BAB I PENGANTAR
A. Latar Belakang Setiap negara memiliki warisan luhur budaya yang tidak ternilai dan menjadi kebanggaan tersendiri baik bagi pemiliknya maupun
semua
memunculkan
pihak.
rasa
yang
Keadaan
ini
mewajibkan
sudah semua
sewajarnya pihak
untuk
melindungi dan menjaganya dari kerusakan dan kepunahan.1 Kata „budaya‟ dalam kalimat di atas dipakai sebagai objek kalimat karena dapat menunjukkan arti penting kedudukannya bagi semua pihak, bahkan termasuk bagi sebuah negara. Kata „budaya‟ dalam bahasa Indonesia merupakan sebuah kata dasar yang berjenis kata sifat. Ketika kata itu mendapat awalan dan akhiran [ke-/-an] menjadikannya sebagai sebuah kata benda, yaitu kebudayaan. Perubahan kata „budaya‟ menjadi kata „kebudayaan‟
sudah
barang
tentu
menimbulkan
perbedaan
pengertian di antara keduanya. Pengertian dan deskripsi kata „budaya‟ maupun „kebudayaan‟ telah disampaikan para akademisi, budayawan, maupun para pakar di bidang seni. Buku-buku bidang ilmu sosial humaniora 1Timbul
Haryono, ”Peran Masyarakat Intelektual dalam Penyelematan dan Pelestarian Warisan Budaya Lokal”, Pidato Ilmiah dalam rangka Dies Fakultas Ilmu Budaya UGM ke-63 tanggal 3 Maret 2009, 10.
1
2
sudah banyak mempublikasikan tentang pengertian kata-kata tersebut. Salah satu buku yang menerangkan pengertian asal kata budaya adalah tulisan S. Padmosoekotjo, seorang tokoh dalam dunia
sastra Jawa. Menurutnya, kata „budaya‟ berasal dari
bahasa Jawa budaya yang memiliki akar kata [bu-] berarti sifat atau keadaan dan kata daya artinya budi, nalar, dan pikiran. Jika keduanya digabung menjadi budaya bisa berarti keadaan yang dihasilkan dari budi, nalar, dan pikiran.2 Pendapat itu memang berasal dari latar belakang kata-kata dalam bahasa dan budaya Jawa, bahkan runutan kata Bahasa Jawa budaya berasal dari bahasa Sansekerta buddhayah yang berasal dari kata buddhi (akal, budi) dan dhayah (kekuatan). Jadi jika digabungkan berarti kekuatan dari akal.3 Penggabungan atau pemadatan dua kata atau lebih, yaitu buddhi dan dhayah, dalam bahasa Jawa dikenal dengan istilah jarwodhosok (dua kata yang digabung menjadi satu kata untuk sebuah pengertian). Kata „budaya‟ dalam bahasa Indonesia dimungkinkan penyerapan kata dari bahasa Sansekerta tersebut, sehingga dihasilkan pengertian yang
lebih
luas,
yaitu
kekuatan
pikiran
manusia
dalam
menghasilkan sesuatu. 2S.
Padmosoekotjo, Ngengrengan Kesusasteraan Djawa, (Yogyakarta: tanpa penerbit, 1958), 8. 3Bandingkan dengan pendapat P.J. Zoetmulder, seorang tokoh dan peneliti Sastra Jawa, khususnya Sastra Jawa Kuna yang dikutip oleh Koentjaraningrat, dalam Budiono Herusatoto, Simbolisme Jawa, (Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2008), 9-10.
3
Penelusuran peneliti tentang pengertian kata „budaya‟ dalam bahasa Jawa dilakukan melalui Kamus Boesastra Djawa. Kamus ini menyebutkan kata boedaja berasal dari bahasa Kawi yang artinya nalar (nalar), panemu (pendapat, pemikiran), angen-angen (pikiran), sedang kata kabudayan yang berasal dari bahasa Jawa Kuna diartikan babaring nalar pambudining manungsa maujud kagunan, kapinteran, kawruh lan sakpanunggaling (hasil akal pikiran
manusia
pengetahuan,
yang
dan
berupa
lainnya).4
manfaat, Perbedaan
kepandaian, dengan
ilmu
pendapat
sebelumnya, adalah munculnya kata „manusia‟ sebagai penghasil akal dan pikiran. Munculnya manusia yang dihubungkan dengan pengertian budaya di atas jelas dengan landasan bahwa hanya manusialah makhluk hidup di dunia yang diberi anugerah akal, budi, pikiran. Pernyataan ini dibuktikan dengan munculnya slogan “manusia adalah makhluk budaya”, artinya manusia adalah makhluk berbudaya, sehingga hasil budaya adalah hasil produk manusia. Koentjaraningrat menerangkan bahwa konsep kebudayaan harus diartikan secara luas. Berangkat dari pendapatnya tentang wujud kebudayaan yang dikelompokan menjadi tiga kategori, yaitu yang
pertama,
ide,
gagasan,
norma,
nilai-nilai,
peraturan-
W.J.S. Poerwodarminta, Baoesastra Djawa, (Groningen, Batavia: J.B. Wolters‟Uitgevers Maatschappij. N.V., 1939), 51. 4
4
peraturan. Kedua, aktivitas yang kompleks dan berpola yang dilakukan oleh manusia dalam lingkungannya, dan ketiga, hasil karya atau produk aktivitas yang dihasilkan manusia, baik berupa benda atau wujud fisik maupun bukan kebendaan. Konsep budaya tidak boleh hanya berhenti sampai di situ saja. Jika ingin mengartikan konsep budaya secara luas, maka kebudayaan diberi pengertian sebagai segala aktivitas manusia dalam kehidupannya.5 Berdasarkan ketiga wujud kebudayaan di atas, menurut Koentjaraningrat sebenarnya isi dari semua kebudayaan tersebut secara umum meliputi tujuh unsur, yaitu sistem religi, sistem dan organisasi
kemasyarakatan,
sistem
pengetahuan,
bahasa,
kesenian, sistem mata pencaharian hidup, serta sistem teknologi dan peralatan. Ketujuh unsur tersebut masing-masing bisa dipecah
menjadi
sub-sub
unsur
yang
menunjukkan
ruang
lingkupnya.6 Topik penelitian ini membahas salah satu dari produk budaya manusia yang berwujud kesenian, khususnya seni pertunjukan rakyat. Kajian seni pertunjukan rakyat berupa bentuk tembang. Pengertian kata „tembang‟ adalah (1) syair yang diberi lagu (untuk dinyanyikan), nyanyian. (2) puisi.7 Kata „tembang‟ dalam bahasa 5Koentjaraningrat, Kebudayaan Mentalitet dan Pembangunan. (Jakarta: PT Gramedia, 1985), 1-2 dan 5-6. 6 Koentjaraningrat, 1985, 2. 7 Tim Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) edisi ke-4 oleh Tim Pusat Bahasa. (Jakara: PT Gramedia, 2008), 1430.
5
Jawa juga memiliki pengertian syair, nyanyian, puisi. 8 Jadi, pembahasan tentang tembang meliputi dua unsur, yaitu syair dan lagu. Keduanya merupakan satu kesatuan apabila disebut dengan istilah tembang. Topik „tembang‟ dalam penelitian ini dikaitkan sebagai salah satu unsur dalam pertunjukan bernama Dolalak9. Nama bentuk seni ini merupakan salah satu produk budaya berupa seni pertunjukan tradisional yang populer dan masih berkembang baik di wilayah Kabupaten Purworejo Propinsi Jawa Tengah. Bentuk seni pertunjukan ini memiliki banyak persamaan dengan bentuk seni pertunjukan bernama Angguk10. Fokus topik penelitian ini adalah pada pembahasan tembangtembang yang digunakan dalam pertunjukan Dolalak. Keberadaan tembang dalam pertunjukan ini memiliki peran yang penting, khas, unik, dan ikut mendukung kepopuleran seni pertunjukan
S. Prawiroatmodjo, Bausastra Jawa-Indonesia. (Jakarta: Toko Gunung Agung, 1980), 745. 9Penulisan kata „Dolalak’ dalam penelitian ini ditulis menurut aturan Pedoman Ejaan Bahasa Jawa Huruf Latin yang disempurnakan, Tim Balai Bahasa Yogyakarta, (Yogyakarta: Balai Bahasa Yogyakarta, 2010), Meskipun kata „Dolalak’ tidak ditemukan dalam Berbagai Kamus Bahasa Jawa, namun diyakini bahwa kata ini hidup dalam lingkungan produk budaya Jawa. Data penelitian, baik tulis maupun lisan, kata „Dolalak’ ada yang ditulis dengan „ndolalak‟, „dholalak‟, „ndholalak‟ juga ‟dolalak‟. Konsonan [n] maupun [N] yang muncul sebenarnya hanya berfungsi sebagai huruf pelancar, bukan sebagai nasal. 10 Seni pertunjukan Angguk pada masa sekarang ini banyak berkembang dan tersebar di wilayah Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, khsusnya Kabupaten Kulonprogo, Kabupaten Sleman bagian barat, dan Kabupaten Bantul bagian barat juga. 8
6
Dolalak. Kepopulerannya tersebut mengakibatkan muncul istilah tersendiri untuk menyebutnya, yaitu tembang Dolalak. Jadi, tembang Dolalak memiliki maksud dan pengertian sebagai syair dan lagu yang dinyanyikan untuk pertunjukan Dolalak.11 Peran besar tembang dalam pertunjukan Dolalak, khususnya bagian syair-syair, ditunjukkan juga dengan menyebut tarian Dolalak sebagai tarian syair. Penelitian tembang dalam hal ini dikaji dalam konteks sebagai unsur pendukung sebuah seni penampilan (performance studies). Hal ini dilakukan untuk melihat penggunaannya dalam seni pertunjukan rakyat dalam rangka mewujudkan estetika tertentu. Kajian-kajian terhadap seni penampilan selama ini sudah banyak dilakukan terhadap seni pertunjukan rakyat di Indonesia. Fokus kajiannya pun beragam, misalnya mengungkap struktur, bentuk, fungsi, ekspresi, kreativitas, estetika, dan lainnya. Data penelitian tembang Dolalak ini berasal dari dua sumber, yaitu sumber tertulis dan sumber lisan. Sumber tertulis diperoleh
melalui
naskah
kumpulan
catatan
tertulis
yang
dilakukan oleh pihak-pihak yang peduli keberadaan tembang Dolalak ini,
di antaranya
tokoh R. Tjipto Siswojo yang berasal
dari Kelompok Seni Dolalak “Budi Santosa” Desa Kaliharjo Istilah „Syair Tembang Dolalak’ dipilih untuk membedakan syair yang berbentuk puisi yang tidak dinyanyikan, meskipun perbedaan di antaranya tipis. Kata „tembang‟ dirasakan lebih tepat dipakai untuk mendapat kesan latar bahasa dan budaya Jawa. 11
7
Kecamatan Kaligesing Purworejo. Sejak tahun 1970an tokoh ini mulai mendokumentasikan secara tertulis syair-syair tembang Dolalak dari berbagai pertunjukan. Sampai dengan tahun 2010, tokoh ini berhasil mendokumentasi tidak kurang dari 210 syair atau lirik tembang Dolalak. Judul-judul tersebut dituliskannya dalam wujud empat buah buku dengan menggunakan tulis tangan, buku pertama berisi 36 judul, buku kedua berisi 47 judul, buku ketiga berisi 61 judul, dan buku keempat berisi 66 judul. Sumber tertulis lainnya berasal dari catatan-catatan milik pribadi pelaku seni. Pengumpulan data-data syair tembang Dolalak yang berasal dari sumber lisan diperoleh dengan cara wawancara kepada pelaku seni Dolalak yang tersebar di beberapa wilayah Kabupaten Purworejo, di antaranya pelaku seni atau kelompok-kelompok Dolalak
dari
wilayah
Kecamatan
Purwodadi,
Purworejo, Kaligesing, Loano, Gebang, Kutoarjo,
Banyuurip, Bagelen, dan
Bruno. Data-data sumber lisan ini dipakai untuk melengkapi data sumber tertulis sekaligus untuk memperkuat keberadaan lirik-lirik tembang tersebut. Penelitian ini menawarkan perspektif baru dalam kajian seni pertunjukan,
yaitu
dengan
menggunakan
pendekatan
dekonstruksi. Pendekatan ini dipilih karena menawarkan cara pandang baru dalam pemahaman terhadap keberadaan seni
8
pertunjukan. Penggunaan pemikiran secara dekonstruksi dapat menemukan konstruksi atau segala sesuatu pemikiran yang selama ini sudah ada, mencari kontradiksi-kontradiksi dari pemikiran
yang
ada
tersebut
dengan
kenyataan,
serta
mengungkapkan perspektif baru dalam pemahaman terhadap terhadap sebuah karya seni. Dekonstruksi menurut Derrida dijelaskan melalui ilustrasi bahwa ada hal yang berbeda antara kenyataan dalam tulisan (writing)
dengan
kenyataan
yang
ada
di
pusat
pikiran
(logocentrism) ketika menghadapi sebuah peristiwa. Perbedaan dalam kenyataan seperti diungkapkan di atas dapat digali dengan mencari kontradiksi-kontradiksi di antara keduanya.12 Kata „dekonstruksi‟ dalam bahasa Indonesia berasal dari kata „konstruksi‟ yang artinya susunan, sedang suku kata de- diartikan sebagai
„penurunan
„dekonstruksi‟ penghancuran
(tingkat),
diartikan
sebagai
konstruksi
yang
penghancuran‟. penurunan sudah
ada
Jadi
kata
susunan
atau
sebelumnya.13
Penggunaan suku kata de- untuk mengawali kata dalam bahasa Indonesia,
selain
kata
„dekonstruksi‟,
juga
ada
pada
kata
„degenerasi, dehidrasi, demarolisasi‟, dan lainnya. Ketiga kata 12Pendapat
Jacques Derrida ini dikutip oleh Jonathan Culler dalam buku On Deconstruction. Theory and Criticism after Structuralis. (London, Melbourne and Henley: Routledge and Kegan Paul, 1983), 8991. 13Saifur Rohman. Dekonstruksi: Desain Penelitian dan Analisis. (Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2014), 1.
