1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Perlindungan hukum bagi korban khususnya korban kejahatan perkosaan merupakan salah satu kebutuhan yang semakin mendesak. Hal ini disebabkan kurangnya pengaturan secara tegas dan jelas tentang perlindungan hukum terhadap korban dalam KUHAP. Sistem peradilan pidana lebih mengedepankan bagaimana penjatuhan sanksi pidana kepada pelaku. Sementara perlindungan hukum terhadap korban dalam pemeriksaan pengadilan kurang diperhatikan. Dua hal yang terkait satu sama lain, yakni subyek kejahatan dan obyek kejahatan. Subyek kejahatan adalah orang yang melakukan suatu perbuatan yang dilarang oleh undang-undang yakni pelaku kejahatan. Obyek kejahatan dapat berupa harta benda, mahluk hidup yang bukan manusia (seperti hewan, tumbuhan dan sebagainya) maupun manusia itu sendiri. Manusia dapat menjadi obyek kejahatan antara lain dalam kasus pembunuhan, penganiayaan, dan perkosaan. Manusia sebagai obyek kejahatan inilah yang dalam sehari-hari disebut sebagai korban (victim). Korban diartikan sebagai mereka yang menderita fisik, mental, sosial sebagai akibat tindakan jahat dari mereka yang mau memenuhi kepentingan diri sendiri atau pihak yang menderita. Realitas perkosaan biasanya terjadi secara spontan bahkan ada juga memang pemerkosa sudah mempunyai niat dari awal, namun semua tergantung ada tidaknya kesempatan pelaku untuk melakukan perbuatannya. Dari segi pelaku
2
pemerkosa, bisa dilakukan oleh orang asing juga oleh orang yang sudah dikenal oleh korban.1 Jika tindakan-tindakan yang berkaitan dengan kebutuhan seks dipenuhi tidak berdasarkan secara kesukarelaan (misal ada unsur pemaksaan dan atau kekerasaan)
akan
berdampak
pada
permasalahan/keresahan
masyarakat.
Tindakan-tindakan seksualitas tersebut dimulai dari tingkat yang paling ringan sampai pada terberat, seperti pemerkosaan, semuanya ini merupakan pelecehan seksual. Tindakan pelecehan seksual berhubungan dengan pandangan di masyarakat bahwa perempuan adalah obyek seksualitas, bahkan sebagai obyek kekuasaan laki-laki. Pengertian pelecehan seksual adalah pelecehan yang merupakan bentuk pembendaan dari kata kerja melecehkan yang berarti menghinakan, memandang rendah, mengabaikan. Sedangkan seksual memiliki arti hal yang berkenan dengan seks atau jenis kelamin, hal yang berkenan dengan perkara persetubuhan antara laki-laki dan perempuan. Kejahatan merupakan persoalan dalam dinamika kehidupan yang senantiasa berkembang mengikuti perkembangan peradaban manusia, sehingga tidak bisa dipungkiri berkembangnya kejahatan ditafsirkan sebagai efek negatif dari perubahan aspek tatanan kehidupan manusia. Perkembangan sosial, budaya, ekonomi, politik, ilmu pengetahuan, teknologi dan informasi serta aspek lainya mendorong perubahan dan pergeseran pola pikir dan perilaku manusia untuk senantiasa menyesuaikan dengan kondisi. Pada dasarnya bermuara pada suatu 1
Arif Gosita. Relevansi Viktimologi Dengan Pelayanan Terhadap Para Korban Perkosaan. Jakarta, Inn Hill, 1987, hlm. 79.
3
kepentingan, dimana ketika upaya hukum yang ada, maka berakibat pada pola pikir dan perilaku negatif yang akhirnya melahirkan suatu penyimpangan moral atau penyimpangan terhadap kaidah-kaidah hukum yang berlaku. Kejahatan dan penjahat senantiasa menjadi permasalahan yang seakanakan tidak pernah habis dalam persoalan masyarakat dan penegakan hukumnya, bahkan dalam kajian teori dan dalam bentuk penelitaian sekalipun, persoalan ini tetap menjadi perdebatan yang menarik. Namun sedikit sekali perhatian yang diberikan orang atau badan/lembaga atau bahkan negara (peraturan perundangundangan) kapada korban kejahatan dan dalam hal perlindungan baik dari segi aspek hukum maupun aspek lainnya, sehingga kondisi ini menyebabkan kurangnya jaminan sosial bagi korban kejahatan ketika kembali ke lingkungan sosialnya. Selanjutnya kejahatan salah satu bidang permasalahan yang kontroversial, sehingga dianggap sebagai pusat pembahasan dan permasalahan kriminologi. Kemudian karena inkosistensi dan kontradiksi serta tidak mampunyai berbagai teori kriminologi menerangkan mengapa dan bagaimana terjadinya kejahatan. Masalah kejahatan sebagai suatu fungsi budaya dalam konteks budaya indonesia perlu digali, diolah, dan dibahas lebih lanjut. Kejahatan kesusilaan atau moral offenses dan pelecehan seksual atau sexual harassment merupakan dua bentuk pelanggaran atas kesusilaan. Bukan saja merupakan masalah hukum nasional suatu negara melainkan merupakan suatu masalah hukum semua negara di dunia atau merupakan masalah global.
