BAB I PENGANTAR
A. Latar Belakang Batik merupakan tradisi dan ekspresi budaya yang memiliki nilai tinggi bagi masyarakat Indonesia. Keberadaanya menjadi simbol
dari
sebuah
keluhuran,
kompleksitas
sikap
adati,
kreativitas, artistik, dan inovasi. Esensi batik tidak hanya terbatas pada menghias permukaan kain dengan teknik merintangi atau meresapkan warna pada mori yang terhalang lilin malam,1 namun juga dihubungkan dengan pengalaman estetis penciptanya dalam mengungkapkan curahan perasaan serta pemikiran terhadap kekuatan-kekuatan di luar dirinya untuk mewujudkan karya seni batik yang artistik. Di
masa
kejayaan
kerajaan
Jawa
(Yogyakarta
dan
Surakarta), seni batik dipadukan dengan seni tari dan seni paès (mempercantik wajah). Batik merupakan kesatuan dari pendidikan tentang etika dan estetika bagi wanita secara terpadu. Proses pembuatan pengendapan
batik diri
dibarengi dari
para
dengan
proses
pembatik.
Dalam
meditasi konteks
dan ini,
religiusitas berperan besar di dalam pembentukan nilai-nilai 1
Sewan Susanto, Seni Kerajinan Batik Indonesia (Yogyakarta: Balai Penelitian Batik dan Kerajinan, Lembaga Penelitian dan Pendidikan Industri, Departemen Perindustrian, 1980), 5.
1
2
keadiluhungan suatu karya seni batik2 dan biasanya, batik yang diciptakan mengandung doa dan harapan yang tulus dan luhur, serta membawa kebaikan bagi si pemakainya. Sikap ini terutama dianut oleh mereka yang dinamakan orang Jawa Pedalaman yakni masyarakat Jawa yang berada di bawah pengaruh keraton atau orang-orang yang dekat dengan segenap dinamika tradisi dan tata krama lingkungan keraton.3 Sehubungan dengan hal tersebut, pembuatan motif batik tidaklah berhenti sebagai suatu bentuk kegiatan semata, namun hirarki dalam tatanan kebangsawanan Jawa menumbuhkan tuntutan akan kebutuhan tata busana yang sesuai dengan jenjang tingkat keningratan. Dalam hal ini termasuk juga penciptaan serta penentuan aturan penggunaan sejumlah motif batik, sebagai corak larangan. Misalnya penggunaan sejumlah motif corak larangan, di antaranya
harus
disesuaikan
dengan
siapa
pemakainya
didasarkan pada pangkat, derajat, dan garis keturunan.4 Beberapa motif
corak
larangan
juga
melambangkan
makna
berbeda,
misalnya motif corak sawat merupakan lambang penguasa (raja),
2
Biranul Anas, Indonesia Indah “Batik” Buku ke-8 (Jakarta: Yayasan Harapan Kita, BP3 Taman Mini Indonesia Indah, 1997), 36. 3 Anas, 1997, 60. 4 Pihak keraton Yogyakarta mengeluarkan undang-undang atau tata cara pemakaian batik motif “larangan”. Tata cara penggunaan motif larangan tersebut tampak dipertegas pada masa pemerintahan Sultan Hamengku Buwana VIII, yang ditandai oleh adanya Pranatan Dalem Bab Namanipun Panganggo Keprabon Ing Nagari Dalem Ngayogyakarta Hadiningrat yang dikeluarkan pada 3 Mei 1927. Himpunan Wastraprema, Sekaring Jagad Ngayogyakarta Hadiningrat (Jakarta: PT Midas Surya Grafindo, 1990), 36.
3
parang rusak merupakan lambang kekuatan dan penangkal kebatilan, cemukiran merupakan lambang penguasa (kekuatan dan
pertumbuhan),
dan
udan
liris
merupakan
lambang
kesuburan.5 Sementara itu, batik juga memiliki kedudukan yang kuat di luar
tembok
keraton,
mengenakannya,
bukan
tetapi
juga
hanya
karena
karena
setiap
orang
pembuatan
atau
penciptaannya juga memiliki makna sendiri dalam masyarakat. Pada akhir abad IX, di kalangan masyarakat Jawa membatik tidak banyak berhubungan dengan produktivitas ekonomis melainkan menunjukkan tingginya pengetahuan dan kesadaran budaya si pembuatnya. Meskipun tidak seketat peraturan atau maklumat di dalam keraton, masyarakat Jawa sesungguhnya mempunyai ketentuan-ketentuan tentang cara-cara pemakaian batik dengan motif-motif tertentu. Sebagai
contoh
dapat
disampaikan
bahwa
seorang
pengantin adat Jawa sebaiknya menggunakan motif sidomukti atau sidoluhur yang bermakna kebahagiaan, masa depan yang baik, kasih sayang, dan keluhuran budi, dengan maksud agar demikian pulalah yang akan dialami oleh sang pengantin. Begitu juga dengan orang tua Jawa yang untuk pertama kalinya menyelanggarakan 5
Anas, 1997, 65.
pernikahan
putrinya
dianjurkan
untuk
4
mengenakan kain batik motif
truntum yang melambangkan
tumbuhnya cinta kasih.6 Masyarakat Jawa percaya dan menyakini bahwa makna yang terkandung dalam pemakaian kain batik dengan motif tertentu misalnya pada upacara pernikahan harus benar (tidak sembarangan), karena hal ini akan mempengaruhi kehidupan pasangan pengantin di masa depan, bukan sekedar bermakna namun menjadikan mereka bersikap sesuai dengan lambang dan maknanya. Kedudukan batik baik di dalam maupun di luar keraton telah berlangsung lama dalam kurun waktu yang panjang, namun dalam proses berikutnya batik akhirnya berubah fungsi seiring dengan tuntutan penggunaannya. Selain sebagai piranti magis yang menyertai berbagai upacara ritual dan sebagai pakaian yang mampu menunjukkan status sosial pemakainya, batik juga dapat digunakan sebagai wahana ekspresi individu oleh para pembatik.7 Menurut
paparan
Soedarso,
yang
tertuang
di
dalam
artikelnya berjudul “Seni Lukis Batik” dijelaskan bahwa pada dekade 1960-an, beberapa seniman mulai mencoba kemungkinankemungkinan untuk menggunakan teknik batik sebagai medium
Anas, 1997, 71. A.N. Suyanto, Sejarah Batik Yogyakarta (Yogyakarta: Rumah Penerbitan Merapi, 2002), 42. 6 7
5
untuk berekspresi dalam seni lukis.8 Para seniman menciptakan karya
batik
dengan
motif
yang
sudah
bergeser
dari
pola
tradisional, dan dibingkai dengan label “seni lukis batik”. Hal tersebut dianggap sebagai titik pergeseran dari “tradisi” ke “kebebasan ekspresi”. Suwarno Wisetrotomo mengatakan, ketika seni batik memasuki ruang “estetika baru” yang disebut seni lukis batik seolah ia lepas dari penjara. Seni lukis batik sebagai hasil pencarian “estetika baru” dari seni batik, memunculkan motifmotif batik kreasi baru sebagai wujud kebebasan ekspresi yang tanpa muatan atau beban makna filosofis seperti pada pola batik tradisional.9 Dari sini dapat memberikan gambaran mengenai pengertian batik dan seni lukis batik, batik dalam hal ini batik tulis untuk menunjukkan karya manusia (karya seni yang dibuat untuk memenuhi
kebutuhan
artistik,
penggambaran
motif
untuk
memuaskan perasaan berdasarkan pertimbangan fungsi dan kandungan makna motif yang magis-spritual); sedangkan seni lukis batik merupakan karya seni yang banyak memikirkan masalah ekspresi. Jadi, seni lukis batik adalah seni lukis yang menggunakan media batik untuk mengungkapkan perlambangan
8 Soedarso, Sp., (ed.), Seni Lukis Batik Indonesia (Yogyakarta: Taman Budaya Yogyakarta dan IKIP Yogyakarta, 1998), 13-14. 9 Suwarno Wisetrotomo, “Seni Lukis Batik Petualangan Baru Estetik”, dalam Soedarso Sp., (ed.), Seni Lukis Batik Indonesia (Yogyakarta: Taman Budaya Yogyakarta dan IKIP Yogyakarta, 1998), 39.
