1
BAB I PENGANTAR
A. Latar Belakang Seni Pertunjukan bukanlah suatu hal yang baru di Indonesia. Seiring perkembangan zaman, seni pertunjukan di Indonesia semakin berkembang pula, baik itu seni pertunjukan tradisional maupun seni pertunjukan modern.1 Istilah seni pertunjukan sendiri diadopsi dari bahasa Inggris yaitu performance art yang didefinisikan sebagai seni yang dipertunjukan kepada penonton baik itu seni teater, musik ataupun tari.2 Sebagai negara bekas jajahan, Indonesia mengalami beberapa kali pergantian ideologi dan kebijakan selama pergantian kekuasaan. Hal ini juga sangat mempengaruhi kehidupan masyarakatnya termasuk dalam perkembangan kebudayaannya, seperti perkembangan seni pertunjukan. Umar Khayam mengatakan bahwa: “Seni pertunjukan Indonesia memiliki ciri istimewa. Ia adalah sosok seni pertunjukan yang sangat lentur dan ‘cair’ sifatnya. Disebut demikian karena
1
Seni pertunjukan tradisional adalah seni pertunjukan dimana unsur tradisional atau budaya lokal masih sangat dominan didalamnya. Sedangkan seni pertunjukan modern adalah seni pertunjukan yang dianggap lebih maju dan sarat dengan unsur asing di dalamnya, misal musik band. Lihat buku Sujarno, dkk., Seni Pertunjukan Tradisional, Nilai, Fungsi dan Tantangannya. (Yogyakarta: Kementrian Kebudayaan dan Pariwisata, 2003). 2
http://id.shvoong.com/humanities/arts/2254754-pengertian-senipertunjukan/ diakses pada tanggal 29 Februari 2012, jam 08:15 WIB.
2
lingkungan masyarakatnya selalu berada dalam kondisi yang terus berubahubah.”3
Berdasarkan pendapat Umar Khayam di atas, bisa disimpulkan bahwa keadaan bangsa Indonesia selalu mengikuti alur yang dibawa oleh pemerintahan yang menguasainya. Dampak yang ditimbulkan oleh satu pemerintahan selalu berbeda dengan dampak yang ditimbulkan oleh pemerintahan lainnya. Hal ini bisa dicontohkan dengan mengambil periodisasi masa Hindu-Budha, masa kolonial, masa Demokrasi Terpimpin, masa Orde Baru, dan masa revolusi. Dalam satu periode akan memiliki perbedaan dengan periode lainnya, baik dalam aspek kepercayaan, ideologi maupun sistem pemerintahan. Hal ini juga berdampak pada perkembangan seni pertunjukan, khususnya seni teater4.
3
Umar Khayam, “Seni Pertunjukan Kita”, Global/Lokal Jurnal Seni Pertunjukan Indonesia, MPSI Bandung, tahun 2000, hlm. 21. 4
Teater adalah seni drama yang merupakan penampilan perilaku manusia dengan gerak, tari, dan juga nyanyi yang pada bagian tertentu diiringi musik. Di dalamnya terdapat dialog serta acting pemain. Istilah teater berasal dari kata theatron, artinya tempat di ketinggian sebagai tempat meletakan sesajian persembahan bagi para dewa. Pada jaman Yunani Kuno, tempat persembahan semacam itu dikelilingi lapangan untuk tempat berkumpulnya para pengikut upacara. Dalam perkembangannya fungsi teater mengalami beberapa perubahan. Pada jaman kekuasaan Romawi, fungsi lapangan tempat persembahan berubah menjadi arena pertunjukan, tempat gladiator mengadu kekuatan. Adakalanya para gladiator diadu dengan binatang buas. Pertunjukan itu diadakan untuk menghibur raja yang berkuasa. Kemudian istilah theatron berubah menjadi theatre (Inggris) atau theater (Belanda) yang artinya gedung panggung atau pentas tempat pertunjukan seni drama berlangsung. Kini umumnya pengertian teater dan seni drama sudah berbaur dan keduanya merajuk pada seni berperan di atas pentas. Dalam praktiknya arti teater, sebagai seni, mempunyai cakupan arti yang lebih luas daripada seni drama. Lihat Ensiklopedi Nasionanal jilid 16, (Jakarta: PT. Cipta Adi Pustaka, 1991), hlm. 143; Lihat Priyo Darmanto dan Pujo Wiyoto, Kamus Lengkap Inggris-Indonesia; Indonesia Inggris. (Surabaya: Arkola, t.t.), hlm. 408.
