BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Permukiman merupakan kebutuhan dasar manusia yang tidak dapat terelakkan. Semakin tinggi pertumbuhan penduduk semakin banyak kebutuhan lahan yang harus disiapkan untuk permukiman. Beberapa daerah tidak layak untuk dijadikan permukiman sehingga muncul larangan bermukim. Gunung
Merapi terletak antara dua provinsi yakni Daerah Istimewa
Yogyakarta dan Jawa Tengah. Gunung ini meliputi empat kabupaten, Sleman, Klaten, Magelang dan Boyolali. Penduduk yang tinggal di sekitar Gunung Merapi cukup padat karena kondisi alam yang mendukung kelangsungan hidup terutama keadaan lahan yang subur. Namun demikian beberapa kawasan dinyatakan tidak layak dijadikan daerah permukiman
karena ancaman bahaya erupsi Gunung
Merapi yang sewaktu-waktu bisa mengancam. ESDM, 2008 menyebutkan Merapi sebagai gunungapi yang seringkali meletus. Kurun waktu hingga Juni 2006 tercatat sudah terjadi 83 kali erupsi. Erupsi Merapi dikelompokkan menjadi beberapa periode, yakni periode pendek antara 2-5 tahun, periode sedang 5-7 tahun dan yang terpanjang bisa mencapai lebih dari 30 tahun. Erupsi 2010 masuk dalam salah satu erupsi besar yang pernah terjadi, bahkan merupakan erupsi terbesar selama 140 tahun terakhir yakni sejak tahun 1870. Erupsi ini memakan banyak korban baik jiwa maupun meterial. Periode
1
erupsi yang panjang mengakibatkan penduduk belum pernah mengalami erupsi dasyat tersebut sehingga kerugian yang diderita cukup banyak. Erupsi Gunung Merapi merupakan kejadian yang rutin terjadi. Bencana yang datang pada masa mendatang diharapkan dapat diantisipasi dengan melakukan mitigasi sehingga kerugian akibat erupsi dapat diminimalisir. Berdasarkan data erupsi tahun 2010 dengan memadukan data bahaya erupsi tahun-tahun sebelumnya berupa bahaya lava pijar, runtuhan material, awan panas dan lahar sehingga dihasilkan Peta Kawasan Rawan Bencana oleh Kementrian Energi dan SumberDaya Mineral (ESDM) melalui BPPTK.
Gambar 1.1. Peta Kawasan Rawan Bencana Merapi (Sumber : geospasial.bnpb.go.id)
Kawasan Rawan Bencana dibagi menjadi tiga kategori yakni kategori , I, II dan III. Kawasan paling berbahaya adalah Kawasan Rawan Bencana (KRB) III,
2
sehingga kawasan ini merupakan daerah yang dilarang untuk dihuni. Kecamatan Cangkringan Kabupaten Sleman juga masuk ke dalam tiga kawasan tersebut, yakni KRB I, KRB II dan KRB III. Pemerintah Kabupaten Sleman telah menetapkan 9 dusun di Kawasan Kabupaten Sleman sebagai Kawasan Rawan Bencana III yang tidak layak digunakan sebagai daerah permukiman. Tabel 1.1. Data Sebaran Penduduk di Kawasan Bencana II dan III Gunung Merapi No
Desa/Kec
KRB
Kec. Cangkringan 1.
Kepuharjo
Umbulharjo
Glagaharjo
KRB III
KRB III
KRB II 2838
953
KRB II 595
Kaliadem
III
432
118
Petung
III
324
79
Jambu
III
318
68
Kopeng
II
453
85
Batur
II
390
68
Kepuh
II
392
92
Manggong
II
257
47
1074
1510
265
292
Palemsari
III
261
54
Pangukrejo
III
676
109
Gambretan
III
559
117
Pentingsari
II
3398
108
Gondang
II
627
99
Jumlah 3.
Kelompok Rentan
3668
Jumlah 2.
