1
BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Makan merupakan salah satu kebutuhan setiap mahluk hidup di muka bumi
ini. Makan adalah kebutuhan yang paling penting dan pokok dalam melangsungkan kehidupan baik secara fisiologis, psikologis sosial maupun antropologis (Wirakartakusumah, 2001:1). Setiap makhluk hidup membutuhkan makanan. Baik hewan, tumbuhan, maupun manusia membutuhkan makanan untuk bertahan hidup. Tanpa makanan makhluk hidup akan sulit mengerjakan aktivitas sehari-hari. Kebutuhan dan jenis makanan yang dibutuhkan berbeda-beda bagi setiap mahluk hidup. Manusia adalah mahluk hidup yang paling banyak mengkonsumsi berbagai jenis makanan, baik tumbuhan maupun hewan keduanya diolah sedemikian rupa menjadi makanan yang dapat dikonsumsi manusia (Gunawan, 2006). Berbicara mengenai makanan, makanan memberikan banyak manfaat bagi tubuh. Setiap makanan memiliki kandungan gizi yang berbeda seperti karbohidrat, protein, lemak, vitamin, enzim, pigmen dan lain-lain. Mengkonsumsi makanan yang bergizi akan membantu pertumbuhan manusia baik meningkatkan kinerja otak maupun pertumbuhan tubuh. Makanan juga identik dengan sesuatu yang enak, menggugah selera bagi yang mengkonsumsinya, dan termasuk jenis makanan yang lazim dimakan manusia (Puspaningtyas, 2014).
2
Hal tersebut berbeda dengan kondisi konsumsi makan yang terjadi di Kabupaten Gunung Kidul, Yogyakarta. Apabila kita mengunjungi sentra pariwisata yang ada di Gunung Kidul pada musim kemarau, maka tidak jarang kita akan disuguhkan oleh pemandangan banyaknya orang yang berjualan belalang (walang) di pinggir jalan baik yang sudah matang maupun yang masih hidup. Sedangkan pada musim hujan, selain belalang masih terdapat beberapa jenis hewan tidak lazim lainnya yang dijajakan para penjual kuliner ini. Para pedagang menjajakan seikat plastik yang berisikan ulat jati, kepompong jati (ungkrung/enthung1), Puthul2 (kumbang hutan), maupun laron. Mendengar nama hewan-hewan tersebut, masyarakat umum mungkin akan merasa heran atau takut. Hal ini dikarenakan hewan tersebut merupakan jenis hewan yang termasuk kedalam kategori serangga, hama tanaman, dan hewan yang
yang bersedia mengkonsumsinya sebagai sebuah konsumsi makanan. Tetapi faktanya, hewan tersebut merupakan jenis hewan yang cukup digemari oleh sebagian masyarakat Jetis, bahkan menjadikan Gunung Kidul terkenal akan kuliner belalangnya. Di Dusun Jetis, Desa Jetis, Kecamatan Saptosari, Kabupaten Gunung Kidul, Yogyakarta, ada 6 jenis hewan tidak lazim yang dikonsumsi oleh masyarakat setempat. Hewan tersebut
1
adalah belalang,
ulat jati, kepompong jati
Ungkrung adalah istilah yang digunakan masyarakat Jetis untuk menyebut kepompong Jati, sedangkan enthung dalam bahasa jawa juga diartikan sebagai kepompong. 2 Puthul adalah istilah masyarakat Gunung Kidul untuk menyebut kumbang hutan, kumbang ini bewarna coklat kemerahan dan menyerupai seperti kecoa.