9
tersebut
berarti
menunjuk
arti
pada
penurunan
atau
pengurangan. Dekonstruksi pada dasarnya adalah cara untuk membawa kontradiksi-kontradiksi yang bersembunyi di balik konsep-konsep dan keyakinan yang
selama ini melekat pada dirinya sendiri.
Pendekatan dekontruksi menawarkan sebuah pemikiran tentang cara membaca sebuah teks yang menumbangkan anggapananggapan yang pernah ada sebelumnya. Caranya dengan menolak pandangan bahwa bahasa telah memiliki makna yang pasti, tertentu, dan konstan. Bahasa dalam hal ini sebagai alat pembacaan teks. Teks yang dibaca tidak hanya wujud teks kebahasaan (linguistik) saja, tetapi dapat berupa teks-teks lain, termasuk teks seni pertunjukan.14 Objek
penelitian
ini
adalah
seni
pertunjukan
Dolalak,
khususnya pada kajian unsur tembangnya. Unsur pertunjukan berupa tembang Dolalak adalah sebuah bentuk nyanyian untuk mengiringi sajian pertunjukan. Nama seni pertunjukan yang diiringinya adalah Dolalak. Seni ini berkembang dan populer di wilayah
Kabupaten
Purworejo
Propinsi
Jawa
Tengah.
Arah
penelitian ini adalah mencari bentuk estetika dan kreativitas seni pertunjukan
Dolalak
dilihat
dari
kajian
unsur
tembang-
Saifur Rohman, (2014, 2-5) berisi rangkuman berbagai pendapat tentang pengertian dekonstruksi sebagai pendekatan atau metode penelitian. 14
10
tembangnya. Pencarian bentuk estetika ini dimaksudkan untuk menggali kemungkinan adanya „hal-hal tersembunyi‟ dari teks pertunjukan tersebut, karena sebuah teks bisa mengandung banyak makna. Batasan pengertian tentang seni pertunjukan tradisional sulit diperoleh,
maka
yang
bisa
dilihat
adalah
ciri
khas
yang
dimilikinya, seperti berasal dari produk kolektif, berasal dari turun-temurun antar generasi, dimiliki, dilakukan, dijaga, dan dipertahankan bersama-sama. Kehadirannya juga dalam rangka untuk kepentingan bersama-sama pula. Kata „tradisional‟ secara etimologi (ilmu asal kata) kata „tradisional‟
berasal
dari
kata
„tradisi‟
yang
bisa
diartikan
kebiasaan, perilaku yang dihasilkan secara turun-temurun, atau pun kegiatan-kegiatan yang sudah rutin dilakukan dari masamasa sebelumnya.15 Jadi, untuk menjelaskan ruang lingkup seni pertunjukan tradisional adalah segala sesuatu yang berupa seni pertunjukan rakyat yang berasal dari turun-temurun. Perspektif
dekonstruksi
dalam
kegiatan
penelitian
seni,
khususnya seni pertunjukan rakyat, tidak hanya berhenti pada mengungkap bentuk-bentuk teks kebahasaannya saja namun juga teks pertunjukannya secara keseluruhan. Hal ini sejalan dengan Pengertian kata „tradisi‟ dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) edisi ke-4 oleh Tim Pusat Bahasa, (Jakara: PT Gramedia, 2008), 1483, diartikan adat kebiasaan turun temurun (dari nenek moyang) yang masih dijalankan masyarakat. 15
11
pendapat Edi Sedyawati, bahwa sebuah kegiatan pengkajian seni memerlukan dukungan ilmu dasar antropologi karena kehadiran bentuk kesenian dalam masyarakat memunculkan arti penting yang
berbeda-beda
dalam
masing-masing
masyarakat.
Oleh
karena itu, kajian di bidang kesenian memerlukan keterpaduan pendalaman terhadap teori seni itu sendiri, filsafat seni, teori kebahasaan, teori sosial, estetika, dan lainnya.16 Alasan yang dipakai oleh Edi Sedyawati dalam pernyataan di atas adalah adanya sebuah kenyataan bahwa kesenian sering diidentikkan komponen
sebagai
bentuk
pembentuk,
yaitu
pranata
yang
perangkat
kedudukan pelaku seni, serangkaian
memiliki
nilai
dan
empat konsep,
tindakan berpola dan
terstruktur dalam hubungan kegiatan seni, serta benda-benda yang berkaitan dengan proses berseni, baik alat maupun hasil. 17 Oleh karena itu, kajian seni secara komprehensif dari berbagai bidang keilmuan diperlukan untuk mempertajam hasil. Sejalan konsep pemikiran Geertz, kajian seni pertunjukan rakyat
melalui
digunakan
pendekatan
sebagai
sarana
dekontruksi untuk
melihat,
diharapkan memahami,
dapat dan
menghayati perbedaan pandangan hidup serta perilaku manusia pemiliknya pada masa lalu dan masa kini. Jika pemiliknya bersifat Edi Sedyawati, Budaya Indonesia Kajian Arkeologi, Seni, dan Sejarah. (Jakarta: Rajawali Pers, 2012), 125-126. 17 Edi Sedyawati, 2012, 125-126. 16
12
kolektif maka dapat digunakan untuk memahami kebiasaan dan norma-norma yang berlaku pada kelompok etnis masyarakat tertentu.18 Hal ini disebabkan suatu ekspresi budaya pada dasarnya tidak lepas dari pernyataan bahwa keaslian sebuah budaya itu berwujud gagasan, pikiran, konsep, norma-norma, serta pandangan lokasi dalam kebudayaan yang bersangkutan. 19 Keberadaan tembang Dolalak memiliki peran, fungsi, dan makna
tertentu
berhubungan
dalam
dengan
pertunjukannya,
penggunaannya
dalam
di
antaranya
ragam
gerak
tariannya, sarana pemanggilan indang20 „roh suci‟ dalam sajian trance, penyampian pesan, dan lainnya. Oleh karena itu, peran unsur tembang dalam pertunjukan Dolalak ini cukup menonjol. Bentuk syair atau lirik tembang Dolalak mirip dengan bentuk puisi dalam kesusasteraan Indonesia, bernma pantun dan syair. Pantun adalah bentuk puisi Indonesia yang berasal dari
Clifford Geertz, The Interpretation of Cultures (New York: Basic Book, 1973), 452. 19 Pandangan dan pendapat Geertz di atas sejalan dengan pendapat Ayat Rohaedi dalam bukunya Kepribadian Budaya Bangsa (Bandung: Pustaka Jawa, 1986), 83. 20 Di lingkungan kelompok seni pertunjukan Dolalak, kata „Indang’ berarti roh suci yang berasal dari orang yang telah meninggal. Diistilahkan dengan roh suci karena dipercayai bahwa roh manusia yang meninggal itu bukan sembarang orang, namun orang yang dianggap terpandang di masyarakat pada masa lalu. Tokoh R. Tjipto Siswojo sebagai narasumber menjelaskan bahwa roh yang masuk ke tubuh penari Dolalak pada waktu trance bukan roh sembarangan, melainkan roh suci yang dianggap juga sebagai pemiliki kelompok kesenian itu. Tokoh ini juga menegaskan bahwa roh tersebut bukan dengan sebutan Dhanyang „roh penunggu‟ karena kalau dengan istilah itu bisa untuk menyebut bukan hanya roh manusia, namun roh binatang juga. 18
13
Melayu, terdiri dari empat baris, bersajak a, b, a, b, setiap baris biasanya berisi empat kata. Baris pertama dan kedua berisi sampiran atau tumpuan, sedang baris ketiga dan keempat berisi isi. Pantun diciptakan bertujuan menyampaikan isi dengan baik, untuk itulah harus digunakan tumpuan kalimat yang indah dan khusus.21 Jenis pantun dikelompokkan menjadi dua, berkait,
adalah
berupa
rangkaian
pantun
yaitu pantun yang
sambung
menyambung artinya ada larik atau baris yang muncul lagi pada bait-bait berikutnya, diulang-ulang
meskipun tidak berpola
tertentu. Jenis kedua, adalah pantun kilat yaitu pantun yang terdiri dari dua baris saja, bersajak a, a, baris pertama berupa tumpuan atau sampiran, sedangkan baris kedua berupa isi atau karmina.22 Pengertian syair dalam seni sastra adalah puisi lama yang terdiri atas empat baris dalam satu baitnya. Ciri khas syair adalah ditandai oleh bunyi akhir yang sama dari setiap baris dalam baitnya. Karena ciri khas bunyi yang sama pada akhir baris inilah, syair disebut juga sajak atau bisa disebut juga dengan istilah puisi.23 Namun dalam perkembangan selanjutnya, puisi diartikan lebih luas sebagai bahasa yang indah. Ada yang memberi 21 22 23
KBBI, 2008: 1017. KBBI, 2008: 1017. KBBI, 2008: 1367.
14
pengertian juga sebagai bentuk seni sastra yang menggunakan sistem pengulangan bunyi sebagai ciri khasnya. Puisi juga disebut sebagai sarana ekspresi bahasa pilihan yang penuh imajinatif.24 Tembang adalah jenis puisi yang syairnya dinyanyikan. Kekuatan estetika tembang ketika dipertunjukkan tidak hanya pada aspek lirik kata-kata yang diucapkan saja namun juga aspek musikalitasnya,
yaitu
suasana,
intonasi,
dan
nada
ketika
dinyanyikan. Perpaduan unsur-unsur tersebut menjadikannya lebih indah ketika ditampilkan. Tembang dalam pertunjukan Dolalak disajikan dengan perpaduan bunyi yang berasal dari alatalat musik tertentu, di antaranya rebana, kendang, jidur atau bedug kecil, dan alat musik lainnya. Kehadiran tembang dalam sebuah seni pertunjukan berfungsi untuk membangkitkan dan mempengaruhi perasaan pendengar atau penontonnya. Liriknya dapat digunakan untuk membawa pesan-pesan iramanya
tertentu,
bisa
pendengarnya.
sedangkan
menciptakan Kehadiran
alunan
suasana
tembang
lagu,
nada,
dan
pula
bagi
sebuah
seni
tertentu dalam
pertunjukan kadang-kadang tidak berdiri sendiri, melainkan menyertai
bentuk
pertunjukan
lainnya,
seperti
pertunjukan
Karsono H. Saputro, Puisi Jawa, Struktur dan Estetika (Jakarta: Wedatama Widya Sastra, 2001), 1 dan Herman J. Waluyo, Teori dan Apresiasi Puisi (Jakarta: Penerbit Erlangga, 1997), 23. 24
15
Wayang, Ketoprak, Ludruk, Jathilan, Kuda Lumping, Kuda Kèpang, Angguk, Dolalak, dan lainnya. Bentuk
tembang
Dolalak
memiliki
ciri-ciri
yang
dapat
ditemukan dalam tradisi nyanyian keagamaan, khususnya Agama Islam, yaitu Perjanjen, Berjanjen, atau pun Slawatan. Ketiga bentuk kesenian tersebut berupa nyanyian yang berisi doa kepada Tuhan, doa untuk Nabi Muhhamad S.A.W. beserta keluarga, dan pengikutnya, serta nasehat-nasehat tentang kehidupan manusia. Bentuk penampilannya berupa menyanyikan syair-syair tersebut secara bersama-sama dan kadang-kadang disertai iringan alat musik rebana. Bentuk seni ini tahun-tahun 1930-an sudah populer di wilayah Bagelen Purworejo.25 Kesamaan
antara
nyanyian
Slawatan
dengan
tembang
Dolalak terletak pada penggunaan syair dan lagunya. Sebagai contoh keduanya pada aspek kebahasaan, ditemukan kata-kata untuk pemujaan Tuhan dan Nabi Muhhamad, S.A.W., serta serapan kata-kata berbahasa Arab. Di sisi aspek musikalitas,
25Bandingkan pendapat Soedarsono dalam makalah Konferensi dan Festifal Pertama tentang perhimpunan etnomusikologi Asia-Pasifik di Seol Korea Selatan, 13-19 November 1994 berjudul “Religious Musics In Indonesia”, hal. 5, yang dikutip oleh Nanik Sri Prihatini dalam DOLALAK: Tari Tradisi Masyarakat Purworejo. Surakarta: ISI Press Solo, 2007, 5 dengan tulisan Th. Pigeaud dalam Javaanse Volksvertoninge (Batavia: Volkslectuur, 1938) dalam beberapa halaman bukunya menyebutkan bahwa bentuk-bentuk seni nyanyian Islami tersebut banyak ditemukan di wilayah Bagelen (Purworejo).
16
tembang-tembang tersebut memiliki suasana, intonasi, dan nada lagu yang hampir sama. Ciri kesamaan lainnya, antara tembang Dolalak dengan seni nyanyian Islami adalah pada penggunaan alat musik untuk mengiringi lantunan tembang-tembangnya, yaitu rebana atau terbang. Menurut R.M. Soedarsono, seni-seni bernafaskan Islami berasal dari sebuah tradisi yang sama, yaitu menyebarkan ajaran Agama Islam atau dakwah. Asal-usulnya dari kegiatan Slawatan, yaitu dengan ciri khas pertunjukannya menggunakan instrumen rebana (terbang), menyanyikan puji-pujian khususnya kepada Nabi Muhammad S.A.W. dan para pengikutnya.26 Proses
penyebaran
pengaruh
Agama
Islam
di
Jawa
berlangsung cepat sampai ke pelosok-pelosok wilayah. Kondisi ini juga berpengaruh terhadap perkembangan seni pertunjukan rakyat
tersebut.
