1
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sejarah
Indonesia
ditinjau
dari
terbentuknya
bangsa
modern
sebenarnya belum lama. Gejala itu baru nampak pada awal abad ke-20, sebelum periode itu konsep bangsa modern belum dikenal. Sejarah Indonesia periode itu lebih terkait kepada hal-hal kedaerahan,
tiap-tiap
daerah
di
wilayah
yang bersifat
Indoenesia
seolah-olah
mempunyai sejarahnya sendiri. Negara Kesatuan Republik Indonesia atau di singkat NKRI merupakan Negara kepulauan yang membentang dari wilayah Sabang sampai Merauke, yang dikenal dengan berbagai macam etnis, budaya dan corak kehidupan tersendiri dalam satu kelompok, namun dengan berbagai etnis dan budaya akan tetapi tetap disatukan dalam Bhinneka Tunggal Ika. Wilayah Indonesia sebelum terbentuknya NKRI merupakan nusantara yang diwarnai oleh berbagai kerajaan yang mendiami suatu wilayah atau daerah kekuasaan yang memiliki etnis dan berbagai aturan-aturan adat yang dibuat dengan berlandaskan nilai-nilai moral dan budaya yang dipahami dan diyakini oleh tiap-tiap kelompok sosial. Dengan beragam etnis dan budaya di Negara Kesatuan Republik Indonesia dapat dilihat dari berbagai kerajaan-kerajaan yang membentang di wilayah Indonesia, sebagai berikut :
2
1. Jawa
: Kerajaan Tarumanegara, kerajaan Ho-Ling / Kaling, kerajaan Kanjuruhan, Singasari, Majapahit.
2. Kalimantan
: Kerajaan Mulawarman dan kerajaan Kertanegara.
3. Sulawesi
: Kerajaan Balanipa, kerajaan Pamboang, kerajaan Tappalang, kerajaan Bone, kerajaan Gowa, kerajaanTallo dll.
4. Sumatera
: Kerajaan Malayu, kerajaan Sriwijaya dan kerajaan Samudra Pasai.
5. Bali
: Kerajaan Bali.
Sistem Pemerintahan dari tiap kerajaan berbeda antara satu kerajaan dengan yang lainkarena tiap kerajaan berlandaskan kebutuhan dan kesepakatan yang telah disepakati oleh tiap-tiap kerajaan itu sendiri sehingga tidak melepaskan nilai-nilai budaya yang melekat dalam kerajaan (kelompok masyarakat). Kebudayaan itu sendiri pada dasarnya terbentuk melalui sejarah yang panjang, perjalanan berliku, tapak demi tapak, trial and error (mencoba dan salah). Pada titik-titik tertentu terdapat peninggalan-peninggalan yang tetap eksis (bertahan) dan terekam sampai sekarang yang kemudian menjadi warisan budaya.Warisan budaya inilah yang menurut Davidson (1991:2) merupakan produk atau hasil budaya fisik dari tradisi-tradisi berbeda dan prestasi-prestasi spiritual dalam bentuk nilai dari masa lalu yang kemudian menjadi elemen pokok bagi jati diri suatu kelompok masyarakat atau kerajaan. Contohnya adalah negara
3
Indonesia yang kaya akan warisan budaya, baik budaya fisik (tangible) maupun nilai budaya (intangible) yang jika ditelaah satu persatu, warisan budaya tersebut ternyata berasal dari kebudayaan lokal masyarakatnya yang sangat beragam. Melestarikan segala budaya yang melekat pada tiap kerajaan yang ada di wilayah Indonesia harus tetap terjaga hingga masa kini, mengingat masa kini adalah masa globalisasi yang dimana budaya-budaya asing dengan mudah masuk di wilayah Indonesia sehingga budaya yang kurang teraktualisasikan dan dilestarikandapat terkikis. Lahirnya nilai – nilai budaya dalam masyarakat berdasarkan mitos dan ideologi. Setiap masyarakat dan didasarkan pada defenisi-defenisi tentang yang baik dan jahat, benar dan salah, bersama-sama merupakan sistem nilai. Defenisi ini pada dirinya sendiri, keyakinan-keyakinan subyektif, karena ide tentang yang baik dan jahat, benar dan salah, tidaklah datang dari