BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Terorisme bukanlah hal yang baru, tetapi menjadi aktual kembali terutama sejak terjadinya peristiwa World Trade Center (WTC) di New York, Amerika Serikat, pada 11 September 2001. Penyebab terjadinya peristiwa tersebut karena adanya dua pesawat komersil yang menabrak gedung WTC. Akibatnya gedung WTC runtuh dan menelan korban kurang lebih 3.000 jiwa. Liputan beberapa media menguraikan bahwa peristiwa tersebut merupakan bentuk penyerangan dan perlawanan terhadap "Simbol Amerika". Namun ternyata gedung yang diserang tak lain merupakan institusi internasional yang melambangkan kemakmuran ekonomi dunia. Di sana terdapat perwakilan dari berbagai negara, yaitu terdapat 430 perusahaan dari 28 negara. Oleh karena itu, secara tidak langsung selain menyerang Amerika Serikat juga menyerang dunia. Dari peristiwa tersebut, Amerika Serikat menduga Osama bin Laden sebagai tersangka utama pelaku penyerangan tersebut (http://id.wikipedia.org/wiki/Terorisme). Aksi teror juga terjadi di Indonesia, tepatnya di Pulau Bali yang merupakan salah satu tujuan wisata dunia, pada 12 September 2002. Peristiwa tersebut menelan korban 202 jiwa dari 21 negara. Peristiwa tersebut terulang lagi untuk kedua kalinya di Bali, selanjutnya di Hotel JW Marriot, Hotel Ritz Charlton dan Kedutaan Australia.
2
Bentuk penyerangan para teroris yang terjadi pada dua negara tersebut berbeda. Amerika Serikat diserang dengan tiga pesawat komersil milik Amerika Serikat sendiri yang telah dibajak oleh teroris. Dua di antaranya menabrak menara kembar WTC dan lainnya pada gedung Pentagon. Di Indonesia, aksi terornya dalam bentuk bom bunuh diri. Tersangka dalam peristiwa teror yang menggunakan bom ini adalah mereka yang menamakan dirinya sebagai kaum separatis, pejuang kebebasan, pasukan perang salib, militan, mujahidin dan lain-lain. Pembenaran dari kelompok teroris tersebut bahwa, makna dari jihad, mujahidin merupakan tindakan yang tidak menyerang penduduk sipil yang tidak terlibat perang. Namun yang sering terjadi adalah kelompok terorisme mengatasnamakan agama, terutama agama Islam (http://id.wikipedia.org/wiki/Terorisme). Peristiwa ini merupakan isu global yang memengaruhi kebijakan politik seluruh negara-negara di dunia, sehingga menjadi titik tolak persepsi untuk
memerangi
terorisme
sebagai
musuh
internasional.
Dalam
perkembangan aksi teroris saat ini telah membuat dunia menjadi tidak aman. Saat ini tidak ada tempat yang aman dan dapat dikatakan bebas dari ancaman teroris. Ancaman teroris dapat terjadi kapan saja dan di mana saja serta dapat mengancam keselamatan jiwa setiap orang. Karena dampak yang dirasakan tidak hanya bagi warga Indonesia mengenai keamanan, tetapi dapat memengaruhi dan menimbulkan pendapat yang negatif bagi mancanegara. Sehubungan dengan ini, negara Indonesia dalam tahap pembangunan tentunya diperlukan kemantapan stabilitas keamanan di semua bidang.