6
atau
simbolisasi
dan
ekspresi
personal.
Seni
lukis
batik
menunjukkan karakter yang lebih bebas dan ekspresif, baik dari sisi tema (motif), garis, bidang, maupun warna.10 Proses pembuatan seni lukis batik hampir sama dengan membatik, akan tetapi lebih variatif sesuai dengan kreativitas pelukis. Pada mulanya, ditinjau dari teknik pembuatan batik terdapat dua macam batik yakni batik tulis dan batik cap. Keduanya memiliki rancangan, proses produksi, dan ciri-cirinya masing-masing. Biranul Anas menyebutkan batik tulis ialah batik yang dihasilkan dengan cara menggunakan canting tulis sebagai alat bantu dalam melekatkan cairan malam pada kain, sedangkan batik cap diproses menggunakan canting cap, menggantikan canting tulis dalam menerapkan cairan malam pada kain. Sementara proses pewarnaan serta pelorodan malam pada batik cap masih sama dengan proses pada batik tulis. Namun, proses penggambaran corak di atas permukaan kain, atau disebut dengan pemalaman, pada batik cap relatif cepat dibandingkan dengan proses pemalaman pada batik tulis.11 Berbeda dengan teknik pembuatan pada batik tulis dan batik cap, yang harus menggunakan pola atau kerangka terlebih dahulu, seni lukis batik dibuat dengan teknik melukis. Pelukis
10 Wisetrotomo, dalam Soedarso Sp., (ed.), Seni Lukis Batik Indonesia (Yogyakarta: Taman Budaya Yogyakarta dan IKIP Yogyakarta, 1998), 41. 11 Anas, 1997, 17-18.
7
batik dapat membuat pola secara spontan. Selain itu, seni lukis batik memberikan kebebasan pada pelukis batik menggunakan alat apa saja sebagai pembuat motif, seperti canting, kuas, dan sendok. Nuansa warna pada seni lukis batik juga tidak dapat dicapai dengan teknik tulis dan cap dikarenakan warna pada seni lukis batik diperoleh dari proses pencampuran dan kombinasi warna dengan teknik tutup dan colet sehingga menghasilkan warna yang lebih bervariasi. Dari teknik tersebut, seni lukis batik ini mempunyai peluang menjadi media mengekspresikan berbagai ungkapan kreatif. Upaya pembaruan pada batik sebagai media ekspresi tersebut mendapat sambutan yang baik dari masyarakat di Yogyakarta, salah satu yang ikut terlibat dalam pembaruan seni lukis batik adalah pembatik di Kampung Taman. Pemuda Kampung Taman mulai menggeluti seni lukis batik karena terinspirasi dari karya-karya lukisan batik yang diselenggarakan oleh sanggar Banjar Barong di Art Gallery Seni Sono, Yogyakarta. Pameran tersebut dipimpin oleh Bagong Kussuadiardja, bersama kawan-kawan pelukis di Yogyakarta, seperti Nasyah Djamin, Kuswadji K, Batara Lubis, Tino Sidin, Mudjitha, V.A. Sudiro, A.N. Suyanto, Sudarwoto, dan Damas.12 12
Butet Kartaredjasa, “Tumbuh diantara Tantangan Hidup dan Kaidah Estetika” dalam Kedaulatan Rakyat (Yogyakarta: Minggu 2 Nov, 1986), hal 2, kolom 4.
8
Pesatnya perkembangan industri pariwisata di Yogyakarta terutama terjadi pada tahun 1970-an, diawali dengan mulainya dibuka Keraton Yogyakarta sebagai salah satu objek kunjungan wisata di kota Yogyakarta pada masa pemerintahan Sultan Hamengku Buwono IX pada tanggal 1 Oktober 1969.13 Sejak itu Keraton
dan
sekitarnya,
khususnya
kawasan
Pesanggrahan
Tamansari dan Pasar burung Ngasem,14 mulai didatangi oleh para wisatawan mancanegara dan domestik. Seiring dengan keadaan tersebut, upaya para pemuda kampung Taman dalam menggeluti seni lukis batik mendapatkan apresiasi dari para wisatawan yang berkunjung. Seni lukis batik kemudian berkembang dan semakin dikenal sebagai bagian dari pesona pariwisata Tamansari. Sadar akan
hal
tersebut,
sejumlah
pemuda
di
kampung
Taman
berinisiatif membentuk organisasi yang dapat menaungi pemudapemuda kampung Taman untuk menghasilkan sesuatu yang lebih bermanfaat, terutama bagi perekonomian kampung Taman yang Siti Munawaroh, Peranan Kebudayaan Daerah dalam Perwujudan Masyarakat Industri Pariwisata di Daerah Istimewa Yogyakarta (Yogyakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1999), 44. 14 Tamansari memiliki nilai sejarah yang tinggi, sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari keberadaan Keraton Yogyakarta, yang pada awalnya berperan sebagai tempat raja dan kerabat keraton beristirahat dan mesanggrah (menenangkan pikiran). Tamansari menjadi unik, karena sisa-sisa artefak yang ada bercampur-baur dengan perkembangan perumahan dan kegiatan usaha di sekitarnya yang dikenal dengan Kampung Taman. Pasar Ngasem merupakan pasar tradisional dan pasar burung terbesar di Yogyakarta yang menyediakan berbagai macam hewan peliharaan seperti burung, ikan, dan berbagai hewan peliharaan lainnya. Pada awalnya pasar Ngasem terletak di sebelah selatan Kampung Taman, namun pada tahun 22 April 2010, Pasar Ngasem berpindah tempat ke Jalan Bantul KM 1, Dongkelan dan diberi nama Pasar Satwa dan Tanaman Hias Yogyakarta (PASTY). www.pariwisata.jogjakota.go.id, diakses pada tanggal 22 Februari 2015. 13
9
saat itu masyarakatnya masih dalam kondisi ekenomi lemah. Sanggar Kalpika menjadi wadah untuk mengembangkan potensi dalam diri pemuda, serta mendapatkan penghasilan dari produksi seni lukis batik.15 Upaya Sanggar Kalpika dalam merintis seni lukis batik menjadi
jalan
pembuka
bagi
masyarakat
setempat
untuk
mengembangkan seni lukis batik sebagai kegiatan industri yang banyak menyerap tenaga kerja, serta memberikan tambahan pendapatan bagi kesejahteraan masyarakat Kampung Taman. Tak kurang dari 60 buah rumah atau tempat tinggal penduduk Kampung Taman diubah menjadi semacam artshop sebagai penampung dan tempat pemasaran karya lukisan batik mereka. Dengan menjamurnya artshop lukis batik di Kampung Taman yang berdekatan dengan Pesanggarahan Tamansari, maka oleh penduduk dan wisatawan seni lukis batik ini dikenal dengan sebutan “seni lukis batik Tamansari”.16 Kerja seni yang hampir melibatkan seluruh penduduk Kampung Taman, diikuti transaksi jual beli seni lukis batik yang berlangsung hampir setiap saat, tidak saja melibatkan para peminat
lokal,
tetapi
bahkan
sanggup
menembus
pasar
15 Bahana, “Purnomo Hadi, Pegiat Sanggar Kursus Melukis Batik Kalpiko: Tak Pernah Segan Berikan Ilmu ke Siapa Saja”, dalam Radar Jogja (Yogyakarta: Senin, 4 Juni 2012), 11. 16 Suwarno Wisetrotomo, “Api Kerja Seni dari Desa Tamansari”, dalam Katalog Pameran Lukisan Paguyuban Senirupawan Tamansari (Yogyakarta: 1521 November 1989), 8.