pengalaman, akan tetapi keyakinan dan penerimaan suka rela. Dengan demikian mereka adalah ideologis atau bersifat mitos. Pada dasarnya, setiap ideologi adalah sampai pada tingkat tertentu, sistem nilai, bahkan mereka yang mengklaim sebagai sepenuh-penuhnya obyektif. Dalam wilayah tertentu, keputusan nilai adalah lebih umum dan lebih berakar daripada yang lain, terutama di dalam bidang agama, keluarga, seksual dan tentu saja dalam politik. Dalam melewati tingkat dari apa yang berguna atau mencelakakan, menyenangkan atau tidak menyenangkan,
4
kepada apa yang benar atau salah, baik atau buruk, antagonisme politik bertumbuh menjadi semakin jauh lebih kuat. Dengan demikian mitos dan ideologi cenderung memperkuat konflik politik. Namun ideologi juga bisa berlaku untuk mengurangi keteganganketegangan. Kalau dalam kenyataannya, setiap kelas sosial atau kelompok sosial membentuk ideologinya sendiri dan mitosnya sendiri di dalam perjuangan politik, kekuasaan juga mengembangkan mitos dan ideologinya sendiri yang cenderung meredakan konflik dan menghasilkan integrasi sosial. Semua anggota dari suatu masyarakat yang ada mengambil bagian dalam keyakinan dan keputusan nilai tertentu, yang merupakan suatu ideologi pemersatu yang berbeda dari ideologi parsial dan yang bertikai dari berbagai kelompok yang bertempur satu sama lain. Dengan melihat beragamnya kerajaan-kerajaan di wilayah nusantara ini dengan nilai budaya yang berbeda, telah menjadi bukti sejarah yang meyakinkan bahwa Negara kesatuan Republik Indonesia terbentuk karena adanya kerajaan-kerajaan yang mendiami wilayah Indonesia pada masa lalu, oleh karena itu penulis berkesimpulan bahwa Latar belakang adanya sistem Pemerintahan presidensial di indonesia telah belajar banyak dari sistem kerajaan itu yang mendiami wilayah indonesia. Menurut Adam Smith, Bangsa (etnis) dapat bertahan bila ternaungi oleh Negara sehingga pada pertengahan abad ke- 19, seluruh kerajaan di nusantara yang menggambarkan etnisnya masing-masing memasuki era
5
pemerintahan yang baru, dimana kerajaan–kerajaan disatukan dan membentuk sebuah kesatuan pemerintahan yang lebih besar yang dipimpin oleh seorang Kepala Negara yang disebut Presiden dengan mengaplikasikan sistem pemerintahan presidensil yang berada dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dengan berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia memiliki tujuan utama yaitu Menyatukan seluruh Etnis dan menaungi Etnis itu sendiri,maka dari itu tidak dapat di lupakan dari Esensi Negara itu sendiri yang artinya bahwa etnis yang telah membentuk kerajaan yang menjadi wadah etnis, jadi Negara Indonesia itu terbentuk oleh kesatuan kerajaan yang lahir di wilayah Indonesia. Maka dari itu, kerajaan-kerajaan yang ada di wilayah Indonesia pada masanya,harus tetap dilestarikan baik itu dari sisi sejarah maupun etnisitas dan budaya,serta mendapatkan pelajaran dari sejarah,dalam hal ini sejarah pemerintahan. Mengingat Tulisan Taliziduhu Ndraha(dalam bukunya
Kybernology),memaparkan
kegunaan
mempelajari
sejarah
pemerintahan,sebagai berikut : a. Alat untuk Menghadirkan kembali masa Lampau, kini dan di sini. b. Alat
untuk
melestarikan
warisan
dan
peninggalan
pemerintahan. c. Bukti terjadinya berbagai peristiwa pemerintahan. d. Bahan Pembelajaran utama
sejarah
6
e. Bahan evaluasi sejarah dan pelaku sejarah f.
Alat Komunikasi dan informasi antarsejarah.
g. Laporan h. pertanggungjawaban antar generasi. i.
Karya seni.
j.
