BAB I PENGANTAR
A. Latar Belakang Perilaku merokok merupakan suatu hal yang fenomenal yang ditandai dengan jumlah perokok yang terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. World Health Organization (WHO) pada tahun 2008 menyebutkan, Indonesia menempati urutan ketiga terbesar konsumsi rokok di Asia dengan jumlah perokok mencapai 146 juta jiwa (Wijaya, 2011). Usia perokok pemula di Indonesia pada usia anak, remaja, dan dewasa mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Hal ini dibuktikan berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tentang persentase perokok pemula berdasarkan rentang usia. Perokok pemula usia remaja menempati urutan tertinggi diantara semua rentang usia. Jumlah perokok usia remaja pada tahun 2007 sebesar 33,1% dan meningkat menjadi 43,3% pada tahun 2010 (Azkiyati, 2012). Perokok aktif usia remaja bahkan menjadi tren pada saat ini. Data yang dikeluarkan oleh International Union Against Tuberculosis and Lung Desease menyebutkan 30% perokok di dunia adalah remaja (Wijaya, 2011). Data yang dikeluarkan oleh Global Youth Tabacco Survey (GYTS) semakin
1
2
mempertegas terjadinya peningkatan usia pada perokok pemula. GYTS menyebutkan bahwa pada tahun 2007, jumlah perokok pemula usia 13-18 tahun di Indonesia menduduki peringat pertama di Asia. Bahkan, 3 dari 10 pelajar SMP di Indonesia mulai merokok sebelum usia sepuluh tahun (Wijaya, 2011). Dewasa ini merokok bukan hanya dominasi kaum lelaki. Fenomena yang menarik di masyarakat Indonesia belakangan
ini
adalah
perempuan.
Pernyataan
meningkatnya
jumlah
ini
oleh
didukung
perokok data
dari
Departemen Kesehatan RI yang menyatakan bahwa jumlah wanita yang merokok mencapai 40,5% dari keseluruhan penduduk wanita di Indonesia. Peringkat pertama yaitu mahasiswi, kemudian disusul oleh pelajar (Aiman, 2006). Menurut Survey Sosial Ekonomi Nasional (Susenas), prevalensi merokok pada perempuan dewasa meningkat 1% dari 3,1% pada tahun 2001 menjadi 4,1% pada tahun 2004, dan hampir 90% wanita muda Indonesia adalah perokok. Riset berdasarkan data Kementerian Kesehatan, jumlah perokok aktif perempuan melonjak tajam sejak tahun 2007 hingga 2011. Pada tahun 2007 tercatat jumlah perokok aktif perempuan hanya berkisar 1-2% dari keseluruhan perokok, tetapi pada tahun ini menjadi 6% dari total seluruh perokok Indonesia (Aiman, 2006).
3
Bahkan, bukan hanya perempuan dewasa, remaja putri juga mulai merokok. Konon, 88,78% remaja putri pernah merokok 1-10 batang dalam hidupnya (Dewi, 2008). Koalisi Untuk Indonesia Sehat (KuIS) melakukan riset tentang perilaku merokok di kalangan remaja putri dan wanita muda di Indonesia dengan jumlah responden sebanyak 3.040 siswi SMP, SMA, serta Mahasiswi usia 13-25 tahun. Hasilnya adalah rata-rata remaja putri mulai merokok pada usia 15 tahun, dan sekitar 20,33% remaja putri pernah merokok meski hanya satu isapan. Beragam alasan dikemukakan terkait dorongan untuk merokok, diantaranya untuk bersantai, tertantang melakukan hal
yang dilakukan pria,
kebiasaan dalam
kelompok
pertemanan, dan agar dapat diterima dalam sebuah kelompok. Sebanyak 51,19% wanita juga percaya merokok dapat menurunkan berat badan (LID, 2009). Meningkatnya perilaku merokok pada wanita dan remaja putri pada umumnya karena para wanita
mempunyai
pengendalian diri yang kurang dan cenderung mudah stress, sehingga menganggap rokok efektif untuk mengatasi stres, karena secara emosional wanita cenderung lebih labil daripada laki-laki sehingga wanita menjadikan rokok sebagai pelarian untuk mengurangi stres (Maghriza, 2009). Erikson (1963) menyebutkan, latar belakang remaja mulai merokok berkaitan dengan adanya krisis aspek
4
psikososial pada masa perkembangan remaja, yaitu masa ketika remaja sedang mencari jati diri (Mubarok, 2009). Glendinning dan Inglis (1999) mengemukakan bahwa perilaku merokok yang dilakukan remaja merupakan penunjukkan simbol status sosial, ikatan kekerabatan dalam kelompok, dan memberikan kesan mengagumkan. WHO menyebutkan, salah satu penyebab perilaku merokok serta pengonsumsian alkohol dan obat-obatan pada remaja adalah self esteem yang negatif pada remaja (Glendinning & Inglis, 1999). Penelitian Young-Ho Kim (2004) menyebutkan, self esteem memiliki arti penting sebagai faktor yang memengaruhi perilaku merokok pada remaja. Self esteem didefinisikan sebagai suatu dimensi evaluatif global mengenai diri sendiri (Santrock, 2003). Individu mendapatkan nilai self esteem melalui persepsi terhadap diri sendiri dan orang lain. Penilaian tinggi terhadap diri sendiri adalah penilaian terhadap kondisi diri dengan menghargai kelebihan, memahami potensi diri, dan menerima kekurangan yang ada dalam dirinya (Santrock, 2003). Sedangkan, penilaian rendah terhadap diri sendiri adalah penilaian tidak suka atau tidak puas dengan kondisi diri sendiri, tidak menghargai kelebihan diri, dan selalu melihat dirinya sebagai sesuatu yang selalu kurang (Santrock, 2003). Self esteem dalam kondisi defisiensi meliputi merasakan ketidakmampuan, negativisme, dan merasakan inferioritas.
