajib dan urusan pilihan. Urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah Provinsi merupakan urusan dalam skala provinsi yang meliputi 16 buah urusan. Urusan pemerintahan provinsi yang bersifat pilihan meliputi urusan pemerintahan yang secara nyata 17
ada dan berpotensi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan kondisi, kekhasan dan potensi unggulan daerah yang bersangkutan. Urusan
wajib
yang
menjadi
kewenangan
pemerintahan daerah Kabupaten/Kota merupakan urusan yang berskala kabupaten atau kota meliputi 16 buah urusan. Urusan pemerintahan kabupaten atau kota yang bersifat pilihan meliputi urusan pemerintahan yang secara nyata ada dan berpotensi untuk meningkatkan kesejahteraan kekhasan
dan
masyarakat potensi
sesuai
dengan
unggulan
daerah
kondisi, yang
bersangkutan. Dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah, pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan berdasarkan asas otonomi dan tugas pembantuan.
Pemerintahan
daerah dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan memiliki hubungan dengan pemerintah pusat dan dengan pemerintahan daerah lainnya yang meliputi hubungan wewenang, keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya alam, dan sumber daya lainnya. Hubungan 18
keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya dilaksanakan secara adil dan selaras. Hubungan wewenang, keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya
menimbulkan
hubungan
administrasi
dan
kewilayahan antar susunan pemerintahan.
C. Hubungan Pusat Dan Daerah Kebijakan
desentralisasi
bertujuan
memberikan
kewenangan kepada daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri dalam ikatan negara kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Tetapi tanggung jawab akhir dari penyelenggaraan urusan-urusan pemerintahan yang diserahkan kepada Daerah adalah menjadi tanggung jawab Pemerintah Pusat, karena dampak externalities akhir penyelenggaraan urusan tersebut akan menjadi tanggung jawab negara. Peran Pusat dalam kerangka otonomi Daerah bersifat menentukan
kebijakan
makro,
melakukan
supervisi,
monitoring, evaluasi, kontrol dan pemberdayaan (capacity building) agar daerah dapat menjalankan otonominya secara optimal. Sedangkan peran daerah pada tataran pelaksanaan 19
otonomi tersebut. Dalam melaksanakan otonominya Daerah berwenang membuat kebijakan Daerah dalam batas-batas otonomi yang diserahkan kepadanya dan tidak boleh bertentangan dengan Peraturan Perundangan yang lebih tinggi yaitu norma, standard dan prosedur yang ditentukan Pusat. Dalam hubungan dan distribusi kewenangan, daerah otonom diberikan wewenang untuk mengelola urusan pemerintahan yang diserahkan kepada Daerah. Agar terwujud
distribusi
kewenangan
mengelola
urusan
pemerintahan yang efisien dan efektif antar tingkatan pemerintahan, maka distribusi kewenangan mengacu pada kriteria sebagai berikut: a. Externalitas; unit pemerintahan yang terkena dampak langsung dari mempunyai
pelaksanaan suatu urusan pemerintahan kewenangan
untuk
mengurus
urusan
pemerintahan tersebut; b. Akuntabilitas; unit
pemerintahan yang
berwenang
mengurus suatu urusan pemerintahan adalah unit pemerintahan yang paling dekat dengan dampak yang ditimbulkan dari pengelolaan urusan tersebut. Ini terkait dengan
pertanggung
jawaban
(akuntabilitas)
pengelolaan urusan pemerintahan tersebut 20
dari
kepada
masyarakat yang menerima dampak langsung dari urusan tersebut. Urusan lokal akan menjadi kewajiban Kabupaten/ Kota untuk mempertanggung jawabkan dampaknya. Urusan yang berdampak regional akan menjadi tanggung jawab Provinsi dan urusan yang berdampak nasional akan menjadi tanggung jawab Pemerintah Pusat; c. Efisiensi; pelaksanaan otonomi daerah adalah untuk kesejahteraan rakyat melalui pemberian kewenangan kepada
daerah
untuk
mengurus
suatu
urusan
pemerintahan jangan sampai menciptakan in-efiensi atau high cost economy. Untuk mencapai efisiensi maka diperlukan skala ekonomi (econimies of scale) dalam pelaksanaannya terkait dengan luasan cakupan wilayah (catchment area) dimana urusan pemerintahan tersebut dilaksanakan. Untuk mencapai skala ekonomi tersebut, maka perlu dilakukan kerjasama antar daerah untuk optimalisasi pembiayaan dari penyelenggaraan urusan tersebut.
Dalam
penyelenggaraan
urusan-urusan
pemerintahan tersebut terdapat adanya inter-koneksi dan inter-dependensi
karena
keterkaitan
pemerintahan tersebut sebagai suatu sistem. 21
dari
urusan
Urusan yang menjadi kewenangan Pusat tidak akan berjalan optimal apabila tidak terkait (interkoneksi) dengan Provinsi/Kabupaten/Kota, sehingga diperlukan koordinasi untuk menciptakan sinergi dalam melaksanakan kewenangan mengelola urusan-urusan tersebut. Namun demikian setiap tingkatan pemerintahan mempunyai kewenangan penuh (independensi) untuk mengelola urusan pemerintahan yang menjadi domain kewenangannya. Sebagai ilustrasi; jalan negara yang menjadi kewenangan Pusat tidak akan optimal apabila tidak terkait dengan jalan Provinsi yang menjadi kewenangan Provinsi menggelolanya. Jalan Provinsi juga tidak akan optimal apabila tidak terkait dengan jalan Kabupaten/Kota. Secara keseluruhan jaringan jalan tersebut merupakan suatu sistem jalan yang didukung oleh sub sistem jalan Negara. Setiap tingkatan pemerintahan tersebut mempunyai kewenangan penuh (independent) untuk mengelola jalan yang menjadi domain kewenangannya. Namun dalam menjalankan kewenangannya masing-masing harus ada koordinasi diantara ketiga tingkatan pemerintahan tersebut agar jalan sebagai suatu sistem dapat berfungsi secara optimal. 22
Terkait dengan sektor publik, maka pokok-pokok pengaturan yang melandasi pengaturan kewenangan telah diatur dalam UU 32/2004. Persoalan mendasar yang perlu diperhatikan adalah : Pertama, bagaimana melakukan sosialisasi secara efektip kepada seluruh stakeholders otonomi
daerah
yaitu(instansi-instansi
Pusat/Provinsi/Kabupaten/Kota umumnya, karena
dan
di
masyarakat
tingkat pada
seluruh elemen bangsa akan terkena
dampak dari otonomi daerah. Otonomi daerah mengatur manusia sejak lahir (akte kelahiran) sampai mati (akte kematian), sehingga harus terbentuk pemahaman yang sama tentang otonomi daerah tersebut. Kedua, bagaimana seluruh stakeholders tersebut mau dan mampu mengawal otonomi daerah agar berjalan sesuai dengan koridor yang ditentukan dalam UU 32/2004. Jalan keluar untuk mengatasi kedua persoalan tersebut adalah supervisi dan fasilitasi dari Pusat menjadi sangat signifikan untuk mengawal pelaksanaan UU 32/2004 tersebut, dengan melakukan evaluasi secara obyektif terhadap UU 32/2004. Sebagai suatu hasil kebijakan publik (public policy) untuk urusan sector public sudah tentu kebijakan tersebut harus sesuai dengan dinamika perubahan masyarakat. 23
24
BAB II : BIROKRASI NEGARA
A. Pengertian Birokrasi Negara Birokrasi adalah entitas penting suatu negara yang secara etimologis birokrasi berasal dari kata Biro (meja) dan kratein (pemerintahan)
yang
apabila
disintesakan
berarti
pemerintahan meja. Pengertian seperti ini memang aneh tetapi memang demikianlah hakikat birokrasi sebab lembaga inilah tampak kaku yang dikuasai oleh orang-orang di belakang meja.
Di dalam pendekatan kelembagaan
(institusional) khususnya di dalam skema tercantum proses administrasi negara dari eksekutif turun ke kebijakan administrasi, ke administrasi dan yang terakhir ke pemilih. Artinya, setiap kebijakan negara yang yang diselenggarakan pihak eksekutif diterjemahkan ke dalam bentuk kebijakan administrasi negara di mana pelaksanaan dari administrasi tersebut dilakukan oleh lembaga birokrasi. Semua kita mungkin mengenal badan-badan seperti Departemen, Kantor Dinas, Kantor Kecamatan dll di mana kantor-kantor tersebut semua merupakan badan-badan birokrasi negara yang mengimplementasikan
kebijakan
negara
langsung berhubungan dengan masyarakat. 25
dan
bersifat
Bagi mereka birokrasi adalah setiap organisasi yang berskala besar yang terdiri atas para pejabat yang diangkat dengan fungsi utamanya untuk melaksanakan (to implement) kebijakan-kebijakan yang telah diambil oleh para pengambil keputusan (decision makers). Idealnya, birokrasi merupakan suatu sistem rasional atau struktur yang terorganisir yang dirancang sedemikian rupa guna memungkinkan adanya pelaksanaan kebijakan publik yang efektif dan efisien. Birokrasi dioperasikan oleh serangkaian aturan serta prosedur yang bersifat tetap, terdapat rantai komando berupa hirarki kewenangan di mana tanggung jawab setiap bagianbagiannya mengalir dari atas ke bawah. Disamping itu, birokrasi juga disebut sebagai badan yang menyelenggarakan pelayanan publik (Civil Service) yang terdiri dari orang-orang yang diangkat oleh eksekutif dan posisi mereka ini datang dan pergi. Artinya, mereka-mereka duduk di dalam birokrasi kadang dikeluarkan atau tetap dipertahankan berdasarkan prestasi kerja mereka. Seorang pegawai birokrasi yang malas biasanya akan mendapat teguran dari atasan dan jika teguran ini tidak diindahkan ada kemungkinan akan diberhentikan dari posisinya. Tetapi, apabila seorang pegawai menunjukkan prestasi kerja yang 26
memuaskan mendapat
ada posisi
kemungkinan yang
lebih
dipromosikan untuk tinggi
dengan
segala
konsekwensinya. Karakteristik birokrasi Max Weber yang umum diacu oleh biorokrasi negara paling tidak mempunyai delapan karakteristik birokrasi, yaitu: 1. Organisasi yang disusun secara hirarkis 2. Setiap bagian memiliki wilayah kerja khusus. 3. Pelayanan publik (civil sevants) terdiri atas orang-orang yang diangkat, bukan dipilih, di mana pengangkatan tersebut didasarkan kepada kualifikasi kemampuan, jenjang pendidikan, atau pengujian (examination). 4. Seorang
pelayan
publik
menerima
gaji
pokok
berdasarkan posisi. 5. Pekerjaan sekaligus merupakan jenjang karir. 6. Para pejabat/pekerja tidak memiliki sendiri kantor mereka. 7. Setiap pekerja dikontrol dan harus disiplin. 8. Promosi yang ada didasarkan atas penilaiaj atasan (superior's judgments).
27
Ditinjau secara politik, karakteristik birokrasi yang dikemukakan Max Weber hanya menyebut hal-hal yang ideal. Artinya terkadang pola pengangkatan pegawai di dalam birokrasi yang seharusnya didasarkan atas jenjang pendidikan atau hasil ujian sering kali tidak/belum terlaksana akibat masih berlangsungnya pola pengangkatan pegawai
berdasarkan
kepentingan
pemerintah
atau
kepentingan tertentu. Untuk mencermati tipe-tipe birokrasi Negara kita manfaatkan pemisahan tipe birokrasi menurut ideal Typhus Amerika Serikat kita komparasikan dengan apa yang ada di Indonesia. Di Amerika Serikat, ada 4 jenis birokrasi yaitu: 1. The Cabinet Departments (departemen-departemen di dalam kabinet), 2. Federal Agencies (agen-agen federal), 3. Federal Corporation (perusahaan-perusahaan federal milik federal), dan 4. Independent Regulatory Agencies (agen-agen pengaturan independen). Departemen-departemen dalam kabinet terdiri atas beberapa beberapa lembaga birokrasi yang dibedakan menurut
tugasnya
(
ada 28
departemen
tenaga
kerja,
departemen pertahanan, atau departemen pendidikan). Tugas utama dari departemen-departemen ini adalah melaksanakan kebijaksanaan umum yang telah digariskan oleh lembaga eksekutif maupun yudikatif. Agen-agen federal merupakan kepanjangan tangan dari lembaga kepresidenan yang dibentuk berdasarkan pilihan presiden yang tengah memerintah, oleh sebab itu sifatnya lebih politis ketimbang murni administratif. Organisasi NASA di sana merupakan salah satu contoh dari agen-agen federal. Contoh dari birokrasi ini juga diposisikan oleh FBI (Federal Bureau Investigation). Di Indonesia agen-agen seperti ini misalnya Badan Tenaga Atom Nasional (Batan), Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan). Korporasi-korporasi federal merupakan birokrasi yang memadukan antara posisinya sebagai agen pemerintah sekaligus sebagai sebuah lembaga bisnis. Di Indonesia contoh yang paling endekati adalah BUMN (Badan Usaha Milik Negara), walaupun negara (eksekutif) terkadang masih merupakan
pihak
yang
paling
menentukan
dalam
pengangkatan pejabatnya, tetapi secara umum. Sebagai sebuah
lembaga
bisnis
ia 29
memiliki
otoritas
untuk
menentukan jenis modal dan juga memutuskan apakah perusahaan akan melakukan pemekaran organisasi atau sebaliknya, perampingan. Di Indonesia, contoh dari korporasi-korporasi milik negara ini misalnya Perusahaan Jawatan Kereta Api (PJKA), Garuda Indonesia Airways (GIA), Perusahaan Listrik Negara (PNL) atau Bank Mandiri. Agen-agen
Pengaturan
Independen,
sebagai
jenis
birokrasi yang terakhir, merupkan birokrasi yang dibentuk berdasarkan kebutuhan untuk menyelenggarakan regulasi ekonomi terhadap dunia bisnis, di mana penyelenggaraan tersebut berkaitan secara langsung dengan kesejahteraan masyarakat. Di Indonesia kini dibentuk Badan Penyehatan Perbankan Nasional
(BPPN)
yang
berfungsi
untuk
melakukan
rekstrukturisasi kalangan bisnis tanah air yang di masa lalu dianggap banyak merugikan keuangan negara dan secara luas kesejahteraan masyarakat terganggu akibat kredit-kredit macet. Selain itu, sebagai contoh misalnya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Komisi Pemilihan Umum (KPU), Komisi Pengawasan Persaingan Usaha (KPPU), Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), dan sejenisnya. 30
B. Peran Birokrasi dalam Pemerintahan Modern Michael G. Roskin, et al. meneyebutkan bahwa sekurang-kurangnya ada empat fungsi birokrasi di dalam suatu pemerintahan modern. Fungs-fungsi tersebut adalah : 1. Administrasi Fungsi administrasi pemerintahan modern meliputi administrasi, pelayanan, pengaturan, perizinan, dan pengumpul informasi. Dengan fungsi administrasi fungsi sebuah birokrasi adalah mengimplementasikan undang-undang yang telah disusun oleh legislatif serta penafsiran atas Undang-Undang tersebut oleh eksekutif. Dengan demikian administrasi berarti pelaksanaan kebijaksanaan umum suatu Negara yang telah dirancang sedemikian rupa guna mencapai tujuan negara secara keseluruhan. 2. Pelayanan Birokrasi sessungguhnya diarahkan untuk melayani masyarakat atau kelompok-kelompok khusus. Badan metereologi
dan
Geofisika
(BMG)
di
Indonesia
merupakan contoh yang bagus untuk hal ini, di mana badan tersebut ditujukan demi melayani kepentingan masyarakat yang akan melakukan perjalanan atau 31
mengungsikan diri dari kemungkinan bencana alam. Untuk batas-batas tertentu, beberapa korporasi negara seperti PJKA atau Jawatan POS dan Telekomunikasi juga menjalankan fungsi public service ini. 3. Pengaturan (regulation) Fungsi pengaturan dari suatu pemerintahan biasanya dirancang
demi
mengamankan
kesejahteraan
masyarakat. Dalam menjalankan fungsi ini, badan birokrasi biasanya dihadapkan anatara dua pilihan (kepentingan individu atau kepentingan masyarakat banyak)
dan
Badan
birokrasi
negara
biasanya
diperhadapkan pada dua pilihan ini. 4. Pengumpul Informasi (Information Gathering) Informasi dibutuhkan berdasarkan dua tujuan pokok yaitu : a). apakah suatu kebijaksanaan mengalami sejumlah pelanggaran atau, b). keperluan membuat kebijakan-kebijakan baru yang akan disusun oleh pemerintah berdasarkan situasi faktual. Badan birokrasi menjadi ujung tombak pelaksanaan kebijaksanaan negara tentu menyediakan data-data sehubungan dengan dua hal tersebut. Misalnya, adanya pungutan liar (pungli) ketika masyarakat
mengurus SIM atau STNK tentunya 32
mengalamitambahan biaya. Pungli tersebut merupakan pelanggaran atas idealisme administrasi negara, oleh sebab itu harus ditindak. Dengan ditemukannya bukti pungli, pemerintah akan membuat prosedur baru untuk pembuatan SIM dan STNK agar tidak memberi ruang bagi kesempatan melakukan pungli. Selain Michael G Roskin, et.al., Andrew Heywood juga mengutarakan sejumlah fungsi yang melekat pada birokrasi yaitu : 1. Pelaksanaan Administrasi. Fungsi ini sama yang diutarakan Roskin, et.al, bahwa fungsi utama birokrasi adalah mengimplementasikan atau
mengeksekusi
undang-undang
dan kebijakan
negara. Fungsi ini (Heywood) membedakan 2 peran di tubuh pemerintah. Pertama, peran pembuatan kebijakan berada di tangan politisi. Kedua, peran pelaksanaan kebijakan berada di tangan birokrat. Oleh sebab itu fungsi administrasi merupakan fungsi sentral dari birokrasi negara yang dalam rezim pemerintahan disebut dengan administrasi. Misalnya administrasi Gus Dur, administrasi
Sukarno,
administrasi
SBY,
atau
administrasi Barack Obama sebagai akibat suatu 33
kenyataan bahwa suatu kebijakan baru akan terasa apabila telah dilaksanakan. 2. Nasehat Kebijakan (Policy Advice) Birokrasi menempati peran sentral dalam pemberian nasehat kebijakan kepada pemerintah, karena birokrasi merupakan lini terdepan dalam implementasi suatu kebijakan dan mereka adalah pelaksananya. Sebab itu, masalah dalam kebijakan informasinya secara otomatis akan terkumpul di birokrasi. Heywood membedakan 3 kategori birokrat yaitu : 1) Top level civil servants, banyak melakukan kontak dengan politisi, 2) Middlerangking civil servants,lebih pada pekerjaan rutine di lapangan dan 3) Junior-ranking civil servants. Top Level Civil
Servants
dapat
bertindak
selaku
penasehat
kebijakan bagi para politisi berdasarkan informasi pelaksanaan kebijakan yang mereka peroleh dari middle dan junior civil servants. 3. Artikulasi Kepentingan Walaupun bukan fungsi utamanya untuk mengartikulasi kepentingan (ini fungsi partai politik), tetapi birokrasi sering
mendukung upaya artikulasi dan agregasi
kepentingan. Dalam hal ini birokrasi banyak melakukan 34
kontak dengan kelompok-kelompok kepentingan untuk membangkitkan kecenderungan korporatis apabila terjadi kekaburan
antara
kepentingan-kepentingan
yang
terorganisir dengan kantor-kantor pemerintah (birokrasi). Kelompok-kelompok kepentingan seperti perkumpulan dokter, guru, petani, dan bisnis kemudian menjadi kelompok klien yang dilayani oleh birokrasi negara. Klientelisme positif dalam arti birokrasi secara dekat mampu
mengartikulasikan
kepentingan
kelompok-
kelompok tersebut yang notabene adalah rakyat yang harus dilayani. Tetapi pada sisi lain klientelisme dapat berefek negative terutama ketika birokrasi berhadapan dengan kepentingan-kepentingan bisnis besar seperti Bakri Group (kasus Lapindo), kelompok-kelompok percetakan dalam kasus Ujian Nasional yang mana keputusan pemerintah berbias kepentingan kelompokkelompok tersebut. 4. Stabilitas Politik Birokrasi dapat berperan sebagai stabilitator politik dalam artian fokus kerjanya adalah stabilitas dan kontinuitas sistem politik. Peran ini terutama nampak di
35
negara-negara berkembang di mana pelembagaan politik demokrasi masih dalam perkembangan.