4
Apalagi masalah ini hanya dipandang dan diperbincangkan sebagai masalah lokal semata-mata. Pelaku kejahatan kesusilaan dan pelecehan seksual bukan dominasi mereka yang berasal dari ekonomi menengah atau rendah atau tidak berpendidikan sama sekali melainkan pelakunya sudah menembus semua golongan strata terendah sampai tinggi. Tingkah laku kriminil adalah tingkah laku yang jahat dan bukan menerangkan tingkah laku itu sendiri. Tetapi tingkah laku tersebut adalah tingkah laku manusia, dan karenanya mempunyai banyak persamaan dengan tingkah laku yang bukan kriminil, tingkah laku yang baik. Tetapi suatu penjelasan tentang tingkah laku kriminil seharusnya merupakan suatu bagian dari teori umum tentang tingkah laku manusia. Dalam rangka memberikan pelayanan terhadap korban perlu diperhatikan dan dimanfaatkan pandangan-pandangan viktimologi sebagai dasar orang bersikap dan bertindak melakukan pelayanan tersebut. Viktimologi adalah suatu studi atau pengetahuan ilmiah yang mempelajari suatu masalah pengorbanan kriminal sebagai suatu nasalah manusia merupakan suatu kenyataan sosial.2 Salah satu akibat dari pengorbanan kriminal yang dapat perhatian viktimologi adalah penderitaan, kerugian mental, fisik, sosial seseorang serta penanggulangannya. Tujuan mencurahkan perhatian pada hal ini adalah terutama untuk memahami pencegahan kriminal yang lebih lanjut. Sehubungan dengan ini maka terlebih dahulu dikemukakan manfaat viktimologi dalam rangka mencari
2
Arif Gosita. Viktimologi. Akademika Pressindo, Jakarta, 1987, hlm. 15.
5
dasar-dasar
penilaian
apakah
sesuatu
itu
rasional
positif
dapat
dipertanggungjawabkan dan bermanfaat atau tidak. Lazimnya orang cuma memperhatikan dalam analisis kejahatan hanya komponen penjahat, undang-undang, dan penegak hukum serta interaksi antar ketiga komponen tersebut. Masalah masyarakat dan faktor lainnya, kalaupun dikaji lebih banyak disoroti oleh sosiologi dan kriminologi. Komponen korban hampir terlupakan dalam analisis ilmiah. Kalaupun dipersoalkan faktor korban, analisisnya belum dikupas secara bulat dan tuntas.3 Kepastian hukum merupakan perlindungan hukum terhadap setiap tindakan sewenang-wenang, artinya tiap-tiap orang berhak memperoleh perlindungan hukum, dan disisi lain tiap-tiap orang juga harus patuh pada hukum yang berlaku. Hukum harus memberikan keadilan, hukum bukan keadilan kerena hukum adalah aturan hukum umum sehingga hukum harus memberikan keadilan dan perlindungan hukum bagi pelaku maupun korban kejahatan tanpa membedabedakan. Perlindungan terhadap hak-hak tersangka/terdakwa dan korban kejahatan pada masa berlakunya HIR sebagai produk hukum warisan kolonial Belanda tidak pernah terlindungi sama sekali. Muncul berbagai persoalan pelanggaranpelanggaran terhadap hak asasi manusia bagi tersangka atau terdakwa bagi korban kejahatan. Awal munculnya kehendak untuk melindungi hak-hak tersangka atau terdakwa terakomodasi dengan diundangkannya Undang-Undang nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Pada beberapa 3
J.E. Sahetapy, Kausa Kejahatan. Pusat Studi Kriminologi Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Surabaya, 1979, hlm. 7.
6
ketentuan didalamnya mengatur secara luas tentang perlindungan hak-hak tersangka atau terdakwa dan sedikit mengatur hak-hak korban kajahatan. Perlindungan hukum terhadap korban terkesan terasing dalam Sistem Peradilan Pidana, disebabkan minimnya pengaturan korban sebagai pihak yang dirugikan (baik secara fisik maupun psikis). Dalam peraturan perundangundangan pidana mengakibatkan kurangnya pembahasan-pembahasan mengenai korban di dalam proses pidana. Peran dan posisi korban di dalam proses pidana sesuai dengan peraturan perundang-undangan pidana di Indonesia (KUHAP) lebih banyak diposisikan dalam kualitas saksi. Sehingga proses persidangan lebih mengarah kepada kepentingan penjatuhan sanksi pidana dari pada kepentingan korban secara luas, dan apa yang menjadi kepentingan korban sering terabaikan. Permasalahan korban (victim) menjadi permasalahan hukum yang membutuhkan satu pemikiran yang serius. Korban sebagai pihak yang dirugikan langsung, tidak memiliki akses yang kuat untuk dapat menentukan sikap yang berhubungan apa yang sedang dialaminya. Menguatnya perlindungan terhadap tersangka atau terdakwa dalam KUHAP ternyata hingga saat ini belum diimbangi dengan perhatian yang sama terhadap nasib korban kejahatan yang juga mengalami nasib yang sama, yaitu terabaikannya oleh sistem peradilan pidana.4 Dari sekian banyak penderitaan korban dalam hal ini korban kejahatan perkosaan atau korban dari kejahatan seksual dalah sebagai contohnya. Seseorang yang mengalami atau menjadi korban dari adanya perkosaan dia harus mengalami penderitaan yang berlipat ganda, mulai dari kerugian fisik, psikis dan harga diri 4
Mudzakkir, Persepsi Korban Kejahatan Terhadap Peradilan Pidana, Lembaga Penelitian UII, 1996, hlm. 10.