3
Selama jaringan teroris internasional memiliki ruang untuk tumbuh dan berkembang, maka kemantapan stabilitas keamanan dalam negeri menjadi terancam. Begitupula dengan stabilitas sistem ekonomi, politik, sosial, budaya dan terutama agama menjadi terganggu. Terorisme merupakan serangan-serangan terkoordinasi dengan tujuan menimbulkan perasaan teror terhadap sekelompok masyarakat. Berbeda dengan perang, aksi terorisme tidak tunduk pada tatacara peperangan, seperti waktu pelaksanaan yang selalu tiba-tiba dan target korban jiwa secara acak serta seringkali merupakan warga sipil. Aksi terorisme juga mengandung makna bahwa serangan-serangan teroris dilakukan tidak berperikemanusiaan dan tidak memiliki justifikasi, dan oleh karena itu para pelaku "teroris" layak mendapatkan pembalasan yang kejam. Adapun beberapa bentuk penyerangan atau teror, seperti pemboman, pembajakan, penculikan kapal terbang, dan pembunuhan. Terorisme tidak digunakan karena alasan militer tetapi karena alasan politik atau alasan agama.( http://id.wikipedia.org/wiki/Terorisme) Sejauh ini belum ada batasan yang baku untuk mendefinisikan Terorisme. Menurut Prof. M. Cherif Bassiouni, ahli Hukum Pidana Internasional, bahwa tidak mudah untuk mengadakan suatu pengertian yang identik yang dapat diterima secara universal sehingga sulit mengadakan pengawasan atas makna Terorisme tersebut. Menurut Prof. Brian Jenkins, Phd., Terorisme merupakan pandangan yang subjektif, hal mana didasarkan atas siapa yang memberi batasan pada saat dan kondisi tertentu ( http://id.wikipedia.org/wiki/Terorisme)
4
Berkaitan dengan peristiwa ini, pemberitaan media massa, baik itu media cetak maupun media elektronik sangat berperan aktif dalam menyampaikan setiap perkembangan dari peristiwa tersebut. Terutama pada media-media yang ada di Indonesia, peristiwa tersebut bahkan telah menjadi headline dalam pemberitaan media yang bersangkutan. Dalam ilmu komunikasi massa, media massa adalah sarana atau alat dalam komunikasi massa. Media massa dilihat sebagai alat untuk menyampaikan pesan-pesan kepada sejumlah orang yang tersebar di berbagai tempat (Wiryawan 2007:42). Oleh karena itu, akibat pemberitaan mengenai peristiwa tersebut hampir seluruh masyarakat dunia mengetahui tentang terorisme sesuai apa yang telah mereka dapat dari media yang mereka gunakan. Salah satu jenis media massa adalah media elektronik, yang dalam hal ini erat kaitannya dengan dunia pertelevisian. Dari semua media komunikasi yang ada, televisilah yang paling berpengaruh pada kehidupan manusia. Televisi (TV) merupakan media yang sangat instan dalam menyampaikan sebuah informasi ataupun berita. Masyarakat yang menonton TV selain mendapatkan berita atau informasi juga dapat melihat bentuk atau gambar yang berkaitan dengan berita atau informasi tersebut. Media elektronik terutama dunia pertelevisian di Indonesia semakin banyak dengan muculnya beberapa TV swasta yaitu RCTI, SCTV, ANTEVE, Indosiar, TPI, Metro TV, Trans TV, TV One, Trans7 dan Global TV. Namun
5
dalam pola siaran yang relatif seragam, Metro TV nampak berbeda dibandingkan dengan lainnya. Metro TV merupakan media elektronik pertama di Indonesia yang lebih mengutamakan isi siarannya berupa berita. Selain itu, berita yang ditampilkan sedikit kelihatan lebih netral jika dibandingkan dengan TV berita lainnya. Pemberitaan yang ditampilkan oleh Metro TV mengenai terorisme yang ada di Indonesia cukup aktual dan berimbang. Oleh karena itu, peneliti memilih Metro TV sebagai salah satu objek penelitian berkaitan dengan pemberitaannya mengenai kasus terorisme sebagai bahan penelitian dengan menggunakan analisis framing. Dalam penelitian ini, penulis lebih memilih pemberitaan terorisme Bom bunuh diri di Masjid Polresta Cirebon. Pemberitaan media mengenai peristiwa terorisme di Indonesia memang memiliki nlai berita yang sangat tinggi. Oleh karena itu, Metro TV tidak hanya menyajikan berita terorisme secara umum, tetapi membahasnya kembali secara khusus dalam program TV Metro Realitas. Program TV Metro Realitas merupakan salah satu program Metro TV yang membahas berita dalam bentuk feature news. Tema yang diangkat merupakan sebuah kejadian yang sedang hangat terjadi dan diperbincangkan oleh masayarakat misalnya kasus bom Masjid Polresta Cirebon yang merupakan salah satu kasus terorime yang sedang terjadi di Indonesia. Bentuk pembahsannya dengan menampilkan narasumber yang kompeten. Terkait dengan kasus terorisme maka narasumber yang ditampilkan ialah ahli di bidang terorisme. Selain itu tayangan yang ditampilkan lebih dalam atas
6
