BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Terbitnya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah atau yang lebih dikenal dengan Undang-Undang Otonomi Daerah menjadi dasar bagi daerah dalam menjalankan pemerintahannya. Pasal 9 Ayat 4 undangundang tersebut menyebutkan bahwa dasar pelaksanaan otonomi daerah adalah urusan pemerintahan konkuren yang diserahkan ke daerah. Penjelasan tentang urusan pemerintahan konkuren dijelaskan sebelum ayat ini yakni pada ayat ketiga, urusan pemerintahan konkuren adalah urusan pemerintahan yang dibagi antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah provinsi dan daerah kabupaten/kota. Pada ayat yang kesebelas urusan pemerintahan konkuren yang menjadi kewenangan daerah terdiri atas urusan pemerintahan wajib dan urusan pemerintahan pilihan. Urusan pemerintahah pilihan ini meliputi kelautan dan perikanan, pariwisata, pertanian, kehutanan, energi dan sumber daya mineral, perdagangan, perindustrian, transmigrasi (Pasal 12 Ayat 3). Masih dalam undang-undang yang sama dalam pasal 14 ayat 1 menyatakan bahwa penyelenggaraan urusan pemerintahan bidang kehutanan, kelautan, serta energi dan sumber daya mineral dibagi antara Pemerintah Pusat dan daerah provinsi. Namun pada lampiran undang-undang ini yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dengan undang-undang otonomi daerah ini dalam halaman 128 suburusan energi baru terbarukan memberikan kewenangan kepada daerah kabupaten dalam hal penerbitan izin pemanfaatan langsung panas bumi dalam
daerah kabupaten/kota, hal ini sesuai dengan Pasal 14 Ayat 4. Padahal di negara Indonesia ini masih banyak sumber energi baru terbarukan. Tabel 1.1 menjelaskan potensi energi nasional yang terdiri dari dua macam sumber energi yaitu fosil dan nonfosil. Tabel 1.1 Potensi Energi Nasional, 2005–2025
SUMBERDAYA
CADANGAN (Proven + Possible)
PRODUKSI (Per Tahun)
86,9 Miliar Barel
9 Miliar Barel
500 Juta Barel
RASIO CAD/PROD (tanpa eksplorasi Per Tahun) 18
384,7 TSCF
182 TSCF
3,0 TSCF
61
57 Miliar Ton
19,3 Miliar Ton
130 Juta Ton
147
SUMBER DAYA
SETARA
PEMANFAATAN
KAPASITAS TERPASANG
TENAGA AIR
845,00 Juta BOE
75,67 GW
6.851 GWh
4.200,00 MW
PANAS BUMI MINI/MICRO HYDRO
219,00 Juta BOE
27,00 GW
2.593,50 GWh
800,00 MW
458,75 MW
458,75 MW
84,00 MW
49,81 MW
302,40 MW
TENAGA SURYA
4,80 kWh/M2/hari
8,00 MW
TENAGA ANGIN
9,29 GW
0,5 MW
JENIS ENERGI FOSIL MINYAK BUMI GAS BATUBARA ENERGI NON FOSIL
BIOMASS
URANIUM/ 24.112 Ton eq. 3 NUKLIR GW untuk 11 tahun Sumber: Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2006
Kabupaten Bantul merupakan salah satu kabupaten yang berada di wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta yang memiliki potensi energi baru dan terbarukan yang cukup. Di kabupaten ini telah ada penelitian tentang pemanfaatan energi yang berasal dari tenaga angin dan tenaga surya yang diubah menjadi energi listrik. Penelitian tersebut dikembangkan di kawasan Pantai Baru Pandansimo Dusun Ngentak, Desa Poncosari, Kecamatan Srandakan, Kabupaten Bantul, Provinsi DIY. Sedangkan kegiatan pengembangan pemanfaatan energi baru terbarukan tersebut dikemas dalam suatu Sistem Pembangkit Listrik Tenaga
