BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Idealnya, terjadi atau tidak terjadi sengketa dalam suatu perjanjian bisnis, masing-masing pihak tentunya menginginkan keuntungan-keuntungan tertentu bagi perjanjian yang telah mereka buat. Manakala terjadi sengketa, keuntungan yang diharapkan akan hilang atau dengan kata lain justru akan menimbulkan kerugian, oleh karena itu para pelaku bisnis akan segera melakukan berbagai cara agar keuntungan yang diharapkan tidak lenyap atau kerugian yang diderita dapat tergantikan. Dalam praktek di Indonesia, cara yang umumnya dilakukan oleh para pelaku bisnis yang menderita kerugian akibat sengketa yang timbul adalah dengan membawa persengketaan tersebut ke lembaga peradilan. Diharapkan melalui lembaga peradilan ini mereka dapat memperoleh hak-hak mereka kembali atau setidaknya mendapatkan suatu ganti kerugian. Dalam perkembangannya, lembaga peradilan ini banyak mendapat kritik dari masyarakat. Kritik yang muncul terhadap lembaga peradilan tidak hanya terjadi di Indonesia, melainkan juga terjadi diseluruh dunia termasuk di negara-negara industri maju dimana kritik ini terutama terlontar dari kalangan ekonom. Beberapa kritik terpenting terhadap lembaga peradilan ini diantaranya adalah bahwa penyelesaian sengketa berjalan lambat, biaya perkara tergolong mahal, peradilan tidak tanggap
1
2
(unresponsive), putusan pengadilan tidak menyelesaikan masalah, dan kemampuan para hakim bersifat generalis.1 Faktor utama penyebab hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap lembaga peradilan karena: ”Sistem peradilan yang terlampau formal dan teknis, yang mana hal ini mengakibatkan penyelesaian sengketa membutuhkan waktu yang lama padahal masyarakat menghendaki penyelesaian yang cepat dan biaya murah. Sengketa bisnis sendiri menuntut penyelesaian yang bersifat informal procedure, karena penyelesaian sengketa yang lambat dalam bisnis mengakibatkan timbulnya biaya tinggi bahkan dapat menguras segala potensi dan sumber daya perusahaan yang bersangkutan”.2 Berangkat dari kondisi tersebut, para pelaku bisnis pun mulai memikirkan cara lain untuk menyelesaikan sengketa bisnis mereka di luar lembaga peradilan. Cara ini yang kemudian akan dikenal dengan istilah Alternative Dispute Resolution (ADR). Karena itu saat ini dikenal dua cara penyelesaian sengketa yaitu penyelesaian sengketa melalui pengadilan dan alternatif penyelesaian sengketa (APS) atau di dalam Bahasa Inggris disebut sebagai Alternative Dispute Resolution (ADR). ADR ini merupakan pilihan penyelesaian sengketa alternatif dikarenakan keperluan bisnis modern menghendaki penyelesaian sengketa yang cepat dan tidak menghambat iklim bisnis.3 Kata alternatif ini mempunyai maksud bahwa para pihak yang mempunyai sengketa tersebut bebas melalui kesepakatan bersama memilih bentuk dan tata cara
1
Suyud Margono, ADR (Alternatif Dispute Resolution) dan Arbitrase, Proses Pelembagaan & Aspek Hukum, cet. 1, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2000), hal. 65-67 2 Ibid. 3 Komar Kantaatmadja, Beberapa Masalah dalam Penerapan ADR di Indonesia, dalam Prospek dan Pelaksanaan Arbitrase di Indonesia, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2001), hal. 37
3
apa yang terdapat dalam alternatif penyelesaian sengketa dan akan diterapkan kepada penyelesaian sengketanya.4 Setiap cara yang dipakai, untuk penyelesaian suatu sengketa tertentu jelas memiliki konsekuensi, baik bagi para pihak yang bersengketa maupun masyarakat dalam arti seluas-luasnya. Demikian juga halnya dalam penyelesaian sengketa arbitrase, yang merupakan sebuah prosedur hukum, menyangkut proses gugatan di hadapan pihak ketiga sebagai pembuat keputusan, yang sekaligus bertindak selaku pihak yang akan memeriksa gugatan tersebut. Pada konteks ini terlihat bahwa arbitrase merupakan suatu bentuk peradilan yang diselenggarakan oleh dan berdasarkan kehendak serta itikad baik dari pihak-pihak yang berselisih agar perselisihan mereka tersebut diselesaikan oleh hakim yang mereka tunjuk dan angkat sendiri, dengan pengertian bahwa putusan yang diambil oleh hakim tersebut merupakan putusan yang bersifat final (putusan pada tingkat terakhir) dan yang mengikat kedua belah pihak untuk melaksanakannya. Hakim-hakim tersebut dikenal juga dengan nama wasit (menurut Rv) atau arbiter. Melalui pengertian yang diberikan ini, tampak bahwa arbitrase tidak lain merupakan suatu badan peradilan, yang putusannya memiliki sifat final dan yang mengikat para pihak yang menginginkan penyelesaian perselisihan mereka dilakukan lewat pranata arbitrase tersebut.
4
Priyatna Abdurrasyid, Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, (Jakarta: PT. Fikahati Aneska, 2000), hal. 12.
