BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Sebelum adanya amandemen terhadap Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI Tahun1945), dalam Penjelasan Tentang Undang-Undang Dasar Negara Indonesia dinyatakan Indonesia ialah negara yang berdasar atas hukum (rechtsstaat). Hal itu semakin dikukuhkan ketika dalam perubahan ketiga UUD NRI 1945 terbit Pasal 1 ayat (3) yang menyatakan Negara Indonesia adalah negara hukum. Salah satu asas dan unsur negara hukum sebagaimana dikemukakan oleh Scheltema1 adalah berlakunya asas kepastian hukum. Asas ini di Indonesia tampak jelas dalam frasa “kepastian hukum yang adil” yang ada dalam Pasal 28 D ayat (1) UUD NRI 1945 yang isinya menyatakan bahwa setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum. Dinamika kepastian hukum akan senantiasa berbanding lurus dengan dinamika perkembangan masyarakat yang menjadi tempat hukum itu hidup. Adagium klasik dari Cicero “ubi societas ibi ius” yang berarti dimana ada masyarakat maka disitu ada hukum dapat memberi makna turunan yaitu dimana di dalam masyarakat ada masalah hukum maka saat itu pula akan timbul dinamika
Jimly Asshiddiqie, “Gagasan Negara Hukum Indonesia”, http://jimly.com/makalah/namafile/57/Konsep_Negara_Hukum_Indonesia.pdf, diakses pada hari Rabu, tanggal 05 Agustus 2015 pukul 10.01 WIB, hlm. 5. 1
1
2
terkait kepastian hukum. Oleh karena itu upaya mewujudkan kepastian hukum dalam konteks negara hukum Indonesia adalah isu yang akan senantiasa aktual. Upaya mewujudkan kepastian hukum dalam negara hukum pada umumnya dilakukan dengan menerbitkan berbagai peraturan perundang-undangan sebagai pedoman standar perilaku dalam kehidupan bernegara.2 Namun demikian, menurut Marzuki kepastian hukum bukan hanya berupa pasal-pasal dalam undang-undang, melainkan juga adanya konsistensi dalam putusan hakim antara putusan hakim yang satu dengan putusan hakim lainnya.3 Dalam negara hukum seperti di Indonesia, terutama dalam bidang hukum acara hakim dibatasi oleh asas legalitas hukum 4 sehingga dalam menjatuhkan putusan harus memedomani ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.5 Dalam upaya memedomani ketentuan tersebut, maka hakim wajib melakukan penafsiran terhadap ketentuan tersebut karena setiap norma dalam ketentuan hukum membutuhkan penafsiran agar dapat diterapkan dalam suatu peristiwa konkret.6 Oleh karena itu, hakim dituntut untuk selalu dapat menafsirkan
Bandingkan Enny Nurbaningsih, “Rule Of Law Dan Perkembangannya Dalam Negara Hukum Indonesia”, http://worldjusticeproject.org/sites/default/files/remarks_bahasa_drenny.pdf, diakses pada pada hari Rabu, 05 Agustus 2015 pukul 13.27 WIB.hlm. 2. 3 Peter Mahmud Marzuki, 2009, Pengantar Ilmu Hukum, Kencana, Jakarta, hlm. 52. 4 Enny Nurbaningsih, Loc.Cit. 5 Pasal 25 ayat (1), (2), (3) dan (4) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman mengatur semua badan peradilan di setiap lingkungan peradilan di bawah Mahkamah Agung berwenang memeriksa, mengadili dan memutus perkara sesuai dengan peraturan perundangundangan; 6 Eddy O.S. Hiariej, 2009, Asas Legalitas dan Penemuan Hukum dalam Hukum Pidana, Penerbit Erlangga, Jakarta, hlm. 65. 2
3
makna undang-undang dan peraturan-peraturan lain yang dijadikan dasar untuk diterapkan.7 Zulfa dan Adji8 menyatakan banyak faktor yang dapat mempengaruhi hakim dalam memutus baik yang terkait dengan diri hakim secara pribadi maupun faktor diluar diri hakim seperti pandangan masyarakat, ataupun aturan perundangundangan sebagai faktor yuridis. Ketentuan peraturan perundang-undangan yang terang dan jelas dapat mempermudah para hakim untuk memiliki penafsiran dan pemahaman yang sama sehingga menghindari pertentangan antara putusan hakim satu dengan putusan hakim yang lain dalam perkara-perkara yang memiliki karakter yang hampir serupa. Demikian sebaliknya ketentuan peraturan perundang-undangan yang multitafsir dapat membuat putusan hakim yang satu dengan putusan hakim yang lain menjadi berbeda meskipun perkara-perkara atas putusan tersebut memiliki karakter yang hampir serupa. Predescu dan Safta9 menyatakan sebagai berikut: “Even if, apparently, this element of legal certainty brings to the fore the role of courts, in fact, the requirement still concerns the legislative activity, because of how the normative acts are regulated, correlated, systemized, depends the unity of their interpretation.”