10
internasional,
baik
pembeli
yang
langsung
datang
sebagai
wisatawan maupun dalam bentuk pesanan dari luar negeri. Perputaran roda bisnis yang berlangsung memang tidak begitu saja dengan mudah dapat dijadikan ukuran besarnya omset. Namun, fakta pernah menyebutkan bahwa pelukis batik dapat menjual sekitar 100 lukisan batik dalam waktu satu bulan. Saat itu terjadi sekitar 1970-an hingga 1980-an, ketika Kampung Taman menjadi kiblat dan pusat seni lukis batik di Yogyakarta, serta masa-masa puncak seni lukis batik.17 Seiring
dengan
berkembangnya
industri
pariwisata
di
Tamansari yang berdampak pada meningkatnya jumlah wisatawan yang berkunjung, juga berbanding lurus dengan dampak yang disebabkannya pada seni lukis batik Tamansari. Dikatakan oleh J. Maquet bahwa ketika terjadi kontak antara masyarakat pemilik seni dengan wisatawan yang menginginkan bentuk seni dari masyarakat yang didatangi, maka masyarakat setempat akan menciptakan produk seni yang menyesuaikan pula dengan selera estetis penikmatnya, yaitu para wisatawan. Seni yang telah mengalami
perubahan
bentuk
ini
disebut
sebagai
art
by
metamorphosis (seni metamoforsis), atau art of acculturation (seni
17
Wisetrotomo, 1989, 9.
11
akulturasi), atau pseudo-traditional art (seni pseudo-tadisional), atau istilah yang lebih populer tourist art (seni wisata).18 Masyarakat pelukis batik mulai memiliki wawasan baru dan mulai
beradaptasi
dengan
suasana
baru
yaitu
suasana
Pesanggrahan Tamansari dan Kampung Taman sebagai destinasi pariwisata. Wawasan baru dan penyesuaian diri para pelukis batik tersebut mempengaruhi bentuk-bentuk kesenian warisan leluhur pada masa lampau, termasuk seni batik. Sebagaimana dijelaskan oleh But Muchtar, bahwa pada umumnya para perajin memiliki kebiasaan menirukan apa yang telah diwarisi secara turun menurun dengan kata lain mengulang produk yang sama.19 Oleh karena
itu
seni
lukis
batik
Tamansari
dijadikan
sebagai
cinderamata yang dibuat oleh para pelukis batik setempat. Glenn F. Ross menambahkan bahwa pertumbuhan industri pariwisata di suatu tempat mempunyai kaitan erat antara tingkat kegiatan usaha, interaksi sosial, dan munculnya toko-toko yang menyediakan cinderamata.20 Cinderamata yang beredar di tempattempat tertentu dibeli dan dimanfaatkan sebagai tanda kenangkenangan bagi pembelinya. Secara psikologis hal itu memberikan kepuasan dan daya ingat bahwa mereka pernah melakukan 18 J. Maquet, Introduction to Aesthetic Antropology (Massachusetts: Addison-Wesley, 1971), 68. 19 But Muchtar, “Daya Cipta di Bidang Kriya” dalam Seni: Jurnal Pengetahuan dan Penciptaan Seni, Vol. I/03/ (Yogyakarta: BP ISI Yogyakarta, 1991), 3. 20 Glenn F. Ross, Psikologi Pariwisata (Jakarta: Yayasan Obor, 1998), 188.
12
kunjungan wisata di tempat mereka mendapatkan cinderamata tersebut.21 Oleh karena itu, perubahan bentuk seni lukis batik Tamansari menjadi cinderamata juga didorong oleh keinginan para wisatawan
sebagai
konsumen
untuk
memperoleh
produk
berkualitas, memiliki ciri khas dari Pesanggrahan Tamansari dan kampung Taman khususnya, bervariasi, serta harganya yang murah. Lukisan batik dibuat dalam berbagai variasi bentuk dan ukuran, juga dengan harga yang terjangkau. Tujuannya adalah untuk lebih memudahkan para wisatawan, yang berasal dari luar daerah
dan
mancanegara
saat
membawa
pulang,
serta
menyediakan pilihan yang lebih banyak. Kehadiran dunia pariwisata, baik secara langsung maupun tidak langsung mempengaruhi bentuk kreativitas karya dan gaya pribadi para pelukis batik yang disajikan dalam rangka memenuhi kebutuhan komunitas wisatawan. Bentuk motif karya seni lukis batik yang disajikan sudah mulai mengarah dalam rangka memenuhi kebutuhan wisatawan. Pada awal perkembangannya, para pelukis batik dituntut memiliki daya kreatif dan gaya pribadi sebagai ciri khas pada karya lukisan batiknya. Hal tersebut bertujuan agar karya lukisan batik masing-masing pelukis mudah dikenal oleh masyarakat maupun wisatawan di tengah maraknya
21
179.
