BAB I PENDAHULUAN
A. Latar belakang Pada penghujung 2010 hingga awal 2012, kawasan di Afrika Utara dan Timur Tengah mengalami pergolakan politik yang dikenal dengan revolusi rakyat. Suatu revolusi yang bertujuan untuk merubah sistem pemerintahan dan bahkan menumbangkan penguasa, dimulai dari Tunisia menyusul Mesir, Aljazair, Yaman, Bahrain, Libya dan Suriah.1 Namun hanya di Libya dan Suriah yang melibatkan negara-negara besar lebih aktif terlibat dalam permasalahan internal keduanya. Sedangkan di negara lainnya hanya berupa seruan perdamain, karena gejolak yang terjadi tidak terlalu memakan korban dan arogansi pemerintah tidak terlalu kuat. Semangat revolusi rakyat berujung pada perang internal negara, antara rakyat dengan rezim yang berkuasa. Rakyat melakukan demonstrasi untuk menuntut perubahan, demonstrasi juga berkembang menjadi pemberontakan karena respon yang tidak memuaskan dari pemerintah. Pemerintah yang otoriter mengamankan kekuasannya menanggapi dengan kekerasan, aparat keamanan dan pertahanan dikerahkan untuk mengantisipasi serangan pemberontak bahkan milisi juga melakukan tindakan kekerasan untuk meredam pemberontak. Mencegah semangat revolusi rakyat bukan dengan mediasi dan konsolidasi politik untuk mencapai kesepakatan bersama antara rakyat dengan pemerintah tetapi dengan cara kekerasan melalui aparat keamanan, sehingga negara-negara Timur Tengah mengalami perang Sipil dan berdampak pada krisis kemanusia di internal negaranya. Perang sipil di Libya antara kelompok pemberontak dan milisi dibawah komando Muammar
Gaddafi diawali
dengan retorika berisi
dorongan
2
demokratisasi. Perang yang diawali dengan aksi demonstrasi pada 11 Februari 2011 mendapat kecaman negara-negara besar setelah pemerintah Muammar 1
Apriadi Tamburaka, Revolusi Timur Tengah „Kejatuhan para penguasa otoriter di Negaranegara Timur Tengah‟, Yogyakarta: Narasi, 2011, p. 7 2 Jamal Bakarsyum, Perbandingan Kebijakan Perancis Jerman Terkait Perang Sipil Libya 2011, Jurnal Hubungan Internasional, Volume IX No. 1 Tahun 2012, p . 88. Dapat lihat di
diakses pada 09 Juni 2014.
15
Gaddafi memerintah pasukan udara untuk menyerang pemberontak. Pemerintah menempuh jalan militer untuk menghadapi tuntutan rakyat Libya. Negara-negara yang peduli terhadap kemanusia seperti AS sekutunya di Eropa memberikan sanksi terhadap Libya, seperti sanksi ekonomi dan larangan terbang. Pada 25 Maret
2011
dengan
jumlah
korban
5.000
orang
akhirnya
AS
dan
sekutunya/NATO melakukan intervensi militer untuk melindungi rakyat Libya.3 Keterlibatan AS dalam perang sipil di Libya didorong dengan moral dan nilai-nilai kemanusian. Ketika Presiden Obama pada tahun 2009 menerima Hadiah Nobel Perdamai, ia berbicara tentang ―perang yang adil‖, dalam pidatonya ― akan ada perang ketika negara-negara bertindak secara individu, penggunaan kekerasan bukan hanya perlu tetapi secara moral dibenarkan‖.4 Dalam perang sipil di Libya, Presiden Obama menyatakan, bahwa intervensi militer di Libya adalah penting demi kredibilatan PBB. Kelambanan akan akan berisiko kredibilatas DK PBB di masa depan.5 Dalam pidato Barack Obama pertama kali sejak meluncurkan Operasi Odyssey Dawn dan melepaskan rudal AS di Libya yang dikenal dengan ―Doktrin Militer Obama‖, Presiden Obama mengatakan, Mereka lahir seperti kita, dari sebuah revolusi yang rindu untuk kebebasan, kami menyambut fakta bahwa sejarah adalah bergerak di Timur Tengah dan Afrika Utara, dan bahwa pemudalah yang memimpin jalan ini. Karena dimanapun orang-orang merindukan kebebasan, mereka akan mendapati teman di AS. Pada akhirnya, ini adalah kepercayaan – cita-cita – yang merupakan ukurang sebenarnya dari kepemimpinan Amerika.6 Resolusi konflik di Libya akhirnya mendapatkan legitimasi dari DK PBB, karena dua anggota tetap DK PBB (Rusia dan Cina) abstain.7 3 Hugh Roberts, Who said Gaddafi had to go?‟, Londong review of books. Vol. 33 No. 22 ·
17 November 2011 pages 8-18 | 12681 words, pp. 8-18. Dapat pula dilihat di diakses pada 09 Juni 2014. 4
Madelene Lindström, Kristina Zetterlund, Setting the Stage for the Military Intervention in Libya, Decisions Made and Their Implications for the EU and NATO, FOI-R--3498—SE. oktober 2012, p. 47 dapat dilihat di <www.foi.se>, diakses pada 09 Juni 2014. 5 Ibid, p. 49 6 Barack Obama, Remarks by the President in Address to the Nation on Libya, , diakses pada tanggal 11 Januari 2014. 7 International Business Times, „UN Vote Approves Libya No-Fly Zone; China, Russia Abstain‟, , diakses pada 18 Juni 2014
