1
BAB I PENGANTAR
1.1
Latar Belakang Bentang alam pesisir Indonesia dengan garis pantai sepanjang 95.181 km
(Pregiwati, 2014) menyebabkan penduduknya dominan bermata pencaharian di pesisir dan laut. Kementerian Kelautan dan Perikanan (2014) menyebutkan bahwa lebih dari 60% penduduk Indonesia bermukim di wilayah pesisir. Dari 440 kabupaten/kota di Indonesia, sebanyak 297 merupakan kabupaten/kota pesisir. Populasi penduduk di wilayah pesisir memiliki mata pencaharian sebagai nelayan, petani lamun, pengusaha tambak ikan, dan lainnya mencapai 2,7 juta orang. Dengan potensi yang dimiliki oleh wilayah pesisir tersebut tidak secara langsung memberikan dampak positif bagi masyarakat yang ada di dalamnya. Banyaknya potensi yang dimiliki oleh wilayah pesisir tidak selamanya memberikan penghidupan untuk masyarakat, terbukti bahwa 13,05% penduduk miskin di Indonesia bermukim di wilayah pesisir. Hingga saat ini kawasan pesisir juga dimanfaatkan oleh masyarakat untuk pariwisata. Sebagai negara kepulauan, Indonesia memiliki banyak pantai dengan daya tarik tersendiri pada wisatawan baik domestik maupun internasional. Di Pulau Jawa, khususnya untuk Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) memiliki beberapa pantai yang menjadi tujuan para wisatawan. Salah satu tujuan wisata di DIY adalah Kawasan Parangtritis, yaitu Pantai Parangtritis, Pantai Parangkusumo, dan Pantai Depok. Berdasarkan Statistik Kepariwisataan DIY Tahun 2012, jumlah
1
2
wisatawan di Pantai Parangtritis saja mencapai 1.773.179 orang dengan puncak kunjungan pada bulan Agustus (197.958 orang). Banyaknya kunjungan wisatawan di Kawasan Parangtritis selain menambah pendapatan daerah juga memicu kegiatan ekonomi masyarakat pesisir yang ada di sana menjadi semakin aktif. Jenis usaha yang berkembang di kawasan pesisir tersebut antara lain penginapan, rumah makan, pedagang jajanan pasar, dan persewaan kendaraan khusus pantai (ATV, kuda, dan lainnya). Ketiga pantai tersebut secara administratif terletak di Kabupaten Bantul dan berbatasan langsung dengan Samudra Hindia di bagian selatan. Fenomena alam yang terjadi di Kawasan Parangtritis akan sangat dipengaruhi oleh aktivitas Samudra India. Salah satu fenomena alam yang terjadi di Kawasan Parangtritis adalah arus retas (rip current). Arus retas adalah arus bergerak menuju ke laut lepas (offshore) melewati zona pecah gelombang (Carey dan Rogers, 2005). Arus retas merupakan arus yang sangat berbahaya bagi pengunjung pantai/wisatawan karena memiliki kecepatan yang relatif tinggi dan bergerak ke arah laut (menjauhi daratan). Menurut Short dan Hogan (1994), kemunculan dan kekuatan arus retas dipengaruhi oleh morfologi pantai dan kondisi lokal (localised hazards). Penelitian dan kajian mengenai arus retas khususnya di Indonesia masih sangat minim sehingga referensi yang digunakan dalam penyusunan dan perumusan kebijakan maupun prosedur keselamatan juga tidak banyak. Dampak dari arus retas ini sebagian besar dirasakan oleh wisatawan karena tidak memiliki pengetahuan tentang arus tersebut. Di Kawasan Parangtritis saat ini masih melakukan pengawasan dan penjagaan terhadap para wisatawan terutama pada
3
waktu kunjungan ramai seperti saat liburan sekolah dan akhir pekan. Pembangunan pos pengamatan terfokus pada Pantai Parangtritis dan Pantai Depok karena di kedua pantai tersebut menjadi tujuan wisata utama di Kawasan Parangtritis.