Fence M. Wantu, “Mewujudkan Kepastian Hukum, Keadilan Dan Kemanfaatan Dalam Putusan Hakim Di Peradilan Perdata”, Jurnal Dinamika Hukum, Volume 12, Nomor 3, September, 2012, hlm. 483. 8 Eva Achjani Zulfa dan Indriyanto Seno Adji, 2011, Pergeseran Paradigma Pemidanaan, CV. Lubuk Agung, Bandung, hlm. 23. 9 Ion Predescu dan Marieta Safta, “The Principle of Legal Certainty, Basis For The Rule Of Law Landmark Case Law”, http://www.ccr.ro/ccrold/publications/buletin/8/predescuen.pdf, diakses pada hari Jumat, 07 Agustus 2015, pukul 09.43 WIB, hlm. 12. 7
4
Berdasarkan pernyataan di atas, tampak jika kepastian hukum yang lahir dari kesatuan penafsiran para legislator sejak proses legislasi yang kemudian dijelmakan dalam suatu ketentuan peraturan perundang-undangan akan menentukan pula bagaimana kepastian hukum itu mampu diejawantahkan hakim ketika menangani suatu perkara. Konsistensi putusan-putusan hakim oleh karena itu tidak hanya tergantung pada sosok para hakim semata tetapi juga tergantung kepada seberapa jauh ketentuan dalam peraturan perundang-undangan yang dijadikan pedoman oleh para hakim itu mampu memberikan arah yang jelas sehingga memunculkan kesatuan penafsiran dan pemahaman diantara para hakim. Konsistensi putusan-putusan hakim selain mengandung makna kepastian juga mengandung makna keadilan. Cardozo dalam Ibrahim menyatakan:10 “If a group of cases involves the same point the parties expect the same decision. It would be a gross injustice to decide alternate cases on opposite principles. If a case was decided against me yesterday when i was a defendant, I shall look for the same judgement today as if I am plaintiff. To decide differently would raise a feeling of resentment and wrong in my breast; it would be an infringement, material and moral of my rights.” Makna kepastian hukum dan keadilan yang terkandung dalam konsistensi putusan-putusan hakim itu bagai dua sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan yang dalam UUD NRI 1945 diwujudkan dengan kata “kepastian hukum yang adil”. Artinya konsistensi putusan-putusan hakim harus menggambarkan kepastian hukum sekaligus keadilan. Kepastian hukum yang ada dalam konsistensi putusanputusan hakim adalah wujud dari keadilan dan sebaliknya ketiadaan kepastian Ibrahim, “Independensi Dan Imparsialitas Hakim/Pengadilan Sebagai Parameter Hakim/Pengadilan Sebagai Parameter Kunci “Fair Trial””, Bahan Presentasi, Rapat Koordinasi Badan Pengawas Mahkamah Agung Republik Indonesia, Magelang, 04-06 Juni 2015. 10
5
hukum dalam putusan hakim dengan sendirinya akan menunjukan adanya ketidakadilan. Khusus dalam perkara pidana secara garis besar berdasarkan Kitab UndangUndang Hukum Acara Pidana (KUHAP),11 putusan yang bersifat mengakhiri perkara yang dapat dijatuhkan hakim hanya ada 2 (dua) kemungkinan. Kemungkinan pertama putusan yang dijatuhkan adalah putusan pemidanaan12 sedangkan kemungkinan kedua adalah putusan bukan pemidanaan.13 Berdasarkan Pasal 183 dan Pasal 193 ayat (1) KUHAP, Putusan pemidanaan dijatuhkan jika pengadilan berpendapat bahwa terdakwa bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya tetapi dengan suatu syarat yaitu jika hakim dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya. Artinya syarat bagi hakim untuk dapat menjatuhkan putusan pemidanaan adalah berdasarkan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah, hakim memperoleh keyakinan adanya 2 (dua) keadaan. Pertama, bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi. Kedua, bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya. Baik keadaan pertama maupun keadaan kedua, satu dengan yang lain saling melengkapi. Tanpa adanya kesalahan terdakwa meskipun tindak pidana benar-benar terjadi maka terdakwa tidak dapat dijatuhi pidana. Demikian pula
11
Pasal 285 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana dan penjelasannya mengatur Undang-Undang tersebut disebut sebagai Kitab UndangUndang Hukum Acara Pidana yang dapat diakronimkan menjadi K.U.H.AP. yang setelah disesuaikan dengan aturan ejaan yang disempurnakan (EYD) diakronimkan menjadi KUHAP. 12 Khusus dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak terhadap Terdakwa yang terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah selain dapat menjatuhkan pidana kepada Terdakwa tersebut Pengadilan juga dapat menjatuhkan tindakan. 13 Istilah putusan pemidanaan disebut dalam Pasal 197 ayat (1) KUHAP sedang istilah putusan bukan pemidanaan disebut dalam Pasal 199 ayat (1) KUHAP.