16
Situasi yang sama di alami Suriah. Semangat revolusi yang diawali dengan aksi demonstrasi pada 11 Maret 2011 berujung pada perang sipil antara rakyat dengan pemerintah Suriah. Melihat kondsi krisis selama perang berlangsung, perang Sipil di Suriah lebih parah dari pada yang dialami Libya. Perang sipil terjadi dalam waktu yang cukup panjang, sehingga membuat Suriah berada dalam situasi yang sangat buruk,8 secara ekonomi dan kesehatan. Demikian juga dengan jumlah korban yang cukup banyak. Syrian Observatory for Human Rights (SOHR)
telah
mendokumentasikan
115.206
korban
jiwa
sejak
awal
pemberontakan sampai September 2013.9 Bahkan menurut sekjen PBB, Ban Kimoon, perang sipil di Suriah berpotensi menjadi malapetaka yang menancam perdamain dunia.10 Menyikapi permasalahan di Suriah, AS dan sekutunya melakukan langkah yang sama seperti yang dilakukan terhadap Libya. AS dan sekutunya menjatuhkan sanksi ekonomi yang pertamakali pada 29 April 2011,11 selain itu AS juga mendukung dan memberikan baintuan gerakan oposisi baik secara militer berupa senjata dan suplai dana maupun diplomasi politik untuk melawan pemerintahan Presiden Bashar al-Assad. Situasi yang berbeda ketika AS dan sekutunya ingin mengambil langkah intervensi militer di Suriah setelah beberapa solusi dianggap tidak berhasil. Intervensi militer di Suriah yang disponsori AS mendapat pertentangan dari negara-negara besar lainnya, terutama Rusia dan Cina. Upaya intervensi militer AS dan sekutunya untuk menyelesaikan konflik internal di Suriah tidak semulus yang terjadi di Libya. Rusia dan Cina yang mengambil posisi aman di Libya, untuk masalah Suriah mengambil sikap yang berbeda. Rusia dan Cina menentang langkah intervensi militer AS di Suriah dengan selalu melakukan veto pada setiap proposal resolusi konflik di Suriah yang disponsori AS maupun Ingris. Tetapi AS dan sekutu terus berupaya 8
Bbc, Krisis Suriah: kengerian yang tak terperi, (daring) , diakses pada 30 September 2013. 9 Syrian Observatory for Human Rights, More than 115 thousand killed in Syria, , diakses pada 10 Juni 2014 10 Kompas, Potret buram situasi Suriah, 27 September 2012. 11 National Archives, Executiv Order Disposition Tables Barack Obama, Executiv Order 13572. , diakses pada 8 November 2013.
17
melakukan langkah militer baik melalu kekuatan diplomasi dengan negara sekutu maupun propaganda terhadap negara-negara lain. AS memastikan bahwa rezim Bashar al-Assad telah melakukan perbuatan yang sama seperti dilakukan Presiden Muammar Gaddafi.12 AS juga membangun konsolidasi dengan beberapa negara anggota PBB13 untuk menyatukan persepsi opsi resolusi. Tekanan intervensi militer semakin keras dilakukan AS melalui PBB.14 AS berusaha melakukan tindakan yang sama seperti yang dilakukan terhadap pemerintahan Libya. Tujuan AS melakukan intervensi militer untuk menghentikan pembantain, dan AS menggalang kerjasama dengan sekutu dan mitranya untuk menjaga keselamatan warga sipil.15 Bahkan seperti kasus di Libya, AS mengesampikan beberapa resiko intervensi dan biaya yang akan ditanggung.16 Beberapa upaya yang dilakukan AS dan sekutunya untuk menjatuhkan sanksi militer ke Suriah pada kenyatannya tidak terjadi. Pertimbangan kemanusia seolah tidak membuat AS bersikap tegas melakukan intervensi militer demi mencegah korban yang lebih banyak. Jika dibandingkan dengan di Libya, jumlah korban di Suriah lebih banyak dan manyoritan kalangan perempuan dan anakanak. AS memunculkan sikap dan strategi berbeda menyelamatkan warga sipil. Ketika menghadapi perang internal di Libya, AS melakukan intervensi militer, sementara di Suriah AS kerkendala untuk bersikap sama seperti yang dilakukan terhadap Libya. Situasi inilah yang menarik untuk dianalisis dengan menggunakan pendekan dan teori yang cukup mampu menjawab permasalah yang terjadi.
12
Examiner, Senator Lieberman Back U.S military intervention in Syria, , diakses pada 20 desember 2013 13 The 4th media, U.S Talks military intervention in Syria, , diakses pada 20 desember 2013 14 The journal, France raises prospects of military intervention in Syria, , diakses pada 24 desember 2013 15 Barack Obama, “Remarks by the President in Address to the Nation on Libya,”, 16 Barack Obama, ibid.
18
B. Rumusan Masalah Dari latar belakang masalah yang diuraikan di atas, maka pertanyaan penelitian yang dapat diajukan adalah: 1. Bagaimana strategi dan upaya intervensi militer AS untuk mencegah konflik internal Suriah? 2. Apa faktor penghambat langkah intervensi militer AS di Suriah?