7
bahkan materiil akibat tidak tuntasnya perhatian hukum pidana dalam memberikan perlindungan hukum bagi korban perkosaan. Perlindungan hukum terhadap korban kejahatan kesusilaan termasuk korban kejahatan perkosaan di Pengadilan selain diatur dalam pasal 98 sampai dengan pasal 101 KUHAP, juga diatur dalam ketentuan yang dikhususkan bagi pemeriksaan persidangan kejahatan kesusilaan. Ketentuan Pasal 153 ayat (3) KUHAP yang menyebutkan ”untuk keperluan pemeriksaan hakim ketua sidang membuka sidang dan sidang dinyatakan terbuka untuk umum kecuali dalam perkara mengenai kesusilaan atau terdakwanya anak-anak”. Kalimat yang menyatakan ”kecuali dalam perkara kesusilaan” ketentuan pasal 153 ayat (3) KUHAP tersebut menunjukkan, bahwa korban tindak pidana kesusilaan termasuk dalam hal ini adalah korban kejahatan perkosaan memperoleh perlindungan hukum dalam pemeriksaan pengadilan terhadap kehormatan dan harga dirinya untuk tidak dilihat dan didengar atau diketahui oleh umum tentang peristiwa yang dialaminya. Dengan demikian fakta peristiwa yang dikemukakan korban atau saksi korban dalam pemeriksaan pengadilan tidak berakibat rasa malu dan rendah harga diri yang menyebabkan penderitaan psikis bagi korban perkosaan. Ketentuan Pasal 285 KUHP hanya menegaskan batasan acaman pidana 12 (dua belas) tahun penjara dan tidak menegaskan batasan minimal ancaman sanksi, sehingga secara tidak langsung hakim diberikan ruang yang sangat luas untuk memutuskan
ancaman sanksi pidana sampai serendah-rendahnya. Pengaturan
ancaman saksi tersebut tentunya membuka peluang ringannya hukuman dari
8
ancaman maksimal yang dikenakan bagi pelaku, dan hal ini kurang adil bagi kepentingan dan hak-hak korban yang telah menderita akibat perbuatan kejahatan perkosaan yang dilakukan oleh pelaku. Berkaitan dengan penuntutan, Pasal 287 ayat (2) KUHP mengatakan bahwa penuntutan hanya dilakukan atas pengaduan. Kejahatan perkosaan dikategorikan ke dalam delik biasa atau penuntutan dapat dilakukan tanpa aduan dari korban. Maka tanpa aduan dari korbanpun jika ada seseorang yang mengetahui peristiwa tersebut dapat memberitahukan kepada pihak yang berwajib. Bila kondisi hukum pidana indonesia tidak berubah, maka korban kejahatan perkosaan tidak akan dapat terlindungi.
Kasus. Orangtua sudah harus mawas terhadap perilaku anaknya. Pasalnya, kasus pemerkosaan terhadap anak tahun 2008 makin melonjak dan kini tidak lagi dilakukan oleh orang lain, melainkan oleh kerabatnya sendiri. Yang lebih memprihatinkan, pelaku pemerkosaan tidak saja orangtua, bahkan pelajar SD. Ada pula Anak-anak yang diperkosa keluarganya sendiri. Kasus perkosaan yang dilakukan ayah kandung, ayah tiri, paman, kakak, dan lain-lain, itu semakin menjadi fenomena yang mengkhawatirkan. Misalnya pada kasus pemerkosaan di NTB (Nusa Tenggara Barat) yang dilakukan seorang laki-laki bernama Subagyo, berusia 37tahun (paman dari si koban). Pada suatu ketika seorang gadis yang bernama Lia berusia 17tahun yang tidak lain adalah keponakan dari si paman, seusai mengerjakan pekerjaan rumah
9
bersama teman sekolahnya korban pulang kerumah dengan maksud untuk mandi dan secara kebetulan si paman sedang menunggu ibu korban pulang dengan tujuan untuk meminjam uang. Korbanpun menegur paman yang sedang duduk di depan rumah tersebut, serta menanyakan maksud kedatangan si paman tersebut. Kemudian korban mempersilahkan masuk si paman tanpa menaruh rasa curiga sedikitpun. Kemudian setelah itu ia masuk ke kamar untuk mengganti pakaian. Saat ia masuk kamar karena hanya memakai handuk kemudian timbul niat buruk dari si paman untuk melakukan hal yang tidak terpuji tersebut. Si paman tersebut kemudian masuk ke kamar korban lalu memerkosa dan mengancam sikorban untuk tidak menceritakan kepada siapapun atas kejadian tersebut. Akhirnya setelah puas melampiaskan nafsu bejatnya pelakupun kabur. Setelah berapa lama kemudian ibu korban yang baru pulang dari tempat pekerjaan curiga karena melihat anaknya menangis terus menerus, setelah itu ibu korbanpun menanyakan kepadanya. Pada awalnya korban tidak mau menceritakan kejadian tersebut, tapi setelah dipaksa untuk menceritakan kejadian yang sebenarnya akhirnya korbanpun menceritakan hal yang tidak terpuji yang dilakukan pamannya tersebut. Lalu si ibupun melaporkan kejadian tersebut ke aparat kepolisian. Polisi menindak lanjuti laporan tersebut dan mencari sipelaku, pelakupun tertangkap dan dibawa ke Polsek setempat dan ternyata si pelaku tidak lain adalah paman korban. Setelah itu diproses dan diajukan kepersidangan kemudian diputus satu tahun
10
penjara. Atas kejadian tersebut kita melihat bahwa hukum yang diberikan kuranglah dirasakan jera bagi si pelaku karena hanya diputus satu tahun penjara. Rendahnya rasa keadilan bagi korban dan mengakibatkan berkurangnya kepercayaan masyarakat terhadap pengadilan sebagai instruman penegakan hukum dan tempat mencari keadilan. Disisi lain proses pidana hanya mengedepankan hukum sebagai alat yang kaku untuk menjatuhkan sanksi. Sehingga kurang memperhatikan aspek lain dan kondisi yang dirasakan atau diderita oleh korban baik dalam proses persidangan maupun setelah adanya putusan hakim yang berkekuatan hukum tetap. Serta permasalahan peranan pengadilan dan pendelegasian tanggung jawab hukum ke dalam bentuk tanggung jawab sosial kepada masyarakat dan keluarga ketika korban kembali ke lingkungan sosialnya. Hal tersebut seringkali korban akan menjadi korban yang berikutnya dari sistem peradilan pidana. Karena hak-haknya akan dilanggar kembali oleh negara sebagai pelindung masyarakat/warga negaranya. Oleh sebab korban perkosaan harus mendapatkan perhatian yang serius dari negara, dalam perundang-undangan yang ada yang berkaitan pidana dan pemidanaan serta perlindungan hukum terhadap wanita korban perkosaan dalam sistem peradilan pidana dan penerapannya di Pengadilan Negeri. Berdasarkan latar belakang masalah tersebut penulis mengambil judul, ”Perlindungan Hukum Terhadap Korban Kejahatan Perkosaan Di Wilayah Hukum Yogyakarta”. Dengan demikian upaya perlindungan hukum terhadap korban perkosaan di Pengadilan adalah dengan menerapkan sistem pengadilan tertutup untuk umum,
11
kendala-kendala dalam upaya perlindungan hukum terhadap korban perkosaan di pengadilan adalah lemahnya pengaturan perlindungan hukum terhadap korban dalam KUHAP, belum adanya mekanisme yang jelas tentang perlindungan hukum bagi korban dan rendahnya pengetahuan dan profesionalitas penegak hukum. Pertimbangan putusan hakim dalam persidangan kasus perkosaan didasarkan atas pertimbangan peristiwa perbuatan pidana, fakta hukum, alat/barang bukti dan keterangan para saksi.