3
Seni teater sejak awal kemunculannya sangat digemari oleh masyarakat Indonesia.
Oleh
karenanya
tidaklah
mengherankan
apabila
pemerintah
menjadikannya sebagai alat kepentingan pemerintahan. Di antara seni teater yang berkembang di Indonesia, sandiwara adalah salah satunya kesenian yang sejak masa kejayaannya (masa di mana pertunjukan sandiwara mulai berkibar dan berkembang kembali setelah mengalami masa suram saat masuknya film ke Indonesia sebelum penjajahan Jepang di Indonesia)5 sampai saat ini dijadikan sebagai alat propaganda dan kepentingan-kepentingan pemerintah lainnya, seperti untuk kampanye dan mensosialisasikan program pemerintah. Sandiwara adalah istilah yang diciptakan oleh Kanjeng Gusti Pangeran Mangkunegara VII. Istilah sandiwara berasal dari kata sandi yang berarti rahasia dan wara yang berarti pengajaran.6 Jika disimpulkan bisa berarti pengajaran yang disampaikan secara rahasia atau pesan yang tersirat. Sandiwara sendiri merupakan jenis karya seni dua dimensi yaitu sebuah karya seni yang dapat dipandang sebagai karya sastra (naskah atau teks) dan seni pertunjukan. Keduanya saling melengkapi dan tidak dapat dipisahkan.7 Pada kenyataannya, sandiwara sebagai
5
Edi Sedyawati, dkk.,Sejarah Kebudayaan Indonesia: Seni Pertunjukan dan Seni Media. (Jakarta: Departemen Kebudayaan dan Pariwisata, 2009), hlm. 116. 6
R. B. Slametmuljana. Bimbingan Seni-Sastra. (Djakarta: J. B. Walters, 1951), hlm. 173. 7
Hasanuddin W. S., Drama Karya dalam Dua Dimensi: Kajian Teori, Sejarah, dan Analisis. (Bandung: Angkasa, 1996), hlm. 1. Teori ini memang sangat tepat jika dilihat pada masa penjajahan Jepang di Indonesia. Mengingat semua pertunjukan sandiwara harus menggunakan naskah drama, dan sampai diadakannya perlombaan pembuatan naskah drama oleh pemerintah Jepang bagi masyarakat Indonesia. Adapun setelahnya, teori ini tidak lagi berlaku karena
4
seni pertunjukan -dimana dalam pertunjukannya menampilkan lakon drama dan tembang lagu- membutuhkan naskah lakon yang merupakan seni sastra. Sebaliknya, seni sastra sandiwara dapat diimplementasikan melalui sandiwara sebagai seni pertunjukan. Kendati demikian, tidak semua jenis sandiwara menggunakan naskah sebagai kendali cerita dalam pementasannya, karena ada beberapa grup sandiwara yang melakukan pertunjukan dengan cara improvisasi setelah mendapat pengarahan dari sutradaranya, seperti grup-grup sandiwara asal Indramayu. Sepanjang akhir abad ke-19 sampai awal abad ke-20, memang telah berkembang sandiwara berbentuk Stambul, Ludruk dan Kethoprak, berlanjut dengan kemunculan Orion dan Darnadella yang kesemuanya berfungsi sebagai media hiburan. Namun, eksistensinya kalah setelah masuknya dunia perfilman ke Indonesia.
Kedatangan
Jepang
telah
mengembalikan
eksistensi
dunia
persandiwaraan.8 Akan tetapi, sandiwara pada masa Jepang memiliki perbedaan dalam hal fungsi dan ideologi dengan masa sebelumnya. Jika pada masa kolonial Belanda sandiwara sebagai media hiburan yang membawakan tema-tema hiburan seperti dongeng-dongeng atau cerita lokal Indonesia9, maka pada masa Jepang adalah sebagai mediasi propaganda yang sudah pasti membawakan tema-tema
beberapa grup sandiwara Jawa Barat pada masa kini tidak lagi terpaku pada naskah drama. 8
9
Edi Sedyawati, op.cit., hlm. 117.
