BAB I PENGANTAR A. Latar Belakang Dunia telah mengakui batik merupakan bagian dari budaya asli Indonesia. Meskipun sebenarnya pembuatan kain yang dilukis dengan menggunakan malam yaitu lilin lebah serta indigo sebagai pewarna juga terdapat di Pegunungan Barat Daya Cina, Vietnam Utara, serta segitiga emas antara Thailand, Laos, dan Burma. Batik yang dibuat di daerah itu bercorak geometris dengan warna putih dan biru. Kain yang dilukis mirip dengan batik juga dibuat di India,1 Persia, dan Mesir.2 Di India, proses pewarnaan batik
menggunakan larutan cat panas, berbeda
dengan di Indonesia yang menggunakan larutan cat dingin. Selain itu, di Bangkok juga dikenal batik yang disebut phanung dan di Rusia (Turkestan Timur) disebut bachara. Batik di kedua tempat terakhir ini menggunakan teknik penempelan lilin.3 Pada tahun 2004 batik dari
1Fiona
Kerlugue, Press, 2004), hlm. 18.
The Book of Batik (Singapore : Archipelago
2G.P.Rouffaer
en H.H. Juynboll, De Batik Kunst in NiederlandischIndie en Haar Geschiedenis op Grond Van Materiaal Aanwezig in ‘s Rijks Etnographisch Museum en Andere Openbare en Particuliere Verzamelingen in Nederland. Uitgave Van A. Oosthoek te Utrecht, 1914, hlm. 7. 3“Batik,
1980, hlm. 30.
kharismanya tak pernah surut”, Femina, 30 Desember
2 Thailand dan Malaysia menjadi saingan berat bagi Indonesia.4 Banyak perusahaan batik di Indonesia terganggu karena Jepang dan Singapura telah berhasil memproduksi batik sendiri secara lebih cepat dan murah.5 Namun demikian, pada tanggal 2 Oktober 2009, nominasi batik Indonesia
terinskripsi
dalam
Representative
List
pada
Sidang
Intergovernmental Commite UNESCO di Abu Dhabi dan mendapat penghargaan sebagai warisan budaya tidak benda. Batik resmi masuk dalam daftar 76 warisan budaya,
karena dinilai sarat dengan teknik,
simbol, dan budaya yang tidak lepas dari kehidupan masyarakat sejak lahir hingga meninggal.6 Penghargaan UNESCO itu telah menimbulkan gairah ekonomi dan mendorong hampir tiap daerah di Indonesia untuk mengembangkan batik dengan identitas lokal masing-masing. Di Indonesia, Pulau Jawa dikenal sebagai daerah penghasil batik yang tersebar di banyak tempat. Pembuatan batik merupakan suatu keahlian tradisional yang dimiliki oleh ribuan rakyat di Pulau Jawa. Akan tetapi sejak tahun 1970-an, sebagian dari usaha batik itu tidak potensial lagi. Gaya dan selera pembuatan batik di daerah bersangkutan ada yang diambil alih oleh daerah lain, bahkan tidak sedikit yang hampir tidak dikenal lagi. Kalaupun masih ada, lebih merupakan kegiatan 4“Aspek
Pemasaran Kerajinan Batik”, Kompas, 23 Februari 2004.
5“Batik
Indonesia miliki originalitas”, Suara Karya, 25 September
1971. 6
“Terjadi Salah Kaprah Soal Batik”, Kompas, 3 Oktober 2009.
3 untuk keperluan konsumsi setempat. Daerah-daerah yang sejak lama dikenal
sebagai
penghasil
batik
seperti
Tuban,
Gresik,
Sidoarjo,
Ponorogo, Pacitan, dan Trenggalek, batik tidak lagi menjadi usaha ekonomi utama masyarakat. Hal serupa terjadi pula di pusat-pusat penghasil batik di Jawa Tengah seperti Banyumas, Demak, Kudus, Rembang, Juwana, Pati, dan di Jawa Barat Cirebon, Tasikmalaya, dan Ciamis.7 Di beberapa daerah kerajinan batik memang bergairah lagi, akan tetapi hal itu baru terjadi pada dekade pertama abad ke-21. Fenomena yang sama tidak terjadi di Pekalongan. Di Kota Pekalongan, usaha batik tetap berlangsung meskipun perkembangannya mengalami pasang surut. Bahkan, UNESCO memberikan penghargaan kepada Kota Pekalongan sebagai daerah penghasil batik dengan sebutan the World Creative City. Penghargaan itu diberikan karena masyarakat batik setempat telah cukup lama tekun dan gigih menjaga batik sebagai mahakarya warisan leluhur bangsa Indonesia.
Dengan demikian,
branding Pekalongan sebagai Kota Batik Dunia, the World City of Batik tidak hanya menjadi simbol saja.8 Sejak abad ke-19, Pekalongan telah tumbuh menjadi produksi
batik
yang
berperanan
besar
dalam
pusat
perekonomian
7Nian
S. Djumena, Batik dan Mitra, Batik and its Kind (Jakarta : Penerbit Djambatan, 1990), hlm. XI. 8“Pekalongan
Kostum Batik Karnaval, Tampilkan Flora dan Fauna nan Elok”, Suara Merdeka, 7 Oktober 2012.
4 masyarakat.9 Ketika itu, batik Pekalongan telah tersebar ke seluruh Indonesia dan menjadi komoditas ekspor yang dikirim ke berbagai negara. Pada awal abad ke-20, industri batik telah tersebar di dalam Kota Pekalongan dan Kabupaten Pekalongan. Sebagian besar industri batik terdapat di kampung-kampung batik di Kota Pekalongan yaitu : Klego, Krapyak, Sugihwaras, Sampangan, Kauman, Panjang Wetan, Kandang Panjang, Kraton, Dukuh, Bendan, Medono, Kergon, dan lainlain. Sementara itu di Kabupaten Pekalongan industri batik terdapat di desa-desa
di
Kecamatan
Buaran,
Pekajangan,
Kedungwuni,
Wonopringgo, Bojong, Wiradesa, Comal, dan Pencongan.10 Pada dekade pertama tahun 2000, sekitar 70% pasokan batik di Indonesia berasal dari Pekalongan.11 Di Kota Pekalongan, usaha batik merupakan mata pencaharian yang ditekuni secara turun-temurun dan menjadi
tulang punggung perekonomian masyarakat.12 Kegiatan
membatik
merupakan
kebutuhan
ekonomi
masyarakat
yang
Harmen C. Veldhuisen, Batik Belanda 1840-1940 Pengaruh Belanda pada Batik dari Jawa Sejarah dan Kisah di Sekitarnya (Jakarta : Gaya Favorit Press, 1993), hlm. 60. 9
10P.
De Kat Angelino, Rapport betreffende eene gehouden enquete naar de arbeidstoestanden in de batikkerijen op Java en Madoera door den Inspecteur bij het Kantoor van Arbeid, Publicatie No. 6 van het Kantoor van Arbeid, 1930, hlm. 216. 11
“Dari Batik Pekalongan Mendunia”, Kompas, 17 Juli 2013.
12Indonesian
Batik Nomination File of the Republic of Indonesia for Inscription on the UNESCO Representative List of Intangible Cultural Heritage of Humanity, hlm. 3.
5 dilakukan oleh semua generasi mulai dari anak-anak, kaum muda, hingga lanjut usia.
