1
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Human Immune Deficiency Virus (HIV) merupakan sebuah virus yang secara jelas menyerang dan kemudian melemahkan daya tahan tubuh manusia. Jika sistem kekebalan tubuh seseorang telah melemah akibat virus ini, maka penderita dapat dinyatakan dalam fase AIDS (Acquired immune Deficiency Syndrome). Atau dengan kata lain dapat dikatakan bahwa AIDS merupakan sekumpulan gejala penyakit yang timbul karena menurunnya sistem kekebalan tubuh manusia yang diakibatkan oleh HIV. HIV dan AIDS. Kedua istilah itu tentu sudah tidak asing lagi bagi kita. Masyarakat di Indonesia sudah mengetahui secara singkat mengenai HIV-AIDS. Betapa tidak, dalam dekade terakhir ini pemerintah tengah gencar melakukan upaya penanggulangan HIV dan AIDS di setiap daerah di Indonesia, baik tingkat kota maupun provinsi secara intensif, menyeluruh, dan terpadu dengan melibatkan semua unsur baik dari unsur pemerintahan dari bawah sampai ke atas, juga peran masyarakat secara aktif. Upaya tersebut dilakukan dengan beragam cara, diantaranya pengadaan anggaran APBD bagi program penanggulangan AIDS, pembinaan dan penyebarluasan informasi mengenai HIV-AIDS baik secara verbal (sosialisasi) maupun non verbal (pamphlet, poster, spanduk, dll), serta tak lupa melibatkan peran aktif masyarakat dalam upaya tersebut dengan cara membentuk
2
dan memberdayakan masyarakat sebagai kader dalam program penanggulangan HIV-AIDS di wilayah masing-masing1. Kasus AIDS pertama kali di Indonesia dilaporkan pada tahun 1987. Kasus itu ditemukan pada seorang turis asing yang sedang berlibur di Pulau Bali dan kemudian jumlah pasien yang diduga terjangkit HIV secara perlahan bertambah menjadi 225 pasien pada tahun 2000. Sejak saat itu, jumlah penderita AIDS semakin meningkat seiring dengan meningkatnya angka pengguna narkoba suntik (penasun). Penemuan angka kasus HIV-AIDS di Indonesia terus meningkat. Sejak ditemukan pertama kali sampai bulan September 2014 telah tercatat sebanyak 150.296 orang yang mengidap HIV dengan total kasus AIDS sebanyak 55.799 orang. Angka kasus terbanyak terjadi pada usia produktif, yakni 25-49 tahun, kemudian diikuti kelompok usia 20-24 tahun2. Kasus HIV-AIDS tak lagi hanya mengancam masyarakat Bali atau kotakota besar lain di Indonesia. Kasus HIV-AIDS ditemukan hampir di seluruh penjuru Indonesia, tak terkecuali di Kota Surakarta. Namun sayangnya, tidak banyak
masyarakat
Kota
Surakarta
yang
mengetahui
dan
menyadari
perkembangan kasus HIV-AIDS yang terjadi di sekitar mereka. Bahkan, sangat sedikit masyarakat yang mengetahui bahwa Kota Surakarta termasuk salah satu kota yang memiliki angka kasus HIV-AIDS yang besar dengan estimasi 1.502 penderita yang terhitung mulai tahun 2009 sampai dengan bulan Januari 20153.
1
Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 20 Tahun 2007. www.depkes.go.id (Diakses pada Senin, 16 Oktober 2015 Pk 15.37 WIB). 3 http://kpan.or.id/rpt/estall/php (Diakses pada Selasa, 7 April 2015 Pk 11.24 WIB). 2
3
Tabel 1.1 Data Kasus HIV-AIDS Solo & Sekitarnya HIV
AIDS
Jml
Kumulatif
HIV
AIDS
Jml
Tahun
Kum SOLO & SEKITARNYA
SURAKARTA
2011
77
123
200
682
15
18
33
162
2012
57
158
215
897
7
18
25
187
2013
84
203
287
1184
19
38
57
244
2014
87
204
291
1475
18
47
65
309
2015
9
18
27
1502
2
4
6
315
Sumber : KPA Kota Surakarta
Ketidaktahuan masyarakat mengenai kasus HIV-AIDS yang besar di Kota Surakarta disebabkan karena kekurangpedulian masyarakat terhadap fenomena tersebut. Masyarakat tidak mengetahui bahwa mungkin saja di sekitar tempat tinggalnya terdapat Orang Dengan HIV-AIDS (ODHA) yang hidup berdampingan dengan mereka di masyarakat, mengingat jumlah ODHA yang cukup besar di kalangan masyarakat Kota Surakarta. Namun disisi lain, ketidakterbukaan ODHA terhadap masyarakat itu sendiri disebabkan karena adanya stigma negatif mengenai ODHA yang berkembang di masyarakat yang menyebabkan terjadinya diskriminasi terhadap ODHA. Dalam kehidupan seharihari dalam masyarakat, kita akan menjumpai adanya perlakuan yang berbeda terhadap para penderita HIV-AIDS seperti dikucilkan dan adanya diskriminasi yang sangat jelas. ODHA dianggap sebagai sebuah “aib” dan patut dijauhi. Persoalan lain yang membuat masyarakat enggan berdekatan dengan ODHA adalah kurangnya pengetahuan masyarakat mengenai HIV-AIDS. Masyarakat kurang paham mengenai penularan HIV-AIDS. Mereka hanya
4
mengetahui bahwa AIDS akan menular pada orang yang berbuat buruk seperti orang yang sering berganti pasangan, orang yang menggunakan obat-obatan terlarang dan juga wanita yang menjajakan diri mereka. Anggapan seperti itu pula yang menyebabkan masyarakat takut untuk melakukan
VCT (Voluntering
Counselling and Testing), yakni tes untuk mengetahui apakah seseorang terjangkit HIV atau tidak. VCT dilakukan dengan melalui beberapa prosedur terhadap orang yang secara sukarela telah menyatakan bersedia untuk melakukan VCT. Konseling dalam VCT dilakukan sebanya dua kali yaitu konseling sebelum (Pra Konseling) dimana peserta VCT secara personal melakukan konsultasi kepada tenaga medis yang bertugas untuk mengetahui apakah peserta VCT memang memiliki resiko untuk tertular HIV. Jika iya, maka akan dilanjutkan pada tes darah, namun jika tidak, maka peserta dinyatakan tidak perlu mengikuti tes berikutnya. Konseling yang ke-2 dilakukan setelah dilakukan pengecekan darah. Konseling ini dilakukan untuk melihat hasil tes darah yang dilakukan peserta VCT. Banyak orang merasa enggan untuk melakukan tes tersebut meskipun orang tersebut menyadari bahwa dirinya memiliki resiko yang tinggi untuk tertular HIV. Tak jarang pula ditemukan masyarakat yang sudah berani melakukan VCT, namun tidak berani untuk melihat hasil tes mereka. Lagi-lagi karena rasa takut dan malu akibat beredarnya stigma negatif mengenai ODHA di masyarakat.
5
Tabel 1.2 Data Hasil VCT Kota Surakarta Cakupan KPA Surakarta Periode Oktober 2005 – Januari 2015
Sumber : KPA Kota Surakarta tahun 2015 Temuan Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) mengenai cakupan kelompok resiko tinggi HIV-AIDS membawa fakta yang cukup mencengangkan. Dalam data tersebut, ibu rumah tangga (IRT) dan anak-anak yang dahulu berada dalam kelompok resiko rendah, saat ini sudah berubah menjadi termasuk dalam kelompok beresiko tinggi.
6
Tabel 1.3 Hasil Pemetaan Data Populasi Kunci dan Cakupan Hasil Temuan Kasus Bulan Januari 2015
Kel Risti
Estimasi
Data
2012
Lap
194
Dijangkau
Gap
ODHA
160
41
119
105
700
700
395
305
171
29.776
1.944
512
1.421
697
Waria
51
57
29
28
22
MSM/LSL
760
364
152
212
122
Penasun
(Idus)
Pasangan WPS LBT
(Lelaki
Beresiko Tinggi)
IRT,
ANAK
382
TERPAPAR ODHA
1.356
1.502
Sumber : KPA Kota Surakarta tahun 2015 Dalam hasil pemetaan tersebut, terdapat gap antara estimasi jumlah penderita, fakta di lapangan, dan penderita yang telah terjangkau KPA maupun LSM-LSM peduli AIDS. Gap atau selisih inilah yang kemudian mempertegas asumsis bahwa kasus HIV-AIDS yang terdapat di Kota Solo sudah sangat besar. Berdasarkan data cakupan KPA tersebut, terlihat bahwa angka kasus HIV-AIDS kian meningkat dan bermunculan kasus-kasus baru yang berasal dari populasi kunci atau kelompok beresiko tinggi mulai dari pengguna narkoba jarum suntik, WPS atau wanita pekerja seks, waria, LSL atau Laki-laki suka laki-laki (homoseksual), sampai dengan ibu rumah tangga dan anaknya yang terpapar.
7
Melalui data KPA di atas kita dapat mengetahui bahwa HIV-AIDS kini dapat menyerang siapa saja tanpa terkecuali, termasuk orang-orang yang memiliki resiko yang rendah untuk tertular HIV-AIDS. HIV-AIDS dapat menjangkit siapa saja melalui orang terdekat. Kemudian timbul pertanyaan yang mendasari keprihatinan terhadap stigma negatif dan diskriminasi masyarakat terhadap penderita HIV-AIDS. Apakah adil bila mereka yang terjangkit HIV-AIDS karena sebuah hal yang tidak mereka ketahui juga mendapat diskriminasi dan dipandang rendah oleh orang-orang di sekitar mereka? Tidak dapat dipungkiri bahwa sampai saat ini, masih banyak ODHA yang menerima diskriminasi dari masyarakat sekitar tempat tinggal mereka sendiri. Banyak perlakuan buruk yang diterima oleh ODHA di berbagai wilayah di Indonesia. Salah satu contohnya di Bali, diskriminasi bahkan tidak hanya menimpa ODHA semasa hidup mereka saja, namun banyak ODHA juga mendapatkan diskriminasi pada saat mereka meninggal dunia seperti yang terlihat pada paparan Dewa Oka Sedana, sekretaris KPA Gianyar 1 berikut : “Ketika ada warga yang meninggal dunia karena HIV , tidak ada yang mau memandikan. dari rumah sakit mayat langsung dimasukkan ke peti yang sangat rapat karena dianggap HIV akan menular melalui udara. Mayat langsung dibawa ke kuburan untuk dimakamkan tanpa dibuka kembali. Terpaksa kami yang membuka mayat dan memandikannya untuk menunjukkan bahwa tidak masalah menyentuh mayat ODHA.”4
4
Rifiqi Hasan, Bali Diskriminatif Terhadap Penderita HIV-AIDS, http://nasional.tempo.co/read/news/2012/01/11/058376704/bali-diskriminatif-terhadap-penderitahiv-aids, diakses 16 November 2015, Pk 15.55.