4
Pada proses penyelesaian sengketa melalui arbitrase, para pihak harus dengan jelas mencantumkan bahwa mereka menginginkan penyelesaian sengketa melalui arbitrase dan mereka juga telah menuangkan dengan jelas, siapa-siapa saja yang akan mereka tunjuk sebagai arbiter yang akan menyelesaikan sengketa mereka, tata cara apa yang harus ditempuh, bagaimana cara (para) arbiter menyelesaikan sengketa tersebut, berapa lama sengketa tersebut harus telah diselesaikan, serta bagaimana sifat dari putusan yang dijatuhkan oleh (para) arbiter tersebut. Pasal 615 ayat (1) Rv, menguraikan : “Adalah diperkenankan kepada siapa saja yang terlibat dalam suatu sengketa yang mengenai hak-hak yang berada dalam kekuasaannya untuk melepaskannya, untuk menyerahkan pemutusan sengketa tersebut kepada seorang atau beberapa orang wasit”. 5 Selanjutnya ayat (3) pasal 615 Rv ditentukan “Bahkan adalah diperkenankan mengikat diri satu sama lain, untuk menyerahkan sengketa-sengketa yang mungkin timbul di kemudian hari, kepada pemutusan seorang atau beberapa orang wasit”. Arbitrase tersebut memiliki beberapa jenis yaitu arbitrase Ad Hoc dan arbitrase institusional.6 Arbitrase Ad Hoc merupakan suatu arbitrase yang dibentuk untuk menyelesaikan dan memutus suatu sengketa. Dalam hal ini arbitrase ini tidak ada badannya, tetapi hanya penunjukan orang-orang secara bebas oleh para pihak
5
Gunawan Widjaja, dan Yani, Ahmad, Hukum Arbitrase, Seri Hukum Bisnis, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2001), hal.17. 6 M.Yahya Harahap, Arbitrase, Ed.2, Cet.4. (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), hal.104-106
5
sesuai kesepakatan para pihak, dengan memberlakukan aturan tertentu. Arbitrase ini akan berakhir jika sengketa yang ditanganinya telah selesai. Arbitrase institusional adalah lembaga atau badan arbitrase yang bersifat permanen. Arbitrase institusional ini merupakan badan arbitrase yang sengaja didirikan dan bertujuan untuk menangani sengketa yang timbul bagi mereka yang menghendaki penyelesaian sengketa di luar pengadilan.7 Arbitrase institusional tersebut dapat dibagi menjadi dua yaitu arbitrase institusional yang bersifat nasional dan internasional. Arbitrase insititusional yang bersifat nasional adalah arbitrase di mana para pihak yang bersengketa berada di satu negara.8 Arbitrase institusional yang bersifat nasional yang berada di Indonesia adalah Badan Arbitrase Nasional Indonesia. Berbagai macam alasan mengapa orang-orang memilih forum arbitrase sebagai cara penyelesaian sengketa secara privat di antaranya dapat diketahui sebagai berikut:9 1. Kebebasan, Kepercayaan, dan Keamanan; arbitrase pada umumnya menarik bagi para pengusaha, pedagangan, dan investor sebab arbitrase memberikan kebebasan dan otonomi yang sangat luas pada mereka. 2. Keahlian (expertise); para pihak yang bersengketa memiliki kepercayaan yang lebih besar pada keahlian arbitrator mengenai persoalan yang disengketakan dibandingkan dengan kepada pengadilan. 3. Cepat dan Hemat biaya; sebagai suatu proses, arbitrase tidak terlalu formal sehingga mekanismenya lebih fleksibel dibandingkan dengan proses litigasi di 7
Ibid. Munir Fuady, Pengantar Hukum Bisnis (Menata Bisnis Modern di Era Global), (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2005), hal. 311-312 9 Felix O. Soebagjo & Erman Rajagukguk, Arbitrase di Indonesia, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1995), hal.19-22 8
6
4.
5.
6.
7.
pengadilan. Dengan demikian arbitrase proses pengambilan keputusannya lebih cepat sehingga biaya penyelesaian sengketa relatif lebih murah daripada litigasi, sebab untuk putusan arbitrase tidak ada kemungkinan upaya hukum banding. Pertimbangan putusan arbitrase lebih bersifat privat; dalam mempertimbangkan penyelesaian sengketa privat, pengadilan dan arbitrase sangat berbeda. Pengadilan adalah lembaga publik, sehingga ketika menyelesaikan sengketa privat pun seringkali memanfaatkan momentum penyelesaian sengketa privat untuk mengutamakan kepentingan umum, sementara kepentingan privat menjadi pertimbangan kedua. Sebaliknya, forum arbitrase merupakan lembaga privat, oleh sebab itu para arbitrator dalam mempertimbangkan penyelesaian sengketa yang ditanganinya juga lebih bersifat privat daripada bersifat publik/umum. Kecenderungan yang modern; dalam dunia perdagangan internasional, kecenderungan yang terlihat adalah liberalisasi peraturan/undang-undang arbitrase untuk lebih mendorong penggunaan arbitrase daripada penyelesaian sengketa dagang melalui peradilan umum. Putusan Arbitrase Final dan Mengikat; Sesuai dengan kehendak dan niat dari para pihak pelaku bisnis yang menghendaki putusan penyelesaian sengketa pada forum arbitrase bersifat final dan mengikat (final and binding) kedua belah pihak. Sedangkan putusan pengadilan masih terbuka berbagai upaya hukum, sehingga untuk memperoleh putusan yang berkekuatan hukum tetap memerlukan waktu yang cukup lama. Bersifat rahasia; oleh karena arbitrase lebih bersifat privat dan tertutup dibandingkan pengadilan, pemeriksaan sengketa di dalam forum arbitrase bersifat rahasia. Sifat itu melindungi para pihak dari publisitas yang merugikan serta segala akibatnya, seperti kehilangan reputasi bisnis. Penyelesaian sengketa melalui arbitrase bersifat rahasia. Sementara itu,
publisitas dalam penyelesaian sengketa di pengadilan negeri sulit dihindarkan karena pengadilan negeri terikat asas sifat terbukanya persidangan, yang memungkinkan setiap orang dapat hadir dan mendengarkan pemeriksaan perkara di persidangan.10 Di samping itu, pengadilan terdiri atas berbagai instansi atau tingkatan. Diperolehnya putusan pada tingkat pertama, belum berarti sengketa tersebut selesai, karena pihak
10
Dedi Soemardi, Pengantar Hukum Indonesia cet. 4, (Jakarta: IND-HILL-CO, 2003), hal. 68
7