Warisan
k. Bahan prediksi dan antisipasi masa depan. Oleh karena itu Penulis berasumsi, Untuk mengetahui Sistem pemerintahan pada masa kerajaan di daerah mandar pada khususnya dan melihat relevansi nilai pemerintahan pada masa kerajaan dengan masa otonomi daerah yang sekarang ini, maka kerajaan balanipa dijadikan bahanpenelitian ini karena melihat kerajaan balanipa adalah “Ayah” atau ketua dari persekutuan kerajaan di wilayah mandar yang masuk dalam persekutuan Pitu Ba’bana Binanga. Persekutuan yang kemudian dikenal dengan Pitu Ba’bana Binanga ( tujuh kerajaan di muara sungai atau pesisir pantai ) itu, terdiri atas kerajaan Balanipa, Sendana, Banggae ,Pamboang, Tapalang, Mamuju dan Binuang, Selain persekutuan Pitu Ba’bana Binanga, di daerah mandar terdapat pula persekutuan Pitu Ulunna Salu (Tujuh Kerajaan di hulu sungai), yang terdiri atas kerajan Rantebulanan, Aralle, Mambi, Tabulahan, Matangnga, Tabang dan Bambang.
Kedudukan itulah yang mendasari
sehingga Balanipa tidak hanya sering menjadi representasi dari mandar,
7
tetapi juga menjadi rujukan bagi kerajaan-kerajaan lain di wilayah mandar, sebagaimana yang tercermin dalam ungkapan di masyarakat, bahwa “mua melo’o maindang kedo ada’ tamao di Balanipa” ( kalau anda mau meminjam tata cara adat luhur datanglah ke Balanipa). Itulah sebabnya kerajaan ini mempunyai peranan penting dalam percaturan politik di wilayah mandar, baik dalam membangun persekutuan atau konflik antar kerajaan di wilayah mandar baik dalam membangun persekutuan atau konflik antarkerajaan di wilayah itu. Balanipa itu tersendiri terbagi atas dua kata yakni bala dan nipa, bala merupakan tempat, pagar, atau arena yang berfungsi sebagai tempat untuk mengadu atau mengadili orang-orang yang berseketa dan nipa adalah nama sejenis pohon palam yang sampai dewasa ini dapat dilihat dan digunakan sebahagian penduduk di Balanipa sebagai salah satu bahan untuk keperluan mengatapi suatu bangunan. Oleh karena itu, Balanipa tidak hanya berarti menjaga dan melindungi, tetapi juga bermakna mengadili dan memutuskan perkara. Itulah sebabnya Balanipa dijadikan sebagai nama atas kesatuan pemerintahan yang dibentuk antara Tomakaka (Pemimpin lokal) dari persekutuan Appe Banua kaiyyang (Empat
negeri besar ) dengan
I Manyambungi setelah berhasil
memulihkan keamanan dan ketertiban di daerah tersebut. Pemilihan dan pengangkatan pemerintahan
I
Manyambungi
menjadi
pengendali
kekuasaan
atas persekutuan Appe Banua Kaiyyang(Empat Negeri
8
Besar) yang terdiri atas Napo,Samasundu, Mosso dan Todang-todang, merupakan cikal bakal terbentuknya kesatuan pemerintahan yang kemudian dikenal dengan kerajaan atau Amara’diang Balanipa. Setelah I Manyambungi dilantik menjadi Mara’dia Balanipa, dia mulai menata pemerintahan dan bergiat menyatukan banua-banua ( negerinegeri) di sekitar Appe Banua Kaiyyangmenjadi Kerajaan Balanipa. Atas usul dan saran dari dewan ada’ kaiyyang, maka diangkatlah Puang Dipoyosan yang mempunyai kedudukan sebagai PapuanganLimboro, menjadi
pemangku
adat
(Parriba ada’)
Kerajaan
Balanipa
untuk
mendampingiI Manyambungi dalam mengatur pemerintahan di daerah dataran rendah yang disebut Lappar (Limboro). Kemudian menyusul pengangkatan Pappuangan Tamangalle yang juga biasa disebut dengan Pappuangan Biringlembang menjadi pemangku adat kerajaan, untuk mendampingi mara’dia dalam mengatur pemerintahan di daerah pesisir pantai. Pengangkatan Pappuangang Limboro dan Papuangan Biring lembang menjadi pemangku adat di pusat pemerintahan Kerajaan Balanipa tersebut, tidak berarti bahwa jabatannya sebagai pemimpin banua ditinggalkan. Maksudnya, bahwa mereka tetap menjalankan pemerintahan atau kepemimpinan atas banua asal masing-masing, disamping jabatan mereka sebagai pemangku adat dipusat pemerintahan. Selain itu, secara berurutan mereka juga kemudian menjadi ketua dan wakil ketua dari ada’