Saini Kosim, “Teater Indonesia Sebuah Perjalanan dalam Multikulturalisme” dalam Jurnal Seni Pertunjukan Indonesia Tahun IX1998/1999. Hlm. 181.
5
propaganda. Berlanjut pada masa setelah kemerdekaan, sandiwara masih dijadikan media propaganda dan legitimasi partai politik. Contohnya, partai PNI yang menggunakan sandiwara untuk kampanye.10 Fenomena ini terjadi sampai pada masa yang dikenal sebagai peristiwa tragedi nasional 1965. Beragam kesenian yang berkembang sampai saat itu dibubarkan dan beberapa diantaranya membubarkan diri –seperti kelompok sandiwara di Indramayu-. Namun, semangat para seniman tidaklah luntur setelah pembubaran masal itu. Beberapa seniman mencoba meniti kembali dan menghidupkan sandiwara. Akhir tahun 1960-an merupakan masa kebangkitan kembali kesenian sandiwara. Menghadirkan kembali wajah persandiwaraan dengan image dan kesan yang baru. Fenomena budaya ini juga terjadi di wilayah kabupaten Indramayu. Berdasarkan administratif, wilayah Indramayu termasuk wilayah Jawa Barat dengan etnis Sunda. Meski demikian, Indramayu bukanlah wilayah yang semua masyarakatnya menggunakan bahasa Sunda sebagai bahasa sehari-harinya. Masyarakat Indramayu hampir secara keseluruhan menggunakan bahasa Jawa11 dalam kehidupan sehari-harinya seperti halnya masyarakat Cirebon. Hal ini dikarenakan letak geografis wilayah Cirebon dan Indramayu sebagian merupakan wilayahnya pesisir pantai utara yang strategis sebagai sentral perdagangan. Masuknya Islam pada abad ke-15 sampai ke-16, diantaranya lewat syiar Islam
10
http://sejarahcirebon.blogspot.com/2010/05/sandiwara-cirebon.html diakses pada 17 Oktober 2011 Jam 11:13 WIB. 11
Dialek bahasa Jawa Indramayu berbeda dengan bahasa Jawa dari etnis Jawa, tetapi hampir mirip dengan dialek Banyumasan atau Tegal. Dialek Indramyu biasa disebut bahasa ‘Jawa-Dermayon’.
6
Sunan Gunung Djati yang menggunakan bahasa Jawa semakin mempertegas pengaruh Jawa secara kebudayaan di wilayah tersebut. Oleh karenanya, Cirebon dan Indramayu memiliki dua bahasa ibu, yakni bahasa Sunda dan Jawa.12 Kabupaten Indramayu juga merupakan salah satu wilayah yang memiliki banyak komunitas kesenian seperti sandiwara, tarling, organ tunggal, singa dangdut, sintren, wayang (wayang kulit, wayang cepak, dan wayang golek), barokan, topeng, jidur, dombret dan genjring umbul. Sandiwara di Indramayu merupakan salah satu kesenian yang masih dilestarikan masyarakatnya sampai saat ini. Perkembangan zaman dan persaingan yang semakin kuat tidak menyurutkan semangat para seniman sandiwara untuk terus melanjutkan kiprahnya di belantika dunia perteateran Indonesia. Kesulitan dan hambatan memang
selalu
terjadi
dalam
jalannya
perputaran
hidup.
Kehidupan
persandiwaraan pun tak luput dari berbagai rintangan dan tantangan. Sampai saat ini masih terhitung cukup banyak sandiwara yang bertahan di Indramayu seperti grup sandiwara Darma Saputra, Indra Putra, Lingga Buana, Aneka Tunggal, Bina Remaja Indah, Dwi Warna, Sang Putra Darma, Galu Ajeng, Candra Sari dan lain sebagainya. Cerita yang ditampilkan biasanya berasal dari babad, legenda dan sejarah. Para pemain atau bisa dikatakan artis panggung berasal dari tempat tinggal yang berbeda. Sistem perekrutan artis baru dilakukan langsung oleh pemimpin, dan untuk perekrutan artis yang sebelumnya sudah berpengalaman maka sistemnya sama seperti dalam perekrutan para pemain bola, misalnya yaitu
12
http://wiralodra.com/2009/kebudayaan-jawa-sunda-di-cirebonindramayu/ diakses pada tanggal 27 Februari 2013, 09:57 WIB.