yang merasa tidak puas dengan putusan tersebut masih dapat melakukan upaya hukum banding ke pengadilan tinggi. Bahkan bila masih belum merasa puas dengan putusan banding, yang bersangkutan masih dapat melakukan upaya hukum kasasi ke Mahkamah Agung. Tak ada jaminan dari pihak mana pun bahwa penyelesaian sengketa pada setiap tingkatan pengadilan itu akan berlangsung cepat. Apabila semua tingkatan pengadilan itu dapat selesai ditempuh dalam jangka waktu satu tahun enam bulan (yang berarti satu instansi enam bulan), maka itu sudah dapat dikatakan sangat cepat. Ditambah lagi dengan sejumlah tunggakan (kongesti) perkara-perkara yang menyebabkan penyelesaian perkara di pengadilan semakin lamban. karena itu biasanya dalam perjanjian kredit yang dibuat antara debitor dan kreditor terkait masalah utang piutang, terdapat klausula untuk penyelesaian sengketa apabila terjadi perselisihan antara para pihak mengenai pelaksanaan perjanjian tersebut. Pada umumnya para pihak memilih menyelesaikan melalui lembaga Arbitrase. Dalam
dua
dekade
terakhir
penggunaan
lembaga
arbitrase
dalam
menyelesaikan sengketa dagang diseluruh dunia mengalami peningkatan yang luar biasa. Alasan utama dalam peningkatan tersebut, adalah semakin bertambahnya transaksi perdagangan lintas negara. Menurut pandangan para pengusaha, salah satu keunggulan yang cukup diperhitungkan untuk menyelesaikan sengketa melalui
8
arbitrase dibandingkan dengan pengadilan adalah sifat final dan mengikat dari putusan arbitrase tersebut.11 Para pengusaha menganggap bahwa jika menggunakan arbitrase sebagai penyelesaian sengketa maka sengketa tersebut dapat lebih cepat diselesaikan karena dalam arbitrase tidak terdapat upaya hukum banding atau upaya hukum lainnya sebagaimana dalam pengadilan. Namun pada kenyataannya, sifat final dari putusan arbitrase tidak serta merta dapat diterapkan. Peraturan perundangan-undangan khususnya Undang-undang Nomor 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (Undang-undang Arbitrase) telah mengatur mengenai tata cara pelaksanaan putusan arbitrase, dalam ketentuan Undang-undang Arbitrase juga diatur apabila para pihak merasa tidak puas terhadap putusan arbitrase maka para pihak dapat memintakan pembatalan terhadap putusan tersebut. Pemberlakuan terhadap peraturan pelaksanaan putusan arbitrase maupun pembatalan tersebut, berlaku baik terhadap putusan arbitrase nasional maupun putusan arbitrase internasional yang berasal dari arbitrase lembaga maupun adhoc.12 Lembaga Arbitrase adalah badan yang dipilih oleh para pihak yang bersengketa untuk memberikan putusan mengenai sengketa tertentu, lembaga tersebut juga dapat memberikan pendapat yang mengikat mengenai suatu hubungan hukum 11
Huala Adolf, Hukum Penyelesaian Sengketa Internasional, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006),
hal.52 12
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase Dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, Pasal 1 angka 9
9
tertentu dalam hal belum timbul sengketa. Terkait kewenangan dalam penyelesaian sengketa ini, dalam Hukum Acara Perdata dikenal adanya kewenangan diantaranya adalah:13 1. Wewenang mutlak ( absolute competentie ) Wewenang mutlak adalah menyangkut pembagian kekuasaan antar badan-badan peradilan di mana terdapat berbagai macam pengadilan yang menyangkut pemberian kekuasaan untuk mengadili. 2. Wewenang relatif ( relative competentie ) Wewenang relatif mengatur pembagian kekuasaan mengadili antara pengadilan yang serupa tergantung dari tempat tinggal tergugat. Pengadilan Niaga dan Lembaga Arbitrase memiliki kewenangan mutlak dalam hal terjadinya pailit dan penundaan pembayaran utang. Pengadilan Niaga yang merupakan suatu bagian dari peradilan umum, mempunyai kompetensi untuk memeriksa yaitu: 1. Perkara kepailitan dan penundaan pembayaran, dan 2. Perkara-perkara lainnya di bidang perniagaan yang ditetapkan dengan peraturan pemerintah.14 Adanya kewenangan mutlak dalam arbitrase dapat dilihat dalam Pasal 11 ayat (1) dan (2) Undang-undang Arbitrase, yaitu : 13
Retnowulan Sutantio dan Iskandar Oeripkartawinata, Hukum Acara Perdata Dalam Teori dan Praktek, (Bandung: Mandar Maju, 1995), hal.11 14 Munir Fuady, Hukum Pailit 1998 Dalam Teori dan Praktek, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1999), hal.18
10
(1) Adanya suatu perjanjian arbitrase tertulis meniadakan hak para pihak untuk mengajukan penyelesaian sengketa atau beda pendapat yang termuat dalam perjanjiannya ke Pengadilan Negeri. (2) Pengadilan Negeri wajib menolak dan tidak akan campur tangan di dalam suatu penyelesaian sengketa yang telah ditetapkan melalui arbitrase, kecuali dalam hal-hal tertentu yang ditetapkan dalam Undang-undang. Pelaksanaan putusan arbitrase nasional diatur dalam Pasal 59-64 Undangundang Arbitrase, agar suatu putusan dapat dilaksanakan maka putusan tersebut harus diserahkan
dan
didaftarkan
pada
kepaniteraan
pengadilan
negeri
dengan
mendaftarkan dan menyerahkan lembar asli atau salinan otentik putusan arbitrase nasional oleh arbiter atau kuasanya ke Panitera Pengadilan Negeri, dalam waktu 30 (tiga puluh) hari setelah putusan arbitase diucapkan. Tidak dipenuhinya ketentuan pendaftaran sebelum 30 (tiga puluh) hari tersebut, dapat membuat putusan arbiter tidak dapat dilaksanakan. Pada dasarnya para pihak harus melaksanakan putusan secara sukarela. Dalam hal para pihak tidak melaksanakan putusan arbitrase secara sukarela, putusan dilaksanakan berdasarkan perintah Ketua Pengadilan Negeri atas permohonan salah satu pihak yang bersengketa. Perintah sebagaimana dimaksud diberikan dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari setelah permohonan eksekusi didaftarkan kepada Panitera Pengadilan Negeri. Sebelum perintah pelaksanaan dikeluarkan oleh Ketua Pengadilan Negeri, Ketua Pengadilan Negeri harus memeriksa terlebih dahulu apakah putusan arbitrase memenuhi ketentuan Pasal 4 dan Pasal 5 Undang-Undang Nomor
11
