BAB I PENDAHULUAN
A.
LATAR BELAKANG MASALAH Setiap
makhluk
hidup
pasti akan mengalami kematian, demikian juga
manusia akan meninggalkan dunia ini tanpa membawa suatu apapun juga. Dia lahir ke dunia dengan tugas dan amanah untuk melanjutkan hidup yang sesuai dengan kodratnya, sehingga manusia harus bekerja keras untuk memenuhi kebutuhannya. Untuk melanjutkan kehidupan di dunia manusia berusaha maksimal agar tidak mengalami kekurangan karena dapat menimbulkan masalah apabila manusia yang berusaha dan bekerja keras itu meninggal dunia atau mengalami kematian. Pada dasarnya kematian merupakan suatu peristiwa hukum, yang akan menimbulkan hubungan hukum. Pada tatanan lebih lanjut akan menimbulkan hak dan kewajiban, karena setiap orang mempunyai hak dan kewajiban, dan tidak hilang begitu saja ketika dia meninggal dunia. Ini erat kaitannya dengan keberadaan orang lain. Berkaitan dengan itu Ali Afandi1
menyatakan bahwa hubungan hukum
sebagaimana dimaksud, diperlukan adanya peraturan yang menampung
sebagai
akibat meninggalnya seseorang. Hal ini berarti masalah waris mewaris merupakan suatu hal yang penting dan rumit dalam kehidupan manusia. Hukum waris
1. Ali Afandi, 2004, Hukum Waris, Hukum Keluarga, Hukum Pembuktian, Rineka Cipta, Jakarta, hlm.2.
1
2
menyangkut masalah peralihan hak dari seseorang yang sudah meninggal kepada orang lain berupa benda, yang pelaksanaannya harus tunduk pada ketentuan undangundang yang berlaku sehingga semua pihak yang terkait mendapatkan keadilan atas warisan dari orang yang meninggal dunia. Dalam membicarakan pewarisan maka ada tiga hal yang perlu mendapatkan perhatian yaitu: 1. Pewaris, adalah orang yang meninggal dunia dan meninggalkan harta kekayaannya kepada ahli
waris atau
keturunannya. Akan
tetapi
tidaklah
mudah untuk dikatakan bahwa dengan wafatnya pewaris maka segera terjadi pewarisan secara otomatis, melaikan harus dilihat bagaimanakah hubungan pewaris dengan harta peninggalan
apakah
dipengaruhi sifat kekeluargaan
ataukah tidak. 2. Ahli waris, adalah orang yang berhak menerima harta kekayaan dari pewaris. Ahli waris adalah faktor penting terjadinya pewarisan, sehingga apabila seseorang tidak mempunyai ahli waris sama sekali dan tidak jelas anggota keluarga atau kerabatnya jauh dan dekat maka tidak terjadi suatu pewarisan dan harta tersebut biasanya diberikan kepada masyarakat setempat, yayasan atau badan hukum. 3. Harta warisan, adalah semua harta yang ditinggalkan oleh pewaris setelah dikurangi dengan biaya-biaya seperti pemakaman, biaya rumah sakit, hutanghutang, wasiat, dan sebagainya. Harta warisan dapat berupa harta yang dapat dinilai dengan uang dan harta warisan yang tidak dapat dinilai dengan uang,
3