7
dengan membeli pemain dari grup A untuk pindah ke grup B. Adapun pola pementasannya dibagi dalam tujuh sampai delapan babak yang dimulai dari tetalu13 sampai babak penutup. Sebagaimana bahasa sehari-hari yang digunakan masyarakat Indramayu, sandiwara-sandiwara
asal
Indramayu
juga
menggunakan
bahasa
Jawa-
Dermayon.14 Meski sebagian besar masyarakat Jawa Barat menggunakan bahasa Sunda, tapi persoalan bahasa ini nampaknya bukan suatu hambatan karena pada kenyataannya sandiwara-sandiwara asal Indramayu ini tidak kehilangan peminatnya baik masyarakat setempat atau luar kabupaten Indramayu. Sejak awal kemunculannya, yaitu tahun 1950-an, sandiwara asal Indramayu baru mencapai puncak kejayaannya pada dekade akhir abad ke-20. Pada tahun 1970-an, kesenian sandiwara mulai merambat ke luar kabupaten seperti ke Majalengka, Cirebon, Brebes, dan sebagainya. Namun memasuki tahun 2000-an, sandiwara ini mulai terpinggirkan dan kurang diminati masyarakat. Perubahan selera ini bisa dikaitkan dengan perubahan zaman yang semakin maju serta kemunculan grup-grup kesenian seperti merebaknya grup Organ Tunggal di Indramayu.
B. Permasalahan dan Ruang Lingkup Penelitian
13
Istilah permainan alat musik gamelan sebagai babak awal dimulainya pementasan seni prtunjukan sandiwara dan lainnya. 14
Dermayon adalah sebutan lain untuk Indramayu. Sedangkan masyarakatnya sering juga disebut “wong dermayu” yang artinya orang Indramayu.
8
Berdasarkan latar belakang di atas, permasalahan utama yang akan dibahasa dalam penelitian adalah tentang perkembangan seni pertunjukan sandiwara di Indramayu pada tahun 1968 sampai tahun 2000. Dari permasalahan utama tersebut dapat diuraikan menjadi beberapa poin pertanyaan penelitian, diantaranya: (1) Siapa perintis berdirinya pertunjukan sandiwara di Indramayu? (2) Siapa yang menjadi penikmat kesenian sandiwara asal Indramayu? (3) Bagaimana proses sandiwara bisa sampai dikenal masyarakat luas? (4) Bagaimana perjalanan sandiwara selama tiga dekade akhir abad ke-20? (5) Apa faktor pendukung sandiwara dapat terus bertahan selama tiga dekade akhir abad ke-20?
“Setiap unit sejarah senantiasa memilki lingkup temporal dan spasial (ruang dan waktu)”.15 Sebagaimana kutipan di atas, penelitian sejarah ini juga dibatasi temporal dan spasialnya. Ruang Lingkup penelitian ini difokuskan pada wilayah Indramayu pada tahun 1968 sampai tahun 2000. Wilayah Indramayu ini diambil dalam konteks kulturalnya, sehingga tidak terbatas hanya wilayah dalam kabupaten Indramayu melainkan juga termasuk wilayah lain yang mendapat pengaruh dan atau memberi pengaruh dalam konteks budaya seperti Cirebon, Majalengka, Sumedang dan sebagainya. Adapun alasan Indramayu sebagai spasial untuk penelitian ini adalah dikarenakan di Indramayu sampai saat ini masih berkembang kelompok/komunitas atau grup-grup seni pertunjukan. Indramayu juga
merupakan wilayah yang memberikan pengaruh cukup besar terhadap
wilayah sekitarnya, seperti musik dan lagu-lagu Indramayu yang sangat digemari 15
Sartono Kartodirdjo, Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah. (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1993), hlm. 72.