Umar Kayam, Seni, Tradisi, Masyarakat (Jakarta: Sinar Harapan, 1981),
13
pelukis batik di kampung Taman.22 Akan tetapi, saat ini pelukis batik mulai meninggalkan atau mengabaikan kreativitas dan gaya pribadi sebagai ciri khas lukisannya. Banyak pelukis batik yang terbuai karena karya yang dihasilkan laku keras serta diminati wisatawan, sehingga mereka melakukan pengulangan dan peniruan pada tema atau motif yang sama dengan pertimbangan pasar yang turistik.23 Seni lukis batik mengalami perlakuan secara massal, yang mana berakibat mutu karya seni lukis batik Tamansari secara tidak langsung menurun drastis. Sebagaimana yang dijelaskan oleh M. Dwi Marianto, jika esensi seni adalah kreativitas, maka pengulangan serta reproduksi secara besar-besaran menunjukkan bahwa seni lukis batik Tamansari tidak lagi dapat disebut sebagai produk kreativitas.24 Latar belakang di atas menunjukkan bahwa kehadiran industri pariwisata menimbulkan dampak sosial, ekonomi, dan menghilangnya kreativitas seni lukis batik Tamansari. Secara langsung atau tidak, seni lukis batik Tamansari telah diseret ke dalam suatu perubahan sebagai seni wisata yang orientasi produknya untuk memenuhi kebutuhan komunitas wisatawan. Wawancara dengan Triyono, pelukis batik, salah satu pendiri Sanggar Kalpika. Pada tanggal 2 Maret 2015, pukul 10.30 - 12.00 WIB, di Wirobrajan Bantul. 23 Wawancara dengan Kompi Setyoko, salah satu pelukis batik di Kampung Taman. Pada tanggal 24 Februari 2015, pukul 13.00 - 14.30 WIB di Water Castle Cafe Kampung Taman. 24 M. Dwi Marianto, Menempa Quanta Mengurai Seni (Yogyakarta: Badan Penerbit ISI Yogyakarta, 2011), 3. 22
14
Oleh karena itu, perlu dikaji sejauh mana kesinambungan dan perubahan fungsi dan bentuk seni lukis batik Tamansari periode tahun 1970 hingga 2014, serta apa saja faktor-faktor yang mempengaruhinya.
B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang tersebut dua masalah yang diajukan dalam tesis ini adalah sebagai berikut: 1. Bagaimana fungsi dan bentuk seni lukis batik Tamansari Yogyakarta sejak tahun 1970 hingga tahun 2014? 2. Faktor-faktor apa yang mempengaruhi kesinambungan dan perubahan seni lukis batik Tamansari Yogyakarta?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian Bertolak dari latar belakang dan rumusan masalah yang telah dikemukakan di atas, penelitian ini secara umum bertujuan mengidentifikasi, mengeksplorasi, dan menjelaskan beberapa hal sehubungan
dengan
permasalahan
yang
telah
dirumuskan.
Adapun tujuannya dapat disebutkan sebagai berikut. a. Mengidentifikasi dan menjelaskan fungsi dan bentuk seni lukis batik Tamansari Yogyakarta periode 1970-2014.
15
b. Mengeksplorasi
dan
menjelaskan
faktor-faktor
yang
mempengaruhi kesinambungan dan perubahan seni lukis batik Tamansari Yogyakarta.
2. Manfaat Penelitian a. Hasil penelitian ini diharapkan mampu memberikan manfaat atau kegunaan dalam perluasan wawasan pengkajian disiplin seni rupa dengan mengutamakan hal-hal sebagai berikut. 1) Menghadirkan wawasan tentang fungsi dan bentuk seni lukis batik Tamansari Yogyakarta yang terjadi pada tahun 1970 hingga tahun 2014. 2) Memberikan pemahaman tentang faktor-faktor yang mempengaruhi kesinambungan dan perubahan fungsi serta bentuk seni lukis batik Tamansari Yogyakarta. b. Memberikan hasil yang dapat dijadikan bahan masukan bagi pihak yang berkaitan dengan perkembangan seni lukis batik
Tamansari
Yogyakarta.
Diharapkan
pada
masa
berikutnya, seni lukis batik Tamansari dapat kembali bergairah, bukan hanya dari kuantitas tetapi juga kualitas karya pelukis batik semakin meningkat. c. Bagi penulis, untuk memahami dan menerapkan teori-teori yang
dipelajari
untuk
menemukan
jawaban
terhadap
16
masalah yang diteliti yaitu tentang kesinambungan dan perubahan fungsi dan bentuk seni lukis batik Tamansari.
D. Tinjauan Pustaka Timbulnya kesadaran masyarakat bahwa batik merupakan media alternatif yang dapat digunakan sebagai media untuk berekspresi secara pribadi, melatarbelakangi lahirnya seni lukis batik. Bagong Kussuadiardja menghasilkan sebuah buku dengan judul Seni Lukis Batik; Sebuah Catatan. Buku ini banyak mengupas perjalanan seni lukis batik di Yogyakarta dari awal kehadirannya sebagai seni murni. Dikatakan bahwa seni lukis batik sudah sejajar haknya, kehadirannya, martabatnya, nilai estetikanya, dengan seni-seni yang menggunakan media lainnya seperti lukisan dan patung.25 Relevansi dengan penelitian ini bahwa para pelukis mengerjakan lukisan batik dengan gaya bebas. Hal ini dapat dijadikan rujukan awal bahwa motif-motif lukisan batik sudah dikeluarkan dari kerangka tradisional. Terkait dengan perjalanan seni lukis batik di Yogyakarta, A.N. Suyanto dalam bukunya Sejarah Batik Yogyakarta, yang merupakan hasil penelitiannya berjudul Seni Batik Yogyakarta Kontinuitas dan Perubahan Bentuk serta Fungsi Akhir Abad XIX-
25
Bagong Kussudiardja, Seni Lukis Batik; Sebuah Catatan (Yogyakarta: Padepokan Press, 1993), 11.