6
ketika tindak pidana tidak terjadi maka tidak mungkin dapat dipertimbangkan adanya kesalahan pada diri terdakwa. Sementara itu, putusan bukan pemidanaan memiliki 2 (dua) jenis putusan yaitu putusan bebas (vrijspraak) dan putusan lepas dari segala tuntutan hukum (ontslag van alle rechtsvervolging). Ketentuan Pasal 191 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) menentukan jika pengadilan berpendapat bahwa dari hasil pemeriksaan di sidang, kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan, maka terdakwa diputus bebas. Dalam penjelasan Pasal 191 ayat (1) KUHAP dinyatakan bahwa yang dimaksud dengan “perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti sah dan meyakinkan” adalah tidak cukup terbukti menurut penilaian hakim atas dasar pembuktian dengan menggunakan alat bukti menurut ketentuan KUHAP. Namun penjelasan tersebut menjadi kabur karena Pasal 191 ayat (1) KUHAP menentukan putusan bebas itu dapat dijatuhkan bukan ketika perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa tidak terbukti secara sah dan meyakinkan tetapi ketika kesalahan terdakwa tidak terbukti secara sah dan meyakinkan. Jadi titik penentunya bukan pada perbuatan yang didakwakan tetapi pada kesalahan terdakwa. Mengenai ketentuan dalam Pasal 191 ayat (1) KUHAP tersebut, Abidin menyatakan sebagai berikut:14 “Di dalam pasal itu kesalahanlah yang didahulukan, pada hal perbuatanlah yang lebih dahulu harus dibuktikan, dan sesudahnya barulah hakim melangkah untuk meneliti tentang kemampuan bertanggung jawab dan 14
Andi Zaenal Abidin, 1987, Asas-Asas Hukum Pidana Bagian Pertama, Penerbit Alumni, Bandung, hlm. 264.
7
kesalahan terdakwa, agar dapat menyimpulkan dipenuhi atau tidaknya syaratsyarat pemidanaan.” Berdasarkan hal tersebut, penjelasan Pasal 191 ayat (1) KUHAP tersebut hanya dapat diterima apabila bunyi ketentuan dalam Pasal 191 ayat (1) KUHAP tersebut menyatakan jika pengadilan berpendapat bahwa dari hasil pemeriksaan di sidang, perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan, maka terdakwa diputus bebas. Meskipun ketika perbuatan terdakwa tidak terbukti dengan sendirinya kesalahannya tidak terbukti pula, akan tetapi ketika kesalahan terdakwa menjadi kunci penentu dalam Pasal 191 ayat (1) KUHAP tersebut maka dalam sudut pandang ajaran dualistis yaitu ajaran yang menganut pemisahan antara tindak pidana dengan pertanggungjawaban pidana, ketentuan dalam Pasal 191 ayat (1) KUHAP tersebut masih dapat menimbulkan keadaan lain bagi jatuhnya putusan bebas itu yaitu: a.
ketika perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa terbukti tetapi perbuatan itu bukan tindak pidana sehingga kesalahan terdakwa secara hukum pidana menjadi tidak ada.
b.