9
oleh sebagian besar masyarakat di dalam dan luar kabupaten Indramayu, Majalengka misalnya. Di samping itu, jarang sekali literatur yang membahas mengenai Indramyu yang kaya akan berbagai jenis seni pertunjukan. Oleh karena itu penulis melihatnya sebagai suatu bentuk keharusan untuk mengkaji wilayah Indramayu. Seperti yang telah dijelaskan di atas, temporal yang diambil berkisar tahun 1968 sampai tahun 2000. Diawali pada tahun 1968 adalah karena pada tahun ini merupakan awal bangkitnya kembali sandiwara di Indramayu setelah sempat dilarang dan dibubarkannya pasca peristiwa malam 30 September 1965. Berakhir pada tahun 2000 adalah karena pada tahun ini pertunjukan sandiwara mengalami kemunduran dan semakin redup eksistensinya di belantika kesenian teater Indonesia. Persaingan kesenian yang semakin marak dan bebas tahun 1990-an dan sampai jatuhnya pemerintahan Orde Baru memperburuk keadaan sandiwara yang semakin terpinggirkan.
C. Tujuan Penelitian Penelitian ini dilakukan dengan tiga jenis tujuan: pertama, tujuan historiografis yaitu sebagai salah satu syarat untuk kelulusan; menambah khasanah tulisan sejarah mengenai seni pertunjukan yang masih sangat minim. Kedua,
tujuan
substantive
yaitu
untuk
menjelaskan
mengenai
proses
perkembangan seni pertunjukan rakyat –dalam hal ini adalah kesenian sandiwaradi Indramayu pasca peristiwa tragedi nasional 1965. Ketiga, tujuan metodologis yaitu
untuk
mendokumentasikan
sumber-sumber
visual
mengenai
seni
10
pertunjukan sandiwara di Indramayu, serta mengaplikasikan teori yang didapat dalam mata kuliah sejarah lisan untuk mendapatkan sumber-sumber lisan yang belum dan hanya diketahui pelaku sejarah.
D. Tinjauan Pustaka Kajian sejarah mengenai kebudayaan Indonesia sangat sedikit jumlahnya bahkan bisa dikatakan langka. Hal ini dikarenakan sedikitnya sejarawan yang tertarik untuk menulis sejarah kebudayaan.16 Dari banyaknya kebudayaan yang terdapat di Indonesia, seni pertunjukan adalah salah satu jenis kesenian yang paling sedikit diminati oleh para sejarawan untuk diteliti. Hampir kebanyakan tema kebudayaan tersaji sebagai buku antropologi atau sosiologi.17 Begitupun dengan seni pertunjukan di Indramayu. Meski sedikitnya ada beberapa tulisan di internet yang mengenalkan kesenian-kesenian di Indramayu secara umum. Oleh karenanya pada bagian ini penulis melakukan pembandingan antara kajian-kajian yang telah ada dengan kajian yang diteliti penulis untuk melihat keoutentikannya. Berdasarkan tema dan subjek penelitian bisa meriview karya Fandy Hutari dalam bukunya Sandiwara dan Perang: Politisasi terhadap Aktifitas Sandiwara Modern pada Masa Jepang.18 Buku ini hadir dengan persoalan yang sedikit
16
Kuntowijoyo, Metodologi Sejarah. (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 2003), hlm. 133. 17
Lihat Koentjaraningrat, Kebudayaan Jawa. (Jakarta: Balai Pustaka,
1979). 18
Fandy Hutari, Sandiwara dan Perang: Politisasi terhadap Aktifitas Sandiwara Modern pada Masa Jepang. (Yogyakarta: Ombak, 2009).