C. Tinjauan Pustaka Semenjak terjadinya konflik di internal Suriah, belum ada satupun buku literatur atau penelitian yang menganalisis secara mendalam ketiadaan intervensi militer terkait dengan konflik suriah, desertasi yang berjudul: Understanding and Explaining US-Syrian Relations: Conflict and Cooperation, and the Role of Ideology, ditulis oleh Jasmin K Gani,17 hanya menguraikan beberapa faktor yang mendorong terhadap hubungan AS dengan Suriah, serta pengaruh ideologi, dan gagasan,
dalam
menentukan
kebijakan
politik
kedua
negara.
Gani
menggambarkan hubungan pemerintahan George W Bush tahun 2001 dan Bashar al-Assad tahun 2000 yang memburuk, hubungan kedua negara dapat digambarkan sebagai ‗terasing‘ bermusuhan, tegang, dan ketidak percayaan.18 Ide dan gagasan anti-kolonial nasionalis Arab juga berpengaruh pada posisi Suriah terhadap hubungannya dengan AS. Setelah kemerdekaan Suriah pada tahun 1946, AS memiliki pengaruh besar di wilayah tersebut. Pengaruh AS di Suriah sebagai bagian dari misinya atas sikap AS untuk memberikan pengaruh dominan di Timur-Tengah, dan Suriah dianggap sebagai negara yang berpotensi memiliki masa depan yang baik dan berbahaya di wilayah Arab. Kedekatan Suriah dengan Uni Soviet membuat sikap politik AS sidikit mengalami ketegangan. Hubungan Suriah dengan AS mengalami krisis. Ditahun 1957 AS mencoba merencanakan kudeta pemerintahan Suriah, yang kemudian didirikan persepsi Suriah sebagai generasi kedua imprialis. Sikap politik Suriah terus berada dalam garis yang berbeda dengan AS, pada
17
Jasmen. K Gani, 2011. Understanding and Explaining US-Syrian Relations: Conflict and Cooperation, and the Role of Ideology. A thesis submitted to the Department of International Relations of the London School of Economics for the degree of Doctor of Philosophy, London, 18 Jasmen, p. 9
19
konflik Irak-Iran misalnya, pemerintahan Suriah mendukung Iran yang itu berbeda dengan sikap politik AS. Dukungan Suriah terhadap Iran tidak hanya pada aspek politik tetapi juga memberikan bantuan ekonomi dan pertahanan. Ditahun 1979 kembali hubungan ini semakin tegang, ketika Suriah menjadi satusatunya negara arab yang terbuka mendukung griliya radikal faksi di Lebanon (bahkan sebelum terbentuk Hizbullah), negara yang pertama mengakui rezim Islam baru di Teheran pada tahun 1979. Sehingga ditahun yang sama akirnya AS menempatkan Suriah pada daftar perusahaan ―negara sponsor teroris‖ dan bantuan keuangan dan perdagangan dihentikan. Argumen Jasmin hanya seputar hubungan antara Suriah dengan AS yang terungkap mulai awal pemerintahan Bashar al-Assad, pasang surut hubungan keduanya tidak dapat menjawab tentang keraguan AS dalam menyikapi krisi Suriah dewasa ini. Bahkah melihat ketegangan hubungan keduanya seharusnya saat ini momentum AS melakukan intervensi militer terhadap Suriah untuk meruntuhkan rezim, dengan beberapa justifikasi seperti negara sarang teroris, otoriter dan pelanggaran Hak Asasi Manusia yang sering di asumsikan AS kepada negara-negara target intervensi. Sebuah Jurnal yang ditulis oleh James Meernik,
19
menjelaskan bahwa
demokrasi yang dipromosikan oleh AS dapat dilakukan dengan cara trategi intervensi militer, promosi demokrasi merupakan kepentingan AS. ia menjelaskan terkadang demokrasi memungkinkan sebagai tujuan dari intervensi militer. James ingin menjelaskan promosi demokrasi yang dibenarkan melalui jalur perang. Dan ketika rezim demokratis maka akan lebih mudah membantu stabilitas yang besar dalam satu wilayah yang membuat AS lebih mudah mempengaruhi suatu bangsa. Artiannya dalam penelitaian James AS melakukan promosi demokrasi walaupun terkadang dengan strategi perang atau intervensi militer. Analisis ini sebenarnya memperkokoh pertanyaan dari tesisi ini, yang ingin mengetahui tentang konsistensi intervensi militer AS, kondisi Suriah yang tidak demokrasi tidak menyulut ambisi AS untuk melakukan intervensi militer.
