BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Penelitian Pada umumnya, studi tentang perilaku memilih menggunakan tiga pendekatan, yaitu pendekatan dari tradisi sosiologis, tradisi psikologis, dan tradisi ekonomi politik (rational choice) (Carmines dan Huckfeldt, 1996). Sejak 2006, Lau dan Redlawsk memperkenalkan suatu pendekatan baru dalam perilaku memilih yang kemudian dikenal sebagai Behavioral Decision Theory (BDT) untuk menjelaskan proses pengambilan keputusan memilih. Lau dan Redlawsk berpendapat bahwa penelitian-penelitian yang menggunakan ketiga tradisi pendahulu tersebut lebih menekankan pada karakteristik individu yang umumnya mencakup karakteristik ideologi dan partisanship, status ekonomi, serta pengalaman politik yang kemudian menjadi penentu bagi pemilih dalam proses menentukan keputusan. Bersandar pada anggapan tersebut, Lau dan Redlawsk memfokuskan pemahaman mereka terkait faktor-faktor tadi dan mengaitkannya dengan bagaimana faktor-faktor itu memengaruhi penerimaan dan proses informasi (tidak hanya sekadar preferensi) bagi para pemilih, yang mereka klasifikasikan sebagai variabel intervening yang penting, dan menjadi kunci dalam memengaruhi evaluasi dan pilihan pemilih terhadap kandidat. (2006: 22). Sementara itu, secara historis, tradisi BDT tidak jauh berbeda dari tiga tradisi sebelumnya. Tradisi sosiologis menyatakan bahwa status sosial ekonomi seperti agama, pendidikan,
1
2 pendapatan akan berpengaruh pada pilihan seseorang terhadap partai atau kandidat. Sementara menurut tradisi psikologis, terdapat tiga variabel yang memberi pengaruh pada pilihan seseorang, yaitu identifikasi partai, orientasi isu, dan orientasi kandidat. Tradisi ekonomi politik menjelaskan bahwa seseorang memilih karena ada keuntungan pribadi dari program atau kebijakan dari kandidat yang akan diperolehnya sehingga orang dengan tipe rasional cenderung akan mempertimbangkan dengan matang pilihan partai atau kandidat yang akan didukungnya. Untuk itu, ia akan mencari informasi tentang kandidat atau partai agar ―kalkulasi politiknya‖ tidak meleset. Meskipun BDT menambahkan variabel proses informasi (information processing) dalam modelnya yang membuatnya cenderung berada dalam ranah pendekatan rational choice, perbedaan antara rational choice dengan BDT terletak pada: This leads to another important distinction between rational choice and behavioral decision theory approaches. Rational choice focuses attention on the structure or elements of decision – the multiple alternatives, the relative importance of reach criterion of judgement to the decision maker, and the value of the different outcomes that are associated, with some probability, with each alternative. Research guided by behavioral decision theories, in contrast, is much more likely to be concerned with the dynamic processes of how decision are made, with information search, and with strategies for making choice. (Lau and Redlawks, 2006: 29). Dari kutipan di atas peneliti memahami bahwa, rational choice lebih berfokus pada struktur atau elemen dalam pengambilan keputusan seperti alternatif pilihan yang banyak, yang menciptakan peluang dalam menentukan keputusan, lantaran nilai outcome yang berbeda dari setiap kemungkinan yang ditawarkan tiap pilihan alternatif tersebut. Sementara itu, riset pada teori
3 perilaku keputusan (Behavioral Decision Theory) akan berkisar pada bagaimana keputusan dibuat, yang di dalamnya meliputi pencarian informasi dan strategi dalam menentukan pilihan. Studi ini berada pada salah satu pendekatan yang telah dijabarkan di atas, yakni pendekatan behavioral decision theory atau teori perilaku keputusan yang akan berfokus pada bagaimana keputusan dibuat. Melalui teori ini, Lau dan Redlawsk menunjukkan bahwa mereka melihat proses pengambilan keputusan melalui tiga faktor yang berperan sebagai variabel independen, yang terdiri atas latar belakang pemilih (background characteristics of voter), pengetahuan/pengalaman
politik
(political
sophistication),
dan
faktor
kampanye (campaign factors). Ketiga poin tersebut secara bersamaan menentukan
subjektivitas
para
pemilih
‖secara
alami‖
dalam
mempertimbangkan pilihan (―nature‖ of decision task) hingga kemudian terbentuk variabel pengolahan informasi (information processing) yang bersama-sama dengan memori (memory) dari tiap pemilih akan berperan sebagai variabel intervensi (intervening variable)
yang akan berpengaruh
langsung pada tahap evaluasi dan penentuan pilihan (evaluation, vote choice). Sebelum penelitian ini, ada dua studi voting behavior dengan pendekatan tradisional yang pernah dilakukan, yaitu studi pada masa Orde Baru (Gaffar, 1992 dan Kristiadi, 1994) dan pada pasca-Orde Baru (Asfar, 2006 dan Mujani, 2010). Studi-studi tersebut umumnya mengambil momen pemilu, seperti studi yang diakukan oleh Afan Gaffar pada Pemilu 1982 (Gaffar, 1992), Kristiadi pada Pemilu 1992 (Kristiadi, 1994), Muhammad Asfar pada Pemilu di masa
4 Orde Baru (tahun1987,1992 dan 1997) dan pasca-Orde Baru (tahun 1999 dan 2004), dan Saiful Mujani pada Pemilu 1999, 2004 dan 2009. Bila studi-studi tersebut mengambil momen pemilu dan menekankan pada sisi hasil, maka dalam studi ini, peneliti
memutuskan mengambil momen Pemilu Kepala
Daerah, khususnya pemilukada Kabupaten Bandung tahun 2010 dengan menekankan pada sisi proses. Dengan melihat perilaku memilih dari sisi proses, maka akan diketahui langkah-langkah yang dilakukan pemilih menuju suatu pilihan. Bila dengan pendekatan sosiologis, agamalah yang menentukan pilihan seseorang, maka dalam studi ini akan diketahui bagaimana tahapan yang dijalani responden untuk sampai pada pilihannya tersebut. Begitu juga bila melihat perilaku memilih dengan salah satu faktor yang mempengaruhi pilihan seseorang pendekatan psikologis, misalnya faktor kandidat lah yang menentukan pilihan, maka dalam studi ini akan diketahui bagaimana tahapan yang dilalui untuk sampai pada pilihan kandidat tersebut. Pendekatan ekonomi politik yang menekankan rasionalitas pemilih menekankan bahwa program yang sesuai dengan kepentingan pribadi lah yang mentukan pilihan, maka dalam studi ini dapat terlacak bagaimana tahapan-tahapan keputusan yang dijalaninya untuk memilih program yang sesuai dengan kepentingannya. BDT pada dasarnya menggabungkan ketiga pendekatan tradisional di atas ke dalam sebuah model ―bagaimana orang-orang memilih‖, didalam BDT faktor-faktor yang mempengaruhi ―voting‖ di pendekatan tradisonal dijadikan faktor-faktor yang mempengaruhi kepemilikan dan pengolahan informasi.
5 Kedua hal tersebut merupakan variabel intervening yang mempengaruhi evaluasi kandidat dan pilihan. While still considering traditional antecedents of the vote –individual characteristics such as ideology and partisanship, economics status, political experience, personal characteristic, and the like- we focus on understanding how those factor influence information acquisition and processing (rather than preferences themselves), crucial intervening variables that we believe, in turn, have a key (and totally underappreciated) influence on candidate evaluation and choice. (Lau and Redlawsk, 2006 : 22). Adapun perlu dicatat bahwa pendekatan yang digunakan Afan Gaffar (1988) dalam melakukan penelitiannya adalah pendekatan sosiologis dan psikologis, dengan alasan pendekatan sosiologis dapat melihat efek pembelahan sosial atas perilaku memilih yang terjadi di Indonesia, khususnya pembelahan sosial-kultural, sedangkan pendekatan psikologis ia nilai sangat penting untuk memahami sosialisasi politik dan identifikasi partai bagi para pemilih. Dengan demikian, analisisnya ia fokuskan pada ―faktor sosiologis dan psikologis yang memengaruhi perilaku individu‖. Pendekatan tersebut telah dipakai untuk menguji konsep aliran di masyarakat Jawa pada Pemilu 1982. Tidak seperti Geertz yang membagi masyarakat Jawa ke dalam tiga aliran, yaitu aliran santri, abangan, dan priyayi, Afan Gaffar hanya mengambil dua aliran, yaitu santri dan abangan. Ia tidak menggunakan aliran priyayi dalam penelitiannya karena aliran ini dianggap tidak terjadi bila diterapkan di wilayah penelitiannya, yaitu Kecamatan Brobanti, Yogyakarta. Sementara itu, pembagian santri-abangan masuk ke dalam faktor socio-religious beliefs termasuk di dalamnya keyakinan terhadap suatu agama. Keyakinan terhadap suatu agama akan membentuk pola-pola identifikasi partai dan pilihan pada
6 partai (partisan choice) melalui proses sosialisasi politik. Socio-religious beliefs inilah yang akan menentukan pola kepemimpinan desa-desa di Jawa. Status sosial dan kelas, yang umumnya terdapat dalam suatu masyarakat, menjadi variabel penting dalam menjelaskan perilaku pemilih di desa-desa di Jawa. Studi tentang perilaku pemilih yang dilakukan oleh Kristiadi (1994) di Kotamadya Yogyakarta dan Kabupaten Banjarnegara pada Pemilu 1971-1987 melihat faktor-faktor panutan, identifikasi kepartaian, struktur sosial, serta media massa sebagai variabel untuk mendeteksi keempat faktor tersebut dalam memengaruhi perilaku pemilih. Keempat variabel tersebut diambil dari ide dasar pendekatan sosiologis dan psikologis, yang kemudian digabungkan oleh Kristiadi dan diidentifikasi sebagai pendekatan sosio kultural. Secara singkat, ia mengungkapkan pola-pola hubungan antara faktor-faktor yang dikategorikan sebagai variabel bebas dengan
perilaku pemilih:panutan dan voting;
identifikasi kepartaian dan voting; struktur sosial dan voting; serta media massa dan voting. Dari keempat variabel tersebut, Kristiadi menyimpulkan bahwa variabel panutan adalah yang paling besar berkontribusi terhadap pemilih PPP, Golkar, dan PDI baik di kota maupun di desa, dimana pengecualian terjadi pada pemilih PDI di kota, karena di wilayah penelitian Kristiadi, variabel identifikasi
kepartaian
ditentukan
oleh
variabel
yang
paling
besar
kontribusinya terhadap para pemilih PDI. Studinya membuktikan bahwa
7 struktur sosial dan media massa baik di desa maupun di kota berkontribusi sangat kecil terhadap para pemilih baik pemilih PPP, Golkar, maupun PDI. Penelitian lain tentang perilaku pemilih dilakukan pada tahun 1997 dan tahun 1999 di Jawa Timur—menjelang keruntuhan Orde Baru dan awal Reformasi—oleh Muhammad Asfar (2006), pertama-tama ia meneliti kecenderungan pilihan pemilih dari lima pemilu (pemilu 1977,1982, 1987, 1992 dan 1997), faktor-faktor yang memengaruhi perilaku memilih, serta isuisu yang menjadi perhatian pemilih. Kedua, ia meneliti pergeseran pilihan partai politik dari masa Orde Baru ke masa Reformasi. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa dalam lima pemilu (1977, 1982, 1987, 1992 dan 1997), Golkar merupakan pilihan utama sebagian besar responden. Meskipun, dari kelima pemilu tersebut, terjadi fluktuasi perolehan suara yang dicapai oleh Golkar, PPP, dan PDI, sebagai berikut: 1. Persentase pilihan responden terhadap Golkar cenderung menurun, khususnya pada tiga pemilu (1982, 1987 dan 1992), betapapun angka penurunannya hanya satu persen. Meskipun demikian, angka tersebut setidaknya mengisyaratkan adanya penurunan minat dari responden untuk memilih Golkar. Artinya, pilihan utama responden pada Golkar—yang menyebabkan perolehan suara mayoritas—agaknya tidak didikuti dengan peningkatan suara dari satu pemilu ke pemilu berikutnya. 2. Adanya fluktuasi perolehan suara pada PPP, yaitu terjadi penurunan suara mulai dari pemilu 1977, 1982 hingga Pemilu 1987; yang kemudian naik kembali pada Pemilu 1992 dan Pemilu 1997. Variabel penjelas pergeseran
8 suara pemilih PPP tersebut tampaknya terletak pada Khittah 1926 NU. Artinya, penarikan pemilih terhadap PPP pada pemilu 1987 sangat dipengaruhi penarikan NU dari kehidupan politik yang berimplikasi pada munculnya kegiatan penggembosan di Jawa Timur. 3. Adanya konsistensi peningkatan pilihan pemilih pada PDI setidaknya sampai Pemilu 1992. Peningkatan itu bahkan terjadi hingga tiga-empat persen pada Pemilu 1977, 1982 dan Pemilu 1987, sedangkan pada Pemilu 1992, peningkatan hanya mencapai satu persen. Penurunan suara terjadi pada Pemilu 1997, lantaran imbas konflik intern PDI dan intervensi kekuatan eksternal partai menjelang Pemilu 1997 sehingga banyak pemilih PDIP yang menarik diri dan memutuskan tidak ikut terlibat dalam pemilu, atau bahkan memilih partai lain. Terdapat pergeseran jumlah partai yang ekstrem ketika Orde Baru runtuh, yakni dari 3 menjadi 48 partai pada Pemilu 1999. Asfar meneliti kondisi ini dengan melihat konsistensi atau perubahan pilihan partai yang signifikan terjadi sejak Pemilu 1992, 1997 hingga Pemilu 1999. Hasil penelitian menunjukkan pergeseran pilihan politik pada Pemilu 1997 dan Pemilu 1999 terutama pada pendukung Golkar dan PPP, karena hanya sekitar 14% dan 8% yang konsisten memilih Golkar dan PPP, sedangkan sekitar 68% pemilih PDI konsisten memilih PDIP. Sementara 10% tidak menjawab atau memilih partai lainnya (Asfar, 2006 : 192). Dari hasil tersebut, disinyalir pemilih PPP terdistribusi ke PKB, PAN, PDIP, PBB, PKU, PK, PNI dan Golkar. Begitu juga dengan pemilih Golkar
9 yang terdistribusi ke PKB, PDIP dan PAN. Para pemilih yang menyeberang dari Golkar ke PAN pada umumnya berlatar belakang pekerjaan sebagai pegawai negeri dan aktif sebagai anggota Muhammadiyah (Asfar, 2006), sedangkan pemilih Golkar yang menyeberang ke PKB umumnya berlatar belakang organisasi NU. Sayangnya, Asfar tidak menyebutkan pemilih Golkar yang menyeberang ke PDIP dari segi latar belakang organisasinya. Dengan demikian, peneliti mengutip dua penelitian yang dilakukan pada saat Orde Baru berkuasa, dan dua penelitian perilaku memilih yang dilakukan pasca Orde Baru, yaitu oleh Muhammad Asfar (2006) dan Saiful Mujani dan R. William Liddle (2010). Penelitian yang dilakukan Mujani dan Liddle tersebut didasarkan pada hasil Pemilu 1999, 2004 dan 2009. Pemilu pertama pasca-Orde Baru dimenangkan oleh PDI-P, sekaligus menunjukkan bahwa partai ini merupakan partai terbesar saat itu. Sementara itu, perolehan suara Partai Demokrat (PD) yang didirikan di tahun 2002 pun terus meningkat di parlemen dengan memperoleh 7,6% pada Pemilu 2004, dan 21% pada Pemilu 2009. Hal ini tentunya mendorong pertanyaan: mengapa perilaku pemilih Indonesia demikian dinamis? Apa pengaruhnya terhadap kualitas dan stabilitas demokrasi Indonesia? Dengan menggunakan hasil survei LSI di tahun 1999 dan 2004, Mujani dan Liddle menyatakan bahwa kepemimpinan (dalam hal ini penampilan kandidat) dan identifikasi-diri dengan partai (‖party ID‖ seperti yang disebut dalam literatur voting behavior) adalah dua faktor yang penting dalam menentukan pilihan bagi pemilih pada saat itu. Mereka menolak interpretasi
10 yang populer sejak pemilu pertama yang demokratis di tahun 1955; yaitu faktor sosiologis atau kultural—agama, etnis, wilayah dan kelas sosial—yang memengaruhi perilaku pemilih Indonesia. Hasil survei yang dilakukan setelah pemilu legislatif dan pemilu presiden pada 2009 menunjukkan bahwa pemimpin partai atau kandidat presiden merupakan faktor yang sangat penting, begitu juga dengan media kampanye—khususnya televisi—baik bagi pemilu parlemen maupun presiden yang berpengaruh sangat kuat bagi para pemilih. Sementara itu ―party ID‖ menjadi melemah, meski masih sedikit berpengaruh pada pendukung partai dan kandidat. Dari keempat penelitian tersebut, dapat disimpulkan bahwa menurut Afan Gaffar, keyakinan terhadap suatu agama akan membentuk pola-pola identifikasi partai dan pilihan pada partai (partisan choice) melalui proses sosialisasi politik. Sementara itu, Kristiadi menyimpulkan variabel panutan adalah yang paling besar berkontribusi terhadap pemilih PPP, Golkar, dan PDI baik di kota maupun di desa, sedangkan untuk pemilih PDI di kota, variabel identifikasi kepartaian ditentukan oleh variabel yang paling besar kontribusinya terhadap para pemilih PDI. Muhammad Asfar menyimpulkan bahwa konsistensi atau pergeseran pilihan partai politik dari masa Orde Baru ke masa Reformasi, yang hasilnya menunjukkan sebagian besar pemilih PDI konsisten memilih PDIP.