C. Penataan Kelembagaan/Ketatalaksanaan Birokrasi Kelemahan-kelemahan birokrasi terletak dalam hal: a). penetapan standar efisiensi yang dapat dilaksanakan secara fungsional, b). terlalu menekankan aspek-aspek rasionalitas, impersonalitas dan hirarki, c). kecenderungan birokrat untuk menyelewengkan tujuan-tujuan organisasi, d). berlakunya pita merah dalam kehidupan organisasi. Kelemahankelemahan dalam birokrasi sebenarnya tidak berarti bahwa birokrasi adalah satu bentuk organisasi yang negatif tetapi seperti dikemukakan oleh K. Merton lebih merupakan bureaucratic dysfunction dengan ciri utamanya trained incapacity. Usaha untuk memperbaiki penampilan birokrasi diajukan dalam bentuk teori birokrasi sistem perwakilan. dengan asumsi bahwa birokrat di pengaruhi oleh pandangan nilainilai kelompok sosial dari mana ia berasal. Pada gilirannya aktivitas administrasi diorientasikan pada kepentingan kelompok sosialnya. Sementara itu, kontrol internal tidak dapat
dijalankan,
sehingga 36
dengan
birokrasi
sistem
perwakilan diharapkan dapat diterapkan mekanisme kantrol internal. Teori birokrasi sistem perwakilan secara konseptual sangat merangsang, tetapi tidak mungkin untuk diterapkan, karena teori ini tidak realistik, tidak jelas kriteria keperwakilan,
emosional
dan
mengabaikan
peranan
pendidikan. Desain biorokrasi negara pada masa akan datang diharapkan : 1. Harus Kuat dalam arti kepentingan
politik
dan
tidak mudah diintervensi mampu
mengakomodasi
kepentingan publik dengan memberi pelayanan prima pada masyarakat tanpa diskriminasi; 2. Kelembagaan (pemisahan jabatan politik dan jabatan karier, birokrasi harus dipimpin birokrat professional karier); 3. Sumber daya manusia harus professional (system rekruitmen sesuai prosedur, penempatan jabatan sesuai aturan, renumerasi memadai) Penataan
Kelembagaan
dilaksanakan
memperhatikan Dimensi dan Azas Organisasi :
37
dengan
a. Dimensi Struktural (formalisasi, spesialisasi, sentralisasi, hirarki
kekuasaan,
kompleksitas,
profesionalisme,
konfigurasi) b. Dimensi Kontekstual (ukuran organisasi, teknologi organisasi, lingkungan) c. Azas
Organisasi
(Azas
pembagian
tugas,
azas
fungsionalisasi, azas koordinasi, azas kesinambungan, azas akordion, azas pendelegasian wewenang, azas keluwesan, azas rentang kendali, azas jalur staf, azas kejelasan dalam pelembagaan Kerangka
transformasi
memahami 4 (empat) bentuk
organisasi
birokrasi
perlu
transformasi sebagaimana
gambar berikut : Renew (memperbaharui)
Reframe (menyusun kembali)
Semangat
Pemikiran TRANSFORMASI
Revitalize (Revitalisasi)
Restructure (restruktur)
Tumbuh di Lingkungan
Tumbuh di Dalam
(Sumber : Sedarmayati, 2010)
38
Empat bentuk transformasi organisasi birokrasi , yaitu : 1. Renew (memperbarui), berkaitan dengan perubahan orang dan semangat organisasi 2. Reframe (menyusun kembali), penggantian konsep organisasi tentang apa bagaimana suatu hal dapat dicapai 3. Restructure
(Restrukturisasi),
mempersiapkan
agar
organisasi mencapai tingkat persaingan kerja 4. Revitalize (Revitalisasi), membangkitkan kembali tenaga untuk pertumbuhan organisasi yang berkaitan dengan lingkungan melalui proses yang lebih menantang
Penataan managemen
ketatalaksanaan modern
dengan
diharapkan
menerapkan
terminologi
managemen
modern : terbaru, modernism, sikap, pikiran, tingkah laku yang modern, modernisasi, pembaharuan agar sesuai dengan zaman sekarang. Managemen modern bertumpu pada beberapa landasan pemikiran seperti : konsep sistem, analisis
keputusan,
pentingnya
factor
manusia
serta
tanggung jawab social manusia dalam organisasi. Dalam penerapan managemen modern hampir setiap organisasi dewasa ini memiliki ciri spesifik, anatara lain :
39
1. Adanya perubahan yang luar biasa dalam proses implementasi
fungsi-fungsi
managemen
dari
cara
konvensional bergeser ke teknologi managemen 2. Filosofi
managemen
modern
berbasais
azas
demokratisasi, akuntabilitas keterbukaan, transparansi, taat hokum, proporsional dan profesionalitas 3. Menerapkan ilmu managemen sehingga diharapkan mapu merespons berbagai tantangan yang muncul dalam organisasi sebagai pengaruh globalisasi 4. Mimimal pendekatan
memnggunakan system,
3
pendekatan
pendekatan kontingensi
yaitu dan
keterlibatan dinamik
Pendekatan sistem memandang organisasi sebagai kesatuan system yang terdiri dari bagian yang saling berkaitan,
sehingga
memberi
kemungkinan
pimpinan
melihat organisasi secara keseluruhan dan sebagai bagian dari lingkungan eksternal yang lebih luas. Pendekatan kontingensi (pendekatan situasional) dikembangkan oleh pimpinan, konsultan dan peneliti yang mencoba menerapkan berbagai konsep pada situasi kehidupan nyata. Pendekatan keterlibatan dinamik dipraktekkan dengan latar belakang 40
perubahan cepat dan pemikiran ulang yang mendalam mengenai berbagai menegemen dan organisasi akan berevolosi dalam abad mendatang, dengan sejumlah cara pada saat yang sama terletak cara baru berpikir mengenai hubungan dan waktu Managemen Pegawai Negeri Sipil (PNS) menurut UU No. 43/1999 pasal 1 adalah keseluruhan upaya untuk meningkatkan
efektifitas,
profesionalisme
penyelenggaraan
kewajiban
kepegawaian
efisiensi
yang
tugas, meliputi
dan fungsi
derajat dan
perencanaan,
pengadaan, pengembangan kualitas, penempatan, promosi, penggajian, kesejahteraan dan pemberhentian. Tujuan strategi pembinaan PNS apadah menciptakan aparatur Negara professional, netral dari kegiatan dan pengaruh politik, bermoral tinggi, berwawasan global, mendukung persatuan dan kesatuan bangsa, serta memiliki tingkat kesejahteraan material dan spiritual. Peningkatan kapasitas sumberdaya manusia/aparatur meliputi disiplin, prinsip meritokrasi dan budaya malu. Masalah kedisiplinan tidak terlepas dari 3 unsur kebudayaan yang ada pada setiap manusia yang dapat berpengaruh pada sikap dan erilaku orang dalam melaksanakan tugas dan 41
pekerjaannya yaitu : Cipta, Rasa dan Karsa. Prinsip meritokrasi yang berkaitan dengan reward merupakan factor yang sangat menentukan kelancaran dan kewenangan atau tugas yang harus dijalankan, karena manusia mempunyai kebutuhan material, spiritual atau jasmani dan rokhani. Budaya malu diharapkan berkembang dari sifat rasa malu
(afektif)
yang
mekekat
pada
profesionalisme
(psikhomotorik), bermuatan logika pengetahuan (kognitif) yang ingin dibudayakan atau menjadi budaya bangsa. Pengembangan karier adalah proses identifikasi potensi karier pegawai dan mencari serta menerapkan cara tepat untuk mengembangkan potensi tersebut. Pendidikan dan pelatihan PNS merupakan proses transformasi kualitas sumber daya manusia aparatur yang menyentuh 4 dimensi utama yaitu : dimensi mental spiritual, intelektual, mental dan fisikal yang terarah pada perubahan mutu. Sistem informasi kepegawaian yang diselenggarakan secara cepat, tepat danakurat ditujukan untuk mendukung kebijakan
memegemen
PNS
terutama
dalam
mendukungkebijakan penetapan formasi, pengangkatan, pengembangan, pembinaan, pemindahan, gaji, tunjangan, 42
kesejahteraan,
pemberhentian,
hak,
kewajiban
dan
kedudukan hokum PNS Dalam
akuntabilitas
terkandung
kewajiban
untuk
menyajikan dan melaporkan segala tindak tanduk dan kegiatan terutama dibidang administrasi keuangan kepada atasannya (pihak yang lebih tinggi) yang olok ukur (indicator pengukur) kinerja adalah kewajiban individu dan organisasi untuk mempertanggung jawabkan pencapaian kinerja melalui pengukuran seobyektif mungkin. Secara absolute akuntabilitas memvisualisasikan ketaatan pada peraturan dan prosedur yang berlaku, kemampuan untuk melakukan evaluasi kinerja, keterbukaan dalam pembuatan keputusan, mengacu pada jadwal yang telah ditetapkan dan menerapkan efisiensi dan efektifitas biaya pelaksanaan tugas-tugasnya. Media pertanggungjawaban yang menjadi alat evaluasi oleh pihak yang memberikan kewenangan untuk menilai kinerja pejabat pemerintah harus dibuat secara tertulis dalam bentuk laporan yang bersifat periodic. Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (SAKIP) adalah instrument yang digunakan instansi pemerintah dalam memenuhi
43
kewajiban untuk mempertanggungjawabkan keberhasilan dan kegagalan pelaksanaan misi organisasi, seperti gambar : Siklus SAKIP (Sistem Akuntabilitas Instansi Pemerintah) PERENCANAAN STRATEGIK
PERENCANAAN KINERJA
Pelaporan Kinerja
Akuntabilitas Kerja
( Sumber : Sedarmayanti,2010)
44
Pengukuran dan evaluasi kinerja
BAB III : PELAYANAN PUBLIK
A. Teori pelayanan Publik Fenomena yang pada umumnya dipandang rumit adalah jasa, karena kata jasa mempunyai banyak arti mulai dari pelayanan personal (personal service) sampai jasa sebagai produk. Berbagai konsep mengenai pelayanan banyak dikemukakan oleh para ahli seperti Haksever et al (2000) menyatakan
bahwa
jasa
atau
pelayanan
(services)
didefinisikan sebagai kegiatan ekonomi yang menghasilkan waktu, tempat, bentuk dan kegunaan psikologis. Menurut Edvardsson et al (2005) jasa atau pelayanan juga merupakan kegiatan, proses dan interaksi serta merupakan perubahan dalam kondisi orang atau sesuatu dalam kepemilikan pelanggan. Sinambela (2010), pada dasarnya setiap manusia membutuhkan pelayanan bahkan secara ekstrim dapat dikatakan bahwa pelayanan tidak dapat dipisahkan dengan kehidupan manusia. Menurut Kotlern dalam Sampara Lukman,
pelayanan
adalah
setiap
kegiatan
yang
menguntungkan dalam suatu kumpulan atau kesatuan dan menawarkan kepuasan meskipun hasilnya tidak terikat pada suatu produk secara fisik. Selanjutnya Sampara berpendapat, 45
pelayanan adalah sutu kegiatan yang terjadi dalam interaksi langsung antarseseorang dengan orang lain atau mesin secara fisik dan menyediakan kepuasan pelanggan. Istilah publik berasal dari bahasa inggris public yang berarti umum, masyarakat, Negara yang sebenarnya sudah diterima secara baku bahwa publik yang berarti umum, orang banyak, ramai. Dengan demikian dapat didefinisikan bahwa publik adalah sejumlah manusia yang memiliki kebersamaan berpikir, perasaan,
harapan, sikap atau
tindakan yang benar dan baik berdasarkan nilai-nilai norma yang merasa memiliki. Oleh karena itu pelayanan publik diartikan sebagai setiap kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah terhadap sejumlah manusia yang memiliki setiap kegiatan yang menguntungkan dalam suatu kumpulan atau kesatuan dan menawarkan kepuasan meskipun hasilnya tidak terikat pada suatu produk secara fisik. Lebih lanjut dikatakan pelayanan publik dapat diartikan, pemberi layanan (melayani)
keperluan
orang
atau
masyarakat
yang
mempunyai kepentingan pada organisasi itu sesuai dengan aturan pokok dan tata cara yang telah ditetapkan.
