BAB I
PENDAHULUAN
1.1.
Latar belakang penelitian
Pencapaian utama masa dewasa awal berkaitan dengan pemenuhan intimasi tampak dalam suatu komitmen terhadap hubungan yang mungkin menuntut pengorbanan dan kompromi, yaitu pernikahan (Erickson dalam Friedman dan Schustack, 2008). Rini dan Retnaningsih (2008) menyebutkan bahwa pernikahan adalah merupakan suatu hubungan yang diakui secara sosial antara seorang pria dan seorang wanita serta di dalam hubungan tersebut terdapat pola hubungan seksual, hak membesarkan anak secara legal dan membangun suatu divisi pekerjaan dengan pasangan. Setiap individu yang melakukan pernikahan tentunya menginginkan pernikahan yang sejahtera serta dalam keadaan yang baik. Stenberg (dalam Papalia, Olds dan Feldman, 2008) menjelaskan bahwa pernikahan dilakukan oleh pria dan wanita dewasa atas dasar cinta. Cinta membawa pasangan manusia memulai fase baru dalam kehidupan mereka dengan membentuk suatu sistem yang dinamakan rumah tangga. Hubungan suami-istri berdasarkan cinta memiliki tiga komponen dasar yaitu Keintiman, Hasrat dan Komitmen. Intimasi merupakan elemen emosional yang mencakup pengungkapan diri yang mengarah kepada keterhubungan, kehangatan dan kepercayaan. Hasrat, merupakan elemen motivasional, didasarkan oleh dorongan batin yang mengarah pada fisiologis melalui hasrat seksual. Komitmen,
1
yang merupakan elemen kognitif, adalah keputusan untuk mencintai dan untuk terus dicintai. Sebuah rumah tangga terdiri atas suami dan istri. Menurut Hapsariyanti dan Taganing (2009) keinginan untuk hidup dengan rumah tangga yang aman, sejahtera dan bahagia tentunya dimiliki oleh setiap pasangan suami-istri. Suami merupakan pasangan istri, dirinya mengepalai sebuah sistem yang dinamakan rumah tangga. Suparyanto (2011) menyimpulkan bahwa suami adalah pria yang menjadi pasangan hidup resmi seorang wanita yang telah menikah. Seorang suami memiliki tanggung jawab yang penuh dalam suatu sistem rumah tangga. Hal ini karena suami sangat dituntut bukan hanya sebagai pencari nafkah akan tetapi suami juga berperan sebagai motivator dalam berbagai kebijakan yang akan diputuskan dalam suatu keluarga. Tetapi tidak semua rumah tangga dapat memiliki hal tersebut. Beberapa masalah akan terdapat dalam kehidupan rumah tangga, seperti halnya masalah penyakit yang diderita oleh seorang wanita yang berperan sebagai istri seperti kanker rahim. Kanker seperti yang dijelaskan secara sederhana oleh Mardiana (2004), yaitu sel yang tumbuh terus-menerus secara tidak terkendali, tidak terbatas, serta tidak dalam keadaan yang normal (abnormal). Ditambahkan oleh Jong (2004) kanker rahim kerap kali kasusnya ditemukan pada wanita yang berada dalam kisaran usia 40-60 tahun. Kanker rahim pada seorang istri menurut Maharani (2009) berawal saat seorang istri menyadari ada sesuatu yang aneh atau tidak biasa terjadi pada dirinya, seperti dirinya mudah lelah, merasakan sakit pada
2
bagian perutnya, sakit pada saat sedang berhubungan seksual, serta pendarahan dirinya akan mencari tahu apa yang terjadi dengan pergi ke dokter. Elvira (2009) menyebutkan saat mengetahui bahwa dirinya terkena kanker rahim seorang istri akan sangat terpukul dan bayangan pertama yang dimilikinya adalah kematian walaupun tetap dirinya memiliki peluang untuk hidup. Seorang istri yang divonis menderita kanker rahim akan melewati beberapa tahap hingga dirinya dapat menerima kanyataan tersebut. Menurut Kubbler dan Ross (dalam Papalia, Olds dan Sperman, 2008)
seorang yang menghadapi
kehilangan dan kedukaan karena suatu situasi tertentu akan melewati tahapan seperti Denial (penyangkalan), Angry (marah), Berganing (tawar-menawar), Depresion (depresi) dan terakhir Acceptance (penerimaan). Kondisi ini dapat terjadi tidak hanya sekali, tetapi dapat berulang seperti saat dirinya harus menjalani suatu proses pengobatan seperti pengangkatan rahim. Selanjutnya Maharani (2009) mengatakan bahwa pengobatan yang dijalani oleh seorang istri penderita kanker rahim adalah kombinasi dua (2) pengobatan, seperti radiasi dan histeroktomi, yaitu pengangkatan sebagian rahim atau seluruh bagian rahim. Elvira (2009) menjelaskan setelah melewati tahapan-tahapan penerimaan tentang penyakit kanker rahim yang dideritanya, seorang istri yang harus menjalani pengangkatan rahim akan kembali merasakan penyangkalan kalau hal tersebut tidak harus terjadi, kemarahan karena mengapa hal ini harus terjadi pada dirinya, menawar-nawar mengenai kemungkinan kalau rahimnya tidak perlu diangkat, depresi karena tidak ada pilihan lain setelah itu menerima kalau dirinya harus menjalani pengangkatan rahim. Dampak dari pengobatan tersebut akan terlihat baik secara fisik maupun psikologis.
