BAB I PENDAHULUAN
I.1 Judul PEMBERDAYAAN PEREMPUAN BERBASIS MASYARAKAT
“Studi Program Pengembangan Industri Rumah Tangga Jamu Tradisional di Desa Argomulyo, Kec. Sedayu, Kab. Bantul Yogyakarta oleh PT Pertamina TBBM Rewulu” I.2 Alasan Pemilihan Judul Pada hakikatnya manusia baik laki-laki maupun perempuan diciptakan setara untuk saling melengkapi satu sama lain. Perbedaan fisik maupun biologis yang ada tidaklah membuat peran dan tugas dari masing-masing gender di kehidupan bermasyarakat menjadi berbeda. Akan tetapi sejarah telah mencatat, perbedaan fisik telah menimbulkan konstruksi sosial dalam pembagian peran dan tugas masing-masing di kehidupan sehari-hari. Dalam perkembangannya, konstruksi sosial terkait gender di masyarakat telah menimbulkan berbagai diskriminasi dan marginalisasi bagi perempuan. Di Indonesia sendiri praktik-praktik diskriminasi dan kebijakan yang sangat bias gender masih tumbuh dengan subur. Hal tersebut dapat kita saksikan dari berbagai olahan data statistik yang masih menunjukkan secara umum kaum perempuan berada pada posisi yang kurang menguntungkan jika dibandingkan dengan kaum laki-laki. Dalam rangka meningkatkan kondisi dan taraf hidup perempuan, maka pembangunan bagi kaum perempuan sangat diperlukan. Salah satu cara yang dapat ditempuah adalah dengan skema kebijakan pembangunan yang merata kepada seluruh masyarakat, laki-laki dan perempuan serta tidak bias gender. Perempuan haruslah dipandang sebagai aset dan subjek dalam pembangunan, tidak hanya semata-mata sebagai penerima manfaat pasif. Itu artinya pengintegrasian perempuan dalam program pemberdayaan menjadi penting. Selain itu, perempuan juga harus diberikan akses dan peluang yang sama dengan laki-laki terhadap sumberdaya (informasi, faktor produksi, pasar, pendidikan, jaringan, modal dsb). Dengan adanya keterlibatan perempuan tersebut, maka secara lambat laun akan terjadi pengkapasitasan diri perempuan yang akan mengikis kesenjangan antara laki-laki dan perempuan di berbagai bidang. Perempuan yang berdaya tentu akan meningkatkan kualitas SDM bangsa yang sangat berguna bagi keberlangsungan proses pembangunan. Satu hal 1
yang perlu digarisbawahi adalah upaya pemberdayaan perempuan tidaklah selalu harus dimaknai sebagai upaya dekonstruksi ideologi dan sistem nilai atau budaya patriarki yang telah melembaga di masyarakat, akan tetapi juga dapat dimaknai sebagai upaya menolong perempuan agar mampu terhindar dari kondisi yang tidak menguntungkan baik secara sosial maupun ekonomi. Mengingat pemberdayaan bagi perempuan ini bersifat multi dimensi dan begitu kompleks maka tentu perlu sebuah pendekatan pemberdayaan yang bersifat holistik. Salah satu upaya dari pemerintah untuk mewujudkannya adalah dengan melaksanakan skema gender mainstreaming atau yang dikenal juga dengan pengarus-utamaan gender (PUG).1 Metode implementasi PUG ini juga beragam. Disamping mengalokasikan anggaran khusus kepada kementerian pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak (KPPPA), pemerintah juga mengucurkan dana untuk PUG kepada beberapa kementerian.2 Disatu sisi pembagian anggaran untuk pemberdayaan perempuan ke beberapa kementerian ini memberikan dampak positif karena cakupan bidang pemberdayaan semakin luas tergantung dengan kapasitas masing-masing kementrian. Akan tetapi, disisi lainnya kebijakan anggaran yang bersifat sektoral seperti ini akan rawan terjadi tumpang tindih program serta penyerapan anggaran seringkali tidak efektif akibat minimnya kordinasi dan ego sektoral masing-masing lembaga kementerian. Selain itu, keterbatasan anggaran yang di kucurkan oleh pemerintah untuk program-program PUG juga menjadi kendala. Untuk tahun 2013 alokasi dana APBN untuk pemberdayaan perempuan untuk 7 kementrian dan lembaga pelaksana PUG hanya sebesar 191,8 milyar rupiah meningkat dari alokasi tahun 2012 yang sebesar 107 milyar rupiah (Kemenkeu, 2013). Dana sebesar itu digunakan untuk meng-cover lebih dari 118 juta penduduk perempuan (BPS, 2010). Anggaran ini jauh lebih kecil jika dibandingkan dengan Swedia yang menganggarkan lebih dari 597 milyar rupiah (400 Swedish Krona) untuk kebijakan kesetaraan gender bagi sekitar 4,58 juta penduduk perempuan. Anggaran yang dialokasikan tersebut belum termasuk dana untuk mendorong kewirausahaan bagi perempuan sebesar 448 milyar rupiah (300 Swedish Krona) dan juga 164,2 milyar rupiah (110 Swedish Krona) untuk inisiasi pembelajaran kesadaran kesetaraan gender di sekolah-sekolah. Keterbatasan anggaran untuk program-program pemberdayaan perempuan secara implisit menunjukkan kurangnya political will dari pemerintah untuk fokus dalam meningkatkan kualitas hidup perempuan. Pemberdayaan ‘setengah hati’ ini juga tercermin dari belum adanya grand 2
design pemberdayaan perempuan secara menyeluruh. Pemberdayaan selalu dipandang sebagai permasalahan sektoral saja, sehingga penengananya pun diupayakan secara parsial. Pada praktik dilapangan pun seringkali para aparatur pemerintah pelaksana program salah dalam menafsirkan makna dari pemberdayaan perempuan. Mereka lebih banyak melihatnya sebagai program PUG. Namun demikian, program pengarusutamaan gender tersebut pun dipahami beragam; antara lain sebagai program khusus perempuan, program penyadaran gender, program kesetaraan gender, sosialisasi dan pelatihan gender, dll. PUG hanya dipahami sebagai suatu program kegiatan yang ketika kegiatan itu telah dilaksanakan maka PUG sudah dianggap terlaksana tanpa melihat lagi dampak secara holistik (luas) mulai dari perencanaan sampai pada evaluasi rangkaian kebijakan dan program sebagaimana diamanatkan dalam kebijakan negara tentang PUG. Oleh karena itu, tidaklah heran jika banyak program-program yang mengatasnamakan pemberdayaan perempuan hanyalah sekedar program karitatif (pemberian alat produksi, pemberian kontrasepsi KB dsb), sosialisasi, penyuluhan maupun lokakarya. Terlepas dari berbagai program yang sifatnya karitatif tersebut sebenarnya ada juga program pemberdayaan perempuan yang memiliki desain program yang baik seperti Program Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir (PEMP) dari DKP yang memberikan perhatian khusus bagi pemberdayaan istri-istri nelayan dan Program Pemberdayaan Perempuan Kepala Keluarga (Pekka). Namun dalam praktik implementasinya program ini sering mengalami kendala terutama terkait aspek monitoring dan evaluasi program, sehingga kemudian banyak program yang macet dan tidak tepat sasaran. Selain itu kendala lain yang sering dihadapi adalah masalah pendanaan akibat keterbatasan anggaran dan keterbatasan personil pendamping pemberdayaan (fasilitator) dari pihak pemerintah. Adanya berbagai kendala ini pada akhirnya menjadikan cakupan daerah pelaksanaan program pun menjadi terbatas. Keterbatasan kemampuan pemerintah dalam mewujudkan pemberdayaan bagi perempuan secara merata dan menyeluruh janganlah sampai menyurutkan niat kita sebagai bangsa untuk tetap mengkampanyekan kesetaraan dan keadilan gender. Kesetaraan dan keadilan gender dalam konteks ini adalah dimana perempuan memperoleh kesamaan hak, akses dan turut serta menjadi bagian dari proses pembangunan seperti halnya kaum laki-laki. Dengan demikian perempuan menjadi lebih mandiri dan memiliki otonomi atas dirinya sendiri. Dalam sudut pandang negara kemandirian dan produktivitas perempuan merupakan modal yang cukup besar dalam rangka meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Dari sudut pandang masyarakat, perempuan yang berdaya 3
tentu akan memperkaya ide, gagasan, kreativitas dan sumber daya manusia handal yang dapat di gunakan sebagai aset pembengunan. Selain itu perempuan yang produktif dan mandiri dibidang ekonomi juga akan meringankan beban ketergantungan terhadap suami sebagai pencari nafkah utama sekaligus menambah pemasukan ekonomi keluarga. Guna mewujudkan perempuan Indonesia yang berdaya dan mandiri perlu komitmen yang kuat dari seluruh entitas bangsa dalam pembangunan dan pemberdayaan perempuan. Setidaknya terdapat 3 aktor utama yang berperan dalam pembangunan termasuk didalamnya pemberdayaan yakni pemerintah, sektor industri / bisnis, dan masyarakat (Rogers, 2004). Sinergi antara pihak pemerintah sebagai regulator dan pengawas, entitas industri / bisnis melalui program Corporate Social Responsibility (CSR) nya sebagai funding sekaligus pelaksana program serta masyarakat sebagai subjek serta objek program pemberdayaan, diharapkan mampu memberikan terobosan baru dalam upaya memberdayakan masyarakat di daerah-daerah yang selama ini belum mampu dijangkau oleh program pemberdayaan dari pemerintah. Salah satu program pemberdayaan perempuan yang melibatkan entitas bisnis sebagai salah satu stakeholdernya adalah program pemberdayaan bagi perempuan penjual jamu tradisional di Desa Argomulyo, Kecamatan Sedayu, Kabupaten Bantul, Yogyakarta yang dilaksanakan oleh PT Pertamina TBBM Rewulu. Para perempuan penjual jamu di Desa Argomulyo ini tergabung dalam kelompok jamu Seruni Putih I dan II (kini bernama JHM) yang telah terbentuk sejak tahun 2002 dan baru terorganisir secara baik semenjak tahun 2006 lalu. Kelompok jamu Seruni Putih / JHM ini memiliki peranan sentral sebagai tempat berinteraksi sekaligus penyaluran aspirasi dari masyarakat. Adanya lembaga yang menaungi aktivitas kolektif kelompok ini diharapkan mampu memperkuat bargaining position (posisi tawar) para anggota kelompok terhadap aktor di luar kelompok ataupun pasar. Selain itu, dengan adanya wadah kelompok ini juga akan memudahkan intervensi dan treatment yang dilakukan oleh stakeholder terkait (baik dalam bentuk penyaluran ide-ide, gagasan, sumber daya, informasi, maupun pengetahuan). Pemberdayaan bagi perempuan kelompok jamu Seruni Putih dan JHM oleh PT Pertamina TBBM Rewulu ini tentunya menarik untuk dikaji secara lebih mendalam, terutama untuk melihat bagaimana praktek intervensi entitas bisnis dalam pemberdayaan perempuan.