Seni-seni
bernafaskan
dakwah
Islam
bermunculan di berbagai wilayah, seperti Slawatan, Perjanjèn, Berjanjèn, Badui, Samanan, Kuntulan, Madya Pitutur,
Rodat,
Kobrasiswa, Samproh, Laras Madya, Emprak, Angguk, Dolalak, dan lainnya. Perkembangan dan kepopuleran seni-seni pertunjukan
R.M. Soedarsono (ed.), Tari-Tarian Rakyat Daerah Istimewa Yogyakarta (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1976), 4. 26
17
rakyat
yang
bernafaskan
Islami
di
Jawa
ini
juga
pernah
diungkapkan oleh Koentjaraningrat.27 Peristiwa
menyanyikan
nyanyian
keagamaan
tersebut,
selanjutnya menjadi sebuah bentuk seni pertunjukan karena ketika menyanyikannya, tidak jarang diikuti oleh iringan musik dari rebana disertai juga gerakan badan yang ritmis dalam tempo tertentu menyerupai orang yang sedang menari. Penggunaan alat musik
pengiring
dan
gerakan
ritmis
ini
pada
awalnya
dimaksudkan agar isi atau pesan dari lirik-lirik tembang yang dinyanyikan
bisa
merasuk
ke
dalam
pikiran
orang
yang
menyanyikan tesebut. Penelitian ini mengangkat objek material seni pertunjukan Jawa yang juga dipengaruhi oleh penyebaran Agama Islam di Jawa, khususnya Jawa bagian selatan. Seni pertunjukannya bernama Dolalak. Seni pertunjukan Dolalak populer di wilayah Kabupaten
Purworejo,
Propinsi
Jawa
Tengah.
Bentuk
seni
pertunjukan ini menarik dikaji karena di samping populer dengan ragam gerak tarinya yang unik dan khas, juga karena adanya dukungan pertunjukan berupa tembang. Tembang ini menarik dikaji karena dapat mengungkap estetika bentuk pertunjukan Dolalak. Bentuk tembang dari sisi
Koentjaraningrat, Pustaka, 1994), 220-222. 27
Kebudayaan
Jawa
(Jakarta:
PN
Balai
18
kebahasaan
dan
sisi
musikalitasnya
dapat
menunjukan
bagaimana sebuah seni pertunjukan dicipta dan dapat diterima oleh masyarakatnya. Kajian terhadap tembang ini juga penting dilakukan untuk menemukan eksistensi dan bentuk estetika Dolalak sebagai pertunjukan rakyat. Kajian-kajian lain yang juga menarik untuk diungkapkan adalah dalam perkembangan dan sistem pewarisan tembang ini dari masa ke masa. Karena wujud tembang Dolalak adalah lisan maka memiliki keunikan khusus ketika mengalami perkembangan dan pewarisannya. Seni pertunjukan Dolalak Purworejo pada masa sekarang selalu disamakan dengan bentuk seni pertunjukan Angguk yang populer dan berkembang di wilayah Kulonprogo Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Kondisi ini disebabkan karena secara sepintas memang antara bentuk pertunjukan Dolalak dengan pertunjukan Angguk memiliki kesamaan, termasuk dalam hal latar kesejarahan penciptaannya. Pernyataan ini memerlukan kajian lebih jauh untuk membuktikan kedekatan hubungan di antara keduanya. Asal-usul seni pertunjukan Dolalak ini diperkirakan sudah muncul sejak tahun 1915.28
Kemunculan Dolalak
pada angka
Wawancara dengan narasumber R. Tjipto Siswojo, 25 Juli 2010 di Kaligesing, Purworejo. Hal ini didasarkan pada sejarah berdirinya 28
19
tahun tersebut diyakini oleh para narasumber karena tiga orang tokoh penciptanya, yaitu Rejotaruno, Duliyat, dan Ronodimedjo adalah hidup pada masa sekitar tahun tersebut. Kehadiran seni pertunjukan Dolalak ini tidak lepas dari pengaruh latar belakang pengalaman ketiga tokoh tersebut semasa hidupnya yang pernah bekerja di markas tentara Belanda.29 Hubungan
antara
Dolalak
dengan
wilayah
Purworejo,
menyerupai hubungan antara dua sisi mata uang yang saling mengidentifikasi. Di bidang seni budaya, Purworejo diidentikkan dengan seni pertunjukan Dolalak, dan sebaliknya,
meskipun
sebenarnya di wilayah ini juga berkembang banyak kesenian lainnya, seperti Wayang Kulit, Ketoprak, Angguk, Slawatan, Jathilan, dan Kuda lumping. Di bidang seni sastra, Purworejo pun juga kaya berbagai macam cerita lisan (folklor), seperti cerita rakyat Nyai Bagelèn, babad (cerita fiksi sejarah Jawa), seperti Babad Banyuurip dan Babad Kedungkebo, serta variasi cerita legenda asal-usul wilayah Bagelèn lainnya. Kepopuleran seni pertunjukan Dolalak di Purworejo pasca tahun 2000-an sampai dengan tahun 2010 ini masih bisa
pertama kali kelompok Dolalak (dahulu masih dikenal dengan nama Angguk atau Bangilun) di Desa Sejiwan Kecamatan Loano, oleh tiga orang santri, yaitu Rejotaruno, Duliyat, dan Ronodimedjo. Lihat juga dalam Nanik Sri Prihatini, Dolalak Purworejo. (Surakarta: ISI Press Solo, 2007), 8. 29 Wawancara dengan narasumber R. Tjipto Siswojo, Sarjono, dan Muji, tanggal 25 Juli 2010.
20
dibuktikan, salah satunya adalah adanya kegiatan pada setiap hari Minggu pagi sampai siang hari tidak kurang 150-an siswa Sanggar Tari Prigel Purworejo melakukan latihan rutin di Pendapa Kantor Kabupaten Purworejo. Sementara itu sanggar-sanggar tari lainnya
serta
kelompok-kelompok
Dolalak
juga
masih
aktif
melakukan kegiatan serupa, seperti di Desa Sejiwan Kecamatan Loano, Desa Mlaran Kecamatan Gebang, Desa Kaligono dan Desa Kaliharjo
Kecamatan
Kaligesing,
Desa
Baledono
Kecamatan
Purworejo, dan beberapa kelompok lainya. Bukti kepopuleran lainnya juga ditunjukkan oleh banyaknya kaum
akademisi
yang
melakukan
penelitian,
kajian,
dan
penulisan ilmiah lain terhadap seni ini. Kajian bentuk, fungsi, makna,
perkembangan,
dan
pembinaan
terhadap
seni
pertunjukan Dolalak Purworejo sudah pernah dijadikan penelitian dalam bentuk skripsi dan tulisan ilmiah lainnya oleh akademisi dari berbagai universitas di wilayah Jawa. Sampai dengan tahun 2010, laporan penelitian ilmiah dengan topik tersebut dapat ditemui di perpustakaan beberapa perguruan tinggi, seperti di Universitas Gadjah Mada, Institut Seni Indonesia Yogyakarta maupun Surakarta, Institut Agama Islam Negeri Yogyakarta atau sekarang Universitas Islam Negeri Yogyakarta, Universitas Negeri Surakarta,
Universitas
Negeri
Muhamadiyah Purworejo, dan lainnya.
Yogyakarta,
Universitas
21
Selain
kajian
formal ilmiah
di atas, kepopuleran
seni
pertunjukan Dolalak Purworejo juga dilakukan di bidang informal melalui tulisan-tulisan populer yang dapat dilihat dan dibaca dalam media teknologi informatika, yaitu internet. Pada tahun 2010, tercatat ada 124 laman, baik berupa website maupun blog, baik laman itu milik institusi, kelompok, maupun pribadi yang mengunggah dan memuat tentang seni pertunjukan Dolalak Purworejo. Laman-laman itu berisi foto-foto, video, cerita asal-usul Dolalak,
ulasan
pertunjukannya,
serta
sisi-sisi
lain
yang
berhubungan dengan Dolalak Purworejo. Bukti-bukti di atas menegaskan bahwa Dolalak menjadi kesenian yang populer, tidak hanya di dalam tetapi juga di luar wilayah
Purworejo.
Bukti
lain
terkait
kepopuleran
seni
pertunjukan Dolalak di luar wilayah, adalah pada tahun 1995 pernah menjadi sepuluh besar dalam kegiatan Festival Nasional Kesenian Rakyat tahun 1995 tingkat nasional.30 Untuk menjaga keberadaan seni pertunjukan Dolalak sebagai identitas
budaya
Purworejo,
Pemerintah
Daerah
Kabupaten
Purworejo pada tahun 2007 telah mencatatkan Dolalak dalam HAKI (Hak Kekayaan Intelektual) pada Departemen Hukum dan
Data wawancara dengan narasumber , antara lain R. Tjipto Siswojo, F. Untariningsih, S.E., dan Eko Haryono, Maret 2010. 30
22
Hak
Azazi
Manusia
sebagai
produk
budaya
masyarakat
Purworejo.31 Kondisi tersebut di atas memang bisa menunjukkan bahwa kepopuleran
dan
rasa
kebanggaan
terhadap
hadirnya
seni
pertunjukan Dolalak di Purworejo mendapat sambutan dan apresiasi yang tinggi dari masyarakat. Sementara itu di bagian lain, kondisi tersebut juga bisa membingungkan pembaca karena berbagai informasi yang disajikan terdapat beberapa perbedaan antara
satu
dengan
lainnya.
Untuk
itu
penelitian
yang
komperhensif terhadap keberadaan seni pertunjukan Dolalak Purworejo masih perlu dilakukan, khususnya fokus kajian pada tembang-tembangnya. Kajian dekonstruksi dalam penelitian ini dilakukan dengan pengungkapan konsep-konsep awal berupa konstruksi yang sudah ada selama ini dari eksistensi seni pertunjukan Dolalak di Purworejo, bahwa seni pertunjukan ini merupakan seni yang bernuansa
religi,
khususnya
Islam.
Kehadiran
unsur
syair
tembang-tembangnya serta iringan musik yang berasal dari alat pengiring berupa rebana membuat kesan yang melekat pada seni pertunjukan
Dolalak
ini
sebagai
seni
bernafaskan
Islami.
Wawancara dengan R. Tjipto Siswojo, F. Untariningsih, S.E., dan Eko Haryono, Maret 2010. 31
23
Pendapat-pendapat
tersebut
muncul
terutama
ketika
menghubungkannya dengan syair-syair tembangnya. Di sisi lain, kenyataan dalam data kuantitas 210-an syair tembang
Dolalak tidak menunjukkan keseluruhannya bertema
religi Islami. Berdasar aspek kebahasaan dalam syairnya, hanya terdapat sekitar enam (6) syair tembang saja yang lirik-liriknya menunjukkan ada nuansa nafas Islami. Kenyataan ini menjadi kontradiksi jika disebutkan bahwa seni pertunjukan Dolalak merupakan seni yang bernuansa Islami. Fenomena ini menarik untuk dikaji sekaligus dicarikan pembuktian, benarkah seni Dolalak Purworejo adalah seni yang bernafas atau bernuansa Islami, khususnya dilihat dari kehadiran tembang-tembangnya?. Berawal dari kontradiksi inilah, diperlukan kajian lebih mendalam untuk pemahaman bagaimana sebenarnya bentuk estetika
pertunjukan
tembangnya.
Dolalak
Pendekatan
pemahaman
baru
pertunjukan
Dolalak,
dilihat
dekonstruksi
terhadap melalui
penggunaan pendekatan
dari
penggunaan
membantu tembang ini
cara dalam
diharapkan
menemukan konstruksi-konstruksi baru tentang pertunjukan Dolalak dilihat dari tembangnya. Permasalahan lain dalam pembahasan unsur tembang dalam pertunjukan Dolalak yang perlu dikaji dan dibahas adalah pengungkapan
perkembangan,
perubahan,
pewarisan,
dan
24
lainnya. Pembahasan perkembangan bentuk tembang Dolalak dihubungkan
dengan
pewarisannya
diperlukan
masalah untuk
transmisi mengungkap
atau
sistem
kedinamisan
eksistensi tembang dalam seni pertunjukan Dolalak di Purworejo dari masa ke masa. Pengungkapan perkembangan dan perubahan tembangnya dari
waktu
ke
waktu,
sekaligus
pula
dapat
mengungkap
fenomena-fenomena baru yang menyertai perkembangan seni pertunjukan Dolalak dari masa ke masa dilihat dari unsur tembangnya. Peran kehadiran masyarakat, pemerintah, sanggar tari, dan kelompok-kelompok seni pertunjukan Dolalak memberi warna tersendiri terhadap perubahan wujud estetika dalam pertunjukan Dolalak. Pembahasan kajian tembang dalam seni pertunjukan Dolalak melalui pendekatan dekonstruksi ini tidak terlepas dari latar belakang sejarah kewilayahan Purworejo. Secara geografis, wilayah Purworejo dibatasi oleh Samudra Indonesia atau lebih dikenal sebagai Pantai Selatan Jawa, di bagian selatan, sedangkan di sebelah utara dibatasi dengan deretan pegunungan Menoreh dalam wilayah Kabupaten Magelang, di sebelah barat laut berbatasan Kabupaten Wonosobo, di sebelah barat berbatasan langsung dengan Kabupaten Kebumen, sedangkan di bagian timur
25
berbatasan dengan wilayah Kabupaten Kulonprogro
Propinsi
Daerah Istimewa Yogyakarta. Wilayah Purworejo memiliki latar belakang sejarah yang unik. Latar sejarah wilayah bernama Bagelen dengan lahirnya wilayah Kabupaten Purworejo tidak bisa dilepaskan satu dengan lainnya. Oleh karena itu, pembicaraan kondisi wilayah Purworejo dalam berbagai
bidang
seperti
politik,
sosial,
ekonomi,
dan
kemasyarakatan tidak terlepas dari kondisi yang pernah terjadi di wilayah Bagelan pada masa lalu. Dalam pembahasan tentang keanekaragaman regional dari Kebudayaan Jawa, khususnya pembicaraan budaya Banyumasan, Koentjaraningrat menyatakan bahwa daerah Bagelen (Purworejo) sangat menonjol di bidang kebudayaan, khususnya upacara tradisi kuna, logat bahasa Banyumasan yang berbeda, seni macapatan, dan cerita rakyat yang khas.32 Menonjolnya tradisi Bagelen di Purworejo dipengaruhi oleh latar belakang religiusitas masyarakatnya pula. Dalam hal religi, sebagian besar penduduk Purworejo beragama Islam sehingga upacara tradisi, seni pertunjukan, dan cerita rakyatnya pun banyak berlatar religius Islam.