Saiful Mujani selain menggunakan pendekatan
psikologis, juga menggunakan pendekatan sosiologis dan ekonomi politik. Dari semua pendekatan yang diujinya,
faktor kepemimpinan menjadi
11 penentu dalam menentukan pilihan. Keempatnya sama-sama melihat faktorfaktor yang memengaruhi keputusan pemilih dengan menggunakan pendekatan kuantitatif metode survei. Namun,
studi ini melihat proses
pengambilan keputusan memilih melalui pendekatan kualitatif metode studi kasus. Kelemahan metode survei yang umumnya dipakai dalam penelitianpenelitian voting behavior seperti yang dilakukan di atas adalah ketidakmampuan metode tersebut dalam mengungkap ―ada apa di balik keputusan responden dalam menentukan keputusannya‖. Hal ini dikarenakan tidak adanya interaksi intensif antara peneliti dengan responden. Peneliti kerap hanya datang sebentar saja dengan membawa seperangkat pertanyaan yang sudah dikontrol secara ketat untuk diberikan kepada responden. Metode ini tentunya tidak membuka ruang bagi responden untuk merekonstruksi pemikiraannya, dalam hal ini mereka tidak dapat mempertimbangkan secara mendalam bagaimana metode mereka dalam proses pengambilan keputusan. Pada umumnya, survei memperlihatkan hasil berdasarkan jawaban responden, dengan mempertimbangkan kesamaan fakta-fakta, kemudian dianalisis secara statistik, maka tidak ada ‖ruang‖ bagi responden untuk membuat intepretasi atas tindakan yang dilakukannya. Responden hanya berkewajiban menjawab pertanyaan tanpa berhak menyatakan pendapatnya sendiri. Dalam penelitian ini, peneliti menyerap dan menggali informasi dari responden tentang proses pengambilan keputusan dengan menggunakan teori
12 BDT sebagai pedoman wawancara. Teori tersebut digunakan sebagai ‖pintu masuk‖ untuk memahami proses pengambilan keputusan, dan bukan untuk melakukan verifikasi. Hasil wawancara kemudian diintepretasikan dalam bentuk deskriptif dan dikategorikan menjadi jenis-jenis proses pengambilan keputusan. Dari hasil wawancara dengan responden akan terlihat jenis informasi yang diserap dan digunakan, kedalaman informasi, pengolahan informasi, hingga tahapan proses pengambilan keputusannya. Peneliti menekankan pada penggunaan informasi karena peneliti hendak melacak apakah responden menyerap informasi lalu menggunakan informasi yang diperolehnya dalam mempertimbangkan pilihan. Proses pertimbangan
informasi
tersebut
menjadi
komponen
penting untuk
diperhatikan karena dengan demikian dapat dilihat apakah para kandidat dalam pemilu dipilih melalui pertimbangan sisi positif dan negatif. Dengan demikian, tidak tertutup kemungkinan apabila informasi tentang program para kandidat, misalnya, tidak masuk dalam wilayah pertimbangan pemilih. Sementara itu, untuk melihat bagaimana pemilih menentukan strategi keputusan, peneliti akan melihatnya dari ada tidaknya kemauan responden untuk terlibat dalam mempertimbangkan sisi positif dan negatif kandidat. Peneliti mengusulkan minimal dua orang kandidat untuk dijadikan pembanding oleh pemilih sehingga subjektivitas yang berlebihan dapat dihindari. Dengan dilangsungkannya pemilukada dalam dua putaran, peneliti hendak mengetahui, mungkinkah strategi keputusan seorang pemilih akan
13 berubah bila dihadapkan pada pemilu dua putaran yang hanya dipisahkan oleh rentang waktu yang singkat? Dari segi metode penelitian, studi ini menawarkan metode kualitatif yang tidak umum dipakai dalam studi-studi perilaku memilih sebelumnya. Pada umumnya, studi perilaku memilih menggunakan metode kuantitatif sehingga penelitiannya berkisar pada variabel mana yang berpengaruh paling besar terhadap variabel lain, atau variabel mana yang berpengaruh kecil terhadap pilihan seseorang. Begitu juga metode yang digunakan oleh Lau dan Redlawsk. Mereka
menggunakan metode eksperimen dengan
information board 1untuk melihat variabel mana yang memengaruhi proses informasi dan kemudian menentukan pilihan seseorang. Dengan demikian, keempat pendekatan tersebut melakukan penelitian berbasis variabel. Dengan menggunakan pendekatan kualitatif, penelitian ini hendak menggali keputusan responden dalam memilih kandidat Bupati/Wakil Bupati Kabupaten Bandung di tahun 2010. Dalam khazanah BDT, metode seperti ini
1
Eksperimen dilaksanakan di laboratorium komputer, sehingga subyek diharuskan dapat mengoperasikan komputer. Pemilih dalam eksperimen ini duduk dihadapan komputer dan tidak berinteraksi dengan pemilih lainnya. Pemilih tidak mengetahui informasi apapun tentang kandidat, mereka diberi kesempatan untuk mempelajari kandidat selam 20 menit untuk primary election dan 12 menit untuk general election. Langkah pertama dalam eksperimen ini adalah subyek ditugaskan untuk mengisi kuesioner yang ada dalam layar komputer tentang sikap politiknya. Kuesiner didisain unutk mngukur preferensi politik subyek termasuk identifikasi partai, ideologi konservatif atau liberal, preferensi politik dengan variasi domain yang berbeda ( penting untuk menentukan dukungan terhadap kandidat), kesukaannya terhadap kelompok-kelompok politik (penting untuk menentukan bagaimana pemilih bereaksi terhadap kelompok –kelompok yang menduung kandidat) dan tingkat pendidikan dan pengalaman mereka. Semua pertanyaan diambil dari ANES Setelah itu subyek diperkenalkan dengan ‖dynamic information board‖ dan diberi penjelasan bagaimana mempergunakannya. Informasi di komputer berisi tentang kampanye pemilihan presiden tahun 1996, namun subyek diminta membayangkan pemilu presiden tahun 2000.
14 disebut protocol verba di mana pemilih diminta melaporkan apa yang telah dialaminya ketika mengambil keputusan (Lau dan Redlawsk, 2006). . Penelitian ini akan menggali proses yang dialami pemilih untuk memutuskan pilihan pada kandidat Bupati/Wakil Bupati baik pada putaran pertama maupun kedua. Dengan cara merekonstruksi pemikiran individu, peneliti hendak menggali apa yang dipikirkan, dirasakan, dan dilakukan pemilih pada saat memutuskan pilihan pada kandidat Bupati/Wakil Bupati tertentu. Peneliti akan meminta responden untuk mengungkapkan hal-hal yang dirasakannya, misalnya ―kekuatan eksternal‖yang membawa ia memilih kandidat yang bertentangan dengan pikiran dan perasaannya. Merekontruksi pemikiran pemilih berarti ―menggali pengalaman subjektif pemilih dan mengintepretasikan kejadian‖ (Devine, 2002: 199) yang dialaminya sehingga ia dapat mendeskripsikan prosesnya dalam mengambil keputusan pada pemilihan Bupati/Wakil Bupati Bandung di tahun 2010. Apa yang dipikirkan, dirasakan, dan dilakukan dalam memilih kandidat tidak dapat dijelaskan baik oleh pendekatan tradisional maupun teori perilaku keputusan karena studi tersebut berbasis variabel, yakni data hanya bisa diperoleh melalui variabelvariabel ketat berdasrkan hasil survei. Dengan demikian, penggunaan survei tidak mungkin dilakukan dalam studi voting behavior decision yang mengutamakan sisi proses. Keunggulan penelitian ini adalah ia dapat mengungkap proses pembentukan keputusan dalam
menentukan kandidat yang terdiri atas 8
(delapan) pasangan pada putaran pertama dan 2 (dua) pasangan pada putaran
15 kedua. Proses penentuan keputusan akan ditelusuri secara mendalam sehingga jenis-jenis proses pengambilan keputusan yang dilalui responden dapat diketahui. Dari jenis tersebut, pengolahan informasi responden pun akan dapat dijelaskan. Hasil pemilukada putaran pertama menunjukkan bahwa hanya empat pasangan yang menang di kecamatan-kecamatan yang ada di Kabupaten Bandung, di mana hanya dua pasangan yang masuk ke putaran kedua. Di bawah ini dapat dilihat kecamatn-kecamatan yang dimenangkan oleh partai pengusung, baik pada putaran pertama maupun putaran kedua. Gambar 1.1 Kecamatan yang Dimenangkan Partai Pengusung Pada Putaran Pertama
Sumber : KPU Kabupaten Bandung 2010, diolah Peneliti
16
Keterangan : Kecamatan yang dimenangkan partai pengusung PDIP Kecamatan yang dimenangkan partai pengusung PKB Kecamatan yang dimenangkan partai pengusung Golkar Kecamatan yang dimenangkan partai pengusung PKS Gambar 1.2 Kecamatan yang Dimenangkan Partai Pengusung Pada Putaran Kedua
Sumber : KPU Kabupaten Bandung 2010, diolah Peneliti Keterangan : Kecamatan yang dimenangkan partai pengusung Golkar Kecamatan yang dimenangkan partai pengusung PKS
17 Dengan demikian, kecamatan yang di putaran pertama dimenangkan oleh kandidat yang diusung PKS kembali dimenangkan oleh kandidat ini di putaran kedua. Sementara itu, tiga kecamatan yang dimenangkan oleh kandidat yang diusung Golkar pada putaran pertama kemudian ‖beralih‖ ke kandidat yang diusung PKS pada putaran kedua. Dari 31 kecamatan di Kabupaten Bandung, peneliti memilih Kecamatan Cicalengka, karena kecamatan ini memiliki desa-desa yang hasil kemenangannya terbilang variatif baik pada pemilukada putaran pertama maupun kedua, yaitu seperti yang terjadi di Desa Cicalengka Wetan, Desa Babakan Peuteuy, Desa Margaasih, dan Desa Panenjoan, dengan fokus pada kandidat yg diusung Golkar (Dadang M. Naser-Deden Rukman Rumaji) dikarenakan suara untuk kecamatan dimenangkan oleh kandidat ini. Peneliti memilih keempat desa tersebut untuk melihat proses pengambilan keputusan memilih dan karakteristik pemilih di desa dengan variasi sebagai berikut: 1) kalah pada putaran pertama dan kedua, 2) kalah pada putaran pertama dan menang pada putaran kedua, 3) menang pada putaran pertama dan kalah pada putaran kedua, dan 4) menang pada putaran pertama dan pada putaran kedua. Untuk lengkapnya, hal tersebut dapat dilihat dalam tabel di bawah ini:
18 Tabel 1.1 Formasi Kemenangan-Kekalahan No Desa 1
Babakan Peuteuy
2
Margaasih
3
CicalengkaWetan
4
Panenjoan
Kandidat Golkar Putaran I Putaran II Menang Menang (1.151 suara) (2.218 suara) Kalah Menang (591 suara) (1.590 suara)
Keterangan
Kalah (1.229 suara)
Putaran I dimenangkan kandidat PDIP (1.542 suara), Putaran kedua dimenangkan kandidat PKS (Ridho Budiman Utama-Dadang Rusdiana) (2.676 suara) Putaran II dimenangkan kandidat PKS (2.172)
Kalah (2.350 suara)
Menang Kalah (1.247 suara) (1.950 suara) Sumber : KPU Kabupaten Bandung, diolah peneliti, 2011
Putaran I dimenangkan kandidat PDIP (Yadi Srimulyadi-Rusna Kosasih) ( 722 suara)
Peneliti memilih pasangan kandidat Dadang M. Naser-Deden Rukman Rumaji karena pasangan tersebut memenangkan putaran pertama dan kedua, baik di tingkat kabupaten maupun kecamatan. Sementara itu, peneliti memilih Kecamatan Cicalengka karena di kecamatan ini pasangan kandidat tersebut memiliki empat variasi kemenangan-kekalahan seperti yang tercantum dalam tabel di atas. Di samping itu, Kecamatan Cicalengka merupakan wilayah pertanian dan industri sehingga sebagian besar penduduknya bekerja di kedua bidang tersebut. Empat variasi kemenangan-kekalahan tersebut kemudian menjadi pertimbangan untuk melihat proses pengambilan keputusan di keempat desa. Menurut Dunn dan Kingdon, proses pengambilan keputusan pada dasarnya terdiri atas berbagai tahap, mulai dari identifikasi isu dan masalah
19 hingga tahap penentuan keputusan (Wittmer dan McGowan, 2007: 317). Dengan kata lain, proses pengambilan keputusan mencakup tahapan-tahapan yang harus dilalui seseorang untuk tiba pada suatu pilihan. Untuk itu, penelitian ini tidak sesuai bila menggunakan survei yang tujuannya mencari generalisasi, seperti halnya penelitian voting behavior yang selama ini mencari faktor-faktor yang memengaruhi pilihan seseorang. Untuk mengetahui proses pengambilan keputusan yang dilakukan seseorang, penelitian ini tentu lebih sesuai menggunakan pendekatan kualitatif karena dengan demikian peneliti bisa menggali ―rekontruksi pemikiran‖ pemilih ketika mengambil keputusan (Devine, 2002: 199), dan hanya melalui wawancara mendalamlah peneliti dapat ―menangkap‖ proses tersebut ketika seseorang memilih Bupati/Wakil Bupati Bandung. Dalam proses wawancara, responden dapat berbicara dengan bebas dan memberikan intepretasi atas tindakan yang pernah ia lakukan. Dari proses tersebut, peneliti akan melacak jenis-jenis proses pengambilan keputusan yang pernah dilalui oleh responden.