4
Pada dasarnya penelitian dan paparan ilmiah yang membahas tentang pemberdayaan bagi perempuan telah banyak dilaksanakan dan dipublikasikan baik dari segi konsep, hukum, teknis pelaksanaan, hingga evaluasi suatu program. Salah satu penelitian pemberdayaan perempuan, khususnya pemberdayaan terhadap kelompok jamu adalah Pemberdayaan Perempuan Pengrajin Jamu Gendong di Dusun Kiringan, Canden, Jetis Kab. Bantul, yang dilaksanakan oleh Penny Rahmawaty dkk, staf pengajar Fakultas Ilmu Sosial dan Ekonomi UNY. Fokus utama penelitian ini adalah pemberian treatment pemberdayaan bagi sekitar 120 perempuan pengurus dan anggota kelompok pengrajin jamu gendong yang tergabung dalam Koperasi Mawar Putih. Pemberdayaan ini dilaksanakan dalam dua tahapan, yang pertama adalah pemberdayaan koperasi dan pelatihan pengelolaan usaha bagi 19 orang pengurus kelompok, termasuk didalamnya tata cara pembukuan dan administrasi sedangkan tahap kedua adalah pelatihan penguasaan teknologi pembuatan jamu serbuk dengan menggunakan peralatan yang lebih modern seperti mesin parut dan mesin giling untuk bahan baku jamu bagi seluruh anggota kelompok. Dengan adanya program pemberdayaan ini diharapkan mempu meningkatkan efisiensi dan produktivitas pengrajin jamu sehingga income (pendapatan ekonomi) bagi masyarakat pun bertambah. Penelitian berikutnya yang masih terkait dengan tema pemberdayaan perempuan kelompok jamu adalah penelitian yang dilaksanakan oleh Harmona Daulay, dosen Departemen Sosiologi FISIP USU. Penelitian ini mengambil tema Pemberdayaan Perempuan : Studi Kasus Pedagang Jamu di Gedung Johor Medan, yang menyoroti pola pemberdayaan bagi wanita pedagang jamu asal Jawa Tengah oleh LSM perempuan di Medan YP2M (Yayasan untuk Perempuan Perkotaan Medan). Pemberdayaan bagi sekitar 100 orang pedagang jamu ini dilakukan dengan memberikan pendampingan dan pelatihan untuk pengembangan UKM jamu. Selain itu juga diberikan bantuan pinjaman modal usaha yang besarnya berkisar antara Rp. 500.000 hingga Rp. 1.500.000. Pola pengembalian adalah dengan mencicil selama 10 hingga 12 bulan yang ditambah dengan biaya administrasi 10 %. Dalam paparannya peneliti juga menyoroti tentang keberhasilan YP2M dalam hal : 1) Pengorganisasian kelompok jamu dalam wadah organisasi aktif, 2) Pelayanan modal bagi pedagang jamu, 3) Pelayanan pasar, melalui serangkaian informasi terkait perluasan pasar serta strategi ekspansi kedepan. Selain itu YP2M juga aktif mengajak para pedagang jamu untuk ikut dalam kegiatan pameran / bazar untuk mengenalkan produk jamu bagi kalangan menengah atas, 4) Pelayanan informasi dalam bentuk support YP2M terhadap isu dan informasi aktual terkait 5
permasalahan UKM dan kebijakan pemerintah setempat yang secara berkala diinformasikan bagi pera pedagang jamu. Selain hal yang telah disebutkan diatas, peneliti juga memberikan apresiasi terhadap YP2M atas upaya penyadaran kesetaraan gender, karena selama ini upaya diskriminasi dan dominasi salah satu gender (laki-laki) umumnya masih sangat kental di kalangan pedagang jamu, terutama yang berasal dari Jawa. Penelitian lainnya yang membahas isu pemberdayaan perempuan juga diangkat oleh Nanda Rahmadhani, mahasiswi Departemen Ilmu Komunikasi FISIP USU, di dalam skripsinya yang berjudul Tenaga Lapangan sebagai Agen Perubahan dan Pemberdayaan Perempuan (Studi Kasus tentang Peranan Tenaga Lapangan sebagai Agen Perubahan terhadap Pemberdayaan Perempuan pada Yayasan untuk Perempuan Perkotaan Medan). Dalam skripsinya peneliti menyoroti peran aktif tenaga fasilitator lapangan YP2M dalam kegiatan pemberdayaan bagi perempuan baik itu sebagai sumber informasi, motivator sekaligus agen perubahan. Fasilitator lapangan ini juga aktif terlibat dalam setiap aktivitas kelompok binaan YP2M, termasuk juga di dalamnya kelompok jamu. Keberhasilan dari suatu proses pemberdayaan selain ditentukan oleh kemauan masyarakat juga ditentukan oleh kecakapan dan keuletan fasilitator dalam membimbing masyarakat adalah poin pokok yang ingin disampaikan oleh peneliti dalam penelitiannya kali ini. Penelitian berikutnya yang membahas tentang program pemberdayaan perempuan adalah penelitian tesis yang dilaksanakan oleh Tri Samnuzulsari, mahasiswi pascasarjana (S2) Sosiologi minat Kebijakan dan Kesejahteraan Sosial FISIPOL UGM yang berjudul Peningkatan Kapasitas Perempuan Kepala Keluarga (Pekka) dalam Pemberdayaan Pekka di Kec. Gerung, Kabupaten Lombok Barat. Penelitian tesis ini mencermati pelaksanaan program pemberdayaan dalam aspek peningkatan kapasitas Pekka yang ditinjau dari empat aspek yaitu : keterlibatan, kemandirian, keterbukaan dan keberlanjutan. Dalam penelitiannya, peneliti mengindikasikan adanya berbagai peningkatan keterlibatan dan kemandirian anggota Pekka yang dapat dilihat dari keaktifan dan kemampuan anggota Pekka untuk mengikuti dan melaksanakan kegiatan pemberdayaan yang ada. Dari segi aspek keterbukaan program sendiri masih belum memberikan hasil yang optimal dalam peningkatan kapasitas Pekka. Hal ini juga dapat terlihat dari belum meratanya perluasan manfaat yang dirasakan masyarakat umum. Sedangkan pada aspek keberlanjutan, ternyata belum
6
mencapai hasil yang diharapkan dalam peningkatan kapasitas Pekka, karena secara umum Pekka baru menuju pada aspek keterbukaan. Dari berbagai penelitian yang ada dan telah dipublikasikan hingga saat ini, penulis belum menemukan baik penelitian maupun paparan ilmiah lain yang secara khusus membahas kegiatan pemberdayaan perempuan kelompok jamu Seruni Putih / JHM di Desa Argomulyo, Kecamatan Sedayu, Kabupaten Bantul, D.I Yogyakarta. Mengingat penelitian ini merupakan studi spesifik di suatu wilayah tertentu dan dengan karakteristik masyarakat yang berbeda, tentu penelitian ini menjadi berbeda dengan penelitian-penelitian sejenis lainnya. Perbedaan mendasar penelitian ini dengan beberapa penelitian sejenis seperti yang telah diuraikan di atas antara lain terletak pada fokus penelitian yang lebih menekankan pada aspek aktivitas pemberdayaan yang berlangsung di kedua kelompok dalam kurun waktu 1 tahun terakhir (Juni 2012 - Mei 2013) oleh PT Pertamina TBBM Rewulu, mulai dari tahapan perencanaan dan desain program pemberdayaan, dinamika selama berlangsungnya proses pemberdayaan di masyarakat (pola partisipasi, aspek penguatan kapasitas individu dan kelompok, peta aktor, tantangan) hingga capaian yang telah dihasilkan, terutama dari aspek peningkatan pendapatan ekonomi bagi anggota kelompok jamu Seruni Putih dan JHM. Dengan adanya penelitian ini diharapkan mampu memberi gambaran secara objektif bagaimana praktek implementasi program pemberdayaan bagi perempuan kelompok jamu Seruni Putih dan JHM secara lebih komprehensif. Penelitian yang bertemakan pemberdayaan perempuan merupakan hal yang tidak asing lagi dalam diskursus pembangunan sosial. Jurusan Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan (PSdK) yang salah satu dari fokus kajiannya yaitu Community Development (pembangunan masyarakat), tentu menjadikan pemberdayaan perempuan sebagai salah satu isu strategis yang menjadi bagian dari proses pembelajaran. Sebuah entitas masyarakat tidak dapat dikatakan berdaya jika masih ada sebagian anggotanya (dalam hal ini kaum perempuan) yang masih tertinggal, terdiskriminasi dan tidak memiliki otonomi atas dirinya. Bagaimanapun juga perempuan harus mampu berdaya serta mandiri agar mampu berperan aktif dan berkontribusi dalam pembangunan seperti halnya kaum laki-laki. Mengingat pentingnya pemberdayaan perempuan untuk mengejar ketertinggalan perempuan dari laki-laki, maka tidaklah heran jika banyak kajian dan diskursus akademik terkait pemberdayaan perempuan di Jurusan PSdK. 7
I.3 Latar Belakang Dalam paradigma Ilmu Sosiologi kita mengenal adanya konsep nurture yang menyatakan bahwa adanya perbedaan laki-laki dan perempuan pada hakikatnya adalah hasil konstruksi sosial dan budaya sehingga menghasilkan peran dan tugas yang berbeda. Konstruksi sosial dan budaya yang dilekatkan baik bagi laki-laki maupun perempuan ini kemudian lazim disebut dengan istilah gender.3 Dalam proses perkembangannya di kehidupan masyarakat, konstruksi gender memicu adanya dikotomi sifat yaitu maskulin bagi laki-laki (seperti perkasa, berani, rasional, dan tegar) dan feminin bagi perempuan (seperti lemah, pemalu, penakut, emosional, rapuh, lembut dan gemulai) sehingga di masyarakat kaum laki-laki dikonstruksikan sebagai pelindung bagi kaum perempuan. Konstruksi sosial budaya seperti inilah yang kemudian memunculkan sistem budaya patriarki. Budaya dan ideologi patriarki ini menempatkan kedudukan dan posisi laki-laki lebih superior dari perempuan dalam segala aspek kehidupan, baik itu sosial, politik, budaya maupun ekonomi. Stereotip maskulin yang melekat pada laki-laki juga berpengaruh pada pola pembagian tugas di kehidupan sehari-hari. Pada masyarakat dengan budaya patriarki laki-laki berperan luas di sektor publik, sedangkan perempuan hanya berperan di sektor domestik (rumah tangga). Hal inilah yang kemudian menyebabkan kaum perempuan sulit berkembang dan cenderung tertinggal jika dibandingkan dengan kaum laki-laki. Di negara-negara barat seperti di Amerika Serikat dan eropa, budaya patriarki perlahan mulai terkikis seiring dengan perkembangan zaman. Kemajuan teknologi dan informatika, semakin membaiknya praktek demokrasi serta gencarnya tuntutan kesetaraan gender yang di serukan oleh para aktivis feminis moderen turut memiliki andil yang cukup besar dalam pengikisan budaya dan ideologi patriarki. Akan tetapi di negara-negara dunia ketiga termasuk juga Indonesia, ideologi patriarki ini masih sangat kental melekat di masyarakat, terutama bagi masyarakat tradisional. Bagi masyarakat tradisional sendiri ideologi patriarki telah membudaya dan diinternalisasi dalam kehidupan sehari-hari. Budaya ini dibentuk dan disosialisasikan dari generasi ke generasi secara turun temurun yang kemudian diwujudkan dalam pola perilaku dan interaksi sosial antar anggota masyarakat. Budaya patriarki dalam bentuk hegemoni laki-laki terhadap perempuan ini terlembagakan berkat adanya legitimasi dari nilai-nilai sosial, agama dan hukum adat masyarakat 8