Koentjaraningrat, Kebudayaan Jawa. (Jakarta: Balai Pustaka, 1994), 25, pendapat ini juga dikutip dalam Nanik Sri Prihatini, 2007, 3. 32
26
Antropolog Universitas Gadjah Mada, P.M. Laksono pernah melakukan penelitian khusus tentang kondisi wilayah Bagelen dan posisinya dalam tata ruang Kerajaan Mataram, khususnya pasca Perang Diponegoro dan Perjanjian Giyanti, pembahasannya lebih banyak dari sudut pandang politik, khususnya penguasaan terhadap
kewilayahan
Bagelen
yang
„diperebutkan‟
antara
Surakarta dan Yogyakarta.33 Berdasar latar kondisi tersebut, warna budaya Jawa yang berasal dari dua pusat budaya Jawa, yaitu Surakarta dan Yogyakarta juga memiliki pengaruh pada kondisi budaya masyarakat di wilayah ini. Latar sejarah Bagelen yang banyak
dipengaruhi oleh
peninggalan budaya masa lalu, baik fisik maupun non fisik, dari peninggalan pra-sejarah, pengaruh Hindu hingga pengaruh Islam. Kondisi ini membawa dampak pada kehidupan sosial dan kemasyarakatan di wilayah Bagelan pada masa-masa berikutnya. Kenyataan akan adanya kehidupan religius Islam di wilayah Bagelen ini menjadi benang merah terkait kemungkinan tumbuh suburnya seni-seni yang juga bernafaskan religi, khususnya warna Islami, termasuk di dalamnya seni pertunjukan Dolalak. Di samping pengaruh tersebut, unsur kepercayaan pada masa lalu pun juga masih ada, termasuk pengaruh Hindu dan Prasejarah.
P.M. Laksono, Tradisi Dalam Struktur Kemasyarakatan Jawa Kerajaan dan Pedesaan. (Yogyakarta: Kepel Press, 2009), 66-79. 33
27
Meskipun fokus penelitian seni pertunjukan Dolalak pada kajian
tembangnya,
namun
masih
perlu
diawali
dengan
mengungkap sejarah penciptaan seni pertunjukan ini di wilayah Purworejo. Nanik Sri Prihatini dalam penelitiannya tahun 1977 dengan jelas menyodorkan data bahwa Dolalak diyakini pernah ada di Desa Sejiwan, Kecamatan Loano
Purworejo sejak tahun
1938 tersebut.34 Pendapat tentang asal-usul tersebut masih perlu kajian data sejarah yang mendalam, karena istilah penyebutan Dolalak saja baru ada setelah tahun 1950-an. Jadi kemungkinan bentuk seni pertunjukan yang ada pada tahun 1915 tersebut kemungkinan „mirip‟ seni pertunjukan Dolalak tetapi memakai istilah nama lain. Berdasar
uraian
latar
belakang
di
atas,
usaha
mendekonstruksi sebuah wacana teks seni pertunjukan berupa tembang dalam seni pertunjukan Dolalak Purworejo ini bertujuan untuk
menunjukkan
melandasinya
selama
bagaimana ini,
meruntuhkan
dengan
cara
filosofi
yang
mengidentifikasi
kontradiksi yang ada untuk membentuk operasional retorika baru dalam teks itu yang berbeda dari sebelumnya.35
Nanik Sri Prihatini, 2007, 8., disertai tambahan data hasil wawancara dengan narasumber R. Tjipto Siswoyo dan Jono, Mei 2010. 35 Jonathan Culler, The Pursuit of Signs; Semiotics, Literature, Deconstruction. New York: Cornell University Press, 1981. 86 34
28
B. Rumusan Masalah Berdasar latar belakang di atas, penelitian ini dimulai dari usaha penemuan jawaban atas sejumlah rumusan permasalahan, sebagai berikut. 1. Mengapa seni pertunjukan Dolalak dikonstruksi sebagai seni yang bernuansa Islami? Adakah keterkaitan antara konstruksi tersebut dengan tembang yang dihadirkan dalam Dolalak? 2.
Apakah
terdapat
kontradiksi
antara
konstruksi
tersebut
dengan kenyataan kehadiran tembang dalam pertunjukan Dolalak? 3.
Konstruksi baru apa yang dapat ditawarkan terhadap seni pertunjukan Dolalak berdasarkan kenyataan kehadiran dan penggunaan tembang dalam pertunjukan Dolalak?
C. Tujuan Penelitian Berdasarkan uraian rumusan masalah di atas, berikut ini tujuan yang ingin didapatkan dari hasil penelitian ini secara menyeluruh dari awal sampai akhir, sebagai berikut. 1. Menguraikan konstruksi pemikiran yang selama ini ada bahwa seni pertunjukan Dolalak sebagai seni bernuansa Islami yang disebabkan oleh kehadiran unsur pengiring pertunjukannya berupa tembang-tembang yang bersyair religi Islami. Tujuan ini dicapai dengan cara, yaitu:
29
a. Menguraikan sejarah kewilayahan yang melatarbelakangi kehadiran seni Dolalak di Purworejo; b. Menjelaskan bentuk dan unsur pendukung pertunjukan Dolalak; c. Mengungkapkan bentuk dan populasi tembang Dolalak di wilayah
Purworejo
sebagai
bagian
unsur
pendukung
pertunjukan Dolalak; d. Mengkaji aspek-aspek pembentuk tembang yang meliputi aspek kebahasaan, aspek musikalitas, dan tematik. 2. Mengungkap dan menunjukkan adanya kontradiksi antara konstruksi pemikiran yang sudah ada sebelumnya dengan kenyataaan. Tujuan pengungkapan kontradiksi yang ada ini adalah untuk: a. Mengungkap kenyataan bahwa tidak seluruhnya syair tembang Dolalak bernuansa Islami; b. Mengungkap kenyataan bahwa terdapat kontadiksi antara penggunaan
unsur
pertunjukan
Dolalak
syair
tembang
dengan
sebagai
unsur-unsur
pengiring
pertunjukan
lainnya; c. Menjelaskan
bahwa
antara
syair
tembang,
baik
yang
bernuansa Islami maupun bukan Islami, sebagai pengiring gerak tari dalam pertunjukan Dolalak tidak menerminkan kesan Islami.
30
3. Menemukan konstruksi baru dalam pemahaman penggunaan unsur syair tembang dalam pertunjukan Dolalak. Penemuan ini memiliki tujuan khusus, yaitu: a. mengungkap bentuk estetika pertunjukan Dolalak dilihat dari kehadiran syair tembang-tembangnya; b. menjelaskan
konstruksi
baru
dalam
cara
pandang
terhadap kehadiran seni pertunjukan rakyat di Indonesia. c. menemukan cara pemahaman baru terhadap penggunaan syair tembang dalam pertunjukan Dolalak.
D. Manfaat Penelitian 1. Umum Salah satu manfaat secara umum dari penelitian ini, adalah usaha untuk menghasilkan kegiatan dokumentasi dan penyimpanan sebuah kegiatan berupa peristiwa seni pertunjukan. Pendokumentasian sebuah kegiatan yang berupa tradisi lisan ke tradisi tulis akan membawa dampak pada usaha mempertahankan keberadaannya dalam kurun waktu lebih lama. Penelitian
ini
juga
bermanfaat
untuk
dapat
menghasilkan suatu sintesis yang berguna bagi usahausaha untuk mengungkapkan estetika pertunjukan rakyat di
Indonesia.
Pengungkapan
secara
ilmiah
eksistensi
31
pertunjukan
rakyat
dapat
digunakan
untuk
mempertahankan dan mengembangkan kebudayaan lokal dalam rangka menghadapi era globalisasi. Hasil lebih jauh yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah dapat menghasilkan temuan khusus agar bisa dimanfaatkan untuk kepentingan pembangunan bangsa, khususnya
pembangunan
di
bidang
jati diri
bangsa
kegiatan budaya. 2. Khusus Penelitian ini dilakukan untuk memberi sumbangan pamikiran bagi pengembangan disiplin ilmu pengkajian seni, khususnya kajian terhadap seni pertunjukan dengan memakai pendekatan teori kajian seni yang berasal dari sudut pandang pemikiran pascamodernisme. Kegiatan ini diperlukan untuk mendekatkan pemahaman masyarakat luas terhadap kehadiran sebuah produk budaya lokal dari proses penciptaan (made), bentuk (form), dan tujuan atau penggunaannya (use) dari sudut pandang kekinian atau (masa kini). Penelitian
dengan
objek
seni
pertunjukan
menggunakan model pendekatan analisis dekonsruksi ini secara spesifik ingin disumbangkan bagi bidang keilmuan kajian seni pertunjukan guna mempertajam kajian-kajian
32
teoritis terhadap berbagai bentuk karya seni pertunjukan dan karya seni lainnya di masa yang akan datang.
E.
Tinjauan Pustaka Penelitian berjudul Tembang dalam Seni Pertunjukan Dolalak
Purworejo:
Pendekatan
Dekonstruksi
ini
dilakukan
dengan
menguraikan pembahasan tentang sejarah kehadiran pertunjukan Dolalak di Purworejo. Selanjutnya, fokus pembahasannya pada satu
permasalahan
utama,
yaitu
mengungkap
estetika
pertunjukan Dolalak di Purworejo melalui tembang-tembangnya. Pembahasan
masalah
utama
penelitian
ini
didukung
pembahasan dan uraian mengenai konstruksi kebahasaan dan musikalitas
tembang,
aspek
penggunaan
tembang
dalam
pertunjukannya, serta beberapa permasalahan tentang asal-usul, perubahan, dan pewarisan pertunjukannya. Untuk menunjukkan orisionalitas pembahasan masalahmasalah tersebut, berikut dipaparkan tinjauan pustaka dari beberapa penelitian yang pernah dilakukan yang relevan dengan topik kajian penelitian ini. Penelitian-penelitian tersebut, di antaranya sebagai berikut. Pertama, Th. G. Th. Pigeaud pada tahun 1938 menyusun sebuah
buku
berjudul
Javaanse
Volksvertoningen
(Seni
Pertunjukan Rakyat di Jawa), yang berisi informasi dan deskripsi
33
lengkap mengenai bentuk-bentuk seni pertunjukan rakyat Jawa yang berkembang pada sekitar era tahun 1917-1938. Buku ini penting dipakai sebagai acuan atau referensi untuk penelitian lebih lanjut yang menyangkut objek seni pertunjukan tradisional Jawa, terutama dari sisi sejarah keberadaannya, karena informasi dan deskripsi yang ditulis dalam buku tersebut sangat lengkap untuk ukuran pada masa tersebut. Pada
buku
Javaanse
Volksvertoningen,
nama
seni
pertunjukan Dolalak tidak tercantum, namun informasi tentang Dolalak dapat dirunut melalui deskripsi tentang seni Angguk. Informasi mengenai seni Angguk yang ditulis dalam buku itu dengan kata „Anggoek‟ dapat dipakai merunut awal proses penciptaan seni-seni pertunjukan senada dalam masa-masa berikutnya. Kedua, Nanik Sri Prihatini, seorang akademisi yang berasal dari di Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta. Penelitian tentang Dolalak dilakukannya sejak skripsi sarjana muda dengan judul Dolalak di Kabupaten Purworejo tahun 1977, kemudian di tingkat sarjana membuat skripsi berjudul Pembinaan Kesenian Dolalak di Desa Pucang Agung, Kecamatan Bayan, Kabupaten Purworejo tahun 1983. Pada tahun 2000 Nanik Sri Prihatini menulis tesis S2 berjudul Perkembangan Kesenian Dolalak di Kabupaten Purworejo
34
Jawa Tengah 1968-1999, dan terakhir 2006 dalam topik Disertasi S3, tentang Seni Pertunjukan Rakyat Kedu, peneliti masih mengungkap tentang Dolalak.36 Penelitian dan kajian yang telah dilakukan oleh peneliti ini sudah hampir menyeluruh, khususnya aspek bentuk dan fungsi selama kurun waktu yang panjang. Nanik Sri Prihartini pada tahun 1983 juga menulis buku yang berjudul Dolalak: Tari Tradisi Masyarakat Purworejo. Buku ini berisi hasil penelitian tentang seni tari Dolalak di Purworejo, diawali dengan menguraikan latar belakang wilayah Purworejo, kemudian dilanjutkan dengan deskripsi perkembangan bentuk tari Dolalak dari tahun 1968 sampai dengan 1999. Penelitian ini juga membahas fungsi dan makna. Selanjutnya, tahun 2008 Nanik S.P. ini juga menulis buku berjudul Seni Pertunjukan Rakyat Kedu yang berisi tentang bentuk-bentuk seni pertunjukan rakyat di wilayah Kedu, tentu dalam hal ini seni pertunjukan Dolalak masih menjadi bagian pembahasannya. Ketiga, Soetaryo pada tahun 2000 menulis sebuah artikel yang berjudul ”Kesenian Angguk dari Desa Garongan” dalam buku Ketika Orang Jawa Nyeni, H.S. Ahimsa-Putra (ed.). Tulisan ini membahas secara deskriptif tentang sejarah atau asal mula seni 36 Data ini disarikan dari tulisan-tulisan Nanik Sri Prihartini, di antaranya DOLALAK: Tari Tradisi Masyarakat Purworejo. Surakarta: ISI Press Solo, 2007. Dan Seni Pertunjukan Rakyat Kedu. Surakarta: Pascasarjana-ISI Press Solo-CV. Cendrawasih, 2008.