19
James Meernik, 1996. United States Militery Intervention and the Promotion of Democracy. Journal of Peace Research, Vol. 33, No 4 (November, 1996), Diterbitkan oleh: Sage Publications, Ltd, pp. 391-402 20
Jurnal yang ditulis oleh Irdayanti20 yang secara spesifik menjelaskan mengenai kebijakan penolakan Rusia terhadap stategi barat di Suriah. Selama ini Rusia menolak terhadap sangki militer terhadap Suriah yang berujung pada runtuhnya rezim Bashar al-Assad, bagi irdayanti Rusia tidak ingin kondisi di Libya terjadi di Suriah, dimana sanksi militer yang dijatuhkan berdasarkan Resolusi DK PBB No. 1973 yang diprakatsai barat seperti AS, Inggris dan Prancis bukan hanya kepentingan kemanusia semata, bagi pemerintahan Rusia terdapat kepentingan negara-negara barat yang diperjuangkan di Libya. Sehingga Suriah sebagai negara mitra militer terbesar bagi Suriah patut diperjuangkan posisinya. Analisis lain yang dilakukan oleh irdayanti yaitu menyeimbangi kekuatan diwilayah Timur Tengah, dengan pendekatan balance of power, tujuan Rusia adalah mencegah hegemoni Barat di Timur Tengah dengan tetap mempertahankan rezim Bashar al-Assad sebagai penyeimbang negara-negara Barat di Timur Tengah. Indrayani hanya focus membahas mengenai kebijakan penolakan strategi AS di Suriah. Jika hanya kebijakan Rusia menolak intervensi militer AS di Suriah maka tidak cukup memberikan alasan yang kuat, karena power AS secara politik dan Militer masih lebih kuat dari pada Suriah. Indrayanti tidak menyentuh terhadap kenapa kemudian AS tidak melakukan intervensi militer. Tetapi tulisan ini cukup membantu melengkapi menjawab rumusan masalah dalam tesisi ini. Karena kebijakan penolakan Rusia juga menjadi salah satu pertimbangan AS tidak melakukan Intervensi militer di Suriah. Salah satu pembahasan yang lebih spesifik, yang menjeleskan sikap dunia terhadap konflik internal Suriah adalah buku yang ditulis Trias Kuncahyono.21 Trias menjelaskan bahwa saat ini dunia hanya bisa termangu-mangu menyikapi krisis Suriah, AS dan NATO dianggap lamban menanggapi kondisi tersebut, bahkan tidak ada satu pun actor internasional yang mau bersikap tegas melakukan intervensi militer terhadap Suriah. Sikap lamban yang ditunjukkan oleh dunia dalam analisisnya karena akan menimbulkan ketidak stabilan kawasan Timur tengah, atau terpecah-pecahnya Suriah setelah rezim Bashar al-Assad jatuh, Trias
20
Irdayanti, Kebijakan Penolakan Rusia terhadap strategi Barat di Suriah. Jurnal Internasional, Vol. 4, No. 1, Juli 2012. 21 Trias Kuncahyono, Musim Semi Suriah, Anak-anak Sekolat Penyulut Revolusi. Jakarta: PT Kompas Media Nusantara.2013, pp. 174-216
21
meminjam analisisnya James L Gelvin bahwa sekurang-kurangnya ada dua sekenario bila Bashar al-Assad jatuh. Pertama kemungkinan akan diikuti dengan kerusuhan sectarian, kerusuhan etnis, atau kedua-duanya kaderan kelompok Sunni yang merupakan kelompok mayoritas ingin membalas dendam terhadap sekte Alawite Syi‘ah. Kedua, ada kekhawatiran bahwa saat terjadi kekosongan kekuasaan, persaudaraan Muslim akan mengambil kesempatan dan merebut kekuasaan. Analisis yang dilakukan oleh Trias adalah dampak dari runtuhnya rezim Basha al-Assad akan berpengaruh terhadap stabilitas kawasan Timur Tengah, bahkan ia menjelaskan akan menyulut Perang Dingin Timur Tengah, asumsi ini tentunya menguatkan terhadap keraguan sikap dunia dalam menyikapi krisis Suriah. Tetapi terdapak beberapa aspek lain yang tidak dijelaskan secara spesifik yang mengarah terhadap sikap AS yang tidak melakukan intervensi militer ke Suriah, dan balancing dari negara-negara sekutu atau aliansi Suriah sebagai faktor yang lebih menguatkan atas keraguan sikap AS. Beberapa negara aliansi dan sekutu Suriah (Rusia, China), dijelaskan oleh Trias sebagai negara sekutu yang memiliki kepentingan besar dari pemerintahan terutama dalam aspek ekonomi. Kemudian negara-negara sekutu di timur tengah seperti Iran tidak dijelaskan, padahal Iran berperan besar dalam melakukan balancing kekuatan AS, secara tidak langsung mencegah intervensi yang akan dilakukan AS.