30 tahun 1999,15 serta tidak bertentangan dengan kesusilaan dan ketertiban umum. Bila hasil pemeriksaan tersebut menunjukkan bahwa putusan arbitrase tidak memenuhi kriteria yang dimaksud maka Ketua Pengadilan Negeri berhak menolak permohonan pelaksanaan eksekusi dan terhadap putusan Ketua Pengadilan Negeri tersebut tidak terbuka upaya hukum apapun. Ketua Pengadilan Negeri tidak berwenang untuk memeriksa alasan atau pertimbangan dari putusan arbitrase nasional, Kewenangan memeriksa yang dimiliki Ketua Pengadilan Negeri, terbatas pada pemeriksaan secara formal terhadap putusan arbitrase nasional yang dijatuhkan oleh arbiter atau majelis arbitrase. Hal ini dikarenakan putusan arbitrase nasional bersifat mandiri, final dan mengikat (seperti putusan yang mempunyai kekekuatan hukum tetap). Dengan demikian pengadilan tetap mempunyai peranan yang sangat besar dalam penyelesaian sengketa antar para pihak dalam mengembangkan terjadinya proses arbitrase tersebut ataupun dengan jalan mengesampingkan adanya klausula
15
Pasal 4 berbunyi: (1) Dalam hal para pihak telah menyetujui bahwa sengketa di antara mereka akan diselesaikan melalui arbitrase dan para pihak telah memberikan wewenang, maka arbiter berwenang menentukan dalam putusannya mengenai hak dan kewajiban para pihak jika hal ini diatur dalam perjanjian mereka. (2) Persetujuan untuk menyelesaikan sengketa melalui arbitrase sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dimuat dalam suatu dokumen yang ditandatangani oleh para pihak. (3) Dalam hal disepakati penyelesaian sengketa melalui arbitrase terjadi dalam bentuk pertukaran surat, maka pengiriman teleks, telegram, faksimili, e-mail atau dalam bentuk sarana komunikasi lainnya, wajib disertai dengan suatu catatan penerimaan oleh para pihak. Pasal 5 berbunyi: (1) Sengketa yang dapat diselesaikan melalui arbitrase hanya sengketa di bidang perdagangan dan mengenai hak yang menurut hukum dan peraturan perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa. (2) Sengketa yang tidak dapat diselesaikan melalui arbitrase adalah sengketa yang menurut peraturan perundang-undangan tidak dapat di diadakan perdamaian.
12
arbitrase dalam perjanjian. Pengadilan tetap mempunyai peranan penting dalam menyelesaikan sengketa-sengketa bisnis, walaupun para pihak telah sepakat untuk menyelesaikan sengketa yang bersangkutan melalui Badan Arbitrase.16 Sehingga dalam kenyataannya, sifat final dari putusan arbitrase tidak serta merta dapat diterapkan, karena selain peraturan Undang-Undang Nomor 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa mengatur mengenai tata cara pelaksanaan putusan arbitrase, juga masih dimungkinkan para pihak yang tidak puas terhadap putusan arbitrase dapat memintakan pembatalan terhadap putusan tersebut. Tidak finalnya putusan arbitrase ini lebih tampak dalam dualisme penyelesaian sengketa bisnis melalui kepailitan dan arbitrase. Adanya dualisme penyelesaian sengketa secara litigasi dan non litigasi juga berdampak pada perkara kepailitan, karena sifatnya masih mencakup dalam wilayah hukum dagang dan perdata. Hal ini yang memberikan konflik kewenangan yang sama-sama mengatur mekanisme penyelesaian. Pada perjanjian yang memuat klausul arbitrase sebagai solusi penyelesaian apabila terjadi sengketa, penyelesaiannya seharusnya non-litigasi, akan tetapi dalam prakteknya, oleh karena kesulitan atau hambatan dalam pelaksanaan eksekusi putusan arbitrase tersebut, para pihak akhirnya melanjutkan perkaranya melalui Pengadilan Niaga (litigasi). Hal ini akan bertolak belakang pada asas pacta sunt servanda yang
16
Erman Rajagukguk, Arbitrase Dalam Putusan Pengadilan, (Jakarta: Chandra Pratama, 2000), hal.15
13
mana kesepakatan dari para pihak yang bersengketa yang bersifat tertulis atau dituangkan dalam perjanjian. Salah satu contoh perkara arbitrase yang pada akhirnya diselesaikan melalui Pengadilan Niaga adalah kasus sengketa antara PT. Atmindo dengan PT. Palmechandra Abadi, dengan putusan Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) Perwakilan Medan Nomor 01/IV/ARB/BANI-Mdn/2006 tertanggal 27 Januari 2007. Dalam putusannya BANI Perwakilan Medan memutuskan menghukum PT. Palmechandra Abadi untuk membayar sisa pembayaran biaya penggantian spare part pada pengadaan peralatan mesin boiler pabrik kelapa sawit (PKS) di Palembang sebesar Rp. 650.979.463,- dalam jangka waktu 30 hari sejak putusan arbitrase diucapkan. Namun dalam pelaksanaannya PT. Palmechandra Abadi tidak bisa memenuhi kewajibannya sebagaimana ditentukan dalam putusan arbitrase tersebut, sehingga PT. Palmechandra Abadi yang juga memiliki kewajiban atau hutang yang belum dilunasinya terhadap beberapa kreditor lain akhirnya digugat pailit. Dalam perkara kepailitan Nomor 03/Pailit/2007/PN.Niaga.Mdn, PT. Atmindo beserta PT. Krida Pujimulyo Lestari dan PT. Bank Bukopin Cabang Medan bersama-sama menjadi para kreditor PT. Palmechandra Abadi dalam perkara kepailitan tersebut. hal itu menunjukkan bahwa walaupun putusan BANI telah memiliki kekuatan hukum tetap untuk dilaksanakan, namun para prakteknya masih juga terkendala dalam pelaksanaan putusan BANI menyangkut pembayaran kewajiban hutang piutang. Berdasarkan uraian-uraian tersebut di atas, perlu suatu penelitian lebih lanjut mengenai penyelesaian sengketa utang piutang melalui Badan Arbitrase Nasional
14
Indonesia yang akan dituangkan ke dalam judul tesis “Keberadaan Badan Arbitrase Nasional Indonesia Sebagai Pilihan Penyelesaian Sengketa Hutang Piutang”. B. Permasalahan Adapun permasalahan yang akan diteliti lebih lanjut dalam tesis ini adalah: 1. Bagaimana keberadaan BANI dalam penyelesaian sengketa hutang piutang? 2. Bagaimana hambatan-hambatan yang timbul dalam pelaksanaan putusan arbitrase dalam penyelesaian hutang piutang? 3. Bagaimana upaya-upaya yang dilakukan BANI dalam mengatasi hambatanhambatan yang timbul dalam pelaksanaan putusannya? C. Tujuan Penelitian Berdasarkan permasalahan yang telah dikemukan di atas maka tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah : 1. Untuk mengetahui keberadaan BANI dalam menyelesaikan sengketa utang piutang antara kreditor dan debitor. 2. Untuk mengetahui hambatan-hambatan yang timbul dalam pelaksanaan putusan arbitrase dalam penyelesaian hutang piutang. 3. Untuk mengetahui upaya-upaya yang dilakukan BANI dalam mengatasi hambatan-hambatan yang timbul dalam pelaksanaan putusannya.
