BAB I PENGANTAR A. Latar Belakang Pada pertengahan Desember tahun 2009, di sebuah gedung perhelatan yang lokasinya berdekatan dengan alun-alun selatan kota Yogyakarta, terlihat kesibukan untuk mengatur suatu resepsi pernikahan yang akan diadakan pada malam harinya. Di depan pintu masuk menuju gedung yang berbentuk Joglo tersebut, terdapat satu papan sketsel yang berukuran sekitar 2 x 1,5 meter. Menempel di sana Styrofoam yang dipakai sebagai landasan untuk memasang bunga-bunga dan daun-daunan penghias dari sekitar 12 buah foto berukuran 10R (25,4 x 30,5cm). Keseluruhan foto itu memperlihatkan satu pasangan sedang menunjukkan kemesraan dengan berbagai gaya, lokasi, dan pakaian. Senyum dan tawa sebagai ekspresi kegembiraan tidak pernah lepas dari wajah keduanya. Mereka yang berpose dalam foto tersebut adalah pasangan calon pengantin yang akan melangsungkan resepsi pernikahan di gedung itu pada malam harinya nanti. Jenis foto yang di pajang itu sendiri biasa dikenal dengan istilah “foto prewedding” atau “foto prewed”, yaitu istilah yang mengacu pada suatu bentuk fotografi sebagai pendukung kebutuhan acara pernikahan, yang waktu produksi foto tersebut dilakukan sebelum prosesi pernikahan dilangsungkan. Pada penelitian ini, istilah ’foto pre-wedding’ akan tetap digunakan tanpa mencoba merubah kedua kata tersebut ke dalam bahasa Inggris ataupun bahasa Indonesia. Meskipun mempunyai perbedaan bahasa, kata ’foto pre-wedding’ atau ’foto prewed’ inilah yang paling populer digunakan di masyarakat umum.
14
Awal abad 21, diperkirakan foto pre-wedding mulai masuk ke Indonesia. Terus berkembang hingga menjadi suatu trend dan agenda yang seakan ’wajib’ dilakukan oleh calon pengantin, terutama oleh para pasangan calon pengantin di kota-kota besar Indonesia, sebelum melangsungkan pernikahannya. Asumsi yang berkembang di masyarakat, menyebutkan adanya hubungan antara perubahan yang terjadi pada teknologi perangkat fotografi dengan tren pemakaian foto prewedding ini. Selain itu, dinyatakan juga bahwa kemunculan foto jenis ini, tidak lepas dari pengaruh terus berkembangnya industri foto pernikahan (foto wedding) di masyarakat sebagai lahan bisnis yang menguntungkan. Dugaan ini sejalan dengan pendapat yang dilontarkan oleh O’Brein (1995: 27), yang menyatakan bahwa hampir sebagian besar fotografer profesional di era modern, pekerjaan utamanya adalah memotret kegiatan sosial terutama pernikahan. Jumlah konsumen yang besar, mempunyai dampak pada skala peredaran uang yang sama besarnya pada industri foto pernikahan. Pengaruh dari bayangan keuntungan yang ditawarkan oleh industri ini, merambah pada peningkatan persaingan di kalangan produsen foto untuk menjaring konsumennya. Beberapa studio foto di kota Yogyakarta dengan sengaja menaruh foto pernikahan (kemudian foto pre-wedding) yang dicetak dalam ukuran cukup besar dan dipasang di depan studio mereka untuk menarik minat para pengguna jalan yang melihat. Demikian pula dengan para fotografer freelance-an1, tidak kalah tangkas 1
Di Yogyakarta, fotografer komersial yang bekerja secara lepas dan tidak terikat oleh salah satu studio foto biasa di kenal dengan istilah freelance-an. Para fotografer komersial ini bekerja secara mandiri, tidak mempunyai kantor fisik yang tetap dan bekerja berdasarkan atas kontrak kerja langsung dengan kliennya atau apabila ada kesepakatan untuk bekerja dengan salah satu studio foto, posisi mereka lebih kepada tenaga outsourcing yang di gaji berdasarkan atas
15
untuk mempromosikan hasil pekerjaannya dengan berbagai cara. Salah satu portofolio yang ditawarkan, hampir dipastikan selalu terdapat foto pernikahan maupun foto pre-wedding. Sejalan dengan terbukanya arus informasi dunia, fotografi dengan cepat menjalar ke segala penjuru dunia termasuk ke Indonesia melalui perantara orang Cina Indonesia. Selain dianggap sebagai pionir dari praktek fotografi, orang Cina Indonesia juga mempunyai peran vital dalam membentuk budaya visual modern di Indonesia. Karen Strassler (2003: 19-21) menyatakan bahwa orang Cina di Hindia sering bertindak sebagai pedagang perantara dari modernitas kapitalis global. Sebagai komunitas transnasional, orang Cina Indonesia mempunyai keterikatan secara budaya, ekonomi, dan bahasa dengan orang Cina Hindia yang tinggal di wilayah lain di Asia, terutama di Hongkong dan Singapura. Ide tentang modernitas, praktek beserta produknya dibawa melalui masyarakat Cina Hindia di wilayah lain, kemudian menyebar hingga ke Indonesia. Melihat besarnya peranan orang Cina Indonesia dalam pengembangan dunia fotografi dan pembentukan budaya visual modern di Indonesia, serta kedekatan hubungan dengan orang Cina di Singapura, tidaklah mengherankan apabila kemudian mereka juga dipandang mempunyai peranan yang sangat penting dalam laju penyebaran popularitas dari foto pre-wedding di Indonesia. Foto pre-wedding dalam prakteknya seringkali digunakan untuk keperluan undangan pernikahan, souvenir pernikahan atau sebagai dekorasi ruangan gedung proyek foto yang ditanganinya. Proyek foto yang ditangani, tidak hanya berkaitan dengan pengerjaan foto pernikahan maupun foto pre-wedding saja. Akan tetapi juga pada ranah foto komersial yang lain, seperti foto produk, foto untuk keperluan company profile maupun foto-foto dokumentasi yang lain.