Kerajinan batik diselenggarakan baik dalam
kerajinan rumah tangga maupun dalam perusahaan-perusahaan, sehingga berkembang menjadi cabang industri mencakup baik industri kecil maupun industri besar. Usaha batik menjadi basis perekonomian masyarakat. Oleh karena itu, gerak roda perekonomian di Kota Pekalongan sangat dipengaruhi oleh industri dan perdagangan batik, sehingga batik mempunyai peranan yang sangat penting di dalam mendorong pertumbuhan ekonomi masyarakat.13
Batik juga telah
merangsang dunia usaha di sektor lain seperti sektor jasa, kuliner, dan penginapan. Industri batik merupakan bagian dari kegiatan ekonomi yang mempunyai kontribusi besar dalam memberi kesejahteraan masyarakat serta menyediakan lapangan kerja sehingga
mampu
menyerap tenaga kerja yang besar dan mengurangi pengangguran.14 Di Kota Pekalongan, batik dibuat untuk memenuhi kebutuhan masyarakat luas, sehingga pengembangan usaha batik didorong oleh kepentingan ekonomi. Usaha batik merangsang berbagai komunitas dan etnisitas untuk menekuni sebagai mata pencaharian. Di Kota Pekalongan terdapat beberapa suku yaitu Suku Jawa, Bugis, Madura, Banjar, Minangkabau, dan Batak. Selain itu, terdapat pula etnis asing 13Riyanto
DC, Pekan Batik Internasional Pekalongan Membatik Dunia (Pekalongan : Pemerintah Kota Pekalongan, 2008), hlm. 4. 14Sarjono,
Pekalongan Kota Batik (Pekalongan : Pemerintah Daerah Tingkat II Kotamadya Pekalongan- Kadin Daerah Tingkat II Kotamadya Pekalongan, 1994), hlm. 55.
6 yaitu Arab, Cina, dan India. Pada masa sebelum kemerdekaan terdapat etnis Indo-Eropa. Berbagai etnis itu terikat dengan kegiatan usaha batik sehingga membentuk profil bisnis batik di Pekalongan yang bersifat multi etnis.15 Peran penting batik dalam ekonomi masyarakat Kota Pekalongan itu terus berlangsung ketika Indonesia menjadi negara yang merdeka. Pada
awal kemerdekaan,
guna
mencegah
dominasi
orang
Cina
pemerintah melakukan proteksi untuk meningkatkan peranan ekonomi pengusaha pribumi. Ketika pemerintahan Presiden Soekarno memberi hak monopoli impor dan distribusi mori kepada Gabungan Koperasi Batik Indonesia (GKBI,) pada saat yang sama terjadi kebangkitan usaha batik.
Pasca peristiwa Gerakan 30 September 1965, pemerintahan
Presiden Soekarno digantikan oleh Presiden Soeharto. Salah satu kebijakan pemerintahan Presiden Soeharto adalah mengintegrasikan Indonesia ke dalam ekonomi dunia.
Sejak awal tahun 1970-an,
kebijakan itu mulai dirasakan dampak buruknya bagi perkembangan usaha batik. Bersamaan dengan itu berkembang pula industri tekstil printing motif batik. Akibatnya, kehancuran industri batik terjadi hampir di semua daerah pusat penghasil batik, termasuk di Kota Pekalongan. Namun, krisis itu ternyata tidak berlangsung berlarut15Amalinda
Savirani, “Etos Entrepreneurship Pengusaha Batik Pekalongan Masa Kini : Bertahannya Perilaku „Wong Kaji‟?” dalam Emirul Chaq Aka (ed), Pekalongan Inspirasi Indonesia (Pekalongan : Pemerintah Kota Pekalongan-The Pekalongan Institute & Kirana Pustaka Indonesia, 2008), hlm. 141.
7 larut di Kota Pekalongan. Usaha batik bangkit kembali pada tahun 1980-an dan terus berlangsung sampai dekade pertama abad ke-21. Kemampuan masyarakat Kota Pekalongan terus bertahan dengan usaha batik menarik untuk diteliti.
B. Pokok Masalah Disertasi ini akan membahas tentang bagaimana dan mengapa usaha batik di Kota Pekalongan dapat terus bertahan sebagai kegiatan ekonomi penting masyarakat dari tahun 1950-an hingga dekade pertama abad ke-21, ketika usaha sejenis di tempat lain mengalami kemunduran. Penelitian ini didasarkan pada asumsi bahwa usaha batik sangat dipengaruhi
oleh
perubahan-perubahan
kebijakan
pemerintah,
perubahan-perubahan internal, dan perubahan ekonomi global. Berdasarkan permasalahan pokok di atas ada empat pertanyaan utama dalam penelitian ini, yaitu : 1. Masyarakat Kota Pekalongan memiliki warisan tradisi batik dari masa sebelum kemerdekaan. Tradisi batik seperti apakah yang dimiliki masyarakat Kota Pekalongan sehingga
terus-menerus
mampu menjadikan batik sebagai usaha utama masyarakat, walaupun dalam keadaan yang fluktuatif? 2. Kebijakan pemerintah sangat berpengaruh terhadap fluktuasi perkembangan usaha batik. Kebijakan pemerintah seperti apakah yang mampu berpengaruh terhadap perkembangan usaha batik di
8 Kota Pekalongan? Pada masa tertentu kebijakan pemerintah menyebabkan terjadi kemerosotan dalam industri batik secara nasional. Strategi apakah yang dilakukan masyarakat Kota Pekalongan hingga mampu ke luar dari krisis itu? 3. Keberadaan batik di Kota Pekalongan didukung oleh kelompokkelompok masyarakat yang memegang peranan tertentu dalam usaha batik.
Kelompok-kelompok sosial mana sajakah yang
berperanan penting dan berhasil menempatkan masyarakat Kota Pekalongan mampu menjalankan usaha batik secara terusmenerus dari tahun 1950-an sampai dekade pertama abad ke-21? 4. Pada periode tahun 1970-an hingga 1980-an usaha batik di Kota Pekalongan tidak dapat melepaskan diri dari kemerosotan akibat masuknya produk impor dan maraknya produk tekstil motif batik di pasar. Seperti apakah dan bagaimana respon yang dilakukan pengusaha batik dan pembatik dalam menghadapi kemerosotan usaha batik dan mempertahankan agar usaha batik dapat terus menjadi sumber ekonomi yang menguntungkan? Pada pasca tahun 1980-an, usaha batik di Kota Pekalongan mampu
bangkit
dari
keterpurukan,
bahkan
berhasil
membangkitkan gairah baru dalam usaha batik. Kondisi-kondisi seperti apakah yang dapat sekali lagi memacu peningkatan usaha batik di Kota Pekalongan? .
9 C. Ruang Lingkup Penelitian Penelitian ini bersifat mikrohistoris dengan memilih lokasi di Kota Pekalongan sebagai fokus penelitian. Lingkup spasialnya dibatasi pada Kota Pekalongan yang memiliki karakteristik yang secara sosial-kultural sebagai
masyarakat batik. Pemilihan lingkup spasial yang terbatas di
Kota Pekalongan diharapkan dapat melakukan analisis secara tajam agar dapat menghasilkan kajian yang mendalam. Meskipun bersifat mikro, penelitian ini diharapkan dapat menemukan inter-relasi dengan realitas-realitas historis yang lebih luas pada lingkup supra lokal. Peristiwa dan realitas sejarah di tingkat lokal itu tidak serta merta terisolasi dari panggung sejarah nasional.16 Alasan lain pemilihan Kota Pekalongan sebagai lokasi penelitian karena kota ini menjadi pusat penghasil batik terbesar di Indonesia. Tim peneliti UNESCO pimpinan Mr. Frank Proschan kagum atas kebesaran industri batik di Kota Pekalongan dan adanya Museum Batik yang telah memiliki standar internasional.17 Perekonomian sangat dipengaruhi oleh industri batik, sehingga batik
berperanan sangat penting
untuk
mendorong pertumbuhan ekonomi dan menggiatkan sektor riil. Usaha
16Taufik
1990).