B. Rumusan Masalah Pemilukada Kabupaten Bandung 2010 diikuti delapan pasang kandidat dalam pelaksanaan selama dua putaran. Pemilukada putaran pertama dilaksanakan pada 29 Agustus 2010 dan putaran kedua
pada 31 Oktober 2010. Dengan
demikian, proses pengambilan keputusan oleh pemilih dilakukan dua kali, dan dalam transisi proses tersebut, tentu juga akan terjadi ‖perpindahan suara‖ dari pemilih yang kandidatnya tidak masuk putaran kedua. Pun demikian, tidak
20 tertutup kemungkinan akan adanya perbedaan proses pengambilan keputusan antara putaran pertama dan kedua. Seperti diketahui, proses pengambilan keputusan memilih menurut Lau dan Redlawsk dimulai dengan adanya tiga faktor yang berperan sebagai variabel independen utama, yaitu latar belakang pemilih, pengetahuan/pengalaman politik, dan faktor kampanye. Ketiganya secara bersamaan menentukan subjektivitas pemilih ―secara alami‖ dalam penetapan keputusan sementara, dan kemudian faktor tersebut dan memori pemilih akan berperan sebagai variabel intervensi. Pengolahan informasi dan memori pemilih akan berpengaruh langsung pada
evaluasi dan
pilihan yang akan diperoleh. Meski BDT bersifat linear2dan berbasis variabel, peneliti akan mengubahnya ke dalam bentuk pertanyaan utama penelitian yang bersifat kualitatif sehingga tidak menguji hubungan antar variabel, sebagai berikut: Bagaimana proses pengambilan keputusan memilih di Kecamatan Cicalengka Kabupaten Bandung Pada Pemilihan Bupati/Wakil Bupati Tahun 2010? Untuk memperdalam
pertanyaan tersebut, peneliti membuat pertanyaan-
pertanyaan, sebagai berikut: 1. Bagaimana variasi proses pengambilan keputusan memilih
pada pemilihan
kepala daerah langsung di Kecamatan Cicalengka Kabupaten Bandung Pada Tahun 2010? 2. Bagaimana pemilih melalui tahapan-tahapan dalam proses pengambilan keputusan
memilih
pada pemilihan kepala daerah langsung di Kecamatan
Cicalengka Kabupaten Bandung Pada Tahun 2010? 2
Menguji hubungan antar variabel, setiap perubahan yang terjadi pada satu variabel akan diikuti perubahan dengan besaran yang sejajar pada variabel lainnya.
21 3. Bagaimana pemilih mengolah informasi dalam proses pengambilan keputusan
memilih
pada pemilihan kepala daerah langsung di Kecamatan Cicalengka
Kabupaten Bandung Pada Tahun 2010? 4. Mengapa pemilih mengambil perspektif yang berbeda dalam
proses
pengambilan keputusan memilih pada pemilihan kepala daerah langsung di Kecamatan Cicalengka Kabupaten Bandung Pada Tahun 2010? 5. Bagaimana hasil pilihan responden dalam
proses pengambilan keputusan
memilih pada pemilihan kepala daerah langsung di Kecamatan Cicalengka Kabupaten Bandung Pada Tahun 2010?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian Berdasarkan pertanyaan-pertanyaan pada rumusan masalah, maka penelitian ini bertujuan, sebagai berikut: Melacak variasi, tahapan, pengolahan informasi dan perspektif yang digunakan pemilih dalam proses pengambilan keputusan pada pemilihan kepala daerah langsung di Kecamatan Cicalengka Kabupaten Bandung Pada tahun 2010, baik pada putaran pertama maupun putaran kedua. Adapun manfaat dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan model teoretis dalam voting behavior, khususnya dalam proses pengambilan keputusan memilih yang nantinya akan menghasilkan variasi, tahapan, pengolahan informasi dan perspektif dalam proses pengambilan keputusan memilih.
22 D. Kerangka Pemikiran Teoretis Munculnya pendekatan perilaku memilih pada dasarnya adalah untuk menjawab sederetan fenomena tentang penentuan keputusan memilih di hampir semua negara yang menerapkan sistem pemilihan umum. Awalnya, penelitian ini dilakukan untuk mengetahui bagaimana kecenderungan dan faktor apa yang menyebabkan orang memilih atau tidak memilih. Karena itu, dilakukan beberapa penelitian untuk mengetahui jawabannya. Di bawah ini, peneliti akan menguraikan pandangan teoretis tentang perilaku memilih. Menurut Ramlan Surbakti, perilaku memilih merupakan serangkaian kegiatan membuat keputusan, yaitu mengenai keputusan memilih atau tidak memilih dalam pemilihan umum (Surbakti, 1992: 145). Definisi ini cenderung melihat hasil akhir berupa keputusan memilih salah satu partai politik, kandidat atau program atau keputusan untuk sama sekali tidak memilih. Kelahiran studi perilaku memilih yang diawali oleh riset-riset pemilu di Amerika telah melahirkan berbagai pendekatan dalam perilaku memilih. Carmines dan Robert Huckfeldt (1996:223-224), menjelaskan bahwa pada tahun 1944 lahirlah studi baru tentang pemilu yang memfokuskan pada pemilih secara individual, yang merupakan hasil penelitian Paul Lazarsfeld dan rekan-rekannya dari Bureau of Applied Social Research Columbia University pada pemilu tahun 1940 di Elmira, New York. Studi yang memfokuskan pada pemilih secara individual diikuti oleh dua pendekatan lainnya : pertama, pendekatan berdasarkan pada demokrasi politik pada pemilu tahun 1948 yang dilakukan The American National Election Study dan penelitian yang dilakukan oleh Campbell, Converse,
23 Miller dan Stokes (1960). Kedua, teori demokrasi ekonomi berdasarkan penelitian Anthony Down (1957). Secara bersamaan, ketiga pendekatan tersebut menjadi tiga aliran penelitian : tradisi sosiologi politik yang merupakan hasil penelitian Bureau of Applied Research di Columbia University; tradisi psikologis politik yang dihasilkan oleh Michigan’s Centre for Survey Research, dan tradisi ekonomi politik yang mulai serius untuk meneruskan konsep rasionalitas dan kepentingan pribadi untuk studi perilaku warga negara . Sejak 1950an, banyak muncul riset yang berdasarkan pada ketiga pendekatan tersebut. Ketiga pendekatan ini mempunyai pertanyaan yang sama atas kapasitas individu sebagai warga negara yang mempunyai fungsi dalam demokrasi politik . Selanjutnya ketiga pendekatan tersebut menjadi sandaran teoritis bagi riset-riset dalam perilaku memilih. Carmines dan Huckfeldt (1996) menyebut ketiga pendekatan tersebut dengan tradisi sosiologis, tradisi psikologis dan tradisi ekonomi politik (rational choice). Di bawah ini akan diuraikan berbagai pendekatan perilaku memilih, baik pendekatan tradisional maupun pemikiran terbaru yang dikemukakan oleh Lau dan Redlawsk (2006), yaitu pendekatan BDT. Pendekatan tradisional meliputi: Pendekatan Sosiologis, Pendekatan Psikologis dan Pendekatan Ekonomi Politik. Ketiga pendekatan tersebut merupakan terjemahan bebas yang diperoleh peneliti dari buku A new Handbook of Political Science (Pappi, Franz Urban 1996: Bab 8 dan Bab 9), Controversies In Voting Behavior (Niemi, G. Richard dan Herbert F. Weisberg1984: Bab 5), dan Election and Voters: A Comparative Introduction (Harrop, Martin dan William L. Miller 1987: Bab 6). Kutipan-kutipan tersebut
24 juga dilengkapi dari Studi Pemilu Empiris (Roth, 2008) dan Pemilu dan Perilaku Memilih 1955-2004 (Asfar, 2006). 1. Pendekatan Sosiologis Menurut pendekatan ini, karakteristik sosial menentukan preferensi politik. Berdasarkan hasil penelitian historis politis Key dan Munger (1959) di Indiana, mereka menyatakan bahwa perkembangan loyalitas politik adalah sesuatu yang aneh dan tidak diharapkan, dan tidaklah sederhana untuk mengaitkan antara preferensi politik dan karakteristik sosial. Preferensi politik dihubungkan dengan karakteristik sosial dengan cara tertentu dapat saja terjadi pada suatu tempat, tetapi tidak di tempat lain. Politik bukanlah residu yang sederhana dari kehidupan sosial dan preferensi politik tidaklah sederhana dan secara sosial dapat ditentukan. Kalau kita ingin memahami pemilih Indiana, kita harus memahami di mana mereka tinggal, lingkungan seperti apa yang mengelilingi masyarakatnya, dan kondisi tersebut tidak akan ada apabila kita meneliti dengan objek individu yang melampaui waktu dan tempat (Carmines dan Huckfeldt ,1996:228-229). Singkatnya, pilihan sesorang ditentukan oleh karakteristik sosial yang dimilikinya. Model penjelasan dalam pendekatan ini terbagi menjadi model penjelasan mikrososiologis dan model penjelasan makrososiologis. Model penjelasan mikrososiologis selalu dikaitkan dengan sosiolog Paul F. Lazarsfeld, Bernard Berelson dan Hazel Gaudet dari Columbia University. Sedangkan model penjelasan makrososial diambil dari Seymour Martin Lipset dan Stein Rokkan yang mengamati pemilu dari risetnya Lazarsfeld. Model ini menelaah perilaku
25 memilih di seluruh tingkatan atau lapisan masyarakat secara keseluruhan yang akhirnya melahirkan suatu penjelasan mengenai terbentuknya sistem kepartaian di Eropa Barat (Roth, 2008 : 23-24). Dengan mengutip dari mereka, Roth menjelaskan bahwa : Dasar model penjelasan mikrososiologis berasal dari teori lingkaran sosial yang diformulasikan oleh Georg Simmel (1890) pada akhir abad lalu. Menurut teori ini, setiap manusia terikat didalam berbagai lingkaran sosial, contohnya keluarga, lingkaran rekan-rekan, tempat kerja dan sebagainya. Paul F. Lazarsfeld menerapkan cara pikir ini kepada para pemilih. Seorang pemilih hidup pada konteks tertentu : status ekonominya, agamanya, tempat tinggalnya, pekerjaannya dan usianya mendefinisikan lingkaran sosial yang mempengaruhi keputusan sang pemilih. Setiap lingkarang sosial memiliki normanya tersendiri, kepatuhan terhadap norma-norma tersebut menghasilkan integrasi. Namun konteks ini turut mengkontrol perilaku individu menyesuaikan diri, sebab pada dasarnya setiap orang ingin hidup dengan tentram, tanpa bersitegang dengan lingkungan sosialnya. (Roth, 2008 : 24). Lazarsfeld sebenarnya menggunakan hasil pemikiran segi geografis pemilu dari Andre Siegfried (1913;1949) dan atas hasil penelitian Rice yang menyimpulkan bahwa : Perubahan perilaku memilih cenderung mengikuti arah predisposisi politis lingkungan sosial individu tersebut. Pengaruh terbesar berasal dari keluarga dan lingkungan rekan/sahabat. Menurut pandangan peneliti dalam studi ini, sebelum pemilu diadakan, masing-masing anggota diikat kepada predisposisi kelompoknya...seseorang berpikir politis sebagaimana ia berfikir secara sosial. Karakteristik sosial menentukan kecenderungan politis. (Roth, 2008 : 25) Sedangkan model penjelasan makrososiologis dari Lipset dan Rokkan mengacu pada konflik-konflik yang mendasar yang biasa muncul di masyarakat, misalnya konflik antara pemilih yang religius dengan yang tidak religius. Roth selanjutnya menyatakan bahwa :
26 Apabila ditinjau secara keseluruhan, maka pendekatan sosial struktural dapat memberi penjelasan yang sangat baik mengenai perilaku memilih yang konstan. Hal ini disebabkan baik karena kerangka struktural bagi masing-masing individu hanya berubah secara perlahan-lahan, maupun karena sistem partai yang ada memiliki stabilitas yang tinggi, hal mana kembali dipengaruhi oleh adanya konflik dasar yang sama secara terus menerus. Namun teori sosial struktural tetap tidak dapat memberi penjelasan mengenai penyebab pindahnya seorang individu kepada partai lain. (Roth, 2008 : 37). Peneliti dari Columbia University yang menjelaskan pemilu tahun 1940 dengan menggunakan model sosiologis menemukan bahwa status sosial ekonomi (pendidikan, pendapatan dan kelas), agama dan tempat tinggal (rural atau urban) sangat
berhubungan dengan pilihan seseorang. Mereka
mengkombinasikannya kedalam ―index of political predisposition‖ (IPP). Contohnya, Protestan dari rural area dengan status sosial ekonomi yang tinggi lebih cenderung memilih Partai Republik. Faktor-faktor kelompok sosial diperhitungkan sehingga akan menyebabkan pilihan yang berbeda. Namun model ini tidak mencoba untuk menjelaskan mengapa banyak orang Protestan yang memilih Republik dibanding Katolik. Artinya tidak memperhitungkan aspek-aspek politik dalam pemilu. (Carmines dan Huckfeldt ,1996:228). Riset dengan menggunakan pendekatan ini akan membawa peneliti ke arah bahwa seseorang dengan agama tertentu akan memilih partai X, misalnya orang yang beragama Islam akan memilih partai Islam, agama menjadi faktor yang mempengaruhi pilihan seseorang. Hasil pilihan seseorang dipengaruhi oleh agama, begitu pula apabila karakteristik lain diperhitungkan, maka riset akan memberi penjelasan variabel mana yang paling besar pengaruhnya dan variabel mana yang paling kecil pengaruhnya.
27 Pilihan individu bagi pendekatan ini sama dengan pilihan kelompok sesuai dengan karakteristik sosial yang melekat pada dirinya, namun seperti yang disinggung Roth bahwa pendekatan ini tidak dapat menjelaskan mengapa seseorang berpindah partai, atau seperti yang dikemukakan Carmines dan Huckfeldt mengapa orang Protestan memilih Republik. Intinya adalah faktorfaktor yang menyebabkan seseorang memilih suatu partai politik tidak dapat dijelaskan oleh pendekatan ini. Penulis setuju dengan pendapat Roth dan Carmines tersebut, belum lagi atribut yang melekat pada diri seseorang tidaklah tunggal. Dalam diri pemilih terdapat berbagai atribut yang melekat seperti jenis kelamin, agama, pendidikan, pekerjaan, tempat tinggal dan sebagainya. Bagaimana kita menentukan pilihan seseorang yang memiliki pendidikan yang sama, namun pekerjaannya berbeda ? atau kita dapat mengkombinasikan berbagai atribut lainnya yang melekat dalam diri pemilih. Atribut yang dipakai sebagai variabel yang mempengaruhi pilihan sangat terbatas, sehingga hasilnya tidak dapat digeneralisasi dalam skala yang luas. Menurut penulis, status sosial, agama dan tempat tinggal yang membentuk IPP dan sekaligus melekat pada diri seseorang tidaklah statis. Seorang individu yang meningkat atau menurun status sosial ekonominya, atau pindah agamanya atau pindah tempat tinggalnya apakah otomatis akan pindah juga pilihan partainya?. Apa yang penulis pahami tentang IPP, mengajarkan bahwa karakteristik sosial yang dimiliki individu akan mempengaruhi pilihan partai, sehingga IPP dapat menghasilkan pemetaan pemilih, seperti untuk kasus Indonesia misalnya seseorang yang tidak begitu religius, pendapatannya rendah
28 dan tinggal di daerah pinggiran kota maka pilihan partainya adalah PDIP. Pemetaan seperti ini masih mengundang perdebatan, dalam sebuah negara yang memiliki sistem multi partai seperti Indonesia, apalagi apabila tiap kali pemilu selalu ada partai politik baru yang hadir sehingga berubahnya pilihan partai sangat dimungkinkan. Keunggulan dari riset dengan menggunakan pendekatan ini dapat memprediksi pilihan politik berdasarkan karakteristik kelompok, sementara kelemahannya adalah mengabaikan hak individu untuk menentukan pilihan politik, kelompok menjadi dominan dalam menentukan pilihan seseorang. Kelemahan yang ada dalam pendekatan ini, dilengkapi oleh pendekatan psikologis yang dapat menjawab mengapa individu memilih suatu partai.