setempat. Terlembaganya budaya patriarki dalam masyarakat telah membentuk pola hubungan yang bersifat asimetris antara laki-laki dan perempuan, dimana dalam kehidupan sosial, politik, ekonomi dan budaya perempuan diposisikan sebagai subordinasi dari laki-laki. Dengan kondisi seperti ini, perempuan secara sadar ataupun tidak telah kehilangan otonomi atas dirinya. Hal ini pada akhirnya berdampak pada semakin suburnya proses marginalisasi terhadap perempuan yang ditandai dengan eskalasi kekerasan dan eksploitasi terhadap perempuan baik di wilayah domestik maupun publik. Di Indonesia sendiri, terutama di lingkungan masyarakat tradisional yang masih menganut ideologi dan budaya patriarki, diskriminasi terhadap kaum perempuan dan ketidakadilan gender merupakan hal yang lumrah, walaupun sebenarnya secara konstitusional telah diatur larangan berbagai bentuk diskriminasi gender.4 Dalam kehidupan di rumah tangga misalnya, perempuan hanya dianggap sebagai ‘orang rumah’ yang mengurusi segala pekerjaan domestik dan melayani suami. Seringkali perempuan yang dilabelkan untuk bertanggungjawab mengurus rumah tangga ini masih harus bekerja diluar rumah baik itu untuk membantu suami maupun mencari tambahan penghasilan ekonomi keluarga.5 Selain itu, pengambilan keputusan di dalam rumah tangga pun selalu didominasi oleh laki-laki sebagai kepala rumah tangga. Bahkan adakalanya di dalam hal pembagian harta waris perempuan mendapat bagian lebih sedikit dari laki-laki, sehingga dalam hal kepemilikan faktor produksi, umumnya kaum perempuan lebih lemah dibandingkan laki-laki. Tidak jarang kepemilikan harta waris ini kemudian dialihnamakan kepemilikannya ke pihak lakilaki (suami). Upaya peminggiran (marginalisasi) dan pembatasan ruang gerak perempuan juga sering terjadi di ranah politik dan organisasi. Perempuan seringkali tidak diizinkan oleh suaminya untuk mengikuti organisasi sosial maupun terlibat aktif di dalam proses pembangunan dan perumusan kebijakan di daerahnya karena dikhawatirkan akan meninggalkan tugas dan tanggung jawabnya di rumah. Hal ini tentu saja sangat merugikan bagi kaum perempuan, karena berbagai aspirasi yang mengakomodasi kebutuhan dan keinginan kaum perempuan dalam proses pembangunan tidak dapat tersalurkan dengan baik sehingga produk kebijakan yang dihasilkan pun menjadi bias gender. Akibatnya, banyak program pemberdayaan yang hanya difokuskan kepada laki-laki saja
9
dan sangat jarang sekali menyentuh pada kaum perempuan. Inilah yang kemudian menyebabkan pembangunan bagi kaum perempuan jauh tertinggal dari kaum laki-laki. Ketertinggalan pembangunan kapasitas dan SDM bagi kaum perempuan ini dapat terlihat dari berbagai olahan data statistik yang menunjukkan bahwa kaum perempuan masih tertinggal apabila dibandingkan dari kaum laki-laki. Dari segi aspek pendidikan formal, data Susenas 2010 menyebutkan bahwa rasio kaum perempuan berumur 10 tahun keatas yang tidak / belum pernah sekolah berada di kisaran angka 9,04. Hal ini berarti bahwa, dari 100 orang perempuan berusia di atas 10 tahun di Indonesia sekitar 9 orang diantaranya tidak / belum pernah mengenyam bangku pendidikan formal, jauh diatas rasio laki-laki yang sebesar 3,94. Implikasi langsung dari kondisi ini tentu saja tingginya rasio buta huruf bagi kaum perempuan yang berusia diatas 15 tahun yaitu 9,48, jauh diatas rasio kaum laki-laki yang hanya 4,65. Dari aspek keterlibatan dalam kegiatan ekonomi dan pembangunan kaum perempuan juga tertinggal jika dibandingkan dengan laki-laki. Hal ini terlihat dari rendahnya persentase Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja atau TPAK kaum perempuan yaitu 51,76 % jika dibandingkan dengan kaum laki-laki yang sebesar 83,65 %. Dari segi persentase Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT), perempuan juga lebih tinggi (8,76 %) dari kaum laki-laki (7,51 %). Selain itu, dari segi penerimaan pendapatan dan upah kaum peempuan ternyata mendapat nominal yang lebih kecil dari laki-laki. Jika kaum perempuan mendapat upah sebesar Rp. 630.428,- di sektor pertanian dan Rp. 1.221.746,- di sektor non-pertanian per bulan, maka kaum laki-laki mendapatkan upah sebesar Rp. 959.604,- di sektor pertanian serta sebesar Rp. 1.593.629,- di sektor non-pertanian per bulan (Sakernas, Agustus 2010). Peran perempuan di sektor publik / organisasi sosial juga masih rendah jika dibandingkan dengan kaum laki-laki. Ini ditunjukkan dengan minimnya perempuan yang menempati posisi strategis di pemerintahan baik di tingkat pusat maupun daerah misalnya dari 33 provinsi hanya 1 provinsi yang dikepalai oleh perempuan, sedangkan dari 440 kabupaten / kota, hanya 8 saja yang dikepalai oleh perempuan. Melihat berbagai fenomena ketertinggalan pembangunan bagi kaum perempuan ini, maka sudah seharusnyalah pembangunan bagi kaum perempuan melalui berbagai upaya pemberdayaan perempuan menjadi fokus utama dalam setiap kebijakan pembangunan. Pembangunan bagi kaum perempuan ini tidaklah semata-mata hanya untuk mengubah susuanan relasi kekuasaan di dalam budaya patriarki yang lebih mengedepankan kaum laki-laki, akan tetapi pembangunan terhadap 10
kaum perempuan ini harus dipandang sebagai upaya untuk memenuhi hak-hak dasar perempuan sehingga mereka mampu berkontribusi bagi keluarga dan masyarakatnya. Perempuan haruslah juga dipandang sebagai bagian dari entitas masyarakat (sama seperti halnya kaum laki-laki) yang memiliki hak untuk mengaktualisasikan diri dan berkembang. Kebijakan pembangunan sekaligus program pemberdayaan yang berpihak kepada perempuan merupakan salah satu cara yang dapat ditempuh untuk meningkatkan harkat dan taraf hidup perempuan. Tentu saja pendekatan yang di gunakan dalam pemberdayaan perempuan memiliki ciri khas yang berbeda dari kaum laki-laki. Jika umumnya pemberdayaan bagi kaum laki-laki lebih bersifat fisik (tangible), maka pada kaum perempuan corak pemberdayaannya lebih kepada pemberian akses terhadap resources sekaligus peningkatan kapasitas diri (intangible). Dengan demikian berbagai hambatan baik yang bersifat struktural / sistemik, politik dan budaya yang membuat perempuan tidak berdaya menjadi hilang sehingga perempuan bebas menyuarakan aspirasinya, mengaktualisasikan diri serta ikut andil di dalam pengambilan keputusan di rumah tangga dan masyarakat. Secara lebih jauh pembangunan yang ramah gender juga akan membuka peluang terbukanya kesetaraan gender antara kaum lakilaki dan perempuan. Kesetaraan yang dimaksud disini adalah kesetaraan dalam hal akses kepada resources, pasar dan kekuasaan sehingga baik kaum laki-laki serta perempuan memiliki peluang yang sama untuk mengaksesnya. Pada akhirnya perempuan yang berdaya juga akan memberikan kontribusi yang cukup signifikan dalam menyejahterakan keluarga, sekaligus mengurangi beban ekonomi keluarga (dependensi rasio) yang ditanggung oleh suami atau kepala keluarga (apabila perempuan / istri tersebut bekerja). Dampak secara makro dari berdayanya perempuan tentu saja akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional sekaligus menaikkan angka HDI.
11
Berdayanya perempuan pada level rumah tangga, pasar dan masyarakat
Perempuan memiliki akses terhadap pasar
Pendidikan dan pelayanan kesehatan bagi perempuan yang lebih baik
Peningkatan tenaga kerja, produktivitas dan pendapatan bagi kaum perempuan
Pendapatan dan belanja konsumsi perempuan Penurunan kemiskinan pada saat ini dan pertumbuhan ekonomi (outcome)
Peningkatan dalam pengambilan keputusan di rumah tangga
Peningkatan aspek kesejahteraan (well-being) bagi anak-anak
Selisih pendapatan (tabungan)
Peningkatan pendidikan dan pelayanan kesehatan bagi anak, produktif ketika dewasa
Penurunan kemiskinan masa depan dan pertumbuhan ekonomi (sustainability)
Bagan I.1 Korelasi antara tingkat keberdayaan perempuan pada level rumah tangga, pasar dan masyarakat terhadap kontribusi perempuan dalam pengurangan kemiskinan dan pertumbuhan ekonomi nasional
Pemberdayaan perempuan haruslah menjadi perhatian utama dalam skema pembangunan manusia Indonesia untuk mengejar berbagai ketertinggalan kaum perempuan terhadap laki-laki. Perempuan yang berdaya tidak hanya memiliki hak otonom atas dirinya akan tetapi juga mampu berkontribusi dalam pembangunan baik itu dibidang ekonomi maupun sosial budaya. Perempuan yang mandiri secara ekonomi akan mampu mengurangi ketergantungan ekonomi terhadap suami sekaligus menambah penghasilan ekonomi bagi keluarga. Kemandirian ekonomi bagi perempuan merupakan semacam jaminan sosial bagi perempuan dan keluarganya ketika penghasil ekonomi utama dalam keluarga (suami) tiada. Perempuan yang berdaya secara ekonomi, memiliki skill dan keterampilan merupakan safety net bagi keluarga ketika terjadi perceraian atau suami yang meninggal. Perempuan tersebut otomatis akan menjadi kepala keluarga sekaligus pencari nafkah utama bagi anak-anaknya. Banyaknya masyarakat yang bekerja disektor informal serta ketidakpastian ekonomi di masa depan (bangkrut, PHK tanpa pesangon dan ketiadaan dana pensiun) dan resiko kehilangan sumber pencari nafkah utama (suami), merupakan peringatan bagi pemerintah dan masyarakat secara luas agar mengedepankan pemberdayaan ekonomi perempuan. Seringkali perempuan yang menjadi kepala keluarga dan menjadi tulang punggung ekonomi keluarga tidak 12
dapat survive dan menjadi miskin akibat ketidakberdayaannya secara sosial-ekonomi.6 Hal inilah yang kemudian menjadi kekhawatiran bersama mengingat kaum perempuan kepala keluarga ini tidak memiliki keterampilan dan pengetahuan (pendidikan) yang cukup untuk membantu mereka mengatasi kendala ekonomi yang dihadapi. Data Susenas 2010 juga menunjukkan dari 100 orang perempuan yang menjadi kepala keluarga, 72 orang berpendidikan SD ke bawah serta hanya 28 orang saja yang memiliki pendidikan SLTP ke atas. Padahal kebutuhan pengeluaran ekonomi di keluarga yang dikepalai oleh perempuan per-bulannya rata-rata lebih tinggi (Rp. 615.620,-) jika dibandingkan dengan keluarga yang dikepalai oleh kaum laki-laki (Rp. 536.148,-). Melihat begitu pentingnya pemberdayaan ekonomi bagi kaum perempuan, maka seringkali intervensi pemberdayaan perempuan dimulai dari pemberdayaan ekonomi sebagai entry pointnya. Program pemberdayaan ekonomi masyarakat pesisir dan program pemberdayaan perempuan kepala keluarga, merupakan salah satu contoh program yang digagas oleh pemerintah yang salah satu fokus utamanya adalah pemberdayaan ekonomi bagi perempuan. Strategi seperti ini terbukti cukup jitu dalam menjaring antusiasme dan partisipasi masyarakat (termasuk perempuan) karena mereka menganggap program pemberdayaan ekonomi akan memberikan manfaat bagi mereka dan berdampak langsung pada peningkatan kesejahteraan. Ketika partisipasi masyarakat tinggi dan terbentuk local group (kelompok) sebagai lembaga tempat aktivitas dan partisipasi bersama maka akan memudahkan para pelaksana program (fasilitator) untuk melakukan pemberdayaan pada aspek lainnya seperti pembelajaran politik, pengetahuan, kesehatan serta internalisasi nilainilai yang terkandung dalam semangat PUG. Selain itu intervensi pemberdayaan perempuan dari aspek ekonomi juga terbilang lebih mudah karena umumnya perempuan memiliki kemampuan dasar dibidang keterampilan yang diajarkan (diwariskan) secara turun temurun. Banyaknya kaum perempuan yang memiliki keterampilan dasar yang menunjang untuk peningkatan pendapatan ekonomi terlihat dari dominasi perempuan yang mengelola UMKM di Indonesia. Menurut data statistik dari 46 juta usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM), sekitar 60% nya dikelola oleh perempuan (KPPPA, 2011). Hal ini menandakan bahwa perempuan sebenarnya telah memiliki modal dasar dalam pemberdayaan ekonomi. Oleh karena itu, biasanya program pemberdayaan ekonomi umumnya hanya sebatas pada penggalian potensi di masyarakat, peningkatan kapasitas dan keterampilan, penguatan jaringan pasar, penyediaan akses terhadap sumber daya dan faktor
13