B. Rumusan Masalah Dari latar belakang masalah diatas maka dapat dirumuskan permasalahan yaitu : 1. Bagaimana ketentuan hukum sekarang ini memberikan perlindungan terhadap wanita korban perkosaan? 2. Bagaimana praktek penegakan hukum terhadap wanita korban perkosaan dan sejauh mana praktek tersebut telah memberikan perlindungan hukum terhadap wanita korban perkosaan ?
C. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui : 1. Ketentuan hukum dalam memberikan perlindungan kepada wanita korban kejahatan perkosaan. 2. Praktek penegakan hukum dalam memberikan perlindungan kepada wanita korban perkosaan.
12
D. Tinjauan Pustaka KUHAP sangat memperhatikan hak-hak seseorang yang tersangkut tindak pidana, mulai dari proses penyidikan, pemeriksaan di persidangan, penjatuhan hukuman sampai pasca persidangan, yaitu pelaksanaan putusan. Karenanya, tidak mengherankan jika KUHAP dinilai sangat concern terhadap hak asasi manusia (HAM). Syaratnya muatan hak-hak seseorang yang tersangkut tindak pidana, ternyata tidak diimbangi pengemasan hak-hak korban kejahatan. Salah satu kelemahan yang mencolok dalam KUHAP ialah hak-hak korban kurang terwadahi. Akibatnya sering ada kejadian pemaksaan pengakuan tersangka kejahatan serta bentuk-bentuk pelanggaran HAM yang lain. Melihat berbagai pengalaman yang dihimpun Komnas Perempuan dari berbagai pusat layanan terpadu maupun dari laporan penegak hukum sendiri, dalam hal ini korban diletakkan pada pusat berjalannya sistem peradilan. Sebagai pusat atau subyek, korban berhak didengar keterangannya, mendapat informasi atas upaya hukum yang berjalan, dipertimbangkan keinginnya untuk mendapat keadilan, dan situasinya dipulihkan perampasan hak dan kekerasan yang dialaminya. Sejalan dengan perkembangan kemajuan masyarakat, berbagai kelemahan ini harus segera diatasi. KUHAP dinilai sebagai salah satu produk hukum bangsa Indonesia yang mempunyai predikat sebagai ”karya agung”.5
5
Arif Gosita, Relevansi … op., cit., hlm. 22.
13
Jika memungkinkan, korban kejahatan menghendaki pemberian ganti rugi untuk memulihkan keadaan (estitutior inintegrum). Posisi dan hak pelaku kejahatan lebih diutamakan (diperhatikan) ketimbang posisi dan hak korban. Betapa tidak, sejak awal pemeriksaan (mulai tingkat penyidikan sampai pemeriksaan pengadilan dan pelaksanaan putusan hakim) hak-hak pelaku kejahatan dilindungi. Pelaku kejahatan berhak memperoleh bantuan hukum, memperoleh perlakuan yang baik, dijauhkan dari penyiksaan, diberitahukan tentang kejahatan yang disangkakan kepadanya, hak memperoleh pemidanaan secara manusiawi. Bahkan juga hak meminta ganti rugi manakala terjadi kekeliruan proses pidana. Segala hak dan atribut yang melekat pada pelaku kejahatan sebagai manusia, dikemas dalam KUHAP. Sementara hak korban kejahatan dikemas sangat minim. Padahal, derita korban sudah dirasakan saat terjadinya kejahatan, kemudian saat ia melapor sampai mengikuti persidangan. Seperti kita ketahui, antara pelaku dan korban kejahatan sama-sama merupakan pencari keadilan (justitiabelen). Pelaku tindak pidana menghendaki perkaranya diperiksa secara adil dengan mengindahkan hak-haknya serta aturan main yang ditentukan. Sebaliknya, korban kejahatan (victim of crime) juga menghendaki keadilan, yaitu pelaku kejahatan diadili dan kalau perlu dihukum setimpal dengan perbuatannya.6 Trauma akibat akan menerima perlakuan tidak menyenangkan dari lingkungannya, menjadikan korban enggan melapor, terutama korban kejahatan seksual (perkosaan). Laporan akan menambah permasalahan, misalnya, dicemooh 6
Mardjo Reksodipuro,Viktimologi dan Sistem Peradilan Pidana, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1994, hlm. 75.
14
masyarakat. Belum lagi pelayanan petugas yang kadangkala tidak bersahabat. Sebenarnya, mengabaikan hak korban kejahatan merupakan suatu wujud ketidakadilan tersendiri. Menerlantarkan korban kejahatan merupakan tindakan dehumanisasi, yang tidak mengembangkan hak asasi manusia dan kewajiban asasi manusia.7 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Saksi dan Korban, terlihat bahwa pengaturan saksi dan korban adalah merupakan satu paket yang tidak terpisahkan. Maka oleh sebab itu perlu ditambahkan unsur ”korban”, sehingga dapat terakomodasi kedua hal tersebut, yaitu saksi dan korban. Setiap orang yang menderita kerugian atau menjadi korban sebagai akibat dari tindakan orang lain, mempunyai hak untuk melakukan atau menuntut balas atas kerugian/penderitaan yang dialaminya. Pembalasan itu pada umumnya tidak hanya merupakan hak dari seseorang yang dirugikan atau yang terkena tindakan. Melainkan meluas menjadi kewajiban dari seluruh keluarga, famili, dan bahkan dalam beberapa hal menjadi kewajiban dari anggota masyarakat. Perkembangan lebih lanjut diantara warga masyarakat timbul suatu kebutuhan atau hasrat untuk mengambil tindakan terhadap mereka yang telah menimbulkan kerugian pada kepentingan perseorangan itu. Dengan suatu kesadaran, bahwa perbuatan-perbuatan yang merugikan kepentingan perseorangan itu sesungguhnya juga merupakan pelanggaran terhadap kepentingan masyarakat. Untuk mengakhiri terjadinya balas dendam yang timbal balik atau berlakunya asas ius talionis (hukum balas membalas). Diputuskanlah oleh warga
7
Muladi dan Barda Nawawi, Teori dan Kebijakan Pidana, Bumi Aksara, Jakarta, 1992, hlm. 44.