2. Pendekatan Psikologis Pendekatan ini lahir untuk melengkapi pendekatan sosiologis, yang menurut Campbell, dari segi metodologis agak sulit menentukan kriteria pengelompokan masyarakat (Kristiadi, 1994). Mazhab ini dikembangkan oleh University of Michigan’s Survey Research Center yang menerapkan paradigma dengan menekankan faktor individu. Menurut mazhab ini, voting ditentukan oleh tiga aspek: keterikatan orang pada partai politik tertentu (identifikasi partai), orientasi pada calon, dan orientasi pada isu-isu politik yang dimunculkan3. Ketiga faktor tersebut oleh Roth (2008) disebut trias
3
Tiga faktor tersebut merupakan produk dari sikap. Penganut pendekatan ini menjelaskan bahwa sikap seseorang –sebagai refleksi dari kepribadian seseorang- merupakan variasi yang cukup menentukan dalam mempengaruhi perilaku seseorang. Hal ini disebabkan, menurut Greenstein fungsi sikap yang merupakan fungsi kepentingan. Namun kemudian hubungan antara sikap dan perilaku banyak yang mempersoalkanya.
29 determinan. Lebih lanjut Roth menjelaskan bahwa menurut pendektan ini, persepsi dan penilaian pribadi terhadap sang kandidat atau tema-tema yang diangkat (pengaruh jangka pendek) sangat berpengaruh terhadap pilihan yang dijatuhkan. Selain itu, ―kenggotaan psikologis‖ dalam sebuah partai yang dapat diukur dalam bentuk variabel identifikasi partai (pengaruh jangka panjang), ikut mempengaruhi pilihan juga. Dengan demikian pilihan seseorang merupakan pengaruh dari jangka pendek dan jangka panjang. Lebih lanjut Austin Ranney menjelaskan bahwa perilaku memilih ada pada dua dimensi, ―…The first dimension is preferences—what make people prefer one party or candidate over other parties and candidates. And the second dimension is voting and non voting—what makes people decide to vote or not vote.‖ (Ranney, 1990 : 209) Sementara itu, ilustrasi tentang perilaku memilih digambarkan oleh Campbell, Converse, Miller dan Stoke dalam The American Voter sebagai berikut: ―…They point out that when we ask people why they vote as they did in a particular election, few are likely to reply, ―because I have a high socio economics status‖ or ―because I live in suburb‖ or ―because my husband told me to‖. Most people will probably say, ―because I am republican‖ or ―because I don’t want my taxes raised‖ or ―because Bush has the experience we need‖. In orther words, most people think that they vote the way they do because of how they feel the political parties, the issues, and the candidates (Campbell et al., in Ranney, 1990: 210). Secara sederhana, kita katakan bahwa kemudian seseorang memutuskan untuk memilih dikarenakan ditentukan perasaannya tentang partai politik, isuisu, dan kandidat itu sendiri. Apakah benar sikap mempengaruhi perilaku ? Sebab belum tentu orang yang sikapnya menyukai partai tertentu dalam memilih nanti akan memilih sesuai dengan posisi sikapnya(Asfar, 2006 : 142-143).
30 Mereka percaya bahwa memilih adalah hak individu. Identifikasi partai merupakan dasar untuk menentukan pilihan. Namun, pengambilan keputusan untuk memilih apa atau yang mana pada saat pemilu tetap ditentukan oleh dua faktor, yaitu kemampuan partai merumuskan isu-isu dalam masyarakat dan kandidat yang ditampilkan untuk menangani isu-isu tersebut. Kedua faktor terakhir ini, menurut Fiorina(1984), dapat mengubah arah pengaruh: dari identifikasi partai yang menentukan corak pilihan berubah menjadi corak pilihan yang sebaliknya menentukan identifikasi partai. Selanjutnya, Fiorina menyatakan bahwa identifikasi ke satu partai itu sebenarnya merupakan keputusan yang berkembang berdasarkan pada identifikasi partai terdahulu (past party identification), penilaian-penilaian penampilan partai di masa lalu (retrospective evaluations of performance), dan harapan-harapan terhadap partai itu di masa mendatang (future expectations). Dengan demikian, identifikasi terhadap partai terbilang bersifat dinamis: ia dapat berkembang dan berubah dari waktu ke waktu. Berdasarkan hasil temuannya itu, Fiorina berusaha melakukan rekonstruksi atas pemikiran Kelompok Michigan. Terdapat sinyalir darinya bahwa identifikasi ke partai merupakan hasil dari paparan sosialisasi politik para kandidat terhadap para pemilih, pemahamannya akan sejarah bangsanya, dan pemahamannya akan peristiwa politik yang sedang berlangsung. Dengan demikian, sebelum identifikasi partai dilakukan dengan menggabungkan interaksi isu jangka pendek maupun isu jangka panjang yang ditawarkan para kandidat, terlebih dahulu para pemilih telah mengakses pengaruh dari
31 sosialisasi, sejarah, dan peristiwa politik. Pengembangan model kelompok Michigan tersebut dapat digambarkan sebagai berikut:
Gambar 1.3 Pengembangan Model Kelompok Michigan
SosPol
Sejarah
Is. Pol
Id. Partai
Kep.Pil
Isu Politik Masa kini Is. Kand
Keterangan : SosPol : Sosialisasi Politik Sejarah : Pemahaman akan sejarah I.P.K : Isu Politik Masa Kini Is. Pol : Isu Politik secara umum Is. Kand : Isu seputar kandidat yang ditampilkan Kep. Pil : Keputusan untuk memilih Sumber : Imawan, 1993 Dari diagram di atas terlihat bahwa kunci utama bagi satu partai untuk memelihara keterkaitan anggotanya terletak pada interaksi antara tiga antesenden variabelnya. Nilai-nilai
yang disosialisasikan harus sesuai
pengalaman sejarah yang dipahami. Nilai-nilai itu juga harus dapat menyediakan landasan yang cukup kuat agar dapat digunakan untuk menginteprestasikan isu-isu politik yang berkembang karena inteprestasi itu sendiri sebenarnya tidak pernah lepas dari pengalaman sejarah. Bagaimanapun, kuatnya ketiga variabel anteseden ini tidak menjamin seseorang yang secara formal berafiliasi ke satu partai akan memberikan
32 suaranya pada partai itu. Keputusan memberi suara akan masih tergantung pada perkembangan isu politik secara umum, serta penampilan, atau kemampuan kandidat dalam menangkal atau mengantisipasi isu-isu tersebut (Imawan, 1993). Pappi (1996) menyebut Fiorina sebagai revisionis yang menjembatani pendekatan psikologis dan ekonomi politik, hal ini diakrenakan Fiorina dianggap berhasil dalam mengkombinasikan pemikiran Key dan Downs dan identifikasi partai sebagai jantungnya pendekatan psikologis, menjadi apa yang disebut memilih secara retrospektif (Roth, 2008). Dasar pemikiran Fiorina tidak hanya mempertimbangkan pemilihan yang retrospektif dan prospektif (Key dan Downs), namun juga merekontruksi pemikiran Michigan seperti yang sudah diuraikan di atas. 3. Pendekatan Pilihan Rasional Pendekatan memilih secara rasional bertumpu pada perhitungan biaya dan manfaat (cost and benefit). Pendekatan ini berkeyakinan, bahwa yang menentukan pilihan seseorang bukanlah ikatan sosial struktural atau ikatan partai yang kuat, melainkan hasil dari penilaian warga yang cakap (Roth, 2008). Roth yang mengutip dari V.O. Key menyatakan, Key menuding bahwa pendekatan sosiologis dan pendekatan psikologis merendahkan rasionalitas manusia. Menurut Key, masing-masing pemilih menetapkan pilihannya secara retrospektif, yaitu dengan menilai apakah kinerja partai yang menjalankan pemerintahan sudah baik bagi dirinya dan bagi negara, atau sebaliknya. Bila penilaianya positif akan dipilih kembali, sebaliknya bila negatif tidak akan dipilih lagi. Keputusan pemilih yang
33 rasional senantiasa berorientasi kepada hasil yang dicapai partai atau kandidat, sesuai dengan yang dipersepsikan atau diantisipasi oleh pemilih. Karya klasik dalam rational choice lainnya yang lebih terkenal datang dari Anthony Downs (1957) yang
menyatakan rasionalitas sebagai keterlibatan
pemilih untuk mencapai tujuan dengan cara yang masuk akal.
Dengan
mengambil dari teori ekonomi, cara yang masuk akal tersebut adalah seseorag dihadapkan dengan tujuan yang ingin dicapainya, dengan menggunakan pengetahuan terbaiknya, bagaimana menggunakan sumberdaya sekecil mungkin untuk memperoleh hasil yang bernilai (Evans, 2004 : 71). Selanjutnya Evans membuat interpretasi atas pernyataan Downs tersebut dengan mengatakan : ketika dihadapkan dengan pengambilan keputusan yang dilatarbelakangi oleh kepentingan, individu yang rasional sangat tertarik untuk menggunakan biaya yang efektif sebagai alat untuk memaksimalkan tujuantujuannya. Apabila kita menempatkan nilai numerik baik untuk alat maupun tujuan, kemudian nilai dari tujuan harus melebihi harga dari alat, maka individu yang rasional akan mengambil keputusan yang dapat memaksimalkan tujuannya. Menurut Downs, terdapat lima kriteria individu yang rasional, yaitu : 1. Individu mampu membuat keputusan ketika dihadapkan dengan rentang dari berbagai alternatif; 2. Individu mampu untuk merangking preferensinya secara berurutan; 3. Rangking preferansi diurutkan secara transitive (misalnya : preferensi alternatif 1 lebih besar dari alternatif 2, alternatif 2 melebihi alternatif 3, dan
34 seterusnya, secara konsekuen dia harus mengutamakan alternatif 1 dibanding alternatif 3); 4. Individu selalu memilih alternatif yang diutamakan; 5. Apabila dihadapkan dengan nilai-nilai alternatif yang berbeda pada saat yang bersamaan, individu akan membuat keputusan yang sama. (Evans, 2004 : 71). Downs menekankan bahwa hanya motivasi eknomi dan politik yang dapat dikatakan sebagai pengambilan keputusan yang rasional. Ia khawatir kalau motivasi pilihan meluas karena tekanan keluarga, klientelisme dan semacamnya dipakai sebagai pintu masuk untuk menjadi pemilih rasional, karena motivasi seperti ini tidak memperlihatkan pilihan yang memaksimalkan kepentingannya. Downs emphasises that, in term of voting, only political dan economic motivations to voting decision should be regarded as rational. His fear is that, if broader motivation such as family preasures, clientelism and the like are introduced, the explanatory framework becomes tautological- in this case, individuals are not voting to maximize their utility, but instead are employ [ing] a political device for non political purpose. (Evans, 2004 : 72). Pemilih yang rasional akan memperhatikan program partai yang dapat memenuhi kebutuhannya, sehingga ia akan mempertimbangkan program partai mana yang menurutnya mendekati kepentingannya, inilah yang disebut dengan spatial voting. (Evans, 2004 : 95). Evans mengilustrasikan spatial voting pada pemilih yang dihadapkan pada pilihan dua partai politik. Pemilih ini cenderung menginginkan anggaran yang tinggi untuk pemeliharaan kesehatan publik dan anggaran yang rendah untuk pertahanan. Dalam kampanye pemilu, partai pertama menjanjikan anggaran yang tinggi untuk pemeliharaan kesehatan yang dikelola oleh pemerintah dan anggaran yang tinggi pula untuk pertahanan. Partai
35 kedua menjanjikan anggaran yang rendah untuk pemeliharaan kesehatan dan pertahanan. Apabila kedua isu tersebut sama pentingnya bagi pemilih, maka ia mempunyai permasalahan dalam voting : kedua partai memberikan outcome yang ia inginkan dan outcome yang tidak ia inginkan. Jika tidak ada kriteria lain yang membuat pikirannya berubah, pilihannya terhenti. Kita tahu bahwa ia lebih peduli pemeliharaan kesehatan untuk mendapatkan suntikan dana yang berlebih dibanding pertahanan, maka ia akan memilih partai yang pertama. Hal itu bukanlah pemilih yang memlih secara ideal, tetapi tentunya yang terbaik dari dua yang ditawarkan. Pertimbangan seperti ini disebut dengan spatial voting. Teori ini berasumsi bahwa terdapat matriks jarak antara posisi pemilih atas kebijakan dan isu, dan posisi partai secara bersamaan. Menurut Downs yang dikutip oleh Roth (2008 : 48), pemilih yang rasional hanya menuruti kepentinganya sendiri atau mendahulukan kepentingan sendiri diatas kepentingan orang lain, inilah yang disebut dengan self-interest axiom. Manusia bertindak egois –menurut Downs manusia seperti ini merupakan sosok-sosok heroik- karena mereka ingin mengoptimalkan kesejahteraan material yaitu menambah harta mereka. Jika ini diterapkan pada perilaku memilih, maka pemilih yang rasional akan memilih partai yang paling menguntungkan bagi dirinya. Pemilih tidak terlalu tertarik kepada konsep sebuah partai, melainkan kepada keuntungan terbesar yang dapat ia peroleh apabila partai pilihannya menduduki pemerintahan. Untuk dapat menghitung keuntungan ini (utility maximation), pemilih harus memiliki informasi mengenai
36 kegiatan partai di masa lalu dan apa yang mungkin dilakukannya di masa mendatang. Pemikiran Downs, bahwa manusia bertindak egois
dalam memilih
ditentang oleh Edlin, Gelman dan Kaplan (2005) dalam tulisannya yang berjudul Voting as Rational Choice : the effect of the preferences regarding the well being of others. Mereka berargumen bahwa pemilih rasional versi Downs adalah pemilih yang selfish, versi pemilih rasional menurut mereka adalah pemilih yang melihat outcome pemilu sebagai konsekuensi sosial bukan konsekuensi yang langsung berkaitan dengan pemilih, artinya sisapapun pemenangnya peduli dengan permasalahan orang banyak. Mereka pun mengambil data penelitian pemilu tahun 2001 di Inggris (Universitas Essex, 2002) yang memperlihatkan hanya 25% responden yang berfikir bahwa pemilu sebagai aktifitas politik berguna bagi dirinya dan keluarganya, sementara 66% menyatakan bahwa pemilu berguna untuk peduli terhadap orang-orang yang pensiun dan penyandang cacat. Mereka menjelaskan bahwa pemilih berpikir dalam konteks keuntungan kelompok dan bangsa. Dengan demikian motivasi sosial masuk akal bagi banyak orang untuk memilih, sebagaimana sumbangannya untuk entitas kolektif. Dalam survey, pemilih mengatakan termotivasi oleh kondisi sosial, untuk itu mereka mengusulkan pemilih yang rasional dengan memiliki motivasi sosial. Selanjutnya istilah pemilih motivasi sosial akan dipakai oleh penulis sebagai dukungan atas konsep mereka.