misalnya gelar kerajaan, karena hal tersebut bertalian dengan proses penerusan harta kekayaan materil maupun immateril. Dengan adanya proses pewarisan maka terjadilah peralihan hak dari pewaris kepada ahli warisnya. Peralihan hak karena pewarisan terjadi karena peristiwa hukum pada saat pemegang hak yang bersangkutan meninggal dunia. Dalam arti bahwa sejak saat itu para ahli waris menjadi pemegang haknya yang baru. Peralihan hak itu terjadi secara otomatis, sehingga kadang-kadang tidak perlu untuk melakukan pendaftaran. Akan tetapi apabila harta warisan berupa tanah maka ada kewajiban untuk mendaftarkan dalam rangka memberikan perlindungan hukum kepada ahli waris dan demi ketertiban tata usaha pendaftaran. Tujuan
pendaftaran peralihan
hak milik atas tanah karena pewarisan yaitu untuk menjamin kepastian hukum mengenai tanah yang dimilikinya dengan bukti hak berupa sertifikat. Adanya jaminan kepastian hukum ini tercantum dalam ketentuan Pasal 19 ayat (1) UUPA yang berbunyi “untuk menjamin kepastian hukum oleh pemerintah diadakan pendaftaran tanah diseluruh wilayah Indonesia menurut ketentuan yang diatur dengan peraturan pemerintah” dengan demikian dapat dikatakan bahwa Pasal 19 ayat (1) UUPA tersebut adalah merupakan ketentuan yang ditujukan kepada pemerintah untuk menyelenggarakan pendaftaran tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia. Tanah merupakan bagian dari fungsi sosial dan ekonomi yang sangat besar dalam kehidupan manusia. Sebagai bagian dari bumi dan merupakan karunia dari Tuhan Yang Maha Esa, tanah adalah alat untuk pemenuhan kebutuhan papan, lahan usaha, dan alat investasi yang sangat mengguntungkan. Tanah yang menjadi
4
objek dari harta warisan tersebut dapat berupa tanah yang telah bersertifikat dan tanah yang belum bersertifikat, artinya atas obyek tanah tersebut belum pernah didaftarkan di kantor pertanahan. Hal ini terkait dengan tanah adat yang bukti kepemilikannya masih berupa girik atau letter c. Untuk peralihan hak karena pewarisan mengenai bidang tanah hak yang telah bersertifikat wajib diserahkan sertifikat hak atas tanah tersebut, surat kematian si pewaris, dan surat tanda bukti para ahli waris yang sah, kepada
kantor pertanahan. Pendaftaran peralihan tersebut bertujuan untuk
memberikan perlindungan hukum bagi para ahli waris dan demi ketertiban tata usaha pendaftaran tanah. Sedangkan untuk tanah yang belum bersertifikat, para ahli waris wajib melakukan pendaftaran terlebih dahulu dengan menyerahkan dokumen-dokumen surat keterangan kepala desa/lurah yang menyatakan yang bersangkutan menguasai tanah dan surat keterangan yang menyatakan bahwa tanah tersebut belum bersertifikat dari kantor pertanahan. Dokumen yang membuktikan adanya hak atas tanah pada yang mewariskan diperlukan karena pendaftaran peralihan hak ini baru dapat dilakukan setelah pendaftaran untuk pertama kali atas nama pewaris2. Pada proses pendaftaran tanah dan proses peralihan hak atas tanah dari pewaris kepada para ahli waris tidak terlepas dari pengenaan pajak oleh Negara.
2. Adrian Sutendi, 2007, Peralihan Hak atas Tanah dan Pendaftarannya, Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 103.