Hibrid (PLTH) yakni sistem pembangkit listrik yang memanfaatkan lebih dari satu sumber pembangkit listrik dalam hal ini angin dan panas sinar matahari yang dikenal oleh masyarakat dengan PLTH Bayu Baru. Potensi energi yang ada di Kabupaten Bantul ditunjukkan dalam Tabel 1.2. Tabel 1.2 Potensi Energi di Kabupaten Bantul, 2012
Kecamatan
Potensi Energi Biogas
Potensi Energi Biomassa
Potensi Sampah Kota
Rata-rata Potensi Energi Mikrohidro
Potensi Energi Panas Bumi
Potensi Energi Angin
(MWh/hari)
(MWh)
(MWh/hari)
(kW)
(MW)
(m/s)
Srandakan
41,04
423,24
-
-
-
6,57
Sanden
51,05
957,00
-
-
-
6,07
Kretek
29,00
829,22
0
323,00
10,00
7,01
Pundong
36,76
990,16
-
-
-
-
Bambanglipuro
30,72
1.173,18
-
-
-
-
Pandak
37,38
1.157,83
-
-
-
-
Bantul
39,95
1.176,09
-
-
-
-
Jetis
28,87
1.374,01
-
-
-
-
Imogiri
42,22
1.154,95
-
709,32
-
-
Dlingo
73,28
134,40
-
-
-
-
Pleret
32,71
714,88
-
-
-
-
Piyungan
46,25
1.271,09
901,91
168,17
-
-
Banguntapan
19,31
1.219,81
-
18,11
-
-
Sewon
25,80
1.296,18
-
-
-
-
Kasihan
32,35
702,87
-
-
-
-
Pajangan
89,77
602,47
-
-
-
-
Sedayu
20,83
1.028,61
Jumlah 677,29 16.205,99 Sumber: Pemerintah Kabupaten Bantul (2015).
-
51,38
-
-
901,91
1269,98
10
19,65
Terkait dengan energi baru terbarukan beberapa penelitian telah dilakukan, menurut Nema, dkk. (2008) tenaga angin dan tenaga surya ada dimana-mana, tersedia secara bebas, dan ramah lingkungan. Sistem energi angin tidak mungkin secara teknis layak di semua tempat karena kecepatan angin yang rendah dan menjadi lebih tidak terduga daripada energi surya. Oleh karena itu pemanfaatan gabungan dari sumber energi terbarukan ini menjadi semakin menarik dan banyak digunakan sebagai alternatif energi yang dihasilkan dari minyak. Sudah menjadi keharusan bagi insinyur listrik dan energi untuk mencari sumber energi terbarukan seperti tenaga surya, tenaga angin, panas bumi, laut dan biomassa sebagai energi berkelanjutan, hemat biaya, dan ramah lingkungan untuk alternatif sumber energi konvensional. Akan tetapi, tidak tersedianya sumber daya energi terbarukan ini sepanjang waktu dalam bertahun-tahun telah menyebabkan penelitian di bidang energi terbarukan sistem hibrid. Dalam beberapa tahun terakhir, sudah banyak dilakukan penelitian tentang desain, optimasi, operasi dan pengendalian dari sistem hibrid yang terbarukan (Bajpai dan Dash, 2012). Berdasarkan fakta kebutuhan akan listrik akan terus mengalami kenaikan sehingga diperlukan usaha untuk memanfaatkan sumber energi baru terbarukan. Di negara Indonesia sendiri rasio elektrifikasi nasional sebesar 84,35 persen (Peraturan Presiden Nomor 2 Tahun 2015). Beberapa provinsi yang memiliki rasio elektrifikasi yang rendah diantaranya Kalimantan Tengah (67,23 persen), Kalimantan Utara (69,64 persen), Sulawesi Tenggara (66,78 persen), Nusa Tenggara Barat (68,05 persen), Nusa Tenggara Timur (58,91 persen) dan Papua (43,46 persen).