D. Kerangka Pemikiran Sebelum menjelaskan tentang kerangka pemikiran yang diambil, maka akan diuraikan beberapa alasan mengapa kerangka pemikiran tersebut menjadi pilihan dalam menjawab rumusan masalah dalam tesis ini. AS merupakan negara super power yang peduli terhadap isu-isu kemanusian dan HAM di Dunia. Intervensi militer AS di Libya sebagai contoh kongkrit atas keprihatinan AS terhadap warga sipil di Libya. Permasalahan di Libya juga dialami oleh Suriah. Suriah memiliki permasalah krisis internal negara yang sama seperti dialami Libya. Kebijakan Presiden Barack Obama tentang intervensi militer AS di Libya pada tahun 2011 tidak didukung oleh mayoritas parlemen, baik dari partai
22
demokrat maupun republik. Pasca konflik Libya berjalan tiga bulan AS sudah melakukan intervensi militer, tetapi kongres yang dilaksanakan pada 24 Juni 2011 menolak intervensi militer. Kongres yang didominasi oleh oposisi Partai Republik, menunjukkan 295 suara menyatakan menolak, sementara 123 suara menyatakan mendukung misi resolusi Presiden Obama di Libya. Sekitar 70 suara dari Demokrat pecah dan hanya delapan suara dari Republik yang mendukung resolusi.22 Kebijakan AS juga dikecam oleh Jerrold Nedler, rekan sesamanya di Partai Demokrat. Jerrold mengatakan Presiden Obama bertindak sebagai monarki absolut dan kita harus mengakhirinya segera, apabila kita tidak menginginkan menjadi sebuah kerajaan, menggantikan republik.23 Sementara perwakilan Demokrat dari Virginia, James P. Moran, mengatakan sekarang adalah waktu untuk berdiri bersama melawan seorang diktaror yang membunuh rakyatnya sendiri.24 Dalam jurnalnya, Maggie Moore, peneliti di Syracuse University, New York, mengatakan kebijakan politik luar negeri AS untuk mengintervensi Libya hanya di pengaruhi oleh media AS. Media memainkan peranannya untuk mendorong Obama mengambil langkah militer.25 Media telah membuat kepercayaan obama untuk lebih cepat mengambil tindakan sebelum permasalahan Libya semakin berlanjut. Untuk menjawab keraguan publik dan kritik parlemen. Menteri Pertahanan AS, Robert Gates dan Hillary Clinton, mengatakan bahwa AS melakukan intervensi cepat di Libya atas alasan kemanusian, kelambanan bertindak akan mengakibatkan bencana kawasan. Clinton juga mengatakan bahwa kebijakan itu
22
The New York Times, House Vote 493 - Rejects Authorization of Limited Military Involvement in Libya, (daring) , diakses pada 13 Juni 2014. 23 Wartanews.“Kongres AS Tolak Dukung Intervensi Militer di Liby,”, diakses pada 05 Januari 2014 24 Jennifer Steinhauer, ‗House Spurns Obama on Libya, but Does Not Cut Funds‘, the New York Time, (daring) Published: June 24, 2011, dapat dilihat di , diakses pada 13 Juni 2014. 25 Maggie Moore, ‗watchdog or lapdog? The role of u.s. Media in the international humanitarian intervention in libya‟,exchange diplomacy, (daring) , diakses pada 05 Januari 2014
23
bukan kepentingan nasional vital bagi AS, tetapi satu kepentingan kemanusiaan. Dengan kepercayaannya, Barack Obama juga mengatakan; we knew that if we waited one more day, Benghazi – a city nearly the size of Charlotte – could suffer a massacre that would have reverberated across the region and stained the conscience of the world. It was not in our national interest to let that happen. I refused to let that happen. 26 Perkataan diatas juga merespon agresi militer Libya yang telah mendekati Benghazi, kemudian pernyataan Moammar Qaddafi yang berniat untuk memusnahkan pemberontak seperti tikus dengan tangannya sendiri. Selain itu, tahun 2011, AS mengalami krisis ekonomi. Artiannya untuk membela HAM AS dapat mengesampingkan kepentingan domestik, termasuk kepentingan ekonomi. Sehingga memahami kasus di Libya yang sama dialami oleh Suriah, maka kerangka pemikiran yang diambil bukan pertimbangan domestik AS. Aspek domestik yang meliputi: dukungan parlemen, krisis ekonomi, tidak dapat menjawab pertanyaan secara konfrehensif dalam tesis ini. Sehingga kerangka pemikiran yang diambil adalah pendekatan neorealis dalam konsep balance of power yang bentuknya soft balancing.
1) Pendekatan neorealis Dalam pandangan kaum realis maupun neo-realis bahwa politik global bersifat anarki.27 Petunjuk utama yang menguatkan asumsi tersebut adalah konsep kepentingan yang diartikan dalam istilah kekuasaan yang merupakan katagori objektif dan berlaku secara universal.28 Kaum neorealis yang berangkat dari tradisi realis klasik mengembangkan pemikirannya terhadap struktur internasional dengan meninggalkan pertimbangan normatif yang berlandaskan pada kodrat manusia dan etika ketatanegaraan. Manusia sebagai makhluk individu yang
26
Marc Lynch, ‗Why Obama hard to act in Libya‘, foreign policy, (daring) , diakses pada 6 Januari 2014 27 Tidak adanya aturan atau hukum internasional yang dapat mengikat negara-negara sehingga negara dapat tunduk patuh terhadap aturan internasional yang dapat menciptakan kedamain dunia. 28 George W. Mansbachdan Kirsten L. Rafferty., introduction to Global Politics, London and New York: Routledge 2008. Edisi bahasa Indonesia pengantarpolitik Global, diterjemahkan oleh Amat Asnawi, Bandung: Nusa Media, pp. 5-12
24
cendrung egois dan mementingkan diri sendiri berada dalam pengaruh struktur internasional. Dalam pemikiran ilmuan neorealist Kenneth N Waltz menjelaskan bahwa semua aktifitas dalam politik global mengalir dari fakta, bahwa kondisi-kondisi structural yang anarkis menghambat para actor untuk mengambil tindakan tertentu. Neorealis memusatkan perhatiannya pada tingkat system global atau struktur system yang mempengaruhi terhadap prilaku state.29 Sehingga keberadaan actor tidak begitu penting, karena struktur memaksa para actor bereaksi sesuai dengan system internasional. Struktur system pada dasarnya sebagai penentu tindakan tindakan negara.30 System internasional sebagai suatu dominan tersendiri yang mengkondisikan sikap semua negara di dalamnya. Untuk memahami system politik internasional dengan lebih jelas, neorealist mendefenisikan tiga karakteristik penting, yaitu 1) prinsip tatanan system internasional yang anarkis. Prinsip ini memaksa negara untuk menunjukkan fungsi utama yang sama untuk mempertahankan kepentingan dan kekuasaan meski mereka tidak memiliki kemampuan dalam hal tersebut, 2)karakter unit dalam system, semua negara dalam system internasional dibuat sama secara fungsional dengan tekanan struktur. dan 3) distribusi kemampuan unit dalam system. Dunia anarkis memaksakan suatu disiplin pada negara. Negara-negara dipaksa untuk dapat menunjukkan kemampuan keamanannya sebelum menunjukkan fungsi lainnya.31 Kepentingan nasional negara didasarkan oleh situasi dan kondisi internasional yang mempengaruhi. Negara dituntuk untuk mampu menjaga powernya --politik, ekonomi, dan keamanan-- dikancah internasional agar dapat berkontribusi membuat dinamika dalam struktur internasional. Bagi neorealis, struktur internal negara sangat tidak relevan bagi sikap internasional mereka.