5
Perolehan hak atas tanah dan bangunan dapat terjadi karena pewarisan. Perolehan hak atas tanah dan bangunan karena pewarisan merupakan perolehan hak karena peristiwa hukum, yang artinya karena kematian seseorang yang disebut pewaris maka terjadilah proses pewarisan. Bagi mereka yang memperoleh peralihan hak atas tanah dan bangunan tersebut diatas sepantasnya menyerahkan sebagian nilai ekonomi yang diperolehnya kepada negara melalui pembayaran pajak dalam hal ini adalah Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB). Pengenaan BPHTB harus memperhatikan asas keadilan, kepastian hukum , legalitas dan
kesederhanaan. Hal ini sejalan dengan falsafah Pancasila dan Pasal 23 A
Undang-undang Dasar 1945 yang menyatakan bahwa “ pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa ditetapkan dengan undang-undang”. Dengan demikian dalam pemungutan pajak harus berdasarkan undang-undang yang berlaku. Ketentuan tentang BPHTB diatur dalam Undang-undang Nomor 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan yang terakhir diubah dengan Undangundang Nomor 20 Tahun 2000 tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan. Pasal 1 ayat (1)
Undang-undang BPHTB, Bea perolehan hak atas tanah dan
bangunan adalah pajak yang dikenakan atas perolehan hak atas tanah dan atas bangunan yang selanjutnya disebut pajak. BPHTB diterima oleh orang atau badan, dan terjadi dalam wilayah hukum Negara Indonesia dimana yang menjadi subyek pajak Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan berdasarkan Pasal 4 ayat (1) Undang-undang BPHTB adalah orang pribadi atau badan yang memperoleh hak atas tanah dan bangunan. Perolehan hak atas tanah dan bangunan menurut Undang-
6
undang BPHTB Pasal 1 angka 2 adalah perbuatan atau peristiwa hukum yang mengakibatkan diperolehnya hak atas tanah dan bangunan oleh orang pribadi atau badan. Pasal 2 ayat (2) Undang-undang
Bea Perolehan Hak atas Tanah dan
Bangunan menentukan bahwa perolehan hak atas tanah dan bangunan itu meliputi: a. Pemindahan hak, karena: 1. Jual beli 2. Tukar menukar 3. Hibah 4. Hibah wasiat 5. Waris 6. Pemasukan dalam peseroan dan badan hukum lain 7. Pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan 8. Penunjukan pembeli dalam lelang 9. Pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap 10. Penggabungan usaha 11. Peleburan usaha 12. Pemekaran usaha 13. Hadiah b. Pemberian hak baru karena: 1. Kelanjutan pelepasan hak 2. Diluar pelepasan hak Perolehan pelepasan hak karena waris menurut Pasal 1 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 111 Tahun 2000 tentang Pengenaan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan karena Waris dan Hibah Wasiat adalah perolehan hak atas tanah atau bangunan oleh ahli waris dari pewaris, yang berlaku setelah pewaris meninggal dunia. Jadi ahli waris menerima perolehan hak atas tanah dan atau bangunan dari orang yang memiliki tanah dan atau bangunan tersebut (pewaris) secara otomatis setelah meninggal dunia. Ketentuan tentang pengenaan Bea
7
Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan karena waris berlaku umum untuk semua warga Negara Indonesia yang memperoleh hak atas tanah dan atau bangunan karena waris. Dengan demikian dalam hukum waris peralihan hak tersebut secara otomatis terjadi pada saat pewaris meninggal
dunia dan ahi waris dapat membagi harta
pewaris, sehingga hak atas harta warisan tersebut berpindah secara penuh kepada para ahli waris atas penguasaan dan pengelolaannya. Dalam pendaftaran hak atas tanah dan bangunan karena pewarian harus didaftarkan secara keseluruhan sebelum harta tersebut dibagi, sehingga semua ahli waris akan ikut terlibat dalam pendaftaran peralihan hak tersebut, dan atas semua biaya-biaya yang diperlukan dalam pendaftaran tersebut juga akan dibebankan kepada semua ahli waris secara keseluruhan. Dalam hal warisan yang menjadi obyek BPHTB adalah peristiwa pewarisan artinya pewarisan dilanjutkan dengan pendaftaran peralihan hak karena waris tersebut sebagai hak bersama ke kantor pertanahan dan saat pewaris meninggal dunia, pada hakikatnya telah terjadi pemindahan hak dari pewaris kepada ahli waris. Saat terjadinya peristiwa hukum yang mengakibatkan pemindahan hak tersebut merupakan obyek pajak. Mengingat ahli waris memperoleh hak secara cuma-cuma, maka adalah wajar apabila perolehan hak karena waris tersebut termasuk obyek pajak yang dikenakan pajak. Pada proses pembebanan BPHTB bagi objek pewarisan tanah, yang merupakan pewarisan tanah yang belum bersertifikat, status tanah adat yang
8
kepemilikannya masih berupa Girik, Letter C, Model D, pada prosesnya berlaku ketentuan pendaftaran tanah untuk pertama kali di kantor pertanahan dimana letak tanah itu berada. Oleh karena pendaftaran pertama kali tersebut diatas maka hutang pajak BBPHT dikenakan sekali kepada wajib pajak. Hal berbeda terjadi pada proses pewarisan tanah yang telah bersertifikat, perbedaan dimana tanah yang menjadi obyek pewarisan menjadi hak bersama para ahli waris, berkaitan dengan pewarisan tersebut diikuti dengan kehendak para ahli waris yang ingin membagi harta warisan yang merupakan kepemilikan bersama kepada salah satu atau beberapa ahli waris. Demikian hal ini berkaitan dengan proses pendaftaran tanah di kantor pertanahan dan pengenaan pajak oleh kantor pajak wilayah dimana objek tanah tersebut berada. Melihat permasalahan ini maka peneliti bermaksud untuk meneliti masalah tersebut dengan judul penelitian
“ANALISIS YURIDIS
PEMBEBANAN
BEA
PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN PADA PEWARISAN BAGI TANAH
BERSERTIFIKAT DAN
TANAH YANG
BELUM
BERSERTIFIKAT (Studi kasus di Kabupaten Sleman)” B.