Tabel 1.3 Rasio Elektrifikasi di Indonesia
No
Provinsi
Rasio Elektrifikasi (%)
No
Provinsi
Rasio Elektrifikasi (%)
1
Nanggroe Aceh Darussalam
92,31
18
Kalimantan Barat
79,77
2
Sumatera Utara
91,03
19
Kalimantan Tengah
67,23
3
Riau
84,54
20
Kalimantan Utara
69,64
4
Kepulauan Riau
74,06
21
Kalimantan Timur
91,71
5
Sumatera Barat
80,14
22
Kalimantan Selatan
83,75
6
Jambi
80,70
23
Gorontalo
74,65
7
Bengkulu
83,47
24
Sulawesi Utara
85,53
8
Sumatera Selatan
76,38
25
Sulawesi Tengah
75,58
9
Bangka Belitung
95,53
26
Sulawesi Tenggara
66,78
10
Lampung
81,27
27
Sulawesi Selatan
85,05
11
Banten
92,93
28
Sulawesi Barat
74,11
12
DKI Jakarta
99,61
29
Nusa Tenggara Barat
68,05
13
Jawa Barat
86,04
30
Nusa Tenggara Timur
58,91
14
Jawa Tengah
88,04
31
Maluku Utara
90,52
15
DIY
82,26
32
Maluku
82,28
16
Jawa Timur
83,55
33
Papua Barat
77,81
Papua
43,36
17 Bali 83,55 34 Sumber: Peraturan Presiden Nomor 2 Tahun 2015
Adapun sebagai contoh untuk kabupaten Bantul pada tahun 2013 di 3 kecamatan yaitu Kecamatan Banguntapan, Piyungan, dan Sewon masih ada 42 keluarga yang belum teraliri listrik, sedangkan 884 keluarga masih menyalur ke tetangga yang sudah berlangganan listrik PLN. Beberapa fakta di atas memberikan gambaran bahwa kebutuhan pembangkit listrik di Indonesia masih belum mencukupi. Untuk memenuhi kebutuhan listrik terutama untuk di daerah terpencil telah dilakukan upaya untuk mengembangkan energi baru terbarukan. Di antara hal lainnya yang menjadi faktor peningkatan permintaan akan energi listrik yaitu industrialisasi yang pesat, penemuan-penemuan teknologi baru, dan peningkatan konsumsi energi rumah tangga terutama penduduk perkotaan (Bajpai
dan Dash, 2012). Usaha pemerintah baik pusat maupun daerah adalah menciptakan pusat percontohan penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam mengatasi kekurangan energi di Indonesia. Saat ini telah ada PLTH yang menjadi pusat percontohan dari berbagai daerah di Indonesia dan sudah banyak yang melakukan studi banding di tempat ini. Lokasi PLTH tersebut berada di kawasan Pantai Baru Pandansimo di Kecamatan Srandakan, Kabupaten Bantul, Yogyakarta yang lebih dikenal dengan PLTH Bayu Baru. Keberadaan PLTH Bayu Baru sudah ada sejak tahun 2010 yang merupakan model penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi berbasis Sistem Inovasi Daerah (SIDa), dimana semua pihak yang berinovasi saling berinteraksi dan berperan sesuai dengan kapasitasnya. Diantara pihak yang terkait dengan pembangunan PLTH Bayu Baru diantaranya Kementerian Riset dan Teknologi (Kemenristek), Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Lembaga Penerbangan dan Antariksa Negara (LAPAN), Universitas Gadjah Mada (UGM), Pemerintah Daerah Kabupaten Bantul, dan masyarakat Dukuh Ngentak (Kemenristek, 2013). Pembangunan PLTH Bayu Baru mampu menggerakkan ekonomi dan menciptakan daerah wisata kincir angin yang berdampak pada peningkatan kesejahteraan masyarakatnya. Pengembangan PLTH berbasis SIDa Bantul diarahkan
untuk
pembentukan
Industri
Kecil
Menengah
(IKM)
yang
memproduksi suku cadang pembangkit listrik tenaga hibrid dalam memenuhi kebutuhan energi di Indonesia timur, sekaligus sebagai model pengembangan energi hibrid untuk dikembangkan di wilayah lain di Indonesia (Kemenristek, 2013).