3
(ungkrung/enthung), bekicot, laron, dan juga puthul. Keenam jenis hewan tersebut merupakan hewan yang dijadikan sebagai objek penelitian terhadap konsumsi makan masyarakat Jetis. Fenomena mengkonsumsi keenam hewan tidak lazim tersebut tidak hanya terjadi di Desa Jetis melainkan juga terjadi di berbagai daerah di Indonesia. Ulat jati diketahui tumbuh dengan baik dan dikonsumsi di beberapa wilayah Jawa seperti Tuban, Bojonegoro, Rembang, Jepara dan Blora. Bekicot dan Laron juga dikonsumsi di berbagai wilayah di Indonesia seperti Pulau Jawa dan Sumatera. Sedangkan belalang dan puthul sudah sejak lama dijadikan konsumsi makan oleh sebagian masyarakat Gunung Kidul, Yogyakarta. Di Yogyakarta sendiri selain hewan-hewan yang disebutkan di atas, masih ada sebagian masyarakat yang mengkonsumsi hewan tidak lazim lainnya. Hewan tersebut adalah katak (swike), ular kobra, biawak, bulus, landak, kuda, kelelawar, tupai maupun telur kodok. Hewan-hewan tersebut diolah sedemikian rupa menjadi berbagai jenis olahan makanan seperti sate, tongseng, gorengan krispy, tumisan, maupun olahan masakan lainnya untuk dikonsumsi sendiri maupun dijual. Di luar Yogyakarta, kita juga dapat menemukan fenomena yang sama. Di Papua, beberapa suku Irian mengkonsumsi ulat sagu sebagai makanan penduduk setempat (Malika, 2012:78). Di Tomohon, Sulawesi Utara, ada sebuah pasar tradisional yang cukup terkenal karena menjual hewan-hewan tidak lazim seperti tikus hutan, ular, anjing, babi hingga kelelawar untuk dijadikan konsumsi makanan masyarakat sehari-hari (Wenas, 2007:175). Konsumsi hama seperti belalang, capung, ulat, kumbang, larva, lebah dan lain sebagainya juga terjadi di beberapa
4
negara di dunia. Fenomena ini banyak terjadi di benua Asia seperti Thailand, Jepang, Korea, Cina, Vietnam, maupun Indonesia (Ruiz, Melo et al, 2013). Hewan-hewan tidak lazim tersebut ada yang dijadikan sebagai makanan tradisional masyarakat, makanan subsisten pengganti lauk, maupun makanan yang dijual sebagai kuliner ekstrem yang cukup menarik perhatian para wisatawan (Huis, 2013). Dengan menyebarnya fenomena mengkonsumsi hewan tidak lazim ini di berbagai tempat serta mudahnya akses penyebaran informasi dari berbagai media, hal ini membuat tingginya permintaan masyarakat untuk mencoba mengkonsumsi hewan-hewan tidak lazim tersebut. Hal tersebut kemudian dimanfaatkan oleh masyarakat Jetis dengan menjual hewan tersebut sebagai tambahan pendapatan mereka. Banyak dari warga yang kemudian mencari hewan tersebut dan menjualnya sebagai konsumsi pangan masyarakat setempat (Rozin et al, 2008). Oleh karena itu, menurut penulis fenomena mengkonsumsi makanan dari hewan-hewan tidak lazim ini cukup menarik dikaji untuk melihat pesatnya modernisasi dunia kuliner yang menawarkan banyaknya variasi olahan makanan dari sumber bahan makanan yang beragam. Dewasa ini sudah ada beberapa penelitian yang membahas mengenai konsumsi makanan hewan yang tidak lazim tersebut sebagai sumber hewani. Halloran et al (2014) dalam , penulis membahas mengenai kontribusi serangga sebagai salah satu solusi ketahanan pangan dalam memenuhi kebutuhan protein hewani mengingat kandungan nilai gizi yang dimiliki serangga cukup tinggi.
5
Dari segi ekonomi, mengkonsumsi serangga sebagai sumber protein lebih menguntungkan dibandingkan olahan hewan ternak. Mahalnya biaya produksi dalam pengolahan budidaya hewan ternak seperti harga pakan hampir menyamai setengah biaya produksi daging. Dengan tingginya harga biaya produksi yang semakin merangkak naik, penggunaaan serangga sebagai bahan pengganti sumber protein hewani menjadi salah satu opsi yang diperhitungkan. Mengkonsumsi serangga sebagai sumber protein jauh lebih murah dibandingkan mengkonsumsi sumber hewani berupa olahan ternak. Selain itu, serangga juga dapat menambahkan sumber pendapatan masyarakat dengan cara dijual sebagai pakan ternak maupun konsumsi manusia yang saat ini semakin populer sebagai kuliner ekstrem di berbagai negara terutama di benua Asia seperti Thailand dan Cina. Huis et al (2013) dalam