Abdullah, Sejarah Lokal di Indonesia (Jakarta : LP3ES,
17Riyanto
DC, Pekan Batik Internasional Pekalongan Membatik Dunia (Pekalongan : Pemerintah Kota Pekalongan, 2008), hlm. 7 dan 37.
10 Kecil Menengah (UKM) yang mempunyai daya lentur dalam menghadapi berbagai guncangan badai krisis ekonomi.18 Lingkup temporal dipilih tahun 1950-an sebagai awal periodisasi yang merupakan salah satu periode penting dari masa sesudah revolusi. Tahun 1950-an memberikan gambaran adanya
perubahan-perubahan
psikologis dan karakter bangsa Indonesia. Martabat pribadi, martabat bersama, harga diri, dan rasa percaya diri telah tumbuh dengan sangat cepat selama perjuangan kemerdekaan. Menurut O‟Malley negara modern Indonesia baru ada pada akhir tahun 1949, meskipun secara yuridis
formal
bangsa
Indonesia
telah
ada
sejak
proklamasi
kemerdekaan 1945. Oleh karena itu tahun 1950 sebaiknya dijadikan sebagai dekade kunci saat berdirinya sebuah negara-bangsa modern.19 Pemilihan tahun 1950 sebagai awal periode penelitian diharapkan dapat mengetahui adanya perubahan kultural dan pembentukan identitas bangsa melalui batik. Tahun 1950-an dijadikan awal periode penelitian, dengan alasan saat itu masyarakat Indonesia mengalami proses dekolonisasi untuk mengubah perekonomian kolonial menjadi perekonomian nasional. Pada awal tahun 1950-an pemerintah
18Ibid., 19Henk
melancarkan program nasionalisme
hlm. 4.
Schulte Nordholt, Bambang Purwanto, Ratna Saptari (eds.) Perspektif Baru Penulisan Sejarah Indonesia (Jakarta : Yayasan Obor Indonesia, 2008), hlm. 70-74.
11 ekonomi yaitu memberikan perhatian besar dan perlakuan istimewa terhadap pengusaha pribumi agar berkembang menjadi kelas pengusaha yang kuat.20 Kebijakan itu membawa angin segar bagi usaha batik sehingga tahun 1950 merupakan awal masa kejayaan batik. Alasan lain, karena pada bulan April 1950, empat bulan setelah Negeri
Belanda
mengakui
kemerdekaan
Indonesia,
pemerintah
mengeluarkan Program Benteng sebagai upaya untuk memajukan perkembangan wiraswasta pribumi yang tangguh dan menempatkan perdagangan impor di bawah kendali nasional.
21
Upaya tersebut
dilakukan melalui koperasi untuk mendorong kegiatan ekonomi pribumi yang sebagian besar berupa kerajinan tangan dan kegiatan ekonomi berskala kecil. Di tingkat nasional, Gabungan Koperasi Batik Indonesia (GKBI)
diberi kedudukan yang kuat sebagai pemegang lisensi untuk
mengimpor kain mori.22 Sementara itu di tingkat lokal terdapat koperasi primer sebagai penyalur bahan batik yaitu Persatuan Pembatikan Indonesia Pekalongan (PPIP) yang didirikan pada tanggal 14 Agustus 20Thee
Kian Wie, Indonesia’s Economy Since Independence (Singapore : Institute of Southeast Asian Studies, 2012), hlm. 11. 21Thee
Kian Wie, “Indonesia‟s First Affirmative Policy : The “Benteng” Program in the 1950s”, dalam Lembaran Sejarah Jurnal Sejarah dan Ilmu-ilmu Sosial Humaniora, Indonesianisasi dan Nasionalisasi Ekonomi, Jurusan Sejarah dan Program Pascasarjana Studi Sejarah Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, hlm. 37. 22Sularso
dkk, Gabungan Koperasi Batik Indonesia 18 September 1948-2008, GKBI 60 Tahun (Jakarta : Gabungan Koperasi Batik Indonesia, 2009), hlm. 17.
12 1952. Perkembangan koperasi merupakan salah satu indikator majunya perkembangan batik. Alasan berikutnya yaitu situasi seusai perang, sejak tahun 1950an sentra-sentra kerajinan batik mulai bangkit kembali, bahkan merambat sampai ke luar kota misalnya Kedungwuni, Pekajangan, Wiradesa, Tirto, dan Setono. Selama masa perang kemerdekaan, situasi tidak kondusif untuk kegiatan perbatikan. Psda tanggal 28 Juli 1947 Belanda memberondong stasiun kereta api Pekalongan dengan bom meriam. Seluruh Pekalongan dinyatakan dalam keadaan perang.23 Adapun alasan bahwa dekade pertama abad ke-21 ditetapkan sebagai akhir lingkup temporal penelitian dimaksudkan agar dapat mengamati dampak dari peristiwa-peristiwa yang terjadi pada peralihan akhir abad ke-20 ke awal abad ke-21. penting
pada
periode
tersebut
perkembangan usaha batik.
Terdapat beberapa peristiwa
yang
berpengaruh
terhadap
Peristiwa - peristiwa itu antara lain
terjadinya krisis ekonomi pada tahun 1997 yang mencapai puncaknya pada tahun 1998 dengan tumbangnya kekuasaan Orde Baru. Krisis itu mengakibatkan tutupnya sebagian besar bahan baku yang berasal dari impor, yang sangat berpengaruh terhadap eksistensi usaha batik. Selain itu adalah pembangunan Pasar Grosir Batik Setono pada tahun 2000 yang diikuti dengan pembangunan pasar-pasar grosir lain. 23Oetomo
MS dan Bambang Adiwahyu Danusapuyra, Menelusuri Berdirinya Kota Pekalongan Rasa Swarga Gapuraning Bumi, Pekalongan, 1986, hlm. 316.
13 Dengan penetapan akhir periode pada dekade pertama abad ke-21, diharapkan pengaruh pembangunan pasar-pasar grosir itu terhadap usaha batik telah dapat diamati. Pendirian pasar grosir itu ditujukan untuk mengangkat pemasaran batik Pekalongan dan menjadi pilar wisata belanja.24 Peristiwa lain adalah penyelenggaraan Festival Batik Pekalongan I di Kota Pekalongan pada tahun 2003 yang diikuti dengan festival kedua pada tahun 2005. Kemudian pada tahun 2007 diselenggarakan Festival Batik Internasional. Di lain pihak, pada tahun 2005 Gubernur Jawa Tengah menginstruksikan penggunaan tenun tradisional atau batik khas daerah untuk aktivitas kedinasan. Kemudian pada tahun 2007 Wakil Gubernur Jawa Tengah mengeluarkan instruksi secara rinci mengenai penggunaan tenun atau batik khas daerah untuk dinas setiap hari Kamis. Peristiwa penting lainnya adalah peresmian Museum Batik
pada
tanggal 12 Juli 2006 oleh Presiden Susilo Bambang Yudoyono. Predikat Pekalongan sebagai Kota Batik menentukan pemilihan lokasi Museum Batik. Kemudian pada tanggal 2 Oktober 2009 nominasi batik Indonesia terinskripsi dalam Representative List pada Sidang Intergovernmental Commite UNESCO di Abu Dhabi dan batik mendapat penghargaan
24“Pasar
2004.