8
Tak hanya di Bali, di Surakarta juga banyak ditemukan diskriminasi terhadap ODHA. Seperti yang dialami oleh IS, salah satu ODHA yang tinggal di Kota Surakarta, yang ia paparkan dalam cuplikan wawancara berikut : “Ada, waktu status saya sebagai ODHA terbuka di wilayah tempat tinggal saya. Setelah saya bilang ke tetangga saya kalau saya positif HIV, langsung cepat berita itu menyebar ke warga kampung. Setelah itu saya banyak dicemooh, sampai akhirnya saya diusir. Ya itu, karena masyarakat di wilayah tempat tinggal saya itu belum paham tentang AIDS. Tapi setelah teman-teman KDS dan YMA datang, kasih pengertian, saya tidak jadi diusir” Dalam bukunya yang berjudul Psikologi Sosial Suatu Penghantar, Walgito mendiskripsikan persepsi sebagai sebuah proses yang didahulukan oleh penginderaan dan yang dimaksud dengan penginderaan itu sendiri adalah suatu proses diterimanya stimulus oleh individu melalui alat penginderaan yang mereka miliki5. Oleh karena itu, keadaan individu dapat mempengaruhi hasil persepsi sehingga persepsi yang dihasilkan oleh satu orang dengan orang lain bisa saja berbeda. Sedangkan yang dimaksud dengan stigma, menurut Green dalam makalah milik Cholil dengan judul Pendekatan Jender dalam Kebijakan Publik yang disampaikan dalam ilmu kesehatan dan kongres persiapan asosiasi ilmu social kesehatan Indonesia, adalah sebuah ciri negatif yang menempel pada pribadi seseorang karena pengaruh lingkungannya 6. Namun sesungguhnya, stigma yang dimaksud dalam penelitian ini adalah stigma yang diberikan masyarakat kepada penderita HIV-AIDS.
5
Bimo Walgito, Psikologi Sosial Suatu Pengantar, (Yogyakarta : Andi Offset, 2003), h.
53. 6
A. Cholil, Pendekatan Jender dalam Kebijakan Publik (pokok pikiran) disampaikan dalam ilmu kesehatan dan kongres persiapan asosiasi ilmu sosial Kesehatan Indonesia, (Jakarta : LIPI, 1997).
9
Keprihatinan terhadap stigmatisasi dan diskriminasi terhadap ODHA itulah yang melatarbelakangi tercetusnya program Warga Peduli AIDS (WPA). Program ini memiliki beberapa tujuan, diantaranya adalah untuk membangun kesadaran masyarakat mengenai pencegahan & penanggulangan HIV-AIDS, serta terhapusnya stigma dan diskriminasi terhadap ODHA7. Gerakan tersebut sejalan dengan Materi Peraturan Daerah Provinsi Jawa Tengah Nomor 5 Tahun 2009 Tentang Penanggulangan HIV-AIDS yang di dalamnya juga tercantum peraturan mengenai peran aktif masyarakat dalam upaya penanggulangan HIV-AIDS sebagai berikut : 1. Masyarakat bertanggung jawab untuk berperan serta dalam kegiatan penanggulangan HIV-AIDS serta perlindungan ODHA (Orang Dengan HIV-AIDS) & OHIDHA (Orang Hidup Dengan HIV-AIDS), dengan cara berperilaku hidup sehat, meningkatkan ketahanan keluarga, mencegah stigma & diskriminasi terhadap ODHA, OHIDHA, dan keluarganya, serta aktif dalam kegiatan pencegahan dan pendampingan. 2. Tokoh masyarakat melakukan sosialisasi. 3. Masyarakat mendorong setiap masyarakat yang beresiko terhadap penularan HIV & IMS (Infeksi Menular Seksual) untuk memeriksakan kesehatannya ke klinik VCT (Voluntary Counseling and Testing). 4. Setiap orang yang terinfeksi HIV-AIDS agar mengikuti rehabilisasi.
7
Peraturan Daerah Provinsi Jawa Tengah Nomor 5 Tahun 2009 Tentang Penanggulangan HIV-AIDS.
10
Sampai saat ini program WPA sudah direalialisasikan di 9 Kelurahan di Kota Surakarta, yakni kelurahan Sondakan, Punggawan, Timuran, Mangkubumen, Kestalan, Nggilingan, Semanggi, Baluwarti, dan Setabelan. Dalam penelitian ini, peneliti akan meneliti komunikasi interpersonal ODHA dengan warga di Kota Surakarta. Peneliti memilih Kota Surakarta sebagai wilayah objek penelitian karena Kota Surakarta termasuk salah satu Kota dengan angka kasus HIV-AIDS yang cukup besar di Indonesia dengan jumlah total penderita pada tahun 2015 mencapai 1502 orang8. Dalam menjalankan program WPA, pemerintah menunjuk sebuah LSM, yakni Yayasan Mitra Alam, sebagai pendamping program. Yayasan Mitra Alam bertugas memberikan pendampingan serta sebagai mediator antara warga Kota Surakarta yang negatif HIV-AIDS dan warga Kota Surakarta yang menyandang status sebagai ODHA. Dalam menjalankan tugasnya sebagai mediator sekaligus pendamping, Yayasan Mitra Alam juga menunjuk kader-kader dari masingmasing wilayah Kelurahan. Kedua elemen tersebut memiliki tugas ke dalam dan ke luar. Tugas ke dalam, yakni adalah untuk mempersiapkan ODHA agar mau terbuka mengenai penyakit yang dideritanya kepada masyarakat, sedangkan tugas ke luar adalah untuk mempersiapkan masyarakat agar mau menerima ODHA sebagai bagian dari masyarakat seperti mereka secara wajar. Selain Yayasan Mitra Alam, lembaga yang memiliki peran yang cukup penting dalam pendampingan dan persiapan diri ODHA untuk mengungkap jati dirinya dalam masyarakat adalah Kelompok Dampingan Sebaya (KDS) Solo Plus.
8
http://kpan.or.id/rpt/estall/php (Diakses pada Selasa, 7 April 2015 Pk 11.24 WIB).
11
KDS Solo Plus dapat dikatakan sebagai “wadah”
bagi ODHA. Lembaga
independen ini merupakan perkumpulan ODHA di Kota Surakarta dan sekitarnya yang berupaya untuk meningkatkan kualitas hidup ODHA agar ODHA dapat memiliki hak yang sama dengan orang sehat pada umumnya. Meskipun demikian, keterbukaan ODHA dalam masyarakat tidak akan terwujud apabila tidak ada keberanian dari ODHA sendiri untuk membuka identitasnya kepada masyarakat. Untuk itu, segala hal mengenai
persiapan
ODHA dalam mengkomunikasikan identitas dirinya kepada masyarakat juga menjadi poin penting yang perlu diperhatikan dengan seksama. Komunikasi interpersonal memiliki andil yang besar dalam upaya penerimaan dirinya dalam masyarakat terkait dengan HIV-AIDS yang bersarang di tubuh mereka yang seolah menjadi benteng tinggal bagi mereka untuk menjalin hubungan baik dengan masyarakat di sekitarnya. Sampai saat ini, sebagian besar ODHA yang ada di Kota Surakarta masih belum berani untuk melakukan pendekatan secara interpersonal melalui komunikasi kepada masyarakat di Kota Surakarta karena mereka masih merasa bahwa jika mereka melakukan keterbukaan status dengan mengakui dihadapan masyarakat apabila mereka mengidap HIV, maka mereka akan menerima diskriminasi seperti yang diterima banyak ODHA di Indonesia setelah statusnya diketahui oleh masyarakat. Permasalahan ini menjadi penting untuk ditelaah lebih lanjut melalui kajian ilmu komunikasi karena pada permasalahan ini, komunikasi interpersonal mengambil peran yang sangat besar dalam membentuk interaksi sosial antara
12
ODHA dengan masyarakat di Kota Surakarta ditengah beredarnya pandangan negatif masyarakat mengenai latar belakang kehidupan ODHA seperti yang sudah dijelaskan pada paparan sebelumnya. B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan sebelumnya, maka rumusan masalah yang akan dibahas dalam penelitian ini antara lain : 1. Bagaimanakah komunikasi interpersonal yang diterapkan ODHA dalam upaya menjalin interaksi sosial dengan masyarakat di Kota Surakarta? 2. Faktor
apa
sajakah
yang
dapat
mendukung
dalam
komunikasi
interpersonal ODHA dalam upaya menjalin interaksi sosial dengan masyarakat di Kota Surakarta? 3. Faktor apa sajakah yang menjadi penghambat dalam komunikasi interpersonal ODHA dalam upaya menjalin interaksi sosial dengan masyarakat di Kota Surakarta? C. Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah tersebut, tujuan dari penelitian ini antara lain: 1. Untuk mengetahui komunikasi interpersonal yang diterapkan ODHA dalam upaya menjalin interaksi sosial dengan masyarakat di Kota Surakarta. 2. Untuk mengetahui faktor apa saja yang mendorong terjadinya komunikasi interpersonal yang dilakukan ODHA dalam upaya menjalin interaksi sosial dengan masyarakat di Kota Surakarta.
13
3. Untuk mengetahui faktor apa saja yang menghambat komunikasi interpersonal yang dilakukan ODHA dalam upaya menjalin interaksi sosial dengan masyarakat di Kota Surakarta. D. Manfaat Penelitian Manfaat yang ingin dicapai peneliti melalui penelitian ini antara lain: 1. Manfaat Teoritis Menambah khasanah ilmu pengetahun. Hasil penelitian ini dapat pula digunakan sebagai referensi bagi siapa saja yang peduli terhadap kasus yang terkait dengan objek penelitian dalam uraian ini. Penelitian ini juga dapat digunakan sebagai bahan acuan atau referensi bagi penelitian selanjutnya
mengenai komunikasi interpersonal maupun penelitian
dengan kajian lain yang memiliki relevansi dengan penelitian ini. 2. Manfaat Praktis Penelitian ini dapat dijadikan sebagai input positif bagi organisasi, badan atau lembaga yang terkait dengan permasalahan HIV-AIDS dalam usaha peningkatan kualitas hidup ODHA di masyarakat. Selain itu hasil penelitian ini juga diharapkan mampu mengubah pandangan dan sikap pembaca terhadap ODHA dan mampu mengurangi atau bahkan menghilangkan stigma dan diskriminasi terhadap ODHA.