15
D. Manfaat Penelitian Tujuan Penelitian dan manfaat penelitian merupakan satu rangkaian yang hendak dicapai bersama, dengan demikian dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut : 1. Secara teoritis, diharapkan penelitian ini dapat menambah bahan pustaka/literatur mengenai keberadaan BANI sebagai pilihan penyelesaian sengketa hutang piutang, selain itu penelitian ini diharapkan juga dapat menjadi dasar bagi penelitian pada bidang yang sama. 2. Secara praktis, dari hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi pihak-pihak yang terkait dengan keberadaan BANI sebagai pilihan penyelesaian sengketa hutang piutang. E. Keaslian Penelitian Berdasarkan informasi yang ada dan sepanjang penelusuran kepustakaan yang ada dilingkungan Universitas Sumatera Utara, khususnya di lingkungan Magister Kenotariatan dan Magister Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara Medan, belum ada penelitian sebelumnya yang berjudul “Keberadaan Badan Arbitrase Nasional Indonesia Sebagai Pilihan Penyelesaian Sengketa Hutang Piutang”. Akan tetapi ada beberapa penelitian yang menyangkut arbitrase antara lain penelitian yang dilakukan oleh: 1. Dedi Harianto (Nim. 992105108), Magister Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara, dengan judul penelitian “Beberapa Faktor Yang Mempengaruhi Pemilihan
16
Forum Arbitrase Asing Dalam Kegiatan Penanaman Modal Asing Di Kota Medan”, dengan permasalahan yang diteliti adalah : a. Lembaga arbitrase asing apakah yang selalu dipergunakan oleh para investor di Kota Medan? b. Faktor-faktor apakah yang menjadi pendorong pilihan terhadap lembaga arbitrase asing? c. Hal-hal apakah yang merupakan penghambat berkaitan dengan pilihan lembaga arbitrase asing tersebut? 2. Novran Harisa (Nim. 027005020), Magister Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara, dengan judul penelitian “Kewenangan Pengadilan Membatalkan Putusan Arbitrase Internasional (Suatu Tinjauan Terhadap Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Dalam Perkara PT. Pertamina Melawan Karaha Bodas Company)”. 3. Nur Ervianti Meliala (Nim. 04701105), Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara, dengan judul penelitian “Tinjauan Yuridis Pembatalan Putusan Arbitrase Oleh Pengadilan Negeri (Studi Kasus Perkara No. 167/Pdt.P/2000/PNJak.Sel)”, dengan permasalahan yang diteliti adalah : a. Mengapa Pengadilan Negeri dapat membatalkan putusan arbitrase? b. Bagaimana kewenangan Pengadilan Negeri untuk membatalkan putusan arbitrase? c. Bagaimana pelaksanaan dan penegakan hukum terhadap putusan arbitrase di Indonesia, secara sukarela atau melalui eksekusi?