Jml Penduduk
Kalitengah
1496 III
470
III
330
Srunen
III
298
Singlar
II
1025
280
207
Lor Kalitngah Kidul
Jumlah
303 1098
303
96 408
96
Sumber :www.pemkabsleman.go.id
3
Sehubung dengan larangan KRB III sebagai daerah permukiman, pemerintah menawarkan relokasi kepada warga yang tinggal di kawasan tersebut. Berbagai cara insentif dan disinsentif dilakukan dalam rangka program relokasi. Langkah-langkah yang dilakukan antara lain memberikan insentif dengan menyediakan bantuan rumah senilai 30.000.000 rupiah, tipe 36 yang dibangun di tempat yang dianggap lebih layak huni. Penentuan lokasi perumahan ini ada yang ditentukan pemerintah ada pula warga masyarakat yang memilih sendiri pada lahan yang dimiliki dengan syarat tidak masuk dalam kawasan rawan bencana III. Insentif lainnya yakni kesediaan pemerintah dalam memberikan bantuan apabila terjadi bencana di kemudian hari bagi warga yang setuju untuk direlokasi. Sebaliknya disinsentif juga dilakukan bagi warga yang tidak mau direlokasi dengan ancaman tidak memberikan bantuan. Namun demikian tampaknya sebagian warga tidak tertarik dan tetap memilih tinggal di KRB III. Relokasi merupakan salah satu cara pemerintah untuk mengarahkan yang merupakan bagian dari mitigasi bencana. Namun demikian relokasi didasarkan pada kesukarelaan warga. Sehingga dalam hal ini pemerintah tidak bisa memaksa. Dari 9 dusun yang ditetapkan sebagai KRB III yang meliputi Dusun Palemsari dan Pangukrejo di Desa Umbulharjo; Dusun Kaliadem, Petung, Jambu dan Kopeng di Desa Kepuharjo; Dusun Kalitengah Lor, Kalitengah Kidul dan Srunen di Desa Glagahharjo, tiga diantaranya menolak untuk direlokasi. Ketiga Dusun yang menolak untuk direlokasi antara lain Dusun Kalitengah Lor, Kalitengah Kidul dan Srunen yan semuanya berlokasi di Desa Glagaharjo. Alasan tidak mau direlokasi salah satunya karena tidak terkena dampak yang
4
cukup parah saat erupsi 2010 padahal letak dusun-dusun tersebut relatif dekat dengan Merapi dibandingkan yang lain. Kerusakan yang relatif lebih ringan disebabkan material yang dikeluarkan pada erupsi 2010 umumnya material padat yang dilemparkan sehingga dampak besar justru bukan pada area paling dekat. Desa lain khususnya sepanjang aliran sungai memang menunjukkan kerusakan parah, selain rusaknya bangunan juga lahan umumnya juga tertimbun material vulkanis yang cukup tebal. Namun demikian ketiga dusun (Srunen, Kalitengah, Kidul dan Kalitengah Lor) bukan berarti bebas dari ancaman Gunung Merapi. Dampak dari bahaya awan panas yang sering disebut wedus gembel cukup besar karena menghancurkan rumah-rumah serta memusnahkan ternak dan tanaman yang ada. Pemerintah tidak bisa berbuat apa-apa terhadap warga yang tidak mau direlokasi dari KRB III. Keputusan akhir pemerintah masih membolehkan warga yang tidak mau direlokasi bermukim di KRB III dengan catatan ketika status Gunung Merapi “Siaga” mereka sudah harus segera mengungsi. Ketahanan bermukim masyarakat KRB III Gunung
Merapi dimaknai
sebagai suatu cara masyarakat untuk tetap bertahan hidup dan bermukim di daerah asal mereka. Ketahanan bermukim menyangkut kemampuan untuk tetap bertahan dan menunjukkan gejala pulih kembali dalam segala aspek kehidupan Warga Merapi di KRB III telah bertahun-tahun tinggal di kawasan tersebut dengan segala keuntungan dan kerugiannya. Masing-masing penduduk memiliki ikatan yang kuat akan kondisi sosial dan budaya setempat, sehingga perubahan yang tiba-tiba tidak mampu melemahkan cara pandang mereka. Ketahanan bermukim yang telah
5
terjadi bertahun-tahun merupakan siklus yang menjadi bagian hidup masyarakat KRB III. 1.2.