kronologis peristiwa yang terakit. Para khalayak dapat mengetahui penyebab dari peritiwa tersebut. Namun dalam pemberitaan tersebut tentu ada proses konstruksi terhadap realita yang ada. Untuk mengetahui proses konstruksi tersebut maka dilakukan dengan menggunakan analisis framing karena merupakan metode yang paling sesuai dalam perspektif komunikasi dan analisis ini juga dipakai untuk menganalisa atau membedah cara-cara atau ideologi media, khususnya Metro TV saat mengkonstruksi fakta. Oleh karena itu, peneliti menggunakan dua model analisis framing yaitu Robert Entman dan William A. Gamson. Model analisis Robert N. Entman merupakan model analisis yang mengamati dan mencermati strategi seleksi, penonjolan, dan pertautan fakta ke dalam berita agar lebih bermakna, lebih menarik, lebih berarti dan lebih diingat serta menghasilkan perspektif khalayak. Sedangkan model Gamson merupakan pelengkap dari model pertama dengan penelitiannya lebih terhadap visual image, yakni gambar, grafik, citra yang mendukung biangkai secara keseluruhan. Melihat aspek-aspek seperti itu, penulis mencoba untuk melakukan sebuah penelitian dalam bentuk skripsi yang berjudul : Analisis Framing Dalam Pemberitaan Metro TV Terhadap Kasus Terorisme Di Indonesia (Studi Kasus Metro Realitas) B. Rumusan Masalah 1. Bagaimanakah Metro TV membingkai pemberitaan kasus Terorisme yang ada di Indonesia?
7
2. Bagaimanakah Metro TV memaknai Terorisme dalam peliputan kasus Terorisme di Indonesia? C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian a) Tujuan Penelitian 1. Untuk mengetahui Metro TV dalam membingkai pemberitaan kasus Terorisme yang ada di Indonesia 2. Untuk mengetahui pemaknaan Metro TV dalam peliputan kasus Terorisme di Indonesia. b) Kegunaan Penelitian 1. Secara Teoritis Penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan dan bahan referensi dalam pengembangan Ilmu Komunikasi terkait dengan realitas di balik wacana media elektronik, khususnya studi mengenai berita TV dalam hal ini adalah framing berita tentang kasus Terorisme yang ada di Indonesia. 2. Secara Praktis Hasil Penelitian ini diharapkan mempunyai manfaat bagi mahasiswa, juga bagi jurusan Ilmu Komunikasi, serta media Metro TV itu sendiri. Lebih jelasnya dapat dirinci sebagai berikut: 1. Memberi acuan kepada pembaca yang ingin mengetahui Metro TV dalam membingkai berita kasus terorisme di Indonesia
8
2. Untuk pembuatan skripsi guna memenuhi salah satu syarat dalam menempuh ujian sarjana pada Jurusan Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Hasanuddin. 3. Menunjukkan pembingkaian berita yang dilakukan oleh Metro TV sehingga menjadi masukan bagi pihak Metro TV D. Kerangka Konseptual Media massa pada dasarnya melakukan konstruksi terhadap realitas yang ada. Upaya media massa ialah melakukan perekayasaan sehingga terbentuk realitas yang baru dari realita yang ada dan nyata. Dalam pandangan konstruksionis, media massa tidak akan pernah bisa lepas dari pemaknaan realitas. Dalam pandangan konstruksi sosial (konstruksionisme) berita bukan merupakan peristiwa atau fakta dalam arti yang rill atau sebenarnya. Pada kenyataannya, realitas sosial tidak berdiri sendiri tanpa kehadiran individu baik dalam maupun luar realitas tersebut. Realitas sosial itu memiliki makna ketika realitas sosial dikonstruksi dan dimaknakan secara subjektif oleh individu. Jadi individu mengonstruksi realitas sosial dan merekonstruksikannya dalam dunia nyata serta memantapkan realitas itu berdasarkan pandangan subjektif individu. Konstruksi juga sarat dengan kepentingan, masyarakat selalu berupaya mengenalkan diri mereka melalui hal-hal yang mereka miliki. Menurut Berger dan Luckmann (dalam Bungin, 2010: 7), realitas sosial adalah pengetahuan yang bersifat keseharian yang
9
hidup dan berkembang di masyarakat seperti konsep, kesadaran umum, wacana publik, sebagai hasil dari konstruksi sosial. Analisis framing secara sederhana dapat digambarkan sebagai analisis untuk mengetahui bagaimana realitas (peristiwa, aktor, kelompok, atau apa saja) dibingkai oleh media. Pembingkaian tersebut tentu saja melalui proses konstruksi. Dalam hal ini, realitas dimaknai dan dikonstruksi dengan makna tertentu. Peristiwa dipahami dalam bentukan tertentu. Hasilnya pemberitaan media pada sisi tertentu atau wawancara dengan orang-orang tertentu. Semua elemen tersebut tidak hanya bagian dari teknis jurnalistik, tetapi menandakan bagaimana peristiwa dimaknai dan ditampilkan. Pada dasarnya framing adalah metode untuk melihat cara bercerita media atas berita. Analisis framing termasuk ke dalam paradigma konstruksionis. Paradigma ini mempunyai posisi dan pandangan tersendiri terhadap media dan teks
berita
yang
dihasilkannya.