produksi, informasi, serta pengaplikasian teknologi tepat guna yang selama ini tidak diperoleh atau dimiliki oleh masyarakat. Salah satu UMKM yang umumnya dikelola oleh perempuan adalah industri rumahan jamu tradisional. Jamu adalah sejenis minuman tradisional yang terbuat dari ramuan bahan alami yang berkhasiat bagi kesehatan. Jamu sudah dikenal sejak berabad-abad di Indonesia dan seringkali menjadi ramuan kesehatan bagi keluarga di lingkungan keraton Jawa (kesultanan di Yogyakarta dan kasunanan di Surakarta). Seiring dengan perkembangan zaman minuman dan ramuan jamu juga telah menyebar luas di kalangan masyarakat, terutama masyarakat Jawa. Cara membuat dan meracik ramuan jamu ini diajarkan secara turun temurun dari generasi ke generasi. Di wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta sendiri, tradisi meminum jamu di masyarakat masih terjaga. Oleh karena itu, tidak heran jika banyak perempuan di Yogyakarta yang memiliki keahlian meracik dan membuat jamu sekaligus memasarkan jamunya di sekitar daerah tempat tinggalnya. Salah satu dari sentra industri rumahan (UMKM) pembuatan jamu tradisional di Yogyakarta terletak di Desa Argomulyo, Kecamatan Sedayu, Kab. Bantul. Para perempuan produsen jamu rumahan ini tergabung dalam institusi kelompok jamu Seruni Putih dan JHM. Institusi kelompok ini memiliki peranan penting sebagai wadah berbagi antar sesama anggota kelompok di dalam menghadapi berbagai kendala serta tantangan yang ada. Salah satu kendala yang dihadapi oleh produsen dan pedagang jamu tradisional adalah semakin menurunnya jumlah konsumen jamu akibat semakin banyaknya obat-obatan serta ramuan kesehatan yang lebih praktis dan moderen. Minuman jamu cair tradisional ini juga tidak tahan lama sehingga kalah bersaing dengan produk ramuan energi instan. Hal lain yang membuat industri rumahan jamu tradisional sulit untuk berkembang adalah pengelolaan usaha yang masih belum profesional (hanya kegiatan sampingan untuk menambah penghasilan bagi keluarga) serta jangkauan pemasaran yang masih terbatas di tingkat lokal. Bagi perempuan yang menjadi kepala keluarga dan menggantungkan hidupnya dari usaha jamu hal ini merupakan masalah pelik. Bagaimanapun juga membuat jamu tradisional ini adalah satu-satunya keterampilan di sektor non-pertanian yang mereka miliki. Dampak nyata lain dari permasalahan ini adalah semakin berkurangnya antusiasme dari generasi muda untuk meneruskan usaha jamu karena dianggap tidak mampu memberikan jaminan pendapatan ekonomi yang layak. Jika ini terus terjadi, lambat laun tradisi ramuan jamu tradisional yang merupakan warisan dan kekayaan budaya bangsa akan punah. Stagnasi usaha jamu ini juga sebagian disebabkan karena kurangnya 14
pengetahuan dan penguasan perempuan produsen serta penjual jamu tradisional akan informasi pasar. Hal ini wajar karena selama ini memang pembangunan perempuan secara sosial-ekonomi jauh tertinggal dibandingkan dengan kaum laki-laki. Melihat berbagai macam kendala, minimnya resources dan tantangan yang dihadapi oleh perempuan anggota kelompok produsen dan penjual jamu ini, maka upaya pemberdayaan dengan fokus utama untuk memecahkan masalah dan meningkatkan kapasitas perempuan produsen jamu mutlak diperlukan. Keterbatasan kemampuan yang dimiliki oleh masyarakat membuat mereka belum mampu menyelesaikan permasalahannya sendiri. Oleh karena itu, adanya intervensi dan asistensi pemberdayaan dari pihak luar baik baik itu dari pihak pemerintah, entitas bisnis maupun entitas akademik menjadi penting. Mengingat keterbatasan sumber daya (anggaran dan personil fasilitator) yang dimiliki oleh pemerintah maka kontribusi entitas bisnis yang berada disekitar lingkungan masyarakat setempat dalam membantu tugas pemerintah dalam hal memberdayakan masyarakat menjadi krusial. Dalam konteks ini, PT Pertamina TBBM Rewulu yang lokasinya berada di area Desa Argomulyo tentu memiliki tanggung jawab sosial dalam memberdayakan masyarakat di sekitarnya. Tanggung jawab sosial perusahaan atau yang disebut CSR (Corporate Social Responsibility) ini merupakan wujud perilaku etis perusahaan baik secara internal maupun eksternal.7 Bentuk kontribusi eksternal CSR PT Pertamina TBBM Rewulu diantaranya adalah komitmen perusahaan dalam program community development atau yang disingkat dengan CD. Dalam hal ini program-program yang bersifat CD merupakan sebuah langkah yang tepat dalam pengaplikasian CSR sebuah perusahaan. Soetomo (2006) menjelaskan, setidaknya terdapat 3 hal yang dapat dijadikan pertimbangan utama mengapa CD begitu penting dalam pelaksanaan kegiatan CSR sebuah perusahaan yaitu : 1. Sesuai dengan karakteristiknya, melalui program community development (CD) dapat dikembangkan dan dimanfaatkan unsur modal sosial baik yang dimiliki entitas bisnis maupun masyarakat. 2. Melalui community development diharapkan muncul hubungan sinergis antara kekuatan entitas bisnis melalui berbagai bantuannya dengan potensi yang ada dalam masyarakat. Dengan demikian, kegiatan CSR yang dilakukan oleh entitas bisnis bukan semata-mata
15
hanya berupa bantuan yang bersifat karitatif atau insidental semata, melainkan bagian dari usaha untuk mengembangkan kapasitas dan memberdayakan masyarakat. 3. Aktivitas bersama antara entitas bisnis dengan masyarakat melalui program community development merupakan salah satu upaya dalam membangun jalinan komunikasi antara kedua belah pihak. Apabila media dan jalinan komunikasi sudah terlembagakan, maka berbagai permasalahan yang menyangkut kedua belah pihak dapat dibicarakan melalui dialog sehingga diharapakan mampu mengakomodir kepentingan masing-masing pihak tanpa harus menimbulkan konflik yang berlarut-larut. Salah satu program CD di Desa Argomulyo yang dilaksanakan oleh PT Pertamina TBBM Rewulu adalah program pemberdayaan perempuan anggota kelompok jamu Seruni Putih serta JHM melalui Program Pengembangan IRT Jamu Tradisional Berbasis Masyarakat. Oleh karena itu, dalam penelitian ini peneliti mencoba untuk mengelaborasi serta menelisik secara lebih utuh bagaimana sinergi antara masyarakat dan PT Pertamina TBBM Rewulu dalam upaya pemecahan berbagai permasalahan dan tantangan yang dihadapi sekaligus memberdayakan para perempuan produsen dan penjual jamu tradisional di Desa Argomulyo terutama dari segi aspek penguatan kapasitas kelembagaan dan individu serta pemberdayaan sosial-ekonomi. I.4 Rumusan Masalah Adapun rumusan masalah penelitian yang dapat diambil berdasarkan paparan singkat latar belakang yang telah dikemukakan sebelumnya adalah sebagai berikut : 1. Bagaimanakah proses pemberdayaan perempuan anggota kelompok jamu Seruni Putih dan JHM di Desa Argomulyo, Kecamatan Sedayu, Kabupaten Bantul, Yogyakarta oleh PT Pertamina TBBM Rewulu? I.5 Tujuan dan Manfaat Penelitian I.5.1 Tujuan Penelitian Suatu penelitian pada dasarnya ditujukan untuk memecahkan masalah sekaligus menjawab permasalahan yang telah dirumuskan sebelumnya. Penentuan tujuan penelitian diperlukan agar 16
penelitian yang dilaksanakan memiliki arah yang jelas dan lebih sistematis. Dalam penelitian ini ada dua tujuan utama yang ingin dicapai yaitu tujuan substansial dan tujuan operasional. I.5.1.1 Tujuan Substansial Adapaun tujuan substansial dari penelitian ini adalah : 1. Untuk mengetahui bagaimana aspek perencanaan dan desain dari program pemberdayaan para perempuan anggota kelompok jamu Seruni Putih dan JHM di Desa Argomulyo, Kec. Sedayu, Kab. Bantul, Yogyakarta yang dilaksanakan oleh PT Pertamina TBBM Rewulu. 2. Untuk mengetahui bagaimana dinamika proses implementasi dari program pemberdayaan para perempuan anggota kelompok jamu Seruni Putih dan JHM di Desa Argomulyo, Kec. Sedayu, Kab. Bantul, Yogyakarta yang dilaksanakan oleh PT Pertamina TBBM Rewulu dari sisi aspek introduksi dan pelaksanaan program, tingkat partisipasi anggota kelompok, peran aktor sosial serta aspek peningkatan kapasitas individu dan kelompok jamu Seruni Putih dan JHM. 3. Untuk mengetahui bagaimana tantangan di dalam proses pemberdayaan kaum perempuan anggota kelompok jamu Seruni Putih dan JHM. 4. Untuk mengetahui dampak sosial dan ekonomi dari adanya program pemberdayaan bagi perempuan anggota kelompok jamu Seruni Putih dan JHM. I.5.1.2 Tujuan Operasional Adapun tujuan operasional dari penelitian ini adalah : 1. Sebagai sebuah karya tulis ilmiah, hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna sekaligus menjadi rujukan bagi penelitian serupa di masa yang akan datang. Selain itu penelitian ini diharapkan mampu memperkaya diskursus pengetahuan terkait pemberdayaan perempuan di Jurusan Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan (PSdK). 2. Bagi peneliti secara pribadi, studi penelitian ini merupakan sarana untuk mengembangkan wawasan dan pengalaman penelitian sekaligus sebagai prasyarat untuk memperoleh gelar sarjana strata 1 (S1) di Jurusan Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan (PSdK). 17
I.5.2 Manfaat Penelitian 1. Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan dan masukan bagi instansi pemberdaya dalam merumuskan kebijakan program pemberdayaan perempuan, khususnya untuk program pemberdayaan para perempuan anggota kelompok jamu Seruni Putih dan JHM di Desa Argomulyo di masa yang akan datang. 2. Penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai acuan sekaligus wujud dari kontribusi pemikiran penulis terhadap PT Pertamina TBBM Rewulu dalam pengembangan program CSR dibidang Community Development khususnya program pemberdayaan perempuan di kelompok jamu Seruni Putih dan JHM di Desa Argomulyo, Sedayu, Bantul, Yogyakarta untuk masa yang akan datang. I.6 Tinjauan Pustaka I.6.1 Mengenal Konsep Pembangunan Masyarakat Berbicara mengenai pembangunan serta pemberdayaan bagi kaum perempuan, tentu tidak terlepas dari topik pembangunan masyarakat secara umum. Hal ini dikarenakan perempuan juga merupakan bagian dari entitas masyarakat yang tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya. Oleh karena itu, pendalaman terkait konsep pembangunan masyarakat secara utuh mutlak sangat diperlukan dalam rangka memahami pembangunan / pemberdayaan perempuan. Pembangunan dalam arti luas umumnya bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan bagi masyarakat secara menyeluruh. Pembangunan menurut literatur-literatur ekonomi pembangunan seringkali didefinisikan sebagai proses yang berkesinambungan dari peningkatan pendapatan riil perkapita melalui peningkatan jumlah dan produktivitas sumber daya. Dari pandangan itu lahir konsep-konsep mengenai pembangunan sebagai pertumbuhan ekonomi melalui berbagai macam pemikiran dan teori pertumbuhan. Dalam pandangan teori pertumbuhan ini, adanya pertumbuhan ekonomi secara agregat sebuah negara dianggap mampu memberikan multiplier effect terhadap pemerataan kesejahteraan secara menyeluruh tidak hanya dalam aspek ekonomi saja, tetapi juga aspek sosial dan budaya. Pemikiran yang menekankan pertumbuhan ekonomi meyakini bahwa hasil pertumbuhan akan dapat dinikmati masyarakat sampai di lapisan yang paling bawah. Akan tetapi, pada kenyataannya pendekatan pertumbuhan ekonomi ini baik secara empiris maupun uji 18