17
Permasalahan-permasalahan yang dibahas dalam penelitian-penelitian tersebut berbeda dengan permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini. Dengan demikian penelitian ini adalah asli baik dari segi substansi maupun dari permasalahan, sehingga penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan secara akademik. F. Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka Teori Dalam setiap penelitian harus disertai dengan pemikiran-pemikiran teoritis, teori adalah untuk menerangkan dan menjelaskan gejala spesifik untuk proses tertentu terjadi.17 Kerangka teori merupakan landasan dari teori atau dukungan teori dalam membangun atau memperkuat kebenaran dari permasalahan yang dianalisis. Kerangka teori dimaksud adalah kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, tesis, sebagai pegangan baik disetujui atau tidak disetujui.18 Teori menguraikan jalan pikiran menurut kerangka yang logis artinya mendudukkan masalah penelitian yang telah dirumuskan didalam kerangka teoritis yang relevan, yang mampu menerangkan masalah tersebut. Teori yang digunakan sebagai pisau analisis dalam penelitian ini adalah teori kepastian hukum. Dalam pengertian teori kepastian hukum yang oleh Roscue Pound dikatakan bahwa adanya kepastian hukum memungkinkan adanya “Predictability”.19 Dengan demikian
17
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: Universitas Indonesia Press, 1986), hal. 122 18 M. Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, (Bandung: Mandar Maju, 1994), hal.80. 19 Pieter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2009), hal.158
18
kepastian hukum mengandung 2 (dua) pengertian, yang pertama adanya aturan yang bersifat umum membuat individu mengetahui apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan, dan kedua berupa keamanan bagi individu dari kesewenangan pemerintah karena dengan adanya aturan yang bersifat umum itu individu dapat mengetahui apa saja yang boleh dibebankan atau dilakukan oleh Negara terhadap individu. Menurut Radbruch, hubungan antara keadilan dan kepastian hukum perlu diperhatikan. Oleh karena kepastian hukum harus dijaga demi keamanan dalam Negara, maka hukum positif selalu harus ditaati, walaupun isinya kurang adil atau juga kurang sesuai dengan tujuan hukum. Tetapi terdapat kekecualian yakni bilamana pertentangan antara isi tata hukum dengan keadilan begitu besar, sehingga tata hukum itu tampak tidak adil pada saat itu tata hukum boleh dilepaskan.20 Tanpa kepastian hukum orang tidak tahu apa yang harus diperbuatnya dan akhirnya timbulnya keresahan. Tetapi terlalu menitikberatkan kepada kepastian hukum, terlalu ketat mentaati peraturan hukum, akibatnya kaku dan akan menimbulkan rasa tidak adil. Apapun yang terjadi, peraturannya adalah demikian dan harus ditaati atau dilaksanakan. Undang-undang itu sering terasa kejam apabila dilaksanakan secara ketat ”Lex dura, set tamen scripta” (undang-undang itu kejam, tetapi demikianlah bunyinya).21
20 21
hal. 58
Theo Huijbers, Filsafat Dalam Lintas Sejarah, (Yogyakarta: Kanisius, 1982), hal. 163 Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), (Yogyakarta: Liberty, 1988),
19
Prinsip kepastian hukum sebenarnya tampak dari adanya ketentuan mengenai acara arbitrase yang harus ditentukan oleh para pihak secara bebas dan tegas secara tertulis dalam perjanjian arbitrase, akan tetapi apabila acara arbitrase tidak ditentukan oleh para pihak maka berlaku ketentuan dalam Pasal 12, 13, dan 14 Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999, yaitu Ketua Pengadilan Negeri menunjuk arbiter atau majelis arbitrase.22 Di dalam perjanjian arbitrase juga harus tercantum kesepakatan jangka waktu dan tempat diselenggarakannya arbitrase dan apabila tidak, arbiter atau majelis arbitrase yang akan menentukannya. Setelah dilaluinya acara pemeriksaan sengketa yang timbul oleh arbiter atau majelis arbiter maka tahap selanjutnya adalah penjatuhan putusan. Adanya suatu perjanjian arbitrase tertulis meniadakan hak para pihak untuk mengajukan penyelesaian sengketa atau beda pendapat yang termuat dalam perjanjiannya ke Pengadilan Negeri. Bahkan Pengadilan Negeri wajib menolak dan tidak campur tangan dalam suatu penyelesaian sengketa yang telah ditetapkan melalui arbitrase, kecuali dalam hal-hal tertentu yang ditetapkan dalam undang-undang kepailitan. Dalam praktek, terdapat kasus-kasus pengingkaran legalitas klausul arbitrase yang telah dipilih pada saat putusan arbitrase itu merugikan salah satu pihak yang kemudian mengajukannya ke PN dan cenderung mendudukkan diri sebagai institusi pemberi keadilan yang paling benar dan sering mencurigai atau menolak
22
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, Pasal 13 ayat (1)
20
nilai kebenaran dan keadilan yang sebenarnya telah dipertimbangkan oleh arbiter ataupun majelis arbitrase dalam putusannya. Adanya dualisme hukum terjadi terjadi karena akibat perbenturan hukum dari Undang-Undang Kepailitan Nomor 37 Tahun 2004 (Undang-Undang Kepailitan) dengan Undang-Undang Arbitrase Nomor 30 Tahun 1999 (UU Arbitrase). Hal lini terjadi karena dari kedua undang-undang ini masing-masing memiliki kewenangan hukum, dalam hal ini UUK PKPU sebagai lembaga hukum peradilan extra ordinary dan UU Arbitrase sebagai lembaga peradilan extra judicial. Sedangkan persoalan yang mengatur sengketa kewenangan ini belum ada aturan hukumnya yang mengakibatkan terjadinya bias hukum sehingga kasus-kasus yang ada diselesaikan dengan model rechvinding yang menjadi yurisprudensi bagi hakim selanjutnya. Selain itu permasalahan dasar kewenangan penyelesaian sengketa tampak ketika adanya konflik/suatu sengketa yang berkaitan dengan kepailitan sementara di dalam kontrak atau perjanjian itu juga memuat adanya janji atau klausul arbitrase yang mengatur bila ada atau timbul sengketa kelak di kemudian hari para pihak memilih penyelesaiannya secara arbitrase. Bila kita merujuk pada berlakunya asas perundangan lex specialis derograt lex generalis, maka yang mana peraturan khusus dapat mengesampingkan peraturan yang umum. Dalam Undang-Undang Kepailitan dan Arbitrase sama-sama mempunyai wewenang untuk menyelesaikan karena memang belum ada aturan atau ketentuan bagaimana penyelesaian konflik ini. Pada perjanjian yang memuat klausul arbitrase maka penyelesaiannya seharusnya non-litigasi, akan tetapi para pihak berperkara melalui Pengadilan Niaga