Pengadaan barang pada saat itu melalui Kemenristek dan LAPAN sebelum dihibahkan ke Pemerintah Kabupaten Bantul pada Bulan Desember tahun 2013. Biaya pemeliharaan PLTH Bayu Baru pada saat penulisan ini dibuat telah dianggarkan di Pemerintah Kabupaten Bantul melalui Dokumen Pelaksanaan Anggaran Satuan Kerja Perangkat Daerah (DPA SKPD) Dinas Sumber Daya Air (Dinas SDA) selama 2 tahun anggaran yakni tahun anggaran 2014 dan tahun anggaran 2015. Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah yang dimaksud barang milik daerah adalah semua barang yang dibeli atau diperoleh atas beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah atau berasal dari perolehan lainnya yang sah (Pasal 1 Ayat 2). Begitu juga dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah memberikan definisi barang milik daerah sebagai semua barang yang dibeli atau diperoleh atas beban Anggaran Pendapatan dan Belanja atau berasal dari perolehan lainnya yang sah (Pasal 1 ayat 39). Adapun barang yang berasal dari perolehan lainnya yang sah menurut Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2014 Pasal 2 Ayat 2 di antaranya adalah sebagai berikut. 1.
Barang yang diperoleh dari hibah/sumbangan atau yang sejenis.
2.
Barang yang diperoleh sebagai pelaksanaan dari perjanjian/kontrak.
3.
Barang yang diperoleh sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.
4.
Barang yang diperoleh berdasarkan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap. Barang milik daerah disebut juga dengan aset daerah, oleh karena itu
pengertian barang milik daerah sama dengan pengertian aset daerah. Pengertian aset adalah sumber daya ekonomi yang dikuasai dan/atau dimiliki oleh pemerintah sebagai akibat dari peristiwa masa lalu dan darimana manfaat ekonomi dan/atau sosial di masa depan diharapkan dapat diperoleh, baik oleh pemerintah maupun masyarakat, serta dapat diukur dalam satuan uang, termasuk sumberdaya non keuangan yang diperlukan untuk penyediaan jasa bagi masyarakat umum dan sumber-sumber daya yang dipelihara karena alasan sejarah dan budaya. (SPI 2013: 203). Menurut SPI 2013 yang dimaksud dengan aset sektor publik (public sector asset) adalah aset yang dimiliki oleh pemerintah atau entitas kuasi pemerintah, untuk menyediakan barang atau jasa kepada publik. Aset sektor publik ini terdiri dari berbagai jenis aset, termasuk di dalamnya aset konvensional, aset bersejarah atau yang dilindungi, aset infrastruktur, aset yang memberikan fungsi utilitas publik, aset rekreasional, serta bangunan publik (misalnya fasilitas militer), di mana masing-masing kategori terdiri dari properti, mesin dan peralatan. Aset sektor publik secara umum mencakup hal-hal berikut. 1.
Aset, yang memiliki jangka waktu (masa kepemilikan) yang khusus (atypical),
tidak
tergantikan,
bukan
penghasil
pendapatan,
menghasilkan barang dan jasa tanpa adanya kompetisi pasar. 2.
Tanah dengan batasan penjualan atau sewa.
atau
3.
Tanah yang ditujukan untuk penggunaan tertentu dan tidak harus memenuhi Penggunaan Tertinggi dan Terbaik. Masih dalam SPI 2013, aset infrastruktur memiliki karakteristik berikut.
1.
Merupakan bagian dari suatu sistem atau jaringan.
2.
Sifatnya khusus dan tidak memiliki alternatif penggunaan.
3.
