BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Al-Hadânah berasal dari kata “al-hadn” yang artinya bergabung, tinggal dan memelihara. Menurut istilah hadânah berarti pemeliharaan anak, laki-laki atau perempuan yang masih kecil atau anak dungu yang tidak dapat membedakan sesuatu dan belum dapat berdiri sendiri, menjaga kepentingan anak, melindungi dari segala sesuatu yang membahayakan dirinya, mendidiknya, jasmani dan rohani serta akalnya, supaya si anak dapat berkembang dan dapat mengetahui persoalan hidup yang akan dihadapinya.1 Dasar hukum hadânah yaitu firman Allah SWT:
س ُ '>)?ا
'ْ َد َه78ُ )َ'رًا َو+ْ -ُ .ْ 0َِا ْه
ْ َو3-ُ 4 َ 5ُ 6ْ َا
ْ78ُ
ْ7)ُ 9َ َأ
; َ <ْ =ِ ?><@َ'اAَأ
'َ<
(٦:3
Proyek Pembinaan Prasarana Dan Sarana PTAI di Jakarta, Ilmu Fiqh Jilid III (Jakarta: Depag RI, 1984/1985), 207 . 2 Departemen Agama RI, al-Qur’an danTerjemahannya, 951.
1
2
adalah bahwa Islam pada dasarnya memprioritaskan hak pemeliharaan anak kepada ibu/istri. Artinya dalam keadaan normal, jika terjadi perceraian antara suami istri, maka hak perawatan anak pertama-tama ada pada pihak istri.3 Menurut Madhhab Syafi’I dalam bukunya Ibn Mas’ud menyebutkan bahwa, orang yang paling utama untuk mengasuh anak adalah: 1. Ibu yang belum menikah dengan laki-laki lain 2. Ibu dari ibu dan seterusnya keatas 3. Bapak 4. Ibu dari bapak (nenek) 5. Saudara yang perempuan 6. Tante (bibi) 7. Anak perempuan 8. Anak perempuan dari saaudara laki-laki 9. Saudara perempuan dari bapak Dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Pasal 41 dikemukakan bahwa apabila perkawinan putus karena perceraian, maka akibat dari itu adalah,4 1) Baik ibu atau bapak berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak, bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak pengadilan memberikan keputusannya. 3 4
12.
Abd Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat (Jakarta Timur: Pranata Media, 2003), 176. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan di Indonesia (Jakarta: Arloka, tt),
3
2) Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan oleh anak itu, bilamana bapak dalam kenyataannya tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut. Pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut. 3) Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan atau menentukan suatu kewajiban bagi bekas istri. Seorang ibu/istri yang mengasuh anaknya yang masih kecil harus memiliki persyaratan yaitu adanya kecukupan dan kecakapan yang memerlukan syarat-syarat tertentu. Jika syarat-syarat ini tidak terpenuhi, maka gugurlah kebolehan menyelenggarakan hadânah-nya. Syarat-syarat tersebut antara lain adalah: a. Berakal sehat b. Dewasa c. Mampu mendidik d. Amanah dan berbudi e. Islam f. Ibunya belum menikah lagi g. Merdeka5 Selain dari hal tersebut di atas, pada pasal 105 Kompilasi Hukum Islam menjelaskan secara lebih rinci dalam hal suami istri terjadinya perceraian yaitu6:
5 6
Slamet Abidin, Aminuddin, Fiqh Munakahat (Bandung: Pustaka Setia, 1999), 175. Tim Redaksi Fokus Media, Kompilasi Hukum Islam (Bandung: Fokusmedia, 2005), 35.
4
a. Pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun adalah hak ibunya b. Pemeliharaan anak yang sudah mumayyiz diserahkan kepada anak untuk memilih di antara ayah atau ibunya sebagai pemegang hak pemeliharaannya. c. Biaya pemeliharaan ditanggung oleh ayahnya. Dari ketentuan Pasal 105 huruf a Kompilasi Hukum Islam, apabila ayah tidak memberikan biaya hadânah terhadap anak yang berusia di bawah umur 12 tahun yang berada di bawah asuhan ibu, maka yang dapat mengajukan tuntutan hak keperdataan tersebut adalah ibu dari anak tersebut. Sedangkan bila ayah tidak memberi biaya hadânah terhadap anak yang sudah berusia 18 tahun hingga 21 tahun dan belum pernah menikah, baik yang ikut ayahnya sendiri maupun yang ikut dengan ibunya, maka yang mengajukan gugatan tuntutan hak adalah anak tersebut atau pihak keluarga dalam garis keturunan lurus baik dari pihak ibu ataupun dari pihak ayah. Dalam hal ini sesuai dengan pasal 50 ayat (1) UndangUndang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 yaitu anak yang belum mancapai umur 18 (delapan belas) tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan, yang tidak berada di bawah kekuasaan orang tua, berada di bawah kekuasaan wali.7 Meskipun kewajiban orang tua dan wali terhadap anak telah diatur sedemikian rupa, namun kenyataannya ada pelanggaran kewajiban. Jika orang tua dalam melaksanakan kekuasaannya tidak cakap atau tidak mampu melaksanakan 7
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, 14.
5
kewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, maka kekuasaan orang tua dapat dicabut dengan putusan pengadilan agama. Adapun alasan pencabutan tersebut karena: Orang tua itu sangat melalaikan kewajiban terhadap anaknya; orang tua berkelakuan buruk sekali. M. Yahya harahap menjelaskan bahwa orang yang melalaikan kewajiban terhadap anaknya yaitu meliputi ketidakbecusan si orang tua itu atau tidak mungkin melaksanakan sama sekali, boleh jadi disebabkan karena dijatuhi hukuman penjara yang memerlukan waktu lama, sakit uzur atau gila dan bepergian dalam waktu yang tidak diketahui kembalinya.8 Akibat pencabutan kekuasaan dari orang tua tersebut diatas, maka terhentinya kekuaasan dari orang tua untuk melakukan penguasan terhadap anaknya berdasarkan pasal 42 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, biaya pemeliharaan itu tetap melekat secara permanen meskipun kekuaasan ayahnya dicabut. Berangkat dari permasalahan di atas, maka pada waktu mengajukan perceraian, hak pemeliharaan anak (hadânah) dapat dicantumkan dalam surat gugatan. Tetapi orang tua sering lupa tentang kewajiban memberi nafkah untuk anaknya setelah perceraian. Untuk menjamin dalam pemeliharaan anak hendaknya orang tua memperhatikan kebutuhan anak dengan mencantumkan dalam tuntutan mengenai nafkah anak. Sehingga masa depan anak terjamin sepenuhnya. Adapun
8
Yahya Harahap, Kedudukan dan Kewenangan Acara Peradilan Agama (Jakarta: Sinar Grafika, 1975), 216.
6
nafkah untuk anak yang diasuh itu sendiri, yaitu semua keperluan yang dibutuhkan anak dan menjadi kewajiban bapak sepenuhnya. Yang menjadi persoalan adalah kewajiban memberi nafkah tidak dijalankan, maka pihak yang dirugikan berhak mengajukan kepada pihak yang berwenang dalam hal ini pengadilan agama, supaya melakukan eksekusi putusan hadânah. Karena tidak menjalankan amar putusan. Menurut Sudikno Mertokusumo, eksekusi pada hakekatnya tidak lain ialah realisasi daripada kewajiban pihak yang kalah untuk memenuhi prestasi yang tercantum dalam putusan pengadilan tersebut. Pihak yang menang dapat memohon eksekusi pada pengadilan yang memutus perkara, untuk melaksanakan putusan tersebut secara paksa (execution force) apabila pihak tergugat tidak menjalankan kewajibannya. Ini tidak berarti semata-mata hanya menetapkan hak atau hukumnya saja, melainkan kekuatan mengikat dari suatu putusan pengadilan. Oleh karena itu putusan tersebut dapat menetapkan dengan tegas hak atau hukumnya untuk kemudian direalisir sehingga mempunyai kekuatan exsekutorial yaitu kekuatan untuk dilaksanakannya apa yang ditetapkan dalam putusan itu secara paksa oleh alat-alat negara.9 Dalam suatu gugatan konvensi, seorang tergugat yang digugat oleh penggugat ada kemungkinan mempunyai hubungan hukum lain dengan penggugat, dimana penggugat berhutang kepada tergugat dan belum dilunasi. Dalam hal ini kalau tergugat hendak menggugat penggugat, ia dapat menggugat tergugat dalam 9
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata (Yogyakarta: Liberty, 2002), 211.
7
suatu perkara yang terpisah dari perkara terdahulu antara penggugat dan tergugat. Dalam gugatan yang kedua ini, yang terpisah dari gugatan yang pertama, tergugat berkedudukan sebagai penggugat, sedangkan penggugat berkedudukan sebagai tergugat. Akan tetapi dalam acara gugatan antara penggugat dan tergugat (gugat konvensi), tergugat dapat menggugat kembali pihak penggugat, yang tidak merupakan acara terpisah dari gugatan yang pertama. Gugatan dari pihak tergugat ini dusebut gugat balik (gugat rekonvensi).10 Suatu persoalan yang sering muncul setelah hakim Pengadilan Agama menjatuhkan putusannya, pihak tergugat mengajukan gugatan kembali kepada penggugat atau gugat balik (rekonvensi) dalam segala perkara, kecuali: a. Semua dalam perkara itu bukan bertindak untuk dirinya, sedangkan gugat balik ditujukan kepada dirinya sendiri; b. Apabila Pengadilan Negeri tidak mempunyai wewenang mutlak; c. Dalam hal perselisihan tentang pelaksanaan putusan hakim. Dalam
gugatan
Nomor
40/Pdt.G/2006/PTA.Sby penggugat
tidak
menuntut nafkah anak, dimana peggugat hanya memperhatikan pemeliharaan anak(hadânah). Maka agar orang tua terutama bapaknya tidak melupakan kewajiban memberi nafkah untuk biaya pemeliharaan dan pendidikan anak, karena
10
Darwan Prinst, Strategi Menyusun dan Menangani Gugatan Perdata (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2002), 64.
8
hakim mempunyai hak ex oficio untuk menetapkan biaya nafkah anak yang harus dibayar orang tuanya terutama bapak.11 Dari uraian di atas penulis terdorong untuk mengadakan pengkajian pembahasan tentang PUTUSAN HAKIM PENGADILAN TINGGI AGAMA SURABAYA TENTANG REKONVENSI DALAM PERKARA HADÂNAH (Studi Kasus Putusan Nomor 40/Pdt.G/2006/PTA.Sby). B. Penegasan Istilah Rekonvensi adalah gugatan balik, gugat balas. Nafkah anak adalah segala keperluan yang dibutuhkan anak. Hadânah adalah bergabung, tinggal dan memelihara. C. Rumusan Masalah 1. Apakah alasan hakim menerima rekonvensi dalam perkara hadânah Nomor 40/Pdt.G/2006/PTA.Sby di Pengadilan Tinggi Agama Surabaya? 2. Apa dasar hakim memutuskan rekonvensi dalam perkara hadânah Nomor 40/Pdt.G/2006/PTA.Sby di Pengadilan Tinggi Agama Surabaya? 3. Bagaimana
cara
eksekusi
amar
putusan
terhadap
rekonvensi
dalam
pemeliharaan anak (hadânah) perkara Nomor 40/Pdt.G/2006/PTA.Sby di Pengadilan Tinggi Agama Surabaya?
11
Dokumen, diambil tanggal 8 oktober 2007, Putusan Nomor 40/Pdt.G/2006/PTA.Sby.
9
D. Tujuan Penelitian Adapun tujuan penelitian dalam pembahasan skripsi ini adalah sebagai berikut: 1. Untuk mengetahui alasan hakim menerima rekonvensi dalam perkara hadânah Nomor 40/Pdt.G/2006/PTA.Sby di Pengadilan Tinggi Agama Surabaya. 2. Untuk mengetahui dasar hakim memutuskan rekonvensi dalam perkara hadânah Nomor 40/Pdt.G/2006/PTA.Sby di Pengadilan Tinggi Agama Surabaya. 3. Untuk mengetahui cara melakukan eksekusi amar putusan terhadap rekonvensi dalam pemeliharaan anak (hadânah) perkara Nomor 40/Pdt.G/2006/PTA.Sby di Pengadilaan Tinggi Agama Surabaya. E. Kegunaan Penelitian 1. Kegunaan Teoritis adalah untuk menambah pengetahuan dan wawasan terutama dalam bidang wacana hukum perdata Islam di Indonesia. 2. Kegunaan Praktis adalah membantu memecahkan masalah serta memberikan alternatif bagi masyarakat (khususnya orang-orang Islam) dalam mengajukan nafkah anak perkara hadânah. 3. Kegunaan Akademis adalah penelitian ini dilakukan dalam rangka memenuhi salah satu syarat dalam memperoleh gelar sarjana dalam bidang hukum Islam.