3
Hal serupa juga terjadi pada diri seorang suami yang memiliki istri penderita kanker rahim. Elvira (2009) menyebutkan bahwa suami juga mengalami apa yang dialami seorang istri, walaupun biasanya lebih ringan. Bahkan terkadang seorang suami dapat mengalami depresi yang cukup dalam saat mengetahui bahwa istrinya menderita kanker rahim. Banyak emosi yang berkecamuk dalam diri suami saat mendampingi dan merawat istrinya yang menderita kanker rahim. Emosi didefinisikan Atwater (dalam Hude, 2006) sebagai suatu kondisi kesadaran yang kompleks, mencakup sensasi didalam diri dan ekspresi yang keluar memiliki kekuatan memotivasi untuk bertindak. Hal ini diperkuat juga berdasarkan wawancara pendahuluan yang dilakukan terhadap salah satu subjek, yaitu subjek E. E memiliki istri penderita kanker ovarium. Di dalam ovarium sebelah kiri dan kanan F istri E terdapat tumor ganas yang merupakan kanker, berawal dari kista. F sudah dua kali menderita kanker ovarium ini. Kali pertama ovarium sebelah kiri F diangkat. E menyikapinya dengan sabar dan ikhlas istrinya melakukan pengangkatan ovarium. Dua (2) tahun setelah itu ternyata di dalam ovarium sebelah kanan kembali ditemukan kista yang semakin membesar dan kali ini juga merupakan kanker stadium 2 B. E yang memiliki kepribadian tertutup merasa tertekan dengan emosi-emosi negatifnya seperti perasaan takut, cemas, marah , putus asa, iri. Hal ini dirasakan karena satu sisi E takut dan cemas atas kondisi istrinya. Marah karena merasa adanya ketidakadilan dalam hidup E, kecewa karena pada akhirnya E dan istrinya F tidak lagi punya harapan untuk memiliki anak. E memang mencintai F tapi disisi lain ada perasaan sedih karena dirinya dan istrinya belum dikaruniai anak. Apabila rahim F diangkat seluruhnya berarti rumah tangga
4
mereka benar-benar tidak akan ada anak dalam rumah tangga mereka yang sudah berjalan dua belas tahun (12 th) pada saat itu. Karena hal ini, E sempat depresi, banyak pemikiran negatif didalam dirinya. E sempat menyatakan akan meninggalkan F. E juga sempat pergi meninggalkan F selama hampir 6 bulan sebelum akhirnya kembali kepada F dan membangun rumah tangga mereka kembali. Bedasarkan hal tersebut diatas, terdapat pencampuran perasaan emosi negatif dan emosi positif pada saat seorang suami mendampingi istri menderita kanker rahim, yaitu emosi negatif dan emosi positif. Emosi negatif menurut Mendatu (2007) adalah emosi yang dirasakan seorang individu maupun orangorang lain disekitarnya, yang termasuk emosi negatif adalah sedih, marah cemas, benci dan lain sebagainya. Dilanjutkan Mendatu (2007) sedangkan emosi positif adalah pemicu timbulnya kesejateraan emosional dan dapat memfasilitasi pengelolaan emosi negatif. Yang termasuk emosi positif adalah cinta, bahagia, gembira, bangga, senang dan sebagainya. Untuk dapat bertahan dengan keadaan yang terjadi serta menuju keadaan yang lebih baik secara bersama-sama seorang suami harus dapat menanggulangi emosi negatifnya dan meregulasi atau mengelola emosi dengan baik (Goleman, 2002). Menurut Gross (2007) regulasi emosi adalah cara seorang individu untuk mempengaruhi emosi yang dirinya miliki, kapan dirinya merasakannya dan bagaimana dirinya mengalami emosi tersebut serta mengekspresikannya dalam tingkah laku. Regulasi emosi juga dapat diartikan sebagai
kemampuan
untuk
mengevaluasi
dan
mengubah
reaksi-reaksi
emosional untuk bertingkah laku tertentu yang sesuai dengan situasi yang terjadi.