9
Kaiyyang Kerajaan Balanipa. Pengangkatan kedua pappuangan itu menjadi pemangku adat di pusat pemerintahan dan penghulu ada’ kaiyyang. Melalui mitos dan teknik yang ada dalam masyarakat mandar sehingga membentuk Kerajaan Balanipa dan seiringnya waktu maka mitos dan teknik ini mengalami perubahan. Mitos dan teknik mungkin akan terlupakan atau bila bertahan akan mengalami perubahan. Dengan seiringnya waktu, nilai-nilai pemerintahan yang ada pada masa Kerajaan Balanipa akan mungkin mengalami perubahan sesuai dengan mitos dan teknik dalam perkembangan zaman hingga masa otonomi daerah yang sekarang. Sistem otonomi daerah merupakan bagian dari azas desentralisasi yang memungkinkan akan memajukan sistem pemerintahan yang ada di Indonesia, dengan otonomi daerah di kab. Polman memberi peluang untuk mengatur dan mengurus urusan daerah sehingga lebih memudahkan dalam kemajuan daerah pada khususnya dan Negara pada umumnya, oleh karena itu pemerintah sendiri dapat memilah sistem yang digunakan dalam daerah, baik itu merealisasikan nilai-nilai pemerintahan yang dijalankan Kerajaan Balanipa dalam hal ini budaya pemerintahan / nilainilai pemerintahan kuno, ataupun menjadikan nilai-nilai pemerintahan terdahulu menjadi pondasi untuk menghasilkan nilai-nilai pemerintahan baru di era otonomi daerah.
10
Oleh karena itu, sangat di perlukanupgradepemahaman mengenai sistem Pemerintahan yang dijalankan pada masa kerajaan. Peneliti berkesimpulan Mengangkat judul Aktualisasi Nilai – Nilai Pemerintahan Kerajaan Balanipa Dalam Penyelenggaraan Otonomi Daerah di Kabupaten Polewali Mandar 1.2. Rumusan Masalah Adapun Rumusan Masalah yang menjadi fokus pada penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Bagaimana
penerapan
nilai-nilai
pemerintahan
masa
Kerajaan
Balanipa ? 2. Bagaimana relevansi nilai pemerintahan Kerajaan Balanipa dengan nilai pemerintahan dalam pelaksanaan otonomi daerah di Kabupaten Polewali Mandar ? 1.3. Tujuan Penelitian Adapun yang menjadi tujuan dari hasil penelitian yang hendak dicapai, Sebagai berikut : 1. Untuk mengetahui nilai - nilai pemerintahan pada masa Kerajaan Balanipa. 2. Untuk mengetahui relevansi nilai pemerintahan Kerajaan Balanipa terhadap pelaksanaan Otonomi Daerah di Kabupaten Polewali Mandar.
11
1.4. Manfaat Penelitian Semoga dengan penelitian dapat memberikan manfaat sebagai berikut: 1. Penelitian ini
diharapkan dapat menjadi
sumber
pengetahuan
mengenai sejarah Negara Kesatuan Republik Indonesia, dalam hal ini sejarah salah satu kerajaan yang pernah berdiam di wilayah Indonesia. 2. Dengan penelitian semoga dapat di tarik benang merah dari sistem pemerintahan Kerajaan Balanipa sehingga tidak menjadi “kabar burung” mengenai sejarah kerajaan di wilayah Nusantara pada umumnya dan Kerajaan Balanipa pada khususnya. 3. Dapat menjadi referensi pemikiran ilmiah dalam melengkapi karya ilmiah yang mengarah pada pengembangan ilmu pengetahuan terkhusus pada sistem pemerintahan kerajaan dengan sistem otonomi daerah. 4. Sebagai
gambaran
sejarah
mengenai
pemerintahan
Kerajaan
Balanipa bagi masyarakat dan pemerintah agar dapat mengetahui pengaruhnilai-nilai budaya terhadap sistem pemerintahan di masa otonomi daerah yang sekarang. 5. Serta
Menjadikan
nilai-nilai
sejarah
pemerintahan
pembelajaran untuk perencanaan pemerintahan kedepan.