teoritis menunjukkan bahwa trickle down process tidak pernah terwujud khususnya di negaranegara yang sedang berkembang. Bahkan seringkali muncul kesenjangan (gap) yang cukup besar antara yang kaya dan yang miskin akibat adanya perbedaan kesempatan dan privileged (posisi yang menguntngkan) antara satu sama lain (Kartasasmita, 1997). Kegagalan paradigma pembangunan yang mengedepankan pertumbuhan ekonomi di dalam pemerataan kesejahteraan ini kemudian memunculkan perspektif baru dalam pembangunan yaitu paradigma pembangunan sosial. Dalam paradigma ini mengedepankan aspek pembangunan yang berkeadilan dan berpusat pada pembangunan masyarakat sebagai aktor utama sekaligus penerima manfaat dari pembangunan. Menurut PBB dalam Soetomo (2006) pembangunan masyarakat atau yang disebut juga community development adalah suatu proses usaha masyarakat secara mandiri yang diintegrasikan dengan otoritas pemerintah guna memperbaiki kondisi sosial ekonomi dan kultural komunitas, mengintegrasikan komunitas ke dalam kehidupan nasional dan mendorong kontribusi komunitas yang lebih optimal bagi kemajuan nasional. Dalam pembangunan berbasis community development (CD) ini, sangat ditekankan upaya penguatan kapasitas masyarakat baik secara individu maupunal komunal sehingga diharapkan mampu memberikan kontribusi secara maksimal bagi kemajuan bangsa. Pembangunan masyarakat memerlukan strategi dan pendekatan yang tepat agar berbagai program dan kegiatan CD yang dilakukan dapat efektif, efisien dan mampu memberikan manfaat yang maksimal bagi masyarakat. Program CD yang baik haruslah memperhatikan prinsip-prinsip pembangunan masyarakat. Jim Ife dalam Suparjan & Hempri Suyatno (2003) menjelaskan ada 22 prinsip yang harus diperhatikan dalam upaya pembangunan masyarakat, yaitu : 1. Pembangunan terpadu dan seimbang. Pembangunan masyarakat pada dasarnya harus mencakup pembangunan di bidang politik, ekonomi, sosial, kultural, lingkungan dan personal atau spiritual. 2. Konfrontasi terhadap ketimpangan struktural. Pembangunan masyarakat harus mampu merubah adanya ketimpangan kelas maupun ketimpangan gender dan keragaman etnik yang notabene sering menjadi kendala utama dalam pengembangan masyarakat. 3. Menjunjung tinggi Hak Azazi Manusia (HAM). Dalam rangka menjamin HAM, maka perlu ada aturan atau regulasi yang memberikan perlindungan dan pengakuan terhadap 19
HAM. Hak-hak warga yang perlu diperhatikan oleh pemerintah adalah pemenuhan tiap standard hidup minimal, hak mendapatkan pendidikan, hak untuk berpartisipasi dalam kehidupan kultural komunitasnya, hak untuk berkembang secara mandiri dan hak untuk mendapatkan perlindungan keluarga. 4. Keberlanjutan. Dalam rangka mewujudkan keberlanjutan pembangunan masyarakat, maka perlu memperhatikan dimensi keseimbangan ekologis dan keadilan sosial. Dalam konteks keseimbangan ekologis, CD ditujukan untuk meminimalisasi ketergantungan terhadap sumber daya alam yang tidak dapat diperbaharui dan menggantinya dengan sumber daya alam yang dapat diperbaharui. Dari aspek asas keadilan sosial, distribusi pendapatan dan sumber daya yang proporsional dari negara terhadap warga negaranya menjadi issue yang perlu dikedepankan. 5. Pemberdayaan. Konsep pemberdayaan menjadi basis utama dalam CD. Pemberdayaan sendiri memiliki makna membangkitkan sumber daya, kesempatan, pengetahuan dan keterampilan masyarakat guna meningkatkan kapasitas dalam menentukan masa depan mereka secara otonom dan mandiri. 6. Pembangunan personal dan politik. Pembangunan masyarakat pada hakekatnya perlu untuk menyeimbangkan hubungan antara personal dan politik, individu serta struktur personal yang bersifat privat dan publik. 7. Pemilikan komunitas. Pemilikan komunitas ini mencakup dua level, yaitu kepemilikan pada sebuah benda material dan kepemilikan pada struktur serta proses. Benda material mencakup tanah, bangunan, faktor dan alat-alat produksi serta aset lain yang dimiliki individu. Perluasan pemilikan komunitas menjadi aspek penting di dalam membangun komunitas sehingga dapat mendorong tumbuhnya rasa memiliki terhadap komunitas dan juga memberikan alasan bagi seseorang untuk menjadi aktif terlibat dalam setiap level aktivitas komunitas serta dapat mendorong penggunaan sumber daya secara lebih efektif dan efisien. Pemilikan terhadap struktur dan proses merupakan aspek lain dari pemilikan komunitas. Hal ini dibutuhkan agar setiap anngota komunitas memiliki rasa nyaman dalam berpartisipasi, menyalurkan aspirasinya dan memberikan pendapat atau pemikiran dalam kelompok. 20
8. Kemandirian. Kemandirian memiliki makna bahwa komunitas harus mendayagunakan berbagai sumber daya yang dimilikinya dengan kekuatan sendiri dan tidak bergantung pada pihak eksternal. Kemandirian komunitas ini akan bermanfaat dalam menghadapi ketidakpastian dimasa depan dan krisis sosial ekonomi. Oleh karena itu, pembangunan masyarakat seharusnya diupayakan untuk penguatan kemandirian komunitas. 9. Independen dari negara. Hal ini tidak berarti bahwa dukungan pemerintah tidak perlu diterima. Dukungan pemerintah sangat diperlukan untuk memulai proses pembangunan masyarakat. Barulah kemudian berbagai inisiatif dan kreativitas dalam melaksanakan pembangunan harus diserahkan kepada masyarakat. 10. Tujuan dekat (antara) dan visi akhir jangka panjang. Dalam pembangunan masyarakat adalah sangat penting dan essensial untuk menjaga keseimbangan antara tujuan dekat (antara) dan tujuan akhir jangka panjang. Dalam konteks ini, meskipun di dalam jangka pendek pembangunan harus diupayakan pada terwujudnya keadilan sosial masyarakat, namun dalam jangka panjang pembangunan harus memperhatikan aspek keseimbangan lingkungan agar hasil pembangunan dapat terus berkelanjutan. 11. Pembangunan organis. Pembangunan organis pada dasarnya adalah suatu konsep yang berlawanan dengan pembangunan yang bersifat mekanistik. Pembangunan komunitas harus diaplikasikan melalui proses yang kompleks dan dinamis. Pembangunan organis memiliki makna sebagai upaya untuk membangun melalui pemahaman hubungan yang sifatnya kompleks antara komunitas dengan lingkungannya. 12. Tahapan pembangunan. Konsekuensi utama dari konsep pembangunan organis adalah adanya suatu keharusan bahwa sebuah proses pembangunan haruslah melalui beberapa tahapan. Dengan demikian, pembangunan masyarakat memerlukan proses waktu yang lama, sebab lebih mengutamakan keaktifan dari partisipasi komunitas. Hal inilah yang seringkali membuat frustasi para pelaksana (fasilitator), para birokrasi pembangunan, yang berorientasi pada hasil secara instan. 13. Bebas dari tekanan pihak luar. Pembangunan masyarakat tidak akan berjalan dengan baik, jika ada tekanan dari pihak eksternal. Oleh karena itu, pembangunan masyarakat
21
haruslah dibangun secara oleh komunitas itu sendiri dengan memperhatikan sensitivitas terhadap budaya lokal, tradisi setempat dan lingkungan sekitar. 14. Pembangunan komunitas. Seluruh pembangunan masyarakat haruslah bertujuan untuk membangun komunitas. Pembangunan komunitas berarti juga membangun masyarakat secara bersama-sama. Oleh karena itu, proses berkelompok, inklusivitas, membangun rasa saling percaya diri, dan membangun semangat bersama untuk mencapai tujuan sangat penting dalam membangun komunitas. 15. Proses dan hasil. Penekanan pada proses dan hasil menjadi isu utama dalam kerja CD. Pendekatan pragmatis cenderung hanya akan melihat hasil, sehingga bagaimana upaya untuk memperoleh hasil tersebut tidaklah begitu penting. Namun demikian, pandangan ini kemudian ditentang oleh berbagai pihak, karena proses dan hasil pada hakekatnya merupakan dua hal yang saling berkaitan. Proses pada dasarnya harus merefleksikan hasil, demikian juga hasil juga merupakan refleksi dari proses. 16. Integritas proses. Integritas dalam proses menjadi unsur penting di dalam menentukan hasil dan tujuan. Proses bimbingan sosial masyarakat ini mengandung dua unsur pokok yaitu perencanaan dan pengintegrasian masyarakat. Hal ini memperlancar penumbuhan kesadaran akan loyalitas individu terhadap masyarakat (komunitasnya), peningkatan perasaan tanggung jawab terhadap kondisi serta kedudukan masyarakat, pemunculan sikap-sikap koperatif dengan orang-orang yang mempunyai perbedaan dalam berbagai hal dan sudut pandang, serta penumbuhan nilai-nilai yang sama di dalam masyarakat secara keseluruhan (institusionalisasi nilai). 17. Anti kekerasan. Pembangunan masyarakat menghendaki suatu proses pendekatan yang anti kekerasan. Oleh karena itu, pendekatan yang bersifat koersif merupakan hal yang mesti dihindari dalam konteks pembangunan masyarakat. 18. Inklusif. Prinsip inklusif dalam pembangunan masyarakat membutuhkan keterlibatan masyarakat dalam proses pelaksanaan pembangunan. Proses pembangunan masyarakat haruslah bersifat terbuka dan mampu mengakomodasi aspirasi dari warga masyarakat. 19. Konsensus. Prinsip anti kekerasan dan pendekatan inklusif tentu memerlukan proses pembangunan masyarakat yang dibangun atas dasar konsesus dan keputusan konsesus 22
yang dibuat haruslah dapat diaplikasikan. Pendekatan konsesus harus didasarkan pada persetujuan bersama dari masyarakat Dengan adanya prinsip ini, diharapkan tidak ada friksi dan alienasi dalam kehidupan masyarakat. 20. Kooperasi. Prinsip kooperasi mengasumsikan bahwa problem maupun masalah sosial yang dihadapi masyarakat tidak sekedar menjadi tanggung jawab dari komunitas itu sendiri, melainkan juga harus diatasi bersama-sama dengan komunitas lain (termasuk di dalamnya pemerintah dan entitas bisnis setempat). 21. Partisipasi. Pembangunan masyarakat (CD) haruslah selalu melihat aspek partisipasi masyarakat secara maksimal, dengan tujuan agar setiap orang dalam komunitas dapat secara aktif berperan di dalam kegiatan masyarakat. Prinsip partisipasi yakni bertujuan mendorong tumbuhnya perubahan sikap dan perilaku masyarakat yang kondusif untuk kemajuan serta meningkatkan kualitas partisipatif dari masyarakat sendiri, dari hanya sekedar mendukung, menghadiri, menjadi konstributor kegiatan. 22. Mendefinisikan kebutuhan. Pembangunan masyarakat haruslah mampu mendefinisikan kebutuhan masyarakat yang beragam. Kemudian kebutuhan ini diurutkan berdasarkan skala prioritas secara bersama-sama. Kebutuhan dengan skala prioritas tertinggi harus mendapatkan perhatian yang lebih dan penanganan yang paling utama. Ke-22 prinsip community development tersebut tidaklah independen atau berdiri sendirisendiri, tetapi saling berhubungan antara prinsip yang satu dengan prinsip lainnya. Korelasi dari prinsi-prinsip tersebut sangat diperlukan dalam upaya mewujudkan keberhasilan dalam suatu pembangunan masyarakat. Dalam community development terkandung pendekatan pemberdayaan masyarakat sebagai basis utamanya. Sehingga dalam upaya community development ini, salah satu pendekatan yang banyak digunakan adalah pemberdayaan masyarakat. Pemberdayaan yang diadaptasi dari istilah empowerment telah berkembang di Eropa mulai abad pertengahan hingga dekade 90-an. Seiring dengan perkembangan zaman, maka muncul berbagai macam konsep dan strategi pemberdayaan masyarakat. Terkait hal ini, para ilmuan sosial dan praktisi pemberdayaan masyarakat memiliki konsep serta pandangan yang berbeda-beda sesuai konteks dan bidang kajian masing-masing.