Ketika perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa terbukti dan perbuatan tersebut merupakan tindak pidana tetapi terdakwa tidak memiliki kesalahan ketika melakukan perbuatan tersebut.
Timbulnya kemungkinan keadaan lain dari Pasal 191 ayat (1) KUHAP ini akan memunculkan masalah yuridis jika dihubungkan dengan keberadaan dari Pasal 191 ayat (2) KUHAP yang mengatur putusan lepas. Pasal 191 ayat (2)
8
KUHAP tersebut menyatakan jika pengadilan berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan terbukti, tetapi perbuatan itu tidak merupakan suatu tindak pidana, maka terdakwa diputus lepas dari segala tuntutan hukum. Artinya salah satu keadaan yang mungkin timbul dari Pasal 191 ayat (1) KUHAP memiliki satu persamaan dengan keadaan yang diatur dalam Pasal 191 ayat (2) KUHAP yaitu sama-sama mengatur keadaan ketika suatu perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa terbukti tetapi perbuatan tersebut bukan tindak pidana. Huda menyatakan seharusnya ketentuan tentang putusan lepas adalah “apabila terdakwa tidak dapat dipersalahkan atas tindak pidana yang didakwakan maka diputus lepas dari segala tuntutan hukum”.15 Apa yang dikemukakan Huda tersebut pada dasarnya adalah kemungkinan terakhir sebagaimana yang telah tersebut di atas yang bisa timbul dari ketentuan Pasal 191 ayat (1) KUHAP. Namun demikian kemungkinan tersebut ternyata tidak dapat dijangkau oleh ketentuan Pasal 191 ayat (2) KUHAP yang hanya pada sampai keadaan ketika perbuatan yang didakwakan terbukti tetapi bukan merupakan tindak pidana. Keadaaan tersebut menunjukan ternyata ketika di satu sisi Pasal 191 ayat (1) KUHAP memiliki kemungkinan ruang lingkup yang terlalu luas jangkauannya tetapi di sisi yang lain Pasal 191 ayat (2) KUHAP justru terlalu sempit jangkauannya sehingga tidak menjangkau apa yang seharusnya menjadi ruang lingkupnya. Ketentuan-ketentuan yang demikian tersebut di atas dalam praktik peradilan berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum. Dapat saja hakim yang satu
15
Chairul Huda, 2006, Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju Kepada Tiada Pertanggungjawaban Pidana Tanpa kesalahan, Kencana, Jakarta, hlm. 53
9
menjatuhkan putusan bebas terhadap suatu perkara dengan keadaan perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa terbukti tetapi karena perbuatan itu bukan tindak pidana maka kesalahannya secara hukum pidana dipandang tidak terbukti dengan dasar pemahamannya terhadap Pasal 191 ayat (1) KUHAP. Dalam keadaan yang sama hakim yang lain dapat menjatuhkan putusan lepas dari segala tuntutan hukum dengan dasar Pasal 191 ayat (2) KUHAP atas dalil pemahaman bahwa perbuatannya telah nyata terbukti tetapi perbuatannya bukan tindak pidana. Jika keadaan seperti ini dibiarkan maka dapat menimbulkan inkonsistensi antara putusan hakim satu dengan putusan hakim yang lain sehingga dapat mengancam kepastian hukum sekaligus keadilan. Ancaman terhadap kepastian hukum dan keadilan yang bersumber dari suatu ketentuan peraturan perundang-undangan bertentangan dengan tujuan dari adanya peraturan perundang-undangan itu sendiri. Oleh sebab itu, evaluasi terhadap kemapanan suatu ketentuan yang demikian harus dilakukan agar tidak menimbulkan kerancuan dalam kehidupan berhukum. Meskipun ketentuan putusan bebas dan putusan lepas dari segala tuntutan hukum mungkin akan dipandang sebagai sesuatu yang sangat teknis yang hanya berguna bagi para penegak hukum saja, tetapi dampak yang ditimbulkan dari ketentuan-ketentuan tersebut yang langsung dirasakan para pencari keadilan menjadi alasan yang membuatnya wajib untuk mendapat perhatian yang serius dari pemegang kewenangan membentuk undang-undang. Dalam pembaruan hukum di masa mendatang khususnya dalam pembaruan hukum acara pidana harus diupayakan agar ketentuan putusan bebas dan putusan