1.2
Permasalahan Masyarakat pesisir Kawasan Parangtritis yang berprofesi sebagai nelayan
hanya berada di Pantai Depok. Hal tersebut terkait dengan penetapan fungsi pantai di kawasan tersebut oleh Sultan. Pantai Parangtritis sebagai tempat wisata, Pantai Parangkusumo sebagai tempat ritual, dan Pantai Depok sebagai tempat nelayan. Peningkatan jumlah wisatawan berarti memperluas zona wisata pantai tersebut, dengan kata lain persebaran wisatawan juga semakin luas. Kawasan pesisir Parangtritis dengan kondisi pantainya yang sangat dinamis memiliki potensi bahaya arus retas yang tidak nampak secara fisik. Masyarakat di Parangtritis mengenal arus retas ini dengan istilah “lebengan” dan dipercayai sebagai salah satu fenomena yang terkait dengan mitos “Nyi Roro Kidul”. Berbeda dengan wisatawan yang berasal dari luar DIY yang hanya mengetahui mitos tersebut dengan beragam variasinya. Secara ilmiah, “lebengan” tersebut dapat dijelaskan melalui proses fisis di pesisir dan laut. Potensi bahaya tersebut tidak banyak dipahami oleh masyarakat yang beraktivitas di pesisir khususnya para pengunjung/wisatawan. Oleh karena kurangnya pemahaman dan informasi terkait arus retas, tidak sedikit yang menjadi korbannya. Di Florida, terjadi ratarata 9 kematian per tahun antara 1979-1988 akibat arus retas (Lushine, 1991
4
dalam Carey dan Roger, 2005). Dibandingkan dengan data yang dimiliki oleh Tim Search and Rescue (SAR) Parangtritis, pada tahun 2013 terjadi 39 kasus arus retas. Hal tersebut menjadi gambaran bahwa terdapat potensi bahaya di pantai yang harus dan segera ditanggulangi. Kurangnya informasi yang disediakan di Kawasan Parangtritis tentang bahaya arus retas ini adalah salah satu faktor penyebab jatuhnya banyak korban. Melalui pengamatan langsung di lapangan, SAR tidak memiliki tanda atau batas larangan di lokasi munculnya arus retas. Pengunjung pantai yang didominasi oleh pelajar bermain di pantai bahkan dekat dengan lokasi munculnya arus retas, namun tidak ada larangan dari tim SAR. SAR hanya melakukan pengawasan jarak jauh dan larangan secara lisan. Kebutuhan akan penanggulangan bahaya arus retas juga memberikan tanggapan dari masyarakat. Kemunculan arus retas telah dikenal oleh masyarakat lokal dan dimanfaatkan untuk melaut, memancing, dan bahkan untuk berselancar. Hal tersebut yang menggugah penulis untuk melakukan penelitian lebih lanjut mengenai arus retas dengan mencoba menerapkan beberapa metode yang sudah pernah dilakukan di lokasi lain sebelumnya. Di samping itu, kurangnya tindakan dari tim SAR dalam upaya menjaga keselamatan wisatawan menyebabkan perlu adanya aturan standar keamanan yang jelas khususnya untuk Kawasan Parangtritis. Penelitian ini diharapkan mampu memberikan informasi yang memadai untuk menjadi solusi dua pihak yang terdapat di dalam satu lokasi yang sama sehingga kerugian dapat diminimalisasi.
1.3
Keaslian Penelitian Tabel 1.1 Perbandingan Antara Penelitian Sebelumnya dengan Penelitian Saat Ini
No. 1
Judul Penelitian Rip Currents and Beach Hazards: Their Impact on Public Safety and Implications for Coastal Management. 1994. A.D. Short dan C.L. Hogan.
Metode Melakukan identifikasi ancaman fisik terkait dengan morfologi pantai dengan teknik interpretasi peta dan foto udara. Data berupa tinggi gelombang dan morfologi pantai digunakan untuk mengkuantifikasi tingkat ancaman arus retas dari skala 1-10 kemudian diaplikasikan ke seluruh pantai di New South Wales.
2
A Study of Rip Current Drownings and Related Weather Factors. 1991. James B. Lushine.
3
Deteksi Zona Tapak Rip Currents Pada Citra Satelit ALOS PALSAR di Parangtritis. 2010. Arry Retnowati.
Menggunakan metode penelitian lapangan dengan teknik pengumpulan data berupa observasi. Data yang dikumpulkan berupa kecepatan dan arah angin. Untuk tinggi gelombang dan kondisi pasang surut perairan menggunakan data sekunder dari sumber tertentu. Data tersebut dianalisis menggunakan Lushine Rip Current Scale (LURCS) untuk menentukan hubungan antara faktor meteorologis dan oseanografis terhadap arus retas. Mengidentifikasi lokasi arus retas di pesisir Parangtritis dengan teknik interpretasi citra satelit ALOS PALSAR level 1.0. Zonasi surf zone menggunakan software MATLAB dan menentukan garis pantai menggunakan software ArcGIS.