11
banyaknya memiliki kesamaan dengan subjek tema yang dikaji penulis yaitu kesenian sandiwara. Hanya saja, dalam buku ini Fandy memfokuskan ruang lingkupnya di Jakarta pada masa penjajahan Jepang di Indonesia tahun 19421945. Secara keseluruhan buku ini menjelaskan mengenai proses perkembangan seni pertunjukan sandiwaara modern di Jakarta sebagai mediasi propaganda pemerintah Jepang. Selain itu, ada juga karya Soedarsono dalam bukunya Beberapa Catatan tantang Seni Pertunjukan Indonesia19 menjelaskan mengenai sejarah pertunjukan di Indonesia lebih khususnya Jawa, Sunda, dan Bali. Ia menjelaskan awal mula muncul dan berkembangnya berbagai seni pertunjukan etnik Jawa, Sunda dan Bali. Dalam kajiannya ini, Soedarsono juga menggambarkan bagaimana proses budaya
itu
berkembang
dan
bagaimana
peran
masyarakatnya
dalam
pengembangan seni pertunjukan tersebut. H. A. Dasuki dalam bukunya yang berjudul Sejarah Indramayu20 menjelaskan mengenai sejarah awal terjadinya wilayah Indramayu sampai masa kemerdekaan. Dalam buku ini juga disinggung sedikit mengenai kebudayaan masyarakatnya, namun tidak cukup untuk bisa disajikan sebagai referensi penelitian sejarah kebudayaan di Indramayu.
19
Soedarsono, Beberapa Catatan tentang Seni Pertunjukan Indonesia. (Yogyakarta: Konservatori Tari Indonesia, 1974). 20
H. A. Dasuki, Sejarah indramayu. (Indramayu: Percetakan dan Toko Buku Sudiam, 1960).
12
Selain buku adapula jurnal dan makalah yang bisa ditinjau untuk penelitian ini.Arthur S. Nalan dalam artikelnya yang berjudul Seni Pertunjukan Rakyat di Pesisir Utara Jawa (Suatu Pencatatan)21 menjelaskan mengenai dinamika budaya pesisir Utara Jawa.Arthur ingin menguak arti penting dari peran kebudayaan masyarakat pesisir Utara Jawa dimana banyak kebudayaan yang sampai saat ini masih tersembunyi dan belum diketahui secara nyata oleh publik.Ia membagi wilayah budaya Pesisir Utara Jawa menjadi wilayah budaya Pesisir Utara Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Arthur juga mengklasifikasikan budaya-budaya pesisir yang berkembang. Dalam tulisannya ini, Ia tidak mencantumkan temporal secara eksplisit karena kajiannya hanya berupa penjelasan tulisan yang ingin membuktikan bahwa adanya seni pertunjukan di wilayah pesisir Utara Jawa yang juga penting untuk diketahui secara nyata oleh umum. Alfi Syahriyani dalam judul makalahnya Komitmen Religius Masyarakat Nelayan: Dialektika antara Islam dan Tadisi Lokal22 menjelaskan mengenai sejarah masuknya Islam di Indramayu, komitmen-komitmen spiritual nelayan, dan perubahan sosial yang turut mempengaruhi komitmen masyarakat nelayan Indramayu.
21
Arthur S. Nalan, “Seni Pertunjukan Rakyat di Pesisir Utara Jawa (Suatu Pencatatan)” dalam Jurnal Panggung, Jurnal STSI Bandung No. XXXVIII tahun 2006. 22
Alfi Syahriyani., “Komitmen Religius Masyarakat Nelayan: Dialektika antara Islam dan Tadisi Lokal” makalah ini ditujukan sebagai prasyarat semifinal MAPRES FIB UI, 7 Mei 2010.
13
Berdasarkan beberapa sumber literatur yang ditinjau di atas menunjukan bahwa kajian mengenai seni pertunjukan sandiwara di Indramayu pada kisaran waktu 1968 – 2000 belum ada yang meneliti.
E. Metode dan Sumber Penelitian Dalam melakukan penelitian dibutuhkan metode penelitian. Metode yang akan digunakan dalam penelitian ini ada lima tahap, yaitu: pemilihan topik, pengumpulan sumber, verifikasi, interpretasi, dan penulisan.23 Pemilihan topik ini dilakukan sebagaimana telah dianjurkan Kuntowijoyo dengan berdasarkan kedekatan emosional, kedekatan intelektual, dan rencana penelitian.24 Dalam hal kedekatan emosional yang seperti digambarkan Kuntowijoyo, penulis sebenarnya bukan merupakan bagian dari masyarakat Indramayu, akan tetapi keluarga besar memang menetap sebagai warga Indramayu. Diluar masalah kekerabatan, penulis sangat
menyukai dan
menggemari seni pertunjukan sandiwara dari Indramayu. Sejak kecil selalu menyempatkan waktu menonton sandiwara apabila sedang pentas di desa tempat tinggal sendiri dan atau di tempat saudara di Indramayu. Bahasa daerah yang digunakan dalam pertunjukan sandiwara Indramayu tidak menjadi hambatan meski tidak dimengerti secara keseluruhan kosa katanya. Terlepas dari itu semua kesenian sandiwara sangat menghibur dan memberikan ajaran dan menambah 23
Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah. (Yogyakarta: PT Bentang Pustaka, 2005), hlm. 90. 24
Ibid., hlm. 91.