35
Angguk di Desa Garongan Daerah Istimewa Yogyakarta. Deskripsi penelitian ini juga dilengkapi dengan uraian perkembangan dan proses
penyebaran
Pembahasannya
juga
kesenian tentang
itu
di
Angguk
sekitar sebagai
wilayahnya. sebuah
seni
pertunjukan yang dihubungkan dalam konteks kehidupan sosial kemasyarakatan. Penelitian Sutaryo ini tidak dihubungkan dengan keberadaan seni pertunjukan Dolalak. Keempat,
Topik
lirik
tembang
Dolalak
sebagai
bentuk
nyanyian Islami juga pernah ditulis oleh peneliti dalam artikel berjudul “Lirics in The Dolalak Dance Purworejo Central Java as a Form of Folk Songs”37 pada tahun 2013. Artikel ini membahas nuansa nyanyian islami pada enam tembang Dolalak berjudul Salam Pembuka, Bismilahiku, Makanlah Sirih, Ya Nabe Salu I, Melea, dan Markhaban. Kelima, Isbandi Sutrisno pada tahun 2009 pernah melakukan penelitian tentang topik tembang dalam seni tradisional Angguk dan Dolalak.38
Selanjutnya pada tahu 2010, hasil penelitian
tersebut ditulis dalam bentuk artikel yang berjudul “Perubahan
37 Djarot Heru Santosa, Timbul Haryono, and R.M. Soedarsono dalam Haritage of NUSANTARA, Internasional Journal of Religius Literature and Heritage Vol. 2 No. 2 December 2013. (Jakarta: Center for Research and Development of Religios Literature and Heritage, Ministry of Religios Affairs of The Republic of Indonesia, 2013), 71-92. 38 Penelitian dilakukan dalam rangka Penelitian Hibah Mandiri yang diselenggarakan oleh Lembaga Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat (LPPM) Universitas Pembangunan Nasional Veteran Yogyakarta tahun 2009.
36
Orientasi pada Pesan Verbal Tembang dalam Seni Tradisional Angguk dan Dolalak” yang dimuat dalam Jurnal Ilmu Komunikasi Volume 8 Nomor 3 September-Desember 2010.39 Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tembang-tembang yang dinyanyikan dalam seni pertunjukan Angguk dan Dolalak mengandung pesan verbal, yaitu di samping sebagai bentuk hiburan juga berfungsi sebagai alat penyampai pesan. Seni pertunjukan bukan hanya sebagai alat hiburan tetapi juga dapat dipakai sebagai alat komunikasi. Komunikasi tersebut dilakukan dengan
penyampaian
pesan-pesan
yang
bisa
diterima
dan
dilaksanakan oleh pendengar atau penontonnya. Pesan-pesan verbal yang disampaikan dengan menggunakan bentuk tembang atau
lagu
lebih
efektif
cepat
sampai
dan
dimengerti
oleh
pendengarnya. Penelitian ini melihat kehadiran tembang dalam seni pertunjukan Angguk dan Dolalak dari aspek ilmu komunikasi. Keenam,
Bernard
Arps40
pernah
melakukan
sebuah
penelitian tentang tembang di Jawa. Penelitian yang akhirnya menjadi
disertasi
tahun
1992
berjudul
Tembang
and
two
Jurnal Ilmu Komunikasi ini adalah sebuah jurnal terakreditasi nasional yang diterbitkan oleh Jurusan Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial Politik Universitas Pembangunan Nasional (UPN) Yogyakarta. UPN Veteran Yogyakarta, Volume 8 Nomor 3 September-Desember 2010 halaman 330 – 343). 40 Seorang peneliti kelahiran Belanda tahun 1961 yang banyak meneliti karya-karya sastra Jawa. 39
37
traditions, Performance and Interpretation of Javanese Literature.41 Objek tembang dalam penelitian Bernard Arps ini adalah tradisi tembang Macapatan di Yogyakarta dan Macaan di Banyuwangi. Penelitian terhadap objek tembang tersebut menggunakan empat sudut pandang pendekatan, yaitu pertama, studi tembang dilihat sebagai indigenous 42. Kedua, studi tembang untuk studi filologi, yaitu studi pernaskahan dalam karya-karya sastra lama. Ketiga, tembang dalam perspektif etnomusikologi, khususnya musik vokal daerah atau lokal. Keempat, penelitian tembang sebagai studi etnografi, catatan peristiwa budaya berdasar kondisi masyarakat setempat. Tembang dalam kesusasteraan Jawa terdapat beberapa versi, khususnya tembang Macapat versi Yogyakarta dan Macaan di Banyuwangi.
Macapat
dan
Macaan
sebagai
bentuk
seni
pertunjukan lewat penampilan menyanyikan tembangnya. Selama pertunjukan tembang tersebut, muncul proses penafsiran atau interpretasi
terhadap
isi
tembang
dalam
rangka
untuk
mengungkap isi karya-karya sastra Jawa pada masa lalu. Jadi ruang lingkup penelelitian Bernard Arps dalam topik dua tradisi tembang di Jawa ini adalah tradisi menyanyikan tembang dalam 41 Disertasi ini dipublikasikan oleh School of Oriental and African Studies, University of London England. 42 Indigenous dapat diartikan sebagai pribumi atau asli, artinya dalam konteks penelitian tembang Macapat dan Macaan dilihat dari sisi masyarakat pemiliknya.
38
rangka mengungkap isi karya sastra Jawa dan tradisi tembang sebagai sebuah penampilan atau pertunjukan. Ketujuh,
Muhammad
Nur
Salim43
pernah
melakukan
penelitian tentang fenomena ndadi (trance, kesurupan) dalam seni pertunjukan Jathilan di daerah Kecamatan Borobudur Magelang. Konsep
ndadi
dalam
pembahasannya
adalah
membedakan
perilaku yang berubah atau berbeda dari perilaku sebelumnya dalam
sajian
pertunjukan.
Ndadi
dalam
sebuah
bentuk
pertunjukan memerlukan unsur-unsur lain guna mendukungnya, baik unsur dalam saat pementasannya maupun unsur dari luar. Penelitian Muhammad Nur Salim lebih menekankan pada proses pembentukan peristiwa ndadi dalam pertunjukan Jathilan yang disebabkan oleh adanya interaksi antara gending dengan perilaku. Proses interaksi tersebut menghasilkan tiga fase, yaitu pembentukan ndadi, sudah ndadi, dan pemulihannya. Meskipun pembahasan dalam penelitian ini sudah cukup komprehensif namun eksplorasi secara mendalam terhadap korelasi antara perilaku dengan irama gending perlu lebih diperdalam, khususnya
43 Muhammad Nur Salim, “Interaksi Antara Sajian Gending dengan Perilaku Ndadi dalam Pementasan Jathilan Kelompok Turonggo Mudo di Dusun Ngaran I Desa Borobudur Kecamatan Borobudur Kabupaten Magelang”, Tesis. (Yogyakarta: Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada, 2013).
39
pembahasan dari sisi neuroscience44 yang dihubungkan dengan etnomusikologi. Berdasarkan serangkaian penelitian yang telah dilakukan oleh Th. Pigeaud, Nanik Sri Prihartini, Sutaryo, Peneliti (Djarot Heru Santosa), Isbandi Sutrisno, Bernard Arps, dan Muhammad Nur Salim di atas, peneliti menyimpulkan bahwa penelitian dengan judul dan topik Tembang dalam Seni Pertunjukan Dolalak Purworejo: Pendekatan Dekonstruksi belum pernah dilakukan oleh peneliti lain dan masih diperlukan. Dibandingkan
dengan
penelitian-penelitian
yang
pernah
dilakukan Nanik Sri Prihatini, penelitian ini membahas fokus permasalahan terhadap objek seni pertunjukan Dolalak dari sisi yang berbeda, yaitu mencari estetika pertunjukan rakyat melalui pola
pemikiran
pascamodern
melalui
eksistensi
tembang-
tembangnya. Selain hal itu, munculnya perbedaan beberapa data dan waktu penelitian diyakini oleh peneliti dapat menyebabkan hasil
yang
berbeda
dibandingkan
dari
penelitian-penelitian
sebelumnya. Penelitian ini juga dilakukan sebagai kelanjutan dari penelitian-penelitian sebelumnya yang diharapkan bisa saling Sebuah bidang keilmuan yang mempelajari tentang sistem syaraf manusia. Beberapa hal yang dipelajari meliputi struktur, fungsi, sejarah evolusi, pengembangan, genetika, biokimia, fisiologi, farmakologi, informatika, komputasi neurosains dan patologi dari sistem syaraf, sumber referensi dari Kandel E.R., Schwartz J.H., dan Jessell T.M., Principles of Neural Science (4th ed. ed.), ISBN 0-8385-7701-6. New York: McGraw-Hill, 2000. 44
40
melengkapi, sekaligus untuk menguji dan
membuktikan benar
atau tidaknya penemuan-penemuan dalam penelitian sebelumnya. Dibandingkan artikel yang pernah ditulis oleh peneliti dan artikel Isbandi Sutrisno, cakupan permasalahan dan data yang dipakai dalam penelitian ini lebih luas dan fokus pada tembang Dolalak. Data tembang dalam penelitian ini pun fokusnya dikaji sebagai bentuk pertunjukan. Perbandingan antara penelitian Sutaryo tentang Angguk di Daerah Istimewa Yogyakarta dengan topik penelitian ini juga berbeda.
Penelitian
Sutaryo
lebih
memfokuskan
pada
seni
pertunjukan Angguk, yaitu memaparkan bentuk pertunjukan, sedikit asal-usul yang dihubungkan dengan wilayah Bagelen, fungsi
dan
makna
pertunjukan,
dan
sajian
trance
dalam
pertunjukannya. Penelitian Sutaryo dan buku tulisan Th. Pigeaud dipakai penelitian
sebagai seni
referensi
pembanding
Pertunjukan
pembahasan
Dolalak
sesuai
topik fokus
permasalahannya. Dibandingkan dengan penelitian yang telah dilakukan oleh Bernard Arps tentang tembang Macapat Yogyakarta dan Macaan Banyuwangi, perbedaannya terletak pada objek material kajian tembangnya. Meskipun objek tembangnya berbeda dengan penelitian ini, namun penelitian Bernard Arps ini dapat digunakan sebagai model pembahasan dan kajian terhadap tembang, khususnya dalam sajian pertunjukan.
41
Penelitian yang pernah dilakukan oleh Muhhamad Nur Salim tentang konsep ndadi dalam Jathilan dapat dijadikan inspirasi dan acuan awal untuk membahasa peran tembang dan musik dalam sajian trance dalam pertunjukan Dolalak. Berdasar kebaharuan
uraian rancangan
tinjuan
pustaka
penelitian
ini
di
atas,
dibandingkan
beberapa dengan
penelitian-penelitian sebelumnya, sebagai berikut. 1.
Fokus objek penelitian berupa tembang sebagai salah satu unsur pendukung pertunjukan Dolalak belum pernah dikaji secara
komprehensif,
khususnya
berdasar
pendekatan
dekonstruksi. 2.
Kajian mendalam bentuk tembang Dolalak sebagai bagian unsur pendukung pertunjukan dari aspek kebahasaan, musikalitas, dan penggunaannya.
3.
Cara pemahaman baru terhadap penggunaan syair tembang dalam pertunjukan Dolalak, khususnya hasil dari pendekatan dekonstruksi. Permasalahan
penelitian
dan
unsur-unsur
kebaharuan
penelitian di atas, menunjukkan tidak ada satu pun penelitian yang pernah dilakukan sebelumnya sama dengan penelitian yang berjudul
Tembang dalam Seni Pertunjukan Dolalak Purworejo:
Pendekatan Dekonstruksi. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa penelitian ini masih orisinal.
42
F. Landasan Teori Penelitian ini berbentuk kualitatif, maka dasar yang dipakai untuk
analisisnya
adalah
data,
kehadiran
sumber
data
ditempatkan sebagai sebuah totalitas.45 Data penelitian ini berupa teks seni pertunjukan
berupa
tembang Dolalak
serta
teks
pertunjukan Dolalak. Analisis kualitatif dalam penelitian ini bersifat eksplanasi, yaitu menjelaskan sedetail-detailnya dari semua bagian informasi dari data dengan menggunakan kajian teoritis.
Penggunaan
teori
ini
diperlukan
untuk
menekan
seminimal mungkin kontradiksi terhadap interpretasi data serta informasi yang disajikan. Objek penelitian ini adalah sebuah peristiwa seni yang berupa seni pertunjukan tembang, maka pendekatan utama yang dipakai untuk penelitian ini adalah performance studies (studi tentang penampilan).46 Sedangkan kajian dekonstruksi dipakai sebagai sudut pandang pemikiran untuk pemecahan permasalahan yang ada. Untuk membantu penjelasan dan pembahasannya dibantu juga beberapa teori yang relevan.
45Mengacu
pendapat R.M. Soedarsono dalam Metodologi Penelitian Seni Pertunjukan dan Seni Rupa, cetakan ke-2 (Bandung: MSPI, 2001), 34, yang mengutip pendapat dari Pertti Alasuutari dalam bukunya Researching Culture: Qualitative Method and Cultural Studies (London: Sage Publications, 1996), 8-12. 46 Richard Schechner,”Performance Studies: The Broad Spectrum Approach”, dalam The Performance Studies Reader, second edition, ed. By Henry Bial, (London and New York: Routledge, 2010), 7-9.