Konsep
mengenai
kontruksionisme
diperkenalkan oleh sosiolog interpretatif, Peter L. Berger, bersama Thomas Luckman (Eriyanto, 2002:13). Ia banyak menulis karya dan menghasilkan tesis mengenai konstruksi sosial atas realitas. Tesis utama dari Berger adalah manusia dan masyarakat adalah produk yang dialektis, dinamis, dan plural secara terus-menerus. Masyarakat tidak lain adalah produk manusia, namun secara terus-menerus mempunyai aksi kembali terhadap penghasilnya. Sebaliknya, manusia adalah hasil atau produk dari masyarakat. Seseorang baru menjadi seorang pribadi yang beridentitas sejauh ia tetap berada dalam masyarakatnya.
10
Proses dialektis tersebut mempunyai tiga tahapan. Berger dalam Eriyanto (2002:14) menyebutnya sebagai momen. Ada tiga tahapan peristiwa. Pertama, eksternalisasi, yaitu usaha pencurahan atau ekspresi diri manusia ke dalam dunia, baik dalam kegiatan mental maupun fisik. Ini sudah menjadi sifat dasar dari manusia, ia akan selalu mencurahkan diri ke tempat di mana ia berada. Manusia tidak dapat kita mengerti sebagai ketertutupan yang lepas dari dunia luarnya. Manusia berusaha menangkap dirinya, dalam proses inilah dihasilkan suatu dunia dengan kata lain manusia menemukan dirinya sendiri dalam suatu dunia. Kedua, objektivitas, yakni hasil yang telah dicapai, baik mental maupun fisik dari kegiatan ekstrenalisasi manusi tersebut. Hasil itu menghasilkan realitas objektif yang bisa jadi akan menghadapi si penghasil itu sendiri sebagai suatu faktisitas yang berada di luar dan berlainan dari manusia yang menghasilkannya. Lewat proses objektifitas ini, masyarakat menjadi suatu realitas suigeneris. Hasil dari eksternalisasi kebudayaan itu misalnya, manusia menciptakan alat demi kemudahan hidupnya, atau kebedayaan nonmateriil dalam bentuk bahasa. Baik alat tadi maupun bahasa adalah kegiatan eksternalisasi manusia ketika berhadapan dengan dunia, ia adalah hasil dari kegiatan manusia. Setelah dihasilkan, baik benda atau bahasa sebagai produk eksternalisasi tersebut menjadi realitas yang objektif. Bahkan ia dapat menghadapi manusia sebagai penghasil dari produk kebudayaan. Kebudayaan yang telah berstatus sebagai realitas objektif, ada di luar kesadaran manusia,
11
ada “di sana” bagi setiap orang. Realitas objektif itu berada dengan kenyataan empiris yang bisa dialami oleh setiap orang. Ketiga, internalisasi. Proses internalisasi lebih merupakan penyerapan kembali dunia objektif ke dalam kesadaran sedemikian rupa sehingga subjektif individu dipengaruhi oleh struktur dunia sosial. Berbagai macam unsur dari dunia yang telah terobjektifkan tersebut akan ditangkap sebagai gejala realitas di luar kesadarannya, sekaligus sebagai gejala internal bagi kesadaran. Melalui internalisasi, manusia menjadi hasil dari masyarakat. Bagi Berger, realitas itu tidak dibentuk secara ilmiah, tidak juga sesuatu yang diturunkan oleh Tuhan. Tetapi sebaliknya, ia dibentuk dan dikonstruksi. Dengan pemahaman semacam ini, realitas berwajah ganda/plural. Setiap orang bisa mempunyai konstruksi yang berbeda-beda atas suatu realitas. setiap orang yang mempunyai pengalaman, preferensi, pendidikan tertentu dan lingkungan pergaulan atau sosial tertentu akan menafsirkan realitas sosial itu dengan konstruksinya masing-masing. Ada dua karakteristik penting dari pendekatan konstruksionis. Pertama, pendekatan konstruksionis menekankan pada politik pemaknaan dan proses bagaimana seseorang membuat gambaran tentang realitas. makna bukanlah sesuatu yang absolut, konsep statik yang ditemukan dalam suatu pesan. Makna adalah suatu proses aktif yang ditafsirkan seseorang dalam suatu pesan. Kedua, pendekatan konstruksionis memandang kegiatan komunikasi sebagai proses yang dinamis. (Eriyanto, 2002:41)