menjadi
12
1.5. Kerangka Konseptual Paham Teosentrismelahirkan berbagai macam mitos sehingga menjadikannya kepercayaan yang dianut oleh masyarakat mandar terdahulu, maka mitos inilah yang mendarah daging sehingga menjadi pedoman bagi masyarakat mandar untuk melaksanakan aktifitasnya sehari-hari. Keterikatan masyarakat mandar dengan mitos itu sendiri membuat masyarakat mandar menjadi manusia yang bermoral dan taat dengan aturan-aturan duniawi. Oleh karena itu, masyarakat mandar menjadikannya kebiasaan dan membuat itu menjadi budaya dengan pertimbangan bahwa kehidupan mereka menjadi lebih baik dengan menjalankan kebudayaan tersebut. Budaya ini menjadi hal yang baik untuk tetap dilaksanakan guna kedamaian dalam bermasyarakat, sehingga menjadikannya itu bernilai. Dalam kebudayaan inilah melahirkan nilai-nilai budaya yang melekat dalam kehidupan bermasyarakat serta menjadikan batas-batas wewenang atau hak individual guna ketentraman dalam kelompok sosial. Nilai - nilai budaya ini pula yang menjadi dasar aturan dalam kehidupan sosial mereka. Setiap kehidupan sosial memiliki pemerintah yang dianggap mampu mengendalikan kehidupan sosial. Pemerintah membuat aturanaturan berdasarkankepercayaan (Nilai-nilai budaya) yang melekat pada
13
kehidupan sosialnya.Pemerintah dan masyarakat telah dirangkul dalam satu sistem yang disebut dengan Kerajaan. aturan- aturan tiap kerajaan relatif, tergantung dari Nilai-nilai budaya yang ada pada lingkungannya. Kerajaan Balanipa sendiri berpedoman pada kepercayaan masyarakat
mandar
untuk
membuat
aturan
kerajaan.
Nilai
Passemandaran yang merupakan puncak nilai yang terkandung didalam tallu ponna atonganan (3 dasar kebijakan ) yang terdiri atas : a.
Mesa ponge’ pallangga (aspek ketuhanan )
b.
Da’duatassisara’ (aspek hukum dan demokrasi )
c.
Tallu tammalaesang (aspek ekonomi, aspek keadilan dan aspek persatuan). Dengan 3 dasar kebijakan inilah membentuk falsafah Nilai- nilai budaya suku mandar yang menjadi pegangan dalam melaksanakan sistem pemerintahan di kerajaan balanipa, sebagai berikut :
1. Buttu Tandira'bai (tegaknya hukum secara utuh) 2. Manu' tandipessisi'(demokrasi dalam segala lini kehidupan) 3.
Bea' tandicupa' (ekonomi kerakyatan yang merata)
4. Karra'arrang tandidappai (keadilan tanpa takaran) 5. ai tandipolong (persatuan yang berkesinambungan) 6. Buttutanditema' diammemanganna tokuana tokua (keutuhan keyakinan akan kekuasaan zat yang Maha Tinggi)
14
Dalam kelompok sosial di masyarakat mandar ternaungi oleh kerajaan balanipa yang memiliki proses yang panjang untuk membentuk kerajaan, memiliki perangkat pemerintah dalam kerajaan dan pembagian urusan pemerintahan kerajaan secara merata serta perluasan wilayah kerajaan guna persatuan yang berkesinambungan. Dengan
adanya
nilai-nilai
budaya
yang
terdapat
pada
kehidupan sosial masyarakat mandar, maka dapat ditarik filosofi budaya mandar yang menjadi aturan/pilar utama dalam menjalankan roda pemerintahan
sehingga melahirkan konsensus di lingkup
kerajaan, konsensus ini yang membentuk sistem. Sistem politik pada khususnya, pemilihan Mara’diaKerajaan Balanipa dilaksanakan secara demokrasi dan keputusan-keputusan dari raja merupakan hal yang wajib untuk dilaksanakan dengan pertimbangan kebutuhan kerajaan serta peraturan dalam Kerajaan Balanipa tidak melanggar filosofi budaya mandar. Melalui filosofi budaya mandar yang menjadi pilar utama pada masa Kerajaan Balanipa, apakah tetap bertahan atau mengalami perubahan pada masa otonomi daerah di Kab.Polewali mandar karena konsep
pemerintahan
pada
masa
kerajaan
dengan
konsep
pemerintahan otonomi daerah di Indonesia kian berbeda atau dapat dikatakan
mengalami
perubahan
yang
besar
sehingga
nilai
pemerintahan terdahulu terkikis.Perubahan Konsep pemerintahan
15