10
F. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian Jenis Penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah penelitian lapangan (field research) di Pengadilan Tinggi Agama Surabaya. 2. Lokasi Penelitian Lokasi yang akan diteliti oleh penulis di Pengadilan Tinggi Agama Surabaya Jln. Mayjen Sungkono Nomor 7 Surabaya. 3. Subjek Penelitian Dalam hal ini subjek penelitian adalah: a. Hakim Pengadilan Tinggi Agama khususnya yang menangani perkara hadânah. b. Juru sita yang melaksanakan eksekusi terhadap kelalaian menjalankan amar putusan dalam pemeliharaan anak ( hadânah ). 4. Data a. Data tentang alasan hakim menerima rekonvensi dalam perkara hadânah Nomor 40/Pdt.G/2006/PTA.Sby di Pengadilan Tinggi Agama Surabaya. b. Data tentang dasar hakim memutuskan rekonvensi dalam perkara hadânah Nomor 40/Pdt.G/2006/PTA.Sby di Pengadilan Tinggi Agama Surabaya c. Data tentang cara eksekusi amar putusan terhadap rekonvensi dalam pemeliharaan anak ( hadânah ) perkara Nomor 40/Pdt.G/2006/PTA.Sby di Pengadilan Tinggi Agama Surabaya.
11
5. Sumber Data a. Sumber Data Primer 1) Informan: Hakim (Drs. Muh. Djamhur, SH, M.Hum; H. Agus Widodo, SH, M.Hum; Drs. Soedarsono, SH, M.Hum dan Drs. H. Muh. Munawar) yang menangani perkara hadânah Nomor 40/Pdt.G/2006/PTA.Sby di Pengadilan Tinggi Agama Surabaya dan Panitera (Moh. Munir dan Hj. Roesiyati, SH,) yang melaksanakan eksekusi. 2) Dokumen: dokumen mengenai putusan Pengadilan Tinggi Agama Surabaya
tentang
rekonvensi
dalam
perkara
hadânah
Nomor
40/Pdt.G/2006/PTA.Sby. b. Sumber Data Sekunder 1) Al-Hamdani, Risalah Nikah. Jakarta: Pustaka Amari, 2002. 2) Harahap, Yahya. Kedudukan dan Kewenangan Eksekusi Bidang Perdata. Jakarta: Pustaka Kartini, 1989. 3) Manan, Abdul. Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama. Jakarta: Kencana, 2005. 4) Manan, Abdul. Etika Hakim dalam Penyelenggaraan Peradilan. Jakarta: Kencana, 2007. 5) Mertokusumo, Sudikno. Hukum Acara Perdata. Yogyakarta: Liberty, 2002. 6) Nasution , Harun. Islam Personal. Jakarta: Mizan, 1989.
12
7) Prinst, Darwan. Strategi Menyusun dan Menangani Gugatan Perdata. Bandung: Citra Aditya Bakti, 2002. 8) Rafiq, Ahmad. Hukum Islam Rasional. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003. 6. Teknik Pengumpulan Data a. Data Lapangan 1) Wawancara Wawancara adalah mengumpulkan informasi dengan mengajukan sejumlah pertanyaan secara lisan, untuk mencapai tujuan tertentu.12 Hal ini dilakukan untuk memperoleh data tentang: a) Alasan hakim menerima rekonvensi dalam perkara hadânah Nomor 40/Pdt.G/2006/PTA.Sby di Pengadilan Tinggi Agama Surabaya. b) Dasar hakim memutuskan rekonvensi dalam perkara hadânah Nomor 40/Pdt.G/2006/PTA.Sby di Pengadilan Tinggi Agama Surabaya. c) Eksekusi amar putusan terhadap rekonvensi dalam pemeliharaan anak (hadânah) perkara Nomor 40/Pdt.G/2006/PTA.Sby di Pengadilan Tinggi Agama Surabaya. 2) Dokumenter Dokumenter adalah mengumpulkan data-data yang berupa surat dan dokumen salinan.13 Hal ini dilakukan untuk memperoleh data tentang:
12 13
Burhan Ashshofa, Metode Penelitian Hukum (Jakarta: Rineka Cipta, 2004), 95. Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1989), 211.
13
a) Alasan hakim menerima rekonvensi dalam perkara hadânah Nomor 40/Pdt.G/2006/PTA.Sby di Pengadilan Tinggi Agama Surabaya. b) Dasar hakim memutuskan rekonvensi dalam perkara hadânah Nomor 40/Pdt.G/2006/PTA.Sby di Pengadilan Tinggi Agama Surabaya. c) Eksekusi amar putusan terhadap rekonvensi dalam pemeliharaan anak (hadânah) perkara Nomor 40/Pdt.G/2006/PTA.Sby di Pengadilan Tinggi Agama Surabaya. 7. Teknik Pengolahan Data a. Editing yaitu memeriksa kembali semua data yang terkumpul, terutama tentang kejelasan makna, keselarasan antara satu dengan yang lain serta relevansi dan keseragaman dalam suatu kelompok kata. c. Organazing yaitu data-data yang terkumpul disusun secara sistematika dalam bentuk paparan sebagai acuan yang telah direncanakan sebelumnya serta sesuai dengan pembahasan. d. Penemuan
hasil
yaitu
melakukan
analisa
lanjutan
terhadap
hasil
pengorganisasian data dengan menggunakan kaidah, teori, dan dalil-dalil sehingga diperoleh kesimpulan tertentu sebagai jawaban dari pertanyaan dalam rumusan masalah.14
14
Hana Sudjana, Tuntunan Penyusunan Karya Ilmiah (Bandung: Sinar Baru al-Qasindo, 2003), 75.
14
8. Teknik Analisa Data a. Metode Induktif yaitu mengemukakan beberapa kenyataan yang bersifat khusus kemudian ditarik suatu kesimpulan yang bersifat umum. b. Metode Deduktif yaitu menarik suatu kesimpulan dari yang bersifat umum kepada yang khusus. G. Sistematika Pembahasan Untuk mempermudah pembahasan, maka penulis membagi skripsi ini dengan sistematika pembahasan sebagai berikut: Bab I Pendahuluan, bab ini merupakan pola dasar dari keseluruhan isi skripsi yang terdiri dari latar belakang, penegasan istilah, rumusan masalah, tujuan penelitian, kegunaan penelitian, metode penelitian, dan sistematika pembahasan. Bab II Penerapan Nafkah Anak Dalam Tuntutan Perkara Hadânah. Pada bab ini berfungsi sebagai landasan teori untuk pijakan masalah dalam skripsi sehingga perlu mengetengahkan pengertian, dasar dan syarat hadânah, putusan, prosedur mengajukan gugatan hadânah, putusan atas gugatan hadânah dan eksekusi putusan hadânah. Bab III Putusan Rekonvensi Dalam Perkara Hadânah Nomor 40/Pdt.G/2006/PTA.Sby di Pengadilan Tinggi Agama Surabaya. Dalam bab ini merupakan subjek pembahasan menyajikan perkara hadânah di Pengadilan Tinggi Agama Surabaya dan alasan, dasar serta eksekusi dalam perkara hadânah Nomor 40/Pdt.G/2006/PTA.Sby.
15
Bab IV Analisa Putusan Hakim Nomor 40/Pdt.G/2006/PTA.Sby Tentang Rekonvensi Dalam Perkara Hadânah . Bab ini memuat analisa hukum Islam terhadap alasan hakim menerima rekonvensi dalam perkara hadânah Nomor 40/Pdt.G/2006/PTA.Sby di Pengadilan Tinggi Agama Surabaya, dasar hakim menerima rekonvensi dalam perkara hadânah Nomor 40/Pdt.G/2006/PTA.Sby di Pengadilan Tinggi Agama Surabaya dan eksekusi amar putusan terhadap rekonvensi dalam pemeliharaan anak (hadânah) di Pengadilan Tinggi Agama Surabaya. Bab V Penutup, yang memuat tentang kesimpulan sebagai jawaban dari pokok-pokok permasalahan dan saran.
16
BAB II PENERAPAN NAFKAH ANAK DALAM TUNTUTAN PERKARA HADÂNAH A. Pengertian, Dasar dan Syarat 1. Hadânah Hadânah dalam hukum Islam sendiri mempunyai beberapa pengertian, bahwa pemeliharaan anak disebut “Al-hadinah” yang merupakan masdar dari kata “al-hadânah” yang berarti mengasuh dan memelihara bayi (hadânah as shabiyya). Dalam pengertian istilah, hadânah adalah pemeliharaan anak yang belum mampu berdiri sendiri, biaya pendidikan dan pemeliharaan dari segala yang membahayakan jiwanya. 15 Sedangkan para ulama fiqh mendefinisikan hadânah yaitu melakukan pemeliharaan anak-anak yang masih kecil, baik lakilaki maupun perempuan, atau yang sudah besar tetapi belum mumayyiz, menyediakan sesuatu yang menjadikan kebaikannya, menjaganya dari sesuatu yang menyakiti dan merusaknya, mendidik jasmani, rohani dan akalnya, agar mampu berdiri sendiri menghadapi hidup dan memikul tanggung jawab. 16 Maksud definisi di atas adalah mendidik dan mengasuh anak-anak yang masih kecil atau yang belum mumayyiz dan belum dapat membedakan antara yang
15
Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama, (Jakarta: Kencana, 2005), 424. 16 Proyek Pembinaan Prasarana Dan Sarana PTAI. MIN di Jakarta, Ilmu Fiqh Jilid III (Jakarta: Depag RI, 1984/1985), 207.
17
baik dan yang buruk, belum pandai menggunakan pakaian dan bersuci sendiri dan sebagainya. Menurut Muhammad Jawad Mughniyah, hadânah itu sama sekali tidak ada hubungannya dengan perwalian terhadap anak, baik yang menyangkut dengan perkawinan maupun sesuatu yang menyangkut hartanya. Hadânah tersebut semata-mata tentang perkara anak dalam arti mendidik dan mengasuhnya
sehingga
memerlukan
seorang
wanita
pengasuh
untuk
merawatnya hingga ia dewasa. Sedangkan Sayyid Sabiq mengemukakan, bahwa hadânah adalah melakukan pemeliharaan anak-anak masih kecil lakilaki atau perempuan atau yang besar tapi belum tamyiz, tanpa perintah dari padanya, menyediakan sesuatu dari padanya, menyediakan sesuatu yang menjadikan kebaikannya, menjaga dari sesuatu yang merusak jasmani, rohani dan akalnya agar mampu berdiri sendiri dalam menghadapi hidup dan dapat memikul tanggung jawab apabila ia dewasa.17 Mengasuh anak-anak yang masih kecil hukumnya wajib, sebab mengabaikannya berarti menghadapkan anak-anak masih kecil kepada bahaya kebinasaan. Hadânah merupakan hak bagi anak-anak yang masih kecil karena ia membutuhkan pengawasan, penjagaan, pelaksanaan urusannya dan orang yang mendidiknya. Sesuai dengan Dasar hukum hadânah (pemeliharan anak) yaitu firman Allah SWT:
17
Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama, 424.
18
( ٦ :3
)?ْ ُدهَ' ا78ُ )َ'رًا َو+ْ -ُ .ْ 0ِْ َو َا ْه3-ُ 4 َ 5ُ 6ْ ْ َا78ُ ْ7)ُ 9َ ; َأ َ <ْ =ِ ?><@َ'اA<َ' َأ Artinya: Hai orang-orang yang berima, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu…(Q.S.At-tahrim: 6).18 Pada ayat ini orang tua diperintah oleh Allah SWT untuk memelihara keluarganya dari api neraka, agar seluruh anggota keluarganya terhindar dari api neraka, dengan berusaha agar seluruh anggota keluargaanya itu melaksanakan
perintah-perintah dan larangan-larangan Allah, termasuk
anggota keluarga dalam ayat ini adalah perawatan anak. Dalam hal ini Islam pada dasarnya memprioritaskan hak pemeliharaan anak kepada ibu/istri. Artinya dalam keadaan normal, jika terjadi perceraian antara suami istri, maka hak perawatan anak pertama-tama ada pada pihak istri.19 Dengan alasan-alasan tersebut itu jelaslah bahwa ibu anak, lebih berhak mengasuhnya, baik dalam masa iddah (raj’i atau ba’in) maupun sesudahnya, serta dilarang memisahkan anak dari ibunya dalam usia kanakkanak. Selain dari hal tersebut di atas, pada pasal 105 Kompilasi Hukum Islam dalam hal terjadi perceraian: a. Pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun adalah hak ibunya b. Pemeliharaan anak yang sudah mumayyiz diserahkan kepada anak untuk memilih di antara ayah atau ibunya sebagai pemegang hak pemeliharaannya.
18 19
Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahannya, 951. Abd Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat (Jakarta Timur: Pranata Media, 2003), 35.
19
c. Biaya pemeliharaan ditanggung oleh ayahnya.20 Dari ketentuan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan pasal 41 dikemukakan bahwa apabila perkawinan putus karena perceraian, maka akibat dari itu adalah: 1) Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anakanaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak, bilamana ada perselisihan
mengenai
penguasaan
anak
pengadilan
memberikan
keputusannya; 2) Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan oleh anak itu, bapak dalam kenyataannya tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut. Pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut. 3) Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas istri.21 Untuk kepentingan anak dan pemeliharaannya diperlukan beberapa syarat bagi yang melakukan hadânah, sebagai berikut: a) Berakal sehat. b) Mampu mendidik c) Dewasa d) Amanah dan berbudi
20 21
Tim Redaksi Focus Media, Kompilasi Hukum Islam (Bandung: Fokus Media, 2005), 35. Undang-Undang Perkawinan (Bandung: Focus Media, 2005), 12.