12
Media massa sampai saat ini berpotensi menciptakan hipperrealitas (hiperreality), yakni suatu upaya media dalam melakukan perekayasaan terhadap makna sehingga memungkinkan terjadinya realitas semu di balik sejumlah pemberitaan yang ada. Oleh karena itu, persoalan yang terdapat dalam media tidak bisa bersifat netral. Antonio Gramsci dalam Sobur (2009:30) melihat media sebagai ruang dimana berbagai ideologi direpresentasikan. Ini berarti, di sisi lain, media bisa menjadi sarana penyebaran ideologi penguasa, alat legitimasi dan kontrol atas wacana publik. Namun di sisi lain, media juga bisa menjadi alat resistensi terhadap kekuasaan. Media bisa menjadi alat untuk membangun kultur dan ideologi dominan bagi kepentingan kelas dominan, sekaligus juga bisa menjadi instrumen perjuangan bagi kaum tertindas untuk membangun kultur dan ideologi tandingan. Wacana media massa dalam banyak kasus, terutama pemberitaan media yang berhubungan dengan peristiwa yang melibatkan pihak yang dominan akan selalu disertai penggambaran buruk bagi yang kurang dominan (Sobur 2009: 36). Dalam ini pemberitaan Metro TV terhadap kasus terorisme di Indonesia, pihak yang menjadi bagian yang kurang dominan merupakan sebuah konstruksi kultural yang dihasilkan oleh ideologi, karena media dalam memuat suatu berita dan mengemas suatu isu atau peristiwa memiliki kerangka tertentu untuk memahami realitas sosial. Melalui narasi yang ditampilkan oleh media, bisa menimbulkan arti-arti tertentu mengenai suatu peristiwa, isu maupun pelaku atau aktor.
13
John Hartley dalam Eriyanto (2002: 131) menjelaskan bahwa narasi berita hampir mirip dengan sebuah novel atau fiksi, dimana di dalamnya ada pahlawan dan ada pula penjahat. Demikian juga dalam cerita fiksi, pahlawan baru ada kalau ada penjahat, begitupula sebaliknya, penjahat ada pahlawan akan menghentikannya. Untuk melihat bagaimana pemberitaan Metro TV terhadap kasus terorisme di Indonesia, salah satu cara yang bisa digunakan untuk menangkap cara media membangun realitas beritanya ialah dengan menggunakan analisis framing. Analisis framing adalah sebuah alat atau metode yang dapat digunakan untuk melihat cara media dalam menampilkan sebuah berita untuk khalayak dan sangat tepat untuk melihat keberpihakan, atau kecenderungan sikap politik sebuah media dalam pemberitaannya. Pada dasarnya analisis framing dipahami dan banyak digunakan dalam penelitian sebagai salah satu teknik analisis isi. Tetapi pada perkembangan berikutnya, analisis framing telah berubah menjadi seperangkat teori yang oleh sejumlah pakar komunikasi dipahami sebagai salah satu pendekatan untuk bagaimana domain dibalik teks media mengkonstruksi pesan. Secara metodologi, analisis framing memiliki perbedaan yang sangat menonjol dengan analisis isi (content analysis). Analisis isi dalam studi komunikasi lebih menitikberatkan pada metode penguraian fakta secara kuantitatif dengan mengkategorisasikan isi pesan teks media. Pada analisis isi, pertanyaan yang selalu muncul; seperti, apa saja yang diberitakan oleh media
14