37 Temuan survey membuktikan bahwa voting dimotivasi oleh keuntungan sosial, banyak pemilih yang mengatakan pilihan mereka sangat dipegaruhi isu non ekonomi, dengan kata lain isu ekonomi tidaklah mempengaruhi secara langsung. Preferensi pemilih terhadap kandidat dan isu nasional sangat kuat korelasinya dengan pandangan terhadap negara, dan korelasinya semakin lemah dengan pendapat tentang tujuan personal. Dengan demikian, pemilih memiliki preferensi motivasi sosial. Bila Edlin., et al menentang konsep pemilih rasional yang ―selfish‖ dengan menggantinya menjadi pemilih rasional yang memiliki motivasi sosial, maka Pappi (1996) yang mengutip dari Lidenberg (1990) justru mendukung konsep Downs dari segi pengolahan informasi. Lidenberg mengatakan temuan psikolog kognitif tentag ―schemata‖ telah
memberi konseptualisasi baru
terhadap ―rational choice‖ yang lebih realistik. Konsep skema (schemata) dan
dikembangkan oleh psikolog kognitif
(Hastie 1986; Kahnman dan Tvesky 1982) dan sering diterapkan untuk penelitian voting dan opini publik (Sniderman 1993; Lyngar 1991). Menurut Kuklinski et al, konsep ini menolong individu dalam pengolahan informasi. Pappi menjelaskan, masyarakat di negara demokrasi modern terus menerus terkena aliran informasi politik dari media massa, dari diskusi di kehidupan mereka setiap hari, dan sebagainya. Tidak semua orang tertarik dalam politik sepanjang waktu, beberapa orang mungkin memiliki kesulitan menyimpulkan dari berita tentang urusan dalam negeri, kesulitan untuk menyimpulkan tentang peran partai dan konsekuensi untuk preferensi partai mereka. Informasi yang
38 bisa relevan dalam situasi ini adalah: ―schemata‖, untuk memproses dan mengambil
informasi
politik;
―mekanisme
pembingkaian‖,
menyederhanakan evaluasi partai, dan "evaluasi retrospektif"
untuk kinerja
pemerintah. Penulis sepakat dengan konsep motivasi sosial dan konsep skema. Kedua konsep ini selanjutnya akan dipakai untuk menganalisis data yang diperoleh dari responden. Anthony Downs adalah analis pertama yang memberikan perhatian serius terhadap masalah informasi politik di media massa pada negara-negara dengan wacana demokrasi modern. Dengan alasan bahwa ongkos untuk menjadi seseorang yang melek informasi isu-isu politik terbilang memberatkan dibandingkan keuntungan yang diperoleh melalui aktivitas tersebut, Downs menyatakan bahwa aktivitas tersebut termasuk irasional bagi sebagian besar penduduk. Carmines dan Huckfeldt (1998) menyatakan keseluruhan biaya-biaya yang dikeluarkan seseorang menunjukkan bahwa adalah sangat berat dan sulit untuk menjadikan seseorang political informed. Downs berpendapat, investasi waktu, perhatian, dan sumber daya diperlukan untuk menjadikan sebagian besar penduduk politically informed. Untuk itu, penduduk yang rasional memiliki insentif yang kuat dalam membangun penolakan atas biaya-biaya yang diperlukan untuk memperoleh informasi. Demi meminimalisir pengeluaran, mereka juga semestinya dapat secara mandiri membangun jenis informasi dan mengumpulkan serta menggunakan
setiap informasi (short-cut) kemudian
menggunakan informasi hasil short-cut tersebut.
39 Hasil short-cut tersebutlah yang akan membawa penduduk untuk membuat keputusan politik dan membentuk preferensi politik tanpa perlu terhambat dalam menjadi fully informed mengenai isu politik secara mendetail. Singkatnya, penduduk tetap berpeluang menjadi minimally informed—dengan setidaknya mengelola secuil informasi (informed nontheless)--dan secara nyata hal inilah yang terjadi pada kebanyakan penduduk. Individu-individu tersebut dapat mengambil keputusan secara heuristik, yaitu dengan penerapan cognitive shortcut—menghindari masalah yang kompleks sehingga menjadi lebih sederhana—untuk membuat keputusan. Menurut Robertson, perilaku memilih tergantung pada rasionalitas seseorang. Ia mengatakan ada dua faktor bagi partai politik agar dapat dipilih oleh pemilih rasional, yaitu: a. Untuk dipercaya pemilih, partai harus dapat ―dipertanggungjawabkan‖ dan ―dapat dipercaya‖ dalam melaksanakan program-programnya sehingga perilaku partai tersebut merupakan arahan bagi pemilih untuk menjatuhkan pilihannya pada partai tersebut, di mana dengan demikian pemilih tentunya akan berharap janji-janji partai tersebut dapat dipenuhi. Pertimbangan jenis ini jauh lebih penting sebab pemerintahan yang baru terbentuk melalui pemilu memanglah bertugas sebagai ―problem solving‖ dan konsekuensinya pemilih perlu berpikir dua kali sebelum mendukung partai yang menawarkan janji. b. Adanya fenomena yang dinamakan dengan ―Downsian model‖ atau ―safe seat‖. Safe seat adalah kedudukan yang aman dan dikehendaki seseorang (safe voter) bila dia memilih suatu partai politik. Safe voter harus
40 mengonsentrasikan diri pada beberapa kedudukan, jadi ia memilih partai politik karena partai politik tersebut dapat mengamankan kedudukannya. Kadang-kadang, pemikiran seperti ini tidak bisa dipahami oleh orang lain yang berbeda kepentingan dengannya, karenanya mereka kerap akan dilihat sebagai pemilih yang tidak rasional. (Robertson, 1976:35-36) Fiorina yang menjadi jembatan antara pendekatan psikologis dan ekonomi politik meyatakan mencari informasi politik dan memilih dalam pemilu tidaklah dilakukan oleh kalkulasi rasional yang berjangka pendek, mencari informasi politik dan memilih mempunyai nilai yang instrinsik. Contoh sederhananya, seseorang melaksanakan kewajiban sebagai warga negara sebab mereka menyukainya atau mereka tidak mau kelihatan bodoh saat makan siang bersama teman-temannya. (Carmines dan
Huckfeldt
,1996:225-226). Selain Fiorina, Redlawsk (2006) juga mengemukakan kekurangan yang ada dalam rational choice. Dengan mengutip dari Lupia, McCubbins, and Popkin (2000) bahwa perspektif ekonomi klasik memandang mahluk rasional (Homo economicus) sebagai kalkulator yag maha tahu, atau Redlawsk menyebutnya ensiklopedia berjalan. Model rational choice berasumsi manusia secara sadar dan eksplisit mempertimbangkan konsekuensi (baik positif maupun negatif) untuk kepentingan mereka dari tiap tindakan alternatif yang dilakukan. Lebih banyak informasi selalu lebih baik daripada sedikit informasi,
manusia selalu benar dengan perhitungannya. Dalam realitas
41 sangat sulit membayangkan manusia seperti gambaran rational choice, karena tidak semua orang memiliki informasi yang lengkap. Terhadap pendekatan psikologis, Redlawsk pun menyerang identifikasi partai yang menurutnya untuk melihat lebih jauh bahwa identifikasi partai yang tetap stabil pada individu, dalam realitasnya sulit untuk terus menerus memonitor aktivitas partai yang diikuti seseorang- fakta menunjukkan warga Amerika pada umumnya kekurangan informasi politik. Selain itu, banyaknya informasi politik biasanya dipandang sebagai hal yang sia-sia dan biasanya diperoleh secara tidak sengaja, dan sebagian besar penduduk hanya mempelajari hal-hal yang mendasar dari isu-isu yang menonjol melalui pemberitaan di media. Lebih jauh lagi, persepsi atas informasi politik sering bias oleh predisposisi sebelumnya, dan pemilih termotivasi untuk memelihara keyakinan mereka sebelumnya. Peneliti Michigan tidak mengatakan banyak tentang tingkat atau jumlah informasi yang dicari, sebenarnya mereka mengharapkan banyak pemilih untuk mempunyai sejumlah informasi yang tepat tentang kandidat pada pemilu presiden. Contohnya Miller dan Shanks (1996) menggambarkan tahapan proses keputusan sebagai berikut : 1. Manakala predisposisi partisan dan posisi kebijakan (secara ideologi) mempengaruhi preferensi kebijakan
dan persepsi kondisi saat ini
(sebagian besar ekonomi). 2. Hasil dari nomor 1 di atas, selanjutnya mempengaruhi evaluasi restrospektif atas kinerja kandidat incumbent.
42 3. Nomor (1) dan (2) tersebut secara bersama-sama mempengaruhi persepsi atas kualitas personal kandidat, dan mempengaruhi evaluasi prospektif atas kandidat dan partai. Tiga tahapan inilah yang menentukan pilihan. Ketiga tahapan tersebut memerlukan banyak informasi, meskipun pertimbangan terbatas pada dua kandidat. Jadi, informasi yang ―dikumpulkan‖ ( nampaknya pasif dibanding mencari) harusnya relatif mendalam, dan sangat memungkinkan terdistribusi secara tidak seimbang. Singkat kata, Redlawsk mengkritik pendekatan psikologis karena dalam tahapan pengambilan keputusan tidak secara eksplisit menyebutkan pentingnya mencari informasi yang lengkap bagi pemilih. Redlawsk tidak mengkritik atau mendukung pendekatan soiologis, tapi ia memakai karakteristik sosial sebagai salah satu variabel anteseden dalam modelnya. Bila pendekatan tradisional lebih menekankan faktor-faktor yang menjadi latar belakang seseorang untuk memilih atau tidak, maka model keempat—model keputusan memilih di bawah ini lebih menekankan karakteristik pemilih berdasarkan proses pengambilan keputusan (Lau dan Redlawsk, 2006: 7-14). 4. Pendekatan Keputusan Bertindak Riset keputusan bertindak (behavioral decision theory) membicarakan bagaimana keputusan dibuat dengan pencarian informasi dan dengan strategi membuat
pilihan.
Dalam
pencarian
informasi,
Lau
dan
Redlawsk
mengemukakan jenis-jenis informasi kedalam 5 kelompok yang biasanya dikumpulkan oleh pemilih (2006 : 102) :
43 1. Informasi Personal, termasuk latar belakang kandidat, kepribadian, foto kandidat dan pekerjaan atau kinerja kandidat. 2. Hoopla and Horse Race, termasuk hasil poling, slogan kampanye dan laporan-laporan yang berkaitan dengan strategi kampanye. 3. Isu,
termasuk isu ekonomi yang biasanya dipertahankan para kandidat,
kebijakan luar negri, dan bermacam-macam isu sosial lainnya. 4. Partai, pemebritaan yang berkaitan dengan afiliasi partai. 5. Endorsements,
pemberitaan
tentang
kandidat
yang
didukung
oleh
kelompok-kelompok kepentingan. Bagaimana keputusan dibuat dengan pencarian informasi menurut Lau dan Redlawsk, dengan melihat faktor-faktor yang memengaruhi pilihan, sesuai alur behavioral decision theory (BDT), sebagai berikut: Gambar 1.4 : Alur Pengambilan Keputusan Memilih
Pengetahuan/Pengalaman Dalam Politik Memori
Latar Belakang Pemilih
Mempertimbangkan Pilihan
Evaluasi, Pilihan Memilih
Pengolahan Informasi Faktor-faktor Kampanye
Sumber: Lau dan Redlawsk, 2006: 22
44 Uraian tentang gambar di atas yang peneliti ambil dari Lau dan Redlawsk (2006: 37-42) diringkas dan diterjemahkan secara bebas oleh peneliti sebagai berikut: Latar Belakang Pemilih Latar belakang seseorang, seperti terdiri atas kemampuan kognitif, pendidikan, jenis kelamin, etnis, partai, dan identifikasi ideologi biasanya dipakai sebagai faktor-faktor yang memengaruhi pilihan seseorang. Namun, dalam model ini latar belakang atau karakteristik seseorang merupakan anteseden variabel bagi pengalaman politik dan bagaimana ia kemudian mempertimbangkan pilihan. Pengetahuan/Pengalaman Politik Jumlah pengetahuan, pengalaman, atau keahlian individu merupakan pertimbangan utama dalam proses pengolahan informasi untuk pengambilan keputusan. Dengan kata lain, seseorang yang ahli mempunyai lebih banyak pengetahuan dibandingkan yang tidak ahli. Mereka dapat membedakan tandatanda yang relevan untuk kepentingan menentukan keputusan, seperti yang dikutip Lau dan Redlawsk dari Shanteu (1992). Dengan mengutip dari Payne, Bettman, dan Johnson (1993), Lau dan Redlawsk menyatakan bahwa pengalaman dalam mengambil keputusan secara dominan berefek terhadap frekuensi dan ketepatan waktu ketika strategi pengambilan keputusan digunakan, strategi seperti ini akan lebih tersimpan dalam memori. Menurut Shanteu (1988) yang dikutip Lau dan Redlawsk, mereka yang ahli akan mencoba untuk belajar dari keberhasilan dan kegagalan sebelumnya, dan juga
45 cenderung untuk menerima kesalahan kecil dalam membuat keputusan tapi menolak kesalahan besar. Faktor-Faktor Kampanye Faktor kedua yang menentukan terbentuknya keputusan sementara secara alami adalah situasi atau konteks yang dihadapi ketika kampanye, yang dalam Ilmu Psikologi disebut sebagai ―tuntutan tugas‖ (task complexity). Task complexity diartikan sebagai jumlah alternatif yang harus dipertimbangkan terutama ketika dihadapkan pada variasi atribut yang berbeda. Ketika dipertimbangkan sebagai ukuran ―tugas‖ atau kompleksitas yang konstan, pemilih akan dihadapkan pada situasi yang lebih sukar untuk menentukan pilihan ataupun mengambil keputusan. Salah satu faktor yang menjadi karakteristik dalam keputusan politik adalah keterbatasan waktu (time pressure) yang bisa saja memengaruhi proses pengambilan keputusan dari segi akurasi dan efisiensi. Bila dihadapkan pada keterbatasan waktu, kemungkinan pengambil keputusan akan mempercepat proses pembuatan keputusan, seperti misalnya dengan jalan mengurangi jumlah informasi yang dipertimbangkan dan lebih memfokuskan pertimbangan bergantung pada faktor-faktor yang memang sangat penting, atau bahkan mereka dapat mengubah strategi keputusan dari yang penuh pertimbangan (compensatory) menjadi tidak menggunakan pertimbangan (noncompensatory). Faktor lain yang membuat sulitnya proses pengambilan keputusan adalah kesamaan dari beberapa alternatif (similarity of the alternatives). Ketika beberapa alternatif yang ditawarkan memiliki perbedaan karakteristik yang
46 kentara, tentulah akan mudah membedakannya, dan pengambil keputusan pun akan cenderung lebih percaya diri untuk mengambil keputusan. Ketika alternatif hadir dengan banyak kesamaan, kedalaman dalam penggalian informasi pun tentunya akan sangat diperlukan, sebagaimana dikutip Lau dan Redlawsk dari Bockanholt (1991). Untuk itu, jalan keluarnya adalah response mode effects seperti dengan memilih, mengurutkan, dan mengevaluasi alternatif-alternatif tersebut. Mempertimbangkan Pilihan Dalam model yang ditawarkan Lau dan Redlawsk, semua materi yang bersifat kontekstual dikategorikan termasuk dalam ―faktor-faktor kampanye‖ yang akan selalu ada dalam pemilu. Namun, bagaimanapun, tuntutan faktorfaktor kontekstual yang bermacam-macam tersebut nantinya akan kembali tergantung pada keahlian politik (political expertise)—di mana seseorang yang ahli harus menemukan lingkungan dengan tuntutan lebih minim dibandingkan mereka yang tidak ahli (novices). Dengan demikian, ―keahlian‖ dan faktor kampanye, dibarengi dengan latar belakang karakteristik pemilih, akan berkombinasi membentuk persepsi subjektif pemilih untuk mempertimbangkan pilihan (the nature of the voting task). Semakin pilihan-pilihan tersebut terasa memberatkan, secara subjektif pun para pemilih akan merasa semakin sukar untuk menentukan keputusan. Meski demikian, semakin berpengalaman pengambil keputusan, semakin mudahlah mereka akan menjalani proses penentuan keputusan tersebut.