15
masyarakat bahwa seseorang yang telah menimbulkan kerugian pada kepentingan orang lain itu harus membayar ganti kerugian kepada orang yang dirugikan, sekaligus juga kepada masyarakat. Hal ini telah berlangsung dari abad pertengahan sampai abad ketiga belas, dimana sebagian besar konflik-konflik antar manusia diselesaikan dalam rangka ganti rugi. Sementara itu tingkat pemikiran masyarakat semakin maju, sehingga masalah ganti rugi inipun mengalami perubahan. Ganti rugi tersebut dihapuskan dan diganti dengan hukuman publik, karena pada fase ini hukuman tidak lagi dijatuhkan (ditentukan) oleh perorangan yang menjadi korban, tetapi adalah oleh masyarakat. Pada mulanya jumlah ganti rugi (denda) ini lebih banyak tergantung pada keinginan dari pihak yang dirugikan, kemudian dikendalikan dan ditentukan oleh penguasa. Bertolak dari uraian di atas dapat dinyatakan. bahwa pada mulanya reaksi terhadap suatu pelanggaran yang menimbulkan kerugian dan penderitaan pada pihak lain sepenuhnya merupakan hak dari pihak yang dirugikan (korban) untuk menuntut balas. Efek samping dari tuntutan balasan ini telah menimbulkan suatu keadaan tindakan balasan yang dilakukan oleh pihak korban. Seringkali tidak setimpal dibandingkan dengan tindakan yang telah dilakukan oleh pelaku hal ini terjadi sebagai akibat dari emosi yang berlebihan dari pihak korban. Dalam perkembangannya kemudian, akibat dari dendam yang sering tidak berkesudahan (talionis) ini telah pula menimbulkan suatu keadaan, kerugian/penderitaan yang dialami oleh seseorang. Lambat laun dapat diganti dengan membayar sejumlah
16
harta kepada korban. Kemudian oleh karena pelanggaran yang terjadi itu tidak hanya merupakan hubungan (urusan) antara pelaku dan korban, melainkan pelaku pelanggaran dianggap juga telah mengganggu keseimbangan ketertiban dalam masyarakat. Sehingga yang terjadi adalah juga gangguan dalam “keseimbangan” antara pelaku dan masyarakat.8 Dalam praktek penerapan hukum pidana, ternyata pada akhirnya gangguan terhadap keseimbangan ketertiban dalam masyarakat inilah yang lebih diperhatikan, sehingga masyarakat (negara) merasa sebagai satu-satunya yang berhak untuk menuntut “balas” atau ganti rugi dari pelaku. Korban sendiri dalam hal ini kehilangan haknya untuk melakukan tindakan. Secara berangsur-angsur negara mengambil alih tanggung jawab pelaksanaan hukum dari pihak korban. Ini berakibat pada sentralisasi dalam sistem hukum pidana. Negara bertindak sebagai wakil perdamaian dalam masyarakat dan pihak korban. Situasi kongkrit sebagai yang dirugikan dan keadaan perdamaian yang memberikan perlindungan terhadap kerugian ini, kemudian diabstrahir menjadi “tertib hukum.” Pengertian ini kemudian dijadikan yang utama. Suatu tindak pidana tidak lagi dilihat, terutama sebagai kerugian terhadap manusia yang terdiri atas jiwa dan raga, tetapi adalah sebagai “pelanggaran terhadap suatu tertib hukum.” Dengan kata lain, bahwa suatu tindak pidana bukanlah suatu perbuatan yang merugikan orang yang mempunyai darah daging dan perasaan, akan tetapi adalah sebagai sesuatu yang melawan hukum yaitu bertentangan dengan sesuatu yang abstrak yang dinamakan ketertiban hukum. Sehingga dengan demikian 8
Arif Gosita, Viktimologi dan KUHAP Mengatur Ganti Kerugian Pihak Korban, Jakarta, 1995, hlm. 74.
17
reaksi terhadap pelaku delik merupakan hak penuh dari negara untuk penyelesaian lebih lanjut melalui aparat penegak hukumnya. Sementara itu, korban dari kejahatan tersebut dapat hadir dalam proses peradilan pidana dengan 2 (dua) kualitas yang berbeda. Pertama, korban hadir sebagai saksi. Fungsi korban disini adalah memberi kesaksian dalam rangka pengungkapan kejahatan yang sedang dalam proses pemeriksaan. Baik pada tahap penyidikan, tahap penuntutan maupun pada tahap pemeriksaan di sidang pengadilan. Kedua, korban hadir sebagai pihak yang dirugikan. Fungsi korban dalam hal ini adalah mengajukan tuntutan ganti kerugian terhadap pelaku kejahatan yang telah mengakibatkan atau menimbulkan kerugian/penderitaan pada dirinya. Dalam kaitannya dengan masalah tuntutan ganti kerugian yang diajukan oleh korban. Persoalan yang muncul kemudian adalah apabila kepentingan yang diprioritaskan oleh pihak penyidik dan atau penuntut umum dalam menangani kasus pidana tersebut tidak sesuai atau tidak seiring dengan kepentingan korban. Apalagi bila ditelaah lebih jauh, penyidik dan penuntut umum dalam menangani suatu perkara pidana tidak hanya mempertimbangkan kepentingan korban. Kepentingan korban hanyalah satu dari sekian banyak kepentingan yang mungkin dipertimbangkan. Pemihakan pada kepentingan lain untuk ikut pula dipertimbangkan oleh penuntut umum maupun aparat Kepolisian memang dimungkinkan oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku, yaitu dengan diadakannya lembaga diskresi (untuk aparat Kepolisian) opportunitas (untuk penuntut umum).