14
pengetahuan. Adapun mengenai kedekatan intelektualnya penulis hanya sering mendengar cerita orang-orang terdahulu mengenai sejarah Indramayu karena untuk sumber literatur mengenai Indramayu bisa dikatakan sangat langka. Sedangkan untuk rencana penelitian, penulis juga membuat tahap-tahap yang akan dilakukan dimulai dari membuat permasalah yang menyangkut alasan mengapa topik itu perlu diteliti, membuat jadwal mencari sumber, mengelola sampai biaya yang kira-kira dibutuhkan. Pada tahap pengumpulan data, penulis mencari dan mengumpulkan berbagai jenis sumber dari perpustakaan FIB, UPT, ANRI, PSSAT, Kantor Arsip dan Perpustakaan Daerah Indramayu, DISPORBUDPAR Indramayu, BPS Indramayu, grup-grup sandiwara, dan masyarakat dalam dan luar Indramayu. Sumber yang didapat berupa dokumentasi tertulis yang meliputi arsip, buku-buku literatur, skripsi, tesis, jurnal, dan koran; artifact berupa foto-foto, namun dokumentasi ini sebagian besar tidak sejaman atau dengan kata lain bukan arsip atau koleksi pribadi dari kelompok sandiwara atau masyarakat pada masa itu, melainkan hasil foto massa kini. Pemerintah daerah ataupun seniman sandiwara tidak pernah secara sengaja mendokumentasi pementasannya, namun baru sekitar tahun 2006 mulai direkam dan diperjual-belikan dalam bentuk kaset CD. Keterbatasan sumber-sumber dalam bentuk dokumentasi tertulis dan artifak memaksa penulis untuk memperbanyak sumber lisan. Tidak hanya mengunjungi kediaman kelompok sandiwara, penulis juga mengikuti pementasan tentunya sebagai penonton dan sekaligus mewawancara penonton serta membuat dokumentasi dengan memfoto per-adegan. Dengan kata lain, sumber primer didapatkan dengan
15
mewawancara pemimpin dan para seniman yang ikut berpartisipasi dalam pertunjukan sandiwara antara akhir dekade 1960-an sampai dekade 1990-an, serta penikmat sandiwara dari masa ke masa. Secara keseluruhan, penelitian lapangan dilakukan di Indramayu dan Pilangsari (Majalengka) yang saat itu sedang ada pertunjukan sandiwara. Selebihnya untuk penulisan dan mencari sumber sekunder lebih banyak dilakukan di Yogyakarta, mengingat di Indramayu sendiri sangat minim sumber-sumber literatur. Setelah semua sumber terkumpul, penulis melakukan verifikasi (kritik intern dan ekstern) untuk mengetahui keautentikan dan kredibilitasnya. Semua sumber yang didapat dibandingkan satu sama lain (kritik eksternal) dan dengan melihat sumber itu sendiri secara bahasa, cara menulis dan ejaannya (kritik internal) sampai dirasa data sudah relevan. Selesai mem-verifikasi penulis melangkah pada tahap interpretasi dengan cara menganalisis semua fakta yang sudah terverifikasi. Kemudian membuat sintesis dan melanjutkan pada tahap akhir yaitu penulisan. Setelah melampaui tahap-tahap sebelumnya, tahap penulisan merupakan tahap pamungkas dalam pembuatan karya ilmiah ini. Semua fakta yang telah dikritik disusun secara naratif-deskrptif. F. Sistematika Untuk mempermudah dalam menuliskan kajian penelitian ini sehingga dapat tersusun secara sistematis dan kronologis maka disusunlah sistematika penulisan.