14
E. Tinjauan Pustaka 1. Komunikasi Komunikasi merupakan salah satu aspek yang paling penting dalam kehidupan manusia. Terlebih apabila kita membicarakan tentang kehidupan sosial seorang individu. Komunikasi dapat membuat seseorang atau kelompok mengetahui sikap-sikap dan perasaan-perasaan suatu kelompok atau orangperorangan lain yang kemudian digunakan sebagai bahan untuk menentukan reaksi apa yang akan dilakukannya9 Secara umum, Suprapto mngartikan komunikasi dalam 3 kelompok. Yang pertama adalah pengertian komunikasi secara etimologis atau kata asalnya. Komunikasi berasal dari bahasa latin communication yang berakar dari kata communis
yang berarti sama. Atau secara singkat, communication berarti
memberi pengetahuan, informasi kepada orang lain. Yang kedua adalah pengertian secara terminologis. Dalam pengertian ini, komunikasi diartikan sebagai sebuah proses penyampaian suatu pernyataan oleh seseorang kepada orang lain. Pengertian ini menekankan bahwa komunikasi melibatkan sejumlah orang dengan satu orang berperan sebagai sumber informasi bagi orang lain yang terlibat dalam komunikasi tersebut. Dan yang terakhir adalah pengertian secara paradigmatik. Komunikasi bila diartikan secara paradigmatik adalah komunikasi yang
berlangsung menurut suatu pola dan memiliki tujuan tertentu untuk
9
h. 61.
Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1982),
15
menyampaikan pikiran dan perasaan, sampai dengan bertujuan untuk mengubah pendapat ataupun sikap10. Ada pula definisi baru mengenai komunikasi : Suatu proses dimana dua orang atau lebih membentuk atau melakukan pertukaran informasi dengan satu sama lainnya, yang pada gilirannya akan tiba pada saling pengertian yang mendalam.11
Menurut Wilbur Schramm, seorang ahli komunikasi kenamaan, dalam karyanya “Communication Research In The United States”, menyatakan bahwa komunikasi akan berhasil apabila pesan yang disampaikan oleh komunikator cocok dengan kerangka acuan (frame of reference), yakni paduan pengalaman dan pengertian (collection of experiences and meanings) yang pernah diperoleh komunikan. 12 Harold D Lasswell mengemukakan bahwa cara yang tepat untuk menjelaskan sebuah tindakan komunikasi ialah dengan menjawab bertanyaan “Siapa yang menyampaikan, apa yang disampaikan, melalui saluran apa, kepada siapa dan apa pengaruhnya”.13 Definisi Lasswell tersebut merujuk pada lima unsur komunikasi, yaitu: a) Komunikator (communicator, source, sender) b) Pesan (message) c) Media (channel) 10
Tommy Suprapto, Pengantar Teori Komunikasi, (Yogyakarta : Media Pressindo,2006),
h. 6. 11
Hafied Cangara, Pengantar Ilmu Komunikasi, (Cet. I;Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,1998), h. 18. 12 Onong Uchyana Effendi, Ilmu, Teori, dan Filsafat Komunikasi (Bandung:Citra Aditya,2002),h.9-10. 13 H. Hafied Cangara, Pengantar Ilmu Komunikasi, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2007), h.19
16
d) Komunikan (communicant, communicate, receiver, recipient) e) Efek (effect, impact, influence) Melalui penggambaran dalam definisi Laswell tersebut kita dapat menarik kesimpulan bahwa komunikasi ialah proses penyampaian pesan dari komunikator kepada komunikan melalui sebuah media dan menimbulkan efek tertentu.14 Komunikasi dapat menjadi panduan bagi semua orang dalam mengambil tindakan di kehidupan mereka dalam masyarakat yang bersifat heterogen. Komunikasi dapat dikatakan sebagai aspek paling penting dalam kehidupan bermasyarakat karena tanpa adanya komunikasi, hubungan baik antar manusia tidak dakan tercipta dengan baik. Seperti yang diutarakan Wilbur Schramm, komunikasi akan berhasil bila pesan yang disampaikan oleh komunikator sesuai dengan frame of reference atau kerangka acuan yang digunakan sebagai penyatuan pengalaman dan pemahaman yang pernah diperoleh oleh komunikan15. Schram mengelompokkan model komunikasi dalam 3 model. Salah satu model komunikasi yang relevan dengan penelitian mengenai komunikasi interpersonal antara ODHA dengan Masyarakat adalah model ketiga, yakni model sirkular. Dalam model ini, Schram mengidentikkan komunikasi sebagai interaksi antara 2 individu yang saling menafsirkan pesan yang diberikan. Model sirkular memberikan penekanan pada perhatian langsung terhadap saluran yang menghubungkan komunikator dan komunikan, termasuk terhadap perilaku para
14
Onong, Uchjana, Ilmu Komunikasi Teori dan Praktek, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2007), h.10. 15 Ibid, h.13.
17
pelaku dalam proses komunikasi16. Jika pengalaman yang dimiliki komunikator sama dnegan pengalaman komunikan, maka akan mudah mencapai pemahaman antara keduanya dan komunikasi dapat berjalan dengan lancar. Namun bila pengalaman yang dimiliki komunikator dan komunikan berbeda, maka akan sulit untuk dipahami satu sama lain dan komunikasi antara keduanya akan terganggu. Bagan 1.1 Model Komunikasi Schram
Message
Encoder
Encoder
Interpreter
Interpreter
Decoder
Decoder Message
Sumber : Wiryanto, Teori Komunikasi Massa, 2000:24. Permasalahan yang dikaji peneliti dalam penelitian ini, seperti yang telah diutarakan sebelumnya, aspek komunikasi yang akan dikaji adalah aspek komunikator. Komunikator adalah orang yang mengambil inisiatif dalam berkomunikasi. Pesan disampaikan komunikator untuk mewujudkan motif komunikasi.17 Dalam permasalahan ini, yang bertindak sebagai komunikator adalah ODHA itu sendiri. Dalam hal ini, ODHA berusaha untuk mengungkapkan jati dirinya sebagai seorang ODHA kemudian melakukan upaya agar dapat 16
Onong, Uchjana, Ilmu, Teori dan Filsafat komunikasi, (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 1993), h.258. 17 Wiryanto, Teori Komunikasi Massa, (Jakarta:Grasindo,2000), h.24.
18
diterima dan mampu menjalin interaksi sosial yang bersifat positif dengan masyarakat di Kota Surakarta. 2. HIV-AIDS Masyarakat sering kali menganggap bahwa HIV dan AIDS memiliki arti yang sama. Sesungguhnya istilah HIV dan AIDS merupakan dua istilah yang berbeda, namun saling berhubungan satu sama lain. Secara lebih jelas dapat kita lihat dalam pemaparan pengertian HIV dan AIDS berikut : a. HIV Human Immuno Deficiency Virus merupakan sebuah virus yang melemahkan kekebalan tubuh manusia. Virus ini menyerang sel darah putih yang ada di dalam tubuh manusia (limfosit) yang mengakibatkan turunnya kekebalan tubuh manusia. HIV termasuk ke dalam golongan retrovirus yang menjadikan cairan tubuh manusia sebagai saluran penularan utamanya, oleh karena itu, HIV banyak ditemukan dalam cairan yang ada di dalam tubuh manusia seperti darah, cairan mani, cairan vagina, dan air susu ibu (ASI)18. Apabila seseorang terjangkit HIV, perlu beberapa waktu yang dibutuhkan agar gejala fisik dapat dilihat. Masa di mana penderita belum menampakkan gejala HIV disebut dengan periode jendela. Periode jendela ini bisa berlangsung selama bertahun-tahun tergantung dengan ketahanan sistem kekebalan tubuh orang yang terjangkit.
18
Komisi Penanggulangan AIDS Nasional, Panduan Ringkas Warga dalam Penanggulangan AIDS, (Jakarta: Kementrian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat Republik Indonesia, 2010), h. 4
19
Secara kasat mata, kita tidak dapat mengetahui apakah seseorang terjangkit HIV atau tidak. Penderita HIV tampak seperti orang yang sehat pada umumnya dan tidak menunjukkan gejala penyakit apapun. Seseorang dapat diketahui terinfeksi HIV apabila mengikuti tes HIV yang disebut dengan Voluntary Counseling and Testing (VCT). Orang yang terinfeksi HIV dapat menularkan virus yang berada dalam tubuh mereka kepada orang lain sepanjang hidupnya tanpa ia ketahui, bila dia melakukan hubungan seks tanpa kondom atau dengan berbagi alat suntik dengan orang lain. b. AIDS Acquired Immuno Defiency Syndrome atau yang kerap dikenal dengan istilah AIDS merupakan kumpulan gejala penyakit yang timbul karena menurunnya sistem kekebalan tubuh manusia akibat infeksi HIV. Seseorang yang sudah termasuk dalam fase AIDS lebih mudah dikenali daripada seseorang yang masih dalam tahap awal terinfeksi HIV. Beberapa gejala AIDS diantara seperti TBC, terdapat jamur di mulut (bisa sampai ke tenggorokan) atau kerap disebut dengan kadiasis, beragam peradangan pada kulit, paru-paru, saluran pencernaan, sampai dengan kanker. Penyakit-penyakit tersebut dalam kasus HIV-AIDS disebut dengan penyakit penyerta atau Infeksi Opportunistik (IO)19. Perjalanan waktu sejak seseorang terjangkit HIV positif hingga menunjukkan gejala-gejala AIDS dapat berlangsung dalam kurun waktu yang sangat lama, antara 3 sampai dengan 15 tahun, tergantung pada pola hidup si penderita, apakah dia terus melakukan kegiatan yang beresiko yang 19
Ibid. h. 5.