17
Akhir
Abad
XX26
menjelaskan
bahwa
tahun
1970-1980an
merupakan masa gemilang bagi lajunya perkembangan seni lukis batik di Yogyakarta. Ditandai dengan maraknya seniman batik maupun kegiatan pameran yang diselenggarakan di Yogyakarta dan kota-kota lain di Indonesia, bahkan di luar negeri. Dalam penelitian ini diungkapkan bahwa perkembangan seni lukis batik di Yogyakarta menyebabkan tumbuhnya sanggar seni lukis batik terutama
di
daerah
tujuan
wisata
seperti
Pesanggrahan
Tamansari. Namun, secara eksplisit penelitian tersebut tidak membahas secara khusus mengenai seni lukis batik Tamansari. Penelitian lain dilakukan AN. Suyanto di Kampung Taman, Kecamatan Kraton, Yogyakarta dengan judul “Lukisan Batik Tamansari Yogyakarta”.27 Dalam penelitian ini banyak diungkap tentang dampak perkembangan seni lukis batik terhadap ekonomi sosial masyarakat Kampung Taman serta aspek produksi seni lukis batik. AN. Suyanto menuturkan dari segi ekonomi sosial masyarakat Kampung Taman diungkapkan bahwa seni lukis batik memberi peran dalam perbaikan ekonomi dan lingkungan, seperti tampak pada perubahan fisik tempat tinggal kampung Taman, sebagai
cerminan
peningkatan
kesejahteraan
ekonomi
masyarakat. Dari aspek produksi, dijelaskan bahwa para pelukis
Suyanto, 2002, 29. A. N. Suyanto, “Lukisan Batik Tamansari Yogyakarta” (Yogyakarta: Balai Penelitian Institut Seni Indonesia Yogyakarta, 1989), 43-44. 26 27
18
batik menampilkan keberadaannya masing-masing, baik dalam hal latar belakang pendidikan, pengungkapan ide penciptaan, pengambilan
tema,
maupun
pemasaran
karya-karyanya.28
Walaupun penelitian AN. Suyanto tidak mengkaji secara khusus permasalahan kesinambungan dan perubahan seni lukis batik yang disebabkan oleh pariwisata, akan tetapi penelitian ini memiliki relevansi terkait dengan kualitas karya seni yang masih menampilkan nilai seni dan kreativitas seniman seni lukis batik Tamansari. Kajian seni lukis batik Tamansari berupa hasil penelitian untuk skripsi yang berjudul “Kajian Batik Lukis di Tamansari, Kelurahan
Patehan,
Kecamatan
Kraton,
Kota
Yogyakarta”
dilakukan oleh Mesira Dina Latifah.29 Penelitian yang dilakukan pada tahun 2014 ini mengupas tentang presentasi visual, proses pembuatan, dan fungsi batik lukis Tamansari. Penelitian ini memiliki relevansi terkait dengan presentasi visual batik lukis Tamansari yang meliputi gaya yang dekoratif, dan fungsi batik lukis Tamansari berupa fungsi budaya, fungsi pariwisata, fungsi ekonomi, dan fungsi pendidikan. Namun, Mesira Dina Latifah tidak
28
mengkaji permasalahan batik lukis Tamansari dalam
Suyanto, 1989, 43-44. Mesira Dina Latifah, “Kajian Batik Lukis di Tamansari, Kelurahan Patehan, Kecamatan Keraton, Kota Yogyakarta”, Skripsi (Surakarta, Universitas Sebelas Maret, 2014), 93. 29
19
konteks kesinambungan dan perubahannya pada tahun 1970 hingga 2014 yang dipengaruhi oleh pariwisata. Hasil penelitian lain dikemukakan oleh Yulianing, dengan judul “Tinjauan motif dan warna batik produksi CV. Kalpiko Batik di
Tamansari
Yogyakarta”.30
Penelitian
ini
memfokuskan
permasalahan visualisasi batik terkait dengan motif dan warna batik produksi CV. Kalpiko Batik di Taman Sari. Yulianing banyak menyoroti tinjauan motif produksi CV. Kalpiko yaitu batik menggunakan unsur alam sekitar dan ditampilkan lebih luwes dan berfariasi bentuknya. Kemudian warna produksi CV. Kalpiko batik juga menggunakan warna sintetis atau buatan. Namun tulisan ini tidak menyinggung perubahan visualisasi seni lukis batik Tamansari secara keseluruhan karena hanya melakukan tinjauan pada salah satu perusahaan di Kampung Taman yaitu di CV. Kalpiko batik. Keterkaitan dengan penelitian ini adalah tinjauan motif batik pada CV. Kalpiko batik yang merupakan pelopor seni lukis batik di Kampung Taman serta keberadaanya yang masih tetap bertahan hingga saat ini. Terkait dengan pariwisata Ardiyanto menjelaskan batik bersifat universal, merupakan seni tekstil yang fleksibel, yang sangat mudah menghantarkannya pada seni interior, pakaian atau 30
Yulianing, “Tinjauan Motif dan Warna Batik Produksi CV. Kalpiko Batik di Tamansari Yogyakarta”, Skripsi (Yogyakarta, Universitas Negeri Yogyakarta, 2014), 15.
20
bagian dari seni lukis sendiri.31 Ditekankan oleh Ardiyanto bahwa maraknya
industri
pariwisata
di
Indonesia
menyebabkan
munculnya produksi batik printing dan batik lukis secara massal. Produksi besar-besaran ini menyebabkan mutu karya batik lukis merosot. Seperti yang ditulis Amri Yahya, batik sebagai salah satu hasil kesenian dengan nilai-nilai khas masyarakat Indonesia membutuhkan cara penanganan tersendiri. Jangan sampai jati diri dan makna batik yang filosofis menjadi terabaikan oleh kebutuhan batik sebagai cenderamata.32 Berdasarkan pembahasan di atas, kajian dari karya ilmiah yang selama ini telah dilakukan terfokus pada aspek ekonomi, aspek estetika, dan aspek pariwisata. Penelitian yang secara khusus mengkaji kesinambungan dan perubahan bentuk seni lukis
batik
Tamansari
berserta
faktor-faktor
yang
mempengaruhinya belum ada yang membahas secara khusus dan mendalam. Oleh karena itu, topik ini dapat dinyatakan orisinal.
31 Ardiyanto, “Batik Perkembangan pada Era Industri Awal sampai dengan Lukisan Batik Masa Kini”, dalam Soedarso Sp., (ed.), Seni Lukis Batik Indonesia (Yogyakarta: Taman Budaya Yogyakarta dan IKIP Yogyakarta, 1998), 53. 32 Amri Yahya, “Tantangan Batik sebagai Sarana Promosi Pariwisata Memasuki Pergantian Milenium”, dalam Soedarso Sp., (ed.), Seni Lukis Batik Indonesia (Yogyakarta: Taman Budaya Yogyakarta dan IKIP Yogyakarta, 1998), 63.
21
E. Landasan Teori Penelitian
ini
menggunakan
pendekatan
multidisiplin,
dengan meminjam teori dan konsep disiplin ilmu lain yang relevan dengan objek kajian, seperti antropologi, sosiologi, serta estetika. Kesinambungan dan perubahan seni lukis batik Tamansari periode 1970-2014 dengan segala aspek yang terkait di dalamnya dapat dilacak dan dikaji dengan beberapa teori yaitu teori seni pariwisata, teori perubahan sosial, pendekatan estetika, dan pendekatan sejarah. Teori-teori tersebut adalah sebagai berikut. 1) Teori dari R.M. Soedarsono digunakan untuk mengkaji seni lukis batik Tamansari yang dikemas sebagai produk seni wisata.33 2) Teori perubahan sosial dari Arnold Hauser untuk mengkaji faktorfaktor yang mempengaruhi kesinambungan dan perubahan seni lukis batik Tamansari.34 3) Teori estetika dari Edmund Burke Feldman35 dan Sewan Susanto36 untuk mengkaji perubahan fungsi dan bentuk seni lukis batik Tamansari.
4) Pendekatan
sejarah oleh Kuntowijoyo untuk mengetahui tentang sesuatu yang
33
RM. Soedarsono, Seni Pertunjukan Indonesia dan Pariwisata (Bandung: Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia, 1999), 4. 34 Arnold Hauser, The Sociology of Art, Trans. Kenneth J. Nortcott (Chicago and London : The University of of Chicago Press, 1974), 135. 35 Edmund Burke Feldman, Art as Image and Idea (New Jersey: The University of Georgia Prentice Hall, Inc, Englewood Clift, 1967), 219. 36 Susanto, 1980, 212.
22
terjadi sebagai latar belakang seni lukis batik Tamansari di masa lampau yang pernah mengalami kejayaan dan keterpurukan.37
1. Teori Seni Pariwisata Seni Soedarsono,
wisata adalah
seperti seni
yang yang
dikemukakan dikemas
untuk
oleh
R.M.
memenuhi
kebutuhan wisatawan yang memiliki lima ciri khusus, yaitu: (1) tiruan dari seni tradisional yang telah ada; (2) singkat/padat atau bentuk mini dari aslinya; (3) bentuk yang penuh variasi; (4) ditinggalkan nilai-nilai sakral, magis, dan simbolisnya; dan (5) murah harganya.38 Konsep seni wisata tersebut dapat menuntun dan menjawab secara substansial terhadap komunitas pelukis batik Kampung Taman di dalam menciptakan seni lukis batik Tamansari yang orientasi produknya dalam bentuk cenderamata untuk memenuhi kebutuhan komunitas wisatawan. Dengan mengkaji apakah seni lukis batik Tamansari sebagai produk seni wisata memiliki kelima ciri-ciri yang disebutkan di atas, maka akan mendapatkan gambaran yang jelas sampai seberapa jauh pertemuan antara domain pariwisata dengan domain seni lukis batik Tamansari
37
Kuntowijoyo, Metodologi Sejarah (Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogya, 2003), 44. 38 Soedarsono, 1999, 4.