Prospect for Food and Feed Security in
Economics : Cash Income, Enterprise Development, Markets and Trade In Edible Insect Future
Huis memaparkan budidaya serangga dapat berfungsi sebagai salah
satu strategi diversifikasi mata pencaharian yang menyediakan peluang pendapatan bagi rumah tangga. Ulat sutra, semut dan lebah merupakan jenis hewan yang dianggap sebagai sistem produksi serbaguna. Ulat sutera dapat digunakan untuk makanan dan serat, sedangkan lebah dapat dimanfaatkan larva dan madunya sebagai makanan. Menurut Huis, hewan-hewan tidak lazim tersebut sebagian besar digunakan sebagai makanan di negara-negara berkembang dan dijual sebagai street food untuk meningkatkan pendapatan ekonomi masyarakat. Serangga tersebut dikumpulkan secara liar dari alam, lahan pertanian atau hutan-hutan yang didapatkan secara
6
gratis. Kelebihan produksi serangga yang dikumpulkan para pengumpul selain untuk dikonsumsi juga dapat dijual kepada tengkulak, pedagang di tingkat petani, atau dijual langsung ke konsumen di pasar lokal. Beberapa jenis serangga seperti ulat, cacing, tawon, belalang dan beberapa hewan lainnnya bahkan diekspor dari negara-negara Asia ke negara-negara di Eropa dan Amerika. Jun (Patrick and Robin, 2010:115) dalam memaparkan bahwa hewan seperti serangga adalah jenis hewan alternatif yang sangat cocok dijadikan sumber protein makanan baru yang dapat digunakan di masa depan. Serangga terbukti memiliki kandungan protein yang tinggi dan dapat dikembangbiakan sebagai alternatif makanan manusia. Saat ini serangga mulai dibudidayakan dan diperkenalkan sebagai sumber bahan makanan di berbagai negara di dunia. Tentunya kemampuan memperoleh bahan pangan tersebut bergantung pada kemampuan setiap rumah tangga mengakses pangan sesuai kebutuhan masing-masing (Lili Yoris, 2013). Berangkat dari hasil observasi tersebut, ada beberapa hal yang menarik untuk dikaji melihat konsumsi hewan tidak lazim tersebut memberikan banyak manfaat bagi kehidupan. Masyarakat Jetis memiliki pengetahuan tersendiri mengenai konsumsi hewan tersebut sebagai makanan, baik dari segi ekonomi, sosial, dan budaya. Keberadaan hewan-hewan yang menjadi topik penelitian ini juga sangat dipengaruhi oleh datangnya musim. Kajian antropologi terhadap konsumsi hewan unik ini diperlukan untuk melihat bagaimana fenomena tersebut dapat dijadikan sebuah kajian sosial budaya masyarakat.
7
1.2
Permasalahan Di era zaman modernisasi saat ini makanan begitu cepat bertransformasi
sebagai salah satu realitas sosial dan budaya. Modernisasi semakin hari semakin menawarkan berbagai jenis olahan makanan yang kreatif dan inovatif. Dunia kuliner adalah salah satu bagian budaya masyarakat yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia. Saat ini berbagai jenis makanan dapat dengan mudah ditemukan di berbagai wilayah di dunia. Mayoritas masyarakat Indonesia biasanya mengkonsumsi sumber makanan berupa sumber protein nabati dan sumber protein hewani dalam kehidupan sehari-hari. Sumber protein nabati adalah sumber protein yang diperoleh dari tumbuhan (sayur mayur, kedelai, kacang-kacangan), sedangkan sumber hewani adalah sumber protein yang diperoleh dari hewan seperti olahan hewan ternak (sapi, kambing, ayam, bebek, ikan air tawar maupun olahan hewan laut /seafood ). Mayoritas masyarakat Indonesia pada umumnya tidak banyak yang bersedia mengkonsumsi sumber hewani seperti ulat, ungkrung, bekicot, laron, puthul maupun belalang sebagai konsumsi makan mereka. Hal tersebut dikarenakan sebagian masyarakat menilai bahwa hewan-hewan tersebut merupakan jenis hewan ,
Pada umumnya makanan yang dianggap masyarakat sebagai makanan yang baik adalah makanan yang berwujud dan berasal dari sesuatu baik, diperbolehkan dimakan dalam agama, memiliki kandungan gizi yang baik untuk kesehatan, dan diolah dengan cara yang baik. Masyarakat Jetis cukup antusias dalam mengkonsumsi hewan-hewan tersebut menjadi makanan. Masyarakat dapat
8