43
Konsep dekonstruksi muncul pada era pascamodernisme, yaitu akhir abad ke-20 sebagai gerakan lanjutan modernisme sekaligus sebagai bentuk perlawanannya. Konsep pemikiran pascamodernisme menghargai hadirnya teori-teori baru untuk menggugat paham totaliter dalam praktek penandaan. Signifikasi atau penandaan tidak boleh dilakukan secara dominan dan definitif.47 Persepektif
dekonstruksi
digunakan
untuk
mencari
kemungkinan-kemungkinan adanya makna lain, selain makna yang biasanya dalam teks. Pendekatan dekonstruksi bukan untuk merusak tatanan yang sudah ada sebelumnya, namun berusaha melepaskan diri dari yang sudah ada sebelumnya dan menemukan pusat-pusat baru di mana makna mungkin masih tersembunyi. Dekonstruksi memiliki variasi pemahaman filosofi, strategi politik dan intelektual serta cara pembacaannya.48 Pemaknaan terhadap tekstualitas
menurut
Jacques
Derrida,
ditandai
dengan
“ketersebaran” dalam alur masa, artinya makna tidak dapat dibatasi hanya dalam konteks tertentu, namun harus lebih
Anthony Easthope, Literary into Cultural Studies. (London and New York: Routledge, 1991), 110-111 melalui Faruk H.T. Pengantar Sosiologi Sastra. Cet. 2. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999), 149. 48 Dalam Jonathan Culler, (1983: 85). 47
44
bersifat dinamis, sehingga dapat membuka jalan bagi pemaknaanpemaknaan baru sesuai konteksnya.49 Ide dasar kajian dekonstruksi menurut Derrida adalah membongkar asumsi-asumsi yang sudah ada sebelumnya atau istilah
khususnya
membongkar
keseragaman
sejarah,
mengungkap kontradiksi-kontradiksi yang ada, serta menemukan konsep-konsep
baru
sekaligus
melakukan
serangkaian
pembaharuan. Peran minimal dekonstruksi adalah memberi kesan dan unsur-unsur tambahan terhadap konsep yang sudah ada sebelumnya.50 Analisis penggunaan
dekonstruksi
terhadap
aspek
tembang dalam pertunjukan
kebahasaan Dolalak
dan
dilakukan
dengan asumsi bahwa kedua aspek tersebut sudah memiliki makna atau arti tertentu pada masa sebelum ini, yaitu: (1) Aspek kebahasaan tembang Dolalak banyak mengandung unsur dan nuansa religi Islami; (2) Aspek penggunaan tembang dalam pertunjukan Dolalak dikatakan sangat dominan, sebagai salah satu buktinya adalah bahwa tari Dolalak sering disebut juga sebagai tari syair tembang. Bukti lainnya, aspek penggunaan tembang 49 Easthope, 1991: 113 melalui Faruk H.T. Pengantar Sosiologi Sastra. Cet. 2. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999), 150. 50 Pendapat Jacques Derrida ini disarikan dari berbagai definisi yang pernah diungkapkannya dalam kesempatan berbeda-beda, (lihat Saifur Rohman, 2014), 9-10.
45
dalam sajian trance sering dikatakan sebagai unsur yang paling penting dan dominan untuk menyajikan trance. Berdasarkan
asumsi
konstruksi
yang
sudah
ada
tersebut
dilakukan kajian dekonstruksi untuk mengungkap oposisi biner (unsur
yang
berpasangan,
bertentangan,
namun
tidak
terpisahkan) dan menemukan inkonsistensi logis dalam teks tersebut. Pengungkapan oposisi biner dan penemuan inkonsistensi logis tersebut dilakukan dengan cara menghubungkan referensi, kamus umum, kamus khusus (kamus istilah),
makna sehari-
hari, dan sebagainya. Hasil pemecahan masalah dari inkonsistensi yang terjadi pada teks yang sudah ada sebelumnya memunculkan konstruksi baru dari teks. Pengungkapan konstruksi baru teks ini yang menjadi hasil akhir penemuan dari proses penelitian ini. Konstruksi teks baru aspek kebahasaan dan penggunaan tembang
ini
memunculkan
wujud
estetika
baru
dalam
pertunjukan Dolalak sebagai pertunjukan rakyat. Estetika adalah sebuah pandangan yang mengarahkan pencarian pada nilai-nilai keindahan dari hasil peristiwa seni. Fenomena yang dihasilkan dari peristiwa seni dikaji dari sisi teks maupun konteksnya untuk mendapatkan estetika penciptaannya. Sudut pandang estetika tembang dalam perannya mendukung seni pertunjukan dipakai karena fokus objek kajian penelitian ini berupa bentuk nyanyian
46
tradisional atau puisi rakyat yang dinyanyikan dan diiringi menggunakan alat musik etnik tertentu. Peristiwa musik etnik yang hadir dalam rangka
mendukung penampilan sebuah seni
kerakyatan melahirkan estetika tertentu. Pembahasan
teks
dan
konteks
terhadap
peristiwa
berkesenian, termasuk produk peristiwa musik etnik, dapat dihubungkan dengan kondisi masyarakat pada masanya. Sejalan dengan pendapat ini, Heddy Shri Ahimsa Putra menyatakan, bahwa fenomena penelitian terhadap kegiatan berkesenian adalah mengamati dan menelaah peristiwa bukan dari sudut pandang karakter,
mutu seninya, atau pun nilai-nilai estetika saja,
melainkan dipahami sebagai bagian dari suatu realitas sosio kultural.51
Sosio kultural adalah suatu realitas yang berkaitan
dengan berbagai macam fenomena sosial-budaya di luar kegiatan berkesenian. Berdasar pendapat di atas, maka
kajian terhadap bentuk
tembang dalam seni pertunjukan Dolalak ini selain menggunakan pendekatan di atas juga harus disertai teori yang relevan dalam kajian seni penampilan (kajian tekstual), juga memahaminya dengan kajian kontekstual. Kajian kontekstual diperlukan untuk memandang seni ini dalam perspektif yang lain, seperti sejarah, 51Heddy
Shri Ahimsa-Putra, “Seni dalam Beberapa Perspektif: Sebuah Pengantar” dalam buku Ketika Orang Jawa Nyeni. (ed.) (Yogyakarta: Galang Press, 2000), 14.
47
politik, ekonomi, dan antropologi. Sebagai sebuah bentuk ekspresi, kehadiran seni tembang dalam pertunjukan Dolalak tidak bisa dilepaskan begitu saja dari pengaruh peristiwa-peristiwa yang ada di sekitarnya. Istilah ‟teks‟, (selanjutnya akan ditulis dengan teks saja) dalam penelitian ini, diartikan sebagai setiap peristiwa yang terjadi dalam sebuah pertunjukan. Konsep ini mengacu pada pendapat Marco de Marinis, bahwa the performance is text „pertunjukan itu sebuah teks‟. Kata teks di sini memiliki pengertian yang berbeda dalam ilmu bahasa (linguistik), menurut linguistik, teks hanya diartikan dalam wujud sebagai single layer (satu lapis) saja, yaitu bahasa. Istilah teks dalam seni pertunjukan diartikan ke dalam bentuk multi layers (banyak lapis), artinya meliputi semua lapis yang ada dalam komponen seni pertunjukan, seperti gerak, penari, musik, busana, rias, dan tata panggung. 52 Bentuk seni, termasuk di dalamnya seni pertunjukan, merupakan sebuah struktur yang kompleks. Oleh karena itu, perlu adanya analisis untuk membongkar dan memahami struktur yang kompleks itu dengan cara menganalisisnya. Analisis teks itu harus
dapat
menunjukkan
bagian
sebagai
bagian
dari
keseluruhan, tidak hanya sebagai bagian yang terlepas dari unsur 52Marco
DeMarinis, The Semiotics of Performance, terjemahan oleh Aine O‟Healy (Bloomington and Indianapolis: Indiana University Press, 1993), 10-12.
48
kesejarahannya. Kompetensi yang diperlukan untuk analisis ini adalah berupa keakraban penanggap dengan bentuk dan wujud teks, sistem deskriptif, tema, mitologi masyarakat, dan hal yang terpenting dengan teks-teks lain atau teks luaran. Pembahasan masalah utama tentang aspek kebahasaan dan aspek penggunaan tembang Dolalak sebagai pertunjukan rakyat diuraikan dengan menggunakan pendekatan dekonstruksi yang hakikatnya merupakan suatu cara membaca ulang sebuah teks yang menumbangkan anggapan (walau hal itu hanya secara implisit) bahwa sebuah teks itu memiliki landasan, dalam sistem bahasa yang berlaku, untuk menegaskan struktur, keutuhan, dan makna yang telah menentu seperti yang dikemukakan oleh M.H. Abrams dalam “The Limits of Pluralism: The Deconstructive Angel”.53 Dekonstruksi
menolak
pandangan
bahwa
bahasa
memiliki makna yang pasti, tertentu, dan konstan. atau
bentuk-bentuk
kebahasaan
yang
telah
Ungkapan
dipergunakan
untuk
membahasakan objek tidak ada yang bermakna tertentu dan pasti. Dekonstruksi terhadap suatu teks menolak makna umum yang
diasumsikan
ada
dan
melandasi
karya
seni
yang
bersangkutan dengan unsur-unsur yang ada dalam karya itu sendiri. Bahkan dekonstruksi dapat memberikan dorongan untuk
Christopher Norris. Deconstruction: Theory and Practice. (London and New York: Methuen, 1983), 105. 53
49
menemukan segala sesuatu yang selama ini tidak memperoleh perhatian.
Memungkinkan
untuk
melakukan
penjelajahan
intelektual dengan apa saja, tanpa terikat dengan sutu aturan yang dianggap telah berlaku universal. 54 Dekonstruksi terhadap teks pertunjukan Dolalak melalui keberadaan syair tembang-tembangnya adalah „menolak‟ makna umum yang diasumsikan hadir dan melandasi karya yang bersangkutan dengan unsur-unsur yang ada dalam karya itu sendiri.
Oleh
kemungkinan
karena adanya
itu, „makna
diperlukan tersembunyi‟
upaya
pencarian
dari
konstruksi
Dolalak dan unsur pendukung tembangnya yang berupa aspek kebahasaan dan penggunaannya dalam pertunjukan. Usaha dekonstruksi tembang Dolalak ini diperlukan guna membongkar konsep awal (lama) dan menemukan konsep baru tentang bentuk dan nilai estetika pertunjukan Dolalak sebagai pertunjukan rakyat dilihat dari unsur tembang-tembangnya. Pembahasan permasalahan bentuk konstruksi tembang Dolalak pada aspek kebahasaan dan aspek musikalitas didukung oleh teori formula dikemukakan oleh Milman Perry dan kemudian disempurnakan oleh muridnya bernama Albert B. Lord.55 Studi terhadap puisi rakyat yang dinyanyikan di Eropa maupun belahan Derrida dalam Jonathan Culler, (1993), 91-94. Albert B. Lord. The Singer of Tales. (Cambridge, Massachusetts and London England: Harvard University Press, 1981). 54 55
50
dunia lainnya pernah dilakukan oleh Parry dan Lord, materi penelitiannya tentang epos rakyat yang dinyanyikan oleh tukang cerita di Yugoslavia. Istilah formula dan formulaik sendiri berasal dari sebuah kajian terhadap puisi Yunani Ilias dan Odyssea karya Homeros. Pada waktu penciptaan kedua puisi tersebut, belum ada tradisi tulis, bahkan sistem alfabet pun belum ditemukan. Homeros mampu menyajikannya yang dimungkinkan dengan cara menghafal, karena jika ada dalam bentuk tulis pun, Homeros tidak bisa membacanya karena seorang yang buta matanya. Oleh karena itu, teori „menghafal‟ puisi terpatahkan, hal inilah yang memunculkan
teori
formula
bahasa.
Keformulaikan
bahasa
menjadi ciri khas puisi atau nyanyian lisan.56 Peneliti-peneliti berikutnya adalah Jack Goody yang juga meneliti masalah kelisanan ini terhadap cerita-cerita rakyat di Afrika Barat, pendapatnya mengenai „memorisasi‟ (bisa diartikan penghafalan) secara murni dalam tradisi lisan tidak mungkin dilakukan dalam masyarakat tradisional. Memorisisasi justru terjadi
dalam
masyarakat
masa
kini
yang
sudah
modern.
Memorisisasi masa tradisional dilakukan dengan menggunakan sistem formulaik kebahasaan.57
A. Teeuw, Indonesia Antara Kelisanan dan Keberaksaraan. (Jakarta: Pustaka Jaya 1994), 2 57 Jack Goody, The Interface Between the Written and the Oral. (New York: Cambridge University Press, 1989), 17. 56
51
Teori formula Parry-Lord mengemukakan bahwa puisi-puisi rakyat
yang
berbentuk
Penelitiannya
lisan
umumnya
memiliki
tiga
sarana
menggunakan
formula. untuk
mengungkapkannya, yaitu pertama, teori formula dan ekspresi formulaik, kedua, konsep komposisi, pertunjukan, dan pewarisan, serta ketiga tentang tema. Pengertian dan deskripsi teori formula menurut Albert B. Lord, seperti yang ditulis dalam bukunya, sebagai berikut. The Formula as “a group of words which is regularly employed under the same metrical conditions to express a given essential idea”.... 58 (Formula adalah “kelompok kata yang secara teratur dimanfaatkan dalam kondisi matra yang sama untuk mengungkapkan satu ide pokok”....) Kata “matra” dalam terjemahan dari metrical, menurut Teeuw, bisa diartkan
sebagai
metrum,
yaitu
irama
yang
tetap,
artinya
pergantiannya sudah tetap menurut pola tertentu.59 Jan Van Luxemburg menyatakan metrum adalah pola dasar irama pada sebuah
sajak.