20
mengakibatkan terjadinya re-infeksi dan apakah HIV cepat teridentifikasi sehingga dapat melakukan upaya-upaya untuk mempertahankan daya tahan tubuhnya agar tetap prima20. Orang yang telah masuk dalam fase AIDS masih dapat diberikan pertolongan medis. Pengobatan yang dapat dilakukan sampai saat ini adalah dengan memberikan Anti Retroviral Virus (ARV) pada penderita. ARV memang tidak dapat menghilangkan HIV dalam tubuh masnusia atau tidak dapat membuat penderitanya sembuh dari HIV, namun ARV dapat menekan laju penularan dan penyebaran HIV dalam tubuh manusia. ARV diberikan kepada penderita sebanyak 1 kali dalam satu hari pada jam yang sama, bila tidak, HIV dapat menjadi kebal terhadap ARV. c. ODHA ODHA (Orang Dengan HIV-AIDS) merupakan sebutan bagi penderita HIV-AIDS. Sebutan ini bertujuan untuk mengganti sebutan “penderita” yang mengarah kepada pengertian yang negatif karena seseorang yang terjangkit HIV belum tentu menderita. Seseorang resmi disebut ODHA bila dinyatakan positif HIV melalui VCT21. Tes HIV atau VCT dilakukan dengan pengecekan darah seseorang karena HIV ditemukan paling banyak dalam aliran tubuh manusia22. Ketika mengikuti VCT, seseorang akan diberikan penjelasan mengenai HIV dan AIDS terlebih dahulu serta diminta persetujuannya untuk melakukan tes tersebut setelah peserta tes mengikuti konseling mengenai HIV-AIDS dengan dokter. 20
Ibid, h. 5 PKBI, Seputar HIV & AIDS, (Jakarta : PKBI), h. 30 22 Op Cit, h. 9. 21
21
VCT memiliki 2 tahap, yakni Konseling sebelum atau Pra Konseling dan Konseling sesudah atau Post konseling tes. Hasil VCT bersifat rahasia dan hanya boleh diketahui oleh orang yang bersangkutan serta petugas medis yang memerikan konseling atau yang sering disebut dengan konselor. Konselor diperbolehkan membuka status pasien kepada orang lain dengan izin dari yang bersangkutan23. Menerima kenyataan bahwa seseorang positif tertular HIV dan menjadi ODHA bukanlah suatu hal yang mudah. Banyak ODHA yang merasa frustasi, tertekan dan kemudian censerung menutup diri kepada lingkungan sekitarnya ketika mendapati diri mereka tertular HIV. Bahkan beberapa diantara mereka memutuskan untuk mengakhiri hidup mereka karena malu atas penyakit yang menjangkit tubuh mereka. Pandangan masyarakat mengenai ODHA sangatlah memiliki andil dalam kelangsungan hidup ODHA dalam masyarakat. Masyarakat saat ini mungkin sudah paham mengenai HIV-AIDS, namun mereka tak cukup paham mengenai penularannya sehingga saat ini masyarakat masih takut untuk berdekatan dengan ODHA dengan alasan karena takut tertular. HIV-AIDS memang menular, tapi tidak mudah. HIV dapat ditularkan oleh seseorang yang sudah terinveksi kepada orang lain dengan cara berikut: a) Melalui cairan mani atau cairan vagina Melaui hubungan seks penetratif (alat kelamin pria masuk ke dalam alat kelamin atau dubur pasangannya), tanpa menggunakan alat kontrasepsi
23
Ibid, h. 9.
22
sehingga
memungkinkan
cairan
mani
atau
cairan
vagina
yang
mengandung HIV masuk ke dalam tubuh pasangannya. b) Melalui darah Melalui transfusi darah atau produk darah yang sudah tercemar HIV. Selain itu, penggunaan jarum suntik secara bergantian juga dapat beresiko menularkan HIV kepada orang lain melaui darah. Seperti yang kerap terjadi pada pengguna narkoba suntik atau yang kerab disebut dengan penasun. c) Melalui Air Susu Ibu (ASI) Penularan HIV juga dapat terjadi melalui seorang ibu hamil yang dinyatakan positif HIV selama masa kehamilan, masa persalinan, dan masa menyusui. Kemungkinan penularan HIV dari ibu ke bayi berkisar hingga 30% dari seluruh jumlah ibu hamil yang positif HIV. Itu berarti dari 10 proses persalinan Ibu HIV, kemungkinan ada 3 bayi yang lahir dengan HIV positif. Penularan HIV dari ibu hamil ke bayi dapat dicegah dengan mengikuti program pencegahan penularan dari ibu ke bayi atau yang sering disebut dengan PMTCT (Prevention Mother to Child Transmission). Penularan HIV dapat dicegah melalui tindakan prefentif yang dapat dengan mudah dilakukan oleh masyarakat, diantaranya adalah: a) Menghindari berganti-ganti pasangan seksual. b) Menghindari berhubungan seks sebelum menikah.
23
c) Menggunakan kondom jika berhubungan seksual dengan pasangan yang sudah dinyatakan positif HIV. d) Hindari penggunaan narkoba dan minuman keras yang memungkinkan seseorang kehilangan kesadaran sehingga dapat mengakibatkan seseorang melakukan perbuatan yang lebih beresiko tertular HIV. e) Tidak menggunakan alat suntik atau alat tusuk lainnya bergantian atau bersama dengan orang lain. f) Memastikan bahwa donor bebas dari HIV melalui pemeriksaan. g) Melakukan PMTCT bagi ibu hamil yang positif HIV agar tidak menularkan HIV kepada bayinya. Meskipun secara jelas telah dipaparkan kepada masyarakat mengenai tindakan yang berakibat penularan HIV dan cara pencegahannya seperti yang dipaparkan sebelumnya, masih saja banyak masyarakat yang takut untuk hidup berdampingan dengan ODHA karena takut tertular. Berikut ini adalah tindakan yang tidak beresiko tertular bila seseorang hidup berdampingan dengan ODHA: a) Pemakaian toilet dan wastafel secara bersamaan atau bergantian. b) Berciuman, berpelukan, atau berjabat tangan dengan ODHA. c) Berbagi kolam renang dengan ODHA. d) Gigitan nyamuk dan serangga lain. e) Membuang ingus, batuk atau meludah. f) Pemakaian alat makan secara bergantian atau bersama-sama
24
Pemaparan di atas bertujuan untuk meyakinkan kepada masyarakat bahwa AIDS tidak dengan mudah menular kepada semua orang yang berdekatan dengan ODHA. Juga meyakinkan kepada masyarakat bahwa ODHA layak hidup berdampingan di masyarakat seperti orang yang sehat pada umumnya tanpa merasa dikucilkan dan tanpa merasa bahwa dirinya mendapatkan tindakan diskriminasi dari masyarakat yang takut tertular oleh mereka. 3. Persepsi, Prasangka, Stereotip, dan Diskriminasi Penyingkapan diri dalam rangkaian kegiatan komunikasi secara sendirinya akan menghasilkan adanya persepsi dari satu individu kepada individu yang lain. Dalam bukunya yang berjudul Psikologi Sosial Suatu Penghantar, Walgito mengartikan persepsi sebagai sebuah proses yang didahului oleh adanya penginderaan24. Di sisi lain, Alkitson menyebutkan bahwa persepsi merupakan proses ketika individu mengorganisasikan dan menafsirkan pola stimulus dalam lingkungannya.
Hal
ini
mengakibatkan
persepsi
antar
pribadi
dalam
mempersepsikan objek yang sama dapat berbeda karena apa yang ada di sekitar individu yang dapat ditangkap oleh panca indra tidak dapat secara langsung diartikan sama dengan realitas yang terjadi25. Dalam permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini, ODHA sering menerima persepsi negatif dari masyarakat di sekitarnya. Persepsi yang diterima ODHA tersebut dapat diidentifikasikan ke dalam prasangka. Prasangka
24 25
Bimo Walgito, Psikologi Sosial Suatu Pengantar, (Yogyakarta : Andi Offset, 2003), h. 53. Ibid, h. 54
25
(prejudice) adalah praduga berupa penilaian negatif mengenai suatu kelompok dan setiap individu dalam kelompok tersebut.26 Evaluasi negatif yang menandai prasangka seringkali didukung oleh keyakinan negatif, yang kemudian disebut dengan stereotip (stereotype). Stereotip sesungguhnya merupakan keyakinan mengenai atribut kepribadian dari satu kelompok atau orang yang terkadang terlalu digeneralisasi, tidak akurat, dan resisten terhadap informasi baru.27 Pandangan dan stereotip yang diberikan kepada sebuah kelompok atau individu yang dilakukan secara terus menerus akan menimbulkan adanya diskriminasi. Seperti yang sering dialami oleh ODHA. ODHA kerap kali menerima perlakuan diskriminasi dari masyarakat atas semua prasangka dan stereotip negatif yang dilekatkan terhadap mereka. Diskriminasi sendiri memiliki arti sebuah perilaku negative yang tidak pada tempatnya kepada satu kelompok dan anggota kelompoknya.28 Adanya perlakuan, prasangka, dan diskriminasi yang diterima ODHA kemudian seolah menjadi penghambat kelancaran tugas Yayasan Mitra Alam dalam melaksanakan tugasnya pada program WPA. Terlepas dari segala kendala tersebut. Unsur paling penting yang perlu diperhatikan dari permasalahan yang menjadi objek kajian penelitian ini adalah bagaiman ODHA mengupayakan terjadinya interaksi sosial melalui komunikasi antar pribadi (komunikasi interpersonal) dengan masyarakat agar kehadiran mereka dapat diterima dengan
26
David G. Myers, Social Psychology Buku 2,Ed 10, diterjemahkan oleh Aliya Tusyani dengan judul Psikologi Sosial (Cet. II;Jakarta:Salemba Humanika,2012), h.6. 27 Ibid, h.7. 28 Op.Cit, h.8.
26
baik dalam masyarakat dan menghapus prasangka dan stigma negati, serta diskriminasi yang ada sebelumnya. 4. Komunikasi Interpersonal Komunikasi interpersonal merupakan hal yang sangat mendasar dalam kehidupan sosial manusia. Sesuai dengan kodrat manusia sebagai makhluk sosial, kita tentu tidak akan bisa hidup sendiri. Kita tentunya mengharapkan orang lain untuk peduli terhadap apa yang kita rasakan dan mengharapkan bantuan ketika kita sedang dalam kesulitan atau hanya sekedar untuk berbagi keresahan dan kebahagiaan dengan orang lain. Selain itu, ada beberapa kebutuhan dari dalam diri manusia yang hanya dapat dipenuhi melalui komunikasi interpersonal. Komunikasi sejatinya selalu ada dalam rangkaian mulai dari impersonal sampai interpersonal. Inti dari komunikasi interpersonal adalah penyampaian arti antar inmdividu yang melakukan komunikasi. Tidak hanya bertukar kata, melalui komunikasi kita juga dapat menciptakan arti dari apa yang orang lain katakan dan lakukan dan kemudian berkembang seiring dengan berlangsungnya komunikasi29. Onong
Uchjana
Effendi
mengemukaan
bahwa
pada
hakikatnya
komunikasi antar pribadi (peneliti pribadi) adalah komunikasi antara komunikator dengan seorang komunikan. Komunikasi jenis ini dianggap paling efektif dalam hal upaya mengubah sikap, pendapat, atau perilaku seseorang, karena sifatnya yang dialogis, berupa percakapan dimana arus balik bersifat langsung. Selaras dengan yang dikemukakan Julia T. Wood :
29
S. Ramaraju, Psychological Perspectives on Interpersonal Communication, (Internationa; Refereed Research Journal, Vol III, 2012), h 69.