16
tempat resepsi pernikahan dilangsungkan. Sebagai bagian dari undangan pernikahan, foto pre-wedding biasa di gunakan sebagai cover maupun di halaman dalamnya. Sedangkan pada souvenir pernikahan, foto pre-wedding bisa ditempelkan langsung di barang souvenirnya maupun dipakai untuk kartu ucapan yang digantung bersama souvenirnya. Display untuk keperluan di dalam gedung akan berbeda lagi, foto-foto pre-wedding tersebut biasanya dipasang di tempat para tamu undangan berjalan menuju ke arah pengantin untuk bersalaman untuk memberikan selamat kepada kedua mempelai, sebagai unsur dekoratif ruangan atau dipasang di depan pintu masuk.
Foto 1, dan 2. Contoh pemakaian foto pre-wedding dalam undangan resepsi dan souvenir pernikahan. Sumber : koleksi pribadi pasangan Ongki dan Nisa serta Joko Suwarno Berbeda dengan foto pernikahan, yang dilakukan pada saat resepsi penikahan berlangsung, jangka waktu produksi foto pre-wedding sengaja dibuat sebelum prosesi pernikahan. Persoalan waktu ini bergantung pada keperluan pasangan calon pengantin atas foto pre-wedding mereka, terutama berkaitan dengan produksi undangan serta penyebarannya kepada para tamu. Oleh karena itu, jangka waktu produksi foto pre-wedding bisa dua minggu, satu bulan atau bahkan terdapat kasus yang pasangan calon pengantin melakukan produksi foto pre-wedding enam bulan sebelum resepsi pernikahannya dilangsungkan.
17
Foto 3, 4, 5 dan 6. Display foto pre-wedding di gedung pada waktu resepsi pernikahan. Foto : Agus Heru Setiawan, M.A Roziq dan Joko Suwarno Sebelum para pasangan calon pengantin membuat foto pre-wedding, biasanya telah terbentuk kepastian (komitmen) lebih dahulu terhadap hubungan mereka untuk menapak ke jenjang yang lebih lanjut, pernikahan. Komitmen tersebut antara lain melalui munculnya kesepakatan untuk penentuan waktu pernikahan yang dibuat secara personal di antara pasangan berdua, pembicaraan maupun persetujuan orang tua dari kedua belah pihak, atau bahkan kadangkadang telah terjadi proses lamaran. Terdapat berbagai alasan umum yang dikemukakan berkaitan dengan pertanyaan kenapa para pasangan membuat foto pre-wedding. Salah satunya sebagai dokumentasi serta kenang-kenangan atas masa berpacaran mereka. Potongan kenangan perjalanan kisah cinta mereka yang telah berlalu, dibayangkan bisa dibentuk ulang, dimaterialisasikan serta
18
dihadirkan kembali dalam wujud foto yang dianggap mampu menjembatani dan merangkum keseluruhan kenangan mereka pada masa sebelum menikah. Secara pribadi, kenangan yang terpresentasikan di dalam foto pre-wedding tersebut akan diingat pasangan calon pengantin sebagai kenangan menjelang berubahnya status mereka dari seorang bujangan menjadi suami dari si A maupun isteri si B. Pendefinisian diri melalui foto ini terlihat sebagai suatu proses pembentukan identitas yang sifatnya rasionalistik (Abdullah, 2006: 37). Foto tersebut seolah menjadi media yang menampilkan bentuk pengidentitasan mereka sebagai pasangan hidup, bukan hanya satu identitas individu yang berdiri sendiri, melainkan dua individu yang telah menjadi satu sebagai pasangan. Melihat sifatnya yang mampu menampilkan citraan suatu peristiwa secara detail serta akurasi penyampaian gambar yang tinggi, fotografi menjadi pilihan bagi masyarakat untuk mendokumentasikan peristiwa tertentu serta media penggambaran diri yang dianggap ideal. Hal ini, disebabkan karena teknologi kamera memang dilahirkan untuk memburu objektivitas karena kemampuannya untuk menggambarkan realitas visual dengan tingkat presisi yang tinggi (Seno Gumira Ajidarma, 2002: 1). Meskipun demikian, realitas yang terdapat dalam foto tersebut perlu untuk dipertanyakan kembali keberadaannya. Apakah realitas yang ditunjukkan merujuk kepada kenyataan dikeseharian atau mengarah kepada realitas yang dikonstruksikan mengenai apa yang ingin mereka coba untuk presentasikan kepada publik. Terutama ketika mencoba memahami foto prewedding melalui perspektif ideologi foto potret yang lebih memberikan gambaran
19
ingatan pada apa yang diharapkan daripada membantu mengingat apa dan siapa diri figur dalam potret yang sebenarnya (Schroeder, 2002: 55). Ketika suatu gambar diambil dari acara tertentu dan kemudian gambar tersebut ditampilkan sebagai foto, gambar tersebut akan menjadi bagian dari sebuah konstruksi. Foto tersebut akan menjadi milik dari situasi sosial yang spesifik yaitu sebagai suatu argumentasi, pengalaman hidup dan suatu cara untuk menjelaskan dunia seperti halnya teks dalam sebuah buku, majalah, ataupun sebuah pameran (Berger, 2002:51). Tampilnya foto pre-wedding ke wilayah publik akan memberikan makna berbeda dibandingkan apabila ketika foto tersebut digantung di ruang tamu keluarga, setelah pasangan calon pengantin itu resmi secara hukum menjadi suami istri. Apa yang ditampilkan di dalam foto prewedding adalah gambaran surealis dari harapan para pasangan calon pengantin atas masa depan yang mereka harapkan. Foto-foto tersebut tidak hanya dipakai untuk membayangkan waktu yang telah ditinggalkan atau waktu sekarang, akan tetapi juga seolah-olah memberikan gambaran tentang cita-cita serta mimpi kehidupan masa depan dari para pasangan calon pengantin tersebut. Meskipun demikian, apabila menelusuri lebih lanjut akan muncul berbagai pertanyaan terutama berkaitan dengan harapan, cita-cita serta mimpi siapa yang terwakili dalam foto pre-wedding tersebut. Apakah foto-foto pre-wedding tersebut memfasililitasi kepentingan diri pasangan calon pengantin, fotografernya atau pihak diluar diri mereka, terutama ketika melihat peran dominan dari fotografer sebagai operator dan pihak yang menentukan hasil akhir dari foto pre-wedding serta kuatnya kuasa kapital yang menggerakkan industri foto ini.