23
Pemberdayaan masyarakat dalam hal ini dapat diartikan sebagai upaya untuk membantu masyarakat dalam mengembangkan kemampuannya sendiri sehingga bebas dan mampu untuk mengatasi masalah dan mengambil keputusan sendiri (Sunartiningsih, 2004) Dalam pemaknaan lain tentang konsep pemberdayaan Ife (1995) menyatakan bahwa : “Empowerment is a process of helping disadvantaged groups and individual to compete more effectively with other interests, by helping them to learn and use in lobbying, using the media, engaging in political action, understanding how to ‘work the system’, and so on” Pemberdayaan merupakan suatu proses membantu kelompok atau individu yang kurang beruntung agar mampu bersaing secara lebih efektif untuk memenuhi kebutuhannya, antara lain dengan membantu mereka untuk belajar dalam melobi, menggunakan media, terlibat dalam aksi politik, memahami bagaimana 'bekerjanya suatu sistem', dan sebagainya. Hal ini menunjukkan bahwa proses pemberdayaan (empowerment) adalah upaya memberi otonomi, wewenang, dan kepercayaan kepada setiap individu maupun organisasi kelompok yang membutuhkan treatment pemberdayaan, serta mendorong mereka untuk kreatif agar mampu mandiri dan dapat memenuhi berbagai kebutuhannya sendiri. Konsep pemberdayaan masyarakat ini muncul karena adanya kegagalan sekaligus harapan. Kegagalan yang dimaksud adalah gagalnya model pembangunan ekonomi dalam menanggulangi masalah-masalah kemiskinan dan lingkungan yang berkelanjutan. Sedangkan harapan, muncul karena adanya alternatif pembangunan yang memasukkan nilai demokrasi, persamaan gender, dan pertumbuhan ekonomi. Pemberdayaan masyarakat merupakan upaya untuk meningkatkan harkat dan martabat masyarakat yang dalam kondisi sekarang tidak mampu untuk melepaskan diri dari berbagai perangkap kemiskinan dan keterbelakangan. Dengan kata lain, pemberdayaan adalah memampukan dan memandirikan masyarakat. Sumodiningrat (2002), menyatakan bahwa menilik dari proses oprasionalisasinya, maka ide-ide pemberdayaan memiliki dua kecenderungan : 1. Kecenderungan Primer. Hal ini dapat diartikan sebagai sebuah kecenderungan proses yang memberikan atau mengalihkan sebagian kekuasaan, kekuatan, atau kemampuan (power) kepada masyarakat atau individu agar menjadi lebih berdaya. Proses ini dapat
24
dilengkapi dengan upaya membangun asset material guna mendukung pembangunan kemandirian melalui kelompok atau organisasi. 2. Kecenderungan Sekunder. Dalam hal ini lebih menekankan pada proses memberikan stimulasi, mendorong dan memotivasi individu sehingga mempunyai kemampuan atau keberdayaan untuk menentukan apa yang menjadi pilihan hidupnya melalui proses komunikasi dan dialog. Dua kecenderungan diatas umumnya selalu berkaitan satu sama lain dalam setiap proses pemberdayaan. Bahkan tidak jarang untuk mewujudkan kecenderungan primer harus melalui kecenderungan sekunder terlebih dahulu. Agar setiap program pemberdayaan ini mampu diserap secara maksimal di masyarakat, maka konsep pemberdayaan haruslah bersifat “people centered, participatory, empowering, and sustainable” yaitu menekankan pada pemberdayaan berbasis masyarakat, pelibatan partisipasi masyarakat dalam proses pemberdayaan, pengalokasian sumber daya serta mengutamakan aspek keberkelanjutan (Chambers, 1995 dalam Kartasasmita, 1997). Secara lebih lanjut, Kartasasmita (1997) melihat konsep pemberdayaan masyarakat dalam tiga sisi yaitu: 1. Menciptakan suasana yang memungkinkan potensi masyarakat berkembang (enabling). titik tolaknya adalah pengenalan bahwa setiap manusia, setiap masyarakat itu memiliki potensi yang dapat dikembangkan. Pemberdayaan apada dasarnya dalah upaya untuk membangun daya, dengan mendorong, memotivasikan, dan membangkitkan kesadaran akan potensi yang dimilikinya serta berupaya untuk mengembangkannya. 2. Memperkuat potensi atau daya yang dimiliki masyarakat (empowering). Dalam rangka ini diperlukan langkah-langkah yang lebih positif selain dari hanya menciptakan iklim dan suasana. Penguatan meliputi langkah yang nyata menyangkut penyediaan berbagai masukan (input), serta pembukaan akses ke dalam berbagai peluang (opportunities) yang akan membuat masyarakat menjadi berdaya. Pemberdayaan bukan hanya meliputi penguatan individu anggota masyarakat, tetapi juga pranata-pranatanya. Menanamkan nilai-nilai budaya modern, seperti kerja keras, hemat, keterbukaan, dan kebertanggungjawaban adalah juga bagian dari upaya pemberdayaan ini. Demikian pula pembaharuan institusi-institusi sosial serta pengintegrasiannya dalam kegiatan pembangunan. Hal 25
yang terpenting disini adalah peningkatan partisipasi rakyat dalam proses pengambilan keputusan yang menyangkut diri dan masyarakatnya. 3. Memberdayakan berarti melindungi (protecting). Dalam proses pemberdayaan, harus dicegah yang lemah menjadi bertambah lemah karena ketidakberdayaan menghadapi yang kuat. Oleh karena itu, perlindungan dan pemihakan pada pihak yang lemah amat mendasar sifatnya dalam konsep pemberdayaan masyarakat. Melindungi tidak berarti mengisolasi atau menutupi dari interaksi, karena hal itu justru akan mengerdilkan yang kecil. Melindungi harus dilihat sebagai upaya untuk mencegah terjadinya persaingan yang tidak seimbang dalam bentuk eksploitasi pihak-pihak yang kuat atas yang lemah. Pemberdayaan masyarakat bukan membuat masyarakat menjadi makin tergantung pada berbagai program karitatif atau charity saja. Dengan demikian tujuan akhirnya adalah memandirikan masyarakat, memampukan, serta membangun kemampuan masyarakat untuk memajukan diri ke arah kehidupan yang lebih baik secara berkesinambungan. Definisi dan konsep pemberdayaan yang dikemukakan para pakar sangatlah beragam dan kontekstual. Akan tetapi dari berbagai definisi tersebut, dapat ditarik suatu benang merah bahwa pemberdayaan masyarakat adalah upaya untuk memampukan dan memandirikan masyarakat. Atau dengan kata lain adalah bagaimana menolong masyarakat untuk mampu menolong dirinya sendiri. Oleh karena itu program pemberdayaan haruslah di desain sesuai dengan karakteristik dan kebutuhan masyarakat. I.6.2 Konsep Pemberdayaan Perempuan Seperti yang telah disinggung dalam bahasan sebelumnya, empowerment (pemberdayaan) memiliki makna upaya pemberian daya atau power kepada pihak yang lemah (dalam konteks ini adalah kaum perempuan) sehingga mereka mampu menolong diri mereka sendiri dalam rangka mengatasi berbagai kesulitan yang dihadapi. Perempuan selama ini dianggap sebagai pihak yang lemah dan memerlukan perhatian utama dalam setiap kegiatan / program pemberdayaan. Hal ini merupakan sesuatu yang wajar karena selama ini pada sistem masyarakat tradisional, perempuan kerap menemui kendala minimnya peluang / kesempatan yang dimiliki untuk menyejahterakan dirinya akibat berbagai hambatan struktural, politik dan budaya. Secara gamblang Fakih (2001), 26
menguraikan setidaknya ada lima hambatan yang selama ini membuat perempuan menjadi lemah yaitu : 1. Stereotip Stereotip atau citra baku dapat diartikan sebagai pelabelan terhadap salah satu gender yang seringkali tidak sesuai dengan kenyataan empiris yang ada. Pelabelan bersifat negatif umumnya menyebabkan terjadinya ketidakadilan. Umumnya pelabelan yang cenderung bersifat negatif ini lebih banyak dialamatkan kepada perempuan dari pada laki-laki. Hal ini mengakibatkan terjadi diskriminasi dan berbagai ketidakadilan yang merugikan kaum perempuan. 2. Subordinasi Subordinasi atau penomorduaan yaitu anggapan bahwa salah satu jenis kelamin dianggap lebih rendah atau dinomorduakan posisinya dibandingkan dengan jenis kelamin lainnya. Bentukbentuk dari subordinasi ini adalah anggapan tidak penting dalam keputusan politik. Perampasan daya sosial mencakup perampasan akses seperti informasi, pengetahuan, akses terhadap pasar, pengembangan ketrampilan dan potensi kolektif, serta partisipasi dalam organisasi dan sumbersumber keuangan. 3. Marginalisasi Marginalisasi adalah suatu upaya peminggiran terhadap salah satu jenis kelamin (dalam hal ini perempuan) dari akses sumber daya atau pekerjaan utama yang berakibat pada kemiskinan. 4. Double Burden Double burden atau yang disebut juga dengan beban ganda adalah beban kerja berlebih yang diterima oleh salah satu jenis kelamin (umumnya terjadi pada perempuan). Dalam hal ini, perempuan yang secara stereotip dilabelkan untuk bertanggungjawab mengurus rumah tangga masih harus bekerja diluar rumah baik itu untuk membantu suami maupun mencari tambahan penghasilan ekonomi keluarga. 5. Kekerasan Kekerasan yang dimaksud disini adalah serangan baik terhadap fisik maupun psikologis perempuan, sehingga kekerasan tersebut tidak hanya menyangkut fisik (perkosaan, pemukulan), tetapi juga seecara nonfisik (pelecehan seksual, ancaman dan paksaan). Perempuan sangat rentan 27
menjadi korban kekerasan yang berbasis gender mengingat secara fisik mereka lebih lemah dari laki-laki. Pelemahan kaum perempuan ini umumnya juga terjadi karena perempuan memiliki peran ganda dalam kehidupan sehari-hari (baik di keluarga maupun di masyarakat). Moser dalam Tasli (2007) menyebutkan setidaknya ada 3 peran penting perempuan di masyarakat (Women’s Triple Roles) yaitu : 1. Peran Reproduksi. Dalam level domestik rumah tangga perempuan dihadapkan kepada fungsi reproduksi (melahirkan), merawat bayi, menyusui, mengurus anak serta suami sekaligus juga fungsi domestik lain (memasak, mencuci dan membersihkan rumah). 2. Peran Produktif. Dalam hal ini perempuan juga berperan dalam kegiatan produktif lain seperti halnya kaum laki-laki (bertani, bekerja sebagai buruh dsb). 3. Peran Menejerial di Masyarakat (Community Managing Role). Peranan ini merupakan bentuk ekstensi dari peran reproduksi di tingkat komunitas / masyarakat. Kaum perempuan juga berperan dalam menjaga sekaligus mengatur sumberdaya yang dimiliki komunitas / masyarakat, seperti distribusi air, perawatan kesehatan, pendidikan bagi anak-anak, menejerial konsumsi (di dalam kegiatan pesta dan resepsi misalnya). Peran semacam ini umumnya dilakukan oleh kaum perempuan secara sukarela (tanpa dibayar). Berbagai hambatan yang melemahkan posisi perempuan dan membuat perempuan terbatas ruang geraknya ini tentu harus sebisa mungkin ditemukan jalan keluarnya. Pada kenyataanya di kehidupan sehari-hari, kaum perempuan juga disibukkan dengan multi-peran yang diembannya sehingga porsi mereka untuk mengaktualisasikan diri dan turut serta dalam proses pembangunan sangatlah minim. Oleh karena itu tidaklah heran jika kemudian perempuan menjadi ‘canggung’ dan kurang pro-aktif apabila dihadapkan pada sebuah program pembangunan (pemberdayaan). Mengingat kondisi dan karakteristik perempuan, maka diperlukan serangkaian pendekatan pemberdayaan yang tepat agar distribusi sumberdaya yang dialokasikan dapat diserap maksimal oleh perempuan. Pemberdayaan bagi perempuan ini tidaklah dimaknai sebagai pengambilalihan power (kekuasaan / sumberdaya) yang sebelumnya dikuasai oleh laki-laki, akan tetapi lebih pada 28