mengolah hewan tersebut menjadi berbagai jenis masakan dan menyulap hewan yang semulanya tampak tidak lazim dimakan menjadi sebuah makanan yang menggungah selera. Fenomena mengkonsumsi sumber hewani yang tidak lazim yang dilakukan masyarakat Jetis, selain dijadikan sebagai konsumsi pribadi hewan tersebut juga dijual untuk meningkatkan pendapatan ekonomi masyarakat. Berdasarkan hal tersebut mengapa dan bagaimana masyarakat Jetis memiliki tradisi mengkonsumsi jenis-jenis hewan tertentu sebagai sumber makanan hewani mereka? Semua hal tersebut melahirkan permasalahan-permasalahan yang menjadi titik perhatian dalam penelitian ini. Permasalahan tersebut adalah : 1. Bagaimana pengetahuan masyarakat tentang makanan bersumber hewani dan kaitannya dengan musim ? 2. Bagaimana pengetahuan masyarakat tentang pengelolaan dan pengolahan makanan tersebut? 3. Bagaimana dampak ekonomi masyarakat terhadap keberadaan hewan tidak lazim tersebut? 4. Mengapa masyarakat memanfaatkan sumber hewani tersebut sebagai sumber makanan? 1.3
Tujuan Penelitian Sesuai dengan permasalahan yang telah dikemukakan di atas, selain untuk
menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, perhatian ini secara khusus bertujuan untuk mengungkap fenomena konsumsi hewan tidak lazim sebagai salah satu kajian sosial budaya yang menarik. Hewan-hewan yang dijadikan objek penelitian ini pada
9
umumnya dianggap sebagai hewan yang tidak lazim dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia. Oleh karena itu, penulis tertarik untuk mengangkat fenomena ini sebagai salah satu kajian antropologis. Dengan adanya penelitian ini, penulis berharap dapat mengungkap alasan mengapa masyarakat bersedia mengkonsumsi hewan-hewan tersebut, bagaimana sejarah dan perkembangan hewan tersebut sehingga dapat dikonsumsi oleh masyarakat Jetis, seperti apa pengetahuan masyarakat mengenai musim dimana musim sangat berpengaruh dalam mendapatkan hewan-hewan tersebut, bagaimana cara masyarakat mendapatkan hewan tersebut dan mengolahnya menjadi berbagai macam aneka masakan, serta mengetahui dampak ekonomi masyarakat terhadap keberadaan hewan-hewan tersebut. Penulis dan pembaca juga akan sama-sama melihat sejauh mana pengetahuan masyarakat tentang makanan bersumber hewani serta manfaat apa saja yang diperoleh masyarakat Jetis baik dari segi sosial, budaya dan ekonomi. Penulis berharap melalui penelitian ini, penulis dan pembaca akan mendapatkan banyak informasi yang bermanfaat dan menambah kajian ilmu antropologi. 1.4
Kerangka Pemikiran Dalam mempelajari antropologi sebagai sebuah ilmu, antropologi
memberikan banyak ilmu pengetahuan bagi yang mempelajarinya. Antropologi tidak hanya mempelajari manusia, masyarakat, dan kebudayaannya, akan tetapi juga tidak terlepas dari upaya mempelajari perilaku individu dalam suatu masyarakat. Manusia dan masyarakat adalah sebuah kesatuan yang selalu
10
berkembang secara dinamis dan mengalami perubahan sosial kebudayaan (Koentjaraningrat, 2009). Menurut Parsudi Suparlan, kebudayaan itu pada hakekatnya ada dan dimiliki oleh individu-individu atau para anggota masyarakat dan bukannya oleh masyarakat tanpa memperhatikan individunya, yang sebenarnya menjadi pemilik dan yang menggunakan kebudayaan tersebut dalam sebuah kehidupan (Suparlan, 1982 : 3). Berdasarkan pemikiran di atas, penelitian terhadap fenomena konsumsi hewan tidak lazim terhadap pengetahuan lokal masyarakat mengenai kajian ekonomi konsumsi hewan tidak lazim di Desa Jetis merupakan salah satu dari penelitian kebudayaan. Dalam penelitian ini, ada beberapa konsep yang akan dijelaskan. Konsep pertama adalah konsep makanan. Menurut Wirakartakusumah (2001:1), makanan merupakan kebutuhan dasar yang sangat penting bagi kehidupan insan baik secara fisiologis, psikologis, sosial maupun antropologis. Dalam kehidupan manusia makanan selalu terkait dengan upaya manusia untuk mempertahankan kehidupan serta menjadi simbol pengharapan manusia untuk kehidupan yang lebih baik. Makanan juga merupakan sumber nafkah yang memberikan penghasilan utama bagi jutaan petani di Indonesia (Birowo, 1979 : 12). Dalam penelitian ini yang dimaksud dengan makanan adalah segala jenis makanan baik yang diproduksi, didistribusikan dan dikonsumsi oleh keluarga untuk memenuhi kebutuhan pangan serta mempertahankan keberlangsungan hidupnya berdasarkan kondisi ekonomi, sosial, ekologi, dan budayanya. Konsep
