BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Pengguna
lahan
maupun
penentu
kebijakan
di
Indonesia
dihadapkan pada tantangan agar pembangunan di berbagai bidang dapat terus dilakukan,
dengan tanpa mengorbankan kelestarian lingkungan.
Rencana tata ruang wilayah atau daerah memberikan arahan spasial penggunaan lahan untuk pembangunan berbagai sektor berbasis lahan. Penataan ruang dan wilayah yang baik dalam hal ini dapat tercermin dengan
terwujudnya
keharmonisan
antara
lingkungan
alam
dan
lingkungan buatan; terwujudnya keterpaduan dalam penggunaan sumber daya alam dan sumber daya buatan dengan memperhatikan sumber daya manusia; dan terwujudnya perlindungan fungsi ruang dan pencegahan dampak negatif terhadap lingkungan akibat pemanfaatan ruang (Pasal 3 UU RI No. 26 Tahun 2007). Menurut Senawi (2008), pengaturan penggunaan lahan adalah upaya penataan/ perencanaan suatu wilayah menjadi
kawasan -kawasan
dengan fungsi yang berbeda-beda sesuai dengan kemampuannya dalam suatu unit wilayah. Unit wilayah dalam konsepsi perencanaan wilayah salah satunya berupa unit wilayah DAS, yang dicirikan sebagai unit ekosistem alam dengan kesatuan tata air (hidrologi). 1
Alasan
pengaturan
wilayah
berdasarkan
unit
wilayah
DAS
diantaranya, kondisi Daerah Aliran Sungai (DAS) di Indonesia semakin memburuk seperti ditunjukkan oleh bertambahnya jumlah DAS prioritas dari tahun ke tahun. Pada tahun 1984, dari 458 DAS yang ada di Indonesia terdapat 20 DAS super prioritas (Prioritas I) menjadi 37 pada 1992 dan jumlah DAS prioritas I meningkat menjadi 60 DAS pada tahun 1999 (Junaidi dan Tarigan, 2011). Peningkatan deforestasi sejak awal abad 20 ditengarai menjadi andil besar terjadinya kerusakan DAS di Indonesia. Hal ini ditandai dengan kejadian ekstrim banjir pada DAS yang persentase penutupan lahan hutannya semakin berkurang, khususnya pada DAS-DAS di Pulau Jawa. Tercatat saat ini dalam Kepdirjen BPDASPS No. SK.4/VDAS/2015 tentang Penetapan Peta Dan Datahutan Dan Lahan Kritis Nasional Tahun 2013, luas hutan dan lahan kritis nasional tahun 2013 terbagi ke dalam : a) Sangat Kritis seluas 4.738.383 Ha ; b) Kritis seluas 19.564.911 Ha c) Agak Kritis seluas 45.878.468 Ha d) Potensial Kritis seluas 63.627.253 Ha e) Tidak Kritis seluas 55.484.709 Ha. Tutupan lahan (misalnya hutan) dalam mengatur aliran sungai dan sedimentasi hanya berlaku pada DAS yang mempunyai luasan sempit yaitu DAS dengan luasan < 100 km2 , tetapi tidak berlaku untuk DAS-DAS yang mempunyai luasan >100 km2 (Kiersch, 2001 dalam CIFOR dan FAO, 2005). Hutan merupakan komponen hidrologis yang tidak dapat dipisahkan, terutama dalam pengelolaan DAS. Hutan mampu mengatur aliran sungai, tetapi pengaruh hutan terhadap aliran sungai menjadi sangat 2
penting hanya pada kondisi tutupan hutan melingkupi sebagian besar DAS (CIFOR dan FAO, 2005). DAS Garang adalah bagian dari Satuan Wilayah Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (SWP DAS) Bodri Jragung, Balai Pengelolaan DAS Pemali Jratun. DAS Garang terdiri dari empat sub DAS, yaitu sub DAS Garang Hulu, sub DAS Kreo, sub DAS Kripik serta sub DAS Garang Hilir atau Banjir Kanal Barat. Aliran sungai berasal dari Kali Kreo, Kali Kripik, dan Kali Garang Hulu yang menyatu menjadi Kali Garang pada bagian hilir DAS. DAS Kreo berpotensi menyuplai aliran Kali Garang sebesar 40% (BPDAS, 2014). Penelitian yang dilakukan oleh Setyowati (2010) di sub DAS Kreo menyebutkan bahwa, di wilayah Kota Semarang, Kabupaten Semarang, dan Kabupaten Kendal memperlihatkan kecenderungan dinamika spasial penggunaan lahan di DAS Kreo dari tahun 1992-2007 berupa penurunan luas lahan hutan seluas 62,9 ha atau 6,6% . Di samping itu, terjadi pula penurunan
lahan
terbuka
seluas
114,6
ha
atau
69,4%,
rumput/semak/belukar seluas 38,4 ha atau 27,1%, sawah seluas 86,1 ha atau 4,4%, dan tegalan 19,2 ha atau 5,3%. Peningkatan luas penggunaan lahan terjadi pada kebun cempuran sebesar 27,6 ha (1,2%), permukiman teratur 43,3 ha, permukiman tidak teratur 80,8 ha (13,1%), dan perkebunan 169,5 ha (58,2%).