29
George W. Mansbachdan Kirsten L. Rafferty, p. 28 Robert Jackson & Georg Sorensen.. Introduction to International Relation. New York: Oxford University Pres1999, edisi bahasa Indonesia Pengantar Studi hubungan Internasional, diterjemahkan oleh Dadan Suryadipura, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, p. 110 31 Scott Burchill and Andrew Linklater, Theories of International Relations, New York: ST Martin‘s Press, INC., 1996, edisi bahasa Indonesia, Teori-teori Hubungan Internasional, diterjemahkan oleh M.Sobirin, Bandung: Nusa Media, 2012, pp. 117-118 30
25
2) Balance of power Balance of Power berangkat dari gagasan negara-bangsa yang ingin mempertahankan entitas keberlangsungannya yang independen.32 Dalam situasi system global yang anarki keseimbangan kekuasan yang meliputi keamanan dan kemakmuran menjadi suatu keharusan dimiliki oleh negara bangsa sebagai factor stabilitas di dalam masyarakat bangsa-bangsa yang berdaulat.33 Suatu negara yang lemah kekuasannya akan tunduk patuh terhadap negara lain. Ketunduhan itu akan berakibat pada melemahnya kekuasan suatu negara. Sehingga dalam situasi anarki, persaingan kekuasan menjadi situasi yang alami dalam hubungan internasional. Negara terus berupaya meningkatkan kekuasaannya untuk menyeimbangkan dengan kekuasan negara yang lebih besar. Neorealis memandang [situasi damai] bukanlah menjadi bagian permain dari sistem internasional. Perdamain hanya gencatan senjata sementara berdasarkan keseimbangan kekuatan negara, antara priode ketegangan dan konflik. Balance of power adalah faktor stabilitas yang sangat penting dalam hubungan internasional, dan cara terbaik intuk mengatur kecendrungan negara untuk menghimpun kekuatan strategis.34 Penggunaan balance of power yang tepat oleh suatu negara dapat mengendalikan kecendrungan kekerasan dan hegemoni dari kekuatan kekuatan besar. Langkah ini dapat mengurangi munculnya konflik dan peperangan, meskipun tidak dapat menghapus timbulnya perang, 35 karena perang selalu menjadi kemungkinan dalam sistem anarkis. Waltz mencontohkan keseimbangan kekuasana yang terjadi pada masa perang dingin. Munculnya dua kekuatan besar dunia antara Amerika Serikat dan Uni Soviet yang dikenal dengan sistem bipoler dapat menunjukkan stabilitas keamanan internasional. Situasi tersebut setidaknya menciptakan kedamain dan keamanan yang lebih baik dari pada sistem multipolar.36
32
Paul, James J. Wirtz, and Michel Fortmann, Balance of Power, Theory and Practice in the 21 Century. California: Stanford University Press, 2004, p. 4 33 Hans J. Morgenthau, Politics Among Nations: The Strunggle for Power and Peace, edisi bahasa Indonesia, Politik Antar Bangsa, diterjemahkan oleh, S. Maimoen, A.M., Fatwan, Jakarta: Pustaka Obor Indonesia, 2010, p. 200 34 Scott Burchill and Andrew Linklater, p. 104. 35 Scott Burchill and Andrew Linklater, p. 110. 36 Kenneth N Waltz, Theory of international politics. New York: Addison-wesly, 1979, pp. 204-205 st
26
Ralf Emmers menggunakan konsep balance of power dalam dua cara. Pertama Emmers menunjukkan pentingnya keberlanjutan mengelolah hubungan keamanan antara kekuatan besar untuk dapat mencegah munculnya hegemoni regional,
kedua
keseimbangan
juga
memberikan
kontribusi
untuk
mempertahankan kedaulatan negara-negara kecil/lemah.37 Walaupun situasi damai hanya berupa genjatan senjata, namun situasi balance of power setidaknya dapat mempertahankan keberlangsungan entitas negara dari munculnya hegemoni kekuatan besar. Semakin berimbang kekuatan untuk membendung hegemoni regional maka semakin lama seituasi damai. Alat utama bagi suatu bangsa dalam alasannya menggunakan kekuatan yang dikuasainya untuk memepertahankan atau memulihkan perimbangan kekuasaan adalah persenjatan (perlobangan senjata),38 negara cendrung meningkatkan pertahanan dan keamanan militernya untuk mengimbangi dan mengungguli kekuatan dan persenjataan negara lain. Kemudian melihat system bekerjanya balance of power dalam hubungan international, sebagaimana dijelaskan dalam bukunya Mohtar Mas‘oed, terdapat beberapa interpretasi dalam memahami system kerja balance of power dengan cara yang berbeda-beda, sebagaimana yang dijelaskan dalam bukunya Mohtar Masoed.39 Balance of power sebagai distribusi. Berupa distribusi sumber kekuatan untuk melakukan perimbangan kekuatan terhadap negara besar, perimbangan tersebut suatu distribusi sumber daya yang relative seimbang diantara para partisipan. Dalam kondisi semacam ini tidak ada satu negara pun, atau bahkan suatu koalisis negara yang kecil, yang bisa mengganggu otonomi partisipan lain , dan ditandai oleh suatu pola politik yang kompetetif. Balance of power sebagai kebijaksanaa Nasional. Metafora perimbangan kekuatan juga telah dipakai untuk menggambarkan suatu jenis kebijaksanaan tertentu, biasanya kebijaksanaan untuk membentuk aliansi defensive demi mencegah agar suatu koalisi tidak bisa memperoleh posisi dominan. Berlakunya konsep ini dilandasi dengan adanya keyakinan bahwa semua negara punyak kecendrungan alamiah untuk memperbesar kekuatannya. Balance of power 37