10
lepas dari segala tuntutan hukum mendapat perhatian serius agar potensi masalah kepastian hukum dan keadilan yang timbul dari ketentuan putusan bebas dan putusan lepas dari segala tuntutan hukum yang berlaku saat ini dapat dihilangkan. Berdasarkan keseluruhan uraian tersebut di atas, penulis bermaksud untuk melakukan penelitian dengan Judul: “Tinjauan Kritis Terhadap Ketentuan Putusan Bebas Dan Putusan Lepas Dari Segala Tuntutan Hukum Menurut Pasal 191 Kitab UndangUndang Hukum Acara Pidana” Frasa “tinjuan kritis” yang tercantum dalam judul penelitian di atas bersinonim dengan frasa “telaah kritis” dan “kajian kritis” yang berasal dari frasa dalam bahasa Inggris “Critical Review”. Adapun tinjauan kritis itu berdasarkan glosarium BBM PTK Generik merupakan suatu kegiatan membaca, menelaah, menganalisis suatu bacaan/artikel untuk memperoleh ide-ide, penjelasan, data pendukung yang mendukung pokok pikiran utama, serta memberikan komentar terhadap isi bacaan secara keseluruhan dari sudut pandang kepentingan pengkaji.16 Maksud dicantumkannya frasa “tinjuan kritis” dalam judul penelitian ini mengandung arti dalam penelitian ini penulis bermaksud menelaah, menganalisis ketentuan putusan bebas dan putusan lepas dari segala tuntutan hukum menurut Pasal 191 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana untuk memperoleh ide-ide, penjelasan, data pendukung yang mendukung pokok pikiran utama sebagaimana
B. Suparlan, “Model Kajian Kritis Terhadap Artikel Dan Bahan Ajar Untuk KKG Bermutu”, https://sdnegerisembilanjambi.wordpress.com/2012/10/27/model-kajian-kritis-terhadap-artikeldan-bahan-ajar-untuk-kkg-bermutu/, diakses pada hari Minggu, tanggal 7 Februari 2016, pukul 7.27 WIB. 16
11
telah penulis uraikan dalam latar belakang penelitian ini, serta memberikan komentar terhadap isi ketentuan tersebut secara keseluruhan dari sudut pandang kepentingan penulis sebagai pengkaji atau peninjau. Oleh karena itu, frasa “tinjauan kritis” dalam judul penelitian ini tidak berkaitan langsung dengan pemikiran studi hukum kritis (critical legal studies) sebagaimana dikenal dalam gerakan pemikiran hukum. Apalagi salah satu landasan pemikiran dalam gerakan studi hukum kritis adalah penolakan terhadap formalisme hukum.17 Penolakan tersebut berdampak pada tidak diterimanya penafsiran objektif terhadap suatu penomena hukum yang justru menjadi salah satu alasan dari diadakannya penelitian ini. Selain itu, gerakan studi hukum kritis melanjutkan tradisi pengkajian empiris terhadap hukum sebagaimana yang dilakukan oleh aliran realisme tetapi dengan menggunakan pendekatan kiri.18 Sementara penelitian ini melakukan pengkajian normatif terhadap hukum sehingga dapat dikatakan penelitian ini tidak dapat dihubungkan secara langsung kepada suatu aliran pemikiran hukum tertentu dan hanya merupakan suatu kegiatan menelaah dan menganalisis suatu ketentuan untuk memperoleh ide-ide, penjelasan, data pendukung yang mendukung pokok pikiran utama, serta memberikan komentar terhadap isi ketentuan normatif secara keseluruhan dari sudut pandang kepentingan pengkaji.
Wawan Hermawan, “Gerakan Studi Hukum Kritis Dalam Peta Pemikiran Hukum”, http://file.upi.edu/Direktori/FPIPS/M_K_D_U/197402092005011WAWAN_HERMAWAN/Critical_Legal_Studies.pdf, diakses pada hari Minggu tanggal 13 Maret 2016 pukul 8.45 WIB, hlm. 12. 18 Ibid., hlm. 7. 17
12
B.
Rumusan Permasalahan Berdasarkan uraian latar belakang tersebut di atas, maka rumusan
permasalahan yang akan menjadi fokus penelitian adalah: 1.
Bagaimana latar belakang terbitnya ketentuan Pasal 191 KUHAP?
2.
Bagaimana putusan bebas dan putusan lepas dari segala tuntutan hukum dijatuhkan dalam praktik peradilan?
3.