PERUMUSAN MASALAH Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas maka dapat dirumuskan masalah sebagai berikut: 1. Bagaimana proses pembebanan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan pada pewarisan bagi tanah bersertifikat dan tanah yang belum bersertifikat di Kabupaten Sleman?
9
2. Mengapa terjadi perbedaan pengenaan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan pada pewarisan bagi tanah yang bersertifikat dan tanah yang belum bersertifikat di Kabupaten Sleman?
C.
KEASLIAN PENELITIAN Penelitian tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan sebelumnya telah ada penelitian sejenis tentang: 1. Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan pada Pewarisan yang diteliti oleh Yulni Vaira3, SH, M.Kn. Dengan permasalahan: a. Apakah pengenaan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan karena pewarisan dalam prakteknya di Yogyakarta telah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku? b. Mengapa utang pajak perolehan hak atas tanah dan bangunan karena pewarisan terjadi tidak bersamaan dengan saat pendaftaran peralihan hak yang dilakukan oleh kantor pertanahan kota Yogyakarta? Kesimpulan: a. Secara umum pelaksanaan pemungutan BPHTB karena pewarisan dikota Yogyakarta
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku. Namun masih terdapat beberapa ketentuan pasal dirasakan kurang tegas dan kurang jelas yaitu ketentuan Pasal 9 yang menyebutkan bahwa saat 3
Yulni Vaira, 2008, Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan pada Pewarisan , Tesis Magister Kenotariatan ,Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
10
terutang pajak adalah sejak yang bersangkutan mendaftarkan peralihan hak ke kantor pertanahan. Pada ayat (2) disebutkan pajak yang terutang dibayar pada saat dilakukan pendaftaran peralihan hak atas tanah dan atau bangunan karena pewarisan oleh kepala kantor yang sama
dilakukan
pertanahan. Artinya pajak dibayar pada saat
pendaftaran
peralihan hak atas tanah dan bangunan
oleh kepala kantor pertanahan. Dengan demikian peralihan hak karena pewarisan terjadi pada saat yang sama dengan dilakukannya pembayaran pajak BPHTB. Dan ketentuan Pasal 24 ayat (3) untuk dapat dilakukan pendaftaran peralihan hak
atas
tanah
dan
bangunan
karena
pewarisan oleh kepala kantor
pertanahan yaitu pada saat wajib pajak menyerahkan bukti pembayaran pajak BPHTB artinya pajak dibayar sebelum pendaftaran peralihan hak atas tanah dan bangunan oleh kepala kantor pertanahan. Kedua pasal tersebut saling bertentangan. b. Latar belakang yang menyebabkan timbulnya utang pajak tidak bersamaan dengan saat dilakukannya pendaftaran perlihan hak atas tanah dan bangunan di kantor pertanahan karena adanya kecendrungan wajib pajak melakukan perlawanan terhadap kewajiban membayar
pajak. Oleh karena itu dilakukan
pemungutan pajak di muka (voorheffing) dengan sistem pemungutan dimuka pemungutan pajak dapat diawasi oleh kepala kantor pertanahan selaku pejabat yang diberi wewenang berdasarkan undang-undang BPHTB. Untuk memeriksa dan memastikan BPHTB
yang
terutang
sudah
dibayar oleh wajib pajak
sebelum dilakukan pendaftaran peralihan hak atas tanah dan bangunan.