20
B. Rumusan Masalah Setiap foto, dimungkinkan untuk membuat pesan fotografis yang menjadi bagian dari praktek penandaan. Pesan tersebut merefleksikan kode-kode, nilainilai, dan keyakinan atas kebudayaan secara keseluruhan (Clarke, 1977: 28). Secara harfiah, bentuk foto pre-wedding seperti terlihat hanya sebagai sebuah foto yang berisi sepasang laki-laki dan perempuan, yang mengumbar senyuman serta kemesraan mereka dengan memakai gambar latar di suatu tempat yang indah dan estetis,
misalnya
dipantai,
pegunungan,
bangunan
arsitektural
maupun
pemandangan kota yang menawan. Visualisasi yang terlihat dalam foto prewedding tampak seperti diulang-ulang dari satu foto ke foto yang lainnya, tidak ada sesuatu yang mengejutkan di dalamnya. Meskipun begitu, fakta yang terjadi di lapangan menunjukkan bahwa stagnasi dalam visualisasinya bukanlah halangan bagi dinamisasi perkembangan industri foto pre-wedding. Saat ini, foto pre-wedding mampu terus berkembang dan pemakaiannya menjadi trend tersendiri di masyarakat. Terbukti dari kehadiran foto-foto seperti ini yang hampir selalu terlihat dalam setiap ritual pernikahan di Yogyakarta, baik di undangan maupun di gedung pernikahan. Melihat konteks yang terjadi di masyarakat seperti hal tersebut diatas, timbul beberapa pertanyaan penelitian sebagai berikut. 1. Mengapa penggunaan foto pre-wedding bisa menjadi tren dan apa relasinya dengan perubahan industri teknologi fotografi 2. Bagaimana pola visual yang terbentuk dalam foto pre-wedding dan apa peran kuasa operator (fotografer) dalam membentuk citra diri pasangan
21
3. Bagaimana pengaruh pemaknaan yang dilakukan oleh pasangan calon pengantin dan penonton atas foto pre-wedding terhadap kehidupan keseharian masyarakat C. Tinjauan Pustaka Literatur yang secara khusus langsung membahas tentang foto prewedding, baik sejarah penyebaran maupun pemaknaannya di Indonesia, hingga saat ini masih belum ditemukan. Untuk mengatasi keterbatasan literatur tersebut, diusahakan melihat foto pre-wedding dari berbagai sudut pandang yang bisa dipakai untuk membantu penelitian foto pre-wedding ini. Melalui studinya tentang industri Stock Photography, Paul Frosh (2003) mencoba membongkar peranan fotografi sebagai aparatur perekonomian modern yang kemudian mempengaruhi budaya konsumen. Dikelilingi oleh berbagai gambar, baik dari papan iklan, koran maupun sumber lainnya, membuat manusia menjadi terbiasa dengan kehadiran gambar tersebut. Mereka mulai mengabaikan dan merasakan seolah-olah gambar itu adalah bagian dari hidupnya. Mempercayai bahwa
gambar-gambar
tersebut
merupakan
representasi
dari
kehidupan
keseharian mereka yang sebenarnya. Melalui buku ini, Frosh menyebutkan bahwa gambar-gambar ‘biasa’ tersebut tidak dihasilkan secara alamiah maupun bisa dicapai dengan mudah. Gambaran tersebut merupakan hasil dari suatu sistem yang mengkolaborasikan pembuatan, distribusi dan konsumsi. Suatu sistem kerja yang rumit, tersembunyi serta mempunyai kekuatan luar biasa untuk membentuk dunia di sekelilingnya seperti apa yang mereka inginkan.