Perumusan Masalah Kawasan lereng Gunung Merapi khususnya daerah permukiman yang
masuk dalam KRB III jelas merupakan daerah tidak layak huni karena bahaya yang sewaktu-waktu mengancam. Namun demikian keinginan warga bermukim kembali di daerah tersebut tidak bisa dielakan. Penduduk mempunyai cara berfikir tersendiri yang mereka yakini. Erupsi Merapi yang terjadi secara siklus hanya dianggap sebagai salah satu bagian dalam siklus kehidupan. Dengan kondisi tersebut warga masih bertahan bermukim di daerah KRB III. Untuk mengetahui bagaimana ketahanan bermukim mereka maka penelitian “Ketahanan Bermukim Masyarakat Kawasan Rawan Bencana (KRB) III Gunung Merapi” ini perlu dilakukan. Pertanyaan penelitian yang muncul: 1. Bagaimanakah ketahanan bermukim masyarakat kawasan rawan bencana (KRB) III Gunung Merapi ? 2. Faktor-faktor apakah yang mempengaruhi ketahanan
bermukim
masyarakat kawasan rawan bencana (KRB) III Gunung Merapi? 1.3. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini antara lain mendeskripsikan bagaimana ketahanan bermukim masyarakat KRB III Gunung Merapi dan mengetahui faktor-faktor apakah yang mempengaruhi ketahanan bermukim masyarakat KRB III Gunung Merapi.
6
1.4. Manfaat Penelitian 1. Memperkaya khasanah keilmuan dan sebagai acuan bagi peneliti dan perencana selanjutnya dalam penelitian dan pengambilan keputusan terkait dengan Gunung Merapi maupun permukiman. 2. Memberi masukan dan informasi kepada pemerintah, LSM, konsultan maupun pihak lain dalam yang berkecimpung perencanaan dan program yang ditujukan pada masyarakat lereng Gunung Merapi khususnya KRB III. 1.5.
Keaslian Penelitian Penelitian ini fokus pada permukiman di KRB III dengan lokus 3 dusun
terdekat dengan Puncak Merapi di Desa Glagaharjo, Kecamatan Cangkringan, Kabupaten Sleman. Metode penelitian yang digunakan metode induktif kualitatif. Beberapa penelitian terkait dengan bencana dan permukiman di Gunung Merapi telah dilakukan. Metode penelitian yang digunakan bervariasi. Beberapa penelitian tersebut diantaranya : 1. Ane Carolina, 2011 - Judul : Fenomena Ekonomi Kelompok Pengungsi Korban Erupsi Merapi (Pedukuhan Gungan Kec. Cangkringan Kabupaten Sleman) -
Fokus : Fenomena ekonomi kelompok yang muncul pasca erupsi
-
Lokus : Pedukuhan Gungan Kec. Cangkringan Kabupaten Sleman
-
Metode : deskriptif kualitatif
-
Hasil dan kesimpulan : Konsep aktifitas ekonomi bersama pascabencana yang dilakukan dengan kesadaran nilai sosial, moral dan spiritual yang
7
tinggi. Kegiatan ekonomi kelompok muncul karena kemandirian kelompok untuk memenuhi kebutuhannya. Keberadaan dan kemajuan ekonomi kelompok ini ditentukan oleh adanya hibah bantuan, jenis usaha yang dipilih berbasis kebutuhan, pemilihan lokasi berorientasi pasar, rasa persatuan yang tinggi dan semangat yang tinggi untuk bangkit dari keterpurukan. 2. Tony Wahyu Kusuma, 2011 -
Judul : Perubahan Tata Fisik dan Tata Kehidupan Sosial Ekonomi Masyarakat Setelah Erupsi Gunung Merapi Tahun 2010 di Kec. Cangkringan Kab. Sleman.