Grosir, Pilar Sebuah Wisata Belanja”, Kompas, 23 April
14 sebagai warisan budaya tidak benda. Penghargaan ini tentu berpengaruh terhadap kegiatan usaha batik di Kota Pekalongan.
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian Tujuan utama penelitian ini adalah untuk menguraikan
tentang
perkembangan usaha batik di Kota Pekalongan dari tahun 1950-an hingga dekade pertama abad ke-21. Berdasarkan
tujuan
utama
itu,
terdapat beberapa sasaran yang hendak dicapai, yaitu : 1. Menguraikan potensi sosio kultural masyarakat Kota Pekalongan dalam membentuk mentalitas untuk menjadikan kegiatan usaha batik sebagai bagian dari kehidupan sehari-hari yang sekali gus merupakan sumber ekonomi masyarakat. 2. Menjelaskan
tentang
pengaruh
politik
ekonomi
dan
politik
kebudayaan pemerintah terhadap kemampuan masyarakat Kota Pekalongan untuk menjadikan batik sebagai sumber ekonomi utama masyarakat dan aset kebudayaan. 3. Menjelaskan
respon
masyarakat
Kota
Pekalongan
dalam
menanggapi krisis ekonomi dan kemunduran usaha batik agar dapat secara terus-menerus mempertahankan usaha batik sebagai sumber ekonomi yang menguntungkan. 4. Menghadirkan historiografi yang menggunakan perspektif sejarah ekonomi untuk merekonstruksi sejarah batik di Indonesia.
15 E. Kerangka Konseptual Kerangka konseptual merupakan kerangka kerja konseptual yang mencakup berbagai konsep yang akan digunakan dalam membuat analisis. Konsep-konsep dari ilmu-ilmu sosial, terutama konsep ilmu ekonomi, digunakan untuk menyusun analisis historis tentang batik sebagai suatu dunia usaha. Agar pengertian batik tidak keliru, perlu dijelaskan pengertian yang benar.
Menurut Hasan Shadly, batik adalah suatu cara untuk melukis
di atas kain (mori, teteron, katun, sutera, dan sebagainya) dengan melapisi bagian-bagian yang tidak berwarna dengan lilin yang disebut malam yang biasanya dibuat dari lilin lebah yang kuning dicampur dengan parafin damar.25 Dewan Standardisasi Testil Indonesia (DSTI) dan Standar Industri Indonesia (SII) mendefinisikan kain batik sebagai hasil pewarnaan pencelupan rintang menurut corak khas ciri batik Indonesia. Definisi itu kemudian dijadikan sebagai definisi resmi oleh Departemen Perindustrian.26 Batik adalah yang dihasilkan dengan tangan melalui proses memberikan garis dan titik-titik dengan malam panas pada
kain
dengan
menggunakan canthing tulis
maupun
25Hasan
Shadly, Kamus Bahasa Indonesia (Jakarta : Balai Pustaka, 1990), hlm. 417. 26Profil
Komoditi Kerajinan Batik, Kantor Wilayah Departemen Perdagangan Daerah Istimewa Yogyakarta Proyek Pengembangan Perdagangan Luar Negeri Daerah Istimewa Yogyakarta, Tahun Anggaran 1991/1992, hlm. 5.
16 canthing cap.27
Sehelai kain meskipun bercorak batik tidak dapat
disebut batik apabila tidak menggunakan proses perintang lilin atau malam, tetapi hanya disebut kain atau tekstil motif batik. Penelitian
ini
mengaplikasikan
konsep
dunia
usaha
untuk
menganalisis fokus permasalahan. Dunia usaha mencakup seluruh kegiatan produksi masyarakat, baik yang dijalankan di perusahaan besar, menengah, maupun dalam usaha kecil. Usaha-usaha produksi meskipun kecil-kecilan tetap disebut perusahaan. Usaha produksi masyarakat sebagian besar dilaksanakan dalam satuan-satuan ekonomi yang disebut perusahaan atau badan usaha. Perusahaan bertujuan menyelenggarakan proses produksi untuk menghasilkan sesuatu yang berguna bagi masyarakat. Aneka ragam kegiatan produktif digolonggolongkan menjadi sejumlah lapangan usaha sesuai dengan kegunaan yang dihasilkan.28 Lapangan usaha itu antara lain industri dan kerajinan29 yang memiliki usaha untuk mengolah atau mengubah
27Indonesian
Batik Nomination File of the Republic of Indonesia for Inscription on the UNESCO Representative List of Intangible Cultural Heritage of Humanity, hlm. 1. 28T.
Gilarso, Pengantar Ilmu Ekonomi Makro (Yogyakarta : Penerbit PT Kanisius, 2004), hlm. 79-85. 29Biro
Pusat Statistik mendefinisikan skala usaha berdasarkan jumlah tenaga kerja. 1). Industri kerajinan rumah tangga adalah usaha yang mempekerjakan 1-4 pekerja termasuk anggota keluarga yang tidak dibayar. Pemilik usaha terlibat langsung dalam proses produksi. 2). Usaha kecil adalah perusahaan yang mempunyai pekerja 5-19 orang, termasuk pemilik. Definisi ini sama dengan industri kecil yang mempekerjakan 5-19 orang pekerja. Pemilik usaha dapat terlibat
17 bahan-bahan menjadi barang jadi atau setengah jadi. Selain itu adalah perdagangan yang merupakan lapangan usaha untuk mengumpulkan dan
menyalurkan
hasil
produksi
dari
produsen
ke
pihak
yang
memerlukan, termasuk perdagangan impor dan ekspor. Adapun seseorang yang memasuki bidang ekonomi dan menaruh modalnya untuk suatu usaha produksi atau perdagangan disebut pengusaha. Berdasarkan jenis lapangan usaha, maka ada pengusaha yang bergerak di bidang industri dan yang lain lagi pengusaha yang bergerak di bidang perdagangan. Di Pekalongan pengusaha sering disebut juragan. Di Pekalongan terdapat hubungan produksi bentuk hubungan subkontrak yang dikenal dengan istilah
dalam
sanggan,
artinya seseorang menjadi pihak yang hanya menerima pekerjaan. Suatu industri memiliki struktur yang berjalan sesuai dengan fungsi masing-masing yang terdiri dari permodalan dan pembiayaan, ketenagakerjaan dan organisasi, perlengkapan kerja, bahan baku, proses produksi dan organisasi produksi, hasil produksi, sistem dan organisasi pemasaran, dan manajemen.30 Suatu sistem industri terdiri dari unsurunsur fisik dan unsur-unsur
perilaku manusia. Unsur-unsur fisik
berupa komponen tempat yang meliputi kondisi, peralatan, dan bahan atau tidak dalam proses produksi. 3). Usaha menengah atau industri sedang mempekerjakan 20-99 karyawan. 4).Usaha besar atau industri besar memiliki 100 karyawan lebih. Lihat : Buchari Alma, op. cit., hlm. 55. 30Chistian
Lampelius Gert Thoma, Industri Kecil dan Kerajinan Rakyat Pendekatan Kebutuhan Pokok (Jakarta : LP3ES, 1979).