22
Riset yang dilakukan oleh Frosh juga menyangkut foto-foto yang menebarkan nuansa romantik. Frosh menyebutkan bahwa foto yang mengambil tema romantis sangat umum digunakan oleh biro iklan dan pemasaran serta sebagai stock photography. Hubungan dan keintiman merupakan tema yang sangat populer apabila diperbandingkan dengan foto yang menggunakan tema lainnya. Frosh menggunakan pendekatan dari semiotik dan post-struktualis untuk menginterpretasikan kategori yang diseleksi sebagai “romantic” stock image dan hubungannya dengan budaya stereotipe. Frosh memakai tiga dimensi yang saling berhubungan
yaitu
konten,
style,
dan
penempatan
tekstual
serta
menginterpretasikan arti budaya dari gambar yang berhubungan dengan kategori sosial, tubuh yang dipahami secara normatif dan budaya, serta hubungannya dengan berbagai hal seperti representasi atas seks, seksualitas, kelas dan etnisitas. Wacana tentang gambar fotografis sebagai cara hidup dipakai oleh Jonathan E. Schroeder (2002) untuk membahas keterlibatan fotografi dengan budaya konsumsi di masyarakat, terutama konsumsi visual. Dalam bukunya ini, Schroeder menitikberatkan pada bahasan tentang representasi, gambar, fotografi dan identitas. Fotografi membentuk suatu pengalaman tersendiri. Foto memberikan suatu panduan bagi manusia tentang bagaimana cara orang untuk melihat, apa yang mereka lihat, apa yang mereka ingat, apa yang mereka anggap pantas untuk dilihat dan cara mereka berimaginasi terhadap benda-benda di sekelilingnya. Foto menjadi panduan bagi masyarakat dalam membangun cara berpikir tentang identitas mereka sendiri dan orang lain, bahkan juga tentang nenek moyang (sejarah hidup) mereka. Schroeder juga beranggapan bahwa
23
sebagian besar informasi tentang dunia, dikirimkan kepada masyarakat melalui fotografi dan penyebarannya dilakukan baik melalui bentuk gambar diam, televisi, film, video serta halaman-halaman website. Selain itu, Schroeder membahas tentang foto keluarga yang digunakan oleh penjual (dalam hal ini adalah biro iklan) untuk membangun suatu konstruksi nilai simbolik dari masyarakat, seperti kebersamaan keluarga, identitas, serta ekspresi pribadi untuk produksi massal suatu barang. Foto keluarga, yaitu ikon yang dipasang di ruang tamu, menjadi sangat penting pada waktu membicarakan foto sebagai aktivitas penggambaran dan pembangunan ideologi. Foto membantu mengkonstruksi serta mengangkat ingatan dari masa kecil. Foto keluarga menjadi gudang penting bagi memori kolektif, presentasi diri, dan identitas. Mereka dianggap sebagai bentuk representasi dari perjuangan, konflik serta kekuatan. Sebagai ikon dari kehidupan keluarga, mereka menjadi subjek atas dominasi, dari satu yang ideal kepada lainnya. Posisi foto keluarga itu juga dipertanyakan kembali oleh Williamson (1986: 123) yang mengatakan bahwa foto keluarga adalah suatu konstruksi yang disponsori secara penuh oleh orangtua. Foto itu diambil dan diseleksi dari ingatan orangtua dan kemudian dijadikan sebagai representasi dari foto keluarga. Dari sana, anak-anaknya ditawarkan sebagai ingatan dari masa kecil mereka. Schroeder menyebutkan bahwa kontruksi identitas melalui managemen gambar (foto) merupakan kekuatan pendorong utama dalam perilaku konsumen. Melalui foto keluarga ini terlihat kekuatan yang sebenarnya dari foto dalam membuat suatu
24
konstruksi atas keinginan dan harapan konsumen, serta pola konstruksi dari para orangtua terhadap anak-anaknya atas gambaran masa kecil mereka. Praktek fotografis di Indonesia telah diteliti dan ditulis dalam disertasi Karen Strassler (2003). Karya ini menjadi sumber literatur yang komprehensif untuk melihat budaya dari masyarakat Indonesia terutama di masyarakat Jawa melalui
praktek-praktek
fotografis
yang
telah
mereka
lakukan
dalam
kesehariannya. Selain itu, hasil penelitian tersebut dengan detail data yang diberikan, memberikan masukan yang sangat besar dalam membaca sejarah terbentuknya kebudayaan visual di Indonesia. Melalui risetnya, yaitu tentang praktek fotografi populer di Indonesia, Strassler meneliti bentuk-bentuk dari praktek dokumentasi visual yang akhirnya membentuk suatu jalan bagi masyarakat di Jawa perkotaan untuk menjadi (melihat diri mereka sebagai) orang Indonesia. Pembahasan dimulai dari studio foto yang dibentuk oleh orang Cina Indonesia serta modernitas yang dibawanya, kemudian foto sebagai pembentuk suatu identitas, hingga foto yang digunakan sebagai dokumentasi yang bernilai sejarah, yang semua itu dibahas dengan sangat lengkap dalam karya disertasi ini. Strassler mengungkapkan bahwa semenjak sejarah kelahiran studio foto di Hindia Belanda dan kemudian Indonesia, berlangsung perubahan makna penting dalam artian ideologis. Unsur kolonial (keeropa-eropaan) yang berada dalam sebuah background foto ditolak oleh konsumen dan digantikan dengan sesuatu yang lebih berciri khas dan dekat dengan kehidupan mereka sebagai wujud keikutsertaannya atas ide nasionalisme serta menjadi bagian dari identitas bersama sebagai bangsa bernama Indonesia.