menjadi pertanyaan, Apakah masih tetap relevan nilai pemerintahan terdahulu dengan nilai pemerintahan yang sekarang. Untuk mempermudah memahami hal-hal pokok yang menjadi landasan berfikir, penulis menyajikan
skema kerangka konseptual
dalam penelitian, sebagai berikut : Skema Kerangka Konseptual Penelitian Nilai –nilai Budaya
1. Konsep pemerintahan 2. Siapa yang diperintah dan memerintah. 3. Wujud Pemerintahan 4. Makna Pemerintahan
Sistem Pemerintahan Kerajaan Balanipa
RELEVANSI
1. Buttu Tandira'bai (tegaknya hukum secara utuh) 2. Manu' tandipessisi' (demokrasi dalam segala lini kehidupan) 3. Bea' tandicupa' (ekonomi kerakyatan yang merata) 4. Karra'arrang tandidappai (keadilan tanpa takaran) 5. Wai tandipolong (pertsatuan yang berkesinambunga) 6. Buttutanditema' diammemanganna tokuana tokua (keutuhan keyakinan akan kekuasaan zat yang Maha Tinggi)
Sistem Pemerintahan pada Otonomi Daerah Kab. Polewali Mandar
16
1.6. Metodelogi Penelitian 1.6.1 Dasar dan Tipe Penelitian a. Dasar Penelitian Dasar penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah Wawancara, Observasi, dan Studi Pustaka untuk mengetahui secara mendalam tentang Aktualisasi Nilai-Nilai Pemerintahan Kerajaan Balanipa dalam Penyelenggaraan Otonomi daerah di Kab. Polewali Mandar. b. Tipe Penelitian Tipe penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif, yakni tipe penelitian yang memberikan penjelasan
tentang
aktualisasi
nilai-nilai
gambaran atau
pemerintahan
kerajaan
balanipa dalam penyelenggaraan otonomi daerah di Kab. Polewali Mandar. 1.6.2 Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini akan dilaksanakan di Kabupaten Polewali Mandar Provinsi Sulawesi barat. Dengan kurung waktu selama 3 bulan.
17
1.6.3 Teknik Pengumpulan data 1. Jenis data a. Sumber data primer adalah sumber data yang langsung dari Informan dan di berikan pada peneliti. b. Sumber data sekunder merupakan sumber data yang berasal dari dokumen-dokumen, catatan-catatan, Arsip-arsip resmi, serta literature
lainnya yang relevan dalam melengkapi data primer penelitian. 2. Metode Pengumpulan Data Pengumpulan data kualitatif menggunakan metode Pengamatan : a. Wawancara bertahap dan mendalam (in-dept interview) Wawancara
mendalam
merupakan
proses
memperoleh
keterangan untuk tujuan penelitian dengan cara tanya jawab sambil bertatap muka antara pewawancara dengan informan atau orang yang
di
wawancarai.
Dan
wawancara
bertahap
merupakan
wawancara secara bertahap dan pewawancara tidak harus terlibat dalam kehidupan sosial informan. Sesuai dengan penulis ketahui bahwa penelitian melalui Deskriptif
Kualitatif
menggunakan
informan
sebagai
pemberi
informasi dan data yang sebanyak-banyaknya, Penulis memilih beberapa informan dari penelitian ini yang di antaranya, sebagai berikut:
18
• Beberapa kepala desa / Kepala dusun di kecamatan balanipa yang mengetahui sistem pemerintahan pada masa kerajaan balanipa. • Beberapa kepala desa / Kepala dusun di kecamatan tinambung yang mengetahui sistem pemerintahan pada masa kerajaan balanipa • Tokoh Masyarakat yang mengetahui sejarah kerajaan balanipa. • Dewan adat suku mandar yang mengetahui sejarah kerajaan balanipa dan memahami budaya-budaya di suku mandar. • Lurah ataupun mantan lurah yang mengetahui sistem kerajaan balanipa dan sistem pemerintahan pada era otonomi daerah di kabupaten polewali mandar. • Kepala bagian di sekretariat daerah kabupaten polewali mandar. • Masyarakat umum yang memahami sistem pemerintahan
yang
berjalan di era otonomi daerah di kabupaten polewali mandar. b. Observasi Pengamatan langsung terhadap Objek kajian yang sedang berlangsung untuk memperoleh keterangan dan Informasi sebagai data yang akurat tentang hal-hal yang diteliti serta untuk mengetahui relevansi antara jawaban Informan dengan kenyataan yang ada, dengan melakukan pengamatan langsung yang ada di Lapangan yang erat kaitannya dengan Objek penelitian.