46
Sinambela (2010), secara teoritis tujuan pelayanan publik pada dasarnya adalah memuaskan masyarakat yang menuntut kualitas pelayanan prima yang tercermin dari : 1. Transparan, pelayanan yang bersifat terbuka mudah dan dapat diakses oleh semua pihak yang membutuhkan dan disediakan secara memadai serta mudah dimengerti. 2. Akuntablitas,
pelayanan
dipertanggungjawabkan
sesuai
yang
dapat
dengan
ketentuan
peraturan perundang-undangan. 3. Kondisional, pelayanan yang sesuai dengan kondisi dan kemampuan pemberi dan penerima pelayanan dengan tetap berpegang pada prinsip efisiensi dan efektivitas. 4. Partisipatif, pelayanan yang dapat mendorong peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan pelayanan publik dengan memperhatikan aspirasi, kebutuhan dan harapan masyarakat. 5. Kesamaan Hak. pelayanan yang tidak melakukan diskriminasi dilihat dari aspek apapun khususnya suku, ras, agama, golongan, status sosial dan lain-lain. 6. Keseimbangan Hak Dan Kewajiban,
pelayanan yang
mempertimbangkan aspek keadilan antara pemberi dan penerima pelayanan publik. 47
Apabila
dihubungkan dengan administrasi
publik,
pelayanan adalah kualitas pelayanan birokrat terhadap masyarakat. Kata kualitas memiliki banyak definisi yang berbeda dan bervariasi mulai dari yang konvensional hingga yang lebih strategis. Definisi konvesional dari kualitas biasanya menggambarkan karakteristik langsung dari suatu produk, seperti : 1. Kinerja (performance), 2. Kehandalan (reliability), 3. Mudah dalam penggunaan (easy of use), 4. Estetika
(esthetics)
dll.
yang
definisi
strategis
dinyatakan bahwa kualitas adalah segala sesuatu yang mampu memenuhi keinginan atau kebutuhan pelanggan (meeting the needs of customers). Salah satu pendekatan kualitas pelayanan yang banyak dijadikan acuan dalam riset pemasaran adalah model SERVQUAL (Service Quality) yang dikembangkan oleh Parasuraman, Zeithaml, dan Berry dalam serangkaian penelitian mereka yang melibatkan 800 pelanggan terhadap enam sektor jasa : reparasi, peralatan rumah tangga, kartu kredit, asuransi, sambungan telepon jarak jauh, perbankan ritel, dan pialang sekuritas disimpulkan bahwa terdapat lima 48
dimensi SERVQUAL sebagai berikut (Parasuraman et al, 1998) : 1. Tangibles, (bukti fisik)
yaitu kemampuan suatu
perusahaan dalam menunjukkan eksistensinya kepada pihak eksternal. Penampilan dan kemampuan sarana dan prasarana fisik perusahaan dan keadaan lingkungan sekitarnya adalah bukti nyata dari pelayanan yang diberikan oleh pemberi jasa yang meliputi fasilitas fisik (gedung, gudang, dan lain sebagainya), perlengkapan dan peralatan yang dipergunakan (teknologi), serta penampilan pegawainya. 2. Reliability, (kehandalan) yaitu kemampuan perusahaan untuk memberikan pelayanan sesuai yang dijanjikan secara akurat dan terpercaya. Kinerja harus sesuai dengan harapan pelanggan yang berarti ketepatan waktu, pelayanan yang sama, untuk semua pelanggan tanpa kesalahan, sikap yang simpatik, dan dengan akurasi yang tinggi. 3. Responsiveness, (ketanggapan) yaitu kemampuan untuk membantu
dan
memberi
(responsif)
dan
tepat
penyampaian
informasi 49
pelayanan
kepada yang
yang
pelanggan jelas.
cepat dengan
Membiarkan
konsumen menunggu tanpa adanya suatu alasan yang jelas
menyebabkan
persepsi
yang
negatif
dalam
pelayanan. 4. Assurance, (jaminan dan kepastian) yaitu pengetahuan, kesopansantunan,
dan
kemampuan
para
pegawai
perusahaan untuk menumbuhkan rasa percaya para pelanggan kepada perusahaan. Terdiri dari beberapa komponen antara lain komunikasi (communication), kredibilitas
(credibility),
keamanan
(security),
kompetensi (competence), dan sopan santun (courtesy). 5. Emphaty, (memberikan perhatian)
yang tulus dan
bersifat individual yang diberikan kepada para pelanggan dengan berupaya memahami keinginan konsumen. Suatu perusahaan
diharapkan
memiliki
pengertian
dan
pengetahuan tentang pelanggan, memahami kebutuhan pelanggan
secara
spesifik,
serta
memiliki
waktu
pengoperasian yang nyaman bagi pelanggan. Abidin (2010),
mengatakan bahwa pelayanan publik
yang berkualitas bukan hanya mengacu pada pelayanan semata.
Tetapi
juga
menekankan
pada
proses
penyelenggaraan atau pendistribusian pelayanan itu sendiri hingga ke tangan masyarakat sebagai konsumer. Aspek50
aspek kecepatan, ketepatan, kemudahan, dan keadilan menjadi alat untuk mengukur pelayanan publik yang berkualitas, artinya pemerintah melalui aparat dalam memberikan pelayanan publik kepada masyarakat harus memperhatikan aspek kecepatan, ketepatan, kemudahan, dan keadilan. Salah satu fungsi pemerintahan yang selalu disorot masyarakat adalah pelayanan publik instansi pemerintah yang menyelenggarakan
pelayanan publik. Peningkatan
kualitas pelayanan publik yang diselenggarakan instansi pemerintahan semakin mengemuka dan
bahkan menjadi
tuntutan masyarakat. Persoalan yang sering dikritisi masyarakat
adalah
kualitas layanan yang mencakup: a. Kesesuaian dengan persyaratan ; b. Kecocokan untuk pemakaian ; c. Perbaikan berkelanjutan ; d. Bebas dari kerusakan/cacat ; e. Pemenuhan kebutuhan pelanggan sejak awal dan setiap saat; f. Melakukan segala sesuatu secara benar ; dan
51
g. Sesuatu yang bisa membahagiakan pelanggan (Tjiptono, 1996). Tuntutan pelanggan untuk mendapatkan pelayanan yang lebih baik (service excellence) tidak dapat dihindari oleh penyelenggara pelayanan jasa dan harus disikapi sebagai upaya untuk memberikan kepuasan kepada penerima layanan. Kualitas pelayanan diartikan sebagai tingkat keunggulan yang diharapkan dan pengendalian atas tingkat keunggulan tersebut untuk memenuhi keinginan pelanggan dan tidak diukur dari sudut pandang pihak penyelenggara atau penyedia layanan, melainkan berdasarkan persepsi masyarakat (pelanggan) penerima layanan. Apabila pelayanan yang diterima sesuai dengan apa yang diharapkan,
maka
kualitas
pelayanan
dipersepsikan
memuaskan. Jika pelayanan yang diterima melampaui harapan pelanggan, maka kualitas pelayanan dipersepsikan sebagai kualitas yang ideal. Sebaliknya jika pelayanan yang diterima lebih rendah dari yang diharapkan, maka kualitas pelayanan dipersepsikan buruk. Dengan demikian baik buruknya kualitas pelayanan tergantung kepada kemampuan penyedia layanan dalam memenuhi harapan masyarakat (para penerima layanan) secara konsisten. 52
Berdasarkan uraian dari berbagai pendapat diatas, maka pengertian kualitas pelayanan adalah totalitas karakteristik suatu konsep pelayanan yang mencakup seluruh aspek pelayanan yang toluk ukurnya adalah dapat memberi kepuasan kepada para pelanggan (masyarakat).
B. Etika Birokrasi Dalam Pelayanan Publik Apabila pelayanan publik sebagai produk dari orientasi pemikiran administrasi pembangunan pembangunan
sebagai
orientasi
dan
baru
administrasi negara, maka timbul
administrasi dari reformasi
pertanyaan adakah
teori khusus yang berkaitan dengan etika pelayanan publik. Gerald Caiden (1986), pakar administrasi negara pernah menyindir tentang keberadaan teori administrasi negara ini dengan menyatakan bahwa administrasi negara itu terlalu banyak teori, tetapi tidak terdapat satu teoripun yang dapat
diberlakukan
secara
umum
dari
administrasi
negara. Hal yang sama pernah disampaikan pula oleh Fred.W Riggs (1964) dan Ferrel Heady (1966) yang mempertanyakan perihal isi dan kecenderungan dari teori administrasi
negara
yang
dianggapnya
tidak
jelas
metodologinya. Dipihak lain dalam beberapa literatur 53
pelayanan publik lebih dikenal sebagai tatanan konsep daripada tatanan teori (Thoha,1992), Oleh karena itu istilah pelayanan publik disebut juga dengan istilah pelayanan kepada orang banyak (masyarakat), pelayanan sosial, pelayanan umum dan pelayanan prima. Pernyataan semacam ini sekaligus menambah adanya kerancuan ontologis (apa, mengapa), dan
axiologis
epistemologis
(untuk apa)
(bagaimana)
dalam memperbincangkan
teori yang berkaitan dengan pelayanan publik. Secara ideal, persyaratan teori administrasi
yang
menyangkut pelayanan publik antara lain : 1. Harus mampu menyatakan sesuatu yang berarti dan bermakna yang dapat diterapkan pada situasi kehidupan nyata dalam masyarakat (konteksual) 2. Harus mampu menyajikan suatu perspektif kedepan 3. Harus dapat mendorong lahirnya cara-cara atau metode baru dalam situasi dan kondisi yang berbeda 4. Teori administrasi yang sudah ada harus dapat merupakan
dasar
untuk
mengembangkan
teori
administrasi lainnya, khususnya pelayanan publik 5. Harus dapat membantu pemakainya untuk menjelaskan dan meramalkan fenomena yang dihadapi 54
6. Bersifat
multi
disipliner
dan
multi
dimensional
(komprehensif) Berpedoman dari persyaratan diatas, maka Ferrel Heady (1966) menyarankan adanya : a. Tindakan modifikasi terhadap teori administrasi negara klasik/ tradisional b. Perubahan isi dari teori administrasi yang lebih diorientasikan kepada kepentingan pembangunan c. Melakukan redifinisi secara umum terhadap sistem dan model-model pengembangan d. Menemukan perumusan baru teori administrasi yang bersifat middle range theory. Adapun Fred. W Riggs (1964) menyarankan adanya pergeseran pendekatan metodologi penelitian administrasi
(khususnya
yang
berkaitan
dengan
pengamatan fenomena pelayanan publik) dari : 1. Pendekatan normatif ke pendekatan empiris 2. Pendekatan ideografik ke pendekatan nomotetik 3. Pendekatan struktural ke pendekatan ekologi, dan 4. Pendekatan
behavior
ke pendekatan
(pendekatan analogi).
55
post-behavior
Apabila diharapkan
hal-hal studi
tersebut
dapat
administrasi
dilakukan,
negara:
a)
maka Mampu
menciptakan konsep dan teori-teori baru yang dapat menerobos
batas-batas
kebudayaan,
b)
Mampu
membandingkan ketentuan-ketentuan formal, hukum-hukum dan
peraturan-peraturan
yang
ada
sebagai
landasan
perumusan keputusan dan kebijaksanaan (pelayanan publik), c) Mampu bertindak sesuai dengan kajian fakta dan data dilapangan. Kesimpulan sementara yang dapat diambil apabila administrasi negara ingin menemukan identitas teori-teori yang berkaitan dengan pelayanan publik, maka perlu
adanya kegiatan studi komparatif administrasi
negara
dalam
bidang
pelayanan
publik
dan
meningkatkan kegiatan penelitian atau riset lapangan yang
berkaitan
dengan
proses
perumusan
kebijakan
pelayanan publik, proses implementasi pelayanan publik dan evaluasi produk pelayanan publik. Ada asumsi menarik yang dipertanyakan, apakah budaya
organisasi
birokrasi
mempengaruhi
proses
pelayanan publik, ataukah tradisi pelayanan publik akan mempengaruhi
dan
menciptakan
budaya
organisasi
birokrasi . Apabila yang pertama muncul maka akan 56
terjadi stagnasi dan kekuatan statusquo dalam organisasi birokrasi; tetapi jika yang kedua muncul maka akan tercipta perubahan dan pengembangan organisasi birokrasi yang dinamis. Budaya organisasi (birokrasi) merupakan kesepakatan bersama tentang nilai-nilai bersama dalam kehidupan organisasi dan mengikat semua orang dalam organisasi yang bersangkutan (Siagian,1995). Oleh karena itu budaya organisasi birokrasi akan menentukan : a. Apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan oleh para anggota organisasi; b. Menentukan batas normatif perilaku anggota organisasi; c. Menentukan sifat dan bentuk pengendalian organisasi; d. Menentukan gaya manajerial yang dapat diterima oleh para anggota organisasi; e. Menentukan cara-cara kerja yang tepat dll.
Secara spesifik peran penting yang dimainkan oleh budaya organisasi (birokrasi) adalah membantu menciptakan rasa memiliki terhadap organisasi; menciptakan jati diri para anggota organisasi; menciptakan keterikatan emosional antara
organisasi
didalamnya;
dan
pekerja
membantu 57
yang
menciptakan
terlibat stabilitas
organisasi sebagai sistem sosial; dan menemukan pola pedoman perilaku sebagai hasil dari norma-norma kebiasaan yang terbentuk dalam keseharian.
Berbicara tentang Etika
Birokrasi dewasa ini menjadi topik yang sangat menarik dibahas, terutama dalam mewujudkan aparatur yang bersih dan berwibawa. Gejalayang timbul dewasa ini banyak aparat birokrasi dalam pelaksanaan tugasnya sering melanggar aturan main yang telah ditetapkan. Etika Birokrasi dalam penyelenggaraan
pemerintahan
moralitas
mentalitas
dan
sangat aparat
terkait
dengan
birokrasi
dalam
melaksanakan tugas-tugas pemerintahan itu sendiri yang tercermin lewat fungsi pokok pemerintahan, yaitu fungsi pelayanan,
fungsi
pengaturan/
regulasi
dan
fungsi
pemberdayaan masyarakat. Jadi Etika Birokrasi berarti berbicara tentang bagaimana aparat Birokrasi tersebut dalam melaksanakan fungsi tugasnya sesuai dengan aturan yang seharusnya yang pantas untuk dilakukan. Etika Administrasi Negara dari American society for Public
Administration
(Perhimpunan
Amerika
untuk
Administrasi Negara), menyebutkan prinsip-prinsip etika pelayanan sebagai berikut: 58
1. Pelayanan terhadap publik harus diutamakan; 2. Rakyat adalah berdaulat dan mereka yang bekerja di dalam pelayanan publik secara mutlak bertanggung jawab kepadanya, 3. Hukum yang mengatur semua kegiatan pelayanan publik dan apabila hukum bersifat tidak jelas harus mencari cara terbaik untuk memberi pelayanan publik; 4. Manajemen yang efesien dan efektif merupakan dasar bagi administrator publik. 5. Pengorbankan kepentingan publik demi kepentingan pribadi tidak dapat dibenarkan; 6. Keadilan, kejujuran, keberanian, kesamaan, kepandaian dan empathy merupakan nilai-nilai yang dijunjung tinggi dan secara aktif harus dipromosikan; 7. Kesadaran moral memegang peranan penting dalam memilih alternatif keputusan; 8. Administrator
publik
tidak
semata-mata
berusaha
menghindari kesalahan, tetapi juga berusaha mengejar atau mencari kebenaran (Wachs, 1985). Dalam setiap kehidupan bermasyarakat memerlukan pelayanan dari orang lain, baik pelayanan fisik maupun pelayanan administratif. Terkait dengan pelayanan publik 59
(birokrasi) sebagai abdi negara, abdi masyarakat adalah sebagai aparat pelaksana pelayanan (public service) yang merupakan salah satu fungsi yang diselenggarakan dalam rangka penyelenggaraan administrasi negara. Moenir (1992), mengatakan pelayanan adalah sebuah proses pemenuhan kebutuhan melalui aktivitas yang dilakukan oleh orang lain secara langsung yang secara garis besar pelayanan yang diperlukan masyarakat pada dasarnya ada 2 jenis, yaitu pelayanan fisik yang sifatnya pribadi sebagai
manusia
dan
pelayanan administrative yang
diberikan oleh orang lain selaku anggota organisasi. Bentuk pelayanan tersebut sebagai berikut : Pelayanan dengan lisan : Pelayanan yang dilakukan oleh petugas-petugas dibidang hubungan kemasyarakatan, bidang layanan informasi, bidang penerangan, dan bidang-bidang lainnya
yang
tugasnya
memberikan
penjelasan
atau
keterangan kepada siapapun yang memerlukan. Agar pelayanan dengan lisan berhasil sesuai dengan yang diharapkan, maka pelaku pelayanan harus: 1. Memahami benar masalah-masalah yang termasuk dalam bidang tugasnya;
60
2. Mampu memberikan penjelasan apa yang diperlukan dengan lancar, singkat tetapi cukup jelas sehingga memuaskan mereka yang ingin memperoleh kejelasan mengenai sesuatu; 3. Bertingkah laku sopan dan ramah-tamah; 4. Meski dalam keadaan sepi tidak ngobrol dan bercanda dengan teman, karena menimbulkan kesan tidak disiplin dan melalaikan tugas. Tamu menjadi segan
untuk
bertanya dengan memutus keasyikan ngobrol; 5. Tidak melayani orang-orang yang ingin sekedar ngobrol dengan cara sopan. Pelayanan melalui tulisan : Merupakan bentuk yang paling menonjol dalam pelaksanaan tugas, tidak hanya dari segi jumlah tetapi juga dari segi peranannya. Agar pelayanan dalam bentuk tulisan dapat memenuhi kepuasan pihak yang dilayani, satu faktor kecepatan baik dalam pengolahan masalah maupun dalam proses penyelesaiannya (pengetikan, penandatanganan,
dan
pengiriman
kepada
yang
bersangkutan).Pelayanan tulisan terdiri dari dua golongan, yaitu: pertama, pelayanan berupa petunjuk, informasi dan sejenisnya yang ditujukan pada orang yang berkepentingan, agar
memudahkan
mereka 61
dalam
berurusan
dengan
instansi/lembaga; dan kedua, pelayanan berupa reaksi tulisan atas permohonan, laporan, keluhan, pemberian/penyerahan, pemberitahuan dan lain sebagainya. Pelayanan berbentuk perbuatan : Dalam kenyataan sehari-hari jenis pelayanan ini memang tidak terhindar dari pelayanan lisan. Jadi merupakan gabungan antara pelayanan lisan dan perbuatan. Hal ini banyak dilakukan dalam hubungannya dengan pelayanan. Titik berat dari pelayanan perbuatan ini adalah terletak pada perbuatan yang ditunggu oleh yang berkepentingan. Jadi tujuan utama orang yang berkepentingan adalah mendapatkan pelayanan dalam bentuk
perbuatan
bukan
sekedar
penjelasan
dan
kesanggupan secara lisan. Karena pentingnya pelayanan bagi kehidupan manusia ditambah
kompleksnya
kebutuhannya,
maka
bentuk
pelayanan yang diperlukan lebih banyak merupakan kombinasi dari ketiga bentuk pelayanan. Pola pelayanan lain yang diharapkan dalam etika pelayanan publik adalah pelayanan yang mengarah pada pendekatan deontology yaitu pelayanan yang mendasarkan diri pada prinsip-prinsip nilai moral yang harus ditegakkan karena kebenaran yang ada
62
dalam dirinya dan tidak terkait dengan akibat atau konsekuensi dari keputusan yang diambil. Dengan pelayanan seperti ini diharapkan agar birokrasi melakukan kewajiban moral untuk mengupayakan agar sebuah kebijakan menjadi karakter masyarakat. Apabila hal ini melembaga dalam diri pejabat publik dan masyarakat, maka birokrasi patut menjadi teladan, karena mereka tidak melakukan sesuatu yang merugikan negara dan masyarakat melalui kegiatan korupsi, kolusi, dan nepotisme.