25
Strassler sedikit membahas tentang peranan foto dalam pernikahan di keluarga Jawa. Strassler melihat pentingnya sistem pendokumentasian secara visual bagi sejarah kehidupan keluarga di Jawa, terutama untuk merekam kenangan-kenangan yang mereka anggap istimewa di dalam kehidupan berkeluarga. Dalam keluarga Jawa kontemporer, perhatian terhadap fotografi terletak pada ritual pernikahan yang dianggap sebagai satu peristiwa penting, tidak hanya untuk pasangan yang menikah, akan tetapi juga untuk semua anggota keluarga. Untuk itulah diperlukan media pendokumentasian yang mampu membekukan momen tersebut sehingga bisa dikenang hingga dikemudian hari. D. Landasan Teori Proses membaca foto adalah sebuah proses untuk masuk ke dalam serangkaian hubungan tersembunyi dari suatu kekuatan yang membingungkan. Kekuatan tersebut berada di dalam gambar di depan mata, sehingga perlu untuk tidak hanya melihatnya sebagai gambar saja, akan tetapi juga membacanya sebagai permainan aktif dari bahasa visual (Clarke, 1997: 29). Selain itu, Clarke menegaskan suatu komponen dasar yang perlu digarisbawahi bahwa foto merupakan produk dari fotografer sehingga foto tidak pernah bisa lepas dari perspektif spesifik diri fotografer yang menyesuaikan wacana budayanya, baik dari sudut pandang estetis, politis maupun ideologisnya. Sejalan dengan itu, Roland Barthes (1981: 9) melihat ada tiga aspek yang terdapat dalam foto, yaitu operator, spectator dan spectrum. Dalam kaitannya dengan foto pre-wedding, operator adalah fotografer yang menghadirkan foto pre-wedding menjadi suatu bentuk material. Spectrum adalah pasangan calon
26
pengantin yang menjadi objek foto, sedangkan spectator dalam artian yang lebih luas, bisa peneliti atau juga para informan ahli. Akan tetapi, pada dasarnya spectator adalah orang yang memandang foto pre-wedding tersebut dan membangun pemaknaannya sendiri melalui perspektif masing-masing. Dalam hubungannya dengan analisis kritis, Barthes membuat pembedaan yang lebih lanjut tentang bagaimana cara membaca foto. Untuk membahas pesan dari foto, Barthes (1981: 25-28) memperkenalkan konsep studium dan punctum yang terdapat dalam sebuah foto. Kedua konsep ini perlu untuk dipahami, terutama ketika ada keinginan untuk menggali dan menjawab pertanyaan tentang makna simbolik yang terdapat di dalam sebuah foto pre-wedding, serta implikasi keberadaannya di dalam masyarakat yang lebih luas. Perbedaan dari keduanya sangatlah mendasar, studium memberikan kesan respon pasif terhadap daya tarik foto, akan tetapi punctum memungkinkan untuk melakukan suatu pembacaan yang kritis (Clarke, 1997: 32). Suatu detail dalam foto yang akan menganggu keselarasan serta stabilitas permukaan yang kemudian akan memulai proses terbukanya ruang untuk melakukan analisis secara kritis. Studium merupakan suatu hal yang mana para pemandang foto setuju dengan apa yang dilihatnya karena adanya suatu presentasi makna yang dikodekan secara kultural serta sesuai dengan makna simbolik yang jelas. Studium sejajar dengan saat perspektif ketika kita mencoba menyesuaikan indera kita dengan objek yang ada dalam foto. Studium merupakan kesan keseluruhan secara umum, yang mendorong seorang spectator segera memutuskan penilaiannya apakah sebuah
27
foto yang dilihat bersifat politis, historis, indah atau tidak indah yang sekaligus mengakibatkan reaksi suka dan tidak suka. Punctum di lain pihak merupakan saat di mana kita bergerak dan berhenti pada satu titik yang menarik perhatian kita. Punctum berhubungan dengan elemen atau sejumlah elemen. Layaknya sebuah anak panah, punctum keluar dari sebuah gambar yang kemudian menusuk spectator sebagai orang yang melihat gambar tersebut (Barthes, 1981). Punctum adalah fakta terinci di dalam sebuah foto yang menarik dan menuntut perhatian kritis dari spectator tanpa memperdulikan adanya studium. Punctum memungkinkan kita untuk melakukan suatu rekonstruksi, juga untuk berbicara serta memberikan sinyal kepada kita terhadap suatu fakta bahwa foto merupakan refleksi dari cara kita memandang dunia dalam bentukan budaya. Melalui pembahasan ulang atas penelusuran foto-foto studio produksi para fotografer Tionghoa di Indonesia oleh Karen Strassler, Seno Gumira Ajidarma (2002: 116-123) menjelaskan posisi studium dan punctum dalam proses pembacaan foto. Secara umum, foto-foto studio dibuat berdasarkan pesanan, berdasarkan selera pemesan dan dibuat untuk menipu perasaan pemesan yang selalu ingin tampil dalam suatu citra terpandang. Studium pada foto-foto studio ini merujuk pada sebuah dokumentasi dari sebuah keluarga maupun personal, dalam suatu pose yang menjadi penanda legitimasi sosial. Dalam tataran tingkatan ini, foto studio terlihat terlalu jelas dan tidak ada misteri, tidak terdapat ekspresi individual, tidak ada penyampaian pesan, misi, makna dan sebagainya. Begitu juga apabila kita masuk kepada foto pre-wedding. Studium di dalam sebuah foto
28
pre-wedding adalah kesan keseluruhan yang bisa kita tangkap ketika pertama kali kita melihatnya. Di sana, bisa dilihat sebagai bagian dari sebuah proses dokumentasi pasangan calon pengantin yang ada dalam foto tersebut dan berhenti hanya sebagai ungkapan kepada publik atas pasangan yang ingin citra dirinya dilihat sebagai pasangan yang berbahagia. Berbeda dengan hal di atas, punctum memungkinkan untuk membaca dengan cara yang lain. Dalam kasus foto studio di Indonesia, punctum yang digali oleh Strasslers adalah gambar-latar (backdrop). Pemahaman melalui punctum, mengungkapkan gambar-latar dalam suatu persilangan riwayat historitas yang tak terduga, yaitu tumbuhnya kesadaran sebagai bangsa. Melalui punctum, penyingkapan makna di balik gambar-gambar-latar menjadikan foto studio tidak sekedar hanya menjadi ungkapan dunia yang ingin citra dirinya tampak bahagia karena modern dan makmur, melainkan citra diri sebagai bangsa yang merdeka dari segala bentuk penjajahan bangsa lain. Punctum inilah yang kemudian menjadi faktor dominan untuk menggali nilai serta pesan-pesan yang ada dalam foto pre-wedding. Detail-detail yang ada di dalam foto pre-wedding seperti pose, background, gesture, pakaian, properti tambahan lainnya, pemilihan tempat, hingga pemilihan warna dalam proses editing, dimungkinkan untuk dibaca dan diinterpretasikan serta mempunyai jangkuan yang lebih besar dari sekedar apa yang nampak dalam foto pre-wedding. Pembacaan ini menjadi subyektif terutama ketika melihat bahwa pengetahuan serta pengalaman dari pembaca merupakan komponen penting yang menentukan hasil dari proses pembacaannya tersebut (Barthes, 1984, 27-29). Oleh karena itu, keberadaan foto pre-wedding juga perlu