21
(litigasi). Hal ini akan bertolak belakang pada asas pacta sunt servanda yang mana kesepakatan dari para pihak yang bersengketa yang bersifat tertulis atau dituangkan dalam perjanjian, berdasarkan Pasal 1338 KUHPerdata dengan prinsip asas kebebasan berkontrak yang bersifat mengikat para pihak dan 1320 KUH Perdata dengan asas konsensualismenya. Hal ini yang akan menimbulkan dua sengketa kewenangan akibat dari penyimpangan asas-asas tersebut. Pertama adalah kewenangan dari wilayah absolut Pengadilan Niaga dalam perkara kepailitan sebagai extra ordinary Pengadilan. Kedua adalanya klausul arbitrase yang mana dengan menganut asas-asas yang berlaku, seharusnya perkara tersebut diselesaikan pada lembaga arbitrase sebagai extra judicial akibat dari klausul arbitrase yang disepakati bersama para pihak yang bersengketa dengan prinsip pacta sunt servanda. Dalam memutuskan suatu perkara, hakim seharusnya menelaah dengan cermat dan tepat antara kekuasaan mana antara kepentingan dari lembaga arbitrase sebagai lembaga peradilan extra judicial dengan lembaga peradilan niaga sebagai lembaga peradilan extra ordinary. Pada satu sisi peraturan yang mengatur kewenangan dari kedua model peradilan tersebut tidak ada dan selama ini hakim sulit untuk melakukan rechvinding pada masalah tersebut. Hal ini memang tergantung dari pemikiran para hakim dalam memutuskan kewenangan dari kedua lembaga
22
penyelesaian sengketa tersebut, karena akan mengkaji banyak pertimbangan dari berbagai sisi fundamen dasar ilmu hukum, yaitu asas-asas ilmu hukum. 23 Akan tetapi, keadilan yang dicari masyarakat kita adalah berbeda antara satu dengan yang lainnya. Hal ini disebabkan situasi dan kondisi serta domisili mereka antara satu dan yang lain juga berbeda. Jadi tidak menutup kemungkinan akan menimbulkan masalah baru yang membutuhkan bantuan seorang yuris untuk peka terhadap perkembangan jaman ini. Hal ini muncul karena hukum itu sebenarnya kontrol terhadap sosial meskipun adanya hukum diawali dengan adanya masalah yang berkembang dalam masyarakat yang digeneralisir dan dijadikan patokan bagi masyarakat luas. 2. Konsepsi Konsepsi adalah salah satu bagian terpenting dari teori, peranan konsepsi dalam penelitian ini untuk menggabungkan teori dengan observasi, antara abstrak dan kenyataan. Konsep diartikan sebagai kata yang menyatukan abstraksi yang digeneralisasikan dari hal-hal yang khusus yang disebut defenisi operasional.24 Menurut Burhan Ashshofa, suatu konsep merupakan abstraksi mengenai suatu fenomena yang dirumuskan atas dasar generalisasi dari jumlah karakteristik kejadian, keadaan, kelompok atau individu tertentu.25
23
Rahayu Hartini, “Resolusi Konflik Dualisme Hukum Kepailitan dan Arbitrase di Indonesia”, http://gagasanhukum.wordpress.com/2009/12/24/resolusi-konflik-dualisme-hukumkepailitan-dan-arbitrase-di-indonesia-bagian-v/, terakhir diakses pada tanggal 26 Maret 2014 24 Samadi Suryabrata, Metodologi Penelitian, (, Jakarta: Raja Grafindo Persada,1998), hal.31 25 Burhan Ashshofa, Metodologi Penelitian Hukum, (Jakarta: Rineka Cipta, 1996), hal.19
23
Adapun uraian dari pada konsep yang dipakai dalam penelitian ini adalah: a. Arbitrase adalah bentuk penyelesaian sengketa atau pemutusan sengketa oleh seorang hakim atau para hakim berdasarkan persetujuan bahwa para pihak akan tunduk pada atau mentaati keputusan yang diberikan oleh hakim atau para hakim yang mereka pilih atau tunjuk tersebut.26 b. Alternatif Penyelesaian Sengketa adalah lembaga penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui prosedur yang disepakati para pihak, yakni penyelesaian di luar pengadilan dengan cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, atau penilaian ahli.27 c. Perjanjian arbitrase adalah suatu kesepakatan berupa klausula arbitrase yang tercantum dalam suatu perjanjian tertulis yang dibuat para pihak sebelum timbul sengketa.28 d. Arbiter adalah orang perseorangan yang netral yang ditunjuk untuk memberikan putusan atas persengketaan para pihak. e. Para Pihak adalah baik perorangan maupun badan hukum. f. Sengketa adalah suatu pertentangan atas kepentingan, tujuan dan/ atau pemahaman antara 2 (dua) pihak atau lebih. Sengketa akan menjadi masalah hukum apabila pertentangan tersebut menimbulkan perebutan hak, pembelaan
26
R. Subekti, Arbitrase Perdagangan, (Bandung: Bina Cipta, 1992), hal.1 Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, Pasal 1 angka 10 28 Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, Pasal 1 angka 3 27
24
atau perlawanan terhadap hak yang dilanggar, dan/ atau tuntutan terhadap kewajiban atau tanggungjawab.29 g. Hutang adalah kewajiban yang dinyatakan atau dapat dinyatakan dalam jumlah uang baik dalam mata uang Indonesia maupun mata uang asing, baik secara langsung maupun yang akan timbul di kemudian hari atau kontinjen, yang timbul karena perjanjian atau Undang-Undang.30 h. Sengketa
hutang
piutang
adalah
sengketa
yang
timbul
karena
tidak
dilaksanakannya suatu prestasi dalam suatu perjanjian. i. Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) adalah suatu badan yang dibentuk oleh pemerintah Indonesia guna penegakan hukum di Indonesia dalam penyelesaian sengketa atau beda pendapat yang terjadi diberbagai sektor perdagangan, industri dan keuangan, melalui arbitrase dan bentuk-bentuk alternatif penyelesaian sengketa lainnya.31 G. Metode Penelitian 1. Sifat Penelitian dan Metode Pendekatan Sifat dari penelitian ini adalah bersifat deskriptif analisis, bersifat deskriptif analisis maksudnya dari penelitian ini diharapkan diperoleh gambaran secara rinci dan sistematis tentang permasalahan yang akan diteliti. Analisis dimaksudkan 29
Badan Arbitrase Perdagangan Berjangka Komoditi (BAKTI) , “Arbitrase”, http://www.bakti-arb.org/ arbitrase.html, terakhir diakses 27 Desember 2013 30 Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepalilitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, Pasal 1 angka 6 31 Wikipedia, “Badan Arbitrase Nasional”, http://id.wikipedia.org/wiki/Badan_Arbitrase_ Nasional_Indonesia, terakhir diakses tanggal 24 Desember 2013.