dalam sebuah peristiwa? Tetapi, dalam analisis framing yang ditekankan adalah bagimana peristiwa itu dibingkai (Eriyanto 2009:3). Oleh karena itu, dalam menganalisa pemberitaan Metro TV tentang kasus terorisme di Indonesia, peneliti melihat analisis framing sebagai metode yang tepat dalam melakukan penelitian. Dalam perspektif komunikasi, analisis framing dipakai untuk membedah cara-cara atau ideologi media saat mengkonstruksi fakta. Analisis ini mencermati strategi seleksi, penonjolan, dan pertautan fakta ke dalam berita agar lebih bermakna. Selain itu, metode ini juga dipakai untuk menganalisis isi media agar lebih menarik, lebih berarti, atau lebih diingat, untuk menggiring interpretasi khalayak sesuai perspektifnya. Entmant, dalam Eriyanto (2009: 163) melihat framing dalam dua dimensi besar yaitu seleksi isu dan penekanan atau penonjolan aspek-aspek realitas. Kedua faktor ini dapat mempertajam framing berita melalui proses seleksi isu yang layak ditampilkan dan penekanan isi beritanya. Perspektif wartawanlah yang akan menentukan fakta yang dipilihnya, ditonjolkannya dan dibuangnya. Menurut William Gamson dalam Eriyanto (2002: 217), dalam pandangannya wacana media adalah elemen yang penting untuk memahami dan mengerti pendapat umum yang berkembang atas suatu isu dan perstiwa. Pendapat umum tdiak cukup kalau hanya didasarkan pada data survai khalayak. Data-data itu perlu dihubungkan dan diperbandingkan dengan bagaimana media mengemas dan menyajikan suatu isu. Sebab, bagaimana
15
media menyajikan suatu isu menentukan bagaimana khalayak memahami dan mengerti suatu isu. Framing adalah pendekatan untuk mengetahui bagaimana perspektif atau cara pandang yang digunakan oleh wartawan ketika menseleksi isu dan menulis berita. Cara pandang atau perspektif itu pada akhirnya menentukan fakta yang diambil, bagian mana yang ditonjolkan dan dihilangkan, dan hendak dibawa ke mana berita tersebut. Gamson dan Mondigliani menyebut cara pandang tersebut sebagai kemasan (package). Skema Kerangka Konseptual Pemberitaan Metro TV terhadap kasus Terorisme Bom di Masjid Polresta Cirebon
Analisis Framing Model Robert N. Entman: -
Define Problems Diagnose Causes Make moral judgement Treatment Recomendation
Hasil Frame Kasus Terorisme di Indonesia Gambar 1. Bagan Kerangka Konseptual
William A.Gamson: Visual Image
16
E. Definisi Operasional -
Analisis Framing ialah salah satu cara menganalisis teks media untuk atau mengetahui cara Metro TV khususnya dalam progrma metro realitas dalam mengangkat isu Terorisme dan aspek apa yang ingin ditonjolkan dari peristiwa/isu tersebut
-
Pemberitaan Terorisme merupakan laporan tentang kejadian atau peristiwa Terorisme khususnya ledakan di Masjid Polresta Cirebon yang telah mengalami proses penyuntingan dari redaksi dan di layangkan ke publik melalui Metro TV dalam program metro realitas.
-
Terorisme merupakan isu/ peristiwa yang terjadi di Masjid Polresta Cirebon
-
Metro TV merupakan salah satu TV swasta di Indonesia yang lebih mengutamakan isi siarannya yaitu berita, dan membahas kasus ledakan Masjid Polresta Cirebon secara mendalam dalam program TV Metro Realitas.
F. Metode Penelitian 1. Objek dan Waktu Penelitian Objek penelitian ini adalah Metro TV, khusus program Metro Realitas mengenai pemberitaan kasus terorisme yang terjadi di Indonesia yaitu kasus Bom di Masjid Polresta Cirebon. Waktu penayangan Senin, 18 April 2011, pukul 23.00 WIB. Penelitian ini berlangsung dari bulan September hingga November 2011.