23
sebagai ungkapan ekspresi, sehingga menghadirkan seni lukis batik sebagai produk seni wisata.39
2. Teori Perubahan Sosial Mengingat penelitian ini merupakan penelitian multidisiplin, maka digunakan teori sosial yang relevan dengan objek kajian. Tujuan peminjaman teori sosial dalam penelitian ini karena ilmu sosial
menyediakan
alat-alat
teoretis
dan
konseptual
baru,
sehingga terbukalah perspektif baru. Penelitian ini meminjam teori Arnold Hauser tentang perubahan sosial. Disebutkan dalam teori ini bahwa seni adalah produk sosial, sehingga adanya perubahan dalam dunia seni merupakan produk dari masyarakat yang berubah
pula.
Perubahan
aspek
struktur
seni
lukis
batik
Tamansari sangat dimungkinkan terjadi karena adanya pengaruh yang datang dari dalam maupun dari luar komunitas tersebut.40 Di sisi yang lain, kebudayaan selalu mengalami perubahan dari waktu ke waktu. Lambat atau cepatnya sebuah perubahan tergantung dari dinamika masyarakat itu sendiri. Perubahan kebudayaan dapat terjadi akibat pengaruh faktor-faktor internal yang muncul dari dinamika yang tumbuh dalam kehidupan masyarakat pendukung kebudayaan itu sendiri, atau akibat pengaruh eksternal yang berasal dari luar masyarakat itu 39 40
RM. Soedarsono, 2001, 58-59. Hauser, 1974, 135.
24
sendiri.41 Jika terjadi perubahan sosial dan atau perubahan masyarakat, akan terjadi juga perubahan kebudayaannya, dalam konteks ini penciptaan seni lukis batik Tamansari.42 Landasan teori ini menuntun untuk menganalisis tentang perubahanperubahan budaya termasuk dalam penciptaan seni lukis batik di Tamansari yang mengalami perubahan akibat tantangan dari pengaruh globalisasi, dalam hal ini industri pariwisata.
3. Pendekatan Estetika a. Edmund Burke Feldman Pendekatan permasalahan
estetika
bentuk
seni
digunakan
untuk
lukis
Tamansari.
batik
membahas Dalam
penelitian ini digunakan pendekatan estetika yang disampaikan oleh Edmund Burke Feldman dalam bukunya Art as Image and Idea yang menelaah beberapa aspek, antara lain: 1) fungsi seni, 2) gaya seni, 3) struktur seni, 4) interaksi media dan makna, 5) kritik seni.43 Dari kelima aspek tersebut, yang akan digunakan untuk dalam penelitian ini adalah aspek fungsi dan struktur seni.
41 Sjafri Sairin, “Transmisi Nilai Budaya dalam Dinamika Perubahan”, dalam Humaniora Bulletin (Fakultas Sastra UGM No. VI Oktober-Nopember 1997), 2. 42 Kayam, 1981, 36. 43 Feldman, 1967, 219.
25
Feldman membagi fungsi seni menjadi tiga: (1) Fungsi personal; (2) Fungsi sosial; (3) Fungsi fisik.44 Fungsi personal adalah
seni
sebagai
suatu
alat
atau
bahasa
untuk
mengekspresikan perasaan dan ide-ide, berkaitan dengan situasi yang mendasar, hubungan spiritual dan ekspresi estetis. Fungsi sosial seni adalah karya seni itu memiliki fungsi sosial apabila karya seni itu mencari atau cenderung mempengaruhi perilaku kolektif orang banyak, karya seni itu diciptakan untuk dilihat atau dipakai, digunakan khususnya dalam situasi-situasi umum, karya seni itu mengekspresikan atau menjelaskan aspek-aspek tentang eksistensi sosial atau kolektif sebagai lawan dari bermacammacam pengalaman personal maupun individu. Fungsi fisik lebih mengarah pada bagaimana karya seni dapat berfungsi secara nyata, efektif, aktif, dan sebagaimana mestinya sesuai dengan tujuannya diciptakan. Fungsi fisik seni haruslah mencakup dan memenuhi unsur kegunaan, kefektifan, penampilan, dan memiliki daya tarik bagi pembelinya.45 Wujud visual seni lukis batik Tamansari memperlihatkan bentuk indrawi yang dibuat oleh pelukis batik. Bentuk disebut pula sebagai wujud atau kenyataan yang tampak secara konkret. Dalam bahasa sehari-hari sering digunakan istilah “rupa” untuk menyebut sesuatu yang terwujud. Seni lukis batik Tamansari 44 45
Feldman, 1967, 2-3. Feldman,1967, 70.
26
sebagai salah satu wujud dari seni kerajinan batik memiliki unsur atau elemen seni rupa yang terdiri dari garis, warna, shape, tekstur, gelap terang, dan lain-lain. Dari unsur-unsur ini akan disusun
ke
dalam
prinsip
organisasi
bentuk,
antara
lain:
kesatuan, keseimbangan, ritme, dan proporsi.46 Setiap karya seni rupa pada dasarnya merupakan suatu hasil “ramuan” dari unsurunsur yang disusun sedemikian rupa sehingga “menarik” dan memiliki fungsi tertentu.
b. Sewan Susanto Secara etimologis batik merupakan rangkaian kata “mbat” dan
“tik”.
“Mbat”
adalah
kependekan
dari
kata
membuat,
sedangkan dan “tik” adalah titik. Membatik adalah membuat titik pada kain dengan menggunakan peralatan canting dan sebagai bahan perintangnya adalah malam (wax).47 Jika pengertian batik di atas dihubungkan dengan istilah batik dalam krama inggil (bahasa Jawa halus) disebut “nyerat” (membatik), kemudian istilah “nyerat” ini diterjemahkan menjadi tulis atau menulis dan lukis atau melukis.48 Kemudian diungkapkan juga oleh N. Tirtaamidjaja bahwa pada hakekatnya batik adalah karya seni
Feldman, 221-222. Biranul Anas, Indonesia Indah “Batik” Buku ke-8 (Jakarta: Yayasan Harapan Kita, BP3 Taman Mini Indonesia Indah, 1997), 36. 48 W. Kertcher, Perindustrian Batik di Pulau Jawa dalam A.N Suyanto, Sejarah Batik Yogyakarta (Yogyakarta: Rumah Penerbitan Merapi, 2002), 2. 46 47
27
yang banyak memanfaatkan unsur menggambar ornamen pada kain dengan proses tutup celup. Maksudnya mencoret dengan lilin (malam) pada kain yang berisikan motif-motif ornamentif. Tempo dulu karya seni yang ornamentif dikatakan sebagai karya seni tulis karena sebagian batik dibuat mirip dengan teknis menulis atau menyungging.49 Motif adalah pola, corak pokok yang dipakai sebagai titik pangkal stilasi suatu ornamen yang berfungsi sebagai penghias suatu benda, bidang maupun ruangan sehingga menjadi suatu karya yang harmonis. Adapun pengertian motif batik menurut Susanto adalah kerangka gambar yang mewujudkan batik secara keseluruhan. Motif batik disebut juga corak batik atau pola batik.50 Sesuai dengan unsur-unsurnya, motif batik terdiri atas dua bagian utama, yaitu ornamen51 motif dan isèn- isèn.