Ralf Emmers, Cooperative Security and the Balance of Power in ASEAN and the ARF, London and New York; RoutledgeCurzon, taylor and Francis e-library, 2003, p. xii 38 Hans J. Morgenthau, p. 213 39 Mohtar Mas‘oed, Ilmu Hubungan Internasional: disiplin dan metodologi, Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia, 2004, p. 132
27
sebagai ekuilibrium, hal ini dipandang sebagai suatu hubungan diantara variablevariabel utama system itu (seperti distribusi sumber daya atau sikap dan kebijakan negara-negara), perubahan disatu variable berimplikasi pada timbulnya variable lain. Ekuilibrium terpelihara jika variable-variabel itu tidak berubah terlalu cepat dan banyak. Balance of power sebagai preskripsi. Dalam penggunaannya sebagai preskriptif, metafora balance of power itu tidak memberikan diskripsi tentang realistas ataupun teori tentang perilaku negara-negara; pada kenyataannya, gagasan balance of power sebenarnya adalah semboyan kaum konservativ. Walaupun kondisi internasional sudah bergesar dari konsep keamanan tradisional kekonsep non-tradisional dimanan ancaman keamanan tidak hanya muncul dari rivalitas negara sebagai bentuk perlawanan dan perang, tetapi sejauh ini konsep balance of power masih relevan digunakan untuk menjelaskan kondisi sistemik internasional. Dinamika balance of power masih beroperasi dalam politik dunia dengan berbagai bentuk dan intensitasnya, dalam perspektif realis memperkirakan intensitas balancing pasti akan terjadi di masa depan karena kemampuan kekuatan relatif berubah dan kekuasan AS yang dominan pada abad 21 terlalu mengancam terhadap negara-negara lainnya.40 Konsep balance of power
masih bertahan sebagai strategi di abad ke 21, walaupun konsepnya
berbeda dari masa lalu. Berawal dari instilah balancing yang dipandang sebagai strategi negara atau prilaku kebijakan luar negeri, Paul James berargumen bahwa balance of power dianggap sebagai hasil ditingkat sistemik atau subsyistemic, yaitu sebagai kondisi keseimbangan kekuasaan diantara negara-negara.41 Tujuan balancing untuk mencegah meningkatnya daya hegemoni suatu bangsa, dan ketiga upaya perimbangan kekuasaan telah berhasail, maka disitulah kehadiran letaknya balance of power. Dalam analisis Paul, strategi balance of power memiliki tiga bentuk dalam penerapannya, yaitu, hard balancing, soft balancing, dan asymmetric balancing. Hard balancing, merupakan strategi keseimbangan yang sering dipamerkan oleh negara-negara yang secara intens terlibat antar-negara, sehingga negara mengadopsi strategi dengan membangun kapabilitas militer, serta menciptakan 40
T.V. Paul, James J. Wirtz, and Michel Fortmann, Balance of Power, Theory and Practice in the 21st Century, California: Stanford University Press, 2004, p. 3. 41 Ibid, p. 2
28
dan memelihara aliansi formal, untuk menselaraskan kemampuan militer lawan utamanya. Soft Balancing, yaitu keseimbangan yang dilakukan secara diam-diam serta membentuk aliansi sementara (aliansi non-formal). Hal ini terjadi ketika umumnya negara-negara mengembangkan pemahaman keamanan terbatas satu sama lain, untuk menyeimbangkan keadaan yang berpotensi mengancam stabilitas atau meningkatnya kekuatan bangsa lain berpotensi mengancam. Soft balancing sering didasarkan pada pembangunan senjata, ad hoc latihan militer bersama, atau kolaborasi dilembaga-lembaga regional maupun internasional. Asymmetric balancing, sebuah usaha negara yang dilakukan secara tidak langsung untuk memnyeimbangkan atau memberikan ancaman secara tidak langsung yang ditimbulkan oleh pelaku subnasional seperti kelompok teroris yang tidak memiliki kemampuan untuk menantang negara-negara kunci dalam menggunakan kemampuan atau strategi militer konvensional. Penyeimbangan yang dilakukan dengan melalui actor diluar negara seperti terorisme untuk mencegah hegemoni negara kunci.