20
e) Beragama Islam f) Ibunya belum menikah lagi g) Merdeka.22 Anak yang masih kecil memiliki hak hadânah, karena ibu diharuskan melaksanakan kewajiban untuk menjaga dan memelihara anak dan tidak ada orang lain yang lebih baik untuk melaksanakannya. Hal ini dimaksudkan agar hak anak dalam pemeliharaan dan pendidikannya tidak tersia-siakan. Jika hadânah nya dapat ditangani orang lain, misalnya bibi perempuan dan ia rela melakukannya, sedangkan ibunya tidak mau, maka hak ibu untuk mengasuh menjadi gugur sebab ibu tidak memenuhi syarat-syarat hadânah sehingga bibi perempuan yang mengasuhnya mempunyai hak hadânah. 2. Nafkah Anak Para ulama sepakat, bahwa ayah berkewajiban memberikan nafkah untuk anak-anaknya. Adapun nafkah untuk anak yang diasuh itu sendiri, yaitu semua keperluannya. Menurut Madhhab Syafi’I, Hambali dan Hanafi bahwa kalau anak itu tidak mempunyai harta, maka upah tersebut menjadi kewajiban bapaknya memberi nafkah kepada anak itu. Adapun dalam pasal 156 Kompilasi Hukum Islam akibat putusnya perkawinan karena perceraian ialah: a. anak yang belum mumayyiz berhak mendapatkan hadânah dari ibunya, kecuali bila ibunya telah meninggal dunia, maka kedudukan digantikan oleh:
22
Abdul Ghaffar, Fiqih Wanita (Jakarta Timur: Pustaka al-Kautsar, 2003), 455.
21
1. wanita-wanita dalam garis lurus ke atas dari ibu 2. ayah 3. wanita-wanita dalam garis lurus ke atas dari ayah 4. saudara perempuan dari ayah yang bersangkutan 5. wanita-wanita kerabat sedarah menurut dari garis samping dari ibu 6. wanita-wanita kerabat sedarah menurut garis samping dari ayah. b. Anak yang sudah mumayyiz berhak memilih untuk mendapatkan hadânah dari ayah atau ibunya c. Apabila pemegang hadânah ternyata tidak dapat menjamin keselamatan jasmani dan rohani anak, meskipun biaya nafkah dan hadânah telah dicukupi, maka atas permintaan kerabat yang bersangkutan Pengadilan Agama dapat memindahkan hak hadânah kepada kerabat lain yang mempunyai hak hadânah. d. Semua biaya hadânah dan nafkah anak menjadi tanggungan ayah menurut kemampuannya, sekurang-kurangnya sampai anak tersebut dewasa dan dapat mengurus diri sendiri (21 tahun). e. Bilamana terjadi perselisihan mengenai hadânah dan nafkah anak, Pengadilan Agama memberikan outusannya berdasarkan huruf (a), (b), (c), dan (d).
22
f. Pengadilan dapat pula dengan mengingat kemampuan ayahnya menetapkan jumlah biaya untuk pemeliharaan dan pendidikan anak-anak yang tidak turut padanya.23 Ulama fiqh juga sepakat menyatakan, bahwa anak anak berhak menerima nafkah dari ayahnya dengan ketentuan: 1. Apabila ayah mampu memberi nafkah untuk mereka, atau paling tidak mampu bekerja untuk mencari rezeki. Apabila tidak punya harta atau tidak mampu bekerja seperti lumpuh dan sebab-sebab lainnya, tidak wajib ayah memberi nafkah kepada anak-anaknya. 2. Anak itu tidak mempunyai harta sendiri atau belum mampu mencari harta sendiri, seperti lumpuh atau cacat fisiknya. Sekiranya anak itu sudah mampu mencari rezeki atau mempunyai kerja tetap, maka tidak wajib sekali menafkahi anak-anaknya. 3. Menurut Madhhab Hambali, antara ayah dan anak tidak berbeda agama. Berbeda dengan Jumhur ulama, bahwa perbedaan agama tidak menghalangi pemberian nafkah kepada anak-anaknya.24 3. Rekonvensi Gugat rekonvensi adalah gugatan balasan dari tergugat terhadap penggugat. Gugat balasan (rekonvensi) ini harus dikemukakan bersamaan dengan jawaban. Menurut yurisprudensi, gugat rekonvensi masih dapat 23 24
224.
Tim Redaksi Focus Media, Kompilasi Hukum Islam (Bandung: Fokus Media, 2005), 50. Ali Hasan, Pedoman Hidup Berumah Tangga dalam Islam (Jakarta Timur: Prenata Media, 2003),
23
diajukan bersamaan dengan duplik. Jadi gugat rekonvensi adalah gugatan yang di ajukan oleh tergugat terhadap penggugat dalam sengketa yang sedang berjalan antara mereka.25 Gugat rekonvensi harus diajukan kepada penggugat konvensi. Oleh karena itu, tidak dibenarkan tergugat konvensi atau penggugat dalam rekonvensi mengajukan rekonvensi terhadap salah seorang tergugat konvensi lainnya. Tuntutan rekonvensi pada hakekatnya merupakan kumulasi atau gabungan dua tuntutan, yang bertujuan untuk menghemat biaya, mempermudah
prosedur
dan
menghindarkan
putusan-putusan
yang
bertentangan satu sama lain. Jadi mempunyai alasan raktis untuk menetralisir tuntutan konvensi. Menurut Retnowulan Sutantio, bahwa gugat rekonvensi dapat diajukan sewaktu-waktu sebelum pemeriksaan saksi dimulai dalam proses secara lisan. Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia tanggal 26 April 1979 Reg. No. 346 K/Sip/1975 mengatakan, apabila gugatan rekonvensi baru diajukan pada jawaban tertulis kedua (duplik), maka gugatan rekonvensi tersebut adalah terlambat.26 Gugat balik (rekonvensi) diatur dalam pasal 132a HIR/ pasal 157 RBG dan pasal 132b HIR/pasal 158 RBG. Pasal 132a HIR/pasal 157 RBG menentukan, bahwa:
25 26
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata di Indonesia (Yogyakarta: Liberty, 2002), 117. Ibid.,119.
24
a) Tergugat dapat mengajukan gugat balas (rekonvensi) dan dalam segala perkara, kecuali: 1. semula dalam perkara itu bukan bertindak untuk dirinya, sedang gugat balas ditujukan kepada dirinya sendiri; 2. apabila Pengadilan Negeri tidak mempunyai wewenang mutlak; 3. dalam hal perselisihan tentang pelaksanaan putusan hakim. b) Jika dalam pemeriksaan tingkat pertama tidak diajukan gugatan balasan, maka dalam tingkat banding tidak dapat diajukan lagi.27 Peraturan-peraturan mengenai tata cara pemeriksaan perkara didepan sidang pengadilan berlaku seluruhnya bagi gugatan rekonvensi. Maksudnya terhadap gugat rekonvensi itu juga diberlakukan jawab menjawab. Adapun proses pemeriksaan perkara konvensi dan rekonvensi dapat dilaksanakan sebagai berikut: a. Jika perkara berhubungan erat. Sekiranya dahubungan erat perkara antara konvensi dengan rekonvensi, maka dapat diperiksa dan diputus secra bersama-sama. Masing-masing dipertimbangkan secara tersendiri dengan sistematis, runtut dengan mendahulukan konvensi daripada rekonvensi, amar putusan juga harus
27
Darwan Prinst, Strategi Menyusun dan Mengajukan Gugatan Perdata (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2002), 64.
25
disusun sistematis dengan mendahulukan konvensi, baru menyusul diktum rekonvensi. b. Jika perkara tidak berhubungan erat. Sekiranya tidak ada hubungan erat dengan pokok perkara, maka konvensi dan rekonvensi boleh dipisahkan. Jika dipisahkan maka konvensi harus lebih dahulu diputus, setelah itu baru rekonvensinya, dengan ketentuan bahwa sedapat mungkin diperiksa dan diputus oleh hakinm yang sama. c. Jika ada penggabungan putusan konvensi dan rekonvensi. Kalau gugatan konvensi dinyatakan tidak diterima maka dengan sendirinya rekonvensi juga tidak diterima.28 4. Eksekusi Pembahasan tentang eksekusi tidak terlepas dari beberapa istilah. Adapun dari istilah hukum, pengertian eksekusi yaitu menjalankan putusan atau pelaksanaan putusan. Jadi pengertian eksekusi sama dengan pengertian “menjalankan putusan” (tenuitvoer legging van vonnissen). Menjalankan putusan pangadilan, tiada lain melaksanakan isi putusan pengadilan yaitu melaksanakan “secara paksa” putusan pengadilan dengan bantuan kekuatan umum apabila pihak yang kalah (ter-eksekusi atau pihak tergugat) tidak mau menjalankan sukarela.29
28 29
Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama, 57. Soekartini, Kamus Bahasa Belanda –Indonesia (Bandung: Sumur, 1986), 146.
26
Eksekusi adalah hal menjalankan putusan pengadilan yang sudah berkekuatan hukum tetap. Putusan pengadilan yang dieksekusi adalah putusan pengadilan yang mengandung perintah kepada salah satu pihak untuk membayar sejumlah uang, atau menghukum pihak yang kalah untuk membayar sejumlah uang, atau juga pelaksanaan putusan hakim yang memerintahkan pengosongan benda tetap, sedangkan pihak yang kalah tidak mati melaksanakan putusan itu secara sukarela sehingga memerlukan upaya paksa dari pengadilan untuk melaksanakannya.30 Sebagaimana telah disinggung sebelumnya, gugatan atau tuntutan diajukan ke-pengadilan terutama bertujuan agar hak seseorang yang dikuasai pihak lain dapat dikembalikan sebagaimana semestinya. Dengan demikian, tujuan eksekusi tersebut antara lain terutama adalah agar putusan pengadilan yang telah menetapkan hak seseorang dan menghukum orang lain agar mengembalikan hak tersebut yang tidak dilaksanakan secara sukarela dapat diterima dengan baik oleh penerima hak yang sebenarnya. Yang jelas, eksekusi dilakukan apabila dalam suatu putusan pengadilan mengandung amar putusan yang menunjuka dapat dilaksanakannya suatu upaya hukum atau bersifat condemnatoir. Menurut Sudikno Mertokusumo, bahwa eksekusi pada hakekatmya tidak lain ialah realisasi dari pada kewajiban pihak yang kalah untuk memenuhi prestasi yang tercantum dalam putusan pengadilan tersebut.31
30 31
Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata, 313. Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia (Yogyakarta: Liberty, 1988), 201.
27
5. Putusan Putusan hakim adalah suatu pernyataan hakim, sebagai pejabat berwenang untuk itu, diucapkan dipersidangan dan bertujuan untuk mengakhiri atau menyelesaikan suatu perkara atau sengketa antara para pahak. Bukan hanya diucapkan saja yang disebut putusan, melainkan juga pernyataan yang dituangkan dalam bentuk tertulis dan kemudian diucapkan oleh hakim dipersidangan.32 Penjelasan pasal 60 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 memberi definisi tentang putusan sebagai berikut: “putusan adalah keputusan pengadilan atas perkara gugatan berdasarkan adanya suatu sengketa”. Definisi putusan sendiri ialah pernyataan hakim yang dituangkan dalam bentuk tertulis dan diucapkan oleh hakim dalam sidang terbuka untuk umum, sebagai hasil dari perkara gugatan.33 Sedangkan menurut Roihan A. Rasyid pengertian putusan adalah produk pengadilan agama karena adanya dua pihak yang berlawanan dalam perkara, yaitu penggugat dan tergugat. Jadi pengertian putusan secara lengkap dapat dirumuskan sebagai berikut: “Putusan adalah pernyataan hakim yang dituangkan dalam bentuk tertulis dan diucapkan oleh hakim dalam sidang terbuka untuk umum,
32
Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, 202. Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata pada Pengadilan Agama (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), 245. 33
28
sebagai suatu produk pengadilan agama sebagai hasil dari suatu pemeriksaan perkara gugatan berdasarkan adanya suatu sengketa”.34 B. Prosedur Mengajukan Gugatan Hadânah. Dalam menyusun surat gugatan, orang bebas menyusun dan merumuskan surat gugatan asalkan cukup memberikan keterangan tentang kejadian materiil yang menjadi dasar gugatan. Dalam praktek peradilan dewasa ini, seorang (advokat/pengacara) cenderung menuruti syarat-syarat yang ditentukan dalam pasal 8 ayat (3) Rv yaitu surat gugatan harus dibuat secara sistematis dengan unsur-unsur identitas para pihak, dalil-dalil konkret tentang adanya hubungan hukum yang merupakan dasar dari gugatan serta petitum atau apa yang diminta/dituntut.35 Dalam hukum acara perdata dikenal dengan dua teori tentang cara menyusun gugatan kepada pengadilan yaitu: 1. Substantiering theorie, teori ini menyatakan bahwa gugatan selain harus menyebutkan peristiwa hukum yang menjadi dasar gugatan, juga harus menyebut kejadian-kejadian nyata yang mendahului peristiwa hukum dan menjadi sebab timbulnya peristiwa hukum tersebut. 2. Individualiseringa theorie, terori ini menyatakan bahwa dalam gugatan cukup disebut peristiwa-peristiwa atau kejadian-kajadian yang menemukan adanya hubungan hukum yang menjadi dasar gugatan, tanpa harus menyebutkan 34 35
Roihan A. Rasyid, Hukum Acara Peradilan Agama (Jakarta: Rajawali Pers, 1991), 195. Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata, 25.