C. Konsep dan Dimensi Kualitas Pelayanan Publik Kualitas
pelayanan publik yang merupakan domain
administrasi publik yang kontemporer merupakan tantangan yang selalu mengemuka. Artinya, sejak berdirinya public administration yang dipelopori Woodrow Wilson (1887) dan Frank J. Goodnow (1900) masalah-masalah yang berkaitan dengan kegiatan-kegiatan suatu negara (the business of the state) dengan mengupayakan yang seefisien dan seefektif mungkin dalam pelayanan publik cenderung meningkat. Denhart dan Denhart (2003) menyatakan bahwa pemerintah sebagai penyedia pelayanan publik dengan kapasitasnya harus memperjuangkan 63
kualitas pelayanan
publik sebaik mungkin dan organisasi publik harus sesegera mungkin melakukannya, tetapi juga mempertimbangkan batasan
hukum
dan
akuntabilitas.
Usaha
untuk
meningkatkan kualitas pelayanan publik dimulai dengan mengakui perbedaan pelanggan dan warga Negara, karena warga negara digambarkan sebagai pembawa hak dan kewajiban dalam kontek komunitas yang lebih luas. Pendapat
Denhart
tersebut
secara
dengan
jelas
menggambarkan bahwa pelayanan publik berbeda dengan pelayanan yang disediakan oleh organisasi privat yang mempunyai keleluasaan dalam aktualisasi entrepenuershipnya bagi manajer, tetapi itu berarti tidak melarang untuk mempraktekkan semangat kewirausahaan dalam organisasi publik dan dalam menghargai pegawaipun
tidak dapat
dipersamakan dengan organisasi privat. Kualitas pelayanan publik dapat dipandang sebagai salah satu kinerja organisasi publik yang dalam
konteks
manajemen publik baru penilian kinerja harus dilihat sebagai upaya yang berkesinamungan dalam rangka memperbaiki kinerja organisasi publik (Keban 2004). Dasar penilaian kinerja tidak hanya semata-mata pada proses perlakuan kepada bawahan (kepada masyarakat) dan bagaimana 64
akuntabiltas berjalan di dalam organisasi, tetapi lebih luas lagi yaitu berkenaan dengan kualitas pelayanan publik keterkaitan
dengan
misi,
visi
dan
nilai-nilai
yang
diperjuangkan organisasi. Kesesuaian apa yang dikerjakan organisasi publik dengan aspirasi dan kebutuhan masyarakat dan sampai seberapa jauh suatu organisasi publik telah belajar memecahkan masalah yang dihadapinya. Dengan demikian, tantangan bagi organisasi publik adalah menyusun program, mengarahkan perilaku pegawai dan mengarahkan sumberdaya untuk menghasilkan kinerja organisasi yang sesuai dengan harapan masyarakat. Harapan masyarakat terhadap organisasi publik merupakan sumber inspirasional dalam manajemen organisasi publik sehingga kinerjanya dapat memenuhi kualifikasi pelayanan yang berkualitas. Apabila masih terdapat keluhan-keluhan dari masyarakat terhadap pelayanan publik maka hal itu akan menjadi input yang diperlukan pada proses transformasi pada organisasi publik. Fungsi pemerintah memberikan pelayanan publik tentu saja harus mempunyai kualitas (Adiwisastra, 2004). Kualitas pelayanan publik dalam pemerintahan demokratis yang berorientasi kepada publik adalah didasarkan pada harapan 65
publik terhadap pelayanan itu yang berarti kualitas yang baik bukan berdasarkan persepsi peyedia pelayanan melainkan berdasarkan sudut pandang atau persepsi pelanggan. Gaspersz
(2004)
identifikasi
terhadap
pelanggan
berkaitan dengan mereka yang secara langsung/ tidak langsung menggunakan jasa pelayanan publik atau mereka yang secara lansung/ tidak langsung terkena dampak dari kebijakan-kebijakan (stakeholder)
organisasi
merupakan
publik.
orang/
Pelanggan
kelompok
yang
berkepentingan dengan tingkat kinerja dari organisasi publik, program atau subsprogramnya. Mereka mungkin saja menjadi penasehat atau pemberi rekomendasi terhadap organisasi publik karena mereka mempunyai kepentingan dengan tingkat kinerja atau kesesuaian dari organisasi publik. Russell & Taylor (2000) mendefinisikan kualitas sebagai kemampuan
produk
atau
jasa
memenuhi
kebutuhan
pelanggan. Kualitas pelayanan dapat dilihat dari dua sudut yaitu produsen dan pelanggan atau pasar. Tinjauan dari sudut pandang pasar maka penilaian kualitas diserahkan kepada pengguna yaitu sejauhmana desain pelayanan yang dilaksanakan oleh organisasi berkemampuan memenuhi 66
kebutuhan pelanggan (quality of design). Pelanggan melihat kualitas dari karakteristik yang seharusnya diterima sehingga mencakup digunakan),
value (nilai), support
fitness for use (cocok untuk
(dukungan)
dan
psychological
impressions (kesan psikologis) yang kesemuanya dipersepsi secara dinamik. Makna kualitas dari pelanggan diperoleh dari hasil perbandingan antara harapan tentang pelayanan (expected service) dan penilaian atas kenyataan pelayanan yang diterima (perceved service). Dari sudut produsen atau penyedia produk atau jasa, maka kualitas dilihat dari pemenuhan spesifikasi atau atribut-atribut yang telah dipersyaratkan dan dinyatakan termasuk ketentuan biayabiaya yang menjadi tanggungjawab pengguna. Pembinaan manajemen dan penggunaan sumber daya organisasi diarahkan
untuk
memenuhi
persyaratan
yang
telah
dinyatakan, pemenuhan tersebut dengan tujuan untuk memenuhi harapan pengguna sehingga didapatkan kepuasan. Kebutuhan yang dipersyaratkan dapat berwujud produk itu sendiri maupun proses interaksi antara warga negara dengan aparatur birokrasi pemerintah (penyampaiannya), seperti kesigapan
dalam
menerima
permohonan,
kesopanan,
komitmen terhadap janji penyelesaian, dan sebagainya. 67
Akibatnya adalah organisasi tidak hanya berfokus pada aspek transformasi saja tapi juga memperbaiki kualitas karyawan secara keseluhan, yakni pegawai yang bersentuhan langsung dengan penyampaian layanan. Mengkaji kualitas pelayanan publik oleh birokrasi selayaknya mempertimbangkan model A Conceptual Model of Service Quality dari A. Parasuraman, L.L. Berry dan V.A Zeithaml
(1985),
untuk
kesenjangan pelayanan
mengidentifikasi
titik-titik
birokrasi kemudian
dilakukan
tindakan perbaikan untuk mencapai pelayanan publik yang berkualitas. Terdapat lima sebab terjadinya kesenjangan (Ibrahim, 2008) : 1. Dapat terjadi karena kurang dilakukannya survei kebutuhan masyarakat, atau kurang dimanfaatkannya hasil survey serta kurangnya interaksi antara penyedia pelayanan publik dengan masyarakat. 2. Dapat terjadi kerena kurang komitmen menajeme (pihak birokrasi) dalam mewujudkan kualitas pelayanan publik atau
kurang tepatnya persepsi terhadap keinginan
masyarakat. 3. Dapat
terjadi
karena
konflik
peran
birokrat
(mengutamakan kepuasan pimpinan atau masyarakat 68
luas), kompetensi personil, lambat penguasaan teknologi yang sesuai dengan tuntutan pelayanan, penerapan reward and punishment system. 4. Dapat terjadi karena lemahnya komunikasi horizontal sesama personil pelayanan, sehingga pelayanan publik tersendat-sendat. 5. Dapat terjadi karena kesenjangan antara harapan dan kenyataan pelayanan
publik
yang
diterima
yang
merupakan akumulasi kinerja birokrasipelayanan. Parasuraman dalam Olsen, et al (1996), menambahkan bahwa kesenjangan kelima harus diperhatikan kesenjangan diantara kualitas pelayanan
publik dengan ekspektasi
kualitas pelayanan yang merupakan jawaban dari definisi kualitas pelayanan itu sendiri. Hal ini didasari oleh pernyataan bahwa (1) kualitas selalu diukur berlawanan dengan ekspektasi, (2) proses pelayanan selalu melibatkan pelanggan sebagai pemain kunci, dan (3) pelayanan prima hanya akan muncul pada saat pelanggan juga menyatakan prima. Parasuraman, et al (Fitzsimmons, 2006) mengidentifikasi adanya
lima dimensi yang digunakan pelanggan untuk
menilai kualitas pelayanan publik, yaitu : 69
1. Reliability. The ability to perform the promised service both dependably and accurately. 2. Responsiveness. The willingness to help customers and to provide prompt service. 3. Assurance. The knowledge and courtesy of employees as well as their ability to convey trust and confidence. 4. Empathy. The provision of caring, individualized attention to customers. 5. Tangibles.
The appearance of
physical
facilites,
equipment, personel, and communication materials. Birokrasi dalam memberikan pelayanan publik harus mempertimbangkan nilai/norma sebagai garis arah normatif yaitu
perhatian pada
efesien dalam bekerja dan efektif
dalam mendistribusikan barang dan pelayanan publik, menghargai terhadap
hak masyarakat dan proses yang ditujukan
hubungan
pemerintah
dengan
masyarakat,
menghargai pelaksanaan diskresi dan representasi. Kualitas pelayanan publik ditentukan oleh kombinasi yang khas dari politik, budaya dan kondisi ekonomi dalam kehidupan masyarakat yang dalam kaitan pelayanan yang diberikan oleh organisasi publik, Ndraha (1997) mengemukakan bahwa : 70
Jasa layanan (layanan civil) dipandang sebagai suatu deviden yang wajib didistribusikan kepaada rakyat oleh pemerintah dengan semakin baik, semakin mudah diperoleh dan semakmin adil. Tekanan pada aspek-aspek kecepatan, ketepatan, kemudahan, dan keadilan dalam layanan publik (civil) tersebut berkaitan dengan sifat monopoli dari layanan (civil) dimana masyarakat tidak memiliki pilihan untuk mengharapkan layanan yang sama pada institusi lain diluar pemerintah.
71
72
BAB IV : BIROKRASI MELAYANI PUBLIK
A. Paradigm
Pelayanan
Publik
(customer
driven
government) Pada dasarnya terdapat dua paradigma dalam pelayanan publik (Lembaga Administrasi Negara, 2003), 1.
Paradigma pelayanan publik yang berorientasi pada pengelola pelayanan lebih bersifat birokratis, direktif dan hanya
memperhatikan kepentingan pimpinan
organisasi (birokrasi). Paradigma ini banyak mendapat keluhan dari masyarakat pengguna layanan publik karena kurang memperhatikan kepentingan masyarakat. Masyarakat sebagai pengguna layanan publik tidak memiliki kemampuan apapun untuk berkreasi, suka tidak suka, mau tidak mau harus tunduk kepada pengelola pelayanan publik. Seharusnya pelayanan publik dikelola dengan paradigma
yang bersifat
supportif dan lebih memfokuskan diri pada kepentingan masyarakat pengguna layanan publik dan pengelola harus mampu bersikap menjadi pelayan yang sadar untuk melayani dan bukan dilayani.
73
2.
Paradigma ini yaitu paradigma pelayanan publik yang fokus
orientasinya pada kepuasan pengguna layanan
(customer driven government) yang merupakan prinsip ke-enam dari sepuluh prinsip mewirausahakan birokrasi yang diajukan oleh David Osborne dan Ted Gaebler (1992). Prinsip ini menguraikan bahwa pemerintahan yang berorientasi pelanggan adalah pemerintah yang memenuhi kebutuhan pengguna layanan publik bukan birokrasi. Kebanyakan organisasi pemerintah (birokrasi) bahkan tidak tahu siapa pengguna layanan mereka yang menurut Osborne dan Gaebler, logikanya sederhana yaitu karena sebagian besar badan pemerintah tidak memperoleh dananya dari pengguna layanan (secara langsung). Disamping itu sebagian pelanggan mereka bersifat captive, pelanggan paksa, dengan kata lain para pengguna layanan publik mempunyai sedikit alternatif terhadap pelayanan yang disediakan oleh pemerintah (birokrasi).
Oleh
karena
itu
birokrasi
sering
mengabaikan para pengguna layanannya. Birokrat menganggap bahwa pelanggan mereka adalah eksekutif dan legislatif, karena dari sanalah mereka memperoleh dana secara langsung. Para pejabat birokrat 74
yang diangkat pada gilirannya
lebih berorientasi pada
pejabat yang mengangkatnya atau kelompok kepentingan tertentu (partai). Jadi, sementara bisnis bersungguh-sungguh menyenangkan pelanggan, badan pemerintah mati-matian untuk menyenangkan kelompok kepentingan. Budiono (2003)
mendefinisikan
pemerintah
yang
berorientasi
pelanggan (customer driven government) yaitu pemerintah yang meletakkan pengguna layanan publik sebagai hal yang paling depan. Oleh karena itu kepuasan pengguna layanan publik ditempatkan sebagai sasaran penyampaian tujuan, dengan mendengarkan suara pengguna layanan publik. Dengan memperhatikan kebutuhan dasar pengguna layanan, pemerintah lebih responsif dan inovatif. Lembaga Administrasi Negara (2003), memberikan ciriciri dari paradigma pelayanan customer driven government, antara lain sebagai berikut : 1. Lebih
fokus
pada
kegiatan
fasilitasi
untuk
berkembangnya iklim yang kondusif bagi kegiatan pelayanan masyarakat; 2. Lebih fokus pada pemberdayaan masyarakat; 3. Fokus pada pencapaian visi, misi, tujuan, sasaran dan hasil (outcomes); 75
4. Fokus pada kebutuhan dan keinginan masyarakat; 5. Pada hal tertentu, organisasi pemberi layanan publik juga berperan untuk memperoleh pendapatan dari pelayanan yang dilaksanakan; 6. Fokus pada antisipasi terhadap permasalahan pelayanan; 7. Lebih mengutamakan desentralisasi dalam pelaksanaan pelayanan publik. Berdasarkan uraian di atas, maka paradigma customer driven government adalah paradigma pelayanan publik yang menempatkan pengguna layanan sebagai hal yang terdepan dan merupakan fokus terpenting dari penyelenggaraan suatu pelayanan atau lebih populer dengan istilah putting the customer on the driver seat. Beberapa pakar dan teoritisi administrasi berpendapat bahwa peranan pemerintah (birokrsai) harus terfokus pada peningkatan
pelayanan
public
(masyarakat)
pemberdayaan dan pembangunan, karena pemerintahan
modern
menurut
Rasyid
selain
tugas pokok (1997)
pada
hakekatnya adalah pelayanan public (masyarakat), dengan kata lain birokrat tidak diadakan untuk melayani dirinya sendiri, tetapi untuk melayani masyarakat serta menciptakan kondisi yang memungkinkan setiap anggota masyarakat 76
mengembangkan kemampuan dan kreativitasnya demi tercapainya tujuan bersama. Sejalan dengan dinamika dan kompleksnya tuntutan pelayanan public (masyarakat), pemerintah (birokrat) tidak lagi dapat mengklaim dirinya sebagai satu-satunya sumber kekuasaan yang absah. Paradigma pemerintah sebagai a governing process ditandai dengan praktek pemerintahan yang berdasarkan pada konsensus-konsensus etis antara pemimpin
dengan
Pemerintahan
masyarakat
dijalankan
yang
dipimpinnya.
berdasarkan
kesepakatan-
kesepakatan yang terbentuk melalui diskusi dan diskursus yang berlangsung dalam ruang public, sehingga kedaulatan rakyat sebagai sebuah konsep dasar tentang kekuasaan telah menemukan
bentuknya
penyelenggaraan
disini.
pemerintahan,
Dalam
konteks
pembangunan
ini dan
pelayanan publik tidak semata-mata didasarkan pada pemerintah, tetapi dituntut adanya keterlibatan seluruh elemen, baik intern birokrasi, maupun masyarakat dan pihak swasta. Pemikiran tersebut hanya akan terwujud manakala pemerintah didekatkan dengan yang diperintah atau dengan kata lain terjadi desentralisasi dan otonomi daerah.