Bagaimana seharusnya ketentuan putusan bebas dan putusan lepas dari segala tuntutan hukum diatur dalam pembaharuan KUHAP di masa mendatang?
C.
Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan permasalahan tersebut di atas maka Penelitian ini
memiliki tujuan sebagai berikut: 1.
Menjelaskan latar belakang munculnya ketentuan Pasal 191 KUHAP.
2.
Mendeskripsikan bagaimana putusan bebas dan putusan lepas dari segala ketentuan hukum sebagai putusan bukan pemidanaan dijatuhkan pada beberapa keadaan sebagai berikut: a. Perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa tidak terbukti. b. Perbuatan yang didakwakan terbukti tetapi tidak merupakan suatu tindak pidana c. Perbuatan yang didakwakan terbukti dan merupakan suatu tindak pidana tetapi tiada kesalahan pada diri terdakwa ketika melakukan perbuatan itu..
13
3.
Menyarankan bagaimana seharusnya ketentuan putusan bebas dan putusan lepas dari segala tuntutan hukum diatur dalam pembaharuan KUHAP di masa mendatang.
D.
Manfaat Penelitian Manfaat
yang diharapkan lahir dari penelitian ini adalah agar dapat
memberikan faedah bagi ilmu pengetahuan dan bagi pembangunan hukum di Indonesia. Bagi Ilmu Pengetahuan, diharapkan dapat memberikan verifikasi apakah ketentuan tentang putusan bebas menurut Pasal 191 ayat (1) KUHAP dan ketentuan tentang putusan lepas dari segala tuntutan hukum menurut Pasal 191 ayat (2) KUHAP sudah tepat sehingga dapat ditentukan apakah ketentuan Pasal 191 KUHAP itu sudah menjamin kepastian hukum atau tidak. Bagi pembangunan hukum di Indonesia, diharapkan dapat memberi masukan tentang tentang perlu tidaknya diadakan pembaruan tentang ketentuan putusan bebas dan putusan lepas dari segala tuntutan hukum sehingga diharapkan penelitian ini dapat dipergunakan oleh para pembentuk Undang-Undang untuk melakukan pembaruan hukum acara pidana di Indonesia yang saat ini rancangannya telah masuk dalam program legislasi nasional (prolegnas) 2015-2019. E.
Keaslian Penelitian Sejauh penelurusan yang telah dilakukan penulis di Perpustakaan
Pascasarjana Universitas Gadjah Mada, Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada dan beberapa perpustakaan lainnya serta penjelajahan melalui
14
jaringan internet, telah terdapat beberapa penelitian hukum yang terkait dengan putusan bebas dan putusan lepas dari segala tuntutan hukum. Beberapa penelitian hukum yang penulis maksudkan adalah sebagai berikut: 1.
Skripsi yang ditulis oleh Herlan Adi Winata dengan judul Putusan Bebas Dan Putusan Lepas Dari Segala Tuntutan Hukum Dalam Perkara Pidana. Permasalahan yang ditulis Winata lebih mengenai pada alasan hakim dalam menjatuhkan putusan bebas dan putusan lepas dari segala tuntutan hukum. Kesimpulan penelitian menjelaskan dasar hukum yang membuat hakim memberikan putusan bebas dan lepas dari segala tuntutan hukum pada pelaku pidana untuk keputusan lepas pada kasus korupsi berdasarkan Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999. Pada kasus pidana penipuan dan pemalsuan berdasarkan pada pasal 378 KUHP Jo. Pasal 55 ayat (2) ke-1 KUHP. Selanjutnya Alasan dan Pertimbangan hakim memutus bebas dan lepas dari segala tuntutan hukum pada kasus korupsi berdasarkan pada Pasal 191 ayat (1) tentang putusan bebas dan pada kasus penipuan dan pemalsuan berdasarkan Pasal 191 ayat (1) KUHAP tentang putusan lepas19.
2.