18 mentah. Sementara itu
unsur perilaku manusia meliputi komponen
tenaga kerja, keterampilan, tradisi, transportasi, dan komunikasi, serta keadaan pasar dan politik. Perpaduan antara unsur-unsur fisik dengan unsur-unsur
perilaku manusia membentuk
aktivitas industri yang
melibatkan berbagai unsur.31 Konsep berikutnya adalah perdagangan yang merupakan kegiatan mengumpulkan dan menyalurkan hasil produksi dari produsen ke konsumen.
Untuk
itu
dibutuhkan
saluran
pemasaran.
Untuk
menyalurkan barang-barang dari produsen ke konsumen ada beberapa cara yaitu penyaluran langsung dari produsen ke konsumen, penyaluran semi langsung, dan penyaluran tidak langsung. Terdapat tiga model pemasaran yaitu vertical marketing system, horizontal marketing system, dan multichannel marketing system. Model pemasaran yang dilakukan oleh pedagang di Kota Pekalongan adalah vertical marketing system. Vertical marketing system mencakup lembaga produsen, grosir, dan pengecer sebagai satu kesatuan dengan mengangkat salah satu di antaranya sebagai koordinator.32 Perusahaan dapat beroperasi di dalam lima jenis pasar pelanggan yaitu pasar konsumen untuk konsumen pribadi, pasar industri untuk pemrosesan selanjutnya, pasar penjual 31Destha
T. Raharjana, “Siasat Usaha Kaum Santri : Ekonomi Moral dan Rasional dalam Usaha Konfeksi di Mlangi, Yogyakarta”, dalam Heddy Shri Ahimsa Putra (ed.), Ekonomi Moral, Rasional, dan Politik dalam Industri Kecil di Jawa (Yogyakarta : KEPEL Press, 2003), hlm. 63. 32Buchari
Alma, op. cit., hlm. 49-54.
19 dibeli oleh pedagang, pasar pemerintah dibeli oleh lembaga pemerintah, dan pasar internasional.33 Perdagangan batik di Kota Pekalongan mengenal istilah bantingan, yaitu
menjual dagangan dengan cara banting harga. Dagangan dijual
asal laku dengan harga sangat rendah. Cara penjualan ini sudah berlangsung
sejak
zaman
penjajahan
Belanda.
Sistem
bantingan
biasanya dilakukan oleh pengusaha skala kecil yang putus asa karena kebutuhan sangat mendesak untuk mendapatkan uang kontan. Mereka harus membayar buruh dan biaya operasional lainnya.34 Penelitian ini menggunakan teori John Maynard Keynes yang menekankan perlunya campur tangan pemerintah untuk menjaga dan mengembalikan kestabilan ekonomi. Intervensi pemerintah merupakan peluang yang bagus untuk mengatasi krisis ekonomi dan menciptakan stabilitas ekonomi. 35 Agar intervensi pemerintah tidak terjebak menjadi kegagalan
pemerintah,
maka
pemerintah
yang
kompeten
sangat
dibutuhkan. Negara dalam momen-momen tertentu harus bertindak untuk mengatasi kegagalan pasar. Tujuan dari tindakan ini adalah
33Kotler
Amstrong, Prinsip-prinsip Pemasaran (Jakarta : Penerbit Airlangga, 1997). P. De Kat Angelino, Rapport betreffende eene gehouden enquete naar de arbeidstoestanden in de batikkerijen op Java en Madoera door den Inspecteur bij het Kantoor van Arbeid, Publicatie No. 6 van het Kantoor van Arbeid, 1930, hlm. 219. 34
35T.
Gilarso, op., cit., hlm. 36.
20 untuk
memulihkan
kembali
aktivitas
ekonomi
sehingga
tingkat
kehidupan dan kesejahteraan rakyat dapat terus berlangsung.36 Dalam kasus industri batik, baik Pemerintah Presiden Soekarno maupun Presiden Soeharto mengeluarkan kebijakan yang memiliki arti yang penting untuk mengatur perekonomian dan berpengaruh terhadap industri dan perdagangan batik. Pemerintahan Presiden Soekarno pada tahun 1950 melancarkan kebijakan untuk merombak ekonomi kolonial menjadi ekonomi nasional.37 Sementara itu sejak tahun 1967 Presiden Soeharto menerapkan kebijakan mengintegrasikan Indonesia ke dalam ekonomi dunia terutama dengan negara-negara maju.38 Dalam dunia usaha, tradisi merupakan kebiasaan-kebiasaan umum yang diterima dalam masyarakat untuk mengatur dan mengkoordinasi perilaku warga dalam menjalankan kegiatan usaha.39 Berkembanganya batik Pekalongan sebagai lapangan usaha, didukung oleh kuatnya tradisi membatik yang tidak hanya merupakan kebutuhan ekonomi saja, tetapi juga dorongan untuk mengekspresikan
karya seni yang indah.
36Ahmad
Erani Yustika, Ekonomi Politik Kajian Teoretis dan Analisis Empiris (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2014), hlm. 37-38. 37Thee
Kian Wie, Indonesia’s Economy Since Independence (Singapore : The Institute of Southeast Asian Studies, 2012), hlm. 3. 38Thee
Kian Wie, Beberapa Catatan Sejarah Ekonomi Indonesia (Jakarta : Penerbit Buku Kompas, 2004), hlm. 151-153. 39T.
Gilarso, op. cit., hlm. 30.
21 Batik merupakan usaha kerajinan seni yang bersahabat dengan masyarakat karena dikuasai oleh penduduknya secara turun-temurun.
F. Telaah Pustaka Dalam historiografi Indonesia, penulisan tentang batik telah banyak dilakukan oleh para penulis, tetapi belum pernah ada kajian yang secara khusus
membahas
tentang
perkembangan
usaha
batik
di
Kota
Pekalongan dari periode tahun 1950-an hingga dekade pertama abad ke21. tiga
Terdapat
buku-buku tentang batik, yang dapat dibedakan dalam
kelompok.
Kelompok
pertama
adalah
buku-buku
yang
menguraikan batik dari aspek sosial budaya. Buku-buku tersebut adalah karya Hamzuri,40
Alit Veldhuisen-Djajasoebroto,41 Santoso
Doellah,42 dan Nian S. Djumena. 43 Buku-buku itu menguraikan hal-hal yang relatif sama yaitu tentang proses dan teknik pembuatan batik; perlengkapan dan bahan untuk membatik; dan simbolnya;
motif, ragam hias batik,
pemakaian batik sebagai busana dari berbagai lapisan
masyarakat; daerah-daerah penghasil batik dan spesifikasi motif batik 40Hamzuri,
Djambatan, 1981).
Batik Klasik, Classical Batik (Jakarta : Penerbit
41Alit
Veldhuisen–Djajasoebrata, Batik op Java (Rotterdam : Museum voor Land an Volkenkunde, 1992). 42Santoso
Doellah, Batik The Impact of Time and Environment (Surakarta : Danar Hadi, 2001). 43Nian
S. Djumena, Djambatan, 1990).
Batik
dan
Mitra
(Jakarta
:
Penerbit
22 tiap daerah. Isi buku juga dilengkapi dengan gambar-gambar sehingga memperjelas uraian. Buku-buku pada kelompok ini hampir tidak menyinggung tentang sejarah batik. Sementara itu pada kelompok kedua, terdiri dari buku-buku yang isinya
hampir sama dengan buku-buku pada kelompok pertama.