29
dilihat melalui peranan fotografi pada umumnya di dalam sistem budaya masyarakat atau apa yang disebut sebagai lifeworlds yaitu suatu wilayah di dalam hidup keseharian yang berkaitan langsung dengan kondisi sosial serta aktivitas praktisnya, segala kebiasaan yang menyertai, krisis, karakter idiomatik dan kedaerahan, serta strategi-strategi yang ada di dalamnya (Jackson 1996:7–8). Pada umumnya, penggunaan foto secara sosial akan melibatkan pemahaman melalui media materialitas serta panca indra yang lebih luas atasnya, terutama terkait hubungan antara orang dengan orang serta orang dengan benda. Bagi Elizabeth Edwards (2009: 33-46), fotografi mampu melakukan sesuatu yang lebih dari (melampaui) sekedar proses visualisasi. Fotografi mampu berkembang, membawa, dan menggoncang perasaan melampaui proses melihat. Edwards menyatakan bahwa pada waktu melakukan pembacaan foto, semua hal yang berhubungan dengan penginderaan menjadi faktor yang penting. Sejalan dengan kritiknya terhadap cara pandang Barat yang lebih mengutamakan melihat dan mendengar sebagai dasar pengetahuan rasional dari pada indera-indera yang lain, Edwards membangun satu dasar teori fotografi yang lebih memprioritaskan pengetahuan berdasarkan cara hidup masyarakat daripada pengetahuan yang masuk akal bagi kehidupan intelektual. Dasar teori yang lebih menonjolkan pada keberartian foto sebagai pengalaman hidup yang aktual dari masyarakat daripada suatu teori yang membentuk fotografi sebagai sebuah ontologi maupun abstraksi analitis, yaitu melalui Oralities. Teori ini menjadi penting untuk diterapkan dalam mendukung proses pembacaan foto pre-wedding karena Spectrum, yang pada teori pertama kurang mempunyai peranan dalam
30
proses pencarian makna, menjadi terlibat secara aktif dalam proses penjabaran foto pre-wedding berdasarkan pengetahuan atas dirinya sendiri. Ekspresi lisan memerlukan interaksi dari audiens yang spesifik, pada waktu yang spesifik pula. Disajikan dalam suatu hubungan, menciptakan konteks untuk transmisi cerita, juga menjadi suatu pengingat bahwa subjek di dalam foto tersebut bisa menjadi teman berbicara (Edward, ibid: 42). Jadi di dalam konteks foto pre-wedding, pasangan yang ada dalam foto tersebut mempunyai peranan dan kemampuan untuk berbicara dengan audience-nya, bercerita tentang kisah dan kenangan serta alasan hadirnya foto tersebut menjadi bentuk material. Pembahasan tentang Oralities dimulai dengan argumen Edwards yang menyatakan bahwa dia bermaksud untuk melampaui konseptualisasi dari bahasa sebagai suatu abstraksi, simbol dan sistem penandaan, serta untuk memahami bahasa sebagai sesuatu yang didengar dan menjadi bagian terpadu dari lanskap akustik, yang mana serangkaian literasi sonik tidak hanya membawa tanda akan tetapi juga membawa emosi. Bahasa memang sering dilihat dalam konsep semiotik. Akan tetapi lebih dari hal tersebut, bahasa juga merupakan konsep emosional dan dampak emosional dari foto adalah diartikulasikan melalui bentuk vokalisasi pada waktu masyarakat saling berhubungan satu dengan yang lainnya. Foto mempunyai keterlibatan dalam cerita secara lisan, baik sejarah pribadi, keluarga maupun masyarakat, sebagai dunia yang diriwayatkan melalui artikulasi vokal. Foto dan suara secara performatif saling berkaitan, menghubungkan, memperluas serta mengintegrasikan fungsi sosial dari suatu gambar.
31
Seperti yang diketahui, bahwa kebanyakan dari foto tidak berada di dalam konteks seni maupun ekspresi formal, akan tetapi berada dalam wilayah keseharian yaitu sebagai kartu pos, undangan pernikahan, dalam album keluarga, kalender,
koran,
atau
majalah.
Gambar-gambar
inilah
yang
kemudian
menanggung beban terbesar atas pemaknaan sosial. Seringkali, mereka keluar atau tampil ke publik untuk segera lenyap, dilupakan para penontonnya kecuali oleh mereka yang merasa secara penuh mempunyai keterlibatan didalamnya. Meskipun begitu, pada saat yang bersamaan, gambar-gambar tersebut berada dalam cakupan beberapa indrawi sekaligus. Dalam konteks ini, foto tidak hanya dilihat dalam suatu kontemplasi yang sunyi, akan tetapi sebagai foto yang berbicara dengan dan berbicara tentang (Erlmann, 2004:17). Foto mewujud melalui suara dari manusia ketika berbicara atau pada waktu mengatakan suatu cerita kepada penontonnya (formal/informal), yang dari sana kemudian membentuk kerangka interaksi sosial. Sebuah foto mampu menciptakan suatu cerita lisan yang nantinya akan diceritakan secara turun temurun. Foto, didalamnya tersimpan perubahan cerita yang dinamis dan memiliki komponen emosional yang kuat serta dapat diputar secara berulang-ulang melalui berbagai cerita. Tidak hanya itu, foto juga mampu menyampaikan perasaan-perasaan seperti tawa, sedu sedan tangisan maupun keterkejutan seseorang. Semua hal tersebut, merujuk kepada aktivitas berbagi emosi, suatu kode-kode ekspresif yang menghubungkan orang dengan kata-kata, gambar, dan kejadian nyata yang terjadi dalam kehidupan sehari-harinya.