Table. 1 Balancing Behavior42 Hard Balancing
Soft Balancing
Asymmetric Balancing
42
Nature of Rivalry Intense, open, often zero sum. Relative gains matter most. Submerged, non-zero sum. Relative gains of limited concern for now.
By state or non-state actors (e.g., terrorists). Rivalry intense, although latter are elusive actors.
Key Strategies Membangun persenjataan secara terbuka, aliansi formal Batas penumpukan senjata, Informal, samar-samar, atau ad hoc, Pemahaman keamanan antara negaranegara yang terkena dampak, Pemanfaatan lembaga internasional. Strategi pencegahan. Actor non-negara dan negara sponsor mengejat strategi asimetris; aktor negara mengikuti campuran tradisional dan strategi nontradisional untuk melawan ancaman
Ibid, p. 13
29
Pada dekade kali ini, hard balancing walaupun tidak secara tradisional dan sekalipun bentuknya masih lemah dan rupa-rupa tampaknya masih hadir dalam konflik Timur-Tengah,
43
sebagai contoh Suriah membalancing Israel dalam
konflik perebutan wilayah dataran Gholan. Sedangkan Soft balancing yaitu dilakukan dengan cara diam-diam tanpa bangunan koalisi formal dalam menitralisis dominasi negara dan kekuasaan yang berpotensi mengancam, penyeimbangan ini dapat pula menggunakan lembaga internasional sebagai sarana penyeimbang. Soft balancing yang kerap kali menjadi pilihan sikap negara untuk membanlance hegemoni negara kuat, karena sikap ini memiliki resiko yang rendah dari pada hard balancing. Negara bisa saja tidak sepenuhnya menggunakan kunci strategi soft balancing tetapi bagian-bagian soft balancing, seperti pencegahan hegemoni lewat lembaga internasional, ataupun pembangunan senjata secara diam-diam, dan aliansi non-formal sering menjadi sikap strategis sebuah negara. Strategi soft bisa saja dikonversi secara terbuka menjadi hard balancing ketika persaingan keamanan menjadi ketat dan negara kuat berpotensi mengancam.44 Sebagaimana tabel diatas, menjelaskan bahwa kondisi Soft Balancing meliputi penumpukan senjata secara diam diam untuk mencegah munculnya dominasi negara besar. Selain itu terjadi peningkatan distibusi senjata yang juga dilakukan secara tersembunyi. Balancing juga dengan cara memanfaatkan lembaga internasional seperti PBB yang memegang mandate legitimasi terkuat di kancah internasional dan lembaga lembaga keamanan lainnya. Dari prilaku soft balancing maka muncul pemahaman keamanan yang menjadi pertimbangan negara besar. Pemahaman itu setidaknya dapat mencegah munculnya domenasi negara besar.
E. Jangkauan Penelitian Untuk menjaga efektifitas sebuah penelitian maka penulis membatasinya agar tidak terlalu luas pembahasannya, Penelitian ini memfokuskan pada sikap yang ditunjukkan AS yang kerap kali melakukan kampenye kemanusiannya serta 43 44
Ibid, p. 14 Ibid, p. 3
30
nilai demokrasinya pada negara-bangsa dalam menyikapi konflik internal Suriah yang telah mengalami krisis kemanusia akibat konflik yang berkepanjangan antara rezim Bashar al-Assad dengan kelompok oposisi. Penelitian ini membatasi waktu sejak awal dimulainya krisis yaitu 11 Maret 2011 sampai dampai akhir 2013. Selama dua tahun, peneliti menganggap krisis itu sudah berlangsung cukup lama dibandingkan dengan krisis di Libya yang hanya 6 bulan, serta jatuhnya korban jiwa sampai bulan November 2012 diperkirakan sebanyak 70.000, sebagai landasan krisis kemanusian Suriah telah berada dalam kondisi memprihatinkan.
F. Metode Penelitian Penelitian ini menelaah tentang delema Intervensi militer Amerika Serikat dan krisis internal Suriah. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah diskriptif - eksplanatif. Penelitian deskriptif merupakan suatu metode dalam meneliti suatu kondisi, suatu obyek dan peritiwa yang terjadi pada masa sekarang.45 Sementara eksplanatif, menjawab tentang mengapa sebuah situasi atau kondisi itu terjadi. Penggunaan dua metodologi ini untuk menawarkan penjelesan yang lebih konfrehensif mengenai tema penelitian. Sebuah penelitan sulit dijelaskan tanpa deskripsi, sebaliknya, diskripsi tanpa penjelasan yang masuk akal tidak menarik.46 Penelitian ini lebih bersifat literer, yaitu dengan mengunakan tinjauan pustakan dan bahan-bahan tertulis,47 hal itu meliputi sumber data dan tekhnik pengumpulan data. Peneliti mengunakan sumber data skunder yang diambil dari bahan-bahan documenter melalui studi kepustakaan sesuai dengan obyek penelitian. Tekhnik pengumpulan data digali dari berbagai sumber, misalnya situs-situs resmi pemerintah dan non-pemerintah, media massa, publikasi jurnal ilmiah, artikel surat kabar dan buku-buku yang terkait.
45
Noh Nazir, Metode Penelitian, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1998, p. 63 G. King, R. Keohane & S. Verba, Designing Social Inquiry: Scientific Inference in Qualitative Research, Princeton University Press, New Jersey, 1994, p. 34. 47 Tatang M Anwar, Menyususun Rencana Penelitian, Jakarta: Rajawali, 1996, p. 135 46
31