25
berdasarkan gambaran, fakta yang diperoleh akan dilakukan analisis secara cermat untuk menjawab permasalahan.32 Penelitian ini termasuk ruang lingkup penelitian yang menggambarkan, menelaah dan menjelaskan serta menganalisa teori hukum yang bersifat umum dan peraturan perundang-undangan mengenai keberadaan BANI sebagai pilihan penyelesaian sengketa, sehingga dapat diperoleh penjelasan bagaimana keberadaan BANI dalam menyelesaikan sengketa utang piutang antara kreditor dan debitor dan faktor apakah yang menjadi pertimbangan para pihak memilih BANI sebagai forum penyelesaian sengketa hutang piutang serta faktor-faktor apa saja yang menjadi hambatan bagi BANI dalam menyelesaikan sengketa hutang piutang, dan sebagai hasilnya dapat menjelaskan mengenai keberadaan BANI sebagai pilihan penyelesaian sengketa hutang piutang tersebut. Dalam penelitian ini menggunakan jenis penelitian hukum dengan metode pendekatan yuridis normatif, yang disebabkan karena penelitian ini merupakan penelitian hukum doktriner yang disebut juga penelitian kepustakaan atau studi dokumen yang dilakukan atau ditujukan hanya pada peraturan-peraturan yang tertulis atau bahan hukum yang lain.33 Meliputi penelitian terhadap asas-asas hukum, sumber-sumber hukum, peraturan perundang-undangan yang bersifat teoritis ilmiah
32
Sunaryati Hartono, Penelitian Hukum Indonesia Pada Akhir Abad ke-20, (Bandung: Alumni, 1994) hal. 101 33 Bambang Waluyo, Metode Penelitian Hukum, (Semarang: PT. Ghalia Indonesia, 1996), hal.13
26
serta dapat menganalisis permasalahan yang dibahas,34 serta menjawab pertanyaan sesuai permasalahan-permasalahan dalam penulisan tesis ini, yaitu mengenai keberadaan BANI sebagai pilihan penyelesaian sengketa hutang piutang. 2. Teknik dan Alat Pengumpulan Data a. Teknik Pengumpulan Data Untuk mendapatkan data yang diperlukan, pengumpulan data dilakukan melalui studi kepustakaan (Library Research), studi kepustakaan ini dilakukan untuk mendapatkan atau mencari konsepsi-konsepsi, teori-teori, asas-asas dan hasil-hasil pemikiran lainnya yang berkaitan dengan permasalahan penelitian ini. b. Alat Pengumpulan Data Untuk mendapatkan data-data yang diperlukan dalam penelitian ini, maka pengumpulan data dilakukan melalui : 1) Studi Dokumen. Studi Kepustakaan ini dilakukan untuk mendapatkan atau mencari konsepsikonsepsi, teori-teori, asas-asas dan hasil-hasil pemikiran lainnya yang berkaitan dengan permasalahan penelitian ini, dengan tujuan untuk mengumpulkan data sekunder, yang terdiri dari:
34
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1995), hal. 13
27
a) Bahan hukum primer. Yaitu bahan hukum yang mempunyai kekuatan mengikat sebagai landasan utama yang dipakai dalam rangka penelitian35 ini di antaranya adalah UndangUndang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa beserta peraturan pelaksanaannya, dan peraturan-peraturan lain yang berkaitan dengan keberadaan BANI sebagai pilihan penyelesaian sengketa hutang piutang. b) Bahan hukum sekunder. Yaitu bahan-bahan yang erat hubungannya dengan bahan hukum primer dan dapat membantu menganalisis dan memahami bahan hukum primer,36 seperti hasil-hasil penelitian, hasil seminar, hasil karya dari para ahli hukum, serta dokumen-dokumen lain yang berkaitan dengan keberadaan BANI sebagai pilihan penyelesaian sengketa hutang piutang. c) Bahan hukum tertier. Yaitu bahan-bahan yang memberikan informasi tentang bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder37 seperti kamus hukum, surat kabar, makalah yang berkaitan dengan objek penelitian.
35
Ronny Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum dan Juritmetri, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1990), hal.53 36 Ibid. 37 Ibid.
28
2) Wawancara. Hasil wawancara yang diperoleh akan digunakan sebagai data penunjang dalam penelitian ini. Data tersebut diperoleh dari pihak yang telah ditentukan sebagai informan yang dianggap mengetahui permasalahan yang berkaitan dengan keberadaan BANI sebagai pilihan penyelesaian sengketa hutang piutang, yaitu pihak Sekretaris Badan Arbitrase Nasional Indonesia Perwakilan Medan. Alat yang digunakan dalam wawancara yaitu menggunakan pedoman wawancara sehingga data yang diperoleh langsung dari sumbernya dan lebih mendalam sehingga dapat dijadikan bahan guna menjawab permasalahan dalam tesis ini. 3. Analisis Data Dalam suatu penelitian sangat diperlukan suatu analisis data yang berguna untuk memberikan jawaban terhadap permasalahan yang diteliti. Analisis data dalam penelitian ini menggunakan metode kualitatif, yaitu penelitian dilakukan dengan menganalisis data berdasarkan atas peraturan perundang-undangan. Selanjutnya, data sekunder yang diperoleh dari penelitian kepustakaan (library research) dan data primer yang diperoleh dari penelitian lapangan (field research) kemudian disusun secara berurutan dan sistematis dan selanjutnya dianalisis dengan menggunakan metode kualitatif sehingga diperoleh gambaran secara menyeluruh tentang gejala dan fakta yang terdapat dalam masalah keberadaan BANI sebagai pilihan penyelesaian sengketa hutang piutang. Selanjutnya ditarik kesimpulan dengan menggunakan metode berpikir deduktif-induktif, yaitu cara
29
berpikir yang dimulai dari hal-hal yang umum untuk selanjutnya menarik hal-hal yang khusus, dengan menggunakan ketentuan berdasarkan pengetahuan umum seperti teori-teori, dalil-dalil, atau prinsip-prinsip dalam bentuk proposisi-proposisi untuk menarik kesimpulan terhadap fakta-fakta yang bersifat khusus, 38 guna menjawab permasalahan-permasalahan yang telah dirumuskan dalam penelitian ini.
38
Mukti Fajar, dan Yulianto Achmad, Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Empiris, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), hal.109