47 Pengolahan Informasi Subjektivitas dalam proses penentuan keputusan pada gilirannya akan berdampak
pada
proses
pengolahan
informasi—terdiri
dari
upaya
mengumpulkan informasi, yang juga berkaitan dengan tipe informasi yang mereka kumpulkan, dan aturan-aturan dalam penentuan keputusan, terutama ketika mengombinasikan informasi tersebut. Seseorang dengan pengetahuan mumpuni dalam politik akan menyadari cara-cara menerima informasi dan mengombinasikannya ke dalam pilihan, dibandingkan dengan mereka yang tidak memiliki cukup pengetahuan perihal politik. Singkatnya, hipotesis bahwa semakin penting suatu keputusan bagi pengambil keputusan, semakin dia akan termotivasi untuk membuat keputusan yang akurat terbilang cukup beralasan. Karena itu, pencarian informasi haruslah mendalam agar mereka dapat mengambil keputusan yang terbaik. Memori Dalam model ini, metode proses informasi akan menghadirkan dua konsekuensi utama, yaitu: 1. Pola penerimaan informasi harus berpengaruh, baik secara kuantitas maupun perhitungan akurasi memori, meski tidak dengan cara yang sama, contoh: kedalaman informasi secara positif berhubungan dengan jumlah memori. 2. Penelitian terhadap kandidat (candidate search) akan lebih melekat dalam memori dibandingkan penelitian terhadap atribut-atributnya, akan tetapi rangkaian kedua hal tersebut akan membuat memori akan lebih mudah
48 mengakses informasi, dibandingkan penelitian yang dilakukan sembarangan saja. Evaluasi kandidat dan Pilihan Memilih Akhirnya, variabel proses informasi yang diperoleh dan memori yang telah melekat pada diri pemilih akan berkombinasi demi menentukan evaluasi kandidat, dan pada akhirnya menentukan pilihan. Secara teoretis, ukuran-ukuran dari keberhasilannya adalah kedalaman (depth), keterangkaian (sequences),dan perbandingan atas berbagai alternatif yang tersedia. Dalam tulisan ini, perlu juga ditentukan pembeda antara evaluation (or judgment) dan choice (selecting from set of alternative). Evaluation melibatkan penilaian atas entitas tunggal dengan beberapa dimensi, contoh: betapa menarik/lucu/disukai/pintar orang itu. Choice,sebaliknya, justru melibatkan hanya sebuah pilihan dari dua atau lebih alternatif (discrete alternatives): minum obat apa, siapa yang dinikahi, kapan pensiun, kandidat mana yang didukung dalam pemilu, dan sebagainya. Lau dan Redlawsk selanjutnya mengemukakan 4 kategori pemilih yang diambil dari strategi pengambilan keputusan.
Strategi tersebut membedakan
bagaimana kesulitan secara kognitif dihadapi oleh pemilih, berapa banyak informasi yang tersedia dipertimbangkan, aturan dalam mempertimbangkan informasi, dan semua kemugkinan mencapai keputusan yang terbaik. Dengan mengutip dari Billing and Marcus (1983) dan Ford et al (1983), Lau dan Redlawsk menyatakan bahwa hal utama untuk mengkategorikan strategi keputusan dengan cara apakah pemilih mengkonfrontasikan atau menolak konflik. Apabila satu alternatif dianggap benar, dan satu alternatif tersebut mendominasi
49 berbagai alternatif lainnya, maka tidak akan ada konflik. Apabila ada satu alternatif yang dianggap benar, begitu juga dengan alternatif lainnya, maka secara potensial mengandung konflik. Keputusan dengan kondisi seperti itu dapat dilihat dari salah satu strategi di bawah ini :
Compensatory strategies are cognitvely complex information integration rules where decision makers are assumed to assign a value to every salient attribute associated with each alternative. Some of those values can be positive, and other negative, but when they are combined into an overall evaluation or decision, a positive value on one dimension can compensate for or trade off against a negative value on another dimension. Conflict is confronted and resolved in the process of integrating the positive and negative information or value associated with a choice. Compensatory strategies require commensurable outcomes or values: The only way the value associated with two different attribute can be traded off is if they both somehow can be compared on the same dimension. Generally, analysts the concept of ―utility‖ in order to allow this trade offs to be made. Our models 1 and 3 (and at least on the face of it, model 2 as well) involve compensatory decision making. Noncompensatory strategies, on the other hand, rely on incomplete search to avoid conflicts. Negative values on one attribute or possible outcome do not trade off agains positive values on another attribute or outcome; instead, alternatives are usually eliminated once negative information about them is obtained. Incommensurability is not a problem because no trade off are made. A great deal of research has shown that most decision makers, most the time, try to avoid value tradeoff (Hogarth, 1987). They are time-consuming, cognitively difficult, at the extremes (e.g. Sophie’s choice), emotionally draining. But this avoidance has a potential cost: less accurate or ideal decisions. Noncompensatory decision strategies are at the heart of Model 4.(Lau dan Redlawsk, 2006 : 30-31)
Selanjutnya, Lau dan Redlawsk membuat model proses pengambilan keputusan, yaitu: a. Rational Choice: Dispassionate Decision Making Pendekatan ini menggambarkan bagaimana pengambil keputusan memiliki jaminan dalam memaksimalkan nilai-nilai dan keputusannya. Dia akan mengevaluasi kandidat dengan harapan pilihannya kelak dapat
50 memenuhi kepentingan pribadinya tiap kali pemilu berlangsung. Orang tersebut tentunya tahu banyak tentang politik karena dengan pekerjaannya ia dengan mudah dapat memperoleh informasi. Menurut pendekatan ini, pemilih ditempatkan sebagai manusia yang adalah mahluk ekonomi (Homo Economicus). Lau dan Redlawask berpendapat, meski ada orang yang menyediakan informasi, orang dengan tipe rasional seperti ini tidak akan mudah menerimanya. Dia akan mempertanggungjawabkan secara logis, meski hal tersebut memerlukan waktu, dia akan dengan senang hati melakukannya sehingga dianggapnya kegiatan tersebut sebagai sesuatu yang produktif. Informasi tentang kandidat dipelajarinya sesuai dengan pengalamaannya, tapi manakala ongkos untuk memperoleh informasi melebihi anggaran yang ada, dia akan berhenti untuk menaruh perhatian pada hal tersebut, misalnya dengan cara berhenti terlibat dalam kampanye. Berdasarkan uraian tersebut, Gigerenzer dan Todd (1999) seperti yang dikutip Lau dan Redlawsk, menyebutnya sebagai ―proses mengoptimalisasikan pilihan di bawah tekanan‖. Artinya, dengan anggaran terbatas, seseorang mesti berusaha untuk memperoleh informasi dengan optimal. Baik di bawah tekanan ataupun tidak, model ―rational choice‖ berasumsi bahwa seseorang secara sadar dan eksplisit mempertimbangkan konsekuensi positif dan negatif untuk memenuhi kepentingannya masing-masing dalam menentukan pilihan dari tiap-tiap alternatif yang ada.
51 b. Early Socialization and Cognitive Consistency: Confirmatory Decision Making Pendekatan
ini menyatakan bahwa sebagian besar penduduk relatif
sedikit mengetahui politik formal dan bahkan tidak peduli pada hal-hal seputar politik. Tiga hal yang menjadi faktor berpengaruh dalam penentuan keputusan adalah karakteristik partai politik, isu, dan evaluasi penampilan kandidat Pada model keputusan ini, pelajaran sedini mungkin terkait identifikasi sosial (early-learned social identification) memberikan pengaruh pada keputusan memilih, identifikasi yang dilakukan sejenis dengan alternatifalternatif lainnya yang juga ditentukan tidak dengan banyak pertimbangan. Untuk itu, identifikasi kerap kali dilakukan lantaran pertimbangan atas kondisi-kondisi tertentu daripada pertimbangan atas kepentingan pribadi yang dapat dikalkulasikan secara rasional. Karenanya, pengambilan keputusan untuk memilih dalam kategori ini lebih sering dipengaruhi aspek-aspek psikologis sehingga keputusan dibuat karena sudah ada ―keputusan yang tetap‖. Karakteristik yang dimiliki oleh pemilih dalam pendekatan ini dikategorikan pasif karena dalam situasi ini bisa dibilang informasi yang memegang kendali. Karenanya, untuk mengatasi situasi ini, pemilih diharuskan mempelajari afiliasi partai dari kandidat dalam tempo secepat mungkin. Pemilih hanya mencari informasi tentang kandidat dari partainya dan tak begitu mempertimbangkan informasi dari partai oposisinya. Hal ini tentu bertentangan dengan model pertama yang mengupayakan pencarian
52 informasi secara seimbang. Meski saat menyebutkan situasi ini peneliti Michigan tidak membahas tingkat atau jumlah informasi yang diperoleh pemilih, tetapi adalah jelas pemilih harus mempunyai alasan mendukung kandidatnya. c. Fast and Frugal Decision Making Bila model rasional digambarkan sebagai orang dengan keterbatasan waktu untuk terlibat dalam pencarian informasi politik, pembenarannya akan hal tersebut hanya akan mencakup kepentingan pribadinya, dan karenanya dalam model ini orang-orang dalam kategori ini digambarkan sebagai individu dengan cukup pengetahuan politik tetapi lantas menggantungkan pilihannya berdasarkan pertimbangan ekonomi, dalam artian dia akan berfokus pada ongkos untuk memproses informasi dibandingkan berfokus pada upaya untuk mengumpulkannya. Ilmuwan politik menyebutnya sebagai ―issue voters‖ (Misalnya Conover, Gray dan Coombs, 1982), sedangkan Carmines dan Stimson menyebutnya ―easy issues‖, dengan karakteristik bahwasannya ia akan mengakses isu jangka panjang dalam agenda politik, tetapi akses informasi tersebut hanya dijadikannya simbol dan bukan untuk dipergunakan secara teknis, di mana dalam konteks ini ia akan lebih mengandalkan kebijakan sebagai tujuan daripada alat. Sementara itu, ―hard issues‖ terbilang lebih teknis secara alami karena orang dengan akses informasi tipe ini akan mengandalkan instrumen yang sesuai untuk mencapai tujuan dengan nilai universal. Bagaimanapun, memilih berdasarkan ―easy issue voting‖ disebut sebagai pengambilan keputusan yang cepat dan hemat.
53 d. Bounded Rationality and Intuitive Decision Making Pemilih memiliki karakteristik sebagai orang dengan keputusan memilih yang didasarkan pada pengumpulan sedikit informasi yang diperolehnya selama kampanye. Karenanya, tidak ada kalkulasi sebagai akibat adanya perbedaan alternatif, tidak ada ragam warna informasi yang didasarkan pada predisposisi politik yang menilik dari tipe sebelumnya dikategorikan dapat dipelajari sedini mungkin, pun tidak perlu ia melakukan pertimbangan atau konfirmasi dengan pandangan orang lain. Keputusan untuk memilih bagi mereka akan muncul hampir secara otomatis. Karakteristik seperti ini disebut ―low information rationality‖ seperti yang disebut oleh Popkin, Sniderman, Brody dan Tetlock, sebuah pendekatan yang membuat seseorang mengambil keputusan untuk memilih tanpa banyak keuntungan. Model ini menekankan pengambilan keputusan berdasarkan intuisi. Pendekatan ini berargumentasi bahwa sebagian besar pembuat keputusan (termasuk pembuat keputusan politik) lebih memahami tugasnya dalam menentukan keputusan memilih sebagai respons yang bersifat semiotomatis, terutama ketika dihadapkan pada suatu kondisi di mana ia perlu menitikberatkan kalkulasi untuk mempertimbangkan keberadaan alternatif yang berbeda. Manusia dipandang sebagai individu dengan keterbatasan kognisi dan informasi, sehingga mereka akan cenderung membuat keputusan lebih sebagai ―intuitive manner‖. Sebagian besar pembuat keputusan dipandu hanya oleh
54 dua motivasi: keinginan untuk membuat keputusan yang baik dan keinginan untuk membuat keputusan yang mudah. Penulis melihat bahwa keempat model proses pengambilan keputusan tersebut dibuat berdasarkan perspektif rational choice, Michigan, easy issue voting, dan bounded rationality. Lau dan Redlawsk kemudian menyejajarkan bounded rationality dengan intuitive decision making. Menurut peneliti, bounded rationality dengan intuitive decision making tidak dapat disejajarkan, dalam bounded rationality pemilih masih memiliki alasan mengapa memilih kandidat tersebut, sedangkan dalam intuitive decision making, pemilih tidak dapat memberikan alasan apa pun tentang mengapa ia memilih kandidat tersebut. Karakteristik 1, 2 dan 3 masuk ke dalam kategori yang menggunakan strategi keputusan dengan compensatory (penuh pertimbangan), sementara karakteristik 4 masuk ke dalam strategi keputusan yang bersifat noncompensatory (tidak dengan penuh pertimbangan). Dalam melihat cara Lau dan Redlawsk menentukan kategori tiap-tiap karakteristik pemilih dari model 1 hingga ke model 4, untuk menentukan apakah model tersebut termasuk compensatory atau noncompensatory, cenderung tidak seketat seperti yang dijabarkan melalui uraian di atas. Inti dari compensatory adalah bahwa sepanjang pemilih memiliki kemauan untuk mengintegrasikan nilainilai positif dan negatif, dan mempertentangkan nilai-nilai tersebut, akan ada solusi dari pertentangan tersebut dan dengan demikian akan dicapai pilihan. Sedangkan untuk model yang bersifat noncompensatory, intinya adalah ia
55 termasuk kategori pemilih yang menghindar dari integrasi nilai-nilai positif dan negatif kandidat dalam proses pengambilan keputusan. Dengan menggunakan pola pikir dari Lau dan Redlawsk tersebut -peneliti menggunakan variabel-variabel dalam model Lau dan Redlawsk sebagai pintu masuk untuk mengetahui bagaimana keputusan dibuat-, keputusan dibuat dengan menyerap
penulis berasumsi
berbagai jenis informasi yang berkaitan
dengan pilkada, mempertimbangkan kemudian menentukan pilihan. Ketika menyerap informasi, ada pemilih yang pasif dan ada pula yang aktif mencari informasi.