27
We communicate to develop identities, establish and built relationships, coordinate efforts with others, have impact on issues that matter to us, and work out problems and possibilities.30 Berdasarkan
paparan
mengenai
komunikasi
interpersonal
diatas,
komunikasi interpersonal merujuk pada upaya sesorang dalam menjalin hubungan dengan orang lain. Lebih jauh lagi, motivasi seseorang dalam melakukan komunikasi interpersonal juga meliputi banyak hal. Psikolog William Schutz (1996) merumuskan interpersonal needs theory yang menyatakan tentang penyebab sesorang mau menjalin hubungan dengan orang lain yang dikategorikan dalam 3 kebutuhan dasar. Yang pertama adalah demi kebutuhan afeksi, untuk memenuhi kebutuhan kasih sayang dan suka. Yang ke dua adalah kebutuhan untuk dianggap dalam sebuah grup. Dan yang ke3 adalah kebutuhan control, untuk memberikan pengaruh terhadap orang disekitar kita.31 Di sisi lain, Devito megelompokkan definisi komunikasi interpersonal kedalam 3 kelompok, yakni : a) Definisi berdasarkan komponen. Dalam definisi ini, devito mengartikan komunikasi interpersonal melalui pengamatan terhadap komponenkomponen utamanya, yakni penyampaian pesan oleh satu orang dan penerima pesan oleh orang lain atau sekelompok kecil orang, dengan berbagai dampaknya dan berbagai peluang untuk segera memberikan umpan balik.
30
Julia T.Wood, Interpersonal Communication, (Boston:Wadsworth Cengage Learning, 2010), h.10. 31 Ibid.
28
b) Definisi berdasarkan hubungan.Definisi ini memberikan penekanan bahwa tidak semua orang memiliki minat yang sama satu sama lain. Dapat digambarkan dalam pembicaraan yang dilakukan sekelompok kecil orang. Dalam kelompok tersebut, setiap orang dapat saja menguasai topik pembicaraan yang berbeda-beda. c) Definisi berdasarkan pengembangan. Pada definisi ini, Devito melihat komunikasi sebagai suatu kontinum yang bergerak dari impersonal sampai dengan komunikasi yang intim. Senada dengan hal tersebut, Effendy mengemukakan bahwa komunikasi interpersonal pada hakikatnya adalah komunikasi antar komunikator dengan komunikan dimana komunikasi jenis ini dianggap sebagai bentuk komunikasi yang paling efektif dalam upaya mengubah sikap. Selain itu, Maslow (1986) juga mengemukakan motivasi seseorang dalam melakukan komunikasi interpersonal secara sistematis dalam hierarki kebutuhan dasar32, yakni kebutuhan jasmani (Physical Needs), kebutuhan keamanan dan keselamatan (Safety and Protection Needs), kebutuhan sosial (Belonging Needs), kebutuhan akan penghargaan (Self Esteem Needs), dan kebutuhan akan aktualisasi diri (Self actualization Needs). Kelima kebutuhan tersebut secara sistematis digambarkan dalam bagan berikut ini:
32
Ibid. h.11-14.
29
Bagan 1.2 Hierarki Kebutuhan Maslow
Self Actualization needs Self Esteem Needs
Belonging Needs
Safety and Protection Needs
Physical Needs for Survival
Sumber : Wood, Interpersonal Communication, 2010 : 11. a. Physical Needs (Kebutuhan Jasmani) Merupakan kebutuhan paling mendasar dalam hierarki kebutuhan Maslow. Pada dasarnya, manusia perlu untuk mempertahankan hidupnya, dan komunikasi membantu kita untuk memenuhi kebutuhan dasar tersebut. Sebagai contoh, seorang bayi pasti akan membutuhkan bantuan orang lain dalam memenuhi kebutuhan dasarnya. Ia tidak akan mungkin dapat memenuhi kebutuhannya sendiri dan jika kebutuhan itu tidak terpenuhi, maka Ia akan mati. Oleh karena itu, Ia memerlukan bantuan orang lain. Begitu pula ketika sudah dewasa. Jika sakit, seseorang tentunya akan membutuhkan bantuan orang lain untuk menyembuhkan penyakitnya, dalam hal ini adalah seorang dokter. b. Safety Needs (Kebutuhan Keamanan /Keselamatan)
30
Dengan melakukan komunikasi interpersonal, kita juga dapat memenuhi kebutuhan keselamatan. Sebagai contoh, jka kita sedang tersangkut permasalahan hukum, jika tentu perlu berbicara untuk meminta pertolongan dari polisi atau pengacara. c. Belonging Needs / Social Needs (Kebutuhan Sosial) Seorang manusia tentunya membutuhkan orang lain untuk menjalani kehidupan, memperoleh rasa nyaman, dan masuk ke dalam kelompok yang membuat mereka nyaman dalam masyarakat. Seorang individu juga melakukan komunikasi juga untuk memenuhi kebutuhan sosial dengan cara berbicara dengan orang lain, mendengarkan dan menanggapi apa yang orang lain katakana, serta berbagi pikiran, pendapat, dan perasaan kepada orang lain. Oleh sebab itu, secara singkat dapat dikatakan bahwa komunikasi interpersonal mampu membantu kita dalam pemenuhan kebutuhan sosial karena pada dasarnya salah satu tujuan dasar manusia melakukan komunikasi interpersonal adalah agar dapat diterima dalam kelompok sosial. d. Self-Esteem Needs (Kebutuhan akan Penghargaan) Kebutuhan ini mencakup penilaian dan penghargaan diri kita atas diri kita sendiri, serta penghargaan atas diri kita yang diberikan oleh orang lain. Berkaitan dengan hal itu, komunikasi membuat kita mengetahui pandangan orang lain terhadap diri kita dan juga sebaliknya. Dengan berkomunikasi pula, kita dapat membiarkan orang lain untuk menilai diri kita. Tentang isi penilaian orang lain
31
terhadap diri kita, tergantung pada bagaimana kita mengkomunikasikan kepribadian kita terhadap orang lain. e. Self-Actualization Needs (Kebutuhan akan Aktualisasi Diri) Kebutuhan aktualisasi diri merupakan kebutuhan yang paling abstrak dalam hierarki kebutuhan manusia milik Maslow. Maslow mendefinisikan kebutuhan ini sebagai keinginan manusia untuk dihargai bakat dan kemampuan yang mereka miliki. Agar orang lain dapat mengetahui dan kemudian menghargai bakat dan kemampuan yang kita miliki, maka diperlukan adanya komunikasi. Secara singkat, komunikasi interpersonal dapat membantu kita dalam memenuhi kebutuhan akan penghargaan. Komunikasi interpersonal sejatinya memang sangat penting bagi kebahagiaan hidup manusia. Johnson menunjukkan beberapa peran komunikasi interpersonal dalam menciptakan kebahagiaan hidup manusia33, diantaranya : a) Komunikasi interpersonal membantu perkembangan sosial dan intelektual manusia melalui perkembangan hidup manusia sejak bayi. Berawal dari ketergantungan seorang bayi kepada ibunya melalui komunikasi yang sangat intensif. Seiring berjalannya waktu, komunikasi itu menjadi semakin luas dan memicu perkembangan intelektual dan sosial manusia. Arah perkembangan tersebut ditentukan oleh kualitas komunikasi kita dengan orang disekitarnya.
33
A Supartiknya, Komunikasi Antarpribadi : Tinjauan Psikologis, (Yogyakarta: Kanisius, 1995), h. 9-10.
32
b) Komunikasi
interpersonal
membentuk
identitas
manusia.
Melalui
komunikasi interpersonal manusia mampu mengetahui jati diri kita yang sesungguhnya. c) Komunikasi interpersonal membantu manusia dalam memahami realitas di sekelilingnya dan menguji kebenaran kesan-kesan serta pengertian yang dimiliki manusia mengenai dunia di sekitarnya. d) Komunikasi interpersonal menentukan kesehatan mental manusia. Bila hubungan kita dengan orang lain sedang berada dalam masalah yang tak kunjung menemukan penyelesaian, maka kita akan menderita, merasa sedih, cemas, dan frustasi. Hal tersebut tidak menutup kemungkinan akan membuat kita menarik diri dan menghindar dari orang lain. Ketika kita menarik diri dari orang lain, hidup kita akan terasa sepi dan terasing. Tak hanya penderitaan emosional atau penderitaan batin saja yang dapat kita alami karenanya, kita mungkin juga mengalami penderitaan fisik. Untuk mencapai kebahagiaan, manusia membutuhkan tanggapan dari orang lain yang menunjukkan bahwa diri kita normal, sehat dan berharga. Semua hal itu tentu hanya kita dapat melalui komunikasi interpersonal. Agar komunikasi interpersonal dapat dilakukan secara efektif, maka ada beberapa kriteria yang perlu diperhatikan, antara lain : 1. Adanya kedekatan antara partisipan yang melakukan komunikasi interpersonal 2. Setiap partisipan dalam komunikasi interpersonal harus melakukan kegiatan saling bertukar pesan satu sama lain
33
3. Pesan yang disampaikan meliputi stimulus verbal maupun non verbal34 Komunikasi interpersonal pada dasarnya merupakan jalinan hubungan interaktif antara seorang individu dan individu lain dimana lambang-lambang pesan secara efektif digunakan terutama lambang bahasa yang biasanya dilakukan secara tatap muka35 Terdapat beberapa karakteristik pendekatan komunikasi interpersonal yang berpengaruh terhadap efektivitas hubungan antar pribadi. Untuk itu, efektivitas komunikasi merupakan hal yang penting untuk diperhatikan, seperti yang dikemukakan
Alexander
bahwa
komunikasi
sangat
dibutuhkan
dalam
menciptakan hubungan yang baik dan sebaliknya, tidak adanya efektivitas dalam berkomunikasi dapat menyebabkan kegagalan dalam sebuah hubungan36. Efektivitas komunikasi interpersonal tersebut dimulai dengan 5 kualitas umum yang dipertimbangkan, diantaranya37: 1) Keterbukaan (Openness). Keterbukaan mengacu pada 3 aspek komunikasi interpersonal. Yang pertama adalah komunikator dalam komunikasi interpersonal yang efektif harus terbuka kepada orang yang diajak berinteraksi. Harus ada kesediaan untuk
membuka
diri
mengungkapkan
informasi
yang
biasanya
disembunyikan. Yang kedua mengacu pada kesediaan komunikator untuk
34
Alex Ibnu, Sosiologi Komunikasi, (Ed.2;Surakarta : UNS Press,1988), h.41. Pawito, Penelitian Komunikasi Kualitatif, (Yogyakarta:LKiS, 2007), h.2. 36 Anne M. Nicotera, The Importance of Communication in Interpersonal Relationship, (Journal of Consulting and Clinical Psychology, vol.40), h 223-233. 37 Joseph.A Devito, The Interpersonal Communication Book, (New York: Hunter Collage of the City Universiti of New York, 1997), h. 295-264. 35
34
bereaksi secara jujur terhadap stimulus yang datang. Dan yang ke tiga adalah mengakui bahwa perasaan dan pikiran yan dilontarkan adalah memang miliknya dan komunikator bertanggung jawab atas perasaan dan pikirannya tersebut. 2) Empati (Empathy) Empati didefinisikan sebagai kemampuan seseorang untuk mengetahui apa yang sedang dialami orang lain pada saat tertentu dari sudut pandang orang lain tersebut dan juga melalui kacamata atau sudut pandang orang tersebut. 3) Sikap Mendukung (Supportiveness) Komunikasi yang terbuka dan empatik tidak dapat berlangsung apabila terjadi pada suasana yang tidak tepat. Perlu melibatkan adanya sikap pendukung seperti deskriptif, spontan, dan provisional. 4) Sikap Positif (Positiveness) Sikap positif mengacu pada dua aspek dari komunikasi interpersonal. Yang pertama, komunikasi interpersonal terjalin jika seseorang memiliki sikap positif terhadap diri mereka sendiri. Kedia, perasaan positif sangat penting dalam perwujudan interaksi yang afektif. . 5) Kesetaraan (Equality) Komunikasi interpersonal akan lebih efektif apabila tercipta suasana yang setara. Hal ini diartikan dengan adanya pengakuan bahwa kedua pihak sama-sama bernilai atau berharga dan bahwa masing-masing pihak mempunyai sesuatu yang penting untuk disumbangkan. Dalam hubungan
35
interpersonal yang ditandai dengan kesetaraan, ketidaksependapatan atau konflik lebih dilihat sebagai upaya untuk memahami perbedaan yang pasti ada daripada sebagai kesempatan untuk menjatuhkan pihak lain. 5. Teori Pengembangan Hubungan Interpersonal Terkait dengan paparan mengenai efektivitas komunikasi interpersonal dalam pembentukan hubungan interpersonal, terdapat sebuah teori pengembangan hubungan interpersonal, yakni teori self disclosure. Teori self disclosure atau teori pembukaan diri yang kerap disebut dengan “Johari Window” ini dapat digunakan sebagai dasar dalam memahami interaksi antar pribadi secara manusiawi. Teori Self disclosure mengungkapkan aksi atau tanggapan kita terhadap situasi yang sedang kita hadapi serta memberikan informasi tentang masa lalu yang relevan atau yang berguna untuk memahami tanggapan kita di masa tersebut38. Yang dimaksud dengan membuka diri adalah membagikan apa yang kita rasakan mengenai segala sesuatu yang kita alami, kita lihat dan kita rasakan kepada orang lain. Dalam teori Johari Window atau dalam Bahasa Indonesia kita menyebutnya dengan teori Jendela Johari, Joe Luft dan Harry Ingham mengibaratkan diri manusia sebagai sebuah ruangan yang memiliki 4 serambi.Garis besar teori Jendela Johari secara jelas dapat dilihat dalam gambar berikut39
38
A Supartiknya, Komunikasi Antarpribadi : Tinjauan Psikologis, (Yogyakarta: Kanisius, 1995), h. 14. 39 Alo Liliweri, Komunikasi Antar Pribadi, (Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 1991), h.50-53.