Bedanya, pada buku-buku kelompok kedua ini sejarah batik.
terdapat uraian tentang
Di samping itu juga menguraikan posisi Kota Pekalongan
sebagai salah satu pusat penghasil batik yang penting di Indonesia. Buku-buku yang termasuk dalam kelompok kedua ini karya-karya
terdiri dari
G.P. Rouffaer,44 McCabe Elliott45, Anesia Aryunda Dofa,46
Rens Heringa dan Harmen Veldhuisen,47 Sylvia Fraser-Lu,48 Annegret
44G.P.Rouffaer
.
en H.H. Juynboll, op. cit.
45Inger
Mc Cabe Elliott, Batik Fabled Cloth of Java (New York : Clarkson N. Potter, 2004). 46Anesia
Aryunda Dofa, Batik Indonesia (Jakarta : Penerbit PT Golden Terayon Press, 1996). 47Rens
Heringa dan Harmen C. Veldhuisen, Fabric of Enchantment : Batik from the Coast of Java (Los Angeles : Los Angeles County Museum of Art, 2000). 48Sylvia
Fraser-Lu, Indonesian Batik Processes, Patterns, and Places (NewYork : Oxford University Press, 1989).
23 Haake,49
Fiona
menguraikan
Kerlugue,50
tentang
menjelaskan bahwa
batik
dan
Iwan
Tirta.51
Pekalongan.
Beberapa
Misalnya,
G.P.
penulis Rouffaer
Semarang dan Pekalongan merupakan tempat
industri batik yang penting di Jawa Tengah pada abad ke-19. Sementara itu, Inger McCabe Elliot, Anesia Aryunda Dofa, dan Annegret Haake sedang Sylvia Fraser-Lu menjelaskan tentang Pekalongan yang memiliki reputasi baik dan telah lama di bidang perbatikan. Pengusaha batik di Pekalongan dalam
dinilai paling inovatif dan agresif, serta sebagai pelopor
memproduksi
batik
cap
dan
printing
di
Jawa
dengan
menggunakan berbagai bahan. Tulisan Inger McCabe Elliot menjelaskan tentang Pekalongan sebagai Kota Batik yang menjadi pusat industri batik terbesar di Jawa. Sementara itu menurut Lee Chor Lin motif-motif batik pesisir dari Pekalongan
dalam bentuk sarung disukai oleh
masyarakat Cina Peranakan di Singapura. Fiona Kerlogue menguraikan bahwa Pekalongan merupakan salah satu daerah penghasil batik yang penting di daerah Pantai Utara Jawa, paling tidak sejak awal abad ke-19 hingga saat ini.
Hampir tiap rumah di desa-desa Pekalongan kaum
wanitanya mempunyai pekerjaan membuat batik di sela-sela mengurus pekerjaan rumah tangga. Pekalongan juga memiliki peranan penting 49Annegret
Haake, Javanische Geschichte (Hannover : Schaper, 1984). 50Fiona
Press, 2004). 51Iwan
Batik
Methode,
Symbolik,
Kerlugue, The Book of Batik (Singapore : Archipelago
Tirta, A Play of Light and Shades (Jakarta : P.T. Jayakarta Agung Offset, 1996).
24 sebagai kota dagang. Iwan Tirta menjelaskan bahwa Pekalongan sudah lama dikenal sebagai pusat industri dan perdagangan batik yang menarik orang Cina, Arab, Belanda, Minangkabau, dan Jawa sebagai pelaku ekonomi. Kelompok ketiga adalah buku-buku yang memfokuskan tulisannya atau menguraikan secara luas tentang batik Pekalongan. Buku-buku itu antara
lain
karya
Harmen
C.
Veldhuisen
perkembangan batik pada masa kolonial dari
yang
menguraikan
para pengusaha batik
wanita Belanda, serta puncak kejayaan dan kemerosotan batik tulis di Pekalongan. Jaman keemasan batik pesisir berlangsung pada tahun 1860-1890, ketika permintaan batik pesisiran mengalami peningkatan. Sesudah tahun 1860 Pekalongan berkembang menjadi pusat penghasil batik Belanda terpenting yang diusahakan oleh para pengusaha batik dari kalangan Indo-Eropa.
Mereka sebagai perintis pembuatan batik
dalam bentuk perusahaan yang dikelola secara modern. Dijelaskan pula adanya pengaruh budaya lokal, budaya Cina, budaya Belanda, dan budaya Jepang yang telah memperkaya motif batik Pekalongan. P. De Kat Angelino dalam laporannya tentang industri batik di Jawa dan Madura menjelaskan bahwa
pada tahun 1850 Pekalongan sudah
menjadi pusat batik yang terkemuka. Ketika itu orang-orang Cina dan Arab
memainkan peranan penting sebagai pedagang batik dan
peminjam uang. Pada tahun 1880-an
wanita-wanita Indo-Eropa yang
sebelumnya membuat batik dalam skala kecil dengan pola-pola batik asli
25 pribumi, telah mengembangkan produk-produk batik dengan motif dan ragam hias Eropa.
Dalam kegiatan pembatikan terdapat rantai
hubungan antara kelompok-kelompok masyarakat yang terlibat dalam proses
pembuatan
batik
dengan
mereka
yang
terlibat
dalam
perdagangan batik. Hubungan patron-client antara pemborong dengan pengusaha sudah berkembang sejak sebelum tahun 1900-an. Pengusaha batik pada umumnya tinggal di kota sedangkan pemborong dan buruh ada di desa.
52
Mengenai kegiatan industri kecil batik, Erna Ermawati Khotim menjelaskan bahwa sistem produksi subkontrak banyak dijumpai pada industri batik di Pekalongan. Dalam istilah setempat disebut sanggan. Sistem ini menciptakan kaitan antara pihak pemesan dan pihak produsen. Keuntungan bagi pihak pemesan adalah tidak terlibat secara langsung dalam proses produksi serta dapat menguasai seluruh rantai pemasaran.
Adapun
keuntungan
tersedianya
bahan
pemasaran.
Sistem subkontrak banyak melibatkan buruh perempuan
baku,
bahan
pada
pihak
pendukung,
produsen dan
adalah
terjaminnya
sebagai putting out workers. Faktor relasi gender menyebabkan upah yang diterima buruh perempuan lebih rendah. Selain itu, korelasi positif antara tingkat upah dan tingkat ketrampilan tidak berlaku. Industri kecil
52P.
De Kat Angelino, op.cit.
26 batik
mampu merangsang pertumbuhan dan perkembangan sektor-
sektor lain, terutama sektor jasa dan perdagangan.53 Sementara
itu
Hajriyanto
Y.
Thohari
menjelaskan
bahwa
perkembangan industri kerajinan batik di Pekalongan mengalami kejayaan pada dasawarsa 1950-an. Pada waktu itu hampir semua pengusaha mengalami keuntungan yang relatif besar. Akan tetapi pada tahun 1960-an masa kejayaan batik tersebut berakhir. Banyak unit usaha yang tidak berproduksi lagi karena sulitnya pemasaran. Bahkan pada tahun 1960-an ini beberapa perusahaan batik berhenti total, dan pengusaha batik beralih profesi sebagai pedagang non-batik. Industri batik yang mampu bertahan karena didukung oleh proses sosialisasi keterampilan teknis dan keterampilan berusaha yang berlangsung secara alamiah sejak usia dini. Proses itu berlangsung dengan baik karena lokasi perusahaan menyatu dengan rumah tinggal keluarga. Para pengusaha batik selalu berusaha agar salah satu anak laki-lakinya meneruskan perusahaannya dan anak laki-laki lainnya mendirikan perusahaan sendiri dengan bantuan modal. Mereka menjalin aliansi perkawinan endogami antar pengusaha batik sehingga terjadi akumulasi modal dari dua keluarga. Tradisi itu menciptakan pola hubungan kekerabatan
antar pengusaha batik, baik karena faktor genealogi
maupun perkawinan. Punahnya satu perusahaan batik selalu diikuti 53Erna
Ermawati Chotim, Subkontrak dan Implikasinya terhadap Pekerja Perempuan Kasus Industri Kecil Batik Pekalongan (Bandung : Akatiga, 1994).