5
Gross (dalam Yuhana, 2007) menjelaskan bahwa regulasi emosi mempengaruhi proses mental (ingatan, pengambilan keputusan) dan tingkah laku yang nyata (tingkah laku menolong). Dengan demikian regulasi emosi sangatlah diperlukan karena beberapa bagian dari otak manusia menginginkan untuk melakukan sesuatu pada situasi tertentu, sedangkan bagian lainnya menilai bahwa rangsangan emosional ini tidak sesuai dengan situasi yang terjadi, sehingga membuat seorang individu melakukan sesuatu yang lain atau tidak melakukan apapun. Regulasi emosi sangat diperlukan bagi suami yang memutuskan untuk bertahan dan mendampingi saat istri berjuang melawan kanker rahim. Hal tersebut bukan hanya untuk sang istri, tetapi juga berguna untuk diri suami itu sendiri agar dirinya juga dapat menerima situasi yang tidak lagi sama seperti dulu. Bahkan apabila dirinya belum dikaruniai anak, suami harus menerima bahwa anak tidak akan hadir dari diri istrinya (Elvira, 2009). Berdasarkan apa yang telah diuraikan diatas peneliti akan melakukan penelitian mengenai emosi dan regulasi emosi suami yang memiliki istri menderita kanker rahim dalam mendampingi dan merawat istrinya. 1.2.
Rumusan Masalah
Penelitan ini memfokuskan beberapa rumusan masalah yang terkait dengan penelitian yang akan dilakukan, yaitu: 1. Bagiamana gambaran emosi suami yang memiliki istri penderita kanker rahim ? 2. Bagaimana regulasi emosi yang dimiliki suami yang memiliki istri penderita kanker rahim ?
6
1.3.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan dan memahami gambaran emosi dan regulasi emosi yang dimiliki dan dilakukan suami dalam mendampingi dan merawat istri yang menderita kanker rahim. 1.4. •
Manfaat
Aspek Teoritis Penelitian ini berguna secara teoritis untuk mengetahui dan memahami emosi dan regulasi emosi suami yang memiliki istri penderita kanker berdasarkan teori-teori yang mendukung aspek emosi dan regulasi emosi beserta teori-teori pendukung lainnya.
•
Aspek Praktis Peneliti berharap dapat memberikan manfaat serta memberikan masukan bagi :
1. Suami yang memiliki istri menderita kanker rahim agar dirinya dapat mengetahui apa saja emosi yang dirasakan serta bagaimana cara seorang suami yang memiliki istri penderita kanker rahim meregulasi emosinya. 2. Istri penderita kanker rahim agar dirinya dapat mengetahui apa saja emosi yang dirasakan suaminya dan bagaimana regulasi emosi suami dalam mendampingi serta merawat dirinya sebagai penderita kanker rahim. Hal ini berguna agar meminimalisir prasangka yang mungkin dipikirkan istri terhadap sikap suami. 3. Pembaca lainnya sebagai referensi gambaran emosi dan regulasi emosi yang dilakukan suami yang memiliki istri menderita kanker rahim.
7
1.5.
Sistematika Penulisan
BAB I
Berisikan pendahuluan, latar belakang penelitian, rumusan masalah penelitian, tujuan penelitian, manfaat penelitian, serta sistematika penulisan.
BAB II
Berisikan kajian teori yang digunakan dalam penelitian dan kerangka pemikiran.
BAB III Berisikan
pendekatan
penelitan,
subjek
penelitian,
teknik
pengumpulan data (wawancara dan observasi), alat bantu pengumpulan data, teknik analisa data, definisi operasional dan karakteristik subjek. BAB IV Berisikan Hasil penelitian, analisis, serta pembahasan terkait dengan teori-teori yang digunakan. BAB V Berisikan kesimpulan, diskusi dan saran tentang hasil penelitian yang dilakukan.
8