32
E. Metode Penelitian Terdapat dua elemen penting dalam antropologi untuk menghasilkan pengetahuan, yaitu fieldwork (penelitian lapangan) dan analysis (analisis). Penelitian lapangan merupakan proses mengumpulkan seperangkat material empiris melalui berbagai metode penelitian lapangan, sedang analisis merupakan langkah menganalisis data yang didapat (material empiris) apakah layak dipakai atau tidak (Eriksen, 2004: 42). Metode yang dipakai dalam penelitian ini akan menggunakan metode kualitatif. Secara umum, penelitian ini mempunyai dua titik penekanan, yaitu melakukan analisis pembacaan foto berdasarkan kepada apa yang terlihat di dalam foto tersebut untuk mengetahui aspek estetis, makna yang terpendam, maupun perkembangan foto pre-wedding yang terjadi secara umum. Selanjutnya, melakukan analisis berdasarkan pengetahuan dari mereka yang mempunyai pengalaman keterlibatan dalam foto pre-wedding, terutama mereka yang pernah melakukan produksi foto pre-wedding. Kedua analisis tersebut digunakan untuk menelusuri berbagai alasan yang mendasari para pasangan calon pengantin memproduksi serta mempertunjukkan romantisme mereka ke publik. Sedangkan alasan utama yang mendasari pemakaian kedua analisis di atas ke dalam sebuah penelitian adalah karena subjek yang berada di dalam foto itu adalah subjek yang bisa berpikir, mempunyai ide dan pandangan, mampu menentukan pendapat serta kemampuan untuk bernegosiasi dengan fotografernya dalam membentuk hasil akhir dari foto prewedding tersebut. Foto merupakan hasil dari suatu proses perantara yang sangat kompleks antara fotografer dan subjeknya (Silva, 2004: 159). Di dalamnya
33
terdapat suatu proses peleburan kepentingan serta kebudayaan dari subjek dan fotografer, hasil negosiasi di antara mereka. Melakukan analisis foto pre-wedding tanpa melibatkan peranan mereka (pasangan yang ada dalam foto bersama fotografernya) akan membuat hasil akhir dari penelitian ini terasa pincang. Alasan-alasan pribadi yang mendasari pembuatan foto pre-wedding kiranya perlu ditanyakan
secara
langsung
kepada
sumbernya,
tidak
hanya
mencoba
menerjemahkan atau membaca pola yang ada di dalam foto pre-wedding. Tahapan penelitian yang pertama dilakukan adalah tahapan pengarsipan dengan cara mengumpulkan foto pre-wedding yang dapat diperoleh, antara lain melalui akses di internet, portfolio para fotografer, koleksi para pasangan yang telah melakukan sesi foto pre-wedding, katalog dan dokumen studio-studio foto yang ada di Yogyakarta. Adapun teknik pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan metode pengamatan (observasi) serta melakukan wawancara mendalam (indepth interview) dengan informan kunci. Meskipun hampir setiap orang dapat menjadi informan, namun tidak setiap orang dapat menjadi informan yang baik (Spreadley, 2006: 65). Ada beberapa kriteria yang digunakan dalam menentukan fotografer yang dipakai sebagai informan dalam penelitian ini. Pertama adalah mereka yang secara total menggantungkan kehidupan ekonominya dengan menghasilkan foto untuk orang lain dan bertempat tinggal di Yogyakarta. Usia maupun lamanya fotografer tersebut bekerja diwilayah industri foto komersial menjadi faktor yang penting kerena dapat diasumsikan bahwa melalui foto yang mereka hasilkan juga dapat dilihat trend seperti apa yang sedang terjadi pada saat itu. Dengan kata lain, apa yang mereka hasilkan adalah juga wujud
34
representasi dari gairah anak muda sehingga dipilih para fotografer yang berusia tidak lebih dari 40 tahun. Tentunya, pengalaman dalam memproduksi foto prewedding juga merupakan kriteria penting yang perlu diperhatikan. Secara pendidikan adalah mereka yang pernah mengikuti pendidikan fotografi secara formal maupun mereka yang telah mempunyai pengalaman dalam dunia fotografi komersial minimal selama kurang lebih lima tahun dan yang telah menghasilkan foto pre-wedding minimal dari sepuluh pasangan calon pengantin yang berbeda selama kurun waktu dua tahun belakangan. Setelah menemukan fotografer yang akan dijadikan sebagai informan, langkah selanjutnya ialah mengumpulkan semua hasil foto pre-wedding yang telah mereka buat selama ini untuk bisa mendapatkan informan kunci dari pihak pasangan yang membuat foto. Seleksi kembali dilakukan dengan disertai berbagai pertimbangan. Dari seorang fotografer akan didapatkan satu pasangan yang merepresentasikan contoh klasifikasi dari tren umum yang ada dalam foto prewedding dikota Yogyakarta. Identitas kultural, religi, sejarah, gaya, pose dan properti yang dipakai oleh para pasangan tersebut dilakukan untuk menemukan pola-pola visual yang terdapat didalam foto pre-wedding serta relasi dalam penggunaannya. Selain itu, juga akan menjadi faktor seleksi agar tidak mendapatkan kesamaan foto dari para fotografer yang dipilih. Untuk mempermudahkan akses observasi dan wawancara, pasangan yang dipilih hanyalah para pasangan yang berdomisili di Yogyakarta. Setelah melakukan klasifikasi umum, penentuan informan fotografer dan pasangan yang ada dalam foto pre-wedding, proses selanjutnya adalah melakukan