dan
lembaga
18
Kepentingan korban kejahatan seringkali terabaikan. Sehingga terjadi penelantaran perhatian karena dengan konstruksi tersebut menunjukan, bahwa kesempatan yang diberikan kepada korban untuk memperoleh ganti kerugian amat bergantung pada kepentingan yang diprioritaskan. Selain itu, hukum pidana yang sekarang berlaku mengasumsikan pula bahwa pihak korban telah memperoleh kepuasan keadilan dengan dipidananya pelaku kejahatan. Pelaku kejahatan dalam hal ini telah merasakan juga penderitaan sebagaimana yang dialami/diderita oleh korban. Asumsi ini barangkali hanya berada dalam lingkup kepuasan moril. Akan tetapi jika dihubungkan dengan keadaan korban yang menderita luka fisik, terutama bagi korban yang tidak mampu secara finansial, maka dengan pemenuhan aspek kepuasan moril saja belum dapat dikatakan sebagai adanya suatu keseimbangan perlakuan antara pelaku dan korban.9 Hal ini juga menyorot masalah korban adalah sangat serius dipandang secara prinsip untuk beranggapan bahwa pelanggar harus dipidana, supaya korban dapat menemukan ketenangan kembali. Apalagi jika dikaji tujuan pemidanaan saat ini yang tidak lagi berorientasi pada penjeraan/ pembalasan, melainkan lebih berorientasi pada perbaikan atau pembinaan si pelaku. Kedudukan korban yang terabaikan ini, jelas merupakan suatu ketidakadilan. Kalaupun korban difungsikan dalam proses peradilan pidana, tidak lebih hanya sebagai pendukung penguasa (Jaksa Penuntut Umum) dalam rangka penegakan ketertiban. Sementara itu nasibnya sendiri sebagai pihak yang dirugikan oleh suatu perbuatan pidana.
9
Made Darma Weda, Viktimologi, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1996, hlm. 69.
19
Terisolasi atau paling tidak kurang mendapat perhatian atau teracuhkan. Korban hanya difungsikan/dimanfaatkan sebagai sarana pembuktian saja. Dengan perkembangan pemikiran tentang tujuan pemidanaan, yang antara lain didasarkan kepada perlunya pembinaan si pelaku (terpidana) agar dapat kembali dalam kehidupan masyarakat, telah dibarengi dengan kenyataan sangat berkurangnya perhatian kepada korban. Kalaupun ada perhatian terhadap korban kejahatan, hal itu dianggap tidak boleh menghalangi pembinaan terpidana. Korban sebagai pihak yang dirugikan dalam hal terjadinya suatu kejahatan, seyogyanya juga harus mendapat perhatian dan pelayanan dalam rangka memberikan perlindungan terhadap kepentingannya.10 Pelayanan dalam hal ini bukan diartikan sebagai suatu kesamaan perlakuan, melainkan adalah digantungkan pada situasi dan kondisi dengan mempertimbangkan
berbagai
faktor,
terutama
yang
menyangkut
faktor
keterlibatan korban itu sendiri (shared responsibility) dalam hal terjadinya delik. Maka oleh sebab itu adalah penting dalam rangka kajian kriminologi, penologi dan viktimologi. Untuk memberikan perhatian dan perlakuan kepada pembuat kejahatan dan korbannya secara seimbang, baik mengenai hak maupun kewajiban agar dapat mencerminkan rasa tanggung jawab atas peran sertanya masing-masing dalam hal terjadinya kejahatan. Hak dan kewajiban pembuat kejahatan dan korbannya memang berbeda dan bahkan dalam beberapa hal bertentangan. Hakekat dari suatu kejahatan 10
Suryono Ekatama, dkk., Viktimologi dan hukum Pidana, Universitas Atmajaya, Yogyakarta, 2001, hlm. 55.
20
seharusnya juga dilihat sebagai sesuatu yang menimbulkan kerugian pada korban, maka dengan demikian pidana yang dijatuhkan kepada pelaku harus pula memperhatikan kepentingan korban. Karena terjadinya suatu kejahatan adalah karena antar hubungan korban dengan pembuat kejahatan, sehingga di dalamnya terdapat functional responsibility. Terjadinya korban kejahatan dapat dianggap gagalnya negara dalam memberikan perlindungan yang baik kepada warganya. Dalam kaitannya dengan keterlibatan negara untuk melindungi secara konkret dan individual terhadap korban, yang perlu diketahui yang mungkin telah membawa viktimologi (sebagai ilmu yang mempelajari tentang korban) mencuat ke atas dan menarik perhatian para ilmuwan. Pertama, adalah berdasarkan pada kerangka pemikiran, bahwa negara turut bersalah dalam hal terjadinya penimbulan korban, dan karena itu sewajarnya negara memberikan kompensasi (compensation) kepada si korban, di samping kemungkinan adanya restitusi (restitution) yang diberikan oleh si pelaku kepada korban. Kedua adalah aliran pemikiran baru dalam kriminologi yang meninggalkan pendekatan positivistis (yang mencari sebab musabab kejahatan, etiologi kriminal) dan lebih memperhatikan proses-proses yang terjadi dalam sistem peradilan pidana dan struktur masyarakatnya (pendekatan kriminologi kritis, critical criminology).11 Selama ini, saksi hanya dibebani kewajiban dan tidak mempunyai hak. Hal ini seperti dapat disimpulkan dari redaksi Pasal 224 KUHP:
11
Iswanto, Yazid Effendi dan Angkasa, Viktimologi, Universitas Jenderal Sudirman, Purwokerto, 1998, hlm. 58.