5
Sedangkan self esteem pada kondisi penuh meliputi rasa percaya
diri,
perasaan
bisa
melakukan
sesuatu,
dan
penghargaan diri yang positif (Dian, 2010). Fenomena mengenai remaja putri yang merokok, banyak remaja putri, terutama mahasiswi Universitas Kristen Satya Wacana, yang merokok di lingkungan kampus, seperti di kantin atau cafe-cafe di sekeliling kampus. Perilaku merokok tersebut sudah menjadi pemandangan sehari-hari yang dianggap biasa oleh mahasiswa lainnya. Perilaku menghisap rokok mereka lakukan disela-sela padatnya kegiatan, seperti saat jam istirahat makan siang, jam kosong menunggu jadwal kuliah berikutnya, ataupun saat bersantai dengan teman-teman. Mereka tidak merasa malu atau canggung untuk merokok meskipun mahasiswa lain banyak yang memperhatikan perilaku mereka. Penelitian mengenai ada tidaknya hubungan antara perilaku merokok dengan self esteem pada remaja pernah dilakukan oleh Noor, et, al, pada tahun 2008 di Malaysia. Penelitian ini bertujuan mengetahui hubungan antara perilaku merokok dengan self esteem pada remaja Malaysia di Kota Bharu, Kelantan, yang melibatkan 1.364 murid SLTP di Kota Bharu. Didapatkan hasil bahwa tidak ada hubungan antara perilaku merokok dengan self esteem pada remaja Malaysia di Kota Bharu. Perilaku merokok pada remaja di Kota Bharu lebih dipengaruhi oleh kondisi keluarga dan lingkungan.
6
Berbeda halnya dengan penelitian yang dilakukan oleh Veselska, et, al, pada tahun 2009 di Slovakia. Penelitian ini bertujuan untuk melihat hubungan antara self esteem dengan keinginan untuk mengonsumsi rokok dan ganja pada remaja, dengan tidak
melihat
jenis
kelamin.
Penelitian
yang
melibatkan 3.694 remaja dan menggunakan skala self esteem milik Rosenberg ini menunjukkan adanya hubungan antara self esteem dengan awal mula dan keberlanjutan pengkonsumsian rokok dan ganja pada remaja. Berdasarkan uraian yang telah dipaparkan, penulis tertarik untuk melihat lebih lanjut mengenai hubungan antara self esteem dengan frekuensi merokok pada remaja putri perokok di Universitas Kristen Satya Wacana.
B. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah : “Adakah hubungan yang signifikan antara self esteem dengan frekuensi merokok pada remaja putri perokok di Universitas Kristen Satya Wacana?”
C. Tujuan Penelitian Adapun tujuan dari penelitian ini adalah “untuk mengetahui hubungan antara self esteem dengan frekuensi merokok pada remaja putri perokok di Universitas Kristen Satya Wacana”.
7
D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat teoritis Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan masukan dan menambah referensi dalam kajian Psikologi Perkembangan dan Psikologi Sosial. 2. Manfaat praktis Adapun manfaat praktis dari penelitian ini adalah : a. Memberikan
sumbangan
data
dan
informasi
mengenai hubungan antara self esteem dengan frekuensi merokok pada remaja putri perokok di Universitas Kristen Satya Wacana. b. Dapat memberikan masukan dan informasi bagi penelitian selajutnya. c. Dapat memberikan sumbangan informasi bagi orang tua, para pendidik, dan remaja putri agar memahami hubungan antara self esteem dengan frekuensi merokok.