Bagaimana keputusan dibuat dengan strategi dalam menentukan
pilihan, penulis mengusulkan tiga kategori
: (1) Ada pemilih yang
pertimbangannya sederhana; (2) Ada pula yang mempertimbangkannya komprehensif; dan (3) Mereka yang mempertimbangkan komprehensif secara terbatas. Manakala menyerap informasi dan strategi menentukan pilihan digabung, maka hasilnya adalah : 1. Pasif menyerap informasi, memiliki pertimbangan yang sederhana, kemudian menentukan pilihan. 2. Aktif menyerap informasi, memiliki pertimbangan yang komprehensif, kemudian menentukan pilihan. 3. Aktif menyerap informasi, memiliki pertimbangan yang komprehensif tapi terbatas, kemudian menentukan pilihan. Kategori nomor 2 di atas mirip dengan pemilih rational choice, yang menurut Lau dan Redlawsk terbuka pada kandidat dan partai manapun (2006 :9), sepanjang partai dan kandidat tersebut dapat meyakinkan pemilih. Atas
56 dasar tersebut, penulis menggunakan istilah proses pengambilan keputusan terbuka. Selain itu makna terbuka juga mengandung pengertian, kalau jenis nomor 2 ini membuka diri terhadap berbagai macam informasi, sedangkan kategori nomor 1, menutup diri dari berbagai macam informasi. Di tengahtengah antara yang menutup dan membuka diri tersebut, penulis menemukan ada yang membuka diri hanya terbatas pada partainya (misalnya, karena yang berlatarbelakang Golkar ada 3 kandidat, dan berlatar belakang PAN ada dua kandidat, pemilih jenis ini hanya mencari informasi tentang 3 kandidat Golkar dan 2 kandidat PAN). Kategori semi terbuka muncul salah satunya dikarenakan adanya beberapa kader dari satu partai yang sama, ternyata pada pelaksanaan pilkada diusung oleh partai lain. Kondisi ini memunculkan perilaku memilih dengan perspektif skema. Begitu juga dengan pemilukada dua putaran, tidak menutup kemungkinan pemilih merubah proses pengambilan keputusannya Untuk itu penulis selanjutnya membuat kategori proses pengambilan keputusan secara tertutup, terbuka dan semi terbuka. Peneliti menggunakan teori Lau dan Redlawsk—seperti yang telah diuraiakan model di atas— tersebut untuk melacak variasi proses pengambilan keputusan. Sebagaimana Lau dan Redlawsk yang menghasilkan kategori proses pengambilan keputusan, di antaranya: Rational Choice: Dispassionate Decisition Making, Early Socialization and Cognitive Consistency: Confirmatory Decision Making, Fast and Frugal Decision Making, dan Bounded Rationality and Intuitive Decision Making, maka penelitian ini akan menghasilkan variasi
57 proses pengambilan keputusan berdasarkan pada pertimbangan sisi negatif dan positif dari kandidat, yaitu proses pengambilan keputusan tertutup, proes pengambilan keputusan semi terbuka, dan proses pengambilan keputusan terbuka. Ada pemilih yang menjadikan pertimbangan sebagai alasan untuk menentukan pilihan, tapi tidak memiliki pertimbangan sisi positif atau negatif, ada pula yang mempertimbangkan sisi positif dan negatif secara komprehensif, dan juga mereka yang mempertimbangkan sisi positif dan negatif secara terbatas. Proses pengambilan keputusan akan terjadi di berbagai suasana dan keputusan dapat berubah seiring dengan kemampuan individu untuk menyerap informasi. Seseorang mengambil keputusan ketika sudah membaca koran, menonton televisi, atau mengikuti kampanye sehingga sumber informasinya banyak, atau bisa saja sumber informasi yang variatif tersebut tidak dijadikan sebagai bahan untuk mengambil keputusan, ia memilih kanididat tertentu hanya karena ia lebih percaya pada pemberi informasi. Dengan demikian, situasi tertentu bisa mempercepat atau memperlambat proses seseorang dalam mengambil keputusan. Misalnya, ketika seseorang membaca tulisan di koran dengan nada ‖memuji‖ kandidat tertentu, di mana di satu waktu ia tak memiliki cukup informasi tentang kandidat lain, berikutnya tanpa sempat mengkonfirmasi dengan informasi lainnya, dia akan langsung memutuskan untuk memilih kandidat satu itu tanpa melakukan pertimbangan. Namun, apabila dia sudah memiliki informasi sebelumnya tentang kandidat lain, maka ia akan mempertimbangkan keputusannya sehingga keputusan
58 menjadi lama karena ia harus mengkombinasikan dengan informasi lainnya terlebih dulu, pemilih seperti ini akan menggunakan strategi compensatory. Pemilih dengan strategi ini hendak turut teribat dalam ―konflik‖ terkait hal-hal negatif dan positif dari para kandidat, dan dari sana ia kemudian akan mengintegrasikanya untuk menjadi pilihan. Namun, keputusan dapat ditentukan dengan sedikit informasi seperti yang dikutip oleh Lau dan Redlawsk dari Popkin, Sniderman, Brody dan Tetlock, mereka menyebutnya sebagai ―low information rationality‖. Karena keputusan adalah hasil akhir atau produk dari perilaku, maka dalam teori perilaku keputusan, pemilih dapat saja memutuskan atau memilih kandidat tertentu tanpa didukung informasi sedikit pun sehingga lebih sering mereka memilih dengan tanpa referensi, tanpa pertimbangan
yang juga
disebut sebagai keputusan heuristik atau bila menilik dari strategi keputusan, maka ia memiliki karakteristik noncompensatory. Prosesnya dalam memilih betul-betul merupakan respons otomatis darinya. Seperti yang dukutip oleh Carmines dan Huckfeldt (2006) dari Carmines dan Kuklinski (1990) dan Mondak (1993), keputusan heuristik terbilang penting untuk penduduk yang secara politik kurang memperhatikan dan tidak memiliki informasi politik. Untuk itu, peneliti merasa perlu untuk menggali informasi terkait proses yang dilalui oleh masing-masing responden, dalam melihat apakah responden menutup diri terhadap pertimbangan sisi positif atau negatif kadidat, dan bilamana responden mengambil keputusan memilh kandidat dengan proses seperti
itu,
maka
peneliti
akan
mengategorikannya
sebagai
proses
59 pengambilan keputusan tertutup. Namun demikian, hal sebaliknya pun dapat berlaku, apabila responden membuka diri seluas mungkin terhadap pertimbangan positif dan negatif kandidat, maka peneliti menyebutnya sebagai proses pengambilan keputusan memilih secara terbuka. Namun, apabila responden membuka diri terhadap pertimbangan positif atau negatif tentang kandidat secara terbatas, peneliti menyebutnya sebagai proses pengambilan keputusan semi terbuka. Dari uraian di atas, peneliti mengajukan tesis mayor, sebagai berikut: ―Proses Pengambilan Keputusan Memilih adalah serangkaian tindakan dalam memperlakukan tahapan pengambilan keputusan. Tahapan tersebut meliputi informasi tentang kandidat, partai dan program, yang dilanjutkan dengan mempertimbangkan, dan kemudian menentukan pilihan.‖ Atas tesis mayor tersebut, peneliti mengajukan tesis minor, sebagai berikut: 1. Bila responden hanya menyerap informasi nama partai politik, nama kandidat, gambar/foto dan kepribadian kandidat, dengan melakukan pertimbangan yang sederhana, lalu menentukan pilihan, maka peneliti menyebutnya sebagai Proses Pengambilan Keputusan Tertutup. 2. Bila responden melakukan tindakan dengan cara menyerap informasi tentang
latar
belakang
dan
kinerja
atas
pekerjaan
kandidat,
memperhatikan afiliasi partai, dan program, dengan mempertimbangkan sisi positif dan negatif dari kandidat dan program, maka peneliti menyebutnya Proses Pengambilan Keputusan Terbuka.
60 3. Bila responden melakukan tindakan dengan cara menyerap informasi tentang
latar
belakang
dan
kinerja
atas
pekerjaan
kandidat,
memperhatikan afiliasi partai, dan program berdasarkan kriteria tertentu, yang lantas kemudian menentukan pilihan, maka peneliti menyebutnya Proses Pengambilan Keputusan Semi Terbuka,atau ketika responden mengubah proses pengambilan keputusan memilih sehingga prosesnya berbeda antara putaran pertama dan kedua. 4. Semua informasi yang diperoleh responden pada masing-masing proses di atas akan diolah untuk menjadi suatu pilihan. Atas dasar tesis mayor dan tesis minor tersebut, peneliti mengajukan model penelitian, sebagai berikut : Gambar 1.5 Model Penelitian Proses Pengambilan Keputusan Memilih Secara Tertutup Komponen Proses Pengambilan Keputusan Memilih: Menyerap Informasi Mempertimbangkan Menentukan Pilihan
Proses Pengambilan Keptusan Memilih Secara Terbuka
Proses Pengambilan Keputusan Memilih Secara Semi Terbuka Sumber: Adaptasi dan modifikasi model yang diajukan penelit, 2013
Pengolahan Informasi
61 Dari gambar di atas, peneliti akan menjelaskan konsep-konsep yang dipakai untuk proses pengambilan keputusan, yaitu: 1. Menyerap Informasi, artinya proses pencarian dan pengumpulan semua data dan fakta tentang kandidat, partai politik pengusung, dan program kandidat. 2. Mempertimbangkan, artinya pemilih memberikan alasan untuk menentukan pilihan atau pemilih mampu melihat sisi positif atau negatif pada diri kandidat. Misalnya, pemilih yang hanya memberikan alasan karena mengikuti anjuran orang terdekat, atau pemilih yang memiliki pertimbangan bahwa kandidat yang diusung PKB tampak terlalu berambisi, sementara kandidat yang diusung Golkar belum banyak memiliki pengalaman di kancah politik, hingga kemudian pilihan akhirnya jatuh pada kandidat yang diusung PDIP karena ia menganggap kandidat tersebut lebih matang dan berpengalaman dalam memimpin. 3.
Menentukan pilihan, artinya pemilih menentukan kandidat, program atau partai berdasarkan proses yang telah dilaluinya.
4.
Penegolahan informasi artinya cara responden memperlakukan informasi, apakah
bersedaia atau tidak
mengkombinasikan semua informasi yang
diperolehnya. Bila Lau dan Redlawsk mengelompokan jenis-jenis informasi yang dikumpulkan responden, penulis membuat jenis-jenis informasi yang diserap oleh responden untuk melihat perbedaan jenis informasi yang diserap oleh pemilih dengan proses pengambilan keputusan tertutup, terbuka, seperti tabel di bawah ini:
62
Tabel 1.2 Jenis Informasi yang Diserap Karakteristik dan Komponen Proses Pengambilan Keputusan Informasi yang diserap
Tertutup
Terbuka
Semi Terbuka
Responden dapat menyerap informasi lebih dari satu dari unsur-unsur di bawah ini: Informasi Personal : A. Fisik 1. Ketampanan 2. Usia 3. Cara berpakaian B. Nonfisik 1. Nama kandidat 2. Soleh 3. Didukung tokoh idola 4. Ramah 5. Orangnya baik 6. Dapat dipercaya 7. Dapat mengayomi masyarakat 8. Sopan santun 9. Tidak mengumbar janji 10. Amanah C. Secara visual 1. Foto
Responden dapat menyerap informasi lebih dari satu dari unsur-unsur di bawah ini: Informasi Personal : 1. Nama masing-masing pasangan 2. Profesi kandidat (ustadz) 3. Dapat dipercaya, amanah 4. Latar belakang kandidat beserta anak dan istri kandidat Partai Nama partai pengusung masingmasing pasangan Program Program masing-masing kandidat
Responden dapat menyerap informasi lebih dari satu dari unsur-unsur di bawah ini: Informasi Personal : A. Non-fisik 1. Sholeh, ramah, orangnya baik 2. Memasyarakat, religius 3. Ambisi, pintar berargumen 4. Representasi NU B. Latar belakang kandidat yang memiliki kesamaan partai politik, organisasi kemasyarakatan, organisasi keagamaan, dan aliran keagamaan yang sama dengan pemilih C. Hubungan kekerabatan antara kandidat dengan incumbent yang dianggapnya positif atau negatif
63
2. 3.
Nomor kandidat Warna khas partai
D. Pengalaman organisasi kandidat. Partai Afiliasi partai Ideologi partai
Partai 1. Nama partai pengusung 2. Partai kita sejak dulu Program 1. Sekadar mengetahui, tidak dipertimbangkan
Mempertimbangkan Responden dapat bertindak diantara satu di bawah ini: Ajakan orang terdekat Mengikuti mayoritas Partai : Terbiasa memilih partai yang sama dari pemilu ke pemilu Golkar identik dengan Orde Baru Kandidat : Pernah melihat kandidat. Bakal calon memberi sembako. Bakal calon memplester ganggang.
Program Isu atau materi kampanye Program yang berkesinambungan dengan kandidat sebelumnya. Responden dapat bertindak diantara satu di bawah ini:
Responden dapat bertindak diantara satu di bawah ini:
Program Dapat melanjutkan program bupati lama. Programnya dapat menyelesaikan permasalahan ekonomi
Kandidat Mempetimbangkan kandidat yang memiliki kesamaan partai politik, organisasi kemasyarakatan, organisasi keagamaan dan aliran keagamaan yang sama dengan pemilih Melakukan pertimbangan antar kandidat yang memiliki hubungan kekerabatan dengan incumbent dengan yang tidak memiliki kekerabatan, sehingga dianggapnya positif atau negatif.
Kandidat Orang yang berhasil dalam memimpin keluarga
64
Partai Mempertimbangkan kekuasan Golkar jaman Orde Baru dengan penguasa yang bukan Golkar dalam skala nasional. Program Isu atau materi kampanye
Pilihan
Responden dapat bertindak di antara satu di bawah ini: 1. Mengikuti pilihan mayoritas 2. Mengikuti pilihan atas anjuran orang lain Kandidat Memilih kandidat berdasarkan nomor atau foto kandidat.
Partai 1.Terbiasa memilih partai tertentu 2.Memilih berdasarkan warna partai Sumber : diolah peneliti, 2013
Pilihan didasarkan pada hasil Kandidat : mempertimbangkan kandidat dan Memilih kandidat yang program. dianggap memiliki kelebihan. Partai : Memilih partai yang telah memberi kehidupan ekonomi yang lebih baik di masa lalu.
65 Tabel di atas menunjukkan bahwa semua kategori pemilih memerlukan informasi, perbedaan akan tampak ketika ada pemilih yang mempertimbangkan sisi positif atau negatif dari dua orang kandidat atau lebih. Dalam komponen mempertimbangkan inilah perbedaan antara pemilih tertutup, terbuka, dan semi terbuka akan dengan jelas kelihatan.
E. METODOLOGI PENELITIAN Ilmuwan behavioral decision theory telah menggunakan dua teknik untuk meneliti keputusan ―manakala keputusan tersebut dilakukan‖, yaitu verbal protocols dan information boards, mengenai kedua teknik tersebut, untuk jelasnya dapat dilihat di bawah ini: Behavioral decision theorists have utilized two primary strategies for studying decisions ―while they happen‖, verbal protocols, and information boards. With verbal protocols, the decision maker is asked to ―think aloud‖ while he or she is making some decision, to vocalize ―every passing thought‖ (Ericsson and Simon, 1980). The decision maker is thus assumed to be able to report on the contents of working memory as a decision is being made. Verbal protocols are an excellent technique for exploratory research for developing models of how people go about making a particular type of decision. Because verbal reports are less easily quantifiable, however, verbal protocols are generally a less powerful technique for testing hypotheses. The second major process-tracing technique for studying decision making is the information board (Carrol and Johnson, 1990). Information boards present subjects with a matrix of ―learnable‖ information... The matrix is typically represented on computer screen and decision maker select information to learn by clicking on a particular cell of the matrix with the computer’s mouse. The computer automatically record every action the decision maker takes, so that at the end there is a complete record of what the decision maker accessed, how long every bit of information was considered, and the order in which it was examined. Experimental procedure dictates that only one cell of the matrix can be open at a time. This give the experimenter complete control over and knowledge about what information was
66 available to the decision maker at every moment of the decision task. (Lau and Redlawsk, 2006: 49-50) Dari kedua teknik tersebut, peneliti telah menggunakan verbal protocol untuk mengetahui proses pengambilan keputusan memilih. Lantaran peneliti memakai teknik ini untuk menggali pemikiran seseorang ketika mengambil keputusan, peneliti mengalami kesukaran dalam melakukan penelitian kuantitatif, dan juga menemukan bahwa pembuktian hipotesis cenderung tidak dapat ditentukan di awal penelitian. Dengan demikian, peneliti kemudian
memutuskan
menggunakan
pendekatan
kualitatif,
dengan
pertimbangan bahwa penggalian informasi lebih tepat dilakukan melalui wawancara kepada sejumlah responden. Sementara itu, information board tidak digunakan karena secara metodologis alat tersebut tidak memungkinkan untuk dapat menggali informasi sebanyak-banyaknya dari responden. Dari pengalaman penelitian teoris di bidang ini, ditemukan bahwa Redlawsk menggunakan information board untuk respondennya di laboratorium komputer dengan cara eksperimen sehingga informasi tentang kandidat tersedia di layar komputer. Dengan eksperimen semacam itu, proses pencarian informasi tidak terlacak karena informasi tentang kandidiat sudah disediakan di layar komputer sehingga pertimbangan
pemilih ketika
memerlukan dan menggunakan informasinya tidak dapat digali, dengan kata lain proses pencarian, penyeleksian, dan penerimaan informasi tidak diketahui dengan pasti. Penelitian kualitatif menurut Creswell (2009) dapat lebih intens menggali dan memahami individu atau kelompok dengan paparan masalah-
67 masalah sosialnya. Proses penelitian tersebut dapat berawal dari sejumlah pertanyaan, analisis data yang sebelumnya telah diperoleh secara induktif, yang lantas dibangun dari hal-hal yang khusus, hingga peneliti kemudian secara mandiri membuat interepretasi terhadap makna data tersebut, sesuai yang terkutip berikut ini: ―Qualitative research is a means for exploring and understanding the meanings indivividual or group ascribe to a social or human problem. The process of research involves emerging questions and procedures, data typically collected in the participant’s setting, data analysis inductively building from particular to general themes, and the researcher making interpretation of the meaning of the data. (Creswell, 2009: 4).‖ Peneliti bermaksud menggambarkan fenomena sosial, yakni proses pengambilan keputusan memilih dengan menerapkan studi deskriptif yang diharapkan dapat menghasilkan: a set categories or classify types and clarify a sequence of steps or stages (Neuman, 2000: 21-22). Dengan mengacu pendapat tersebut, penelitian ini bertujuan menghasilkan kategori dari proses pengambilan keputusan memilih, yang mana hal ini akan ditentukan oleh aktif tidaknya mencari informasi, cara mempertimbangkan kandidat atau partai, dan cara menentukan pilihan. Karena penelitian ini hendak menggambarkan proses pengambilan keputusan memilih, maka jenis penelitian ini dikategorikan sebagai studi kasus, seperti yang dikutip Creswell dari Stakes (1995), sebagai berikut: ―Case studies are a strategy of inquiry in which the researcher explores in depth a program, event, activity, process, or one or more individuals. Cases are bounded by time and activity, and researchers collect detailed information using a variety of data collection procedures over a sustained period of time. (Creswell, 2009: 13).‖
68 Teknik Analisis Data Semua hasil wawancara dibaca terlebih dulu, lalu setiap jawaban responden dianalisis untuk dicari polanya. Dari pola inilah peneliti menemukan tiga jenis proses pengambilan keputusan memilih. Peneliti fokus pada hasil wawancara yang telah dilakukan, yang akhirya ditemukan kesamaan dan perbedaan dari tiap jawaban responden (Spencer, et all, 2014 : 270). Disinilah peneliti melihat tiga pola pengambilan keputusan yang berbeda. Kemudian responden dikategorikan berdasarkan pola yang ditemukan, yaitu proses pengambilan keputusan tertutup, terbuka dan semi terbuka. Bila hasil wawancara sudah terwakili oleh responden lainnya, maka hasil wawancara tidak akan diolah. Hal ini dilakukan untuk
menghindari
duplikasi dari proses pengambilan keputusan memilih dan hasil pilihan yang sama.