77
Dampak reformasi yang terjadi di Indonesia, apabila ditinjau dari segi politik dan ketatanegaraan telah terjadi pergeseran paradigma dan sistem pemerintahan yang bercorak monolitik sentralistik di pemerintah pusat ke arah sistem pemerintahan yang desentralistik (lokal democrasi) di pemerintah daerah (Utomo, 2002). Pemerintahan semacam ini memberikan keleluasaan kepada daerah dalam wujud otonomi daerah yang luas dan bertanggung jawab untuk mengatur
dan
mengurus
kepentingan
masyarakat
didaerahnya berdasarkan prinsip-prinsip demokrasi, peran serta, prakarsa dan aspirasi masyarakat sendiri atas dasar pemerataan dan keadilan, serta sesuai dengan kondisi, potensi dan keragaman daerah masing-masing. Otonomi daerah sebagai wujud pelaksanaan asas desentralisasi dalam penyelenggaraan pemerintahan yang digulirkan oleh Pemerintah sebagai jawaban atas tuntutan masyarakat yang
pada hakekatnya merupakan penerapan
konsep teori areal division of power yang membagi kekuasaan negara secara vertikal. Dalam konteks ini kekuasaan akan terbagi antara pemerintah pusat di satu pihak dan pemerintah daerah di lain pihak, yang secara legal konstitusional tetap dalam kerangka Negara Kesatuan 78
Republik Indonesia (NKRI). Kondisi ini membawa implikasi terhadap perubahan paradigma pembangunan yang dewasa ini
diwarnai
dengan
konsekuensinya adalah
isyarat
globalisasi
dengan
berbagai kebijakan publik dalam
kegiatan pemerintahan, pembangunan dan pelayanan publik menjadi bagian dari dinamika yang harus direspons dalam kerangka proses demokratisasi, pemberdayaan masyarakat dan kemandirian lokal. Pemerintah (birokrasi) dan pelayanan publik, dalam konteks tujuan utama dibentuknya pemerintahan adalah untuk
menjaga
suatu sistem ketertiban
yang
mana
masyarakat bisa menjalani kehidupan secara wajar. Dalam ilmu pemerintahan, Ndraha (2000:7) mengemukakan bahwa: sebagai unit kerja publik, pemerintah bekerja guna memenuhi (memproduksi, mentransfer, mendistribusikan) dan melindungi kebutuhan, kepentingan dan tuntutan pihak yang diperintah sebagai konsumer dan sovereign akan jasapublik dan layanan civil dalam hubungan pemerintahan. Dengan demikian, masyarakat sebagai konsumer produkproduk
pemerintahan
berhadapan
dengan
pemerintah
sebagai produser dan distributor dalam posisi sejajar yang satu tidak saling membawahi oleh karena itu posisi yang 79
diperintah sebagai konsumer erat sekali berkaitan dengan posisi sovereign. Melalui posisi sebagai sovereign, masyarakat memesan, mengamanatkan, menuntut dan mengontrol pemerintah, sehingga jasa publik dan layanan civil bisa dirasakan oleh setiap orang pada saat dibutuhkan dalam jumlah dan mutu yang memadai dalam pelayanan publik. Lebih lanjut Ndraha (1999) mengemukakan bahwa : public dalam public policy yang menjadi dasar bagi pelayanan-publik adalah hal yang menyangkut
kepentingan masyarakat
umum.
Berbeda
dengan jasa-pasar yang dapat dijual-belikan menurut mekanisme pasar (misalnya jasa bank, jasa swasta, jasa dokter), jasa publik (produk yang menyangkut kebutuhan hidup orang banyak, dari masyarakat lapisan bawah, seperti air minum, jalan raya, listrik, telkom, proses produksinya disebut pelayanan-publik) diproduksi dan dijual-belikan dibawah kontrol pemerintah. Untuk mengetahui ukuran yang dipertimbangkan publik dalam menilai kualitas pelayanan publik , Rene T. Domingo dalam Triguno (1999) mengemukakan bahwa dimensi kualitas pelayanan dapat dikur melalui waktu, ketepatan, kehormatan, kepekaan, kelengkapan,
kesiapan,
kenyamanan 80
dan
lingkungan.
Gaspersz dalam Lukman (1998) mengemukakan dimensi kualitas pelayanan publik meliputi : 1. Ketepatan waktu pelayanan 2. Akurasi pelayanan 3. Kesopanan, keramahan dalam memberikan pelayanan 4. Tanggung jawab 5. Kelengkapan 6. Kemudahan mendapatkan pelayanan 7. Variasi model pelayanan 8. Pelayanan pribadi 9. Kenyamanan dalam memperoleh pelayanan dan 10. Atribut pendukung pelayanan lainnya. Terdapat perbedaan antara pelayanan dengan layanan publik , sebagaimana dijelaskan Ndraha (1998 pelayanan (proses) meliputi input, proses, output dan outcome sedangkan layanan (output) hanya mencakup output dan outcome saja. Pelayanan kepada masyarakat merupakan suatu bentuk interaksi atau hubungan antara penyedia layanan dan penerima layanan. dengan kata lain dalam hubungan
pemerintahan
organisasi
yang
terkandung
memerintah
dan
makna masyarakat
adanya yang
diperintah. Birokrasi merupakan organisasi atau unit kerja 81
publik yang berfungsi sebagai provider layanan berdasarkan konsep birokrasi (Max Weber) yang banyak diterima sampai sekarang yang mendefinisikan karakteristik suatu organisasi yang memaksimumkan stabilitas dan untuk mengendalikan anggota organisasi dalam rangka mencapai tujuan bersama. Gibson, et, al, (1989) bahwa : birokrasi (berdasarkan konsep weber) lebih unggul dari setiap bentuk apapun juga dalam hal ketepatan stabilitas, disiplin dan kepercayaan. sehingga birokrasi memungkinkan untuk dapat mencapai efisiensi dan efektivitas. Tipe ideal birokrasi yang digambarkan Weber tersebut dirangkum oleh Martin Albrow dalam Warwick (1975) dalam empat ciri utama, yaitu : 1. Adanya
suatu
struktur
hirarkis
yang
melibatkan
pendelegasian wewenang dari atas ke bawah dalam organisasi (a hierarchical structure involving delegation of authority from the top to the bottom of an organization) 2. Adanya posisi-posisi atau jabatan-jabatan yang masingmasing memiliki tugas dan tanggung jawab yang tegas (a series of official positions or offices, each having prescribed duties and responsibilities)
82
3. Adanya aturan-aturan, regulasi-regulasi dan standarstandar formal yang mengatur tata kerja organisasi dan tingkah laku para anggotanya (formal rules, regulations and standards governing operations of the organization and behavior of its members) 4. Adanya personil yang secara teknis memenuhi syarat, yang dipekerjakan atas dasar karir, dengan promosi yang didasarkan pada kualifikasi dan penampilan (technically qualified personel employed an a career basis, with promotion based on qualifications and performance) Pemahaman yang sama dikemukakan oleh Moorhead dan Griffin (1992) bahwa : birokrasi adalah struktur organisasi
yang
diperkenalkan
oleh
weber
dengan
karakteristik adanya hirarki wewenang, sistem prosedur, peraturan, dan pembagian kerja. konsep birokrasi yang dikemukakan weber pada dasarnya mencakup logika, rasionalitas,
dan
efisiensi,
pendekatan
yang
paling
karena efisien.
merupakan Benveniste
suatu (1987)
mendefinisikan : birokrasi sebagai suatu organisasi besar dimana peraturan-peraturan dan rutinitas digunakan secara berlebihan, disamping juga terlalu tingginya tingkat hirarki, sehingga karyawan diarahkan menangani pekerjaan yang 83
terspesialisasi dan dilakukan berulang-ulang, disamping juga organisasi dibagi ke dalam unit-unit kecil sehingga struktur organisasi menjadi kompleks dengan pembuatan keputusan yang berkepanjangan. Thoha (1995) menjelaskan bahwa kualitas layanan sangat tergantung pada bagaimana pelayanan itu diberikan oleh anggota dan sistem yang dipakai dalam organisasi. artinya aktivitas organisasi adalah aktivitas orang-orang, sedangkan orang atau manusia adalah unsur utama dalam setiap organisasi. sebagaimana dikemukakan Winardi (1989) bahwa : organisasi-organisasi di bentuk oleh manusia untuk mencapai tujuan atau sasaran-sasaran tertentu, dan oleh karena komponen pokok organisasi adalah manusia maka sebenarnya perilaku organisasi tidak lain dari perilaku manusia di dalam organisasi yang bersangkutan. Terkait dengan konsep perilaku tersebut Ndraha (1999) menjelaskan bahwa perilaku adalah : operasionalisasi dan aktualisasi sikap seseorang atau suatu kelompok dalam atau terhadap suatu (situasi dan kondisi) lingkungan (masyarakat, alam, teknologi
atau
organisasi),
sementara
sikap
adalah
operasionalisasi dan aktualisasi pendirian. Paramita (1985) dalam penelitiannya mengenai struktur organisasi di 84
indonesia, bahwa : posisi semua dimensi struktur organisasi tertentu akan berbentuk gambaran strukturnya, sehingga mungkin untuk memberi ciri pada organisasi berdasarkan gambaran strukturnya dan aktivitas anggotanya. Untuk itu terdapat beberapa dimensi yang dapat digunakan untuk mengukur tingkat perilaku birokrasi suatu organisasi, sebagaimana Gibson, et, al, (1989) mengemukakan bahwa : walaupun sulit untuk mendapatkan pemahaman yang universal tentang dimensi struktural organisasi, namun ada beberapa dimensi yang selalu mencul dari beberapa pengertian birokrasi suatu organisasi, yaitu formalisasi, sentralisasi dan kompleksitas. Ndraha (1989) laku yang rasional disebut aktivitas, dan aktivitas mempengaruhi, baik produktivitas maupun kualitas hidup manusia yang bersangkutan. oleh karena satuan perilaku yang utama adalah aktivitas, maka perilaku birokrasi yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah operasionalisasi dan aktualisasi sikap aparatus yang tampak dalam aktivitas pekerjaannya.
85
B. Gambaran Proses Pelayanan Publik Dalam kajian ilmu pengetahuan, konsep pelayanan publik sebenarnya bukan merupakan konsep yang baru, secara filosofi kemunculan ilmu administrasi negara sebetulnya terkait erat dengan konsep pelayanan publik. Nicholas
Henry
(1988)
mengemukakan
bagaimana
hubungan administrasi negara dengan kepentingan publik, dalam bahasan tersebut Henry menyimpulkan bahwa tuntutan terhadap peran administration (birokrasi) dalam pelayanan publik telah menjadi kajian yang sangat filosofis dan berumur panjang jauh sebelum ilmu administrasi negara itu sendiri muncul dan berkembang. Dari analisisnya Henry mengemukakan konklusi bahwa sesungguhnya pelayanan publik
merupakan
jiwa
dasar
dari
penyelenggaraan
administrasi Negara (publik), sehingga dalam hubungan ini dapat dipahami apabila kehidupan manusia diwarnai oleh tuntutan
terhadap
pemenuhan
kebutuhan
hidupnya
diperoleh melalui mekanisme pasar dan ada pula yang diperoleh tidak melalui mekanisme pasar. Kebutuhan manusia yang tidak dapat diperoleh melalui mekanisme pasar antara lain adalah layanan publik
yang hanya
disediakan oleh pemerintah (birokrasi). Layanan publik 86
tersebut diberikan oleh pemerintah (birokrasi) atas dasar civil right yang dimiliki oleh setiap warga negara. Dalam situasi seperti ini tentunya menjadi tugas pemerintah (birokrasi)
untuk mewujudkan pelayanan publik tersebut
yang dalam hal ini pemerintah (birokrasi) adalah lembaga yang memproduksi, mendistribusikan atau memberikan alat pemenuhan kebutuhan rakyat yang berupa pelayanan publik. Dengan demikian secara eksplisit dapat dikatakan bahwa pemberian pelayanan publik merupakan jenis pelayanan yang dimonopoli oleh pemerintah dapat dipahami mengingat pelayanan publik merupakan bagian dari fungsi pemerintah yang memberikan pelayanan publik kepada masyarakat. Sebagai fungsi pemerintah maka pelayanan publik tidak hanya semata bersifat profit orientied tetapi lebih beorientasi sosial, yaitu penguatan dan pemberdayaan masyarakat, oleh karena itu penentuan dari proses pelayanan publik tidak bisa dilakukan dengan pendekatan bisnis, tetapi pendekatan yang paling tepat adalah pendekatan sosial (social approach), karena yang paling tahu akan baiknya pelayanan yang diberikan adalaha masyarakat (publik). Sejalan
dengan
peningkatan kehidupan manusia, maka tuntutan akan pelayanan publik semakin meningkat, dimana masyarakat 87
bukan hanya mengharapkan terpenuhinya kebutuhan akan pelayanan yang baik dari pemerintah, tetapi lebih dari itu masyarakat mulai mempertanyakan kualitas pelayanan publik yang diberikan oleh pemerintah (birokrasi). Kualitas pada dasarnya terkait dengan pelayanan yang terbaik, yaitu suatu sikap atau cara aparat dalam melayani pelanggan atau masyarakat secara memuaskan, menurut Saefullah (1999) bahwa
penilaian
tentang
kualitas
pelayanan
bukan
berdasarkan pengakuan dari yang memberi pelayanan, tetapi diberikan oleh langganan atau pihak yang menerima pelayanan. Triguno (1997) pelayan terbaik yaitu melayani setiap saat, secara cepat dan memuaskan, berlaku sopan, ramah dan menolong serta profesional dan mampu. Wyckof (dalam Tjiptono 1996) mengartikan kualitas jasa atau layanan, yaitu : tingkat keunggulan yang diharapkan dan pengendalian atas tingkat keunggulan tersebut untuk memenuhi keinginan pelanggan ini berarti, bila jasa atau layanan yang diterima (perceived service) sesuai dengan diharapkan, maka kualitas jasa atau layanan dipersepsikan baik dan memuaskan, apabila kualitas jasa atau layanan yang diterima lebih rendah dari yang diharapkan, maka kualitas jasa atau layanan akan dipersepsikan buruk. Untuk 88
itu fungsi pemerintah (birokrasi) bukan hanya terbatas pada aktivitas pemberian pelayanan kepada masyarakat, tetapi juga harus menjamin bahwa pelayanan yang diberikan kepada masyarakat betul-betul berkualitas. Sebagai individu maupun sebagai makhluk sosial yang bermasyarakat dan membentuk negara, manusia berusaha memenuhi kebutuhan hidupnya melalui aktivitas sendiri maupun secara tidak langsung melalui aktivitas orang lain, proses memenuhi kebutuhan melalui aktivitas orang lain inilah yang disebut dengan pelayanan (Moenir, 2000) yang pada dasarnya pelayanan publik yang diperlukan manusia terbagi atas 2 jenis
yaitu pelayanan fisik yang sifatnya
pribadi serta pelayanan administratif yang diberikan orang lain selaku anggota organisasi (organisasi massa atau organisasi negara). Pelayanan publik yang dibutuhkan masyarakat adalah alat untuk mengakui, memenuhi dan melindungi hak asasi (bawaan) dan hak-hak derivat manusia seperti keadilan, keamanan, kepastian hukum, kemerdekaan, kebebasan memilih dan lain-lain. Lemahnya pelayanan publik menurut Moenir (2000) disebabkan adalah :
89
diantaranya
1. Tidak/kurang tugas/kewajiban
adanya yang
kesadaran menjadi
terhadap
tanggungjawabnya,
akibatnya mereka bekerja dan melayani seenaknya (santai), padahal orang yang menunggu hasil kerjanya sudah gelisah akibat wajar dari ini ialah tidak adanya disiplin kerja. 2. Sistem, prosedur dan metode kerja yang ada tidak memadai sehingga mekanisme kerja tidak berjalan sebagaimana yang diharapkan. 3. Pengorganisasian tugas pelayan yang belum serasi, sehingga terjadi kesimpang siuran penanganan tugas, tumpang tindah (over lapping) atau tercecernya tugas tidak ada yang menanggani. 4. Pendapatan pegawai yang tidak mencukupi memenuhi kebutuhan hidup meskipun secara minimal, akibatnya pegawai tidak tenang dalam bekerja, berusaha mencari tambahan pendapatan dalam jam kerja dengan cara antara lain menjual jasa pelayanan. 5. Kemampuan pegawai yang tidak memadai untuk tugas yang dibebankan kepadanya, akibatnya hasil pekerjaan tidak memenuhi standar yang telah ditetapkan.
90
6. Tidak tersediannya sarana pelayanan yang memadai, akibatnya pekerjaan menjadi lamban, waktu banyak hilang dan penyelesaian masalah terlambat. Agar pelayanan publik berjalan dengan baik maka diperlukan
beberapa faktor pendukung (Moenir, 2000),
yaitu : 1. Faktor kesadaran 2. Faktor aturan 3. Faktor organisasi 4. Faktor pendapatan 5. Faktor kemampuan-keterampilan 6. Faktor sarana pelayanan Dengan demikian pada hakekatnya lemahnya pelayanan publik bermuara pada 2 faktor utama, yaitu faktor manusia sebagai faktor utama dan faktor sistem, oleh
karena itu
untuk perbaikannya diperlukan perbaikan terhadap kedua unsur
tersebut.
Dalam
kerangka
Good
Governance
pelayanan publik yang profesional, berkeadilan, efisiensi, responsifitas dan akuntabiltas sangat dibutuhkan. Namun, dalam pratek pelayanan pubik hal ini jarang dan layaknya hanya sekedar teori yang dalam prakteknya dilapangan jauh dari yang diharapkan. Keluhan masyarakat terhadap kinerja 91
pelayanan publik merupakan isu yang sering kita dengar dari masyarakat. Secara umum yang menjadi permasalahan adalah kelambanan proses pelayanan terhadap kelompok masyarakat yang kurang mampu dibandingkan dengan kelompok yang secara ekonomis lebih mampu. Bentuk diskriminasi yang sering ditemui dalam praktek merupakan bentuk ketidakadilan. Diskriminasi adalah setiap pembatasan, pelecehan, atau pengucilan yang langsung maupun tak langsung didasarkan pada perbedaan manusia atas dasar agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan, status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, keyakinan
politik,
yang
berakibat
pengangguran,
penyimpangan atau penghapusan pengakuan, pelaksanaan atau penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam kehidupan baik individual maupun kolektif dalam bidang politik, ekonomi, hukum, sosial, budaya dan aspek kehidupan lainnya (Pasal 1 ayat 3 UU No. 39/79 tentang HAM). Perlakuan diskriminasi sangat bertentangan dengan Undang-Undang
Dasar
1945
beserta
amandemennya.