36
Bagan 1.3 Jendela Johari
DIRI SENDIRI Tahu
ORANG LAIN
Tidak Tahu
Tahu
1. TERBUKA
2. BUTA
Tidak Tahu
3. TERSEMBUNYI
4. TAK DIKENAL
Sumber : Liliweri, Komunikasi Antarpribadi, 1991 : 50. Teori ini berasumsi bahwa jika setiap individu dapat memahami dirinya sendiri, maka ia dapat mengendalikan sikap dan tingkah lakunya saat berhubungan dengan orang lain. Secara lebih jelas, gambar tersebut dapat diuraikan dengan : Bingkai 1. Menunjukkan individu yang terbuka terhadap orang lain. Keterbukaan tersebut disebabkan karena kedua belah pihak sama-sama mengetahui informasi, perilaku, sikap dan perasaan, keinginan, motivasi, gagasan, dan segala informasi dari pihak yang berlawanan. Teori ini menyebutnya dengan isilah “bidang terbuka” dimana bidang ini merupakan bidang yang paling ideal dalam hubungan dan komunikasi antar pribadi. Bingkai 2. Merupakan bidang buta” dimana masing-masing pihak yang melakukan interaksi tidak mengetahui banyak hal mengenai dirinya sendiri dan orang lain maupun sebaliknya.
37
Bingkai 3. Bingkai ini disebut dengan “bidang tersembunyi” yang menunjukkan keadaan dimana seseorang mengetahui berbagai hal yang ada dalam dirinya, namun orang lain tidak mengetahui hal tersebut. Bingkai 4. Bingkai ke-4 disebut dengan “bidang tak diketahui”. Bidang ini menunjukkan keadaan individu saling tidak mengetahui tentang mereka sendiri maupun lawan komunikasi mereka dan juga terjadi sebaliknya. Teori tersebut menyiratkan sebuah pesan bahwa semakin banyak informasi yang diketahui oleh kedua pihak yang melakukan komunikasi interpersonal, maka komunikasi yang terjadi antara keduanya akan semakin jelas. Hal ini memiliki arti bahwa bila seseorang menjalin relasi dengan orang lain, itu berarti bahwa kedua orang yang melakukan interaksi tersebut memperluas Daerah Terbuka yang mereka miliki sekaligus mengurangi Daerah Buta dan Daerah Tersembunyi mereka40. Bagan 1.4 Penggambaran Jendela Jauhari pada Awal dan Sesudah Hubungan 1
2
3
4
1
3 Pada Awal Hubungan
2
4
Sesudah Hubungan Berkembang
Sumber : Supratiknya, Komunikasi Antarpribadi, 1995 : 17.
40
A Supartiknya, Komunikasi Antarpribadi : Tinjauan Psikologis, (Yogyakarta: Kanisius, 1995), h. 17.
38
6. Interaksi Sosial Soerjono Soekanto mendefinisikan interaksi sosial sebagai hubunganhubungan sosial yang dinamis yang menyangkut hubungan antara orangperorangan atau antara kelompok-kelompok manusia. Lebih lanjut, Soekanto menyatakan bahwa interaksi sosial dapat terjadi bila orang-orang perseorangan atau kelompok-kelompok manusia bekerja sama, saling berbicara dan seterusnya untuk mencapai tujuan bersama41 Interaksi sosial memungkinkan individu dapat menyesuaikan diri dengan individu lain atau sebaliknya. Penyesuaian yang dimaksudkan disini memiliki pengertian yang luas yaitu bahwa individu dapat meleburkan diri dengan keadaan di sekitarnya atau sebaliknya, individu dapat mengubah lingkungan sesuai dengan apa yang diinginkan oleh individu yang bersangkutan42. Berdasarkan dua definisi tentang interaksi sosial tersebut, dapat disimpulkan bahwa interaksi sosial merupakan hubungan yang terjadi antar individu atau kelompok yang tidak hanya akan berpengaruh terhadap lingkungannya, namun lebih jauh lagi hubungan tersebut dapat mempengaruhi individu lain yang terlibat dalam hubungan tersebut. Soerjono Soekanto menyatakan pula bahwa interaksi sosial tidak akan terjadi apa bila tidak ada43 : a. Kontak sosial. Kontak sosial merupakan tahap pertama terjadinya hubungan sosial atau interaksi sosial. Kontak sosial merupakan hubungan
41
Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1982),
42
Bimo Walgito, Psikologi Sosial Suatu Pengantar, (Yogyakarta : ANDI, 1978), h. 57. Op. Cit, h.58.
h. 55. 43
39
antara satu pihak dengan pihak lain dimana terjadi pertukaran informasi mengenai kehadiran pihak lain, sehingga masing-masing pihak tersebut dapat mengetahui dan sadar akan kedudukan masing-masing dalam mempersiapkan adanya interaksi sosial. b. Komunikasi. Komunikasi merupakan syarat utama terjadinya sebuah interaksi sosial. Komunikasi tidak dapat dipisahkan dari kontak sosial dalam upaya mewujudkan interaksi sosial. Kontak sosial tidak akan memiliki arti apabila tidak ada komunikasi di dalamnya. Berdasarkan uraian tersebut, kita dapat menarik kesimpulan bahwa komunikasi memang memiliki andil yang sangat penting dalam pembentukan interaksi sosial dalam kehidupan masyarakat dimana komunikasi antar individu atau komunikasi interpersonal memiliki kekuatan yang sangat besar dalam pembentukan komunikasi antar individu dalam sebuah kelompok. Gilin dan Gilin mengelompokkan interaksi sosial ke dalam 2 bentuk macam proses sosial, yakni proses disosiatif dan proses asosiatif. Proses disosiatif merupakan proses yang cenderung menciptakan perpecahan dan merenggangkan solidaritas antar anggota kelompok. Bentuj-bentuk proses disosiatif diantaranya44: a) Kompetisi atau persaingan. Kompetsi atau persaingan merupakan suatu bentuk perjuangan sosial yang berlangsung secara damai. Persaingan terjadi apabila kedua belah pihak saling berlomba untuk mencapai tujuan tertentu.
44
Ibid, h. 65
40
b) Konflik atau pertentangan. Konflik merupakan kompetisi yang hebat sehingga menimbulkan adanya pertentangan karena muncul rasa benci, emosi, dan amarah dari masing-masing pihak. Pihak yang terlibat dalam konflik berusaha menyerang, melukai, merusak, dan memusnahkan lawannya. Sedangkan yang dimaksud dengan proses asosiatif adalah proses yang cenderung menciptakan persatuan dan solidaritas antara anggota kelompok. Proses asosiatif meliputi : a) Kerjasama. Kerjasama diartikan sebagai bergabungnya individu atau kelompok individu untuk mencapai tujuan bersama. b) Akomodasi. Merupakan usaha manusia untuk meredakan ketegangan akibat konflik atau pertikaian dalam rangka mencapai kestabilan c) Asimilasi. Merupakan proses ketika masing-masing individu atau kelompok yang sebelumnya saling berbeda pandangan saling memaklumi sehingga memiliki pandangan yang sama. d) Akulturasi. Suatu keadaan dimana terjadi percampuran budaya antara pihak yang berinteraksi. Berdasarkan permasalahan yang dikaji, yang dimaksud dengan interaksi sosial dalam penelitian ini adalah hubungan sosial yang bersifat positif yang cenderung mempererat hubungan antara anggota kelompok masyarakat (asosiatif) yang hendak dicapai ODHA melalui komunikasi interpersonal yang mereka lakukan dengan masyarakat di Kota Surakarta.