27 dengan
munculnya
perusahaan
baru
sehingga
eksistensi
dan
kelangsungan industri kerajinan batik tradisional terus terpelihara. Bertahannya batik Pekalongan mengikuti pola patah tumbuh hilang berganti.54 Menurut Chantal Vuldy, pada pertengahan abad ke-19 Pekalongan sudah menjadi pusat produksi batik yang terkenal. Pada tahun 1850-an banyak kain batik Pekalongan yang dikirim ke Banten, karena di sana tidak memproduksi kain batik lagi. Pada waktu itu batik dibuat di rumah-rumah penduduk di Pekalongan sebagai kerajinan rumah tangga untuk dijual. Hasil-hasil produksi batik tersebut dijual ke berbagai daerah oleh pedagang-pedagang batik Cina dan Arab. Orang-orang Arab yang bergelar Sayid memainkan peranan
penting sebagai pedagang
batik. Kesuksesan pengusaha dan pedagang Jawa di Pekalongan karena kuatnya pengaruh agama Islam yang menjadi faktor penting. Islam sangat menentukan irama dan karakteristik cara hidup penduduk di Pekalongan. Faktor penting dari suksesnya bisnis pengusaha muslim karena adanya
spirit kewirausahaan yang dilandasi dengan motivasi
ekonomi dan ajaran Islam. Mereka mampu bersaing dengan orang-orang Cina, Arab, dan Eropa. Sejak kemerdekaan, meskipun pemerintah memberikan perhatian besar terhadap pengusaha pribumi, namun 54Hajriyanto
Y. Yhohari, Patah Tumbuh Hilang Berganti Studi Kasus Bertahannya Industri Kerajinan Batik Tradisional di Desa Simbang Kulon, Pekalongan, Tesis S-2 (Jakarta : Program Pasca Sarjana Program Studi Antropologi U.I., 1993).
28 mereka tidak mampu bersaing dengan Cina dan pengusaha-pengusaha besar karena lemahnya modal dan manajemen yang kurang baik.55 Tentang motif batik Pekalongan, Kusmin Asa menjelaskan bahwa motif
batik
Pekalongan
dipengaruhi
oleh
budaya
Islam
yang
menampilkan stilirisasi lingkungan alam seperti ombak laut, awan, gunung yang dilengkapi dengan ragam hias sulur rambat. Selain itu juga mendapat pengaruh dari budaya Cina, India, Arab, dan Belanda. Batik khas Pekalongan adalah batik jlamprang
yang memiliki motif spesifik
yang diilhami oleh kain pathola yaitu tenunan sutera ikat ganda berasal dari India. Batik jlamprang mengetengahkan ragam hias ceplokan dalam bentuk lung-lungan dan bunga padma. Usaha batik di Pekalongan sebagai penopang ekonomi masyarakat
telah berlangsung pada awal
abad ke-17.56 Sementara itu Hasanudin menjelaskan bahwa ragam hias batik Pekalongan umumnya mengikuti permintaan pasar yang beraneka ragam. Pembatik bukan hanya sekedar mengambil ragam-ragam hias sebagai titik tolak pengembangan desain baru, tetapi melakukan usaha efisiensi dan perbaikan. Efisiensi dilakukan dengan memakai canthing yang lebih besar dan pemakaian tonyok, sesuatu yang jarang digunakan oleh pembatik di daerah lain. Adapun perbaikan dilakukan dengan 55Chantal
Vuldy, Pekalongan, Batik et Islam dans une ville du Nord de Java (Ecole des Hautes Etudes en Sciences Sociales, 1987). 56Kusmin
Asa, Batik Pekalongan dalam Lintasan Sejarah (Paguyuban Pencinta Batik Pekalongan, GKBI, dan Dekopin, 2006).
29 memperbanyak ragam hias isen-isen. Ciri yang menonjol pada batik Pekalongan adalah ragam hias dan tata warnanya selalu silih berganti, dinamis,
dan
mengikuti
perkembangan
pasar.
Berbagai
teknik
pewarnaan diperkenalkan seperti teknik coletan, besutan, sinaran, dan berbagai pengembangan zat pewarnaan seperti naftol, indigosol, cat basa, cat ergan, cat rapid dan reaktif.
Berbagai inovasi produk juga
dilakukan dalam penggunaan bahan baku dan jenis produk untuk berbagai fungsi.57 Ketiga kelompok buku itu memberikan kontribusi yang sangat penting dalam penulisan disertasi, sehingga diperoleh pemahaman yang lebih jelas tentang berbagai aspek eksistensi batik. Kelompok pertama memberikan penjelasan tentang aspek-aspek teknis dalam produksi batik, berbagai jenis motif batik berdasarkan kedaerahan dan makna simboliknya,
pemakaian batik sebagai busana dari berbagai lapisan
masyarakat, dan batik sebagai karya seni yang menghasilkan berbagai produk. Penjelasan ini melengkapi pengertian batik sebagai bagian dari kegiatan ekonomi dan hasil karya budaya. Adapun buku-buku yang termasuk dalam kelompok kedua bermanfaat untuk menegaskan pengertian bahwa batik merupakan kegiatan ekonomi yang telah lama diusahakan oleh berbagai etnis dan komunitas di berbagai daerah di Indonesia, khususnya di Jawa. Sementara itu buku-buku yang termasuk dalam 57
kelompok
ketiga,
memberikan
Hasanudin, op. cit., hlm. 183-230.
penjelasan
bahwa
batik
di
30 Pekalongan memiliki problematika yang kompleks dan penuh dinamika sebagai sumber mata pencaharian dan hasil ekspresi budaya.
G. Metode Penelitian dan Sumber Penelitian ini menggunakan metode sejarah untuk mengumpulkan sumber-sumber sejarah, melakukan seleksi sumber dan interpretasi sumber sejarah, serta menyusun penulisan sejarah. Agar kajian historis mampu mengungkapkan berbagai tingkat dan dimensi sesuai dengan fenomena atau realitas sejarah, pembahasan dilakukan secara analitis yang berpusat pada permasalahan dengan cara mencari jawaban atas pertanyaan mengapa, bagaimana, dan apa jadinya fenomena sejarah yang dikaji58 Adapun penggunaan sumber terdiri dari sumber sejarah tertulis dan sumber sejarah lisan. Sumber sejarah tertulis terdiri dari sumber primer dan sumber skunder. Sumber primer berupa berbagai sumber dokumenter, sedang sumber lisan adalah informasi dari para informan yang mengetahui tentang usaha batik di Kota Pekalongan. Laporanlaporan dalam bentuk angka dari Badan Pusat Statistik digunakan untuk memperoleh data-data tentang jumlah industri, jumlah komoditas batik yang diekspor dan dijual di pasar dalam negri, harga, dan lain-lain. Laporan-laporan itu sangat bermanfaat untuk menyusun statistik. 58Sartono
Kartodirdjo, Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah : Suatu Alternatif (Jakarta : PT Gramedia, 1992).