Undang-Undang Dasar 1945 secara tegas mengutamakan kesetaraan dan keadilan dalam kehidupan bermasyarakat baik di bidang politik, ekonomi, sosial budaya, hukum dan 92
bidang kemasyarakatan lainnya. Untuk itu Undang-Undang Dasar 1945 beserta amendemennya sangat penting untuk menjadi acuan universal para penyelenggara negara dalam melaksanakan tugas dan fungsinya.
C. Penciptaan Budaya Pelayanan Sethia dan Glinow dalam Collins dan Mc. Laughlin (1996 : 760-762) membedakan 4 macam budaya organisasi berdasarkan perhatiannya terhadap orang dan kinerja, yaitu : 1. Apathetic Culture, dalam tipe ini perhatian anggota organisasi terhadap hubungan antar manusia maupun terhadap kinerja pelaksanaan tugas (keduanya rendah). Penghargaan diberikan terutama berdasarkan permainan politik dan pemanipulasian orang-orang lain. 2. Caring Culture, dicirikan dengan rendahnya perhatian terhadap kinerja dan tingginya perhatian terhadap hubungan antar manusia. Penghargaan lebih didasarkan pada kepaduan tim dan harmoni bukan didasarkan pada kinerja pelaksanaan tugas. 3. Exacting Culture, ciri utamanya adalah perhatian terhadap orang sangat rendah, tetapi perhatian terhadap kinerja sangat tinggi. Secara ekonomis penghargaan 93
sangat memuaskan, tetapi hukuman atas kegagalan yang dilakukan juga sangat berat, sehingga tingkat keamanan pekerja sangat rendah. 4. Integrative Culture, dicirikan baik perhatian terhadap orang maupun kinerja (keduanya sangat tinggi). Sebagian besar organisasi publik di Indonesia dalam pelayanan publik memiliki budaya organisasi yang bertipe caring, dalam artian memiliki perhatian yang sangat rendah terhadap
kinerja
pelaksanaan
tugas,
tetapi
memiliki
perhatian yang sangat tinggi terhadap hubungan antar manusia. Hal ini tampak pada ciri-ciri birokrat sebagai berikut : 1. Lebih mengutamakan kepentingan pimpinan daripada klien/pengguna jasa. 2. Lebih merasa sebagai abdi negara daripada abdi masyarakat. 3. Meminimalkan resiko dengan cara menghindari inisiatif. 4. Menghindari tanggung jawab. 5. Menolak tantangan 6. Tidak
suka
berkreasi
dan
melaksanakan tugas-tugasnya.
94
berinovasi
dalam
Budaya caring tersebut tidak cocok dalam pemberian pelayanan yang berkualitas kepada masyarakat, sehingga harus diadopsi budaya organisasi baru yang lebih sesuai dan kondusif dengan manajemen pelayanan publik, yang disebut kultur (budaya) kinerja. Budaya kinerja sebagai suatu situasi kerja
yang
memungkinkan
semua
karyawan
dapat
melaksanakan semua pekerjaan dengan cara terbaik yang dapat dilakukannya. Budaya kinerja tersebut akan dapat memberikan kontribusi yang besar dalam peningkatan kualitas
pelayanan
jika
organisasi
memiliki
budaya
organisasi yang bertipe integrative dan birokrat-birokrat yang ada dalam organisasi tersebut telah mengadopsi 10 semangat kewirausahaan yang dikembangkan oleh Osborne dan Gaebler, yaitu : 1. Mengarahkan ketimbang mengayuh. 2. Memberi wewenang kepada masyarakat 3. Menyuntikkan
persaingan
ke
dalam
pemberian
pelayanan. 4. Menciptakan organisasi yang digerakkan oleh misi ketimbang oleh peraturan. 5. Lebih berorientasi pada hasil, bukan input. 6. Berorietasi pada pelanggan bukan birokrasi. 95
7. Berorientasi wirausaha. 8. Bersifat antisipatif. 9. Menciptakan desentralisasi. 10. Berorientasi pada pasar. Sesuai dengan Kep.MENPAN No.125/2002 tentang Pedoman Pengembangan Budaya Kerja Aparatur Negara, nilai-nilai dasar budaya kerja terdiri atas : 1. Komitmen dan Konsistensi 2. Wewenang dan tanggung jawab 3. Keikhlasan dan Kejujuran 4. Integritas dan Profesionalisme 5. Kreativitas dan Kepekaan 6. Kepemimpinan dan Keteladanan 7. Kebersamaan dan Dinamika Kelompok Kerja 8. Ketepatan dan kecepatan 9. Rasionalitas dan kecerdasan Emosi 10. Keteguhan dan ketegasan 11. Disiplin, dan keteraturan kerja 12. Keberanian dan kearifan 13. Dedikasi dan Loyalitas 14. Semangat dan motivasi 15. Ketekunan dan kesabaran 96
16. Keadilan dan keterbukaan 17. Penguasaan Ilmu Pengetahuan dan Tehnologi. Dalam Surat Edaran No. 103/MENPAN/03/2003 tentang pelaksanaan Pengembangan Budaya Kerja, isinya antara lain menunjuk BPKP sebagai salah satu instansi percontohan dalam rangka pengembangan budaya kerja di lingkungan instansi pusat. Adapun 4 nilai-nilai luhur BPKP merupakan kristalisasi dari 17 pasang nilai-nilai dasar budaya kerja dari MENPAN tersebut yaitu : 1. Profesionalisme 2. Kerjasama 3. Keserasian, keselarasan dan keseimbangan 4. Kesejahteraan Penggabungan antara nilai-nilai luhur BPKP dengan nilai dasar budaya kerja Kementerian PAN adalah sebagai berikut : a. Profesionalisme, meliputi (Komitmen dan konsistensi, Wewenang professional,
dan
tanggung
jawab,
Integritas
dan
Ketepatan/keakurasian dan kecepatan,
Disiplin dan keteraturan kerja, Penguasaan Iptek)
97
b. Kerjasama, meliputi ( kepemimpinan dan keteladanan, Kebersamaan dan dinamika kelompok kerja, Keteguhan dan ketegasan, Semangat dan motivasi) c. Keserasian, keselarasan dan keseimbangan, meliputi (Keikhlasan dan kejujuran, reativitas dan kepekaan/ sensitivitas,
Rasionalitas
dan
kecerdasan
emosi,
Ketekunan dan kesabaran, Keberanian dan kearifan, Dedikasi dan loyalitas) d. Kesejahteraan, meliputi (Keadilan dan keterbukaan)
D. Pelayanan Prima Secara etimologis, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Dahlan, dkk., 1995) menyatakan pelayanan adalah usaha melayani kebutuhan orang lain. Pelayanan pada dasarnya adalah kegiatan yang ditawarkan kepada konsumen atau pelanggan yang dilayani yang bersifat tidak berwujud dan tidak dapat dimiliki. Sejalan dengan hal tersebut Normann (1991) menyatakan bahwa karakteristik pelayanan adalah : 1. Pelayanan bersifat tidak dapat diraba, pelayanan sangat berlawanan sifatnya dengan barang jadi. 2. Pelayanan pada kenyataannya terdiri dari tindakan nyata dan merupakan pengaruh yang bersifat tindakan sosial. 98
3. Kegiatan produksi dan konsumsi dalam pelayanan tidak dapat dipisahkan secara nyata, karena pada umumnya terjadi dalam waktu dan tempat bersamaan. Karakteristik tersebut dapat menjadi dasar pemberian pelayanan Publik terbaik yang dimaksud dalam Keputusan Menpan Nomor 63 Tahun 2003 (Menpan, 2003) adalah segala
kegiatan
pelayanan
yang
dilaksanakan
oleh
penyelenggara pelayanan publik sebagai upaya pemenuhan kebutuhan
penerima
pelayanan
maupun
pelaksanaan
ketentuan peraturan perundang-undangan. (RUU Pelayanan Publik, 2007) memaknai bahwa pelayanan publik adalah kegiatan atau rangkaian kegiatan dalam rangka pemenuhan kebutuhan dasar sesuai dengan hak-hak sipil setiap warga negara dan penduduk atas suatu barang, jasa, dan atau pelayanan administrasi yang disediakan oleh penyelenggara pelayanan publik. Ada tiga fungsi pelayanan]publik yang dilakukan
pemerintah
yaitu
environmental
service,
development service dan protective service. Pelayanan oleh pemerintah
juga
dibedakan
berdasarkan
siapa
yang
menikmati atau menerima dampak layanan baik individu maupun kelompok. Konsep barang layanan pada dasarnya
99
terdiri dari barang layanan privat (private goods) dan barang layanan kolektif (public goods). Pelayanan prima merupakan terjemahan istilah excellent service yang secara harfiah berarti pelayanan terbaik atau sangat baik. Disebut sangat baik atau terbaik karena sesuai dengan standar pelayanan yang berlaku atau dimiliki instansi pemberi pelayanan. Hakekat pelayanan publik adalah pemberian pelayanan prima kepada masyarakat yang merupakan perwujudan kewajiban aparatur pemerintah sebagai abdi masyarakat. Agenda perilaku pelayanan sektor publik (SESPANAS LAN dalam Nurhasyim, 2004:) menyatakan bahwa pelayanan prima adalah: a. Pelayanan
yang
terbaik
dari
pemerintah
kepada
pelanggan atau pengguna jasa. b. Pelayanan prima ada bila ada standar pelayanan. c. Pelayanan prima bila melebihi standar atau sama dengan standar. Sedangkan yang belum ada standar pelayanan yang terbaik dapat diberikan pelayanan yang mendekati apa yang dianggap pelayanan standar dan pelayanan yang dilakukan secara maksimal. d. Pelanggan
adalah
masyarakat
masyarakat eksternal dan internal. 100
dalam
arti
luas;
Sejalan dengan hal itu pelayanan prima juga diharapkan dapat memotivasi pemberi layanan lain melakukan tugasnya dengan kompeten dan rajin. Pelayanan publik dapat diartikan memproses pelayanan kepada masyarakat / customer, baik berupa barang atau jasa melalui tahapan, prosedur, persyaratan, waktu dan pembiayaan secara transparan untuk mencapai kepuasan sesuaivisi yang telah ditetapkan organisasi Publik. Pelayanan Prima sebagaimana tuntutan pelayanan publik yang memuaskan masyarakat memerlukan persyaratan bahwa setiap pemberi layanan publik yang memiliki kualitas kompetensi yang profesional, dengan demikian kualitas kompetensi profesionalisme menjadi sesuatu aspek penting dan wajar dalam setiap transaksi Standar pelayanan merupakan ukuran yang telah ditentukan sebagai pembakuan pelayanan publik yang baik yang memuat
baku mutu pelayanan. Pengertian mutu
menurut Goetsch dan Davis (Sutopo dan Suryanto, 2003) merupakan kondisi dinamis yang berhubungan dengan produk, jasa, manusia, proses dan lingkungan yang memenuhi
atau
melebihi
menginginkannya. 101
harapan
pihak
yang
Dalam teori pelayanan publik, pelayanan prima dapat diwujudkan apabila ada standar pelayanan minimal (SPM) yang merupakan tolok ukur yang dipergunakan sebagai pedoman penyelenggaraan pelayanan dan acuan penilaian kualitas pelayanan sebagai komitmen atau janji dari penyelenggara negara kepada masyarakat untuk memberikan pelayanan yang berkualitas. (Dalam RUUPelayanan Publik, 2007) standar pelayanan ini setidaknya-tidaknya berisi tentang: dasar hukum, persyaratan, prosedur pelayanan, waktu penyelesaian, biaya pelayanan,
produk pelayanan,
sarana dan prasarana,
kompetensi petugas pemberi pelayanan, pengawasan intern, penanganan pengaduan, saran dan masukan dan jaminan pelayanan. Bersandarkan SPM, seharusnya pelayanan publik yang diberikan (pelayanan prima) oleh birokrasi pemerintah memiliki ciri sebagaimana dirumuskan dalam kebijakan strategis
melalui
Keputusan
Menteri
Pendayagunaan
Aparatur Negara (PAN) Nomor 63/Kep/M.PAN/7/2003 tentang Pedoman Umum Penyelenggaraaan Pelayanan Publik yang meliputi Kesederhanaan, Kejelasan, Kepastian Waktu, Akurasi, Keamanan, Tanggung Jawab, Kelengkapan
102
Sarana dan Prasarana, Kemudahan Akses, Kedisiplinan, Kesopanan dan Keramahan serta Kenyamanan. Barang layanan publik dapat dibagi menjadi empat kelompok (Savas dalam Sutopo dan Suryanto, 1987) : a. Barang yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan individu yang bersifat pribadi. Barang privat (private goods) ini tidak ada konsep tentang penyediaannya, hukum permintaan dan penawaran sangat tergantung pada
pasar,
produsen
akan
memproduksi
sesuai
kebutuhan masyarakat dan bersifat terbuka. Penyediaan barang layanan yang bersifat barang privat ini dapat mengikuti hukum pasar, namun jika pasar mengalami kegagalan dan demi
kesejahteraan publik,
maka
pemerintah dapat melakukan intervensi. b. Barang
yang
digunakan
bersama-sama
dengan
membayar biaya penggunaan (toll goods). Penyediaan toll goods dapat mengikuti hukum pasar di mana produsen akan menyediakan permintaan terhadap barang tersebut. Barang seperti ini hampir sama seperti barang privat. Penyediaan barang ini di beberapa negara dilakukan oleh negara sehingga merupakan barang privat yang dikonsumsi secara bersama-sama. 103
c. Barang yang digunakan secara bersama-sama (collective goods). Penyediaannya tidak dapat dilakukan melalui mekanisme pasar. Barang ini digunakan secara terusmenerus,
bersama-sama
pemakaiannya
bagi
dan sulit tiap
diukur
individu
tingkat sehingga
penyediaannya dilakukan secara kolektif yaitu dengan membayar pajak. d. Barang yang digunakan dan dimiliki umum (common pool goods). Penyediaan dan pengaturan barang ini dilakukan oleh pemerintah karena pengguna tidak bersedia membayar untuk penggunaannya. Keempat jenis barang di atas dalam kenyataannya sulit dibedakan karena setiap barang tidak murni tergolong ke dalam karakteristik suatu jenis barang secara tegas. Barang yang bersifat publik murni (pure public goods) biasanya memiliki tiga karakteristik (Olson dan Rachbini dalam Sutopo dan Suryanto, 2003): a. Penggunaannya tidak dimediasi oleh transaksi bersaing (non-rivalry) sebagaimana barang ekonomi biasa; b. Tidak dapat diterapkan prinsip pengecualian (nonexcludability);
104
c. Individu yang menikmati barang tersebut tidak dapat dibagi
yang
artinya
digunakan
secara
individu
(indisible). Pelayanan merupakan suatu proses yang menghasilkan suatu produk yang berupa pelayanan kemudian diberikan kepada pelanggan. Pelayanan dapat dibedakan menjadi tiga kelompok (Gonroos dalam Sutopo dan Suryanto, 2003): a. Core service, adalah pelayanan yang diberikan kepada pelanggan sebagai produk utamanya. Misalnya untuk hotel berupa penyediaan kamar. Perusahaan dapat memiliki beberapa core service, misalnya perusahaan penerbangan menawarkan penerbangan dalam negeri dan luar negeri. b. Facilitating service, adalah fasilitas pelayanan tambahan kepada pelanggan. Misalnya pelayanan check in dalam penerbangan. Facilitating service merupakan pelayanan tambahan yang wajib. c. Supporting service, adalah pelayanan tambahan untuk meningkatkan nilai pelayanan atau membedakan dengan pelayanan pesaing. Misalnya restoran di suatu hotel.
105
Janji pelayanan (service offering) merupakan proses interaksi antara pembeli (pelanggan) dan penjual (penyedia layanan). Pelayanan meliputi berbagai bentuk. Pelayanan perlu ditawarkan agar dikenal dan menarik perhatian pelanggan dan merupakan janji dari pemberi layanan kepada pelanggan yang wajib diketahui agar pelanggan puas. Tujuan pelayanan prima adalah memberikan pelayanan yang dapat memenuhi dan memuaskan pelanggan atau masyarakat serta memberikan fokus pelayanan kepada pelanggan. Pelayanan prima dalam sektor publik didasarkan pada aksioma bahwa pelayanan adalah pemberdayaan. Pelayanan pada sektor bisnis berorientasi profit, sedangkan pelayanan prima pada sektor publik bertujuan memenuhi kebutuhan masyarakat yang terbaik. Perbaikan pelayanan sektor publik merupakan kebutuhan yang mendesak sebagai kunci keberhasilan reformasi administrasi negara. Pelayanan prima bertujuan memberdayakan masyarakat, sehingga akan meningkatkan pemerintah,karena
kepercayaan kepercayaan
(trust) adalah
terhadap modal
bagi
kerjasama dan partisipasi masyarakat dalam program pembangunan.