Tidak dapat dipindahkan.
4.
Memiliki keterbatasan dalam penjualan. Seiring dengan perkembangan pemanfaatan PLTH tersebut yang banyak
memberikan keuntungan terhadap warga sekitar, juga terkait dengan biaya pemeliharaan terhadap keberlangsungan PLTH tersebut, maka Kementerian Riset dan Teknologi menyerahkan pengelolaannya kepada Pemerintah Kabupaten Bantul. Penyerahan PLTH dari Kemenristek kepada Pemerintah Daerah Kabupaten Bantul tersebut dibuktikan dengan Berita Acara Serah Terima tertanggal 31 Desember 2013. Sedangkan penyerahan hibah aset dari Pemerintah Kabupaten Bantul kepada Dinas Sumber Daya Air pada tanggal 2 Januari 2014. Adanya bukti serah terima tersebut menjadi dasar bahwa aset tersebut telah menjadi milik Pemerintah Kabupaten Bantul, sehingga pencatatan dan beban pemeliharaannya sudah dimasukkan dalam APBD Pemerintah Kabupaten Bantul melalui Dinas SDA mulai tahun 2014. Lebih jelas bahwa dalam Catatan Atas Laporan Keuangan (CALK) Tahun 2014 Dinas Sumber Daya Air Kabupaten Bantul dalam bab VI tentang penjelasan atas informasi-informasi nonkeuangan disebutkan bahwa Dinas Sumber Daya Air Kabupaten Bantul mendapatkan hibah dari Pemerintah Kabupaten Bantul salah satunya adalah PLTH PV-Wind
(Photovoltaic-Wind yang berarti tenaga surya dan tenaga angin) dan perlengkapannya yang berada di Pantai Pandansimo. Tanggungjawab memelihara aset milik daerah menjadi tanggung jawab pengelola barang, pengguna barang, atau kuasa pengguna barang dimana aset berada di bawah penguasaannya (Pasal 46 Ayat 1 Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2014). Adapun PLTH Bayu Baru merupakan aset khusus yang dimiliki oleh Dinas Sumber Daya Air Kabupaten Bantul dengan pemeliharaan yang bertujuan untuk menjaga berfungsinya sistem dengan baik. Adapun biaya pemeliharaan sebagai bentuk tanggungjawab berada di DPA SKPD Dinas SDA Kabupaten Bantul. Sebelum aset tersebut dihibahkan pada Pemerintah Kabupaten Bantul, kemampuan PLTH Bayu Baru sudah mengalami kemunduran disebabkan beberapa kerusakan alat yang terjadi pada tahun 2012 akibat cuaca yang ekstrim berupa petir. Pada saat ini selain dilakukan pemeliharaan juga harus dilakukan pemulihan fungsi untuk mengembalikan fungsi-fungsi peralatan sistem seperti sebelum terjadi kemunduran fungsi. Sampai saat ini (tahun 2015) fungsi tersebut belum kembali seperti sedia kala. Pengelolaan PLTH Bayu Baru oleh Pemerintah Kabupaten Bantul merupakan hal yang baru bagi pemerintah daerah ini. Format yang sesuai terhadap pemeliharaan PLTH Bayu Baru masih di cari aturan dasarnya. Dari uraian di atas, menjadikan dasar bagi peneliti untuk melakukan riset dengan judul “Life Cycle Cost dan Efektifitas Peralatan PLTH Bayu Baru Pandansimo, Kecamatan Srandakan, Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta Tahun 2015”.