29
kejadian-kejadian nyata yang mendahului dan menjadi sebab timbulnya kejadian-kejadian tersebut.36 Cara mengajukan gugatan dapat dibagi menjadi 2 (dua), yaitu:37 1) Gugatan tertulis Gugatan tertulis diatur dalam pasal 118 HIR (Het Herziene Indonesich Reglement) dan pasal 142 ayat (1) R.Bg.dalam kedua pasal ini ditentukan bahwa gugatan harus diajukan secara tertulis dan ditujukan kapada ketua pengadilan yang mengadili perkara tersebut. Hanya dalam Rv pasal 8 Nomor 3 menyebutkan bahwa dalam surat gugatan yang meliputi; a. Identitas para pihak. b. Fundamentium petendi atau posita. Posita terdiri dari dua bagian yaitu: 1. Bagian yang menguraikan tentang kajadian-kejadian atau peristiwaperistiwa yang terjadi sehingga ia mengajukan gugatan kepada pengadilan. 2. Bagian yang menguraikan tentang hukum yang menjadi dasar yuridis dari pada tuntutan. c. Petitum dan tuntutan 2) Gugatan lisan Pada dasarnya gugatan harus diajukan kepada pengadilan secara tertulis tetapi jika orang menggugat buta huruf, maka gugatan dapat diajukan
36 37
Ibid., 26. Darwan Prinst, Strategi Menyusun dan Menangani Gugatan Perdata, 47.
30
secara lisan kepada ketua pengadilan dan selanjutnya ketua pengadilan, segala hal gugatan itu dalam bentuk tertulis. Jika ketua pengadilan karena sesuatu hal tidak dapat mencatat sendiri surat gugatan tersebut, maka ia dapat meminta seorang hakim untuk mencatat dan menformulasikan gugatan tersebut sehingga memudahkan majelis hakim untuk memeriksanya. Untuk menjaga agar putusan Pengadilan Agama nanti tidak ilusoir (hampa) dan kepentingan penggugat terjamin sepenuhnya maka dalam gugatan hadânah berbentuk badan hukum atau perorangan dan perlu mempertegas rumusan petitum sebagai berikut; a. mengabulkan gugatan penggugat; b. menetapkan secara hukum anak atas nama ….berada dibawah asuhan dan pemeliharaan penggugat, atau menetapkan secara hukum penggugat yang berhak untuk mengasuh dan memelihara anak atas nama….bin/binti….. c. menghukum tergugat untuk menyerahkan anak atas nama….kepada penggugat.38 d. Menghukum tergugat untuk memberikan nafkah kepada anak-anaknya sesuai dengan hukum yang berlaku.39 Apabila tuntutan provisi diajukan kepada pengadilan agama, maka rumusan petitum gugatan berbunyi sebagai berikut: Dalam provisi: 38
Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama (Jakarta: Kencana, 2005), 434. 39 Dokumen, diambil tanggal 8 oktober 2007, Putusan Nomor 387/Pdt.G/PA.NGJ.
31
- Mengabulkan gugatan penggugat - Sebelum memutus pokok perkara memerintahkan agar anak atas nama………dititipkan kepada………….. Dalam pokok perkara: - Mengabulkan gugatan penggugat - Menetapkan secara hukum anak atas nama……….berada dibawah asuhan pemeliharaan penggugat - Menghukum tergugat untuk menyerahakan anak atas nama……..kepada penggugat.40 Pada pasal 136 ayat (2) KHI (Kompilasi Hukum Islam) yang berbunyi; selama berlangsungnya gugatan perceraian, atas permohonan penggugat atau tergugat, pengadilan agama dapat: menentukan nafkah yang harus ditanggung oleh suami. 41 Sehingga dalam mengatur permohonan istri atas nafkah dan biaya pemeliharaan anak pada proses pemeriksaan berlangsung. Jelasnya, pada saat pemeriksaan perkara perceraian sedang berjalan, istri sebagai penggugat dapat mengajukan permohonan kepada hakim agar selama proses pemeriksaan perkara berlangsung lebih dulu ditetapkan nafkah dan pemeliharaan anak, sehingga menentukan hal-hal yang perlu menjamin pemeliharaan anak.
40 41
Ibid.. Kompilasi Hukum Islam, 43.
32
Pengajuan permohonan gugatan dapat ditempuh penggugat dengan dua cara, yaitu:42 a. Diajukan dalam surat gugat bersama gugatan pokok. Penggugat langsung mencantumkan permohonan penetapan nafkah dan pemeliharaan anak. Cara menyusun surat gugat sesuai dengan sistematika berikut: 1) Tuntutan terhadap pokok perkara yang berisi uraian dalil gugat. 2) Tuntutan atau gugat “provisi” tentang nafkah anak, biaya pemeliharan dan biaya pendidikan anak-anak. Memang
kalau
untuk
pembayaran
nafkah,
pembiayaan
pemeliharaan dan pendidikan anak, tidak cara lain selain gugat provisi, jika hal itu diajukan bersamaan dengan gugatan pokok. b. Permohonan diajukan dipersidangan Pada pemeriksaan perkara perceraian berlangsung, istri sebagai penggugat mengajukan permohonan agar pengadilan menetapkan kewajiban suami untuk membayar nafkah maupun biaya pemeliharaan dan pendidikan anak-anak setiap bulan. C. Putusan atas Gugatan Hadânah. Hasil akhir dari pemeriksaan perkara pengadilan disebut putusan atau vonis. Dari hakim diharapkan sikap tidak memihak dalam menentukan siapa yang 42
Yahya Harahap, Kedudukan dan Kewenangan Hakim, (Jakarta: Sinar Grafika Offset, 2003), 458.
33
benar dan siapa yang tidak dalam suatu perkara dan mengakhiri sengketa atau perkaranya. Bagi hakim dalam mengadili suatu perkara terutama yang dipentingkan adalah fakta atau peristiwa dan bukan hukumannya, sehingga hakim sangat berhati-hati dalam mengambil keputusan. 1. Sifat putusan. Putusan menurut sifatnya dapat dibagi atas: a. Pengaturan (Constitutif). Putusan bersifat constitutive adalah putusan yang menetapkan mengenai sesuatu, seolah-olah membuat suatu kaidah atau ketentuan baru. b. Pernyataan (Declaratoir). Putusan bersifat deklaratoir adalah putusan yang memberi pernyataan mengenai sesuatu. c. Menghukum (Condemnatoir). Putusan bersifat condemnatoir adalah putusan yang isinya menghukum.43 2. Macam-macam putusan. Putusan menurut macamnya dibagi atas:44 a. Interlocutoir vonis (putusan sela). Interlocutoir vonis (putusan sela) adalah putusan yang belum merupakan putusan akhir. Putusan sela (Interlocutoir vonis) itu dapat berupa: 1) Putusan provisional (Tak Dim).
43 44
Prinst, Straregi Menyusun dan Menangani Gugatan Perdata, 201. Ibid., 202.
34
Putusan provisional (Tak Dim) putusan yang diambil segera mendahului putusan akhir tentang pokok perkara, karena alasan yang mendesak untuk itu. Misalnya gugatan pokok mengenai nafkah istri dan mengijinkan seseorang berpekara Cuma-Cuma (prodeo). 2) Putusan preparatoir. Putusan preparatoir adalah putusan sela guna mempersiapkan putusan akhir. Misalnya, putusan yang menolak atau mengabulkan pengunduran sidang karena alasan yang tidak tepat atau tidak dapat diterima 3) Putusan Insidental. Putusan insidental adalah putusan yang diambil secara insidental. Misalnya
karena
kematian
kuasa
dari
salah
satu
pihak
(penggugat/tergugat) dan lain-lain. b. Putusan akhir. Putusan akhir suatu dari suatu perkara dapat berupa: 1) Niet onvankelijk verklaart. Niet onvakelijk verklaart berarti tidak dapat diterima, yakni putusan pengadilan yang menyatakan, bahwa gugatan penggugat tidak dapat diterima. 2) Tidak berwenang mengadili. Suatu gugatan yang diajukan kepada pengadilan yang tidak berwenang, baik menyangkut kompetensi absolut maupun kompetensi relative, akan diputus oleh pengadilan tersebut dengan menyatakan dirinya tidak
35
megadili gugatan itu. Oleh karena itu, gugatan dinyatakan tidak dapat diterima. 3) Gugatan dikabulkan. Gugatan
dikabulkan
suatu
gugatan
yang
terbukti
kebenarannya
dipengadilan akan dikabulkan seluruhnya atau sebagian. Apabila gugatan terbukti
seluruhnya,
maka
gugatan
akan
dikabulkan
untuk
seluruhnya.akan tetapi, apabila gugatan hanya terbukti sebagian, maka akan dikabulkan sebagian pula sepanjang yang dibuktikan itu. 4) Gugatan ditolak. Suatu gugatan yang tidak dapat dibuktikan kebenerannya didepan pengadilan, maka gugatan tersebut akan ditolak. Penolakan itu dapat terjadi untuk seluruhnya atau sebagian. 3. Cara-cara pengambilan putusan Dalam praktek peradilan adakalanya, baik pihak penggugat maupun pihak tergugat hadir dipersidangan. Akan tetapi, adakalanya salah satu pihak tidak hadir, walaupun telah dipanggil secara sah. Putusan hakim tentang hadānah haruslah jelas dan tegas, tidak perlu adanya interprestasi lagi dari pihak-pihak yang terkait. Biasanya amar putusan hadanah, berbunyi sebagai berikut;45 mengabulkan gugatan penggugat a. menetapkan anak bernama…….bin/binti berada di bawah pemeliharaan penggugat 45
Dokumen, diambil tanggal 8 Oktober 2007, Putusan Nomor 40/Pdt.G/2006/PTA.Sby.
36
b. menghukum tergugat untuk menyerahkan anak bernama…..bin/binti kepada penggugat terhitung sejak putusan ini berkekuatan tetap c. Membebankan kepada penggugat membayar biaya perkara yang hingga kini dihitung sebesar Rp……… d. Mewajibkan kepada tergugat untuk membayar nafkah anak yang ikut pengugat setiap bulan sebasar Rp…………. D. Eksekusi putusan hadânah 1. Macam-macam eksekusi. Pada dasarnya, ada dua bentuk eksekusi jika ditinjau dari segi sasaran yang hendak dicapai oleh hubungan hukum yang tercantum dalam putusan pengadilan. Adakalanya sasaran hubungan hukum yang hendak dipenuhi sesuai dengan amar putusan ialah melakukan suatu tindakan nyata atau tindakan riil. Adakalanya hubungan hukum yang mesti dipenuhi dengan amar putusan ialah melakukan pembayaran sejumlah uang. Maka dari itu disebut eksekusi riil dan eksekusi pembayaran sejumlah uang. a. Eksekusi Riil. Yang dimaksut eksekusi riil adalah eksekusi yang secara nyata melakukan upaya hukum sebagaimana tertera dalam amar putusan yang dikelompokkan menjadi beberapa jenis yaitu:
37
1. Eksekusi penyerahan harta benda secara nyata. Eksekusi seperti ini dapat terjadi dapat terjadi misalnya dalam amar putusan dinyatakan bahwa tergugat dihukum untuk menyerahkan harta benda kepada tergugat secara utuh tanpa mengubah benyuk dan kondisi barang. 2. Eksekusi pengosongan tanah dari rumah atau bangunan. Eksekusi seperti ini, agar tergugat melakukan suatu perbuatan mengosongkan tanah milik penggugat dari bangunan atau tanam-tanaman sehingga dapat ditempati oleh penggugat. b. Eksekusi pembayaran uang. Sesuai dengan namanya, eksekusi pembayaran uang ini adalah suatu eksekusi yang intinya agar pihak yang dikalahkan menbayar sejumlah uang yang telah ditetapkan pengadilan kepada pihak yang dimenangkan.46 2. Tata cara dan pelaksanaan eksekusi. Tata cara dan pelaksanaan eksekusi terhadap putusan hadānah harus melalui prosedur hukum yang berlaku. Adapun prosedur dan tata cara eksekusi putusan hadānah sebagai berikut; a. Putusan hadānah tersebut telah mempunyai hukum tetap b. Pihak yang kalah tidak mau melaksanakan putusan hadanah secara suka rela c. Pihak yang menang (penggugat) mengajukan permohonan eksekusi kepada Pengadilan Agama yang memutus perkara hadānah 46
Ropaun Rambe, Implementasi Hukum Islam (Jakarta: Perca, 2001), 238-240.
38
d. Pengadilan Agama telah menetapkan sidang Aanmaning e. Telah dilampaui tenggang waktu atau teguran (aanmaning) f. Ketua Pengadilan Agama mengeluarkan surat eksekusi g. Pelaksanaan eksekusi ditempat termohon eksekusi yang dihukum untuk membayar nafkah anak. h. Pelaksanaan eksekusi dibantu oleh dua orang saksi i. Eksekusi dilaksanakan oleh panitera atau juru sita.47 Mengenai berhasil tidaknya suatu eksekusi dilaksanakan masih diperlukan adanya saling keterkaitan yaitu: 1. kepandaian penggugat/pemohon dalam menyusun petitum dalam gugatan. 2. Penelitian surat gugatan sebelum terdaftar di kepaniteraan Pengadilan Agama. 3. Ketelitian hakim di muka sidang. 4. Benar dan jelas serta rincinya putusan. 5. Pelaksanaannya dilapangan. 6. Dipenuhinya biaya eksekusi.48 Tujuan akhir pencari keadilan ialah agar segala hak-haknya yang dirugikan oleh pihak lain dapat dipulihkan melalui putusan hakim. Hal ini dapat tercapai jika putusan hakim dapat dilaksanakan secara suka rela.