11
makanan dalam hal ini mencakup segala sesuatu yang dianggap layak dijadikan makanan manusia, bersih, sehat, dan mengandung kandungan makanan yang baik bagi manusia (Fishbach and Finkelsten, 2010). Di Indonesia jenis hewan yang biasa dijadikan sebagai sumber makanan hewani pada umumnya adalah olahan hewan ternak seperti sapi, ayam, bebek, maupun berbagai jenis ikan air laut dan air tawar. Jenis hewan tersebut merupakan sumber protein hewani yang dianggap sebagai makanan yang baik, bersih dan layak dijadikan makanan umum oleh masyarakat Indonesia. Berbeda dengan fenomena konsumsi hewan yang terjadi di Dusun Jetis, selain mengkonsumsi hewan tersebut masyarakat juga mengkonsumsi jenis hewan lainnya seperti ulat jati, ungkrung, laron, bekicot, puthul maupun belalang. Menurut Jones (2000:53) hewan-hewan tersebut merupakan jenis hewan tidak lazim dan masuk ke dalam kategori hama, hewan menjijikkan dan tidak layak dijadikan makanan manusia. Mengkonsumsi berbagai jenis hewan tidak lazim ini sebenarnya sudah dilakukan sejak lama di berbagai Negara di dunia seperti di benua Eropa, Asia dan Afrika (Yen, 2014:33). Menurut Yi et al (2010) mengkonsumsi berbagai jenis serangga seperti ulat, belalang, capung, semut dan lain sebagainya sudah dilakukan semenjak 3200 tahun yang lalu di China sebagai konsumsi makanan masyarakat maupun makanan ternak. Konsumsi hewan tersebut dijadikan sebagai alternatif makanan ketika sumber daya makanan manusia tidak terpenuhi. Konsumsi hewan tidak lazim seperti serangga dan hama juga dijadikan sebagai salah satu kebudayaan makan di beberapa negara. Di Jepang Yamasaki (1995), mengkonsumsi hewan seperti larva ulat (Hachinoko), belalang (Inago no
12
tsukudani), dan serangga air (Zazamushi) dikonsumsi sebagai makanan tradisional yang sangat disukai oleh hampir seluruh warga Jepang. Hewan-hewan tersebut dipercayai memiliki kandungan protein yang tinggi dan sangat bermanfaat bagi kesehatan tubuh. Selain terbukti memiliki kandungan protein yang sangat tinggi, penggunaan serangga juga dapat digunakan sebagai pengobatan tradisional seperti terapi penggunaan lebah madu racun sebagai obat tradisional untuk mengobati penyakit seperti arthritis, rematik, sakit punggung, tumor kanker dan penyakit kulit (Lokheswari, 2010: 3). Konsep kedua adalah konsep ekonomi dalam meningkatkan pendapatan masyarakat. Menurut Sribandi et al (2008), mengkonsumsi hewan tidak lazim selain dapat dijadikan sebagai konsumsi pribadi masyarakat, juga dapat meningkatkan perekonomian dan pariwisata kuliner. Di Bangkok, Thailand masyarakat menjual beberapa olahan makanan jalanan yang sangat terkenal sebagai street food seperti olahan ulat, belalang, sate kalajengking, sate kuda laut, sate kelabang dan beberapa hewan unik lainnya (Dourst, Patrick, 2010:3). Makanan tersebut dijual sebagai destinasi wisata kuliner yang sangat menarik para wisatawan maupun turis dan dijual cukup mahal. Dengan tingginya minat masyarakat dunia mencoba kuliner hewan tidak lazim, menjual hewan tersebut terbukti dapat meningkatkan pendapatan masyarakat setempat serta meningkatkan pariwisata negara yang bersangkutan. Bagi masyarakat Jetis ketika musim hewan tersebut datang, sebagian masyarakat Jetis juga memanfaatkan momen tersebut untuk mencari hewan-hewan tersebut dan
13