21
’Barangsiapa dipanggil sebagai saksi, ahli atau juru bahasa menurut undang-undang dengan sengaja tidak memenuhi kewajiban berdasarkan undangundang yang harus dipenuhinya dalam perkara pidana diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan…” Dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Saksi dan Korban dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 64 walaupun belum maksimal, namun perhatian terhadap saksi dan korban telah mulai mendapat pengaturan, yaitu sebagaimana tertuang dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006, yang selengkap berbunyi: Seorang Saksi dan Korban berhak: a) Memperoleh perlindungan atas keamanan pribadi, keluarga dan harta bendanya, serta bebas dari ancaman yang berkenaan dengan kesaksiannya yang akan, sedang, atau telah diberikannya; b) Ikut serta dalam proses memilih dan menentukan bentuk perlindungan dan dukungan keamanan; c) Memberikan keterangan tanpa tekanan; d) Mendapat penerjemah; e) Bebas dari pertanyaan yang menjerat; f) Mendapatkan informasi mengenai perkembangan kasus; g) Mendapat informasi mengenai putusan pengadilan; h) Mengetahui dalam hal terpidana dibebaskan; i) Mendapat identitas baru; j) Mendapat tempat kediaman baru; k) Memperoleh penggantian biaya transportasi sesuai dengan kebutuhan; l) Mendapat nasihat hukum; dan/atau
22
m) Memperoleh bantuan biaya hidup sementara sampai batas waktu perlindungan berakhir.
E. Definisi Operasional Perlu ada perlindungan hukum bagi korban perkosaan, sistem peradilan yang ada saat ini tidak mempertimbangkan adanya relasi kuasa yang mendominasi perempuan. Keadaan ini membuat perempuan berada dalam suatu situasi yang memaksa. Keinginan untuk mengadakan sistem peradilan pidana terpadu tersebut berangkat dari realitas di lapangan mengenai semakin bertambahnya kasus kekerasan terhadap perempuan yang terungkap, Sehingga dalam penelitian ini dapat diambil suatu pengertian mengenai: 1. Perlindungan hukum (Menurut Riduan Syahrani,), yaitu aturan hidup yang memberikan perlindungan dan jaminan kepada seseorang dengan rasa aman, nyaman, tanpa ada gangguan dari pihak lain sehingga benar-benar dapat melaksanakan hak dan kewajibannya,12 sehingga perlindungan hukum tersebut sebagai jaminan hukum terhadap seseorang dan jika hak-hak atas jaminan hukum tersebut dilanggar oleh pihak lain maka dapat dikenai sanksi hukum yang setimpal atas perbuatan tersebut. 2. Wanita (Menurut Kamus Hukum Bahasa Indonesia), yaitu seorang manusia yang diciptakan berjenis kelamin perempuan oleh sang pencipta yang
12
Riduan Syahrani, Perlindungan Hukum Terhadap Korban dan Pelaku Kejahatan, Alumni, Bandung, 1983, hlm. 18.
23
diberikan indera yang dapat digunakan dalam melakukan segala hal sehingga dapat hidup sebagaimana mestinya sebagai manusia.13 Wanita diciptakan hidup sebagai manusia layaknya yang memiliki hak untuk hidup, bersosialisasi dan berkomunikasi sehingga ia dapat menjalankan segala hal yang diinginkan tanpa rasa takut atas itu. 3. Korban (Menurut Andi Hamzah,), adalah mereka yang menderita fisik, mental, sosial sebagai akibat suatu tindakan tidak baik yang dilakukan secara sengaja ataupun tidak sengaja yang dilakukan baik atas perbuatan seseorang. Sehingga korban tidak dapat melakukan aktifitas sebagaimana mestinya.14 Korban tersebut ialah suatu akibat tindakan tertentu yang dilakukan padanya sehingga mengalami kerugian bagi dirinya sendiri baik fisik, mental ataupun sosial. Atas perbuatan tersebut maka hak-hak seseorang tersebut dilanggar. 4. Perkosaan (Menurut Moeljatno dalam KUHP Pasal 285), seseorang laki-laki yang melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seseorang wanita bersetubuh dengan dia diluar pernikahan. Ditinjau dari segi bahasa, kata perkosaan menurut kamus umum bahasa Indonesia berasal dari kata “perkasa” yang berarti: paksa; kekerasan. Perkosaan berarti proses, cara perbuatan memperkosa ataupun pelanggaran dengan kekerasan.15 Perlindungan hukum terhadap wanita korban perkosaan adalah perlindungan hukum yang diberikan terhadap seseorang wanita karena telah dilanggar hak-haknya sebagai seorang wanita (telah dilecehkan) atas suatu 13
Kamus Hukum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1982, hlm. 673. Andi Hamzah, Korban Kekerasan, Arikha Media Cipta, Jakarta, 1994, hlm. 23. 15 Arif Gosita, Masalah Korban Kejahatan, Akademika Pressindo, Jakarta, 1983, hlm. 79. 14
24
tindakan yang dapat merugikan baik fisik, mental dan psikis terhadapnya. Atas perbuatan tersebut maka si pelaku dapat diancam dengan pidana pemerkosaan.16 Sangat diharapkan bahwa: Perlindungan hukum bagi korban perkosaan, hak-hak korban perkosaan dalam perspektif wanita diwujudkan, lembaga perlindungan hak-hak korban. Korban perkosaan adalah manusia yang terkena musibah dari perbuatan manusia yang biadab, menjijikkan dan tidak berperikemanusiaan sehingga derita korban perkosaan berkepanjangan baik fisik maupun psikis. Kenyataan dari berita-berita media massa, korban pada umumnya gadis malah ada yang usianya dibawah umur (masih anak - anak). Untuk itu perlu ada perlindungan hukum bagi korban perkosaan, baik dari aspek pidana maupun perdata. Demikian juga hak-hak korban seperti untuk masa depannya seperti hak-hak korban mengenai hak rehabilitasi hak rekonstruksi maupun hak resosialisasi. Untuk merealisasi hak-hak korban perkosaan tersebut terlindungi perlu dibentuk Lembaga Perlindungan Hukum hak-hak korban perkosaan. Lembaga ini bisa berupa lembaga pemerintah bisa berupa lembaga swadaya. Lembaga ini pada prinsipnya didanai pemerintah bila perlu masyarakat berpartisipasi, tetapi pengelolanya adalah berupa badan hukum yang independen. Fungsi lembaga ini memperjuangkan hak-hak korban perkosaan baik dari aspek pidana maupun perdata seperti aspek sosial, psikologis. 16
Abdul Wahid dan Muhammad Irfan, Perlindungan Terhadap Korban Kekerasan Seksual, Refika Aditama, Bandung, 2001, hlm. 28.