35
pembacaan secara lebih mendalam terhadap semua foto pre-wedding yang telah dikumpulkan sebelumnya, dengan meminjam kerangka analisis dari teori fotografi yang ditetapkan. Tahapan ini digunakan untuk melihat pola yang umum dipakai, pola visual serta nilai-nilai sosial yang terdapat di dalam foto pre-wedding. Selanjutnya melakukan proses observasi dan wawancara dengan para informan pasangan calon pengantin dan para fotografer dalam foto pre-wedding yang telah dipilih. Untuk proses observasi dan wawancara terhadap informan kunci akan dilakukan dalam kehidupan keseharian mereka. Perbandingan antara apa yang terpresentasikan di dalam foto dengan kehidupan nyata mereka secara langsung atau pun tidak langsung dapat diketahui pada waktu observasi dilakukan. Observasi juga dilakukan pada waktu proses produksi foto pre-wedding berlangsung, sejak proses pemilihan properti yang akan dipakai, eksekusi ide, hingga proses editing yang dilakukan oleh fotografernya. Meskipun proses produksi foto pre-wedding ini bukan proses produksi yang dilakukan oleh informan kunci, penting dirasa untuk mengetahui proses yang terjadi di lapangan pada waktu sesi pemotretan foto pre-wedding berlangsung. Informasi-informasi yang didapatkan dari observasi ini dapat membantu memahami bagaimana foto tersebut dimaknai, baik melalui sudut pandang para pasangan yang memesan foto pre-wedding dan fotografernya, termasuk proses negosiasi di antara mereka. Selain nama fotografer dan studio serta para informan kunci, dikarenakan masalah etika sengaja tidak ditampilkan nama-nama dari para pasangan calon pengantin yang berkeberatan untuk disebutkan namanya meskipun foto-foto mereka dipakai untuk bahan analisa pola-
36
pola visual foto pre-wedding secara umum. Sebagai pelengkap data yang terkumpul, juga digunakan berbagai sumber literatur penunjang berupa buku-buku referensi, hasil riset yang pernah dibuat sebelumnya, arsip-arsip, artikel ilmiah, jurnal serta literatur lainnya yang dimungkinkan sebagai penunjang kelengkapan data penelitian. F. Struktur Thesis Bab pertama dari thesis ini membicarakan tentang latar belakang ketertarikan penulis untuk membuat kajian tentang foto pre-wedding serta munculnya foto pre-wedding yang kemudian bagi sebagian calon pasangan pengantin di kota-kota besar di Indonesia wajib dihadirkan dan menjadi bagian dari prosesi pernikahan mereka. Tren penggunaan foto pre-wedding tersebut menimbulkan suatu pertanyaan-pertanyaan yang ditelaah melalui penelitian ini. Tinjauan pustaka, landasan teori serta metodologi penelitian yang digunakan menjadi pembicaraan tersendiri dalam bab ini. Fokus pembicaraan dalam bab kedua berkaitan dengan hubungan yang terjadi antara perubahan pada teknologi perekaman atau digitalisasi kamera foto dengan kemunculan industri foto pre-wedding di Indonesia maupun di Yogyakarta. Pembahasan dimulai dari perubahan-perubahan besar yang terjadi pada teknologi peralatan fotografi pada umumnya hingga mulai tergerusnya peranan teknologi analog oleh peralatan digital yang membuat media fotografi menjadi semakin akrab dalam kehidupan masyarakat sehari-hari. Kemunculan foto pre-wedding di Indonesia yang tidak terlepas dari dampak perkembangan digitalisasi industri kamera global menjadi topik pembahasan khusus selain
37
tentang perkembangan dan proses pembuatan foto pre-wedding sendiri di wilayah Yogyakarta. Proses produksi foto pre-wedding juga menjadi bagian yang dijelaskan dalam bab ini. Untuk bab ketiga, topik utama dalam pembahasannya berkaitan dengan upaya pembacaan pola-pola visual yang terdapat pada foto pre-wedding. Gambar latar, ekspresi wajah dan gerak tubuh, kostum yang dikenakan oleh para pasangan calon pengantin hingga sampai proses editing terhadap foto pre-wedding, menjadi suatu hal yang penting untuk dijabarkan. Selain itu, juga dijelaskan peran kuasa operator (fotografer) yang memegang peranan vital dalam upaya membentuk pembayangan diri pasangan calon pengantin melalui media foto pre-wedding ini. Pada bab ke empat berfokus kepada pemaknaan foto pre-wedding, baik dari sudut pandang spectator (penonton) maupun dari spectrum (pasangan calon pengantin sendiri). Perbandingan antara foto pernikahan dengan foto pre-wedding dilakukan untuk melihat peranan yang lebih besar dari foto pre-wedding. Bab ini juga menjabarkan perubahan dalam kehidupan masyarakat yang terjadi pasca perkembangan industri foto pre-wedding. Bab terakhir membahas tentang kesimpulan dari seluruh hasil penelitian yang dilakukan oleh penulis. Saran dan kritik yang bisa berguna, baik untuk kelanjutan penelitian lain tentang topik bersangkutan maupun topik yang lebih besar tertuang didalam bab ke lima ini.
38