47
Sulaikin Lubis, Hukum Acara Perdata Peradilan Agama di Indonesia (Jakarta: kencana, 2005),
167.
48
Ibid., 168.
39
BAB III PUTUSAN REKONVENSI DALAM PERKARA HADĀNAH NOMOR 40/Pdt.G/2006/PTA.Sby DI PENGADILAN TINGGI AGAMA SURABAYA A. Alasan Hakim Menerima Rekonvensi dalam Perkara Hadânah di Pengadilan Tinggi Agama Surabaya Masalah pengasuhan anak (hadânah), menjadi alasan pertama hakim menerima rekonvensi di Pengadilan Agama Surabaya. Menurut Muh. Djamhur, gugatan rekonvensi ini dapat diterima karena gugatan diajukan sebelum pembuktian di persidangan Pengadilan Agama Nganjuk atau masih taraf jawab menjawab dan tidak menunggu sampai 14 (empat belas) hari.49 Rekonvensi sudah diajukan di Pengadilan Agama lalu diperiksa dan di adili di Pengadilan Tinggi Agama dengan memeriksa bukti-bukti atau fakta-fakta yang ada. 50 Dalam surat gugatan perceraian, diajukan tuntutan kepada tergugat di Pengadilan Agama Nganjuk tentang pengasuhan anak dan nafkah anak dengan menuntut gaji tergugat untuk anak-anaknya sesuai dengan prosentase gaji dan kebutuhan anak. Sebelum perkara ini masuk di Pengadilan Tinggi Agama Surabaya, perkara ini sudah terdaftar di Pengadilan Agama Nganjuk. Dalam gugatan antara Marhaeny Eko Partiwi (penggugat) melawan Sunyoto (tergugat). Penggugat mohon agar
49 50
Djamhur (Hakim Pengadilan Tinggi Agama Surabaya), Wawancara tanggal 17 Januari 2008. Soedarsono (Hakim Pengadilan Tinggi Agama Surabaya), Wawancara tanggal 17 Januari 2008.
40
pengadilan agama nganjuk menjatuhkan putusan dengan menghukum tergugat untuk memberikan hak gaji tergugat kepada anak-anaknya sesuai dengan hukuman yang berlaku dan menetapkan anak hasil perkawinan antara penggugat dan tergugat yaitu: 1. Novi Eko Dhemitra, umur 15 tahun; 2. Pamela Ernes, umur 13 tahun, diasuh oleh penggugat;51 Terlepas dari semua itu, pemeliharaan anak ( hadânah ) merupakan tanggung jawab dari kedua orang tua, supaya tugas untuk mendidik anak menjadi muslim yang baik menjadi kewajiban yang mutlak. Seorang ibu mempunyai peran yang penting untuk anaknya dan lebih berhak untuk mendidik anaknya selama tidak menjadi sebab gugurnya kewajiban dalam pengasuhan atau pameliharaan anak dan syarat-syarat melakukan hadânah terpenuhi, karena ibu lebih berpengalaman dan lebih sabar dalam hal tersebut. Dari tuntutan tersebut, tergugat memberikan jawaban secara tertulis pada pokoknya, bahwa tergugat keberatan kalau penggugat menuntut gaji tergugat untuk anak-anaknya. Dengan prosentase gaji tersebut untuk kebutuhan anak. Karena yang mengajukan gugatan cerai adalah penggugat bukan tergugat justru yang seharusnya sesuai peraturan yang berlaku, penggugatlah yang seharusnya memberikan 1/3 dari gajinya kepada anak-anak karena anak-anak masuk dalam daftar gaji penggugat setiap bulannya. Namun kenyataannya sejak putusan cerai mempunyai kekuatan hukum tetap pada tanggal 21 Maret 2005. Sampai sekarang 51
Dokumen, diambil tanggal 8 Oktober 2007, Putusan Nomor 387/Pdt.G/2005/PA.NGJ, 3.
41
ini penggugat tidak pernah memberikan sepertiga gajinya kepada anak-anak padahal pada waktu dilakukan pembinaan di RSUD Nganjuk maupun dibidang kepegawaian pemerintah Kabupaten Nganjuk penggugat telah menyatakan sanggup untuk memenuhinya, hal ini diteguhkan dengan tanda tangan penggugat dalam surat pernyataan; Bahwa tergugat juga keberatan kalau anak penggugat dan tergugat yang bernama Novia Eka Dhemintra, umur 15 tahun dan Pamela Ernes, umur 13 tahun diasuh oleh penggugat karena anak telah memutuskan ikut tergugat sejak 1(satu) tahun yang lalu tepatnya ketika penggugat sudah tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai seorang ibu; Maka Pengadilan Agama Nganjuk menimbang bahwa mengenai bagian gaji untuk anak oleh karena menyangkut kedisiplinan tergugat sebagai seorang pegawai negeri sipil, maka pelaksanaannya menyerahkan sepenuhnya kepada atasan tergugat. Menimbang, bahwa mengenai pemeliharaan 2 orang anak bernama Novia Eko Dhemitra dan Pamela Ernes oleh karena
kedua anak
penggugat dan tergugat tersebut sudah berumur lebih dari 12 tahun dan dalam pemeriksaan berita acara persidangan tanggal 19 September 2005 atas kedua anak tersebut yaitu anak bernama Novia Eko Dhemitra, ingin tinggal bersama bapaknya sedang Pamela Ernes umur 13 tahun ingin tinggal bersama ibunya. Pengadilan Agama Nganjuk dalam putusannya, menetapkan dua orang anak masing-masing bernama:
42
a. Novi Eko Dhemitra umur 15 tahun berada dalam pemeliharaan Tergugat (Sunyoto);--------------------b. Pamela Ernes umur 13 tahun berada dalam pemeliharaan Penggugat (Marhaeny Eko Pertiwi).52 Dari
putusan Pengadilan Agama Nganjuk, maka Pengadilan Tinggi
Agama Surabaya menimbang, bahwa keberatan kedua yang diajukan Tergugat Pembandimg ialah masalah pengasuhan anak, tergugat pembanding menghendaki kedua anaknya ada dibawah asuhan Tergugat Pembanding, karena sejak lama sudah ikut Tergugat Pembanding, namun putusan hakim ternyata anak pertama Novia Eka Dhemitra, umur 15 tahun ikut tergugat Pembanding, sedangkan anak kedua Pamela Ernes umur 13 tahun ikut Penggugat Terbanding.. Dalam hal ini berdasarkan berita acara persidangan tanggal 19 September 2005 ternyata kedua anak tersebut sudah menyatakan bahwa anak pertama (15 tahun) ingin tetap ikut bapaknya
sedangkan anak kedua (umur 13 tahun) walaupun sejak dulu ikut
bapaknya, tetapi juga sering ketempat ibunya dan ingin mangikuti ibunya., maka hal ini berarti orang tua demi kebaikan anak itu sendiri, orang tua punya kewajiban untuk mengikuti kehendak anak tersebut. Dengan demikian pertimbangan hakim tingkat pertama sudah benar dan putusan dapat dikuatkan. Mengenai gugatan 1/3 gaji tergugat pembanding untuk anak-anak, maka Pengadilan Tinggi Agama Surabaya menimbang, bahwa penggugat terbanding menuntut 1/3 gaji tergugat pembanding untuk anak. Dalam hal ini, hakim tingkat 52
Ibid., 19.
43
pertama kurang jeli dalam menafsirkan tuntutan tersebut, seharusnya tuntutan 1/3 gaji untuk biaya anak harus ditafsirkan biaya pemeliharaan anak (hadānah) bukan semata-mata gaji, sebab biaya pemeliharaan anak sudah menjadi kewajiban ayahnya dan tidak dapat diputus kecuali dengan kematian atau anak sudah dapat mandiri. Maka orang tua terutama bapaknya tidak melupakan kewajiban memberi nafkah untuk biaya pemeliharaan dan pendidikan anak, hakim mempunyai hak ex ofisio. “Hak ex ofisio” adalah hak mengatur putusan walaupun tidak diminta.53 Sehingga hakim menetapkan biaya nafkah anak yang harus dibayar oleh orang tuanya terutama bapaknya. Menimbang, bahwa atas pertimbangan tersebut, pertimbangan hakim tingkat pertama harus diperbaiki dan tergugat pembanding diwajibkan untuk membayar nafkah anak khususnya anak yang mengikuti penggugat terbanding, yang bernama Pamela Ernes, sesuai dengan kemampuan tergugat pembanding, setiap bulan Rp. 300.000,- (tiga ratus ribu rupiah) dan dengan mengingat kenaikan harga bahan pokok, maka besarnya nafkah anak yang harus dibayar tergugat pembanding naik 10% setiap tahun. Dengan pertimbangan tersebut putusan Pengadilan Agama Nganjuk dalam hal ini harus diperbaiki. 54 Walaupun dalam tuntutan hakim tidak menemukan tuntutan nafkah anak hanya menuntut 1/3 (sepertiga) gaji, maka hakim harus jeli menyingkapi maksut dari tuntutan tersebut. Sehingga hakim dapat menetapkan hak pemeliharaan anak dan
53 54
Djamhur (Hakim Pengadilan Tinggi Agama Surabaya), Wawancara tanggal 17 Januari 2008. Dokumen, diambil tanggal 8 Oktober 2007, Putusan Nomor 40/Pdt.G/2006PTA.Sby.
44
nafkah anak tanpa diminta dengan alasan kepentingan anak harus didahulukan.Dan yang menjadi alasan mengapa hakim memutuskan bahwa nafkah anak di bebankan kepada bapaknya, karena merupakan tanggung jawab dari bapaknya agar terjamin sepenuhnya masa depan anak baik pendidikan dan kebutuhannya setiap hari.55 Hal ini juga dibenarkan oleh bapak Munawar bahwa kepentingan anak harus didahulukan agar kebutuhan anak lahir batin dapat terpenuhi tetapi sesuai dengan kemampuan dari bapaknya. 56 Memang kalau untuk pembayaran nafkah dalam pameliharaan anak dan pendidikan anak, tidak ada cara lain selain harus dicantumkam dalam amar putusan. Supaya orang tua tidak lupa akan kewajiban dan tanggung jawabnya, yang terkadang sering dilupakan. Menurut Agus Widodo alasan utama hakim memproses kembali yaitu putusan hakim pengadilan tingkat pertama kurang menguatkan, sehingga hakim Pengadilan Tinggi Agama Surabaya mempertegaskan isi dari putusan, agar pihak tergugat pembanding dapat menjalankan putusan tersebut. Terutama dalam hal pemeliharaan anak dan nafkah anak. 57 Dalam hal ini juga dikuatkan dengan pernyataan bapak Munawar bahwa gugat rekonvensi yang di ajukan tergugat pembanding sudah diajukan terlebih dahulu di Pengadilan Tingkat Pertama
55 56
Roesiyati (Panitera Pengadilan Tinggi Agama Surabaya), Wawancara tanggal 17 Januari 2008. Muh. Munawar (Hakim Pengadilan Tinggi Agama Surabaya), Wawancara tanggal 17 Januari
2008. 57
2008.
Agus Widodo (Hakim Pengadilan Tinggi Agama Surabaya), Wawancara tanggal 17 Januari
45
sebelum pembuktian. Pengadilan Tinggi Agama Surabaya tidak bisa menolak perkara yang masuk karena sudah sesuai dengan peraturan yang berlaku.58 B. Dasar Hakim Menerima Rekonvensi dalam Perkara Hadânah di Pengadilan Tinggi Agama Surabaya. Hakim dalam menerima perkara yang masuk dan perkara yang akan di putuskan, harus memperhatikan gugatan dari perkara tersebut. Menurut pasal 132a ayat (2) HIR gugatan rekonvensi tidak dapat diajukan dalam tingkat banding dan pada tingkat kasasi. Rekonvensi hanya dapat diajukan pada pengadilan tingkat pertama. Penyusunan gugatan rekonvensi sama dengan gugatan konvensi yang diajukan semula. Gugatan konvensi dan rekonvensi biasanya diselesaikan sekaligus dan diputus dalam satu surat putusan.59 Mengenai pemeliharaan anak (hadânah) yang menjadi dasar hakim dalam memutuskan perkara tersebut yaitu pasal 105 huruf b dan pasal 156 huruf b Kompilasi Hukum Islam.60 Pasal 105 huruf b Kompilasi Hukum Islam berbunyi “dalam hal terjadi perceraian, maka pemeliharaan anak yang sudah mumayyiz diserahkan kepada anak untuk memilih diantara ayah atau ibunya sebagai pemegang hak pemeliharaannya.” 61 Sedangkan pasal 156 huruf b Kompilasi Hukum Islam 58
Muh. Munawar (Hakim Pengadilan Tinggi Agama Surabaya), Wawancara tanggal 17 Januari
2008
59
Abdul Manan, Penerpan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama (Jakarta: Prenata Media, 2005), 57. 60 Dokumen, diambil tanggal 8 Oktober 2007, Putusan Nomor 387/Pdt.G/2005/PA.NGJ. 61 Kompilasi Hukum Islam (Bandung: Fokusmedia, 2005), 35.