Bentuknya
adalah
distribusi
tekanan
atau
kepanjangan suku kata atau bunyi (rima, persamaan vokal, aliterasi, dan sebagainya) dalam larik-larik dan kumpulan larik secara skematis.60 Albert B. Lord, 1981, 30. A. Teeuw, 1994, 3 60 Jan Van Luxemburg, Over Literatur, diterjemahkan menjadi Tentang Sastra oleh Akhadiati Ikram. (Jakarta: Intermasa, 1991), 100. 58 59
52
Konsep teori formula adalah adanya kondisi yang berulangulang muncul dalam cerita, yang berupa frasa, klausa, atau larik. Untuk menghasilkan frasa itu ada dua cara yang ditempuh oleh pencerita
yaitu
dengan
mengingat
frasa
itu
dan
dengan
menciptakan kembali melalui analogi frasa-frasa lain yang pernah ada. Oleh karena itu, analisis formula harus dimulai dengan pengamatan yang cermat terhadap frasa-frasa yang mengalami perulangan.61 Jadi, kata kunci di teori ini adalah konsep perulangan unsur linguistik berupa afiks, kata, frasa, klausa, baris, dan struktur, yang dipakai dalam pola sintaksis dan ritme tertentu serta pada posisi tertentu. Proses perulangan bunyi tersebut membuktikan bahwa puisi rakyat berbentuk tembang dan disajikan secara lisan, penyajinya tidak pernah menggunakan cara menghafal, melainkan mengalir begitu saja. Selain teori formula yang penekannya pada konsep pengulangan-pengulangan
tersebut,
Albert
B.
Lord
juga
mengemukakan pentingnya kajian pada aspek kelisanannya. Kajian
dalam
aspek
ini
meliputi,
pertama,
bagaimana
tembang itu diproduksi dengan formula tertentu, disebut dengan istilah composition (komposisi). Kedua, performance (penampilan, pertunjukan) yaitu ketika menyanyikan tembang atau puisi lisan
61
Albert B. Lord, 1981, 57.
53
didapati
perubahan,
penambahan,
atau
kesalahan
yang
dilakukannya. Ketiga adalah masalah transmition (pewarisan), yaitu prinsip penyebaran atau penurunan, hal ini oleh Lord menjelaskannya dalam hal berhubungan dengan memori pikiran manusia. Selain
teori
formula,
ekspresi
formulaik,
dan
komposisi-pertunjukan-pewarisan, aspek kelisanan nyanyian
rakyat
dapat
didekati
dengan
konsep
puisi dan
menyentuh
dan
mengangkat temanya. Tema adalah kelompok ide yang digunakan secara teratur pada penciptaan cerita pada gaya formulaik puisi tradisional. Kelompok-kelompok ide itu oleh Lord diartikan sebagai „themes’ (tema). Istilah tema yang dipakai oleh Lord diartikan sebagai kelompok ide siap pakai.62 Pembahasan permasalahan bentuk, aspek-aspek pembentuk, pertunjukan, dan pewarisan tembang Dolalak sebagai kajian utama penelitian ini digunakan teori formula Albert B. Lord. Namun demikian untuk memperkuat kajian, maka juga digunakan teori-teori pendukung. Karena lirik tembang Dolalak berbahan dasar bahasa, khususnya bahasa yang berbentuk puisi maka ditambahkan teori yang mendekati untuk fokus permasalahannya, yaitu teori semiotik yang dikemukakan oeh Micheal Riffaterre.
62
Albert B. Lord, 1981, 68-60.
54
Teori ini mengungkap aspek-aspek kebahasaan dalam tembang Dolalak. Semiotik adalah ilmu tentang tanda atau simbol. Kajian tanda dan
simbol
tersebut
dalam
hubungannya
sebagai
bentuk
komunikasi dan ekspresi. Simbol dan tanda dalam sebuah teks. Teks syair simbol dan tandanya berupa bahasa. Teks bahasa adalah kode-kode kebahasaan yang memiliki arti dan makna tertentu. Bahasa merupakan sistem tanda tingkat pertama yang memiliki meaning (arti) tersendiri, sedang pada tingkat kedua bahasa memilki signifiance (makna) tertentu pula.63 Kajian terhadap teks kebahasaan pada tembang dapat disamakan dengan kajian bahasa dalam karya seni sastra, khususnya
bentuk
puisi.
Bahasa
puisi
memiliki
ciri
khas
tersendiri, di samping memilih kata-kata khusus, juga pilihannya pada penggunaan bahasa yang indah. Michael Riffaterre adalah tokoh peneliti bahasa dalam puisi yang kajiannya menggunakan semiotik. Menurutnya, konsep semiotik
mengantar
pembaca
teks
bahasa
puisi
dapat
menginterpretasi dan memberi makna pada puisi tersebut.64 Pembaca harus beranggapan bahwa setiap kata yang ada dalam puisi tersebut memiliki makna tertentu, sehingga pembaca dapat Michael Riffaterre, 1978, melalui Rachmat Djoko Pradopo, Pengkajian Puisi. (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1987), 122. 64 Michael Riffaterre, Semiotics of Poetry. (Bloomington and London: Indiana University, 1978), 2. 63
55
memaknainya dengan berbeda-beda tergantung cara pandangnya. Pemahaman dan pemaknaan terhadap sebuah karya berbentuk puisi, tembang, mantera, dan semacamnya dapat dilakukan dengan empat cara, yaitu (1) mengungkap ketidaklangsungan makna; (2) pembacaan secara heuristik dan hermeunetik; (3) pengunaan matriks, model, dan varian; serta (4) hipogram. 65 Proses memaknai kata dalam bentuk puisi, termasuk syair tembang, diawali dengan proses pembacaan secara teliti oleh pembaca
serta
memperhatikan
secara
seksama
tanda
atau
lambang yang ada di dalamnya. Pemaknaan dalam teks puisi maupun
tembang
dapat
berupa
makna
tidak
Ketidaklangsungan makna tersebut dihasilkan melalui
langung. tiga hal,
yaitu penggantian, penyimpangan, dan atau penciptaan arti. Proses penggantian arti terjadi ketika muncul kata-kata kiasan. Penggunaan kata-kata kiasan adalah untuk menimbulkan efek keindahan, dalam ilmu bahasa disebut dengan istilah majas atau gaya bahasa. Ilmu yang mempelajari gaya bahasa dalam seni sastra, khususnya masalah kebahasaan disebut stilistika. Ketidaklangsungan makna dalam bahasa puisi dan syair tembang
dapat
dilakukan kontradiksi, 65
juga
melalui dan
disebabkan pengambilan nonsense
oleh
penyimpangan
kata-kata (makna
Michael Riffaterre, 1978, 2-5 dan 19-23.
arti,
yang
ambigu,
kosong).
Bentuk
56
ketidaklangsungan
makna
yang
ketiga
dilakukan
bila
ada
penciptaan arti baru, artinya keluar dari kaidah ketatabahasaan. Karena di luar kaidah maka teks kebahasaan tersebut secara linguistik atau ilmu kebahasaan, tidak ada artinya. Penciptaan arti baru dilakukan dengan memakai pengulangan bunyi, yaitu vokal (aliterasi) dan konsonan (asonansi), peloncatan kata antar baris (enjabement). Selain kedua hal itu juga bentuk visual tatanan penulisannya
(tipografi)
juga
mempengaruhi
penciptaan
arti
baru.66 Setelah melalui kajian ketidaklangsungan ekspresi di atas, untuk mendapatkan makna dalam bentuk wacana utuh, baik dalam satu maupun serangkaian bentuk syair tembang dapat dilakukan dengan cara pembacaan heuristik dan hermeunitik. Pembacaan heuristik adalah pencarian makna leksikal untuk memperjelas arti kebahasaannya. Pembacaan hermeunitik adalah proses pencarian makna secara logis, artinya mencari titik makna yang tidak tertulis secara langsung dalam teks. Untuk
mempermudah
pencarian
makna
tersebut
maka
pembacaannya dilakukan dengan cara mengelompokan ke dalam matriks, model, dan varian. Matriks berupa kata kunci dari teks tersebut, model adalah penuangan ke dalam kata-kata atau Michael Riffaterre, 1978, 2; Rachmat Djoko Pradopo, 1987, 122-123; dan Kinayati Djojosuroto, Puisi, Pendekatan dan Pembelajaran (Bandung: IKAPI, 2005), 104. 66
57
kalimatnya, dan varian adalah kata-kata atau kalimat sebagai pendukung.67 Pengunaan hiprogram bisa dilakukan untuk mendapatkan makna dengan cara melihat latar belakang penciptaan teks yang dilakukan sebelumnya. Hipogram digunakan untuk mengetahui penyebab
hadirnya
sebuah
teks
baru
berdasarkan
hasil
transformasi teks sebelumnya. Dalam kajian bentuk bahasa puisi, syair, tembang, mantera, dan lainnya dipakai untuk menemukan makna secara utuh dan terpadu. Dua bentuk hasil hipogram adalah yang nampak langsung secara aktual seperti yang pernah ada sebelumnya, dan hipogram potensial, yaitu hanya tersirat, berbentuk konotasi, dan perlawanan.68 Pengungkapan permasalahan transmisi (pewarisan) tembang Dolalak, dimaksudkan untuk menemukan bentuk transmisi, pelakunya, dan hasil transformasinya. Selain menggunakan teori formula Lord, untuk melengkapinya pembahasan juga mengacu pendapat James R. Brandon, yang pernah menulis lebih spesifik tentang tradisi pewarisan berbagai seni pertunjukan yang ada di wilayah Asia Tenggara, terutama karena adanya pengaruh India, China, Islam, dan Budaya Barat. Menurut Brandon, membahas latar kesejarahan sebuah seni pertunjukan juga harus membahas Michael Riffaterre, 1978, 2-5 dan Rachmat Djoko Pradopo, 1987, 121-123. 68 Michael Riffaterre, 1978, 23 67
58
proses produksi sebuah seni pertunjukan, tradisi pewarisannya, hubungan seni pertunjukan dengan berbagai bidang seperti ekonomi, sosial masyarakat, dan lain-lainnya, termasuk pula peran
seni
pertunjukan
dalam
hubungannya
sebagai
alat
komunikasi dan propaganda.69 Kajian terhadap aspek penggunaan tembang dalam seni pertunjukan Dolalak, khususnya dalam relasinya dengan sajian peristiwa trance, digunakan referensi dari penelitian yang ditulis dalam bentuk artikel dan buku yang pernah ditulis oleh Judith Becker tentang musik dan trance. Salah satu penelitian yang pernah dilakukannya adalah menemukan relasi antara musik iringan pertunjukan dan sajian trance dalam Tari Barong dan Tari Keris di Bali.70 Selain tokoh Judith Becker di atas, terdapat juga tokoh bernama Gilbert Rouget yang menulis buku tentang teori untuk mengungkap
relasi
atau
hubungan
antara
musik
dengan
possessed.71 Kata possessed dapat diartikan ke dalam bahasa Indonesia „kesurupan‟, „majenun‟, „kemasukan setan‟ dan atau James R. Brandon, Jejak-Jejak Seni Pertunjukan di Asia Tenggara. Cetakan Pertama. Terjemahan RM Soedarsono dari judul asli Theatre in Southeast Asia. Second Edition. Cambridge: Harvard University Press, 1974. (Bandung: P4ST UPI, 2003). 70 Judith Becker, “Music and Trance”, Leonardo Music Journal, Volume 4, hal. 41-51. 71 Gilbert Rouget, Music and Trance, A Theory of The Relations between Music and Possesion Terjemahan dari Bahasa Perancis oleh Brunhilde Biebuy, dkk. (Chicago and London: The University of Chicago Press, 1985), hal. 321. 69
59
juga trance „kemasukan roh‟.72 Peristiwa trance, ndadi maupun possessed biasanya dihubungkan dengan sebuah kegiatan ritual. Kegiatan ini banyak ditemukan dalam kehidupan masyarakat termasuk di Indonesia. Penelitian khususnya,
kegiatan
pernah
penelitiannya
ritual
dilakukan
mengenai
ritual
seperti oleh
tersebut
Clifford
tersebut
di
Jawa
Geertz.