106
Pelayanan peningkatan
prima kualitas
akan
bermanfaat
pelayanan
bagi
upaya
pemerintah
kepada
masyarakat (publik) sebagai pelanggan dan sebagai acuan pengembangan penyusunan standar pelayanan. Penyedia layanan, pelanggan atau stakeholder dalam kegiatan pelayanan akan memiliki acuan tentang bentuk, alasan, waktu, tempat dan proses pelayanan yang seharusnya. Prinsip Pelayanan Prima yang dilakukan birokrasi meliputi : 1. Kebijakan Pemerintah,
kompetensi pelayanan prima
yang diberikan oleh aparatur pemerintah kepada masyarakat selain dapat dilihat dalam Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 1995 Tentang Peningkatan Kualitas
Pelayanan
Aparatur
Pemerintah
Kepada
Masyarakat dan Keputusan Menpan Nomor 63 Tahun 2003, juga dipertegas dalam Rancangan Undang Undang Pelayanan Publik. Kualitas pelayanan publik bahkan disesuaikan dengan tuntutan era globalisasi. Masyarakat memiliki persepsi bahwa pelayanan publik
yang
diberikan aparatur pemerintah cenderung kurang bahkan tidak berkualitas. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya
107
pengaduan atas perilaku oknum aparat pemerintah yang memberikan pelayanan. Keluhan yang sering terjadi adalah berbelit-belit akibat birokrasi yang kaku, disamping perilaku oknum aparat yang sering kurang bersahabat. Realitas ini memerlukan kepedulian aparatur pemerintah (birokrasi) agar masyarakat
memperoleh layanan prima dan
akhirnya akan mendapatkan pengakuan atas kualitas pelayanan yang memuaskan pelanggan. Keputusan Menpan Nomor 63 Tahun 2003, menjelaskan prinsip-prinsip pelayanan prima sebagai berikut: a. Kesederhanaan, berbelit-belit,
prosedur pelayanan publik tidak mudah
dipahami
dan
mudah
dilaksanakan b. Kejelasan,
meliputi :
a. persyaratan teknis dan
administratif pelayanan publik; b. unit kerja/pejabat yang berwenang dan bertanggungjawab dalam memberikan pelayanan dan penyelesaian pelayanan publik; c. rincian biaya pelayanan publik dan tata cara pembayaran.
108
c. Kepastian Waktu,
pelaksanaan pelayanan publik
dapat diselesaikan dalam kurun waktu yang telah ditentukan. d. Akurasi, produk pelayanan publik diterima dengan benar, tepat, dan sah. e. Keamanan, proses dan produk pelayanan publik memberikan rasa aman dan kepastian hukum. f. Tanggung
jawab,
pelayanan publik
pimpinan atau
pejabat
penyelenggara yang
ditunjuk
bertanggungjawab atas penyelenggaraan pelayanan dan penyelesaian keluhan/persoalan dalam pelayanan publik. g. Kelengkapan sarana dan prasarana, tersedianya sarana dan prasarana kerja, peralatan kerja dan pendukung
lainnya
yang
memadai
termasuk
penyediaan sarana teknologi telekomunikasi dan informatika (telematika). h. Kemudahan Akses, tempat dan lokasi serta sarana pelayanan yang memadai, mudah dijangkau oleh masyarakat, dan dapat memanfaatkan teknologi telekomunikasi dan informatika.
109
i.
Kedisiplinan, Kesopanan dan Keramahan, emberi pelayanan harus bersikap disiplin, sopan dan santun, ramah, serta memberikan pelayanan dengan ikhlas.
j.
Kenyamanan, lingkungan pelayanan harus tertib, teratur, disediakan ruang tunggu yang nyaman, bersih, rapi, lingkungan yang indah dan sehat serta dilengkapi dengan fasilitas pendukung pelayanan, seperti parkir, toilet, tempat ibadah dan lain-lain.
2. Komitmen
Pelayanan,
pedoman
untuk
mencapai
keberhasilan dalam memperkenalkan inisiatif pelayanan dengan menggunakan indikator pelayanan membutuhkan komitmen semua komponen birokrasi yang memberikan pelayanan kepada masyarakat yang berbentuk: a. Kejelasan, kejelasan segala hal yang berkaitan dengan sistem dan prosedur
pelayanan menurut
ketentuan yang berlaku pada organisasi pemerintah diperlukan
dalam
pelayanan.
Tujuannya
agar
masyarakat mengerti hak dan kewajibannya dalam memperoleh pelayanan prima dari birokrasi. b. Konsistensi, aparatur birokrasi dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat dituntut bersikap konsisten dalam melaksanakan aturan. Prosedur 110
pelayanan diharapkan konsisten dengan kenyataan dan harapan masyarakat. c. Komunikasi,
pemberi
layanan
perlu
mengkomunikasikan bahwa sistem dan prosedur pelayanan sesuai dengan peraturan perundangundangan yang berlaku. Tujuannya agar tercipta suasana yang harmonis antara pemberi layanan dan masyarakat. d. Komitmen, komitmen yang kuat diperlukan dalam mengimplementasikan
pelayanan
prima
kepada
masyarakat. Komitmen pelayanan prima dimulai dari pengambil keputusan hingga pelaksana sehingga membentuk sinergi harmonis seperti orkes simfoni. Sejalan dengan tuntutan perbaikanpelayanan publik barangkali dapat dipikirkan alternatif yang bisa dilakukan untuk menciptakan keseimbangan ketiga dimensi pelayanan publik. 1. Memperkecil gap atau jarak antara pemerintah dengan rakyat (publik), yang dapat dilakukan apabila pola
pikir
(mindset)
birokrat
dari
paradigma
penguasa ke paradigma pelayan (abdi Negara).
111
2. Membangun komitmen bersama untuk menciptakan perbaikan kualitas pelayanan sejalan dengan harapan msyarakat yang seringkali tidak didukung dengan komitmen
birokrasi
dan
kondisi
lingkungan
pelayanan publik yang kurang mendukung terutama pada Level Street Bureaucratic 3. Memberikan keluasan publik untuk menyampaikan keluhan secara transparan dan memberikan respon secara arif dan bijaksana. Sebenarnya publik dapat meng-complain penyedia layanan jika pelayanan yang
diberikan
tidak
sesuai
dengan
standar
pelayanan minimum yang telah dijanjikan tetapi kebanyakan masyarakat pengguna layanan masih banyak
yang
belum
mengetahui
mekanisme
menyampaikan keluhan yang terjadi dalam proses pelayanan publik. 4. Menerapkan prinsip akuntabilitas, proaktif dan partnership sesuai dengan situasi dan kondisi setempat yang pada dasarnya langkah ini adalah sejauh
mana
penyedia
layanan
memberikan
pertanggungjawaban terhadap masyarakat sebagai pengguna layanan dan birokrasi proaktif dan 112
menganggap masyarakat sebagai mitra dalam proses pelayanan publik Mengingat pentingnya pelayanan publik pada masyarakat adalah salah satu indikator penerapan good governance, maka gagasan pelayanan publik yang promasyarakat
harus
terus
memberikan
motivasi
dikumandangkan.
kepada
para
Untuk
penyelenggara
pelayanan publik, barangkali dapat dilakukan semacam perlombaan dan pemberian penghargaan bagi unit kerja yang berprestasi dan sangsi bagi yang kinerja pelayannya rendah dan dilakukann upaya perbaikan secara terus menerus dan berkelanjutan, serta disesuikan dengan perkembangan perubahan situasi dan kondisi.
E. Mewujudkan Good Governance di Daerah Untuk Pelayanan Publik Kelahiran Undang-Undang (UU) Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah dan UU No.33 Tahun 204 Tentang
Perimbangan
Keuangan
Pusat
dan
Daerah
menempatkan daerah sebagai daerah otonom dengan kewenangan yang sangat luas. Otonomi daerah sendiri oleh Pasal 1 angka 4 UU No. 32/2004 dimaknai sebagai hak, 113
wewenang dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai peraturan perundang-undangan. Pemerintahan daerah memiliki kewenangan dalam seluruh bidang pemerintahan, kecuali kewenangan dalam bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal dan agama. Munculnya banyak kewenangan yang diberikan
kepada
daerah
tersebut,
tentu
sangat
berseberangan dengan masa orde baru, dimana kewenangankewenangan tersebut dipegang oleh pemerintah pusat. Dengan karakteristik demikian watak pemerintahan di bawah rezim orde baru lebih dekat dengan karakteristik rezim totaliter, Suatu rezim yang menurut Alfian ditandai dengan tertutupnya ideology, karena adanya monopoli ideologi oleh penguasa. Penguasa menggunakan monopoli ideologi untuk melumpuhkan siapa saja yang mengkritik apalagi menentang kekuasaannya, sehingga komunikasi politik antara penguasa dan rakyat tidak berjalan, sebab penguasa
melakukan
doktrinisasi
ideologi,
dimana
kebenaran ideologi menurut penapsiran penguasa tak dapat dipertanyakan, apalagi di bantah.
114
Dalam sistem politik totaliter, penguasa biasanya mendominir atau mengontrol semua jaringan politik, baik supra struktur politik (eksekutif, legislatif, yudikatif), maupun inpra struktur politik, seperti partai politik, preasure group, pers dan lain-lain. Hal tersebut turut berpengaruh pada hubungan antara pemerintahan pusat dan daerah di era orde baru, dimana pada saat itu seluruh kebijakan berpusat pada pemerintahan pusat (sentralisasi). Reformasi 1998 memberikan implikasi besar pada kondisi makro sosio-politik, termasuk perubahan hubungan pemerintahan pusat dan daerah (dari sentralisasi menjadi desentralisasi. Pemerintahan daerah diberi berbagai kewenangan untuk mengurus dan mengatur pemerintahan serta masyarakatnya berimplikasi ketidaksiapan di level daerah. Pada asas praktis, otonomi daerah memunculkan dilemma dalam arti pemberian kewenangan yang besar kepada pemerintahan daerah yang tidak didukung oleh kesiapan yang memadai membuat pemerintahan daerah tidak dapat secara optimal menggunakan kewenangan tersebut untuk mengurus dan mengatur daerahnya, Tetapi pada lain sisi,
masyarakat
daerah 115
terus
mengharapkan
suatu
pemerintahan daerah yang demokratis, mudah diakses, transparan dan akuntabel. Dalam kontek ini, otonomi daerah yang seharusnya
adalah pemberdayaan masyarakat dan
pengembangan potensi daerah untuk pembangunan daerah, lebih banyak
didominasi oleh praktek-praktek korupsi,
kolusi dan nepotisme (KKN) dan mal administrasi disemua lini birokrasi, kurang transparan dan publikasi peraturan umum yang sangat terbatas. Berbagai instrumen yang dimiliki pemerintah daerah belum mampu menunjukkan signifikasinya dalam mengatasi berbagai kelemahan pemerintahan daerah, sehingga untuk mengatasi problemantika tersebut di butuhkan suatu media yang dapat menjadi jembatan antara pemerintahan daerah dengan masyarakatnya atau sebaliknya. Dalam kontek ini wacana pembentukan Komisi Ombudsman Daerah sebagai suatu komisi yang memiliki fungsi dasar untuk menampung aspirasi masyarakat, sekaligus menjadikan masyarakat sebagai pengawas bagi pemerintahan daerah menjadi menarik untuk segera direalisasikan. Komisi ombudsman pada dasarnya merupakan sebuah lembaga yang secara mandiri menerima dan menyelidiki tuduhan-tuduhan kesalahan administrasi (mal administrasi). 116
Teten Masduki, misalnya menyebutkan fungsi ombudsman sebagai, 1.
Mengakomodasi partisipasi masyarakat dalam upaya memperoleh pelayanan umum yang berkualitas dan efisien, penyelenggaraan peradilan yang adil, tidak memihak dan jujur.
2.
Meningkatkan memperoleh kesejahteraan, terhadap
perlindungan pelayanan serta
perorangan
publik,
keadilan
mempertahankan
kejanggalan
tindakan
dalam dan
hak-haknya
penyalahgunaan
wewenang (abuse of power), keterlambatan yang berlarut-larut (undue delay), serta diskresi yang tidak layak. Di banyak negara, Ombudsman telah menjadi lembaga alternatif bagi warga masyarakat untuk menyelesaikan keluhan atau ketidakpuasan terhadap birokrasi pemerintah secara cepat, gratis, tidak perlu membayar pengacara dan aman (kerahasiaan pelapor terlindungi). Penyelesaian melalui lembaga peradilan untuk
masalah
mal-dministrasi
telah
banyak
ditinggalkan karena sangat lamban, mahal dan jauh dari kemudahan, di sebabkan proses dan prosudure.
117
Komisi Ombudsman Nasional di Indonesia yang di bentuk berdasarkan Keputusan Presiden (Kepres) Nomor 44 Tahun 2000 tidaklah mengatur secara terperinci mengenai peran, fungsi, maupun wewenang komisi tersebut. Dalam Pasal 2 Kepres tersebut di sebutkan ; Ombudsman Nasional adalah lembaga pengawasan masyarakat yang berasaskan Pancasila dan bersifat mandiri, serta berwenang melakukan klarifikasi, monitoring atau pemeriksaan atas laporan masyarakat mengenai penyelenggaraan negara khususnya pelaksanaan oleh aparatur pemerintahan termasuk lembaga peradilan terutama dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. Adapun tugas dari Komisi Ombudsman Nasional ini berdasarkan pasal 4 Kepres di atas adalah ; a. Menyebar luaskan pemahaman mengenai lembaga ombudsman b. Melakukan koordinasi dan atau kerjasama dengan Instansi
Pemerintah,
Perguruan
Tinggi,
Lembaga
Swadaya Masyarakat, Para Ahli, Praktisi, Organisasi Profesi dan lain-lain. c. Melakukan langkah untuk menindaklanjuti laporan atau informasi mengenai terjadinya penyimpangan oleh 118
penyelenggara negara dalam melaksanakan tugasnya maupun dalam memberikan pelayanan umum. d. Mempersiapkan konsep Rancangan Undang-undang tentang Ombudsman Nasional. Dalam Kepres No.4/2000 tidak di sebutkan mengenai adanya Komisi Ombudsman Daerah, padahal sebagaimana di
sebutkan
di
atas
urgensi
pembentukan
Komisi
Ombudsman Daerah seiring dengan diterapkannya otonomi daerah sangatlah penting. Pemberian kewenangan yang besar kepada daerah pasca di terapkannya otonomi daerah mengandung konsekwensi bahwa banyak persoalan yang berkaitan dengan publik di tangani daerah, sehingga Kedudukan Komisi Ombudsman yang berada di pusat di rasa kurang relevan. Pembentukan Komisi Ombudsman Daerah akan jauh lebih efektif, dengan alasan kedekatannya dengan masyarakat setempat serta dengan pemerintahan daerah.
Pertanyaannya
bagaimana
fungsi
Komisi
Ombudsman Daerah agar dapat bekerja secara efektif dan menjawab berbagai persoalan mal-administrasi publik di daerah. Terciptanya Good Governance (tata kelola pemerintahan yang baik) yang secara prinsip terdiri atas tiga pilar, yaitu ; 119
akuntabilitas, transparansi dan aksestabilitas, salah satunya dapat dicapai melalui penguatan lembaga pengawasan. Sebagai salah satu
lembaga pengawasan, Ombudsman
daerah mempunyai
harapan untuk mewujudkan good
governance. 1. Ombudsman daerah memposisikan masyarakat sebagai aktor dalam tata kelola (governance) pemerintahan daerah dan menembus dinding penyekat pemerintahan yang tidak aspiratif dengsn membangun pola kemitraan dengan pemerintah. Melalui cara ini
akan terbangun
checks and balances antara pemerintah dan masyarakat dalam bentuk yang elegan. 2. Sebagai lembaga pengawasan eksternal Ombudsman daerah menggunakan masyarakat sebagai kekuatan utamanya menjadi harapan paling mutakhir ditengah lemahnya berbagai sistem, mekanisme dan lembaga pengawasan yang ada (khususnya di daerah) saat ini. Kekuatan masyarakat yang otonom sebagai lembaga pengawasan sangat relevan untuk diwujudkan sjalan dengan semakin menguatnya kekuatan masyarakat sipil pro-demokrasi pasca reformasi.
120
F. Sound Governance (Analisis Penanganan Urusan Publik) Mengutip pernyataan Presiden Tanzania Julius K. Nyerere di depan Konferensi PBB di Afrika tahun 1998, menyatakan bahwa: Good Governance tidak lebih sebagai konsep
imperialis dan kolonialis
mengerdilkan struktur
yang
hanya
negara berkembang,
akan
sementara
kekuatan bisnis dunia makin membesar. Pernyataan tersebut menjadi bahan pendalaman orang ke dalam ilmu pengetahuan tidak ada habisnya dari waktu ke waktu berupa penemuan baru yang menjadi wacana dalam dunia akademisi. Berbagai pengetahuan baru, baik untuk melengkapi pengetahuan sebelumnya maupun sebagai penemuan baru berupa artikel maupun jurnal merupakan pendalaman pengetahuan, artinya sejernih apa seseorang memahami pengetahuan maka sejernih itu pula ia akan menemukan kelemahan pengetahuan sebelumnya yang semula menjadi sebuah konsep dengan kadar ketelitian dan kecanggihan yang tidak terbantahkan. Dalam
konteks
administrasi
publik
juga
tidak
ketinggalan berbagai penemuan-penemuan baru khususnya dalam dunia pemerintahan. pemerintahan
orang
begitu 121
Sebelumnya dalam dunia akrab
dengan
istilah
Government, kemudian istilah ini memudar seiring dengan munculnya Good Governance. Harapan akan terwujudnya negara kesejahteraan menjadi kuat dengan munculnya konsep Good Governance yang merupakan sebuah proses dimana berinteraksinya berbagai elemen yang kemudian disederhanakan kedalam tiga aktor kunci, yaitu negara, masyarakat dan dunia usaha dalam mengelola sektor-sektor yang menjadi hak publik. Produk yang paling fenomenal dari Good Governance adalah ketika dirinya berhasil menemukan missing link antara kerja refomasi pemerintah dengan penanggulangan kemiskinan.