46
berbunyi” akibat putusnya perkawinan karena perceraian ialah: anak yang sudah mumayyiz berhak memilih untuk mendapatkan hadânah dari ayah atau ibunya.62 “Masa mumayyiz adalah masa seorang anak secara sederhana telah mampu membedakan antara yang berbahaya dan yang bermanfaat bagi dirinya, dari umur tujuh tahun sampai menjelang balig berakal”.63 Menurut Muh.Munawar dasar dari melakukan hadânah yaitu pasal 41 huruf a Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 yang berbunyi: baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak pengadilan memberikan keputusan.64 Permohonan hadânah juga bisa diajukan berdasarkan pasal 24 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975, pasal tersebut menjelaskan bahwa: Selama berlangsungnya gugatan perceraian, atas permohonan penggugat dan tergugat, pengadilan dapat: a. Menentukan nafkah yang harus ditanggung oleh suami; b. Menentukan hal-hal yang perlu untuk menjamin pemeliharaan dan pendidikan anak. Hal yang sama ditetapkan juga dalam pasal 77 dan 78 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989, tentang Peradilan Agama. Pasal-pasal tersebut menjelaskan
62
Ibid., 51. Jaenal Arifin, Azharuddin Lathif dan Nurul irfan, Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer (Jakarta Timur: Prenata Media, 2004), 171. 64 Undang-Undang Perkawinan di Indonesia (Surabaya: Arkola, ttp), 18. 63
47
lebih terperinci tentang apa saja yang dapat digugat dalam provisi, yaitu menetapkan nafkah dan untuk menjamin pemeliharaan dan pendidikan anak. 65 Sedangkan gugatan pengasuhan anak juga dikuatkan seperti yang tercantum dalam putusan Pengadilan Tinggi Agama Surabaya, didasarkan pada pasal 105 huruf a Kompilasi Hukum Islam yang menjelaskan tentang pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun adalah hak ibunya.66 Mengenai nafkah anak untuk biaya pemeliharaan dan pendidikan, dalam putusan hakim Pengadilan Tinggi Agama Surabaya karena hakim mempunyai hak ex ofisio hal ini berdasarkan pada pasal 41 huruf c Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 yaitu pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan/atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas isteri. Pasal ini untuk menetapkan biaya nafkah anak yang harus dibayar orang tuanya terutama bapaknya dan dikuatkan pada pasal 41 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 huruf b yang berbunyi: bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak itu; bilamana bapak dalam kenyataan tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut. Pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut. 67 Menurut bapak Djamhur, ayah tetap diwajibkan untuk memberi nafkah kepada anaknya, sesuai
65
Manan, Penarapan Hukum Acara Perdata, 51. Dokumen, diambil tanggal 8 Oktober 2007, Putusan No.40/Pdt.G/2006/PTA.Sby. 67 Undang-Undang Perkawinan di Indonesia (Surabaya: Arkola, ttp), 18. 66
48
kemampuan paling tidak makan 2 (dua) kali. Bagaimanapun juga anak merupakan titipan yang harus dijaga dan tidak boleh disia-siakan oleh kedua orang tua.68 Permohonan cerai untuk biaya hadânah menurut Muh. Munawar dapat didasarkan
pada
yurisprodensi
Nomor
278K/AG/1997
yang
berbunyi
“permohonan cerai yang diajukan oleh seorang (pemohon) terhadap istrinya (termohon) sedangkan isterinya tidak terbukti nuzus yang menimbulkan rumah tangga cekcok terus menerus, maka suami (pemohon) harus dibebani kewajiban untuk membayar uang kepada isterinya tersebut berupa: biaya hadânah untuk anak.” Atau berdasarkan yurisprudensi Nomor 499K/AG/2000 yaitu “bahwa dalam perceraian, disamping hak ex ofisio hakim dapat menentukan nafkah anak.” 69 Maksud yurisprudensi tersebut, walaupun tanpa diminta dalam surat gugatan, hakim dapat menentukan nafkah anak dengan tujuan agar masa depan anak terjamin sepenuhnya. Dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 156 huruf d menjadi dasar tentang semua biaya hadânah dan nafkah anak menjadi tanggungan ayah menurut kemampuannya, sekurang-kurangnya sampai anak tersebut dewasa dan dapat mengurus diri sendiri (21). Dan kewajiban memelihara anak
dipertegas oleh
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 pasal 45 yaitu ayat (1). Kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya. Sedangkan
68
Muh.Djamhur (Hakim Pengadilan Tinggi Agama Surabaya), Wawancara tanggaL 17 Januari
2008. 69
2008.
Muh. Munawar (Hakim Pengadilan Tinggi Agama Surabaya), Wawancara tanggal 17 Januari
49
ayat (2) yaitu: Kewajiban orang tua yang di maksut dalam ayat (1) pasal ini berlaku sampai anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri. Kewajiban tersebut berlaku terus meskipun perkawinan antara kedua orang tua putus.70 Jadi kewajiban orang tua berlaku terus menerus untuk membantu mendidik dan membantu memberi kasih sayang agar menjernihkan amar putusan atau hak asuhnya tidak hilang.71 C. Eksekusi Amar Putusan Terhadap Rekonvensi dalam Perkara Hadânah di Pengadilan Tinggi Agama Surabaya. Eksekusi pada hakekatnya adalah hal menjalankan putusan pengadilan yang sudah berkekuatan hukum tetap. Sedangkan eksekusi amar putusan merupakan kelalaian tidak menjalankan hukuman yang dijatuhkan kepada pihak yang kalah untuk pihak yang menang. Perintah eksekusi dibuat ketua pengadilan agama, panitera atau apabila ia berhalangan dapat diwakilkan kepada juru sita dengan ketentuan harus menyebut dengan jelas nama petugas dan jabatannya yang bertugas melaksanakan eksekusi sebagaimana diatur dalam pasal 197 HIR. Dalam pelaksanaan eksekusi tersebut, panitera dan juru sita dibantu dua orang saksi berumur 21 tahun, jujur dan dapat dipercaya yang berfungsi membantu panitera
70
Undang-Undang Perkawinan di Indonesia dilengkapi Kompilasi Hukum Islam di Indonesia (Surabaya: Arkola, ttp), 231 dan 19. 71 Agus Widodo (Hakim Pengadilan Tinggi Agama Surabaya), Wawancara tanggal 17 Januari 2008.
50
atau juru sita yang melaksanakan eksekusi sebagai diatur dalam pasal 197 ayat (6).72 Adapun prosedur eksekusi putusan hadânah secara kronologis dapat dirinci sebagai berikut: 1. Putusan hadânah tersebut mempunyai kekuatan hukum tetap; 2. Pihak yang kalau tidak mau melaksanakan putusan hadânah secara sukarela; 3. Pihak yang menang (penggugat) mengajukan permohonan eksekusi kepada pangadilan agama yang memutus perkara hadânah; 4. Pengadilan agama telah menetapkan sidang peringatan (Aan maning); 5. Telah dilampau tenggang waktu atau tegoran yaitu 8 (delapan) hari; 6. Ketua Pengadilan Agama mengeluarkan surat eksekusi: 7. Pelaksanaan eksekusi ditempat termohon eksekusi yang dihukum untuk menyerahkan anak; 8. Pelaksanaan eksekusi dibantu oleh 2 (dua) oang saksi; 9. Juru sita mengambil anak tersebut secara baik-baik, sopan dan dengan tetap berpegang dengan adat istiadat yang berlaku, kalau tidak diserahkan secara sukarela maka diserahkan secara paksa; 10. Juru sita membuat berita acara eksekusi yang ditandatangani oleh juru sita beserta dua orang saksi sebanyak rangkap lima.73
72 73
M. Munir (Panitera Pengadilan Tinggi Agama Surabaya), Wawancara tanggal 4 Maret 2008. Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama, 437.
51
Apabila ada yang menghalangi eksekusi, maka Pengadilan Agama dapat mengambil anak tersebut dengan secara paksa dan menyerahkan kepada salah satu orang tua yang berhak untuk mengasuhnya. Jadi apabila dikaitkan dengan eksekusi anak, maka secara hukum harus ada putusan yang berkekuatan hukum tetap, sedangkan pelaksanaan eksekusinya dihalang-halangi berarti sama saja dengan menghalang-halangi terhadap pelaksanaan hukum yang telah mempunyai hukum tetap.74 Hadânah merupakan tanggung jawab dan kewajiban orang tua kepada anaknya, jadi pada dasar tidaknya bisa dipaksakan untuk melakukan eksekusi. Karena semua itu merupakan kesadaran tersendiri dari orang tua untuk menjalankan kewajibannya tanpa dipaksa. Mengenai nafkah anak, apabila pihak yang kalah tidak mau membayar nafkah anak, maka pihak yang menang dapat menuntut kepada pihak yang kalah (bapaknya). Apabila tidak mau menjalankan tuntutan tersebut maka pihak yang kalah berhutang kepada pihak yang menang. Pihak yang menang (ibu) disini juga berhak ikut memikul biaya tersebut, bilamana bapak dalam kenyataan tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut, yang telah dijelaskan dalam Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 41 ayat b.75 Eksekusi dilakukan di Pengadilan Agama bukan di Pengadilan Tinggi Agama karena yang berwenang sepenuhnya adalah Pengadilan Agama dimana
74 75
Roesiyati (Panitera Pengadilan Tinggi Agama Surabaya), Wawancara tanggal 4 Maret 2008. Muh.Djamhur (Hakim Pengadilan Tinggi Agama Surabaya), Wawancara tanggal 4 Maret 2008.
52
perkara itu masuk. Pengajuan untuk melaksanakan eksekusi dilakukan di Pengadilan Agama. Pengajuan tersebut dilakukan oleh pihak yang menang dalam perkara dan ditujukan kepada pihak yang kalah karena tidak mau menjalankan amar putusan. Menurut bapak Munawar, kebanyakan dalam perkara seperti ini pihak yang merasa dirugikan tidak mau ambil pusing dengan mengajukan perkara lagi di Pengadilan Agama. Mareka cenderung menanggung semua itu sendiri tanpa peduli lagi dengan hasil putusan dan apa putusan itu dijalankan atau tidak setelah perkara ini selesai.76
76
M. Munawar (Hakim Pengadilan Tinggi Agama Surabaya), Wawancara tanggal 4 Maret 2008.
53
BAB IV ANALISA PUTUSAN HAKIM TENTANG REKONVENSI DALAM PERKARA HADĀNAH DI PENGADILAN TINGGI AGAMA SURABAYA A. Analisa Terhadap Alasan Hakim Menerima Rekonvensi dalam Perkara Hadânah Nomor 40/Pdt.G/2006/PTA.Sby di Pengadilan Tinggi Agama Surabaya Telah dijelaskan dalam bab awal bahwa rekonvensi dapat diterima karena gugat balas yang diajukan di Pengadilan Agama Nganjuk tersebut, di ajukannya sebelum pembuktian di persidangan atau masih taraf jawab menjawab dan tidak menunggu sampai 14 hari seperti waktu tunggu untuk gugat rekonvensi. Jadi dalam hal ini Pengadilan Tinggi Agama Surabaya sudah bertindak tepat dengan menerima gugat rekonvensi. Dalam Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia tanggal 26 April 1979 Reg. Nomor 346 K/Sip/1975 mengatakan, apabila gugatan rekonvensi baru diajukan pada jawaban tertulis kedua (duplik), maka gugatan rekonvensi tersebut adalah terlambat. Jadi gugatan tersebut tidak dapat diterima jika gugatan tidak langsung dijawab pada jawaban pertama (replik). Sedangkan alasan hakim sendiri menerima rekonvensi tersebut karena hakim Pengadilan Tinggi agama Surabaya menganggap bahwa putusan Hakim Pengadilan tingkat pertama kurang mempunyai kekuatan hukum, sehingga perlu mempertegas isi dari putusan. Jika seorang hakim tingkat pertama melakukan
54
kesalahan atau kurang kuatnya isi dalam putusan maka, harus segera diperbaiki. Tapi jika keputusan tersebut, telah dieksekusi maka pembetulan tidak diizinkan. Masalah pengasuhan anak (hadânah) hakim telah mempertimbangkan dengan seksama, karena pada dasarnya pemeliharaan anak menjadi alasan utama hakim menerima rekonvensi. Dalam surat putusan di Pengadilan Agama Nganjuk tidak dicantumkannya nafkah anak, yang sebenarnya harus diperhatikan oleh hakim. Dengan tujuan agar anak terjamin sepenuhnya, penghidupan anak yang dibebankan kepada orang tua. Dengan pertimbangan tersebut maka hakim Pengadilan Tinggi Agama Surabaya memperbaiki putusan yang telah diputuskan Pengadilan tingkat pertama yaitu menetapkan biaya nafkah anak yang harus dibayar oleh orang tua dalam hal ini bapaknya. Adapun dalam pasal 156 Kompilasi Hukum Islam akibat putusnya perkawinan karena perceraian ialah: g. anak yang belum mumayyiz berhak mendapatkan hadânah dari ibunya, kecuali bila ibunya telah meninggal dunia, maka kedudukan digantikan oleh: 1. wanita-wanita dalam garis lurus ke atas dari ibu 2. ayah 3. wanita-wanita dalam garis lurus ke atas dari ayah 4. saudara perempuan dari ayah yang bersangkutan 5. wanita-wanita kerabat sedarah menurut dari garis samping dari ibu 6. wanita-wanita kerabat sedarah menurut garis samping dari ayah.