aspek pemerataan / pemberian akses terhadap sumberdaya bagi perempuan. Dalam pendifinisian power (daya) ini, setidaknya ada empat kategori power (Tasli, 2007), yaitu : 1. Power Within. Dalam konteks ini berupa daya dalam bentuk kekuatan mental, spiritual (kepercayaan / motivasi diri) untuk maju dan berkembang. Daya ini berasal dalam diri sendiri dan dapat diinduksikan oleh pihak eksternal melalui pendekatan psikologis. 2. Power With. Berupa kekuatan untuk mengorganisir kelompok / komunitas dalam upaya untuk mewujudkan kepentingan bersama. 3. Power To. Berupa kemampuan untuk mempengaruhi pihak lain tanpa ada kepentingan pribadi. Daya yang dimaksud disini lebih kepada kemampuan untuk memberikan solusi, membuat keputusan secara mandiri serta fungsi pengkapasitasan diri / kelompok. 4. Power Over. Berupa kemampuan untuk menguasai salah satu pihak, dalam hal ini juga merujuk pada skema relasi patron-klien dan dominasi-subordinasi. Berbagai power yang akan di distribusikan kepada perempuan tentu harus dikelola dengan baik agar kelak dikemudian hari tidak menjadi kontra-produktif. Dengan adanya distribusi power / daya yang seimbang dan terukur tentu tujuan utama dari upaya pemberdayaan bagi perempuan dapat tercapai. Menurut United Nation Population Information Network (POPIN), ada 5 tujuan utama pemberdayaan bagi perempuan yaitu : 1. Terciptanya rasa menghargai terhadap diri sendiri dan munculnya sikap aktualisasi diri. 2. Adanya hak perempuan untuk memiliki sumberdaya dan menentukan pilihan terhadap dirinya sendiri (kebebasan memilih). 3. Adanya hak untuk mengakses sumberdaya dan terbukanya peluang / kesempatan untuk mengaktualisasikan diri. 4. Adanya kewenangan bagi perempuan untuk mengontrol dirinya sendiri baik pada level domestik (rumah tangga) maupun pada level komunitas (masyarakat). 5. Munculnya kemampuan perempuan untuk berpartisipasi dalam pembengunan sekaligus juga menentukan arah perubahan sosial di level domestik maupun komunitas.
29
I.6.2.1 Paradigma Pemberdayaan Perempuan Selama beberapa dasawarsa terakhir, diskursus akademik terkait upaya pembangunan bagi kaum perempuan mulai menghangat sehingga melahirkan berbagai pandangan dalam memotret / memaknai proses pembangunan bagi kaum perempuan. Salah satu pandangan yang mencuat di era tahun 1970-an adalah perspektif Women In Development (WID) yang berasal dari kerangka kerja dan pandangan feminis ‘liberal’ di Amerika Utara (Hazel & Sally, 2000). Dalam perspektif WID, perempuan haruslah aktif terlibat dan diintegrasikan menjadi bagian / subjek pembangunan (modernisasi). Selama ini, dalam pandangan WID perempuan menjadi penerima manfaat pasif di dalam proses pembangunan sehingga keterserapan manfaat pembangunan bagi perempuan begitu minim. Lemahnya kaum perempuan lebih disebabkan karena mereka tidak secara langsung ikut andil dalam proses pembangunan, baik dikarenakan kebijakan negara atau penggunaan konsep / teori pemberdayaan yang tidak ramah gender. Fokus utama dalam WID adalah penguatan aspek peran produktif dari perempuan itu sendiri seperti pembukaan lapangan pekerjaan, pembukaan terhadap akses modal (kredit) dan sumberdaya, penguatan kapasitas (skill) dan pengetahuan bagi perempuan serta upaya untuk meningkatkan pendapatan ekonomi bagi perempuan (Tasli, 2007). Implementasi pemberdayaan dengan menggunakan perspektif WID tentunya akan dengan mudah dapat di adopsi pada lingkungan komunitas / masyarakat tradisional yang masih banyak ditemui khususnya di wilayah perdesaan di Indonesia (dalam konteks ini termasuk juga program pemberdayaan perempuan anggota kelompok jamu Seruni Putih dan JHM di Desa Argomulyo). Hal ini dikarenakan perspektif WID cenderung bersifat ‘non-konfrontasional’ dimana perempuan diintegrasikan dalam kerja dan program pembangunan secara lembut, tanpa mengguncang sistem relasi nilai / norma budaya yang berlaku (sistem budaya patriarki) dan hanya berfokus pada pola peningkatan kapasitas dan produktivitas kaum perempuan saja dengan sama tidak menyinggung aspek reproduksi (relasi gender) yang telah melembaga di masyarakat (Tasli, 2007). Metode dan perspektif WID tentu lebih bijak dan feasible untuk dilaksanakan, terutama untuk menghindari resistensi / penolakan dari kaum laki-laki yang merasa posisi / kekuasaannya menjadi terancam dengan semakin berdayanya kaum perempuan. Terlepas dari kelebihan yang dimilikinya, perspektif WID ini ternyata juga menuai banyak kritik dari ilmuwan sosial serta para aktivis feminis. Menurut Young dalam Tasli (2007) paling tidak ada 3 kelemahan mencolok dari perspektif ini. Pertama, pendekatan WID secara gamblang 30
mengabaikan aspek ‘gender’, sehingga perempuan diposisikan sebagai agen tunggal / berjuang secara mandiri dalam menyejahterakan dirinya tanpa ada korespondensi serta peran keterlibatan kaum laki-laki. Ini tentunya menjadi titik lemah karena bagaimanapun juga kaum laki-laki tentu lebih memiliki akses, pengetahuan, pengalaman dan sumberdaya yang sangat berguna dalam hal menunjang kesuksesan pemberdayaan bagi perempuan. Oleh karena itu, tidaklah heran jika pola pembangunan perempuan dengan perspektif WID cenderung berjalan lambat. Kedua, pendekatan WID tidak menyentuh aspek induksi ideologi sadar gender dan kesetaraan gender di masyarakat (baik terhadap kaum laki-laki dan perempuan), sehingga meskipun perempuan telah berdaya jika dibandingkan sebelumya, namun pola dominasi-subordinasi laki-laki terhadap perempuan tetap melembaga dan tidak hilang. Ketiga, eksklusivitas pemberdayaan yang hanya difokuskan kepada perempuan, tanpa adanya pelibatan kaum laki-laki akan semakin memperlebar struktur sosial dan ketidakadilan gender. Kembali pada bahasan perspektif WID, para ilmuwan sosial pada era tahun 1970-1980 an sepakat bahwa setidaknya ada tiga pendekatan utama dalam pengimplementasian pemberdayaan perempuan dengan menggunakan perspektif WID yaitu (Tasli, 2007) : 1. Pendekatan Kesetaraan. Pendekatan ini menitikberatkan pada pemerataan dan keadilan distribusi manfaat pembangunan antara laki-laki dan perempuan. Dalam pendekatan ini perempuan dituntut untuk menjadi bagian yang terintegrasi dari skema pembangunan di masyarakat. Selain itu, di dalam pendekatan ini tidak hanya menitikberatkan pada aspek ketimpangan ekonomi antar gender, namun juga menyoroti pemberian otonomi politik bagi perempuan yang dijamin melalui kebijakan negara. 2. Pendekatan Anti Kemiskinan. Tujuan utama dari pendekatan ini adalah mengangat taraf hidup perempuan dan keluarganya melalui program pengentasan kemiskinan. Dalam hal ini titik fokus pendekatan ini adalah meningkatkan pendapatan ekonomi perempuan dan membuka akses terhadap pasar, modal, sumberdaya, penguatan kapasitas (keterampilan) sehingga diharapkan kaum perempuan mampu untuk mandiri, sejahtera serta tercukupi kebutuhan dasarnya (optimalisasi peran dan fungsi produktif perempuan). 3. Pendekatan Efisiensi. Dalam pendekatan ini perempuan dianggap sebagai aset pasif di dalam pembangunan / pertumbuhan ekonomi. Oleh karena itu, di dalam pendekatan ini 31
skema program (kebijakan) di rancang sedemikian rupa supaya lebih efektif dan efisien dalam memaksimalkan potensi partisipasi perempuan dalam kegiatan ekonomi. Dalam hal ini perempuan dianggap sebagai faktor penyumbang pertumbuhan ekonomi sebuah negara. Asumsi dari pandangan ini adalah dengan adanya partisipasi ekonomi sekaligus peningkatan pendapatan, maka taraf hidup perempuan akan semakin meningkat seiring dengan peningkatan kesetaraan gender. I.6.2.2 Strategi Pemberdayaan Perempuan Dalam setiap program pemberdayaan masyarakat, tentu memiliki pendekatan dan strategi yang berbeda-beda. Perbedaan ini dikarenakan karakteristik masyarakat yang akan diberdayakan berbeda antara satu dengan lainnya. Oleh karena itu, strategi pemberdayaan masyarakat haruslah disesuaikan dengan karakteristik masyarakat dan kemampuan pihak yang melaksanakan program pemmberdayaan. Salah satu strategi pendekatan dalam pemberdayaan masyarakat yang populer saat ini serta sering digunakan oleh para praktisi pemberdayaan masyarakat adalah pendekatan Community Base Development (CBD). Pendekatan CBD ini mengedepankan masyarakat sebagai subjek utama pemberdayaan. Pelibatan aktif masyarakat di dalam proses pemberdayaan antara lain bertujuan agar masyarakat terbiasa dalam menginventarisir masalah serta mencari solusi dari permasalahan yang ada secara bersama-sama. Melalui proses belajar inilah kemudian diharapkan kedepannya masyarakat mampu mandiri serta tidak tergantung dengan pihak lain. Pendekatan CBD ini merupakan jawaban atas kritik terhadap pemberdayaan yang selama ini masih bersifat top down. Kelemahan utama dari pemberdayaan yang bersifat top down adalah minimnya penyerapan aspirasi dari masyarakat sehingga terkadang apa program yang dijalankan tidak benar-benar sesuai dengan apa yang dibutuhkan oleh masyarakat. Kelemahan lain dari pola pendekatan pemberdayaan yang bersifat top down adalah kurangnya pelibatan masyarakat dalam proses pelaksanaan program pemberdayaan (cenderung bersifat mobilisasi massa). Sedangkan di dalam konsep CBD sangat tergantung pada penyerapan aspirasi dan partisipasi dari masyarakat baik dalam perencanaan maupun dalam pelaksanaan program (bottom up). Penyerapan aspirasi dan partisipasi masyarakat dalam pendekatan CBD ini menjadi lebih efektif jika ada komunitas atau local group (wadah kelompok). Dengan adanya komunitas / kelompok transfer sumber daya dan pengetahuan dari pihak pemberdaya kepada masyarakat akan menjadi lebih efektif sekaligus 32