Hasil Hasil penelitian mereka menunjukkan bahwa dari seluruh pantai yang menjadi lokasi penelitian, 60,7% merupakan kriteria moderately safe (dengan rating 4-6) dan 32,9% dengan kondisi yang lebih berbahaya (dengan rating > 6). Penilaian dilakukan untuk memberikan informasi karakteristik pantai dan analisis risiko dari bahaya arus retas serta memberikan pertimbangan dalam penentuan kebijakan manajemen kawasan pesisir yang mengarah pada tindakan mitigasi arus retas. Bahaya dari arus retas sangat dipengaruhi oleh angin yang berhembus ke arah daratan. Angin dengan gradien kecepatan sebesar 10 knots (18,5 km/jam) ke arah daratan cukup untuk membangkitkan arus retas, bertambahnya kecepatan angin juga menambah kekuatan arus retas. Kategori bahaya arus retas berdasarkan LURCS dibagi menjadi 6 dan diberikan warna bendera yang berbeda untuk masing-masing kategori. Arus retas muncul di beberapa lokasi secara bersamaan, berdasarkan gelombang datang dan angin yang berhembus ke daratan dimana untuk daerah tropis anginnya dipengaruhi oleh musim. Pemahaman mengenai karakteristik arus retas menggunakan data ALOS PALSAR dapat membantu perencanaan dan pengelolaan pesisir Parangtritis lebih baik, khususnya dalam hal pengurangan risiko.
5
Tabel 2.1 Lanjutan No. 4
5
6
Judul Penelitian The Modelling of Bathymetry Changes in Creation of Rip Currents. 2011. Behnam Barzegar. Indeks Kerentanan Kawasan Wisata Bahari Berbasis Masyarakat Desa Malangrapat Kabupaten Bintan Kepulauan Riau. 2013. Ricky Hendra Gunawan, Khodijah, dan Tengku Said Raza’I. Zonasi Bahaya Pantai Berdasarkan Kemunculan Arus Retas dan Upaya Penanggulangan di Kawasan Parangtritis. 2015. Anak Agung Ngurah Agung.
Metode Menggunakan teknik interpretasi model untuk mengetahui hubungan antara kedalaman perairan (batimetri) perairan dengan pembentukan arus retas. Membangun 2 skenario model batimetri menggunakan software Mike21. Menggunakan pendekatan kuantitatif mulai dari tahap pengumpulan data, pengolahan data, dan analisis. Menganalisis 5 variabel kerentanan dengan menggunakan indeks kerentanan untuk masing-masing variabel.
Penentuan lokasi kemunculan arus retas dengan interpretasi citra yang diverifikasi dengan survei lapangan. Menentukan rating (nilai) masing-masing pantai dengan membandingkan tinggi gelombang dan morfologi pantai. Merumuskan rekomendasi tindakan mitigasi dengan menganalisis tingkat risiko berdasarkan rating pantai tersebut.
Hasil Adanya channel atau celah antara dua sandbar membangkitkan arus retas dengan kecepatan mencapai 20 kali lebih besar dibanding dengan perairan yang tidak memiliki channel. Kecepatan arus sepanjang channel lebih tinggi dibanding arus di sekitarnya. Dalam pemanfaatan sumberdaya wisata bahari, dipengaruhi oleh 5 variabel kerentanan, yaitu sosial kependudukan dengan nilai indeks 90,00, partisipasi masyarakat (85,71), ekonomi wilayah desa (75,00), infrastruktur (70,00), dan fisik/alam (50,00). Keterlibatan masyarakat yang termasuk dalam variabel partisipasi masyarakat memiliki kerentanan yang sangat tinggi. Beach safety rating dari sebagian besar Kawasan Parangtritis adalah kurang aman. Jumlah pengunjung menjadi indikator kerentanan dengan asumsi kerentanan tinggi di seluruh Kawasan Parangtritis, sehingga risiko arus retas juga menjadi tinggi hampir di seluruh lokasi. Penyusunan rekomendasi keamanan pantai dilakukan berdasarkan tingkat risikonya dan juga memperhatikan faktor lainnya seperti persebaran wisatawan dan kondisi fisik pantainya.
6
1.4
Tujuan Penelitian a.
Menentukan tingkat risiko arus retas untuk setiap pantai di Kawasan Parangtritis.
b.
Menyusun aturan standar keamanan pantai untuk setiap tingkatan risiko arus retas.
1.5
Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat menjadi salah satu metode kajian arus retas
untuk pengembangan ilmu pengetahuan di bidang kebencanaan pesisir dan bermanfaat sebagai referensi atau pertimbangan dalam proses pembangunan Indonesia yang berbasis kebencanaan.
7