menjualnya. Hal tersebut dilakukan untuk menambah pendapatan lokal masyarakat selama musim hewan tersebut datang. Konsep ketiga adalah konsep kearifan lokal. Bagi masyarakat Jetis mengkonsumsi hewan tidak lazim sebagai sumber makanan adalah salah satu dari warisan budaya nenek moyang yang sudah dilakukan dalam kurun waktu yang lama. Warisan budaya adalah hasil pikiran dan akal budi manusia yang sudah menjadi kebiasaan sehingga sulit diubah. Kebudayaan tidak hanya menentukan pangan apa, tetapi juga untuk siapa dan dalam keadaan bagaimana pangan tersebut dimakan (Suhardjo, 1989). Kearifan lokal merupakan istilah yang sering digunakan kalangan ilmuwan untuk mewakili sistem nilai dan norma yang disusun, dianut, dipahami, dan diaplikasikan masyarakat lokal berdasarkan pemahaman dan pemgalaman mereka dalam berinteraksi dengan lingkungan (Tjahjono et al, 2000). Kearifan lokal adalah pandangan hidup dan ilmu pengetahuan serta berbagai strategi kehidupan yang berwujud aktivitas yang dilakukan oleh masyarakat lokal dalam menjawab berbagai masalah dalam pemenuhan kebutuhan mereka. Kearifan lokal dalam bahasa asing juga dikonsepsikan sebagai kebijakan setempat (local wisdom) atau pengetahuan setempat (local knowledge). Kearifan lokal memiliki dimensi sosial dan budaya karena lahir dari aktivitas perlakukan berpola manusia dalam kehidupan bermasyarakat dan menjelma dalam berbagai bentuk seperti ide, gagasan, nilai, norma dan peraturan dalam ranah kebudayaan (Koentjaraningrat, 1964). Kearifan lokal merupakan sebuah pengetahuan dan kepandaian masyarakat yang diperoleh dari suatu kebiasaan, kepercayaan, dan pengalaman hidup berinteraksi dengan alam yang dilaksanakan dengan cara bijak,
14
penuh kehati-hatian, penuh makna, penuh perhitungan serta ditaati oleh semua komunitasnya yang menjadi ciri khas dari tempat tersebut.
Sehingga
mengkonsumsi hewan-hewan tersebut merupakan salah satu bentuk kegiatan timbal balik yang dilakukan masyarakat dan alamnya agar manusia selalu menjaga kelestarian alam. Marvin Haris dalam Culture, People, Nature (1997) membahas mengenai hubungan timbal balik antara manusia dan alam dimana manusia akan menggunakan hasil alam yang ada di sekitarnya sebagai sumber makanan mereka. Sumber makanan yang dimaksud merupakan sumber makanan yang diperoleh dari tumbuh-tumbuhan dan hewan-hewan yang ada di alam. Salah satunya dengan mengkonsumsi hewan-hewan kecil berprotein tinggi seperti serangga, ulat, siput, ikan dan burung. Alam menyediakan berbagai sumber daya yang dapat digunakan manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Demikian yang terjadi pada masyarakat Jetis, mengkonsumsi hewan unik tersebut merupakan salah satu kegiatan timbal balik yang dilakukan oleh alam dan manusia dalam memperdayakan sumber daya alam. Konsep keempat adalah konsep kebiasaan makan. Cahyaningrum (2015:10) mengatakan bahwa kebiasaan makan adalah cara individu atau kelompok individu memilih pangan dan mengkonsumsi sebagai reaksi terhadap pengaruh fisiologi, psikologi, dan sosial budaya. Konsumsi hewan tidak lazim yang dilakukan di Dusun Jetis ini merupakan fenomena yang sudah lama dilakukan oleh masyarakat dan tersimpan sebagai sebuah memori (Holtzman, 2006:363). Mengkonsumsi makanan tersebut merupakan salah bentuk ingatan masa lalu masyarakat Jetis dimana
15
masyarakat mengenang budaya makan yang dahulu dilakukan oleh nenek moyang mereka dengan tetap mengkonsumsi hewan-hewan tidak lazim tersebut setiap musim hewan-hewan tersebut datang. Makan adalah salah satu bagian dari defining memory of past dimana makanan didefenisikan sebagai sebuah pengalamanpengalaman yang pernah terjadi pada masa lalu (Sutton, 2001). Nilai makanan ditempatkan sebagai sebuah budaya yang terkandung, dijaga, dan dimengerti oleh masyarakat bersama ( Mintz dan Du bois, 2002). Kebiasaan makan juga dibentuk dari pola makan yang dilakukan secara terus menerus. Pola makan menurut Lie dalam Karjati et al (1985) adalah berbagai informasi yang memberikan gambaran mengenai macam dan jumlah bahan makanan yang disediakan setiap hari oleh suatu orang dan merupakan ciri khas suatu kelompok masyarakat tertentu. Pola makan dipengaruhi oleh beberapa hal seperti kesenangan budaya, agama, taraf ekonomi, dan lingkungan alam yang dapat berubah-ubah (Roslien, 2011:11). Menurut Farb dan Armelagos dalam Schofield (1989), ada empat pola makan yang mempengaruhi kebisaaan makan manusia, yaitu ketersediaaan makanan di lingkungan, tata cara menyiapkan makanan, cita rasa makanan pokok dan aturan makan. Sedangkan, menurut Heryanti (2009) ada dua faktor yang mempengaruhi perilaku makan manusia seperti : 1.