19
c. Studi Pustaka Mencari
sumber data sekunder
yang akan mendukung
penelitian dan Cara yang dilakukan dengan mencari data-data pendukung
(data sekunder) pada berbagai literatur baik berupa
buku-buku, dokumen-dokumen, makalah-makalah hasil penelitian serta bahan-bahan referensi lainnya yang berkaitan dengan Objek penelitian. 1.6.4 Analisis Data Tahap selanjutnya setelah pengumpulan dan penggalian informasi atau data adalah tahap analisis data. Dalam penelitian ini, analisis terhadap
data
menggunakan
Deskriptif
kualitatif
yaitu
dengan
menguraikan dan menjelaskan hasil-hasil penelitian dari sejumlah data yang telah diperoleh dari informan melalui wawancara, observasi dan Study Pustaka. 1.6.5 Defenisi Operasioanal Untuk memfokuskan penelitian maka diperlukan batasanbatasan penelitian yang menjadi wilayah peneliti untuk melakukan penelitian. Adapun indikator – indikator yang menjadi batasan penelitian : 1.
Nilai Budaya
20
Nilai budaya adalah Nilai yang terkandung dalam etnis mandar di dalamnya mencakup filosofi budaya mandar yang terdiri dari enam dasar yang di pegang teguh oleh etnis mandar, maka dari itu bagaimana pengaruh filosofi budaya mandar itu sendiri terhadap roda pemerintahan Kerajaan Balanipa. 2.
Sistem Pemerintahan Sistem
pemerintahan
merupakan
rangkaian
subsistem
yang
melakukan cara atau hal yang digunakan untuk memerintah di kerajaan Balanipa dan Kab. Poewali Mandar sekarang, yang didalamnya terdapat Struktur Pemerintahan dan fungsinya. a. Struktur Pemerintahan Di lihat dari struktur Pemerintahan kerajaan balanipa maka terfokus pada, pembentukan kerajaan balanipa dan kab. Polewali Mandar , perangkat kerajaan dan perangkat daerah Kab.
Polewali
Mandar,
pembagian urusan
pemerintahan
kerajaan dan Kab. Polewali Mandar sebagai Daerah otonom. b. Pembagian urusan pemerintahan Mengetahui bahwa banyak kerajaan-kerajan yang berada dalam wilayah Kerajaan Balanipa maka Peneliti ingin mengetahui pembagian urusan pemerintahan kerajaan balanipa, apakah di tiap kerajaan kecil itu di berlakukan
otonomi daerah atau
Perangkat besar kerajaan balanipa yang mengambil alih tiap-
21
tiap kerajaan kecil yang berada dalam wilayah kerajaan Balanipa. c. Konsep Pemerintahan Konsep pemerintahan yang dimaksud disini ialah konsep yang berasal dari aturan- aturan pemerintahan / filosofi nilai budaya mandar yang akan menjadi pondasi utama dalam pelaksanaan pemerintahan d. Wujud Pemerintahan Wujud Pemerintahan yang dimaksud disini ialah bagaimana proses pelaksanaan pemerintahan di kerajaan balanipa dan dalam penyelenggaraaan otonomi daerah yang sekarang dan lembaga- lembaga yang dibentuk dalam penyelenggaraan pemerintahan. e. Makna Pemerintahan Makna Pemerintahan yang dimaksud disini ialah bagaimana hasil dari proses pemerintahan yang berjalan pada masa kerajaan balanipa dan dalam otonomi daerah di kab. Polewali Mandar yang sekarang dan hasil-hasil yang dicapai dalam pembentukan lembaga-lembaga pemerintahan.
22
3.
Kerajaan Balanipa Kerajaan Balanipa adalah Kerajaan di daerah mandar.tergabung dalam persekutuan Pitu Ba’bana Binanga (PBB) dengan status sebagai Ama/Kamaq yang berarti Bapak dalam pengertian Ketua.
4. Otonomi Daerah Otonomi Daerah yang dimaksud disini ialah sistem pemerintahan daerah yang dijalankan pemerintah daerah dalam mengurus rumah tangganya sendiri yang berdasarkan Undang-undang No 32 Tahun 2004.