1.2
Keaslian Penelitian Penelitian ini merupakan penerapan metode perhitungan Life Cycle Cost
(LCC) untuk memperkirakan biaya pemeliharaan selama siklus hidup suatu aset. Pada penelitian terdahulu yang diterapkan dalam karya ilmiah berupa tesis maupun jurnal banyak variasi dalam penerapan metode ini, begitu juga tujuan yang bermacam-macam. Remer (1977) menggunakan metode LCC untuk mengetahui biaya siklus hidup pada saat biaya operasionalnya naik secara seragam dibandingkan dengan biaya operasional yang konstan. Adapun hasilnya bisa dipastikan penaksiran LCC terlalu rendah jika diasumsikan biaya operasionalnya konstan. Ehlen (1997) menggunakan metode LCC untuk memperkirakan keuntungan dan kerugian kinerja material-material konstruksi baru di bidang transportasi. Penelitian ini menghasilkan kesimpulan bahwa metode ini lebih tepat digunakan untuk perencanaan dalam memilih beberapa material dengan dimensi yang lebih umum. Putro (2011) melakukan penelitian untuk mengetahui tarif sewa rumah susun sederhana sewa Dabag, Condongcatur, Sleman, Yogyakarta, berdasarkan Peraturan Menteri Negara Perumahan Rakyat No. 18/PERMEN/M/2007 dan metode biaya siklus hidup (life cycle costing). Sebagai perbandingan, perhitungan kemudian menganalisis tarif sewa mana yang sesuai dengan tujuan utama dari pembangunan rumah susun sederhana sewa tersebut. Puspitowati (2013), melakukan penelitian dengan metode LCC untuk pengambilan keputusan terkait modifikasi dan perbaikan ataupun penggantian
sistem pada gedung depo arsip. Depo Arsip selama ini menggunakan sistem MVAC (Mechanical Ventilation and Air Conditioning) yang saat ini merupakan komponen yang menyerap biaya paling besar dalam bangunan karena beroperasi selama 24 jam nonstop setiap harinya. Heralova
(2014)
memiliki
kriteria
dalam
pengambilan
keputusan
berdasarkan LCC yang membawa keuntungan bagi pemiliknya. Dengan berdasarkan LCC, sebuah keputusan akan mewakili pandangan ekonomi yang baru dari proyek konstruksi. Menilai bangunan dari proyek investasi dengan menggunakan life cycle cost merupakan hal yang bagus untuk memenuhi kriteria ekonomi, efektivitas, dan efisiensinya. Hal ini penting untuk proyek yang dibiayai dari dana publik yang harus jelas mendemontrasikan keefektifan keuangan. Menconi dan Grohmann (2014) menggunakan metode LCC memilih material penyekat terbaik yang digunakan di gudang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa material yang baik adalah glass wool, sheep wool, dan hemp fiber. Suhartanto (2014) melakukan penelitian di PLTH Pandansimo. Penelitian tersebut menganalisis tentang kinerja sistem Pembangkit Listrik Tenaga Hibrid (angin dan surya) di Pantai Baru Pandansimo Bantul Yogyakarta. Pendekatan yang digunakan menggunakan model komputer HOMER (Hybrid Optimization Model for Electric Renewable), yakni salah satu pendekatan dalam melakukan evaluasi
ekonomis
dan
teknis
pemanfaatan
energi
terbarukan
untuk
membandingkan kinerja sistem hibrid berdasarkan Net Present Cost (NPC), Cost of Energy (COE), fraksi terbarukan (RF), dan emisi gas rumah kaca.
Prabowo (2014) melakukan penelitian dengan tujuan untuk mengidentifikasi performa bangunan hijau dibandingkan dengan bangunan nonhijau dari sisi penggunaan energi dan air, sisi persepsi kepuasan dan kenyamanan penghuni, serta sisi biaya yang diperlukan selama siklus hidupnya. Penelitian ini menggunakan teori sustainability, dengan analisis yang dilakukan adalah analisis penggunaan energi untuk mewakili sisi environmental, analisis kepuasan dan kenyamanan penghuni untuk mewakili sisi social, serta life cycle costing analysis untuk mewakili sisi economic. Hasilnya menunjukkan bahwa performa bangunan hijau terbukti lebih baik dibandingkan dengan performa bangunan nonhijau. Bangunan hijau terbukti lebih hemat energi dan air, mampu menghasilkan kepuasan dan kenyamanan penghuni yang lebih tinggi, serta membutuhkan life cycle cost yang lebih rendah jika dibandingkan dengan bangunan nonhijau. Dari beberapa penelitian tersebut, terlihat bahwa metode life cycle cost ini banyak digunakan untuk mendukung keputusan manajemen. Demikian juga peneliti menggunakan LCC ini untuk mendukung memperoleh persentase biaya pemeliharaan dibandingkan jumlah total LCC yang didapat, kemudian peneliti akan menghitung persentase keefektifan peralatan keseluruhan sistem PLTH Bayu Baru.