1) Motif Hias Ornamen adalah suatu hiasan (elemen dekorasi) yang diperoleh dengan meniru atau mengembangkan bentuk-bentuk yang ada di alam, yang merupakan ungkapan perasaan yang diwujudkan dalam karya seni rupa yang diterapkan sebagai pendukung konstruksi, pembatas, simbol, dengan tujuan utama
49 50 51
N. Tirtaamidjaja, Batik (Jakarta: Penerbit Jambatan, 1966), 3. Susanto, 1980, 212. Susanto, 1980, 212.
28
menambah keindahan benda yang ditempati. Motif hias batik dapat meliputi
dua unsur utama yaitu ornamen utama dan
ornamen pengisi (tambahan). Pertama, ornamen utama
adalah
suatu ragam hias yang menjadi corak utama dari keseluruhan motif yang memiliki makna (jiwa) dari motif tersebut. Kedua, ornamen
pengisi
bidang
(ornamen
tambahan),
Ornamen
tambahan tidak mempunyai arti dalam pembentukan motif, namun berfungsi sebagai pengisi bidang untuk memperindah ragam hias (motif) batik secara keseluruhan.
2) Isèn- isèn Isèn-isèn
merupakan
motif
tambahan
yang
dapat
memberikan keluwesan dan sebagai pengisi motif pokok. Isèn motif batik, yaitu berupa titik-titik, garis-garis, gabungan titik dan garis dan berfungsi sebagai pengisi ornamen-ornamen dari motif atau
mengisi
bidang
diantara
ornamen-ornamen
tersebut.
Ornamen isian ini tidak memiliki arti khusus apapun dan hanya menambah keindahan suatu motif.52
52
Susanto, 1980, 212
29
4. Pendekatan Historis Pendekatan historis oleh Kuntowijoyo menjelaskan secara diakronis yang meneliti gejala-gejala memanjang dalam dimensi waktu, tetapi dalam ruang yang terbatas yaitu upaya pelukis batik Kampung Taman yang mampu bertahan hingga saat ini. Adapun secara sinkronis meneliti gejala-gejala yang meluas dalam ruang, tetapi dalam waktu yang terbatas yaitu keberadaan seni lukis batik Tamansari sejak tahun 1970 hingga tahun 2014, dimulai dengan gambaran tentang lingkungan material dan historis, kemudian sumber-sumber produksi, serta hubungan sosial yang timbul karena latar belakang itu.53 Teori pembahasan
dan
konsep-konsep
maupun
di
analisisnya
atas dapat
dalam
penerapan
digunakan
secara
bersamaan untuk saling melengkapi, agar terjawab permasalahan dalam penelitian ini yang meliputi kesinambungan dan perubahan seni lukis batik Tamansari.
F. Metode Penelitian Berdasarkan
rumusan
masalah
yang
diajukan
dalam
penelitian, maka jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian kualitatif. Penelitian kualitatif ini menggunakan metode deskriptif analitis, yaitu metode penelitian untuk mempelajari masalah53
Kuntowijoyo, 2003, 44.
30
masalah dalam masyarakat, serta yang berlaku dalam masyarakat tentang hubungan, kegiatan, pandangan, dan proses-proses yang berlangsung serta pengaruh dari suatu fenomena.54 Pengambilan data bersumber dari wawancara, catatan lapangan, hasil rekaman sebagai data primer, dan berbagai dokumen seperti katalog pameran serta artikel pada majalah dan koran sebagai data sekunder. Bentuk terakhir inilah kemudian dianalisis sesuai dengan tujuan penelitian sehingga menghasilkan kesimpulan.55
1. Batasan Objek dan Subjek Penelitian Penelitian ini mengambil objek seni lukis batik Tamansari, baik motif batik abstrak dinamis, motif batik gabungan, motif batik lukisan, dan motif batik dari cerita lama. Perkembangan hasil karya seni lukis batik dengan motif batik abstrak dinamis, motif batik gabungan, motif batik lukisan, dan motif batik dari cerita lama ini dapat menunjukkan adanya perubahan bentuk seni lukis batik Tamansari akibat pengaruh dunia industri pariwisata. Subjek kajian penelitian ini adalah tokoh penting yang diduga dapat memberikan kontribusi, antara lain: a) para pelukis batik di kampung Taman, b) seniman, budayawan, dan pengamat
Moh. Nazir, Metode Penelitian (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1988) 63-64. Nyoman Kutha Ratna, Metodologi Penelitian; Kajian Budaya dan IlmuIlmu Humaniora pada Umumnya (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), 337. 54 55
31
seni yang paham terhadap perkembangan seni lukis batik Tamansari, c) para pengusaha dan pemilik galeri-galeri seni, d) tokoh masyarakat, d) pemandu wisata, e) wisatawan, dan f) masyarakat
umum
yang
memiliki
komitmen
terhadap
perkembangan seni lukis batik Tamansari.
2. Spasial dan Temporal Penelitian Penelitian ini dilakukan dalam batasan wilayah seni lukis batik meliputi artshop batik yang tersebar di Kampung Taman. Lokasi penelitian dipusatkan di RW 08, RW 09, dan RW 10 Kampung Taman, Kelurahan Patehan, Kecamatan Kraton, Kota Yogyakarta. Pemilihan lokasi ini didasarkan pertimbangan bahwa pada lokasi tersebut diketahui sanggar Kalpika didirikan di sana dan banyak terdapat pelukis batik yang menetap di daerah tersebut. Batasan waktu penelitian ini yaitu pada periode tahun 1970 sampai dengan tahun 2014. Dimulai tahun 1970-an dikarenakan merupakan masa-masa keemasan kebangkitan seni lukis batik Tamansari, yang ditandai dengan banyaknya kegiatan pameran dan publikasi di berbagai media tentang Tamansari
sebagai
karya seni yang
seni lukis
batik
digandrungi wisatawan
mancanegara maupun dalam negeri, di antaranya di media cetak majalah dan koran.