3
Keberadaan sub DAS Kreo sangat mempengaruhi kehidupan sosial-ekonomi penduduk di sekitarnya, baik secara positif maupun negatif. Di sisi negatif, keberadaan Sub DAS Kreo pada awal bulan Februari 2009 turut mempengaruhi terjadinya banjir di Kota Semarang, yang telah melumpuhkan roda perekonomian dan kembali membuka mata kita untuk kembali mengenang banjir tahun 1990 (BPDAS, 2014). Kota Semarang banyak
dilalui oleh beberapa sungai besar
utamanya sungai Kreo, Garang dan Babon. Ketiga sungai ini berhulu di Gunung Ungaran yang berkelerengan sangat curam dengan panjang aliran + 40 km menuju banjir kanal barat sebagai hilir yang kemudian diteruskan menuju Laut Jawa.
Daerah hulu DAS telah mengalami perubahan
penggunaan lahan yang cepat, khusunya lahan pertanian dan tegalan yang berubah fungsi menjadi permukiman dan pabrik,
bahkan di Kota
Semarang banyak dijumpai kantong air ditutup untuk permukiman dengan mengambil tanah galian dari bukit yang mestinya berfungsi sebagai daerah resapan air (BPDAS, 2014). Upaya
manusia
dalam mengendalikan hubungan timbal balik
antara sumber daya alam dengan manusia di dalam DAS dan segala aktifitasnya sangat diperlukan yaitu dengan tujuan membina kelestarian dan keserasian ekosistem serta meningkatkan kemanfaatan sumber daya alam bagi manusia secara berkelanjutan (Kepmenhut. No. 52/ Kpts-II/ Tahun 2001).
4
Kajian pada tingkat Sub DAS seperti di Sub DAS Kreo dengan pendekatan tren perubahan penggunaan lahan masih sangat diperlukan yang dapat dijadikan sebagai salah satu bahan rumusan pengelolaan yang baik dan tepat serta dapat mendukung pencapaian keberadaan, fungsi dan tujuan Pengelolaan DAS.
1.2
Rumusan Masalah Dari latar belakang tersebut, dapat dilihat bahwa komplektisitas
pengelolaan DAS di Sub DAS Kreo berada pada aspek penatagunaan lahan,
yang
menyisakan
sejumlah
persoalan
dalam
mendukung
tercapainya fungsi dan tujuan keberadaan DAS. Diperlukan analisis spasial yang melingkupi Sub DAS Kreo selama kurun waktu tahun 1990-2015, sehingga
dapat
diarahkan
pada
pertanyaan,
bagaimana
kondisi
penggunaan/ penutupan lahan dari waktu ke waktu dan dinamika penggunaan/ penutupan lahan di wilayah tersebut?
Dari analisis dinamika
spasial tersebut, diharapkan dapat diketahui bagaimana tipologi perubahan penggunaan/ penutupan lahan yang melingkupi Sub DAS Kreo,
serta
faktor apa sajakah yang mempengaruhi perubahan penggunaan/ penutupan lahan tersebut?
5
1.3
Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian yang dilakukan untuk: 1. Mengetahui dinamika
spasial penggunaan/
penutupan lahan
yang melingkupi Sub DAS Kreo selama kurun waktu tahun 1990-2015. 2. Mengetahui tipologi perubahan penggunaan/ penutupan lahan yang melingkupi Sub DAS Kreo. 3. Mengetahui faktor-faktor yang memicu dinamika penggunaan/ penutupan lahan Sub DAS Kreo.
1.4
Manfaat Penelitian Manfaat penelitian ini dapat digunakan sebagai kajian spasial
terhadap keberadaan sub DAS Kreo dan pengelolaannya, sehingga dapat dijadikan bahan pertimbangan bagi para pihak yang akan melakukan perencanaan wilayah di lingkup willayah DAS.
6