-
Fokus : Perubahan fisik dan sosial ekonomi masyarakat
-
Lokus : Dusun Gungan , Wukirsari, suruh dan jaranan, Argomulyo, Cangkringan
-
Metode : Induktif kualitatif
-
Hasil dan kesimpulan : Erupsi Merapi 2010 telah mengakibatkan kerusakan fisik yang berdampak pada tata ekonomi warga. Dampak sosial yang dirasakan yakni masyarakat merasakan penderitaan batin dan hubungan sosial merenggang karena sensitivitas, konflik dan sulitnya ekonomi. 3. Syaifrudin, 2011
-
Judul : Pola Kerusakan Permukiman Lereng Merapi Pascaerupsi Merapi 5 November 2010 di Kecamatan Cangkringan.
8
-
Fokus : Pola kerusakan permukiman dan kondisi permukiman sebelum dan sesudah erupsi.
-
Lokus : Kecamatan Cangkringan
-
Metode : Deduktif kualitatif
-
Hasil dan kesimpulan : Pola kerusakan permukiman pascaerupsi merapi 5 November 2010 berbentuk basic sircular pada radius 8 km dari puncak merapi dan geometric linear pada daerah aliran sungai-sungai besar. Akibat erupsi terjadi kerusakan dan perubahan ketinggian lahan. Kerusakan permukiman dipicu oleh pola sebaran awan panas. Masyarakat kehilangan tempat tinggal dan hidup di huntara sebagian kembali menempati dusun mereka di Lereng Merapi. 4. Ridwan Botji, 2007
-
Judul : Pengaruh Letusan Gunung Merapi tahun 1994 dan 2006 terhadap Pemanfaatan Ruang di Wilayah Sekitarnya Kasus : Kabupaten Sleman.
-
Fokus : Kondisi serta pola pemanfaatan ruang sekitar Merapi pascaerupsi 1994 dan 2006.
-
Lokus : Sisi selatan Gunung Merapi (Kabupaten Sleman)
-
Metode : Deduktif -
Hasil dan kesimpulan : Terjadinya perubahan fungsi ruang, pergeseran fungsi ruang, hambatan pergerakan dalam ruang, peningkatan aktivitas dan peningkatan kualitas dalam ruang. Erupsi 1994 menimbulkan kerusakan sehingga warga direlokasi dan tempat lama (Turgo) dijadikan lahan pariwisata dan pertanian. Erupsi 2006, Kawasan
9
kaliadem dijadikan wisata lava yang menggambarkan keganasan Merapi. 5. Tri Wibawanti, 2003 -
Judul :
Kajian Perilaku Penduduk Dalam Memanfaatkan Ruang
permukiman relokasi Pasca Bencana Merapi di Dusun Sudimoro Kecamatan Pakem Kabupaten Sleman. -
Fokus : Perilaku penghuni (relokasi) dalam memanfaatkan ruang, kendala dan pengelolaan permukiman relokasi.
-
Lokus : Dusun Sudimoro Kecamatan Pakem Kabupaten Sleman.
-
Metode : Deskriptif kualitatif
-
Hasil dan kesimpulan : Persepsi terhadap ruang ditentukan oleh pemahaman penghuni terhadap ruang dan budaya di tempat tinggal lama. Perilaku pemanfaatan ruang berorientasi pada tujuan penghuni, yakni pemenuhan kebutuhan bertempat tinggal keluarga maupun komunitas. Kendala yang dihadapi adalah status tanah, tanah sempit serta kurangnya ruang terbuka, sehingga terjadi penumpukan aktivitas pada
ruang
tertentu.
Aktivitas
mengelola
ruang
bertujuan
mempertahankan keberadaan ruang-ruang fungsional tetap eksis di lingkungannya.
10