Teknik Pengumpulan Data dan Penentuan Responden Teknik pengumpulan data yang dilakukan meliputi observasi, wawancara, dan dokumentasi dengan mengikuti pemikiran Creswell, sebagai berikut:
Qualitative Observations are those in which the researcher takes field notes on the behavior and activities of individuals at the research site. In these fields notes, the researcher records, in an unstructured or semistructured way (using some prior questions that the inquirer wants to know), activities at the research site. Qualitative observer may also engage in roles varying from a nonparticipant to a complete participant. In qualitative interviews, the researcher conducts face-to-face interviews with participants, interviews participants by telephone …These interviews involve unstructured and generally open-ended
69
questions that are few in number and intended to elicit views and opinions from the participants. During the process of research, the investigator may collect qualitative documents. These may be public documents (e.g., newspapaer, minutes of meetings, official reports) or private documents (e.g., personal journals and diaries, letters, e-mail). (Creswell, 2009: 181) Berdasarkan pendapat Creswell tersebut, maka peneliti menerapkan
teknik pengumpulan data, sebagai berikut: 1. Observasi, peneliti mengobservasi kondisi politik Desa Babakan Peuteuy, Margaasih, Cicalengka Wetan, dan Panenjoan. Sembari mengobservasi, tidak tertutup kemungkinan bagi peneliti untuk melakukan wawancara, baik wawancara terstruktur maupun tidak terstruktur. Observasi ini dilakukan sebagai langkah untuk memahami kondisi keempat desa tersebut. 2. Interview secara tatap muka, kegiatan ini banyak dilakukan kepada pemilih yang dipilih secara purposif sesuai dengan formasi kemenangankekalahan dari desa yang dipilih, yang mana artinya pemilih diambil dengan beberapa kriteria responden: 1) pada putaran pertama ia memilih pasangan kandidat Dadang M. Naser-Deden Rukman Rumaji, dan putaran kedua ia memilih pasangan kandidat tersebut juga untuk Desa Babakan Peuteuy, 2) pada putaran pertama memilih bukan pasangan kandidat Dadang M. Naser-Deden Rukman Rumaji, dan pada putaran kedua ia memilih kandidat tersebut untuk Desa Marga Asih, 3) pada putaran pertama tidak memilih pasangan kandidat Dadang M. Naser-Deden Rukman Rumaji, dan pada putaran kedua juga tidak memilih kandidat
70 tersebut untuk Desa Cicalengka Wetan, 4) pada putaran pertama memilih pasangan kandidat Dadang M. Naser-Deden Rukman Rumaji, dan pada putaran kedua memilih pasangan kandidat Ridho Budiman Utama-Dadang Rusdiana untuk Desa Panenjoan. Pertanyaan untuk pemilih dilakukan secara terstruktur, yaitu wawancara yang dipandu dengan sejumlah pertanyaan. Hasil wawancara kemudian diseleksi untuk selanjutnya dianalisis, dibuat kategori, dicari perspektif dari proses pengambilan keputusan dan pengolahan informasi dari masig-masing responden. 3. Dokumen yang digunakan dalam penelitian ini meliputi hasil pemilu Kepala Daerah untuk pemilihan Bupati/Wakil Bupati Kabupaten Bandung Tahun 2010, serta dokumen-dokumen lain yang dapat mendukung penelitian ini. Dengan demikian, pada tahap pertama responden untuk masyarakat (pemilih) dipilih secara accidental, artinya responden adalah mereka yang kebetulan pada saat
penelitian ini dilangsungkan
bersedia untuk
diwawancarai, serta dapat melaporkan apa yang telah diputuskannya, dan telah mengikuti pemilihan pada Pemilukada Kabupaten Bandung Tahun 2010. Tahap kedua, mencari responden di desa terpilih yang sesuai dengan formasi kemenangan-kekalahan seperti yang telah diuraikan di atas. Dari 80 responden yang diwawancarai, peneliti memasukkan 38 responden yang hasil wawancaranya
diolah kemudian dianalisis. Dari jumlah yang
dianalisis tersebut, peneliti menemukan 21 orang masuk kedalam kategori pengambilan keputusan secara tertutup, 7 orang masuk kedalam kategori
71 terbuka dan 10 orang masuk kedlam kategori semi terbuka. Alasan yang dapat penulis kemukakaan mengapa jumlahnya 38 responden adalah : 1. Beberapa responden dianggap memiliki pola yang sama dengan responden lainnya, sehingga peneliti menganggap responden lainnya sudah terwakili dalam ketiga kategori yang telah peneliti temukan. 2. Ada hasil wawancara yang tidak layak diolah, karena responden
menyebutkan pasangan kandidat tidak tepat, karena khawatir bias, peneliti tidak memasukkan kedalam analisis. 3. Beberapa responden yang tidak dapat dikonfirmasi ulang, karena
pernyataan yang tidak jelas, maka peneliti pun, mengabaikan hasil wawancara tersebut. Untuk melengkapi penelitian ini, peneliti mewawancarai aparat desa, tokoh masyarakat, dan KPU Kabupaten Bandung secara purposive di mana responden dipilih karena dianggap mengetahui dengan baik hal-hal yang berhubungan dengan perilaku memilih. Kecamatan Cicalengka dipilih karena peneliti menganggap kecamatan ini dapat merepresentasikan Kabupaten Bandung yang merupakan perpaduan daerah industri dan pertanian. Disamping itu kecamatan ini memiliki desa-desa yang kemenanganya variatif.
F. Struktur Penulisan Bab-bab dalam penulisan disertasi ini dibagi menjadi: Bab I, Pendahuluan, bab ini berisi latar belakang penelitian dengan menguraikan riset voting behavior, di mana peneliti menemukan bahwa studi terdahulu lebih menekankan aspek hasil dibandingkan aspek
72 proses. Karenanya, dalam bab ini, peneliti menawarkan studi voting behavior dari sisi proses dengan menerapkan teori Behavior Decision Theory (BDT) dari Lau dan Redlawsk sebagi pintu masuk memahami proses yang dilalui pemilih di Kecamatan Cicalengka Kabupaten Bandung. Tujuan dari studi ini adalah membuat jenis-jenis proses pengambilan keputusan memilih. Dengan menggunakan protocol verba, peneliti berusaha menggali hal-hal yang ada di benak responden ketika mereka
mengambil
keputusan
dalam
menentukan
kandidat
Bupati/Wakil Bupati Kabupaten Bandung. Pada Bab II, peneliti menguraikan kondisi sosial ekonomi pemilih, polarisasi suara, koalisi, dan seting politik sebagai penjelas bagi temuan peneliti. Meski pada putaran pertama terdapat delapan pasang kandidat yang terdiri dari tiga pasang independen dan lima pasang yang diusung partai politik, didapati hasil bahwa suara pemilih mayoritas tersebar pada pasangan yang diusung oleh partai politik, kecuali pasangan dari Partai Demokrat. Sementara itu, di putaran kedua, peneliti mendapati bahwa koalisi tidak lagi berdasarkan aspek ideologis, dan dengan demikian pemilih pun hanyalah mendapati pasangan dari koalisi pragmatis. Kedua kondisi di atas mewarnai proses pengambilan keputusan memilih. Selain itu, peneliti mendapati setting politik yang menarik terjadi di Desa Cicalengka Wetan, di mana pasangan dari Golkar baik di putaran pertama maupun kedua mengalami kekalahan. Kondisi Cicalengka Wetan ini menjadi potret
73 bagi Kabupaten Bandung, di mana wilayah-wilayah urban tidak dimenangkan Golkar. Sesuai dengan tujuan penelitian ini, yaitu membuat variasi, tahapan, pengolahan informasi, dan perspektif proses pengambilan keputusan memilih, maka Bab III melanjutkannya dengan pembahasan mengenai varian pemilih di kategori pertama, yaitu pemilih dengan proses pengambilan keputusan tertutup. Kategori ini ditujukan bagi responden yang menyerap informasi dari sisi kandidat dengan hanya mempertimbangkan fisik dari kandidat yang dipilihnya (tampan, muda, pakaiannya rapih) dan aspek non-fisik (ramah, sopan, soleh dan sebagainya), dan tidak mengeksplorasi lebih lanjut mengenai latar belakang dari para kandidat tersebut. Menyerap informasi dilakukan secara pasif, tahapan proses pengambilan keputusan dengan singkat dan pengolahan informasi tidak mendalam. Proses pengambilan keputusan dalam bab ini didekati dengan perspektif bounded rationlity,
hasil
pilihan responden baik pada putaran pertama dan kedua, kemudian diakhiri ringkasan. Kontras dengan Bab III, maka dalam Bab IV peneliti menguraikan varian proses pengambilan keputusan secara terbuka. Pada umumnya, informasi yang diserap dari kandidat adalah nama-nama pasangan kandidat, profesi kandidat, dan latar belakang keluarga kandidat. Dari sisi partai, responden mengetahui nama-nama partai pengusung, begitu pula dengan masing-masing programnya. Informasi
74 yang dicari oleh pemilih dalam kategori ini cenderung sangat mendalam dan mereka kerap menjadikannya basis dalam pengambilan keputusan. Tahapan proses pengambilan keputusan lebih lama, dalam mengolah informasi, responden bersedia berhadapan dengan kompleksitas pengambilan keputusan dan mengombinasikan informasi menjadi sebuah pilihan. Setelah itu, peneliti membuat analisa dari perspektif Motivasi Sosial dan hasil pilihan responden. Bab ini kemudian diakhiri dengan ringkasan. Di antara proses pengambilan keputusan secara tertutup dan terbuka, peneliti juga menemukan proses pengambilan keputusan yang bersifat semi terbuka. Untuk varian proses ini, peneliti memaparkannya di Bab V. Jenis ini peneliti tujukan bagi responden yang melakukan tahapan-tahapan seperti menyerap informasi, mempertimbangkan, dan melakukan pilihan terhadap kandidat dengan menggunakan kriteria tertentu. Hal ini memiliki arti, apabila di kemudian waktu responden mengambil keputusan, ia sudah memiliki kriteria-kriteria yang dicarinya dari kandidat, seperti kesamaan partai politik, organisasi, dan aliran keagamaan, maupun mempertimbangkan aspek askriptif yang dianggapnya negatif atau positif. Selain itu, jenis ini berlaku juga bagi responden yang mengubah proses pengambilan keputusan dari yang bersifat tertutp di putaran pertama, menjadi proses pengambilan keputusan secara terbuka di putaran kedua, atau sebaliknya. Jenis informasi yang diserap diambil dari kriteria yang dijadikannya patokan
75 dalam pengambilan keputusan memilih. Jenis dan kedalaman informasi yang terdapat dalam pengolahan informasi, juga tahapan pengelolaan informasi, dilaluinya sebagaimana halnya responden yang termasuk dalam kategori terbuka, meski tentu saja hal ini dilakukan secara terbatas pada kandidat-kandidat yang memenuhi kriteria yang telah sebelumnya dimiliki oleh responden bersangkutan.. Bab ini kemudian diakhiri dengan hasil pilihan responden dan ringkasan. Temuan-temuan dalam penelitian ini kemudian direfleksikan secara keseluruhan di Bab VI. Bab ini akan memaparkan perpaduan antara teori dan konsep voting behavior dengan fakta empiris di lapangan penelitian. Kategori proses pengambilan keputusan secara tertutup, bila direfleksikan dengan teori BDT termasuk Bounded Rationality and Intuitive Decisition Making, adalah sebuah keputusan memilih yang didadasarkan pada rasionalitas terbatas. Untuk proses pengambilan keputusan secara terbuka, peneliti menawarkan agar kategori ini dilihat dengan perspektif Motivasi Sosial, yaitu terkait adanya pertimbangan yang dilakukan oleh responden terhadap kandidat, dan program yang bukan berdasarkan kalkulasi untuk kepentingan pribadi. Sedangkan untuk kategori pengambilan keputusan secara semi terbuka, peneliti menawarkan untuk melihatnya dengan perspektif skema, yaitu di mana pemilih dilihat sebagai individu ―pengategori‖, bahwa mereka memilih sesuai dengan kategori yang sudah ada di benak mereka. Dalam penelitian ini, selain partai politik yang dijadikan
76 kriteria, peneliti juga melihat faktor organisasi dan aliran keagamaan dari kandidat bersangkutan, serta aspek askirptifnya. Pada akhirnya, penelitian ini ditutup dengan kesimpulan bahwa penelitian ini telah berhasil melacak proses pengambilan keputusan. Bahwasannya, proses pengambilan keputusan memilih ternyata tidak bersifat tunggal, karenanya peneliti terbilang tepat untuk kemudian mengategorikannya menjadi proses pengambilan keputusan secara tertutup, proses pengambilan keputusan secara terbuka, maupun proses pengambilan keputusan secara semi terbuka. Peneliti pun menyadari bahwa kesemua proses tersebut akan mendorong para responden untuk mengakses informasi, tetapi perlu juga mempertimbangkan jenis informasi yang digunakan dan kedalaman informasi yang terdapat dalam pengolahan informasi. Penelitian ini juga telah melengkapi studi yang dilakukan Lau dan Redlwask, yaitu fakta empiris mengenai pemilih yang memerlukan dan menggunakan informasi. Pergeseran dalam menentukan kategori pemilih biasanya dilakukan dalam survei. Dalam penelitian ini, partisan/loyalis terbagi menjadi dua kategori, yaitu tertutup dan semi terbuka. Kategori tertutup ditujukan bagi partisan yang menjadikan partai sebagai basis keputusan tanpa aktif mencari informasi, sedangkan kategori semi terbuka ditujukan bagi partisan yang aktif mencari informasi
ke
mana
partainya
mempertimbangkan kandidat tersebut.
berkoalisi
untuk
kemudian
77