Skripsi yang ditulis oleh Nani Susilowati dengan judul Analisis Tentang Kasasi Terhadap Putusan Lepas Dari Segala Tuntutan Hukum Oleh Jaksa Penuntut Umum (Studi Kasus Korupsi di Kejaksaan Negeri Klaten). Permasalahan yang diteliti oleh Susilowati adalah untuk
Herlan Adi Winata, 2014, “Putusan Bebas Dan Putusan Lepas Dari Segala Tuntutan Hukum Dalam Perkara Pidana”, Skripsi, Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Surakarta, Surakarta, hlm. xi. 19
15
mengetahui dasar hukum pengajuan kasasi terhadap putusan lepas dari segala tuntutan hukum oleh jaksa penuntut umum, dan mengenai dasar pertimbangan Jaksa Penuntut Umum dalam memori kasasi tersebut diterima oleh Mahkamah Agung. Adapun kesimpulan penelitian itu adalah dasar hukum kasasi terhadap putusan lepas dari segala tuntutan hukum belum diatur secara jelas dalam KUHAP. Meskipun demikian, dasar kasasi terhadap putusan lepas dari segala tuntutan hukum memiliki dasar hukum yang kuat yang berupa yurisprudensi. Sedangkan, dasar pertimbangan Jaksa Penuntut Umum dalam memori kasasi terhadap perkara yang diputus lepas dari segala tuntuan hukum ditinjau dari kasus korupi di Kejaksaan Negeri Klaten, yaitu Jaksa Penuntut Umum harus membuktikan bahwa putusan bebas dari Majelis Hakim Pengadilan Negeri Klaten adalah merupakan putusan lepas dari segala tuntutan hukum dan menentukan pertimbangan atau alasan pengajuan kasasi sesuai dengan Pasal 253 ayat (1).20 3.
Skripsi yang ditulis oleh Guruh Bagas Perkara dengan judul Analisis Yuridis Putusan Bebas (Niet Suivera Vrijspraak) Sebagai Alasan Permohonan Upaya Hukum Kasasi Jaksa Penuntut Umum Pada Tindak Pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga (Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 03/K/Pid.Sus/2008). Permasalahan yang diteliti oleh Perkasa adalah (1) apakah upaya hukum kasasi terhadap putusan bebas oleh Jaksa
Nani Susilowati, 2008, “Analisis Tentang Kasasi Terhadap Putusan Lepas Dari Segala Tuntutan Hukum Oleh Jaksa Penuntut Umum (Studi Kasus Korupsi Di Kejaksaan Negeri Klaten)”, Skripsi, Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret, Surakarta, hlm. iv. 20
16
Penuntut Umum sudah sesuai dengan peraturan perundangan-undangan yang berlaku? Dan (2) apakah akibat hukum yang ditimbulkan jika putusan Mahkamah Agung didasarkan pada putusan hakim yang menerapkan hukum tidak sebagaimana mestinya. Kesimpulan dari penelitian, Pertama, Dasar penuntut umum mengajukan kasasi pada Putusan Pengadilan Tinggi Nomor 250/PID/2007/PT.DKI tidak sesuai jika ditinjau dari ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku khususnya KUHAP. Kedua, akibat hukum jika putusan Mahkamah Agung berdasarkan putusan hakim yang menerapkan hukum tidak sebagaimana mestinya, maka putusan putusan Pengadilan Jakarta Nomor 250/PID/2007/PT.DKI tanggal 1 Agustus 2007 adalah batal demi hukum.21 4.
Jurnal yang ditulis Martina Indah Amalia dengan judul Dasar Pertimbangan Hakim Dalam Menjatuhkan Putusan Bebas (Vrijspraak) Terhadap Terdakwa Dalam Tindak Pidana Korupsi (Studi Putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Pada Pengadilan Negeri Medan No. 51/Pid.Sus.K/2013/PN.Mdn). Permasalahan yang diteliti Amalia adalah bagaimanakah dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan bebas terhadap terdakwa dalam tindak pidana korupsi. Kesimpulan dari penelitiannya menyatakan Hakim dinilai kurang cermat dalam memberikan putusan terhadap terdakwa Rahudman Harahap sehingga
Guruh Bagas Perkasa, 2014, “Analisis Yuridis Putusan Bebas (Niet Suivera Vrijspraak) Sebagai Alasan Permohonan Upaya Hukum Kasasi Jaksa Penuntut Umum Pada Tindak Pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga (Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 03/K/Pid.Sus/2008)”, Skripsi, Fakultas Hukum Universita Jember, Jember, hlm. xii. 21
17
memberikan pertanyaan besar kepada masyarakat karena tidak memberikan kepuasan dari nilai keadilan, kepastian hukum, dan kemanfaatan, khususnya masyarakat Kota Medan dan Kabupaten Padang Sidempuan.22 5.