11
2. Pengenaan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan atas Perolehan Hak Waris di Kota Yogyakarta, yang diteliti oleh Cut Era Fitriyeni4 SH., Mkn dengan permasalahan “Bagaimana cara pelaksanaan pengenaan bea perolehan hak atas tanah dan bangunan atas perolehan hak waris dalam prakteknya? Kesimpulan: Bertitik tolak dari permasalahan diatas dan berdasarkan atas analisis data yang diperoleh dari hasil penelitian kepustakaan maupun penelitian lapangan maka diambil kesimpulan bahwa cara pengenaan BPHTB atas perolehan hak atas tanahdan atau bangunan karena warisan di kota Yogyakarta dalam prakteknya adalah dengan berpedoman kepada Surat Edaran
Kepala Kantor Wilayah
Direktorat Jenderal Pajak wilayah X Jawa Tengah dan DIY Yogyakarta Nomor S.767/WPJ.10/D.05/2002 bahwa: a) Dalam hal warisan yang menjadi objek BPHTB adalah peristiwa turun waris artinya pewarisan dilanjutkan dengan pendaftaran peralihan hak karena waris tersebut sebagai hak bersama ke kantor pertanahan. b) Saat terutang BPHTB atas perolehan hak atas tanah dan atau bangunan untuk waris adalah sejak tanggal ahli waris mendaftarkan peralihan haknya ke kantor pertanahan. c) Besarnya BPHTB terutang adalah (NPOP – NPOPTKP) x 5% x 50% dari seluruh harta warisan sebagai hak bersama (kumulatif). 4
Cut Era Fitriyeni, 2010, Pengenaan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan atas Perolehan Hak Waris di Kota Yogyakarta, Tesis Magister Kenotariatan ,Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
12
d) Pemecahan hak bersama apabila tidak mengakibatkan perubahan nama tidak terhutang BPHTB. Berdasarkan asas lex superior derogate legi inferiori, maka Surat Edaran Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak Wilayah X Jawa Tengah dan DIY Yogyakarta Nomor S.767/WPJ.10/D.05/2002 bertentangan dengan undang-undang BPHTB yaitu Pasal 4 ayat (1) sehingga tidak mempunyai kekuatan berlaku. 3. Tanggung jawab Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) Berkaitan dengan Pasal 24 Undang-undang Nomor 20 Tahun 2000 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan di Kabupaten Sleman yang diteliti oleh Andrie Saputra5 SH.,Mkn. Dengan permasalahan: b. Apakah keuntungan-keuntungan yang diperoleh PPAT dari pemungutan BPHTB yang notabene bukan tangungg jawab PPAT? c. Bagaimana peran PPAT dalam pemungutan BPHTB dikabupaten Sleman? d. Bagaimana sanksi terhadap PPAT yang tidak mematuhi ketentuan Pasal 24 Undang-undang Nomor 20 Tahun 2000 tentang BPHTB? e. Bagaimana keabsahan akta yang telah dibuat oleh PPAT yang tidak mematuhi ketentuan Pasal 24 Undang-undang Nomor 20 Tahun 2000 tentang BPHTB Kesimpulan : 5
Andrie Saputra, 2010, Tanggung jawab Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) Berkaitan dengan Pasal 24 Undang-undang Nomor 20 Tahun 2000 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan di Kabupaten Sleman , Tesis Magister Kenotariatan ,Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
13