41
F. Kerangka Pemikiran Kerangka berfikir dalam penelitian ini secara sistematis dapat dijelaskan melalui bagan berkut ini : Bagan 1.5 Kerangka Pemikiran 1. Keinginan untuk membuka diri 2. Keinginan untuk diterima di masyarakat
1. StigmaNegatif 2. Kurang Pengetahuan Tentang Penularan HIV
Yayasan Mitra Alam, WPA & KDS Solo Plus
ODHA
Komunikasi Interpersonal
Masyarakat
Interaksi Sosial
Angka kasus HIV-AIDS di Kota Solo kian lama kian meningkat. Namun sayangnya, belum masyarakat mengetahui hal tersebut. Ketidak tahuan masyarakat mengenai perkembangan kasus HIV-AIDS tersebut dilatar belakangi karena kekurangpedulian masyarakat terhadap issue tersebut. Masyarakat mengira bahwa Kota Solo aman dari maraknya kasus penularan HIV-AIDS. Kekurangpedulian dan kekurangtahuan masyarakat mengenai isu HIVAIDS itu pula yang menyebabkan timbulnya ketakutan masyarakat terhadap pengidap HIV-AIDS atau yang kerap disebut dengan ODHA (Orang Dengan HIV-AIDS). Masyarakat takut berdekatan dengan ODHA karena takut tertular,
42
padahal penularannya tidak semudah itu. Ketakutan-ketakutan tersebut pada akhirnya juga akan menimbulkan persepsi yang berujung pada munculnya stigma negatif terhadap ODHA. Masyarakat akan menganggap bahwa ODHA adalah orang yang memiliki kehidupan kelam sehingga Ia dapat terjangkit HIV tanpa pandang bulu, tanpa ingin tahu penyebab mereka tertular dan tanpa berpikir bahwa sesungguhnya HIV-AIDS da[at menular pada siapa saja, bahkan pada kelompok dengan resiko rendah. Stigma yang dibubuhkan kepada ODHA lebih lanjut akan memicu adanya diskriminasi terhadap ODHA. Jika seseorang diketahui mengidap HIV-AIDS, maka Ia akan dikucilkan dalam masyarakat. Menyadari fenomena tersebut, pemerintah Kota Surakarta mengupayakan sebuah program yang bertujuan untuk memutus mata rantai penularan HIV-AIDS dan menghapus diskriminasi serta stigmatisasi terhadap ODHA yang bertajuk Program Warga Peduli AIDS. Dalam pelasanaan Program WPA, pemerintah Kota Solo dan Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Kota Solo menunjuk Yayasan Mitra Alam sebagai fasilitator program yang terjun secara langsung menangani program WPA di beberapa Kelurahan di wilayah Kota Solo. Seperti yang telah dipaparkan sebelumnya, Yayasan Mitra Alam hanya bertindak sebagai fasilitator. Pada perannya terhadap masyarakat, Yayasan Mitra Alam bertugas untuk memberikan penyuluhan mengenai HIV-AIDS dan pembekalan kader masyarakat. Melalui penyuluhan tersebut, warga diharapkan mampu menerima kehadiran ODHA di sekitar tempat tinggal mereka, atau paling tidak untuk menekan diskriminasi terhadap ODHA.
43
Di sisi lain, Yayasan Mitra alam bersama dengan KDS Solo Plus sebagai wadah bagi para ODHA juga memberikan penguatan terhadap ODHA agar ODHA mau terbuka kepada masyarakat dan mengurangi rasa takut mereka terhadap diskriminasi dan stigma negative yang dialamatkan kepada mereka, serta memunculkan keinginan mereka untuk diterima secara utuh sebagai individu yang terjangkit HIV-AIDS kembali di lingkungan hidup mereka sehingga mereka dapat mendapatkan kembali hak mereka sebagai bagian dari masyarat. Keinginan agar dapat diterima sebagaimana masyarakat pada umumnya itulah yang kemudian mendorong ODHA untuk menjalin hubungan atau relationship dengan masyarakat yang ada di sekitarnya melalui komunikasi interpersonal agar masyarakat mampu menerima mereka dengan segala sesuatu yang ada dalam diri mereka. G. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan metode penelitian deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Menurut Bodgan dan Taylor, metode penelitian kualitatif merupakan prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati. Penelitian kualitatif juga diarahkan pada latar belakang individu yang menjadi objek penelitian secara holistik. Penelitian kualitatif ini bertujuan untuk menjelaskan secara mendalam mengenai fenomena yang
44
diangkat dalam penelitian ini. Kedalaman dan ketajaman kualitas data menjadi hal yang paling penting untuk diperhatikan dalam penelitian45. Peneliti
memilih
metode
deskriptif
kualitatif
karena
peneliti
menganggap bahwa metode ini merupakan metode yang paling tepat untuk meneliti secara mendalam mengenai komunikasi interpersonal yang digunakan ODHA di wilayah Kota Surakarta terhadap masyarakat di sekitarnya agar keberadaannya dalam masyarakat tersebut dapat diterima dengan baik. Hal ini dikuatkan dengan tujuan dari penelitian deskriptif diantaranya : a. Untuk mengumpulkan informasi aktual secara rinci yang melukiskan kejadian yang ada. b. Mengidentifikasi masalah atau memeriksa kondisi yang ada. c. Membuat perbandingan atau evaluasi. d. Serta menentukan apa yang dilakukan orang lain dalam menghadapi masalah yang sama dan belajar dari pengalaman mereka untuk menetapkan rencana dan putusan pada waktu yang akan datang46. Hal lain yang membuat peneliti menggunakan jenis penelitian deskriptif dalam penelitian ini adalah karena karakteristik metode deskriptif yang dirasa pas dengan penelitian yang dilakukan. Metode deskriptif menitikberatkan pada observasi dan suasana yang alamiah (naturalis setting) dimana peneliti bertindak sebagai pengamat.47 Dengan kata lain, peneliti hanya membuat kategori perilaku, mengamati gejala, dan mencatat hal tersebut. Sedangkan 45
H.B. Sutopo, Metode Penelitian Kualitatif, (Surakarta : UNS Press, 2006), h.39. Jalaluddin Rakhmat, Metode Penelitian Komunikasi,(Bandung : PT.Remaja Rosdakarya, 2001), hal. 25 47 Ibid, h. 25 46
45
yang dimaksud dengan suasana ilmiah yang dititikberatkan dalam metode ini adalah bahwa peneliti hanya terjun ke lapangan dan tidak berusaha untuk mempengaruhi atau memanipulasi data yang ada. 2. Lokasi Penelitian Lokasi yang dipiih peneliti dalam penelitian ini adalah di wilayah Kota Surakarta. Wilayah ini dipilih karena sesuai dengan inti permasalahan yang akan diteliti secara lebih lanjut dalam penelitian ini, yakni komunikasi interpersonal yang dilakukan ODHA di wilayah Kota Surakarta terhadap warga, khususnya masyarakat yang berada di sekitar tempat tinggal ODHA yang menjadi objek penelitian, yakni di wilayah Kecamatan Banjarsari, Kecamatan Laweyan, dan Kecamatan Serengan. 3. Subjek dan Objek Penelitian Subjek penelitian ini adalah warga Kota Surakarta yang mengidap HIV-AIDS atau yang kerap disebut ODHA. Sedangkan objek penelitian ini adalah upaya ODHA agar diterima dalam masyarakat melalui komunikasi interpersonal terhadap warga di wilayah Kota Surakarta. 4. Teknik Sampling Teknik sampling yang digunakan dalam penelitian ini merupakan teknik purposive sampling. Teknik ini dipilih oleh peneliti karena teknik purposive sampling dipandang lebih mampu menangkap kelengkapan dan kedalaman realitas yang menjadi objek penelitian. Teknik purposive sampling adalah teknik mengumpulkan sampel yang pemilihannya diarahkan pada
46
sumber data yang dipandang memiliki data yang penting dan memiliki keterkaitan yang kuat dengan permasalahan yang diteliti48. Berdasarkan pengertian diatas kita tentu dapat mengetahui bahwa dengan memilih teknik purposive sampling, peneliti memilih sample yang dianggap dapat memberikan informasi yang relevan dengan kajian penelitian yang direncanakan dan dilakukan oleh penulis dengan menunjuk beberapa informan yang dirasa memiliki data atau informasi yang berguna sebagai data yang menjadi bahan utama dalam penelitian ini. Berdasarkan teknik pengambilan sample tersebut, maka dipilih lah 9 sample dalam penelitian ini, diantaranya : 1) Prawoto Mujiyono (Pengelola Program dan Monef KPA Surakarta) 2) EM (ODHA sekaligus ketua KDS Solo Plus) 3) 4 ODHA 4) 3 Masyarakat Kota Surakarta yang kerap berkomunikasi dengan ODHA dan menjalin interaksi dalam waktu yang lama 5. Teknik Pengumpulan Data Pengumpulan data yang dibutuhkan dalam penelitian ini dilakukan dengan beberapa teknik, diantaraya: a. Wawancara. Dalam proses pengumpulan data, peneliti menggunakan wawancara bebas terpimpin. Yang dimaksud dengan wawncara bebas terpimpin dalam penelitian ini 48
H.B Sutopo, Metodologi Penelitian Kualitatif: Dasar Teori dan Terapannya dalam Penelitian, (Surakarta: Universitas Sebelas Maret, 2006), h. 46.