Skripsi yang ditulis oleh Klansina Irene Duwiri dengan judul Analisis Terhadap Putusan Bebas Dalam Tindak Pidana Korupsi. Hasil penelitian didalamnya menyatakan putusan bebas yang dijatuhkan dalam perkara tindak pidana korupsi di Pengadilan kelas 1A Jayapura dapat dijatuhkan secara tepat kepada terdakwa yang tidak terbukti secara sah bersalah di pengadilan. Putusan bebas tersebut dapat dijatuhkan oleh seorang hakim jika penuntut umum tidak dapat membuktikan dakwaannya di persidangan meskipun demikian dalam penjatuhan putusan bebas ada indikasi kerjasama antara hakim dan penuntut umum untuk membuat tuntutan menjadi kabur dan ada indikasi praktik kolusi dan nepotisme di Pengadilan.23
6.
Tesis yang ditulis oleh Ni Nengah Adiyaryani dengan judul Upaya Hukum Kasasi Oleh Jaksa Penuntut Umum Terhadap Putusan Bebas (Vrijspraak) Dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia. Permasalahan yang diteliti oleh Adiyaryani adalah mengenai: Apa yang menjadi ide dasar sehingga tidak diperkenankannya Jaksa Penuntut Umum
Martina Indah Amalia, 2014, “Dasar Pertimbangan Hakim Dalam Menjatuhkan Putusan Bebas (Vrijspraak) Terhadap Terdakwa Dalam Tindak Pidana Korupsi (Studi Putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Pada Pengadilan Negeri Medan No. 51/Pid.Sus.K/2013/PN.Mdn)”, Jurnal, Fakultas Hukum Universitas Sumetera Utara, Medan, hlm. iii. 23 Klansina Irene Duwiri, 2012, “Analisis Terhadap Putusan Bebas Dalam Tindak Pidana Korupsi”, Skripsi, Fakultas Hukum Universitas Atma Jaya, Yogyakarta, hlm. viii. 22
18
mengajukan upaya hukum kasasi terhadap putusan bebas, bagaimana kebijakan aplikasi kasasi oleh Jaksa Penuntut Umum terhadap putusan bebas, bagaimana upaya hukum kasasi oleh jaksa Penuntut Umum terhadap putusan bebas direformulasikan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang akan datang. Berdasarkan hasil kajian dapat diketahui bahwa yang menjadi ide dasar sehingga Jaksa Penuntut Umum tidak diperkenankan mengajukan upaya hukum kasasi terhadap putusan bebas oleh karena pembebasan terdakwa dirasa sebagai suatu hak yang diperoleh dan tidak boleh diganggu gugat. Namun terjadi perkembangan, dalam aplikasinya Jaksa Penuntut Umum dapat mengajukan kasasi secara langsung kepada mahkamah Agung terhadap putusan bebas yang didasarkan pada Keputusan Menteri Kehakiman RI Nomor: M. 14-PW.07.03 Tahun 1983 tanggal 10 Desember 1983 tentang Tambahan Pedoman Pelaksanaan KUHAP (butir 19). Putusan Mahkamah Agung Regno: 275 K/Pid/1983 dalam Perkara Raden Sonson Natalegawa merupakan putusan yang pertama kali, terlahir sebagai yurisprudensi terhadap putusan bebas setelah berlakunya KUHAP. Oleh karena masih ada kesenjangan norma hukum dalam praktik peradilan pidana terkait upaya hukum kasasi oleh Jaksa Penuntut Umum terhadap putusan bebas maka dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang akan datang perlu direformulasikan secara jelas tentang
19
pemberian hak kepada Jaksa Penuntut Umum untuk mengajukan upaya hukum kasasi terhadap putusan bebas.24 Berdasarkan penelitian-penelitian hukum yang diuraikan tersebut di atas, belum ada satu pun yang penelitian yang fokusnya sama dengan penelitian yang dilakukan penulis yaitu meneliti permasalahan terkait parameter dan kepastian hukum yang terkandung dalam ketentuan yang mengatur tentang putusan bukan pemidanaan baik putusan bebas maupun putusan lepas dari segala tuntutan hukum.
Ni Nengah Adiyaryani, 2010, “Upaya Hukum Kasasi Oleh Jaksa Penuntut Umum Terhadap Putusan Bebas (Vrijspraak) Dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia”, Tesis, Program Magister Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Dipenogoro, Semarang, hlm. vii. 24