Karateristik individu Karateristik individu meliputi jenis kelamin, pengetahuan gizi, pola konsumsi dan aktivitas fisik.
16
2.
Karateristik Orangtua a. Pendidikan Ibu Tingkat pendidikan akan berpengaruh terhadap pangan yang dipilih untuk dikonsumsi sehari-hari. Peran ibu biasanya lebih berpengaruh terhadap pembentukan kebiasaan makan anaknya. Pengetahuan serta kesukaan ibu terhadap jenis-jenis makanan tertentu akan sangat berpengaruh terhadap hidangan yang disajikan. b. Pendapatan Rumah tangga (Orang Tua) Pendapatan menentukan daya beli terhadap pangan dan fasilitas lain seperti pendidikan, perumahan, kesehatan dan lain-lain. Pada umumnya jika tingkat pendidikan naik, maka jumlah dan jenis makanan cenderung semakin baik. c. Jumlah Anggota Keluarga Semakin banyak jumlah anggota keluarga maka makanan untuk setiap orang akan berkurang. Menurut Mead (1943), ada empat faktor yang mempengaruhi kebiasaan
makan dalam suatu masyarakat. Faktor tersebut adalah : 1. Aturan moral. Aturan ini menjelaskan tentang makanan yang baik dan tidak baik untuk dimakan. Dari generasi ke generasi, anak-anak diajarkan untuk mengenal makanan. Beberapa diantaranya diajarkan untuk dimakan dan mereka dididik untuk memilih makanan dengan aturan moral bahwa itu baik untuknya.
17
2. Keadaan sosial. Kebiasaan makan sesorang dapat berubah ketika ada perubahan status sosial ekonomi, ketika manusia berpindah status sosial seperti berpindah dari desa ke kota, maka kebiasaan makanan diharapkan berubah sesuai dengan kebutuhan status barunya. 3. Bukti ilmiah Setiap individu atau kelompok ingin mendapatkan keuntungan dengan bertambahnya nutrisi dan proses yang lebih efisien dengan mengganti bahan atau mengubah cara mempersiapkan makanan. 4. Faktor yang tidak bisa dikendalikan. Dalam hal ini mencakup tiga hal yakni : lingkungan fisik, menurunnya status ekonomi dan berubahnya kondisi kesehatan seseorang ketika sedang mengandung atau bertambahnya usia. Kebiasan makan dapat pula dipengaruhi oleh faktor lingkungan seperti lingkungan budaya, lingkungan alam, populasi serta musim (Hartog, Staveren & Brouwer, 1995). Desa Jetis memiliki banyak hamparan pohon, perladangan, hutanhutan, dan persawahan. Kondisi geografis tersebut sangat mendukung keberadaan hewan-hewan ini untuk kemudian dijadikan sebagai konsumsi pangan masyarakat. Seperti yang dikemukakan oleh Prasetyo (2006), pada dasarnya masyarakat sekitar hutan lebih mampu mengelola kekayaan alam yang ada di dalam hutan. Pemanfaatan hutan yang dilakukan oleh masyarakat pada umumnya berdasarkan warisan dari nenek moyang secara turun menurun. Antara lain :
18
1. Budaya adat Dalam pengelolaan biasanya menganut aturan adat yang dimiliki, misalnya menanam suatu jenis tanaman yang sesuai dengan jenis musimnya, menebang pohon yang usianya sudah cukup tua sebagai pengganti untuk pembuatan rumah, memilih jenis tanaman sesuai dengan kondisi tanah dan iklim yang mendukung. 2. Kearifan lokal Masyarakat pada umumnya percaya apabila penghuni ghaib akan mendatangkan sebuah bencana kalau tidak memberi sesajian. 3. Mempelajari keanekaragaman tanaman hutan Hal ini merupakan hal yang diwarisi secara turun temurun dan tidak ditinggalkan atau dilupakan untuk kebaikan hidup bersama. 4. Pemanfaatan fungsi hutan Secara tidak langsung masyarakat sekitar hutan harus melakukan penyelamatan konservasi hutan dari kerusakan alam maupun manusia. Oleh karena itu pemanfaatan fungsi hutan menurut masyarakat adalah pengelolaan yang secara berkelanjutan dan tetap terjaganya nilai-nilai budaya lokal dan kearifan lokal. Konsep-konsep diatas kemudian akan digunakan sebagai acuan mengenai fenomena mengkonsumsi hewan-hewan tidak lazim yang dilakukan masyarakat Jetis sebagai sebuah kajian antropologis.