31 Penelitian ini tidak didukung oleh kelengkapan sumber primer terutama data kuantitatif tersebut. Untuk mengatasinya, ditutup dengan sumber tertulis dari surat kabar dan majalah. Surat kabar memberikan banyak informasi sehingga sangat bermanfaat sebagai bahan sumber. Informasi dari surat kabar juga sangat bermanfaat untuk mengecek data, fakta, informasi, dan opini yang diperoleh dari sumber lisan. Sumber sekunder yang digunakan berupa hasil-hasil penelitian, karya ilmiah, buku-buku, dan berbagai tulisan lain. Untuk mengatasi keterbatasan dokumen-dokumen tertulis yang tidak lengkap, penelitian ini juga menggunakan data kualitatif yang dikumpulkan melalui metode oral
history.
Wawancara
oral
history
digunakan
untuk
menggali
pengalaman, kisah, dan kenangan hidup orang tentang perbatikan dan problematikanya.
Pengumpulan
sumber
sejarah
teknik-teknik dan prasarana tersendiri melalui
lisan
mempunyai
wawancara, menyalin,
dan menyunting.59 Informasi tentang orang-orang yang dapat dijadikan sebagai informan diperoleh dari seorang informan kunci yang benarbenar memiliki pengetahuan dan mengenal dengan baik para informan.60 Informan yang diperoleh dari informan kunci tersebut terdiri dari 59Kuntowijoyo,
Metodologi Sejarah (Yogyakarta : PT Tiara Wacana,
1994), hlm. 24. 60Informan
kunci ini adalah Ir. Rofikhur Rusdi seorang tokoh masyarakat, pengusaha batik yang berasal dari lingkungan keluarga pengusaha batik. Saat ini yang bersangkutan menjabat sebagai Ketua Persatuan Pembatikan Indonesia Pekalongan. Ia aktif dalam berbagai organisasi batik dan kegiatan-kegiatan yang terkait dengan batik seperti penyelenggaraan Festival Batik Pekalongan, Pekan Batik Nusantara, dan Pekan Batik Internasional.
32 pengusaha batik, pedagang batik, perajin batik, pengurus Batik
Pekalongan,
pengurus
Pencinta
Batik
Paguyuban
Pekalongan,
tokoh
masyarakat, dan pejabat pemerintah. Semua informan tersebut tinggal di Kota Pekalongan dan sekitarnya. Sebagian besar informan tinggal di kampung-kampung informan
batik.
agar diperoleh
Sebelum
wawancara
informan
dilakukan
seleksi
yang benar-benar memiliki
kompetensi untuk menyampaikan fakta-fakta sejarah. Karena banyak informan yang tidak mampu memberikan informasi yang akurat secara temporal, maka lebih banyak digunakan sumber surat kabar untuk mendapatkan keakuratan data. Oleh karena itu penggunaan informan sangat dibatasi pada informan yang benar-benar kompeten. Seleksi informan dilakukan sesuai dengan kapasitas, integritas, intensitas perhatian, dan kemampuan untuk menyampaikan kebenaran.61 Berbagai surat kabar digunakan dalam penelitian ini. Berita surat kabar sangat membantu untuk melengkapi data-data yang tidak lengkap karena surat kabar kaya
dengan informasi tentang berbagai aspek
kehidupan masyarakat. Adapun majalah atau jurnal tidak hanya memuat informasi
berharga, tetapi juga menyimpan ide, pemikiran,
gagasan, dan pendapat tentang berbagai masalah dalam tulisan-tulisan atau karya ilmiah para penyusunnya.
Gilbert J. Garraghan S.J. A Guide to Historical Method (New York : Fordham University Press, 1957), hlm. 282-285. 61
33 H. Sistematika Penulisan Penulisan disertasi ini disusun secara kronologis tematik dengan tujuan agar mempermudah pemahaman konseptual dari masing-masing permasalahan pokok. Uraian secara kronologis dan tematik diharapkan dapat lebih memperjelas pemahaman tiap-tiap permasalahan pada lingkup tema tertentu berdasarkan perkembangan dari satu situasi waktu ke situasi waktu berikutnya. Penjelasan tiap tahap secara struktural akan memberikan gambaran secara menyeluruh tentang perkembangan tiap-tiap sisi permasalahan menurut perkembangan waktu. Bab I adalah pengantar yang membahas berbagai hal
yang
terdapat di dalam seluruh sub-bab. Uraian dilanjutkan dengan Bab II yang menjelaskan tentang bagaimana masyarakat Kota Pekalongan dan warisan tradisi batik dari masa sebelum kemerdekaan. Masyarakat Kota Pekalongan memiliki karakteristik sebagai masyarakat pantai yang terdiri dari berbagai etnis. Perkembangan Kota Pekalongan digerakkan oleh kuatnya aktivitas ekonomi, terutama usaha batik yang didukung oleh berbagai kelompok masyarakat. Berikutnya pada Bab III tentang pribuminisasi ekonomi dan kebangkitan kembali batik Pekalongan dari tahun 1950-an hingga 1970an. Usaha batik bangkit kembali setelah mengalami stagnasi pada masa Pendudukan
Jepang
dan
Perang
Kemerdekaan.
Pemerintah
melaksanakan kebijakan pribuminisasi untuk mengembangkan potensi
34 ekonomi pengusaha pribumi dan perkembangan industri kecil yang dilakukan melalui koperasi, yaitu Gabungan Pengusaha Batik Indonesia (GKBI) di tingkat pusat dan Persatuan Pembatikan Indonesia Pekalongan (PPIP) di tingkat daerah. Kebijakan pribuminisasi dilakukan dengan memberikan
proteksi
kepada
para
pengusaha
pribumi
untuk
memperkuat posisi ekonomi sebagai pengusaha yang tangguh. Bab IV akan membahas tentang upaya dalam mengembangkan batik di tengah kebijakan pribuminisasi pada periode tahun 1950-an sampai 1970-an. Kebijakan itu membawa angin segar bagi dunia usaha batik. Ketika itu batik Pekalongan mendominasi produk batik dan menguasai pasar batik di Indonesia, sehingga berlangsung masa kejayaan batik Pekalongan. Muncul motif batik dan jenis produk baru. Pembahasan
berikutnya
Bab
V
tentang
merosotnya
batik
Pekalongan dari tahun 1970-an sampai 1980-an sebagai akibat dari liberalisasi
ekonomi.
Pemerintah
mengeluarkan
Undang-Undang
Penanaman Modal Asing (UUPMA) pada tahun 1967 dan UndangUndang Penanaman Modal Dalam Negeri (UUPMDN) tahun 1968 untuk menghimpun investor asing maupun dalam negeri. Kedua undangundang itu mendorong berdirinya industri tekstil printing skala besar di Kota Pekalongan sejak tahun 1972 yang mengakibatkan terjadinya kemerosotan usaha batik tradisional. Pada Bab VI akan dibahas tentang munculnya kesempatan baru hingga batik menjadi warisan budaya dunia dari tahun 1980-an sampai
35 dekade pertama abad ke-21. Pada awal tahun 1980-an, batik Pekalongan bangkit lagi dari keterpurukan setelah penemuan inovatif penggunaan kain sutera sebagai bahan pembuatan batik tulis. Batik sutera yang mengalami masa kejayaan hingga tahun 1997,
mengangkat kembali
usaha batik pada tahap kemajuan. Kemajuan itu didukung pula oleh kebijakan pemerintah, menguatnya sentimen tradisi batik, dan peranan pengusaha muda. Kemajuan usaha batik pada periode itu telah membangkitkan gairah baru dalam usaha batik. Penulisan disertasi ini diakhiri dengan kesimpulan pada Bab VII.