55
h. Anak yang sudah mumayyiz berhak memilih untuk mendapatkan hadânah dari ayah atau ibunya i. Apabila pemegang hadânah ternyata tidak dapat menjamin keselamatan jasmani dan rohani anak, meskipun biaya nafkah dan hadânah telah dicukupi, maka atas permintaan kerabat yang bersangkutan Pengadilan Agama dapat memindahkan hak hadânah kepada kerabat lain yang mempunyai hak hadânah. j. Semua biaya hadânah dan nafkah anak menjadi tanggungan ayah menurut kemampuannya, sekurang-kurangnya sampai anak tersebut dewasa dan dapat mengurus diri sendiri (21 tahun). k. Bilamana terjadi perselisihan mengenai hadânah dan nafkah anak, Pengadilan Agama memberikan outusannya berdasarkan huruf (a), (b), (c), dan (d). l. Pengadilan dapat pula dengan mengingat kemampuan ayahnya menetapkan jumlah biaya untuk pemeliharaan dan pendidikan anak-anak yang tidak turut padanya. Ulama fiqh juga sepakat menyatakan, bahwa anak anak berhak menerima nafkah dari ayahnya dengan ketentuan. 1. Apabila ayah mampu memberi nafkah untuk mereka, atau paling tidak mampu bekerja untuk mencari rezeki. Apabila tidak punya harta atau tidak mampu bekerja seperti lumpuh dan sebab-sebab lainnya, tidak wajib ayah memberi nafkah kepada anak-anaknya.
56
2. Anak itu tidak mempunyai harta sendiri atau belum mampu mencari harta sendiri, seperti lumpuh atau cacat fisiknya. Sekiranya anak itu sudah mampu mencari rezeki atau mempunyai kerja tetap, maka tidak wajib sekali menafkahi anak-anaknya. 3. Menurut Madhhab Hambali, antara ayah dan anak tidak berbeda agama. Berbeda dengan Jumhur ulama, bahwa perbedaan agama tidak menghalangi pemberian nafkah kepada anak-anaknya Mengenai
pemeliharaan
anak
(hadânah),
pengadilan
telah
memutuskan dengan benar. Pemeliharaan anak yang masih kecil sebaiknya ikut ibunya. Sedangkan anak yang sudah besar atau mumayyiz berhak memilih antara ibu atau bapaknya. Tetapi untuk kepentingan anak dan pemeliharaaannya diperlukan beberapa syarat, sebagai berikut: a) Berakal sehat. b) Mampu mendidik c) Dewasa d) Amanah dan berbudi e) Beragama Islam f) Ibunya belum menikah lagi g) Merdeka. Orang tua sering mengabaikan dalam pemeliharaan anak dengan menelantarkannya. Padahal yang dibutuhkan seorang anak kepada orang tuanya adalah kasih sayang, perhatian, kebutuhan yang tercukupi serta kehidupan yang
57
tenang dan bahagia. Bukan perpisahan dari orang tua dengan dalih untuk kebaikan, tapi justru bencana untuk anak itu sendiri. Dengan demikian mengapa hakim begitu memperhatikan kesejahteraan anak dan menjadi alasan yang tepat untuk menerima perkara ini serta merubah isi dari putusan agar isi putusan tersebut mempunyai kekuatan hukum tetap.77 Walaupun hakim di Pengadilan Tinggi Agama Surabaya sangat memperhatikan kesejahteraan anak tapi pada inti permasalahan tetap berada pada orang tua yang berperan sepenuhnya dalam masalah pemeliharaan anak. Jadi terpenuhi atau tidaknya kebahagian anak tergantung kedua orang tua yang memeliharanya. B. Analisa Terhadap Dasar Hakim Menerima Rekonvensi dalam Perkara Hadânah Nomor 40/Pdt.G/2006/PTA.Sby Di Pengadilan Tinggi Agama Surabaya Menurut pasal 132a ayat (2) HIR gugatan rekonvensi tidak dapat diajukan dalam tingkat banding dan pada tingkat kasasi, hanya bisa diajukan pada pengadilan tingkat pertama. Dalam pasal ini menjelaskan bahwa: 1) Tergugat dapat mengajukan gugat balas (rekonvensi) dan dalam segala perkara, kecuali: a. Semula dalam perkara itu bukan bertindak untuk dirinya, sedang gugat balas ditujukan kepada dirinya sendiri; b. Apabila Pengadilan Negeri tidak mempunyai wewenang mutlak; 77
Agus Widodo (Hakim Pengadilan Tinggi Agama Surabaya), Wawancara tanggal 4 Maret 2008.
58
c. Dalam hal perselisihan tentang pelaksanaan putusan hakim. 2) Jika dalam pemeriksaan tingkat pertama tidak diajukan gugatan balasan, maka dalam tingkat banding tidak dapat diajukan lagi. Pasal 132a ayat (2) HIR inilah yang menjadi dasar hukum hakim untuk menerima rekonvensi di Pengadilan Tinggi Agama Surabaya. HIR ini bisa digunakan di Pengadilan Agama dan Pengadilan Negeri. Jadi, hakim sudah benar dengan menerima rekonvensi dalam perkara hadânah dengan dasar hukum pasal 132a ayat (2) HIR yang merupakan hukum acara perdata. Mengenai dasar hukum hakim memutuskan perkara pemeliharaan anak yaitu pasal 105 huruf b dan pasal 156 huruf b kompilasi hukum islam serta pasal 41 huruf a Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974. Putusan hakim ini adalah pernyataan hakim yang dituangkan dalam bentuk tertulis dan diucapkan oleh hakim dalam sidang terbuka untuk umum, sebagai suatu produk Pengadilan Agama dan hasil dari suatu pemeriksaan perkara gugatan berdasarkan adanya suatu sengketa. Berdasarkan pasal 24 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 permohonan hadânah untuk nafkah anak dapat dijadikan dasar hukum untuk melakukan tuntutan. Sedangkan dasar hukum hakim untuk memutuskan nafkah anak yaitu pasal 41 huruf a b dan c Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974. Apabila perkawinan putus, baik bapak atau ibu tetap berkewajiban mendidik, memelihara, bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan dan semata-mata berdasarkan kepentingan anak.
59
Untuk menguatkan dapat digunakan pasal 77 dan 78 Undang-Undang nomor 7 Tahun 1989. Menurut Muh. Munawar, dasar hukum tersebut sudah ditegaskan pada Yurisprudensi Nomor 278K/AG/1997 dan Yurisprudensi Nomor 499K/AG/2000 yang mengatur hak ex ofisio hakim yang bertujuan sebagai pertimbangan hakim untuk memutuskan perkara itu dengan cermat dan tepat.78 Meskipun gugatan 1/3 gaji tergugat pembanding untuk anak-anaknya diartikan kurang jeli oleh Pengadilan Tingkat Pertama dan tidak ada tuntutan kembali tentang nafkah anak, maka Pengadilan Tinggi Agama Surabaya karena hakim mempunyai hak ex oficio dan sesuai dengan pasal 41 huruf c UndangUndang Nomor 1 Tahun 1974, oleh karena itu menetapkan biaya nafkah anak yang harus dibebankan oleh orang tuanya terutama bapaknya. 79 Ketentuan tersebut bertujuan agar kepentingan anak di dahulukan. Mengenai 1/3 gaji untuk anak oleh karena menyangkut kedisiplinan tergugat sebagai pegawai negeri sipil, maka sepenuhnya majelis hakim menyerahkan sepenuhnya kepada atasan tergugat.80 Maksut disini nafkah bukan gaji, maka hakim menetapkan nafkah anak. Pada pasal 136 ayat (2) point a KHI yang berbunyi “selama berlangsungnya gugatan perceraian atas permohonan penggugat atau tergugat, Pengadilan Agama dapat menentukan nafkah yang harus ditanggung oleh suami.” Sehingga dalam mengatur permohonan istri atas nafkah dan biaya 78
Muh. Munawar (Hakim Pengadilan Tinggi Agama Surabaya ), Wawancara tanggal 4 Maret 2008. Dokumen, diambil tanggal 8 Oktober 2007, Putusan Nomor 40/Pdt.G/2006/PTA.Sby. 80 Dokumen, diambil tanggal 8 Oktober 2007, Putusan Nomor 387/Pdt.G/2005/PA.NGJ. 79
60
pemeliharaan anak pada proses pemeriksaan berlangsung. Jelasnya, pada saat pemeriksaan perkara perceraian sedang berjalan, istri sebagai penggugat dapat mengajukan permohonan kepada hakim agar selama proses pemeriksaan perkara berlangsung lebih dulu ditetapkan nafkah dan pemeliharaan anak, sehingga menentukan hal-hal yang perlu menjamin pemeliharaan anak. Dan kewajiban memelihara anak dipertegas oleh anak oleh Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 pasal 41 ayat 1 dan 2. Pada dasarnya untuk dapat menjatuhkan putusan yang adil maka hakim harus mengenai peristiwa yang telah dibuktikan kebenarannya. Dan harus benar-benar menjadi penegak keadilan di antara orang yang sedang bersengketa. Hal ini ditegaskan dalam Q.S. al-Nisâ’ ayat 58 yang berbunyi sebagai berikut:
ْاWXُ Yُ Z ْ Nَ ْس َان ِ =V\E] ا َ ^ْ _َ ْP`ُ Xْ Yَ a َ َا ْه ِ@>َ= َوِاذَاDَEت ِا ِ =َG=َHIَ ْوا اJدLَ Nُ ْْ َانP ُآRُ Hُ Sْ Tَ U َ =VGِا ( ٨٥ :=ءl\Eًا )اR^ْ d ِ _َ =ًe^ْ Xِ f َ ن َ =َ آU َ نا V ِاgِ _ِ ْPYُ h ُ eِ Tَ =VXeِ Gِ U َ نا V ْ ِل ِاjeَ Eْ =ِ_ Artinya:“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum diantara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat”.81 Maksud dari ayat ini adalah dalam mengambil suatu keputusan itu harus benar-benar adil. Dengan membenarkan apa yang benar dan menyalahkan yang semestinya salah. Jadi dasar hukum yang digunakan oleh hakim Pengadilan Tinggi Agama Surabaya harus benar-benar menguatkan dari isi 81
Depag RI, al-Qur’an dan Terjemahannya, (Semarang: Karya Toha Putra,1998), 828.
61
putusan, supaya dalam pelaksanaannya tidak ada yang dirugikan. Menurut bapak Djamhur, seorang hakim harus punya patokan yang menjadi tonggak untuk memutuskan dengan adil walaupun pada kenyataan berperilaku adil itu sulit, seperti yang dijelaskan dalam Q.S. al-Nisâ’ ayat 158 untuk berbuat adil, maka hakim harus benar-banar mempertimbangkan dan memusyawarahkan serta mencari dasar hukum yang benar dan tepat, selayaknya mendekati adil.82 Mengenai pemeliharaan anak dan nafkah anak, semua itu tidak terlepas dari permasalahan. Dalam hal inilah Putusan hakim tentang hadânah haruslah jelas dan tegas, tidak perlu adanya interprestasi lagi dari pihak-pihak yang terkait. Biasanya amar putusan hadânah, berbunyi sebagai berikut; a. Mengabulkan gugatan penggugat b. Menetapkan anak bernama…….bin/binti berada di bawah pemeliharaan penggugat c. Menghukum tergugat untuk menyerahkan anak bernama…..bin/binti kepada penggugat terhitung sejak putusan ini berkekuatan tetap d. Membebankan kepada penggugat membayar biaya perkara yang hingga kini dihitung sebesar Rp……… e. Mewajibkan kepada tergugat untuk membayar nafkah anak yang ikut pengugat setiap bulan sebasar Rp………….
82
Djamhur (Hakim Pengadilan Tinggi Agama Surabaya), Wawancara tanggal 4 Maret 2008.
62
C. Analisa Terhadap Eksekusi Amar Putusan Terhadap Rekonvensi dalam Pemeliharaan Anak (Hadânah) Perkara Nomor 40/Pdt.G/2006/PTA.Sby di Pengadilan Tinggi Agama Surabaya. Eksekusi
amar putusan
merupakan
akibat
dari
kelalaian
tidak
menjalankan hukuman yang sudah diputuskan dan dibebankan kepada pihak yang kalah. Dapat dijelaskan bahwa prosedur eksekusi hadânah secara kronologis dapat dirinci yaitu Putusan hadânah tersebut mempunyai kekuatan hukum tetap, Pihak yang kalah tidak mau melaksanakan putusan hadânah secara sukarela, pihak yang menang (penggugat) mengajukan permohonan eksekusi kepada pangadilan agama yang memutus perkara hadânah, Pengadilan agama telah menetapkan sidang peringatan (Aan maning), Telah dilampau tenggang waktu atau tegoran yaitu 8 (delapan) hari, Ketua Pengadilan Agama mengeluarkan surat eksekusi, Pelaksanaan eksekusi ditempat termohon eksekusi yang dihukum untuk menyerahkan anak, Pelaksanaan eksekusi dibantu oleh 2 (dua) oang saksi, juru sita mengambil anak tersebut secara baik-baik, sopan dan dengan tetap berpegang dengan adat istiadat yang berlaku, kalau tidak diserahkan secara sukarela maka diserahkan secara paksa, dan Juru sita membuat berita acara eksekusi yang ditandatangani oleh juru sita beserta dua orang saksi sebanyak rangkap lima. Pelaksanaan eksekusi terhadap putusan hadânah harus melalui prosedur hukum yang berlaku dan apabila eksekusi tidak dilaksanakan dengan dengan prosedur
63
yang ditetapkan maka eksekusi tidak sah harus diulang.