17
2. Tipe Penelitian Tipe penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif. Pendekatan ini merupakan prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif yang menghasilkan kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati Bogdan & Taylor dalam Moeloeng (2002: 3). Adapun sifat dari penelitian ini adalah deskriptif. Metode deskriptif dapat diartikan sebagai prosedur pemecahan masalah yang diselidiki dengan menggambarkan/melukiskan keadaan subyek/obyek penelitian (seseorang, lembaga, masyarakat dan lain-lain) pada saat sekarang berdasarkan fakta-fakta yang tampak atau sebagaimana adanya. Data yang dikumpulkan berupa kata-kata/gambar dan bukan angka-angka. Hal ini dilakukan seperti orang merajut sehingga setiap bagian ditelaah satu demi satu (Moeloeng, 2002: 6). Format deskriptif kualitatif bertujuan untuk menggambarkan, meringkaskan berbagai kondisi, situasi, atau fenomena realitas sosial dalam masyarakat yang menjadi objek penelitian dan berupaya menarik realitas itu ke permukaan sebagai suatu ciri, karakter, sifat, model, tanda, atau gambaran tentang kondisi, situasi, ataupun fenomena tertentu. (Bungin, 2010: 68). 3. Unit Analisis Unit analisis framing pemberitaan Metro TV dalam program Metro Realitas tentang kasus ledakan bom di Masjid Polresta Cirebon, sesuai dengan keempat struktur dalam perangkat framing model Robert Entman
18
yaitu Problem Identification atau difine problems. Langkah pertama dalam menganalisa suatu teks atau agenda pemberitaan yang dibentuk oleh media pada awalnya mengidentifikasi dan memahami masalah sehingga pada akhirnya memutuskan untuk mengangkat persoalan tersebut ke depan khalayak. Singkatnya, bagaimana suatu peristiwa dilihat?, sebagai apa?, atau sebagai masalah apa?. Casual Interpretation atau Diagnosa causes, yaitu membingkai siapa aktor penyebab masalah. Peristiwa itu dilihat disebabkan oleh apa?, apa yang dianggap sebagai penyebab dari suatu masalah? Setelah dua tahapan di atas, Entman juga mengurai Moral Evaluation dibalik berita, yaitu proses telaah yang dilakukan untuk merumuskan landasan pembenaran atau argumentasi secara moral demi menguatkan struktur gagasan yang telah dibangun. Gagasan tersebut menurut Entman harus berhubungan secra emosional dengan khalayak. Kemudian
terakhir,
Treatment
Reccomendation,
yaitu
tahapan
merumuskan kehendak akhir dari seorang jurnalis atau media untuk menuntaskan sebuag peristiwa. Dilengkapi dengan analisis dari William A. Gamson dengan mengambil salah satu dari beberapa perangkat framingnya yaitu Visual Image, yang analisisnya lebih mengutamakan berupa gambar, grafik, citra yang mendukung bingkai secara keseluruhan. Bisa berupa foto, kartun, ataupun grafik untuk menekankan dan mendukung pesan yang disampaikan.
19
4. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini ialah diperoleh melalui pengamatan terhadap tayangan metro realitas yakni data audio visual (video) dari pemberitaan Metro TV mengenai kasus terorisme di Indonesia, khususnya kasus Bom di Masjid Polresta Cirebon dan wawancara dengan salah satu pihak dari Metro TV dalam hal ini tim dari program Metro Realitas. Untuk melengkapi data primer penelitian, maka ditunjang dengan berbagai referensi atau sumber dokumentasi seperti buku-buku jurnal, laporan penelitian dokumen-dokumen, makalah dan surat kabar serta berbagai informasi dari media online / internet. 5. Teknik Analisis Data Analisis data yang digunakan peneliti dalam penelitian ini adalah analisis framing berdasarkan model Robert Entman dengan keempat elemen analisisnya dan sebagai pendukung analisis media TV yaitu salah satu elemen dari model William A. Gamson yakni Visual Image. Analisis framing merupakan salah satu cara menganalisis media untuk mengetahui realitas yang dikonstruksi atau dibingkai oleh media. Dalam kaitan dengan permasalahan penelitian ini, analisis framing digunakan untuk mengetahui bagaimana Metro TV membingkai pemberitaan kasus terorisme yang terjadi di Indonesia. Melalui analisis ini ingin diketahui seperti realitas yang dikonstruksi oleh Metro TV dalam menyajikan pemberitaannya mengenai kasus terorisme di Indonesia.
20
Entman melihat framing dalam dua dimensi besar: seleksi isu dan penekanan atau penonjolan aspek-aspek tertentu dari realitas/isu. Penonjolan adalah proses membuat informasi menjadi lebih bermakna, lebih menarik, berarti, atau lebih diingat oleh khalayak.