a. Keuntungan-keuntungan yang diperoleh PPAT dari penitipan pembayaran BPHTB adalah berupa nama baik dan loyalitas dari klien yang datang dan menggunakan jasa PPAT tersebut, karena para klien merasa mereka mendapat pelayanan yang sangat baik dari kantor PPAT. b. Peran dari PPAT /Notaris dalam pemenuhan pemungutan BPHTB atas transaksi jual beli tanah dan bangunan adalah sangat bersar, dimana PPAT/Notaris secara tidak langsung merupakan pihak yang mengawal agar pemenuhan pembayaran utang pajak BPHTB dilakukan oleh wajib pajak BPHTB. c. Dalam pelaksanaan pembayaran BPHTB, PPAT sebagai salah satu pejabat yang berwenang untuk membuat akta perolehan hak atas tanah dan bangunan selain berperan dalam membantu tugas kantor pelayanan pajak guna mengamankan penerimaan Negara dari sektor pajak, juga dapat menimbulkan akibat hukum bagi PPAT jika melanggar ketentuan Pasal 24 ayat (1) Undang-undang BPHTB. d. Akta jual beli yang ditanda tangani mendahului kewajiban pembayaran BPHTB mempengaruhi keabsahan akta tersebut, akan tetapi secara formil unsur dari keabsahan itu tidak terpenuhi, yang terpenuhi hanya perbuatan hukum yang dilakukan oleh para pihak dalam akta sudah sah dan mengikat dengan hanya memenuhi syarat-syarat materil dan syarat-syarat yang diperlukan dalam perbuatan hukum peralihan hak yang dilakukan. 4. Tinjauan hukum terhadap pelaksanaan pemungutan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) melalui Hibah Wasiat di Jakarta Pusat,
14
Tesis yang diteliti oleh Tini Rusdihatie6 SH.,Mkn. Penelitian ini dengan permasalahannya “Bagaimana pelaksanaan pungutan Bae Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) atas perolehan hak berdasarkan hibah wasiat di Jakarta pusat?” Jawaban dari permasalahan diatas adalah “Pelaksanaan pemungutan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan atas perolehan hak berdasarkan hibah wasiat di Jakarta pusat telah mendasarkan pada Undang-undang Nomor 20 Tahun 2000 tentang perubahan atas Undang-undang Nomor 21 Tahun 1997 tentang BPHTB dan peraturan pelaksanaannya yakni Peraturan Pemerintah Nomor 111 Tahun 2000 tentang pengenaan BPHTB karena waris dan hibah wasiat. Berdasarkan uraian diatas maka penulis berkesimpulan bahwa penelitian yang
akan
penulis
lakukan
berbeda
dengan penelitian
terdahulu
karena
penelitian yang akan penulis lakukan lebih terarah pada pembebanan bea perolehan hak atas tanah dan bangunan pada pewarisan bagi tanah yang telah bersertifikat dan tanah yang belum bersertifikat. Sehingga penelitian yang akan dilakukan adalah merupakan penelitian yang asli
6
Tini Rusdihatie, 2011, Tinjauan hukum terhadap pelaksanaan pemungutan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) melalui Hibah Wasiat di Jakarta Pusat , Tesis Magister Kenotariatan ,Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
15
D. TUJUAN PENELITIAN Berkaitan dengan permasalahan seperti yang telah dirumuskan sebelumnya, maka tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah : 1. Untuk mengetahui dan memahami pelaksanaan pembebanan BPHTB bagi tanah yang bersertifikat dan tanah yang belum bersertifikat berkaitan dengan peralihan hak atas tanah karena pewarisan di Kabupaten Sleman. 2. Untuk mengetahui dan memahami mengapa terjadi perbedaan pembebanan BPHTB bagi tanah bersertifikat dan tanah belum bersertifikat berkaitan dengan peralihan hak atas tanah karena pewarisan di Kabupaten Sleman. E. MANFAAT PENELITIAN Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat berguna bagi ilmu pengetahuan hukum pada umumnya dan bidang hukum pajak serta pertanahan pada khususnya. Melalui penelitian
ini dapat dijadikan bahan pertimbangan dalam pengambilan
kebijakan dalam penyelesaian permasalahan tentang pendaftaran
tanah karena
pewarisan, sesuai dengan asas dan tujuan pendaftaran tanah yang berlaku.