1.3
Rumusan Masalah Pemeliharaan yang dianggarkan untuk keberlanjutan PLTH Bayu Baru di
Pantai Baru Pandansimo belum bisa mengembalikan fungsi PLTH seperti sediakala. Pemerintah Kabupaten Bantul melalui Dinas Sumber Daya Air bertanggungjawab terhadap pemeliharaan sistem PLTH supaya berfungsi dengan
baik dan bisa mengembangkan sistem tersebut. Biaya pemeliharaan yang telah dikeluarkan selama ini yakni tahun 2014–2015 untuk memelihara dan mengembangkan sistem tersebut belum bisa mengembalikan fungsi sistem seperti sediakala. Dalam sebuah sistem PLTH, biaya pemeliharaan yang dikeluarkan digunakan untuk menjaga peralatan sistem supaya tetap berfungsi dengan baik sehingga tetap bisa menghasilkan produk berupa energi listrik yang mampu memenuhi kebutuhan-kebutuhan bebannya. Peralatan-peralatan tersebut yang telah di lakukan pemeliharaan perlu dilakukan perhitungan untuk mengetahui keefektifan peralatannya, sehingga dapat menjadi bahan pertimbangan dalam menyusun anggaran di tahun berikutnya.
1.4
Pertanyaan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah di atas maka pertanyaan pada penelitian
ini adalah sebagai berikut. 1.
Berapa persen biaya pemeliharaan yang telah dikeluarkan Pemerintah Daerah Kabupaten Bantul dibandingkan estimasi total biaya siklus hidup aset?
2.
Berapa persen keefektifan peralatan sistem PLTH Bayu Baru saat ini dengan persentase biaya pemeliharaan tersebut?
1.5
Tujuan Penelitian Adapun tujuan dalam penelitian ini dapat dijabarkan sebagai berikut.
1.
Menghitung biaya siklus hidup aset sampai akhir usia manfaatnya (20 tahun).
2.
Menghitung keefektifan peralatan sistem PLTH Bayu Baru Tahun 2015.
1.6
Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat yang berarti kepada
pihak pihak berikut ini: 1. Bagi Pemerintah Daerah Bantul maupun pihak pengelola PLTH selanjutnya, diharapkan dengan penelitian ini bisa membantu memberikan informasi sebagai dasar pengambilan kebijakan. 2. Bagi kepentingan akademik, hasil penelitian ini diharapkan mampu memberikan informasi yang dapat dijadikan rujukan untuk penelitian selanjutnya.
1.7
Sistematika Penulisan Penelitian ini menggunakan sistematikan penulisan sebagai berikut. Bab I
Pendahuluan, meliputi latar belakang, keaslian penelitian, rumusan masalah, pertanyaan penelitian, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan sistematika penulisan. Bab II Landasan Teori/Kajian Pustaka, berisi tentang landasan teori/kajian pustaka, mencakup teori, kajian terhadap penelitian terdahulu. Bab III Metode Penelitian, menguraikan tentang metode penelitian, menjelaskan tentang desain penelitian, metode pengumpulan data, definisi operasional, instrumen penelitian, dan metode analisis data. Bab IV Analisis, merupakan analisis data yang mencakup tentang gambaran umum, dan pembahasan. Bab V Simpulan dan Saran, berisi tentang simpulan dan saran.