83
Eksekusi dapat
dilakukan apabila pihak yang dirugikan mau melaporkan kepengadilan. Diatas disebutkan bahwa Pengadilan menetapkan sidang Aan maning maksud sidang aan maning disini adalah merupakan tindakan dan upaya yang dilakukan oleh ketua Pengadilan Agama berupa teguran kepada pihak yang kalah agar ia melakukan isi putusan secara sukarela atau disebut dengan sidang melaksanakan peringatan. Memberikan peringatan dengan cara: melakukan sidang Insidental yang dihadiri oleh Ketua Pengadilan Agama, panitera dan pihak yang kalah, memberikan peringatan atau teguran supaya menjalankan putusan hakim dalam waktu delapan hari, dan membuat berita acara Aan maning dengan mencatat semua peristiwa yang terjadi di dalam sidang tersebut sebagai bukti auntentik, bahwa Aan maning telah dilakukan dengan berita acara ini merupakan landasan bagi perintah eksekusi yang akan dilaksanakan selanjutnya.84 Putusan yang bisa di eksekusi adalah putusan sela atau disebut dengan putusan yang belum merupakan putusan akhir. Putusan sela berupa putusan Insidental, putusan insidental ini misalnya kematian kuasa dari salah satu pihak dan putusan tersebut harus bersifat condemnatoir atau putusan yang isinya menghukum. Mengenai
berhasil
tidaknya suatu
eksekusi
dilaksanakan
masih
diperlukan adanya saling keterkaitan yaitu: kepandaian penggugat/pemohon dalam 83
M. Munir (Panitera Pengadilan Tinggi Agama Surabaya), Wawancara tanggal 4 Maret 2008. Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama ( Jakarta: Kencana, 2005), 317. 84
64
menyusun petitum dalam gugatan, penelitian surat gugatan sebelum terdaftar di kepaniteraan Pengadilan Agama, ketelitian hakim di muka sidang, benar dan jelas serta rincinya putusan, pelaksanaannya dilapangan, dan dipenuhinya biaya eksekusi. Eksekusi dilakukan sepenuhnya oleh Pengadilan Agama dimana perkara itu masuk. Pengajuan untuk melaksanakan eksekusi dilakukan di Pengadilan Agama. Pengajuan tersebut dilakukan oleh pihak yang menang dalam perkara dan ditujukan kepada pihak yang kalah karena tidak mau menjalankan amar putusan. Mengenai nafkah anak, apabila pihak yang kalah tidak mau membayar nafkah anak, maka pihak yang menang dapat menuntut kepada pihak yang kalah (bapaknya). Apabila tidak mau menjalankan tuntutan tersebut maka pihak yang kalah berhutang kepada pihak yang menang. Dalam Hukum Islam sendiri apabila ibu tidak mau memelihara dan mendidik anaknya dan ayah melalaikan kewajiban yang telah diamanatkan maka sesuai dengan dasar hukum hadânah yaitu Q.S.at-Tahrim ayat 6 pada ayat ini orang tua diperintahkan oleh Allah SWT untuk memelihara keluarganya dari api neraka, dengan berusaha untuk melaksanakan perintah-perintah dan menjahui larangan-larangan Allah. Perintah disini maksutnya kewajiban orang tua memberi makan dan pakaian, mendidik, memberikan pengawasan serta menjaga. Sedangkan larangan disini adalah mentelantarkan anaknya. Sedangkan mendidik dan mengasuh anak hukum wajib, apabila mengabaikan anak yang masih kecil berarti menghadapkan anak kepada bahaya kebinasaan. Orang tua yang melakukan
65
kelalaian tersebut adalah termasuk orang yang merugi karena anak adalah titipan dari Allah SWT dan apabila tidak bisa memelihara dirinya serta keluarganya maka api nerakalah yang akan menghukumnya. Jika kedua orang tua tidak mampu mendidik dan mengasuhnya maka orang tua diperbolehkan untuk memberikan hak asuhnya kepada orang lain, apabila kamu ingin memberikan upah, hendaknya berikan dengan sepatutnya. Dalam hadânah, ke-dua orang tua harus benar-benar memperhatikan anak, terutama ayah mengenai nafkah anak. Ulama fiqh sependapat bahwa nafkah anak yang wajib diberikan adalah sesuai dengan kebutuhan pokok anak itu dan sesuai pula dengan situasi dan kondisi ayah dan anak itu. Namun, menurut Madhhab Syafi’I dan Hambali, apabila anak itu mempunyai istri dan pembantu, maka ayah berkewajiban memberi nafkah mereka itu. Hal ini juga ditegaskan dalam Q.S. alBaqarah ayat 233 tentang kewajiban memberikan nafkah kepada anak dan yang mengasuhnya. Jadi pada dasarnya eksekusi hanya merupakan alat untuk melaksanakan apa yang dilalaikan oleh orang yang telah dihukum. Pengadilan sendiri merupakan lembaga untuk menampung orang-orang yang mencari keadilan, dengan tujuan agar hak-hak yang dirugikan oleh pihak lain dapat diselesaikan melalui putusan hakim. Hal ini dapat tercapai apabila putusan hakim itu dapat diselesaikan secara suka rela dan demi kebaikan bersama. Dalam menyelesaikan masalah hadânah ini kepada para praktisi hukum agar cermat dan berhati-hati dalam memberikan keputusannya. Mengingat masalah hadânah sangat kompleks dan cukup luas
66
jangkauan permasalahannya. Jadi dalam menyelesaikan masalah hadânah ini tidak harus mengacu kepada ketentuan formalnya saja, melainkan harus memperhatikan nilai-nilai dari hukum dalam masyarakat, kaidah-kaidah agama, lingkungan dari ayah dan ibu yang akan diberikan hak hadânah dan aspek lain yang menjadi asuhannya. Dalam pelaksanaaan eksekusi putusan hadânah diharapkan tidak melakukan secara sembarangan/sembrono. Disarankan agar melakukan langkah persuasif, dengan cara kekeluargaan, dengan penuh hikmat kebijaksanaan dan memastikan adat istiadat setempat. Apabila pendekatan-pendekatan itu tidak berhasil dilaksanakan secara baik, maka ditempuh upaya paksa untuk menjalankan putasan hadânah tersebut.
67
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan 1. Rekonvensi dapat diterima karena gugat balik yang diajukan di Pengadilan Agama Nganjuk tersebut, diajukannya sebelum pembuktian di persidangan atau masih taraf jawab menjawab dan tidak menunggu sampai 14 hari seperti waktu tunggu untuk gugat rekonvensi. Sedangkan alasan hakim sendiri menerima rekonvensi tersebut karena hakim Pengadilan Tinggi agama Surabaya menganggap bahwa putusan Hakim Pengadilan tingkat pertama kurang menguatkan, sehingga perlu mempertegas isi dari putusan. 2. Pasal 132a ayat (2) HIR menjadi dasar hukum hakim untuk menerima rekonvensi di Pengadilan Tinggi Agama Surabaya. HIR dapat digunakan di Pengadilan Agama dan Pengadilan Negeri. Jadi, hakim sudah benar dengan menerima rekonvensi dengan dasar hukum pasal 132a ayat (2) HIR yang merupakan bagian dari hukum acara perdata. Mengenai dasar hukum yang digunakan hakim untuk memutuskan perkara pemeliharaan anak yaitu pasal 105 huruf a, b dan pasal 156 huruf b Kompilasi Hukum Islam serta pasal 41 huruf a, b, dan c Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974. 3. Eksekusi amar putusan merupakan akibat tidak menjalankan hukuman yang sudah diputuskan dan dibebankan kepada pihak yang kalah. Dapat dijelaskan bahwa prosedur eksekusi hadânah secara kronologis dapat dirinci yaitu Putusan
68
hadânah tersebut mempunyai kekuatan hukum tetap, Pihak yang kalah tidak mau melaksanakan putusan hadânah secara sukarela, pihak yang menang (penggugat) mengajukan permohonan eksekusi kepada pangadilan agama yang memutus perkara hadânah, Pengadilan agama telah menetapkan sidang peringatan (Aan maning), Telah dilampau tenggang waktu atau tegoran yaitu 8 (delapan) hari, Ketua Pengadilan Agama mengeluarkan surat eksekusi, Pelaksanaan eksekusi ditempat termohon eksekusi yang dihukum untuk menyerahkan anak, Pelaksanaan eksekusi dibantu oleh 2 (dua) oang saksi, juru sita mengambil anak tersebut secara baik-baik, sopan dan dengan tetap berpegang dengan adat istiadat yang berlaku, kalau tidak diserahkan secara sukarela maka diambil secara paksa, dan Juru sita membuat berita acara eksekusi yang ditandatangani oleh juru sita beserta dua orang saksi sebanyak rangkap lima. Eksekusi dilakukan di Pengadilan Tingkat Pertama bukan di Pengadilan Tinggi Agama Surabaya. B. Saran 1. Untuk meningkatkan pengetahuan di bidang hukum, perlu diadakan penyuluhan serta pembelajaran yang lebih baik di Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi Agama yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas pembelajaran hukum perdata Islam dengan memperhatikan keluhan dari masyarakat. 2. Pengadilan Tingkat Pertama hendaknya teliti dan memperhatikan masalah pemeliharaan anak (hadânah), agar dalam menyingkapi serta mengambil putusan benar-benar dilakukan dengan adil dan bijaksana.
69
3. Orang tua harus memperhatikan anak-anaknya, menjaga dan memelihara dari bahaya kebinasaan. Karena anak merupakan titipan dari Allah SWT dan wajib untuk memeliharanya sampai anak itu bisa membedakan mana yang baik dan salah serta sudah bisa menghidupi dirinya sendiri. 4. Pengadilan Tinggi Agama Surabaya diharapkan dapat memberi jalan yang terbaik untuk setiap perkara, khususnya perkara hadânah. Supaya masa depan anak terjamin sepenuhnya.
70
DAFTAR PUSTAKA Abidin, Slamet; Aminudin. Fiqh Munakahat. Bandung: Pustaka Setia, 1999. Al-Hamdani. Risalah Nikah. Jakarta: Pustaka Amari, 2002. Arifin, Jaenal, dkk. Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer. Jakarta: Pranata Media, 2004. Arto, Mukti. Praktek Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996. Ashshofa, Burhan. Metode Penelitian Hukum. Jakarta: Rineka Cipta, 2004. Departemen Agama, al-Qur’an dan Terjemahannya. Ghoffar, Abdul. Fiqh Wanita. Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2003. Ghazaly, Abd Rahman. Fiqh Munakahat. Jakarta: Pranata Media, 2003. Harahap, Yahaya. Kedudukan dan Kewenangan Eksekusi Bidang Perdata. Jakarta: Pustaka Kartini, 1989. Harahap, Yahya. Kedudukan dan Kewenangan Hakim. Jakarta: Sinar Grafika, 2003. Hasan, Ali. Pedoman Hidup Berumah Tangga dalam Islam. Jakarta: Pranata Media, 2003. _________Kompilasi Hukum Islam. Bandung: Fokusmedia, 2005. Lubis, Sulaikan. Hukum Acara Perdata Peradilan Agama di Indonesia. Jakarta: Kencana, 2005. Manan, Abdul. Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama. Jakarta: Kencana, 2005. Mertokusumo, Sudikno. Hukum Acara Perdata. Yogyakarta: Liberty, 2002.
71
Nasution, Harun. Islam Personal. Jakarta: Mizan, 1989. Prinst, Darwan. Strategi Menyusun dan Menangani Gugatan Perdata. Bandung: Citra Aditya Bakti, 2002. Proyek Pembinaan Prasarana dan Sarana PTAI Di Jakarta. Ilmu Fiqh Jilid III. Jakarta: Depag RI, 1985. Rasyid, Roihan A. Hukum Acara Peradilan Agama. Jakarta: Rajawali Pers, 1991. Rambe, Rapaun. Implementasi Hukum Islam. Jakarta: Perca, 2005. Rofiq, Ahmad. Hukum Islam Di Indonesia. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003. Surjana, Hana. Tuntutan Penyusunan Karya Ilmiah. Bandung: Sinar Baru al-Qosindo, 2003. Soekartini. Kamus Bahasa Belanda-Indonesia. Bandung: Sumur, 1986. _________Undang-Undang Perkawinan. Surabaya:Arloka, ttp.
72
PEDOMAN WAWANCARA 1. Apa alasan menerima rekonvensi dalam perkara hadānah di Pengadilan Tinggi Agama Surabaya? 2. Apa dasar hakim menerima rekonvensi dalam perkara hadānah di Pengadilan Tinggi Agama Surabaya? 3. Gagaimana tata cara melakukan eksekusi hadānah dan alasan melakukan eksekusi sendiri? 4. Apa dasar hukum hakim untuk melakukan eksekusi terhadap kelalaian tidak menjalankan amar putusan? 5. kalau pihak yang akan dieksekusi tidak menjalankan apakah ada sangsi khusus? 6. Apakah pihak yang menang bisa menuntut kembali jika pihak yang kalah tidak mau memberikan nafkah anak? 7. Bagaimana dasar hukum hakim Pengadilan Tinggi Agama Surabaya untuk memutuskan perkara itu dengan adil? 8. Bagaimana prosedur mengajukan eksekusi? 9. Mengapa eksekusi itu dilakukan di Pengadilan Agama bukan di Pengadilan Tinggi Agama Surabaya? 10. Apabila salah satu prosedur dan tata cara melakukan eksekusi tidak terpenuhi apakah eksekusi dapat dinyatakan berhasil? 11. Bukankah dalam surat gugatan rekonvensi tidak menuntut kembali tentang nafkah anak, mengapa hakim Pengadilan Tinggi Agama Surabaya memberikan putusan mengenai nafkah anak?