47
adalah penulis menyediakan sejumlah pertanyaan yang kemudian yang dijawab secara bebas dan terbuka oleh responden. Ada 9 orang yang dapat dijadikan sebagai responden dalam penelitian ini, diantaranya adalah: 1) Prawoto Mujiyono (Pengelola Program dan Monef KPA Surakarta) Penulis memilih Prawoto Mujiyono sebagai salah satu informan dalam penelitian ini karena sebagai seseorang yang menjabat sebagai pengelola program dan monef di KPA Kota Surakarta, Prawoto dipandang mampu untuk memberikan informasi seputar program-program yang dilaksanakan KPA, kegiatan dalam program WPA mengingat KPA merupakan koordinator program tersebut, bagaimana ODHA melakukan komunikasi dan interaksi dengan masyarakat di Kota Surakarta, sampai dengan kendala yang dirasakan ODHA dalam upaya mereka untuk menjalin interaksi sosial dengan masyarakat di Kota Surakarta. Selain itu, sebagai koordinator program dan monef KPA Surakarta, Prawoto kerapkali meninjau langsung kegiatan-kegiatan yang dilakukan dalam program WPA dan ia juga memiliki kedekatan yang cukup baik dengan pengurus serta anggota KDS Solo Plus yang merupakan ODHA. 2) EM (ODHA sekaligus ketua KDS Solo Plus) EM merupakan salah seorang ODHA yang saat ini berperan sebagai ketua dalam Kelompok Dampingan Sebaya (KDS) Solo Plus. Penulis memilih EM sebagai salah satu responden dalam peneliti karena selain EM dapat memberikan
informasi
seputar
bagaimana
dirinya
menceritakan
pengalamannya sendiri sebagai ODHA dalam melakukan komunikasi
48
interpersonal agar dapat menjalin interaksi sosial dengan masyarakat, EM juga dipandang mampu untuk memberikan informasi mengenai langkahlangkah atau proses yang dilalui ODHA yang tergabung dalam KDS Solo Plus mulai dari sebelum melakukan komunikasi, ketika melakukan komunikasi, sampai dengan setelah melakukan komunikasi dengan masyarakat di Kota Surakarta mengingat EM juga merupakan Ketua KDS Solo Plus yang kesehariannya mendampingi anggota KDS Solo Plus dalam berbagai kegiatan sehingga tak jarang banyak dari ODHA anggota KDS Solo Plus mencurahkan isi hati mereka kepada EM. 3) 4 ODHA Peneliti menjadikan ODHA yang berdomisili di wilayah Kota Surakarta sebagai informan karena ODHA yang berperan sebagai komunikator dalam komunikasi interpersonal yang mereka jalin dengan masyarakat merupakan pihak yang paling mengetahui bagaiman dan apa yang mereka lakukan dalam upaya menjalin interaksi sosial dengan masyarakat di Kota Surakarta melalui komunikasi interpersonal. Terdapat 4 ODHA yang menjadi informan dalam penelitian ini, diantaranya : a) WL b) HN c) HR d) IS
49
4) 3 Masyarakat Kota Surakarta yang pernah berkomunikasi dengan ODHA Terdapat 3 persamaan dari 3 masyarakat Kota Surakarta berikut ini yang menjadikan mereka terpilih sebagai responden dalam penelitian ini. Persamaan tersebut adalah ; yang pertama adalah ketiga masyarakat ini dianggap memiliki kemampuan berkomunikasi yang baik sehingga mampu memberikan informasi kepada penulis secara sejas; yang ke-2 adalah ketiga masyarakat ini sudah lama memiliki hubungan yang baik dengan ODHA dan menjalin interaksi sosial dalam waktu yang cukup lama, dan yang terakhir adalah ketiga masyarakat ini dianggap sebagai tokoh masyarakat di lingkungan tempat tinggalnya sehingga ketiganya dianggap mampu mewakili karakteristik masyarakat di wilayah tempat tinggal mereka serta dianggap mengetahui secara langsung bagaimana masyarakat disekitar tempat tinggalnya ketiga berhadapan maupun menanggapi ODHA. Ketiga responden masyarakat tersebut antara lain: a) Sunarmi Jalu b) Ony Yuliani c) Tri Wahyuni b. Observasi Peneliti melakukan observasi secara langsung dengan cara terjun ke lapangan dengan mengikuti kegiatan-kegiatan yang dilakukan ODHA yang didalamnya terdapat kegiatan komunikasi antara ODHA dengan masyarakat di Kota Surakarta. Kegiatan-kegiatan tersebut antara lain :
50
1) Sosialisasi HIV-AIDS di beberapa kelurahan seperti: Kelurahan Sangkrah, Kelurahan Timuran, Kelurahan Sewu, dan Kelurahan Bumi. 2) Mobile VCT yang diadakan di kantor Solo Taksi, kantor Kosti Solo, dan halte Stasiun Purwosari. 3) Kunjungan ke rumah ODHA. 4) Perayaan Hari AIDS Sedunia tahun 2014 di Bunderan Gladag dan Balaikota Surakarta. 5) Renungan peringatan hari AIDS Sedunia di Kelurahan Bumi, dan Plaza Sriwedari. 6) Pertemuan rutin KDS Solo Plus. c. Dokumentasi Dokumentasi merupakan proses pengumpulan data mengenai hal-hal atau variable-variabel49 dengan teknik pengumpulan data dengan menginvestasi dokumen-dokumen yang relevan serta memiliki keterkaitan dengan masalah yang diteliti. Dalam hal ini, peneliti mendatangi langsung Yayasan Mitra Alam, KDS Solo Plus, dan KPA Kota Surakarta untuk mendapatkan data-data yang memiliki relevansi dengan penelitian yang dilakukan seperti data mengenai jumlah pengidap HIV di Kota Surakarta, data peserta VCT di RS Moewardi, data ODHA yang memasuki fase AIDS, Profil KDS Solo Plus, Profil KPA Kota Surakarta, Profil Yayasan Mitra Alam, dan Profil Program WPA. 49
Suharsini Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, (Jakarta:Rhineka Cipta, 1998), h. 206.
51
6. Teknik Analisis Data Terdapat tiga komponen utama dalam proses analisis kualitatif yang sangat penting untuk dipahami oleh setiap peneliti. Tiga komponen utama tersebut antara lain sebagai berikut50 :
a. Sajian Data Setelah peneliti melakukan wawancara kepada 9 responden yang telah ditentukan. Hal yang dilakukan peneliti kemudian adalah membuat transkrip atas wawancara yang telah dilakukan tersebut. Transkrip wawancara itu kemudian dijadikan sebagai acuan penelitin dalam membuat kategori data yang nantinya akan digunakan dalam penelitian. Pengelompokan atau pengkategorian data tersebut tentu saja disesuaikan dengan rumusan masalah yang akan dibahas dalam penelitian ini, yakni komunikasi interpersonal ODHA di wilayah Kelurahan Timuran dengan warga di sekitarnya agar kehadirannya dalam masyarakat dapat diterima denggan baik. b. Reduksi Data Setelah dilakukan kategorisasi data, kemudian proses yang dilakukan selanjutnya adalah menyeleksi data yang telah terkumpul. Data yang telah terkumpul tersebut dipilah dalam 2 golongan. Data yang dapat digunakan dan memiliki relevansi terhadap permasalahan yang diteliti, dan data yang tidak memiliki relevansi dengan permasalahan yang diteliti. Proses ini 50
H.B Sutopo, Metodologi Penelitian Kualitatif: Dasar Teori dan Terapannya dalam Penelitian, (Surakarta: Universitas Sebelas Maret, 2006), h. 113.
52
dilakukan dengan tujuan untuk mempermudah peneliti dalam menarik kesimpulan. c. Penarikan dan Pengujian Kesimpulan Reduksi data yang telah dilakukan sebelumnya telah membantu peneliti dalam menarik kesimpulan. Selanjutnya, dilakukan proses pengujian atas penarikan kesimpulan tersebut dengan cara menguji kesesuaian kesimpulan yang diperoleh selama proses penelitian dengan rumusan masalah yang sudah ditentukan dalam penelitian. Bila kesimpulan sudah mampu menjawab pertanyaan pada rumusan masalah, maka penelitian tersebut sudah selesai. Dalam penelitian mengenai komunikasi interpersonal ODHA ini, peneliti menggunakan cara analisis interaktif antara 3 komponen utama analisis yang kemudian dilanjutkan dengan proses pengumpulan data selanjutnya. Metode analisis berbentuk siklus ini disebut dengan metode analisis interaktif. Dalam metode ini, peneliti tetap bergerak di antara tiga komponen utama tersebut dan melakukan pengumpulan data sampai waktu penelitiannya berakhir51. Bagan 1.6 Model Analisis Interaktif Pengumpulan data Sajian Data
Reduksi data Penarikan Simpulan/verifikasi
Sumber : Sutopo, Metode Penelitian Kualitatif, 2006 : 113 51
Ibid, h.119.
53
Melalui gambar tersebut kita dapat melihat bahwa peneliti dapat selalu membuat reduksi dan sajian data pada saat pengumpulan data berlangsung. Hal ini berarti bahwa data yang diperoleh dari lapangan sudah berupa data yang telah digali dan dicatat. Kemudian melalui data tersebut peneliti dapat menyusun rumusan pengertiannya secara singkat berupa pokok-pokok temuan yang dianggap penting dan terkait dengan peristiwa yang dikaji yang kemudian disebut dengan reduksi data untuk selanjutnya dilakukan penyusunan sajian data berupa kriteria sistematis dan logis dengan suntingan penelitiannya agar makna peristiwa dapat dipahami dengan lebih jelas. Data yang disusun secara sistematis tersebut dilengkapi dengan kelengkapan sajian seperti gambar, matriks dan tabel agar mendukung kekuatan sajan data. Selanjutnya, dari data yang disajikan tersebut dilakukan penarikan kesimpulan yang bersifat sementara untuk kemudian dilanjutkan dengan proses verifikasi. Saat pengumpulan data sudah berakhir, peneliti dapat mulai melakukan usaha dalam bentuk pembahasan untuk menarik simpulan dan verifikasinya berdasarkan segala hal yang terdapat dalam reduksi maupun sajian datanya. Bila simpulan dirasa kurang mantap, maka peneliti wajib melakukan pengumpulan data yang sudah terfokus untuk mencari pendukung simpulan yang telah dikembangkannya dan juga sebagai usaha bagi pendalaman data. Melalui penjelasan tersebut, tentu jelas bahwa keseluruhan proses berlangsung dalam bentuk siklus.
54
7. Validitas Data Untuk menguji keabsahan data yang didapat dalam penelitian ini, peneliti menggunakan teknik trianggulasi. Teknik triangulasi merupakan cara yang paling lazim digunakan dalam peningkatan validitas data dalam penelitian kualitatif. Patton mengutarakan ada 4 macam teknik trianggulasi validitas data, yakni: trianggulasi data (data triangulation), trianggulasi peneliti (investigator triangulation), trianggulasi metodologi (methodological triangulation), dan trianggulasi teoritis (theoretical triangulation)52. Meskipun demikian, dalam penelitian ini penulis menggunakan trianggulasi data atau data triangulation. Trianggulasi data atau yang juga sering disebut trianggulasi sumber merupakan
teknik
validitas
data
dengan
mengarahkan
peneliti
untuk
menggunakan beragam sumber dalam proses pengumpulan data untuk kemudian dibandingkan satu dengan yang lainnya. Dengan kata lain, teknik ini menitik beratkan pada perbedaan sumber data. Dengan menggali data dari beberapa sumber yang berbeda dan dari teknik pengumpulan data yang berbeda, sebuah data dapat teruji kebenarannya. Dalam melakukan triangulasi data, penulis membandingkan data yang serupa dari satu sumber dengan sumber yang lain. Terkait dengan pengujian validitas data dalam penelitian ini, penulis tidak semata mengambil hasil dari 1 sumber saja. Penulis membandingkan antara data yang diperoleh dari wawancara dengan ODHA, wawancara dengan masyaraka, wawancara dengan pengurus KDS Solo Plus, dan tentu saja dengan data yang diperoleh penulis melalui observasi. 52
Ibid, h. 92
55
Melalui perbandingan tersebu, maka penulis dapat mengambil hasil pencocokan dari beragam sumber tersebut sebagai hasil yang akurat.