Seleksi isu
Aspek ini berhubungan dengan pemilihan fakta. Dari realitas yang kompleks dan beragam itu, aspek mana yang diseleksi untuk ditampilkan? Dari proses ini selalu terkandung di dalamnya ada bagian berita yang dimasukkan (included), tetapi ada juga berita yang dikeluar (excluded). Tidak semua aspek atau bagian dari isu ditampilkan, wartawan memilih aspek tertentu dari suatu isu. Penonjolan Aspek ini berhubungan dengan penulisan fakta. Ketika aspek tertentu aspek tertentu dari suatu peristiwa/isu tersebut dipilih, dari isu bagaimana aspek tersebut ditulis? Hal ini sangat berkaitan dengan pemakaian kata, kalimat, gambar, dan citra tertentu untuk ditampilkan kepada khalayak. Sumber : Eriyanto, 2002:187
Dalam konsepsi Entman, framing pada dasarnya merujuk pada pemberitaan definisi, penjelasan, evaluasi, dan rekomendasi dalam suatu wacana untuk menekankan kerangka berpikir tertentu terhadap peristiwa yang diwacanakan. Define Problems (pendefinisian masalah) Diagnose causes (Memperkirakan masalah atau sumber masalah)
Bagaimana suatu peristiwa /isu dilihat? Sebagai apa? Atau sebagai masalah apa? Peristiwa itu dilihat disebabkan oleh apa? Apa yang dianggap sebagai penyebab dari suatu masalah? Siapa (aktor) yang dianggap sebagai penyebab masalah? Make moral judgement Nilai moral apa yang disajikan untuk menjelaskan (membuat keputusan moral) masalah? Nilai moral apa yang dipakai untuk melegitimasi atau mendelegitimasi suatu tindakan? Treatment Recommendation Penyelesaian apa yang ditawarkan untuk mengatasi (Menekankan penyelesaian) masalah/isu? Jalan apa yang ditawarkan dan harus ditempuh untuk mengatasi masalah?
21
Sumber: Eriyanto, 2002: 188 Konsepsi mengenai framing dari Entman tersebut menggambarkan secara luas bagaimana peristiwa dimaknai dan ditandakan oleh wartawan. Define problems (pendefinisian masalah) adalah elemen yang pertama kali dapat kita lihat mengenai framing. Elemen ini merupakan master frame / bingkai yang paling utama. Ia menekankan bagaimana peristiwa dipahami oleh wartawan. Diagone causes (memperkirakan penyebab masalah), merupakan elemen framing untuk membingkai siapa yang dianggap sebagai aktor dari suatu peristiwa. Make moral judgement (membuat pilihan moral) adalah elemen framing yang dipakai untuk membenarkan/memberi argumentasi pada pendefinisian
masalah
yang
sudah
dibuat.
Ketika
masalah
sudah
didefinisikan, penyebab masalah sudah ditentukan, dibutuhkan sebuah argumentasi yang kuat untuk mendukung gagasan tersebut. Contoh gerakan mahasiswa, kalau wartawan memaknai demonstrasi mahasiswa sebagai upaya pertahanan diri, dalam teks berita bisa dijumpai serangakaian pilihan moral yang diajukan. Misalnya disebut dalam teks, “mahasiswa adalah kelompok yang tidak mempunyai kepentingan, dan berjuang di garis moral”. Element framing lain adalah Treatment recommendation (menekankan penyelesaian). Elemen ini dipakai untuk menilai apa yang dikehendaki oleh wartawan. Jalan apa yang dipilih untuk menyelesaikan masalah. Penyelesaian
22
itu tentu saja sangat tergantung pada bagaimana peristiwa itu dilihat dan siapa yang dipandang sebagai penyebab masalah. Analisis framing dari Entman dalam kasus ledakan bom di Masjid Polresta Cirebon yang ditayangkan Metro TV, didukung atau diperkuat dengan menggunakan salah satu perangkat analisis framing dari Gamson yakni Visual image. Karena membahas bentuk gambar, grafik, citra yang mendukung bingkai secra keseluruhan bahkan bisa berupa foto, kartun, ataupun grafik untuk menekankan dan mendukung pesan yang ingin disampaikan, sehingga lebih mendekati terhadap objek penelitian.