Argumentasinya
adalah
dengan
Good
Governance maka distribusi anggaran pemerintah dan kalangan bisnis kepada masyarakat miskin makin terbuka lebar. Namun kemudian dalam prakteknya Good Governance ini dianggap bukan lagi sebagai sebuah solusi, karena dianggap sebuah konsep yang hanya menguntungkan kelompok-kelompok tertentu.
Sehingga konsep good
governance ini pernah di protes oleh Presiden Tanzania Julius K. Nyerere dalam Konferensi PBB, dengan lantang
122
dia mengkritik habis-habisan konsep Good Governance yang dikatakanya sebagai konsep imperialis dan kolonialis. Penilaian sebagaimana yang dikemukakan oleh Nyerere tersebut maka lalu kemudian muncul konsep Sound Governance yang semula dicetuskan oleh Ali Farazmand untuk membantah konsep Good Governance.Bantahan Ali farazmand terhadap prinsip Good Governance, hanya terlalu fokus pada tiga komponen yaitu Negara, Civil Society dan swasta. Ali farazmand melihat bahwa ketiga komponen tersebut mengabaikan sebuah kekuatan besar, kekuatan paling penting
yang
mempengaruhi
governance
dinegara
berkembang dan negara kurang maju yaitu struktur kekuatan kekuatan global, dan elit korporat trans dunia. Kekuatan internasional merupakan salah satu komponen yang mempengaruhi kemajuan negara-negara berkembang, dimana hampir satu abad kekuatan global ini mendominasi politik, ekonomi serta budaya bangsa negara-negara berkembang dan kurang maju. Sound Governance : Paradigma baru pembangunan di era globalisasi.
123
Terlepas dari benar salahnya kritik sang Presiden, kritik tersebut
mengilhami
Ali
Farazmand
(2004)
dalam
menggagas konsep Sound Governance yang sekaligus membuka arah baru bagi pembangunan global ke depan. Setelah
good
governance
berhasil
menginklusifkan
hubungan si kaya dan si miskin di tingkat nasional, maka fase berikutnya adalah menginklusifkan hubungan negara kaya dengan negara
miskin melalui agenda Sound
Governance. Konsep Sound Governance merupakan konsep baru yang jauh lebih komprehensif dan reliable dalam menjawab kegagalan epistimologis dan solusi atas arus besar kesalah kaprahan dari good governance. Terdapat tiga alasan utama yang muncul dari wacana Sound Governance.yaitu : 1. Dari evaluasi terhadap pelaksanaan good governance bahwa aktor kunci yang berperan terfokus pada tiga aktor (pemerintah, Dunia usaha dan masyarakat), dan good governance selama ini lebih merestrukturisasi pola relasi pemerintah, dunia uasaha dan masyarakat secara domestik. Sound Governance mempunyai pandangan yang jauh komprehensif dengan empat aktor, yaitu tiga aktor sudah 124
diketahui
dalam
konsep
good
governance
yaitu
inklusifitas relasi politik antara negara, masyarakat dan dunia usaha yang sifatnya domestik dan satu lagi aktor yaitu kekuatan internasional. Kekuatan
internasional
di
sini
mencakup
korporasi global, organisasi dan perjanjian internasional. Dalam pandangan Sound Governance penerapan good governance kehidupannya hanya berkutat pada interaksi antara pemerintah di negara tertentu, pelaku bisnis di negara tertentu dengan rakyat di negara tertentu pula. Tentu ini sangat naif, sebab kenyataan bahwa aktor yang sangat besar dan bekuasa di atas ketiga elemen tersebut tidak
dimasukkan
dalam
hitungan
(yaitu
dunia
internasional) Bahkan Ali Farazmand (2004) secara tegas menyebut good governance sebagai bagian dari praktik penyesuaian
struktural
(structural
adjustment
programs/SAPs), berikut pernyataannya : The concept of good governance as espoused and promoted by the United Nations agencies such as the WB, IMF, UNDP, and UNDESD as well as by most Western governments and corporations, became one of the most pressing 125
requirements on third world countries in Asia, Africa, and
Latin/Central
America
as
a
condition
for
international assistance. As part of the structural adjustment programs (SAPs), the United Nations agencies, under the instructions and pressures of donor institutions of the North (Western governments and corporations), demanded that developing countries adopt the notion of good governance by implementing a number of structural and policy reforms in their governments and society as a condition for international aid. Seminars, workshops, and ferences were held worldwide that stressed the concept and demanded results for sustainable development (Ali Farazmand , 2004) 2. Bermula dari kritik terhadap identitas dari good governance kata good menjadi sesuatu yang hegemonik, seragam dan juga dilakukan tak jarang dengan paksaan. Term good dalam good governance adalah westernized dan diabsolutkan sedemikian rupa. Sound Governance mempunyai
pandangan
yang
berbeda
dan
justru
mengedepankan adanya penghormatan atas keragaman konsepsi birokrasi dan tatapemerintahan, utamanya nilai 126
dasar budaya pemerintahan tradisional yang telah terkubur. Ali Farazmand mencontohkan kebesaran kerajaan Persia, sebelum digulung oleh dominasi budaya barat, memiliki prestasi yang sangat besar dalam pengelolaan pemerintahan, berikut pernyataannya : The concept of sound governance has ancient origin in the first worldstate empire of Persia with a highly efficient and effective administrative system (Cameron, 1968; Cook, 1985; Farazmand, 1998; Frye, 1975; Ghirshman, 1954; Olmstead, 1948). According to Darius the Great, Cyrus the Great’s successor, no empire can survive much less prosper without a ‘sound economy and sound governing and administrative system’, and the Persian Empire needed to rebuild its governing and administrative
system
with
a
sound
economic,
managerial, and organizational policy that not only was efficient in its discharge of the empire’s current affairs with-far flung territories, but also effective in its political control and anticipatory responses to unexpected crises and emergencies (Ali Farazmand , 2004) Berdasarkan
apa
yang
disampaikan
Ali
Farazmand bahwa pentingnya sistem pemerintahan yang 127
berbasis pada budaya lokal sudah mulai banyak terabaikan dan ini juga terjadi di negara dunia ketiga termasuk di Indonesia (Andi,2007). Hal ini terjadi karena kontruksi konsep birokrasi modern Weber yang mewarnai perkembangan ilmu administrasi publik termasuk lahirnya good governance adalah bentuk pembantaian budaya lokal dalam sistem pemerintahan.
Sound
governance
muncul
untuk
memberikan peluang dalam menyelamatkan keragaman kebudayaan
lokal
dalam
mewarnai
konsep
tata
pemerintahan. 3. Dalam pelaksanaan good governance untuk berjalannya proses tata pemerintahan yang baik maka ada satu jalan yaitu bagaimana pemerintahan harus menjalankan prinsip-prinsip yang digariskan dalam good governance yaitu:
participation,
responsiveness,
rule
consensus
of
law,
transparancy,
orientation,
equity,
effectiveness and efficiency, accountability, strategic vision. Sound
Governance
berbeda dan lebih
melihat
mempunyai
pandangan
pada proses menuju
tercapainya tujuan, dari pada membahas perdebatan soal 128
bagaimana (prinsip-prinsip) dilakukan untuk mencapai tujuan. Kendati demikian di dalam sound governance masih menekankan perlunya prasyarat-prasyrat dasar universal
terkait
demokrasi,
transparansi,
dan
akuntabilitas. Untuk itu titik tekan dari sound governance adalah fleksibilitas dan ini dibutuhkan inovasi yang kemudian menjadi ruh implementasi sound governance dalam praktek pemerintahan. Berikut pernyataan Ali Farazmand akan pentingnya inovasi dalam Sound Governance, Innovation is key to sound governance, and innovation in policy and administration is central to sound governance as
well.
Without
policy and
administrative innovations, governance falls into decay and ineffectiveness, loses capacity to govern, and becomes a target of criticism and failure, (2004) Berdasarkan uraian diatas bahwa Sound governance sebagai wacana baru yang muncul sebagai kritik good governance,
yaitu
memberikan
makna
term
Sound
menggantikan Good adalah dalam rangka penghormatan terhadap kenyataan keragaman (diversity). Untuk itu Sound governance dalam tata pemerintahan (pola relasi pemerintah, 129
swasta dan masyarakat) membuka kembali peluang variablevariable yang absen yaitu kearifan lokal (akibat hegemoni terma good oleh Barat) dan dampak dari kekuatan kooptatif internasional. Sound
Governance
konsep-konsep
menyadarkan
non-barat
sebenarnya
kembali banyak
bahwa yang
applicable, khususnya di bidang pemerintahan. Selain itu Sound governance pada prinsipnya juga memberikan ruang bagi tradisi atau invoasi lokal tentang bagaimana negara dan pemerintahan harus ditata, sesuai dengan kebiasaan, budaya dan konteks
lokal.
Tentu ukuran universal tentang
kesejahteraan rakyat dan penghormatan hak dasar harus tetap ditegakkan. Secara konseptual, seharusnya keberhasilan penerapan good governance di berbagai dunia itu harus juga dibarengi dengan dampak kuatnya fundamental ekonomi rakyat. Kenyataannya, relasi antara kesejahteraan rakyat dengan good governance tidaklah seindah teori. Makin merekatnya hubungan antara negara, bisnis dan rakyat ternyata tidak serta merta menguatkan fundamental ekonomi rakyat. Salah satu kegagalan Good governance adalah tidak memasukkan arus globalisasi dalam pigura analisisnya. 130
Dalam good governance seolah-olah kehidupan hanya berkutat pada interaksi antara pemerintah di negara tertentu, pelaku bisnis di negara tertentu dengan rakyat di negara tertentu pula. Tentulah ini sangat naif. Sebab kenyataan bahwa aktor yang sangat besar dan bekuasa di atas ketiga elemen tersebut tidak dimasukkan dalam hitungan, yaitu aktor tersebut adalah dunia internasional. Sound governance sebagai wacana baru yang muncul sebagai kritik good governance, Setelah good governance berhasil menginklusifkan hubungan si kaya dan si miskin di tingkat
nasional,
maka
fase
berikutnya
adalah
menginklusifkan hubungan negara kaya dengan negara miskin melalui agenda Sound Governance. Formula dasar Sound
Governance
empat
aktor
dalam
tatalaksana
pemerintahan , yaitu tiga aktor sudah diketahui dalam konsep good governance yaitu inklusifitas relasi politik antara negara, civil society, bisnis yang sifatnya domestik dan satu lagi aktor yaitu kekuatan internasional. Kekuatan internasional di sini mencakup korporasi global, organisasi dan perjanjian internasional. Konsep
Sound
Governance
digunakan
untuk
menggambarkan sistem pemerintahan yang bukan hanya 131
jelas secara demokratik, dan tanpa cacat secara ekonomi, finansial, politik konstitusional, organisasi, administratif, manajerial dan etika, tapi juga jelas secara internasional dalam interaksinya dengan negara-negara lain dan dengan bagian pemerintahannya dalam cara yang independen dan mandiri. Sound Governance merefleksikan fungsi governing dan administratif dengan kinerja organisasi dan manajerial yang jelas dan bukan hanya kompoten dalam perawatan, tapi juga antisipatif, responsif, akuntabel, dan transparan, korektif
dan
berorientasi
jangka
operasinya dalam jangka pendek.
132
panjang
meskipun
BAHAN BACAAN Alfian, Komunikasi Politik dan Sistem Politik di Indonesia, PT.Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1993 Andrew Heywood, Politics, Second Edition, (New York : Palgrave Macmillan, 2002) B. Guy Peters and Vincent Wright, “Public Policy and Administration, Old and New, dalam Robert E. Goodin and Hans-Dieter Klingemann, A New Handbook of Political Science, Part VII, Bab 27 Dahlan, Alwi, dkk. 1995. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. Damanhuri, Didin S, 2006. Korupsi, Reformasi Birokrasi dan Masa Depan Ekonomi Indonesia. Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Iniversitas Indonesia: Jakarta Keputusan Presiden Republik Indonesia No.4 tahun 2000 Tentang Komisi Ombudsman Daerah. Kumorotomo, Wahyudi. 2008. Etika Administrasi Negara. PT Raja Grafindo Persada : Jakarta. Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara. 2003. Surat Keputusan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 63 Tahun 2003 Tentang Pedoman Tata Laksana Pelayanan Umum. Jakarta. Michael G. Roskin, et al., Political Science: An Introduction, Bab 16 133
Moh.Mahfud MD, Demokrasi dan Konstitusi di Indonesia, Rineka Cipta, Jakarta, Juli 2000 Muhadjir Darwin, Good Governance dan Kebijakan Publik dalam Good Governance Untuk Daulat Siapa ?, Forum LSM DIY-Yappika, 2001 Normann. 1991. Service Management. Chicester, England: Wiley & Son. Nurhasyim. 2004. Pengembangan Model Pelayanan Haji Departemen Agama Berdasarkan Prinsip Reinventing Government Yang Berorientasi Pada Pelanggan di Kabupaten Gresik. Tesis. Surabaya: Program Pasca Sarjana Universitas Airlangga Republik Indonesia, Undang-Undang No.32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah. Republik Indonesia. 2007. Rancangan Undang-Undang Pelayanan Publik. Jakarta: Sekretariat Negara Republik Indonesia. Suparman Marzuki dkk, Ombudsman Daerah, Mendorong Pemerintahan Yang Bersih, Kerjasama PUSHAM UII dengan Partnership Kemitraan dan Governance Reform in Indonesia, 2003 Sutopo dan Suryanto, Adi. 2003. Pelayanan Prima. Jakarta: Lembaga Administrasi Negara Republik Indonesia.
134
Suyamto. 1989. Norma dan Etika Pengawasan. Sinar Grafika : Jakarta. Syafinuddin Al-Mandari, HMI & Wacana Sosial, Hijau Hitam Pusat Studi Paradigma Ilmu, Jakarta, 2003 Weber, Max. 1946. Essay in Sociology. Oxford University Press : New York. Widjaja, AW. 1985, Masyarakat dan Permasayarakatan Ideologi Pancasila, Bandung, Cv Armico. Yahya Muhaimin, Beberapa Segi Birokrasi di Indonesia, Majalah Prisma Nomor 10 tahun 1980
135
136
BIODATA PENULIS Nama Tempat/Tanggal Lahir Alamat No Tlp./HP Pekerjaan Jafa/Golongan Email
: Dr. H. Munawar Noor, MS : Pati / 30 April 1953 : Jl. Candi Kencana VII/C-22 Pasadena Semarang : (024) 7602350 / 08122938508 : Dosen : Lektor Kepala/ IV-b :
[email protected]
Pendidikan
: 1. Sarjana Strata 1 (1978-1984) di Fisip UNTAG Semarang 2. Sarjana Strata 2 (1988-1990) di Fisipol UGM Yogyakarta 3. Sarjana strata 3 (2011-2014) di Fisip UNDIP Semarang
Pengalaman Kerja
: 1. Dekan Fisip UNTAG (1997-2002) 2. Pembantu Rektor (2002-2006) 3. Kepala Badan Penjaminan Mutu (2006-sekarang)
Pengalaman Pelatihan
: 1. Pelatihan Managemen Perguruan Tinggi (Jakarta 1995-1996) 2. Pelatihan Penyusunan Borang SPMI (Solo 2004) 3. Pelatihan Audit Mutu Internal Akademik (Semarang, 2007) 4. Pelatihan Menyusun Dukumen Mutu (Solo, 2008)
137
5. Pemandu Work-Shop Penyusunan SPMI, Spesifikasi Program Studi, Borang Audit Mutu, Borang AIPT Buku Ajar
: 1. Pengembangan/Pelembagaan Organisasi (2005) 2. Kepemimpinan (2008) 3. Perencanaan/Pengendalian (2010) 4. Kebijakan Publik (2012) 5. Manegemen Sumber Daya Manusia (2013) 6. Evaluasi Kebijakan Publik (2013) 7. Teori Implementasi Kebijakan Publik (2013) 8. Pelayanan Publik (2010) 9. Teori Organisasi (2012)
Tulisan Ilmiah
: 1. Menggagas Pelayanan Publik yang Pro-Poor (2013), Proceding Simposium Nasional III, ASIAN, ISBN, XXX-XX-XXXX-X-X 2. Implementasi Fungsi dan Peran Pengawasan DPRD dalam Pembangunan Daerah (Materi BINTEK DPRD Kabupaten Sragen) 2013 3. Optimalisasi Fungsi dan Peran DPRD dalam Monotoring dan Evaluasi (Materi BINTEK DPRD Kabupaten Tuban dan Kabupaten Pekalongan) 2013
Jurnal Internasional
: 1. Institutional Analysis On National Program For Community Empowerment of Independent Urban
138
(PNPM-MP) For Proverty Reduction, Jurnal Internasional, Article No. JBASR-2889-2, Egypt, 2014. 2. Institutional Analysis On Proverty Reduction Program in Sociaety ( A case study of National Program for community Empowerment of Independent Urban (PNPM-MP) in Semarang, Indonesia, Jurnal Internasional IJRCM, Number 458, Jagadhri-135003, Yamuna Nagar, Haryana, India, 2014
139
140