25
Kesemuanya diatur khusus dalam aturan atau ketentuan hukum, khusus terhadap korban perkosaan. Memang ketentuan seperti ini belum kita punyai. Ini semua diharapkan oleh kalangan wanita maupun kita semua. Pada akhir-akhir ini berita mengenai perkosaan untuk bersetubuh makin semarak, malah sudah mengarah ke perbuatan sadis. Sehingga menimbulkan keresahan bagi masyarakat, pandangan kalangan wanita tentang perlunya hukuman yang berat bagi pemerkosa. Pada saat yang sama, sistem peradilan yang ada tidak memasukkan pengalaman perempuan sehingga hukum sering kali tidak memberi keadilan dan perlindungan kepada perempuan, baik sebagai korban maupun pelaku kejahatan. Sistem hukum saat ini menihilkan pengalaman perempuan, bahkan cenderung menyalahkan, menstigmatisasi, dan mencurigai seksualitas perempuan. Kekerasan terhadap integritas tubuh perempuan semata-mata dianggap sebagai pelanggaran terhadap norma kesusilaan, yang dilindungi adalah "rasa susila" masyarakat dan bukannya perempuan sebagai korban.
F. Metode Penelitian 1. Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Kepolisian, Kejaksaan dan Pengadilan Negeri Yogyakarta. Kita melihat bahwa semakin meningkatnya tindakan perkosaan yang dilakukan di Yogyakarta.
26
Dapat dilihat dari Rifka Annisa Women Crisis Centre Yogyakarta salah satu lembaga perlindungan perempuan. Dari tahun 2006-2008 total untuk kasus perkosaan 151 kasus, kasus pelecehan seksual 69 kasus, kasus kekerasan terhadap perempuan 54 kasus yang terjadi di Yogyakarta.17 2. Subyek Penelitian Subyek pada penelitian adalah Polisi, Jaksa dan Hakim di wilayah hukum Yogyakarta yang memeriksa dan memutus perkara tindak pidana perkosaan. Karena semakin meningkatnya tindakan perkosaan di wilayah hukum Yogyakarta. 3. Obyek Penelitian a. Ketentuan hukum yang berlaku sekarang yang berhubungan dengan perlindungan hukum terhadap wanita korban perkosaan; b. Praktek penegakan hukum terhadap wanita korban perkosaan. 4. Sumber Data Dalam penelitian ini ada 2 (dua) jenis data, yakni data primer dan data sekunder : a. Sumber data primer, yaitu data yang diperoleh peneliti secara langsung dari subjek penelitian yang dapat berupa hasil wawancara; b. Sumber data sekunder, data yang berupa: 1) Bahan hukum primer, yaitu sumber data yang diperoleh peneliti berupa peraturan
17
perundang-undangan,
termasuk
di
dalamnya
Rifka Annisa Women Crisis Centre, http:/www.google.com. Des. 2, 2008.
adalah
27
yurisprudensi atau putusan pengadilan yang menjadi landasan hukum yang berkaitan dengan permasalahan yang diteliti; 2) Bahan hukum sekunder, yaitu sumber data yang diperoleh peneliti secara tidak langsung melalui kepustakaan (library reseach) dan dokumen; 3) Bahan hukum tersier, sumber data yang diambil pengertian/arti dari kamus, baik dari kamus hukum maupun kamus bahasa Indonesia, yaitu kata-kata yang berkaitan dengan masalah yang diteliti. 5. Metode Pengumpulan Data Dalam penelitian ini, metode pengumpulan data yang digunakan adalah: a. Wawancara Penulis mengadakan wawancara dengan jenis wawancara bebas terpimpin langsung terhadap Polisi, Jaksa dan Hakim di wilayah hukum Yogyakarta, hasil dari wawancara tersebut sebagai data yang dituangkan dalam penelitian ini sehingga dapat dipertanggung jawabkan. b. Studi Pustaka Mengumpulkan
bahan-bahan
terutama
buku-buku
dan
peraturan
perundang-undangan lain yang berhubungan dengan masalah yang dibahas. c. Dokumentasi Penulis mengumpulkan dokumen-dokumen/arsip-arsip putusan perkara tindak pidana perkosaan di Pengadilan Negeri hukum Yogyakarta, dan
28
selanjutnya dituangkan sebagai data dalam penelitian ini sehingga dapat dipertanggungjawabkan. 6. Metode Pendekatan a. Pendekatan Yuridis Normatif, yaitu cara pandang dengan melihat ketentuan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan ketentuan hukum sekarang yang dapat memberikan perlindungan hukum terhadap wanita korban perkosaan. b. Pendekatan Yuridis Sosiologis, yaitu suatu pendekatan dengan melihat masalah yang diteliti dalam masalah praktek penegakan hukum yang berlaku dalam pandangan hukum masyarakat. 7. Analisis Data Dalam menganalisis data ini penulis menggunakan metode deskriptif kualitatif,
yaitu
menggambarkan
permasalahan
dengan
teori
yang
merangkainya dengan menggunakan rangkaian kata atau kalimat terhadap data yang diperoleh dari lapangan.