19
1.5
Metode penelitian
1.5.1 Lokasi Penelitian Penelitian ini mulai dilaksanakan pada bulan Januari 2015 ketika penulis mengikuti TPL (Teknik Penelitian Lapangan) Jurusan Antropologi Budaya, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada. Kemudian penelitian ini dilanjutkan sampai bulan Januari 2016 sampai data yang diperlukan dikira cukup. Penelitian ini dilakukan di salah Dusun Jetis, Desa Jetis, Kecamatan Saptosari, Kabupaten Gunung Kidul, Provinsi Yogyakarta. Desa ini dipilih sebagai lokasi penelitian karena terletak di tempat yang masih terbilang cukup tradisional. Sehingga menurut peneliti desa ini cukup mejunjung tinggi nilainilai budaya lokal yang masih dilestarikan. Selain itu, kondisi geografis alam yang dimiliki Desa Jetis juga sangat mendukung keberadaan hewan-hewan tersebut. 1.5.2 Pemilihan Informan Pemilihan Informan dalam penelitian ini bersifat purposive. Peneliti mengambil data langsung dari orang-orang yang terlibat dalam mengkonsumsi makanan tersebut dan memiliki pengetahuan mengenai hewan tersebut. Masyarakat yang menjadi informan dipilih berdasarkan Informan yang digunakan dipilih secara purposive baik dari kalangan muda sampai kalangan lanjut usia seperti anak-anak, remaja, ibu-ibu, bapak-bapak sampai lanjut usia. Beberapa dari informan antara lain masyarakat Jetis yakni para pencari dan penjual hewan-hewan tersebut, masyarakat Dusun Jetis yang mengkonsumsi baik petani, guru, PNS, anak sekolah, IRT (Ibu Rumah Tangga), pedagang makanan, wirausahawan. wisatawan, dan beberapa stakeholder yakni tokoh
20
masyarakat yang juga memberikan banyak informasi bermanfaat dalam melakukan penelitian ini. 1.5.3 Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data yang dipergunakan yaitu observasi dan wawancara mendalam. Penelitian ini menggunakan data primer dan data sekunder. Data primer merupakan data yang diperoleh langsung dari informan melalui wawancara dan observasi langsung lapangan. Data ini meliputi pengetahuan, pandangan dan pengalaman dari informan terkait dengan penelitian. Sementara data sekunder diperoleh melalui berbagai literatur, seperti sumber-sumber tertulis. Metode pengumpulan data yang dilakukan penulis berupa penentuan lokasi penelitian, penentuan populasi, penentuan sampel, penentuan informan, metode wawancara, dan metode studi pustaka yang semuanya sangat membantu penulis dalam mengerjakan penelitian ini. Observasi sebagai penunjang wawancara dilakukan dengan mengamati kondisi lingkungan secara langsung. Dengan melakukan observasi partisipatoris peneliti terjun langsung dalam segala proses pencarian hewan tersebut, meliputi proses mencari ulat di hutan, memasak ulat, mencari penjual belalang, membeli dan memasak belalang serta secara langsung ikut mencicipi memakan hewan tersebut. Selain observasi kemudian peneliti juga melakukan wawancara mendalam (Indepth Interview) guna mencari data. Wawancara juga dilakukan kepada para pencari hewan seperti pencari ulat, pencari belalang, putul dan lain sebagainya, selain itu peneliti juga melakukan wawancara terhadap masyarakat pada umumnya
21
terkait pandangan mereka atas fenomena mengkonsumsi hewan tersebut sebagai sumber makanan hewani dan pengetahuan pembagian musim terhadap keberadaan hewan ini. Penelitian lapangan dalam hal ini menjadi basis utama dalam memperoleh deskripsi holistik yang mendetail dan analisis kultural daam kajian ini, keterlibatan langsung dengan subyek yang diteliti menjadi hal yang penting dalam proses pencarian data lapangan. Keterlibatan langsung tersebut meliputi observasi dan wawancara mendalam. Analisis data yang dilakukan adalah dengan mencari hubungan antara data yang diperoleh melalui pengamatan,
observasi,
wawancara,
terhadap
para
informan
yang
mengkonsumsi hewan tersebut. Data tersebut selanjutnya diinterprestasikan dan kemudian dibuat kesimpulan.