Hasil
dituliskannya
dalam
sebuah artikel di sebuah majalah antropologi di Amerika Serikat termasuk perubahan sosial yang terjadi di dalamnya.73 Oleh karena itu, untuk membuktikan apakah benar bahwa trance, ndadi, maupun possessed itu termasuk kegiatan ritual oleh masyarakatnya, maka perlu dibahas dan dibandingkan dengan tulisan Geertz ini. Pembahasan permasalahan
awal sejarah dan penciptaan
awal seni pertunjukan Dolalak di Purworejo menggunakan kajian historis terhadap teks yang bersangkutan. Selain melakukan perunutan sejarah proses kehadiran seni tersebut, dilakukan juga kajian
untuk
menemukan
pengaruh
bentuk
seni
masa
sebelumnya terhadap seni tersebut. Pembahasan permasalahan ini digunakan konsep dialogika Mikhail Bakhtin, khususnya
John M. Echols dan Hassan Shadily, Kamus Inggris-Indonesia (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1990), 439. 73Clifford Geertz , "Ritual and Social Change: A Javanese Example", American Anthropologist, Vol. 59, No. 1. Athun 1957. 72
60
melalui penelusuran teks yang melatarbelakanginya atau dikenal dengan istilah hipogram dalam teori intertekstual. Konsep dialogika Mikhail Bakhtin, intertekstualitas adalah menghubungkan teks dalam dengan teks luaran. Teks dalam adalah aspek yang berhubungan dengan diri teks itu sendiri, yaitu berupa unsur estetika dan imajinasi, sedangkan teks luaran adalah unsur yang mempengaruhi pencipta ketika menciptakan teks itu, seperti pengalaman pencipta, ideologi, latar sosial budaya, sejarah, dan lain-lain. Jadi, prinsip intertekstualitas yang utama adalah prinsip memahami dan memberikan makna karya seni dari memadukan teks dalam dan teks luaran. 74 Konsep intertekstual inilah yang digunakan untuk memahami dan memaknai secara mendalam teks berupa seni pertunjukan Dolalak di Purworejo, yang berasal dari bentuk transformasi seni pertunjukan Angguk yang sudah ada pada masa sebelumnya. Penerapan teori Intertekstual dalam penelitian ini, adalah berdasar pada asumsi bahwa sebuah seni pertunjukan Dolalak kehadirannya dipengaruhi oleh teks di luarnya. Oleh karena itu, kehadiran seni pertunjukan Dolalak merupakan penyerapan teks lain yang ada pada sezaman atau sebelumnya. Proses inilah yang
Bandingkan dengan pendapat sebelumnya tentang ‟teks dan konteks‟. 74
Heddy
Shri Ahimsa-Putra
61
menunjukkan sebuah kenyataan bahwa sebuah bentuk seni pertunjukan mengandung berbagai teks lain di dalamnya. Kajian intertekstual ini juga digunakan untuk membuktikan kedekatan hubungan antara Dolalak Purworejo dengan Angguk. Prinsip intertekstual tidak harus seluruhnya meneladani teks sebelumnya, namun dapat berupa transformasi
atau
bahkan
penyimpangan atau pemberontakan terhadap model teks yang sudah
ada. Kristeva mengungkapkan bahwa
setiap
teks
tersusun dari mosaik kutipan-kutipan, maka setiap teks itu meresapi dan menstransformasi teks yang lain. 75 Perpaduan berbagai unsur tersebut selalu disertai dengan penyesuaian-penyesuaian. Akibat adanya penyesuaian ini, seni pertunjukan akan tetap hadir
sesuai dengan ‟jiwa zaman‟.
Penyesuaian-penyesuaian dengan kondisi zaman inilah yang menjadi kunci untuk tetap mempertahankan keberadaan seni (terutama seni pertunjukan tradisional) di tengah-tengah arus globalisasi yang terjadi pada masa sekarang dan yang akan datang. Berdasar penggunaan kerangka teoritik dan acuan di atas, skema penggunan teori dan pemecahan rumusan permasalahan penelitian ini dapat dijelaskan secara ringkas, sebagai berikut.
75Julia
Kristeva via Jonathan Culler, Literary Theory: A Very Short Introduction (London: Oxford University Press, 1977), 139.
62
(1) Pendekatan performance studies (studi tentang penampilan) digunakan
untuk
membahas
secara
umum
keseluruhan
penelitian yang berhubungan dengan seni pertunjukan; (2) Teori dekonstruksi model Jacques Derrida digunakan untuk membahas konstruksi yang ada sebelumnya, kontradiksi, dan konstruksi baru Dolalak sebagai pertunjukan rakyat dilihat dari unsur pendukungnya berupa tembang; (3) Untuk mendukung ketajaman analisis dan hasil penelitian secara keseluruhan maka digunakan juga beberapa konsep pemikiran lain yang relevan. Berikut ini gambar skema penggunaan kerangka teoritis dalam penelitian ini.
Gambar 1 Skema Proses Analisis Permasalahan (dibuat oleh Djarot Heru Santosa, September 2015)
63
G. Metode Penelitian Proses pengumpulan data penelitian ini menggunakan metode etnografi. Metode ini dipilih karena dapat mendeskripsikan pola-pola berkomunitas suatu suku bangsa di wilayah tertentu, terutama dalam konteks suku bangsa di Indonesia yang memiliki perbedaan pandang antara satu dengan yang lainnya. Metode ini dilakukan
dengan
cara
pengamatan
dan
analisis
terhadap
perkembangan kebudayaan manusia berkomunitas dari waktu ke waktu yang sarat dengan berbagai perubahan, serta tidak dapat dilepaskan dari kajian aspek budaya lainnya. Metode etnografi dalam penelitian ini digunakan untuk penulisan rangkaian data dalam penelitian, khususnya untuk penyampaian kondisi yang terjadi, khususnya tentang keberadaan tembang Dolalak dan umumnya seni pertunjukan Dolalak secara keseluruhan di lingkungan masyarakat wilayah Purworejo. Metode ini juga dipakai untuk menyampaikan konstruksi-konstruksi awal tentang Dolalak yang dipandang sebagai seni pertunjukan rakyat bernuansa religi Islami karena munculnya unsur pendukung berupa syair-syair tembangnya yang bernafaskan Islami. Data objek peristiwa seni pertunjukan, termasuk syair tembang, salah satu caranya dihasilkan dengan menggunakan sistem dokumentasi atau perekaman baik melalui gambar (foto) maupun rekaman gerak dan suara (video). Untuk melengkapi data
64
tersebut, karena peristiwa seni pertunjukan itu sifatnya mudah hilang dalam waktu maka data rekaman, baik gambar maupun gerak dan suara, dilengkapi dengan catatan dan keterangan halhal yang menyertainya. Perpaduan antara data rekaman dan catatan latar belakang peristiwa tersebut sangat penting dilakukan untuk bahan analisis antara teks dan konteks karena dalam kenyataannya seni pertunjukan itu merupakan multi layered entity (kesatuan dalam multi lapis). Berdasarkan tujuan penelitian dan landasan teori dalam mencari jawaban atas permasalahan yang ada, maka penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan penekanan pada prinsip kajian dari pendekatan dekonstruksi terhadap tembang dalam seni pertunjukan Dolalak. Tahapan langkah penelitiannya, sebagai berikut. Langkah pertama, dimulai dari pengumpulan data tulis yang diperoleh
dari
sumber-sumber
tertulis
seperti
buku,
hasil
penelitian ilmiah sebelumnya, arsip, artikel dalam jurnal ilmiah, website, dan sumber lainnya. Langkah kedua, pengumpulan data lapangan. Data-data lisan
dikumpulkan
melalui
wawancara
dengan
berbagai
narasumber yang berhubungan dengan topik, rekaman audio, rekaman gambar foto, rekaman audio visual, dan observasi
65
langsung.76 Pengumpulan data-data lisan dilaksanakan melalui penelitian lapangan dengan pengamatan dan pencatatan langsung di lingkungan komunitas seni pertunjukan Dolalak. Kegiatannya meliputi pencocokan catatan tertulis yang sudah ada dengan lirik tembang yang sedang ditampilkan dalam sebuah pertunjukan. Pencatatan dari sumber-sumber lisan dengan cara wawancara secara langsung kepada narasumber, mencocokkan hasil yang sudah ditulis dengan narasumber, dan merekonstruksi data-data lirik atau syair tembang yang memiliki perbedaan dari sumbersumbernya. Pelaksanaan penelitian lapangan diawali dengan melakukan observasi terhadap wilayah penelitian untuk menentukan setting, kemudian memilih dan menentukan calon narasumber dengan menggunakan kategori, misalnya berdasarkan keterlibatan dalam kegiatan berkesenian (Dolalak), peran dalam pertunjukan, usia, status sosial, peranan, tingkat pendidikan, pekerjaan, wilayah tempat tinggal, dan keaslian tempat tinggal. Tata cara wawancara dilakukan secara semi terstruktur dengan pertanyaan-pertanyaan yang telah disiapkan dan bersifat terbuka
untuk
memberi
kebebasan
narasumber
dalam
mengemukakan pendapatnya. Wawancara mendalam (in-depth interview) juga digunakan apabila dibutuhkan data yang lebih 76
Periksa R.M. Soedarsono, 2001: 127-128.
66
bersifat spesifik, misalnya data-data tentang istilah-istilah khusus yang biasa digunakan dalam pertunjukan, bentuk tembang, penciptaan tembang, lirik-lirik tembang yang sulit menemukan arti atau terjemahannya, penentuan pelaku yang menyanyikan tembang, cara memilih tembang, dokumentasi lirik tembang, cara menghafal, kesesuaian dengan irama musik, penggunaan tembang dalam sajian trance, dan lainnya. Data-data ini diperlukan untuk melihat
secara
mendalam
hal-hal
yang
berkaitan
dengan
keberadaan tembang dalam seni pertunjukan Dolalak. Selanjutnya, Langkah ketiga adalah mengubah pencatatan data lisan menjadi data yang berbentuk narasi. Data yang telah terkumpul dianalisis secara deskriptif, tujuannya agar fenomena budaya yang ditemukan diangkat, dijelaskan, dipahami, dan diuraikan
secara
menyertainya
serta
logis
dan
dikaitkan
berdasarkan dengan
konteks
yang
teori-teori
yang
dipergunakan dalam penelitian ini untuk memecahkan masalah. Langkah keempat adalah, analisis data dilakukan dengan memilah-milah serta mengklasifikasikan data yang terkumpul berdasarkan
pada
kategori-kategori
tertentu.
Interpretasi
digunakan untuk menghasilkan fakta yang terseleksi dalam rangka menyusun suatu kesimpulan dari kebenaran hasil kajian. Tahapan pada langkah analisis ini menggunakan metode dekonstruksi. Metode ini digunakan dalam membedah rumusan
67
permasalahan utama penelitian ini, dilakukan dengan langkahlangkah sebagai berikut. (1) Membangun teks yang berasal dari “teks” pertunjukan Dolalak yang meliputi sejarah penciptaan, bentuk pertunjukan, unsurunsur pendukungnya, termasuk dalam hal ini adalah syair atau lirik tembang Dolalak beserta unsur musikalitas yang ada di dalamnya. (2) Melakukan kegiatan interpretasi (penafsiran) terhadap teks, khususnya
kajian
terhadap
syair
tembangnya
untuk
menemukan konstruksi yang sudah terbangun selama ini. (3) Mengungkap kontradiksi-kontradiksi yang ada dalam teks tersebut dengan kenyataan yang sebenarnya terjadi. (4) Menyusun cara pandang baru dalam pemahaman terhadap teks tersebut sehingga ditemukan konsep-konsep baru dari hasil penafsiran yang didasarkan pada penemuan kontradiksi. (5) Mengungkap tanda-tanda “tersembunyi” yang mungkin masih ada dalam teks untuk merumuskan konstruksi baru dari hasil pembacaan dan penafsiran teks tersebut. Langkah kelima atau tahap akhir penelitian ini adalah penyusunan laporan hasil dari kajian terhadap topik. Laporan ini disusun dan dirangkum sesuai dengan pokok-pokok pembahasan.
68
H. Sistematika Penulisan Disertasi ini disusun berdasar bab per bab. Masing-masing bab berisi hasil analisis, pembahasan, dan pencermatan atas setiap
pokok-pokok
permasalahan
yang
menjadi
fokus
permasalahan dalam penelitian ini. Hasil penelitian ini akan ditulis dengan urutan sistematika penulisan, sebagai berikut. 1. Bab I merupakan bagian pengantar dari penulisan penelitian ini, yang berisi latar belakang dan alasan yang menjadikan
topik seni pertunjukan Dolalak di
wilayah Kabupaten Purworejo Jawa Tengah sebagai objek
materi
penelitian
permasalahannya.
Pada
beserta
bagian
rumusan
berikutnya,
secara
berturut-turut disampaikan tujuan penelitian, manfaat penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, metode penelitian, dan sistematika penulisan ini. 2. Bab
II
berisi
pemaparan
latar
belakang
sejarah
kewilayahan di mana objek penelitian itu berada, yaitu Kabupaten Purworejo Jawa Tengah. Latar belakang kewilayahan itu meliputi sejarah, latar belakang politik, ekonomi, sosial masyarakat serta seni budayanya. Sub bab berikutnya memaparkan bentuk seni pertunjukan Dolalak yang meliputi unsur-unsur pendukungnya,
69
struktur pertunjukan, organisasi kelompok seninya, serta peran dan kehadiran penonton. Bab ini ditutup dengan uraian hubungan antara seni pertunjukan Dolalak dengan Angguk,
eksistensi tembang sebagai
unsur tradisi lisan dalam seni pertunjukan, serta data populasi Tembang Dolalak di Purworejo. 3. Bab III, memaparkan kajian tembang Dolalak untuk mengungkapkan
konstruksi
yang
sudah
terbangun
selama ini. Diawali dengan uraian tentang bentuk dan pola tembangnya. Selanjutnya diuraikan konstruksi aspek kebahasaan dan Dolalak,
tema
dan
aspek musikalitas tembang
makna
tembang,
penggunaan
tembang, khususnya peran dan fungsinya sebagai pengiring dalam sajian ragam gerak tari dan peristiwa trance,
perkembangan,
serta
pewarisan
Dolalak dari masa ke masa. Di bagian akhir
tembang bab ini
diuraikan kontradiksi-kontradiksi yang berasal dari membandingkan
konstruksi
sebelumnya
dengan
kenyataan yang sebenarnya terjadi. 4. Bab IV, berisi uraian pemahaman baru berdasarkan kajian dekonstruksi terhadap Dolalak sebagai seni pertunjukan rakyat yang dilihat dari kenyataan yang ada dari tembang-tembangnya. Cara pemahaman yang
70
baru
ini
dapat
digunakan
untuk
menjelaskan
konstruksi baru bentuk estetika Dolalak sebagai sebuah seni pertunjukan rakyat dilihat dari penggunaan syair tembang-tembangnya. 5. Bab
V
merupakan
kesimpulan
hasil
penelitian
berdasarkan rumusan masalah yang dikemukakan serta capaian dari keseluruhan hasil kajian permasalahan dalam penelitian ini. Pada bagian paling akhir bab ini, disampaikan juga saran dan
rekomendasi
keberadaan
seni
untuk
menjaga
pertunjukan
rakyat
dan di
mempertahankan Indonesia
dalam
menghadapi era globalisasi pada masa sekarang dan yang akan datang.