32
3. Teknik Pengumpulan Data Sesuai dengan karakterisik topik penelitian, jenis penelitian ini masuk dalam kategori penelitian kualitatif. Untuk mengkaji permasalahan penelitian, maka penelitian kualitatif ini dilakukan tahap-tahap pengumpulan data sebagai berikut. a. Melakukan studi pustaka untuk mendalami sumber-sumber pustaka yang relevan dengan masalah yang diteliti. Untuk mendapatkan
data
yang
diperlukan,
diusahakan
dari
bermacam sumber data kualitatif, yaitu: 1) sumber tertulis; 2) sumber lisan; 3) artefak; 4) peninggalan sejarah; dan 5) rekaman.56 Studi pustaka dilakukan untuk memperkuat pendapat pendapat yang diperoleh dari narasumber (informan kunci) di lapangan. Studi pustaka secara ilmiah dapat dipertanggung- jawabkan kesahihannya. b. Melakukan pengamatan lapangan, yakni dengan menggali data visual dari lukisan-lukisan batik di kampung Taman, baik yang diperoleh dari koleksi museum, galeri, Perpustakaan Daerah, Perpustakaan Balai Batik dan Kerajinan, maupun koleksi pribadi pelukis batik kampung Taman. Hasil karya terbaru seni lukis batik yang ditemui di studio-studio pelukis, atau artshop di kampung Taman juga dapat menjadi objek pengamatan. Pengamatan lapangan perlu dilakukan untuk 56 RM. Soedarsono, Metodologi Penelitian Seni Pertunjukan dan Seni Rupa (Bandung: Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia, 2001), 128.
33
mengetahui dalam konteks kesinambungan dan perubahan fungsi dan bentuk seni lukis batik Tamansari. c. Pelacakan dokumentasi yakni data berupa informasi tertulis, manuskrip atau dokumen, gambar berupa foto yang dapat diperoleh dari beberapa seniman batik, sumber tertulis dalam buku, jurnal, majalah, dan surat kabar mengenai seni lukis batik Tamansari pada periode tahun 1970-2014. Pengambilan data visual dilakukan dengan pemotretan. Data tekstual dan visual ini sangat penting karena data tertulis maupun data visual dapat dihimpun dengan fokus pada material, proses, sampai pada hasil produksi, dan kondisi sosial pendukung seni lukis batik Tamansari. Adapun dalam proses pelacakan dokumentasi ini menemui beberapa kendala, diantaranya: (1) data visual lukisan batik yang diproduksi mulai tahun 1970-an hingga 2000-an sulit didapatkan, dikarenakan pada dasarnya pelukis batik memproduksi lukisan batik untuk dijual maka setelah
produk
tersebut
berhasil
terjual
maka
sedikit
dokumentasi visual yang didapatkan; (2) pengumpulan data kuantitatif mengenai jumlah omset atau pendapatan yang diterima oleh pelukis batik di Kampung Taman sangat minim, dikarenakan pelukis batik enggan untuk memberi informasi mengenai jumlah pendapatan mereka, sehingga data tersebut hanya bisa didapatkan melalui wawancara.
34
d. Wawancara dengan informan kunci. Dalam konteks penelitian ini wawancara dilakukan dengan cara mengadakan pertemuan secara langsung dan terbuka (open interview) antara peneliti dan narasumber. Instrumen yang digunakan pada wawancara adalah pedoman wawancara, daftar pertanyaan, alat rekam, kertas, dan pena. Wawancara diadakan pada informan yang dipandang memiliki kompetensi dan memahami permasalahan seni lukis batik Tamansari, seperti pelaku seni (pelukis dan pembatik),
pedagang
batik,
tokoh
masyarakat,
pemandu
wisata, masyarakat umum yang memiliki komitmen terhadap pelestarian
seni
lukis
batik
Tamansari
dan
wisatawan.
Penentuan informan dalam penelitian ini mengacu pada konsep yang dikemukakan oleh Spradley yang pada prinsipnya menghendaki seorang informan harus paham pada budaya yang dibutuhkan. Penentuan informan dilakukan dengan model snowballing, yaitu mengutamakan informasi informan sebelumnya untuk mendapatkan informan berikutnya hingga mendapatkan data maksimal.57
4. Analisis Data Analisis data dalam penelitian kualitatif adalah upaya yang dilakukan dengan jalan bekerja dengan data, mengorganisasikan 57 James P. Spradley, Metode Etnografi (Yogyakarta : PT Tiara Wacana, 1987), 61.
35
data, memilah-milahnya menjadi satuan yang dapat dikelola, mensintesiskannya, mencari dan menemukan pola, menemukan apa yang penting dan apa yang dipelajari, dan memutuskan apa yang dapat dipresentasikan kepada orang lain.58 Dalam penelitian ini, model yang digunakan mengacu pada Miles dan Huberman, bahwa analisis data terdiri tiga kegiatan, yaitu reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan, ketiganya saling berkaitan satu sama lain.59 Proses reduksi data dilakukan dengan menelaah hasil data yang
diperoleh
melalui
teknik
observasi,
wawancara
dan
dokumentasi tersebut dirangkum, sehingga dapat digolongkan, diarahkan, diorganisasikan dan membuang data yang tidak relevan. Kemudian, data tersebut dikategorisasi ke dalam satuansatuan yang telah disusun. Data disusun dalam bentuk deskripsi yang terperinci, hal ini untuk menghindari makin menumpuknya data yang akan dianalisis sebelumnya. Langkah berikutnya setelah reduksi data selesai adalah menyajikan data yang diperoleh dari berbagai sumber, kemudian dideskripsikan dalam bentuk uraian atau kalimat-kalimat yang sesuai
dengan
pendekatan
penelitian.
Penyajian
data
pada
penelitian ini disusun berdasarkan wawancara, dokumentasi,
58 Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif; Edisi Revisi (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2007), 248. 59 Moleong, 2007, 307.
36
observasi, dan analisis dokumen. Data yang tersaji dalam bentuk uraian kemudian disimpulkan, sehingga diperoleh catatan yang sistematis
dan
bermakna
sesuai
dengan
fokus
penelitian.
Kesimpulan yang dapat diambil tidak menyimpang dari data yang dianalisis.
G. Sistematika Penulisan Sistematika penulisan karya ilmiah ini dibagi menjadi lima bab pokok kajian, sebagai berikut: Bab I merupakan pengantar penelitian, yang menyampaikan latar belakang dan alasan, yang dijadikan dasar ditetapkannya objek
material
seni
lukis
batik
Tamansari
serta
rumusan
masalahnya. Tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan pustaka, landasan
teori,
metode
penelitian, dan
diakhiri
sistematika
penulisan, juga dijelaskan dalam bab pertama ini. Bab II berisi penjelasan mengenai tinjauan umum kawasan studi yang meliputi (A) sejarah kampung dan penamaannya, (B) kondisi geografis, dan (C) sistem sosial masyarakat. Bab III berisi deskripsi hasil dan pembahasan tentang melacak jejak perkembangan seni lukis batik yang meliputi (A) batik dan perkembangannya, (B) kemunculan seni lukis batik di Yogyakarta, dan (C) keberadaan seni lukis batik Tamansari.
37
Bab
IV
memberikan
penjelasan
dan
analisis
tentang
kesinambungan dan perubahan seni lukis batik Tamansari serta faktor yang mempengaruhinya, terdiri dari (A) kesinambungan dan perubahan fungsi dan bentuk seni lukis batik Tamansari periode tahun 1970-2014, dan (B) faktor-faktor yang mempengaruhi kesinambungan dan perubahan seni lukis batik Tamansari. Bab V sebagai akhir atau penutup, akan memaparkan kesimpulan berdasarkan hasil dan pembahasan yang diperoleh dalam penelitian ini, serta saran-saran yang berpijak pada temuan di lapangan.