mempermudah inisiasi dan intervensi pemberdayaan. Selain itu adanya kelompok ini juga dapat berfungsi sebagai wadah partisipasi aktif masyarakat dan interaksi antara stakeholder, agen sosial dan masyarakat sebagai objek sekaligus subjek pemberdayaan. Dalam framework (kerangka kerja) pemberdayaan masyarakat dengan pendekatan CBD, selain aspek pertisipasi masyarakat juga perlu diperhatikan aspek keberlanjutan program. Karena pendekatan CBD ini berorientasi proses (proses belajar masyarakat), maka pendampingan serta monitoring secara intensif dari pihak stakeholder (fasilitator) sangat dibutuhkan. Tanpa adanya pendampingan maka masyarakat akan mengalami stagnasi dan kesulitan dalam proses belajarnya yang berakibat pada menurunnya antusiasme masyarakat itu sendiri. Oleh karenanya, penekanan pada pendekatan CBD adalah bagaimana menjaga antusiasme dan partisipasi masyarakat terjaga dengan baik selama berlangsungnya proses pemberdayaan. Strategi yang dapat dilakukan untuk mewujudkan hal ini salah satunya adalah dengan menjaga keberlanjutan program dalam wadah kelompok. Pelembagaan aktivitas masyarakat dalam wadah kelompok juga merupakan salah satu tujuan akhir pemberdayaan berbasis masyarakat ini. Dengan terlembaganya aktivitas kelompok serta mekanisme pemecahan masalah bersama, maka akan semakin mengurangi ketergantungan masyarakat terhadap pihak luar dan akan berdampak pada kemandirian masyarakat itu sendiri. Strategi pemberdayaan dengan pendekatan CBD merupakan metode yang paling feasible dan bijak di dalam upaya pemberdayaan perempuan. Berbeda dengan strategi Community Driven Development (CDD) yang lebih mengutamakan peran dan keaktifan masyarakat di dalam setiap tahapannya (mulai dari perumusan masalah, penentuan alternatif solusi hingga eksekusi program dan pihak fasilitator pemberdaya hanya menjalankan fungsi pengawasan), pendekatan CBD lebih mengkompromikan antara kedua pihak (pemberdaya dan sasaran program, dalam hal ini adalah kaum perempuan). Keterlibatan aktif pihak pemberdaya yang memiliki akses sumberdaya serta pengetahuan, jaringan, informasi dan ide-ide tentu akan mempermudah proses pengkapasitasan diri kaum perempuan, karena tidak dapat dipungkiri dengan berbagai keterbatasan struktural dan budaya yang menghambat mereka untuk maju kaum perempuan belum mampu untuk bergerak secara mandiri. Selain itu, dengan strategi CBD juga memungkinkan bagi kaum perempuan ini untuk ikut berpartisipasi aktif sebagai subjek pemberdayaan, sekaligus memberikan input (feed back) aspirasi mereka pada pihak fasilitator pemberdaya. Adanya wadah aktivitas bersama dalam 33
bentuk kelompok atau komunitas juga akan semakin mempermudah proses belajar perempuan secara bersama sekaligus memudahkan proses transfer pengetahuan / informasi antar sesama.
Tahap Perencanaan Program
Tahap Assessment Awal Social Mapping
Partisipasi masyarakat dan pendampingan dari stakeholders (fasilitator)
Inventarisasi masalah, kebutuhan, sumber daya dan aset yang dimiliki
Pemecahan masalah bersama melalui komunikasi intensif dan diskusi kelompok (FGD)
Pemberian motivasi dan penyadaran potensi yang dimiliki masyarakat
Perumusan desain, rencana, tujuan dan capaian pemberdayaan yang diharapkan Solusi dan action plan untuk jangka pendek, menengah dan panjang Alokasi waktu dan sumber daya
Learning with community, pendampingan aktif dari fasilitator (stakeholder) dan pertisipasi aktif masyarakat
Tahap Implementasi Program Outcome Peningkatan kapasitas dan sumber daya yang dimiliki masyarakat Kemandirian dan otonomi masyarakat
Institutional building
Monotoring dan Evaluasi Program
Capacity building (transfer sumber daya, teknologi, pengetahuan, skill, dsb) Membangun jaringan, baik antar komunitas maupun stakeholders di luar kelompok
Sustainability activities
Other activities
Empowered Community Institutionalization of local group and their activities
Community capacity to help themselves
Peningkatan kesejahteraan
A healthy community
Bagan I.2 Kerangka kerja pemberdayaan masyarakat melalui pendekatan Community Based Development (CBD)
34
Mengingat pemberdayaan masyarakat dengan pendekatan CBD ini bersifat people centered (berorientasi pada individu / kelompok masyarakat), maka Ghazala & Rao (2004) merumuskan tiga aspek utama yang begitu krusial dan saling berkaitan dalam pengimplementasian CBD yaitu: 1. Partisipasi Masyarakat Pendekatan CBD mengedepankan keterlibatan aktif (partisipasi) masyarakat dalam aspek perencanaan dan implementasi program. Menurut Hoofsteede (1971) dalam Khairuddin (2000), partisipasi berarti ”the taking part in one or more phases of the process” atau mengambil bagian dalam suatu tahap atau lebih dari suatu proses, dalam hal ini proses pemberdayaan. Keterlibatan aktif masyarakat dalam proses pemberdayaan menjadi penting karena masyarakat memiliki local knowledge (pengetahuan / kearifan lokal), modal sosial dan pemahaman akan karakteristik serta nilai budaya lokal yang sangat menentukan dalam keberhasilan proses pemberdayaan. Partisipasi aktif masyararakat di dalam tahap perencanaan program pemberdayaan akan memudahkan pihak stakeholder (fasilitator pemberdayaan) dalam merumuskan desain program yang sesuai dengan kebutuhan serta karakteristik masyarakat. Partisipasi masyarakat juga dibutuhkan selama proses berlangsungnya pemberdayaan karena kunci keberhasilan pendekatan CBD terletak pada proses belajar masyarakat selama berlangsungnya pemberdayaan. Dengan adanya proses belajar ini, di harapkan masyarakat kedepannya mampu untuk berdaya dan menyelesaikan masalahnya sendiri. Menurut Sherry R. Arnstein (1969), ada 8 tingkatan partisipasi masyarakat yaitu : No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
Types of Participation and ‘Non-Participation’ Manipulation Non-Participation Therapy Informing Consultation Tokenism Placation Partnership Delegated Power Citizen Power Citizen Control
Tabel I.1 Tingkatan partisipasi masyarakat dalam pemberdayaan menurut Sherry R. Arnstein
35
1. Partisipasi Manipulatif Dalam model partisipasi pasif, masyarakat hanya dijadikan alat oleh pihak yang memiliki power (pemberdaya). Pemberdaya merekayasa dukungan serta keterlibatan dari masyarakat. Biasanya pola partisipasi seperti ini bersifat mobilitatif, dimana pihak pemberdaya hanya membutuhkan tanda tangan peserta / masyarakat sebagai bukti kuat bahwa masyarakat telah ikut berpartisipasi. 2. Partisipasi Terapis Dalam partisipasi terapis, pemberdaya menganggap bahwa masyarakat memiliki masalah mental yang membuat mereka tidak berdaya. Oleh karenanya penentuan dari kebijakan pemberdayaan tetap ditentukan oleh pihak pemberdaya. Pemberdaya selalu mengontrol masyarakat dan menciptakan suasana seolah-olah masyarakat ikut andil di dalam proses pemberdayaan, padahal sebenarnya tidak. 3. Partisipasi Informatif Pada dasarnya, masyarakat memiliki hak untuk mengetahui hak, tanggung jawab dan pilihan-pilihan yang mereka miliki dalam pemberdayaan. Namun yang seringkali terjadi adalah pola komunikasi antara pihak pemberdaya dan masyarakat masih bersifat satu arah. Ini artinya pihak pemberdaya tidak memberikan ruang untuk adanya umpan balik dari masyarakat, sehingga masyarakat tidak memiliki power untuk bernegosiasi dan menentukan pilihan terkait perencanaan sebuah program pemberdayaan. 4. Partisipasi Konsultatif Dalam model partisipasi ini masyarakat telah diberikan ruang untuk berpendapat meski masih pada level yang terbatas, seperti dalam bentuk angket misalnya. Input dari masyarakat tidak serta merta dieksekusi dan dengarkan oleh pihak pemberdaya, karena keputusan akhir masih tetap berada di tangan pihak pemberdaya. Model partisipasi ini banyak dijumpai dalam kegiatan audiensi, pertemuan warga dsb. 5. Partisipasi Menenangkan Dalam hal ini pemberdaya menempatkan masyarakat pada posisi yang seolah-olah menguntungkan dan memiliki power untuk bernegosiasi dan menentukan pilihan. Akan tetapi pada dasarnya posisi tersebut sangat riskan diambil alih oleh pihak pemberdaya 36
jika terjadi suatu kondisi tertentu (ketidakmampuan masyarakat dalam mengelola suatu masalah). 6. Persekutuan (Kemitraan) Dalam partisipasi kemitraan ini, power di distribusikan melalui negosiasi antara masyarakat dan pemegang kekuasaan. Mereka sepakat untuk membagi tanggung jawab perencanaan dan pengambilan keputusan melalui kebijakan bersama. Pola persekutuan ini akan berjalan efektif pada kelompok masyarakat yang telah terorganisir dan punya resources yang cukup sebagai posisi tawar mereka terhadap pihak pemberdaya. 7. Pendelegasian Kekuatan Masyarakat memiliki kekuatan untuk bernegosiasi dengan pihak pemberdaya akan proses pemberdayaan (dari segi perencanaan dan implementasi). Masyarakat memiliki kekuatan untuk menyatakan tidak setuju dan memberikan kritik / umpan balik kepada pihak pemberdaya. 8. Kontrol oleh Masyarakat Tahapan ini adalah tingkatan tertinggi dari partisipasi masyarakat, dimana mereka telah memiliki akses untuk mengontrol kebijakan dan wewenang dari pihak otoritas / pemberdaya. Kontrol sosial dari masyarakat ini begitu kuat sehingga meminimalisasi kesewenangan dari pihak otoritas / pemberdaya. Dalam konteks pendekatan CBD ini, semakin besar keterlibatan masyarakat dalam seluruh rangkaian proses pemberdayaan, maka akan semakin besar dampak dan manfaat yang dirasakan oleh masyarakat. Dengan demikian partisipasi masyarakat begitu krusial dalam pola pendekatan pemberdayaan melalui CBD. Oleh karena itu, tantangan utama yang sering dihadapi oleh praktisi dan fasilitator pemberdayaan adalah bagaimana meningkatkan ketertarikan masyarakat agar mau terlibat dalam proses pemberdayaan. Salah satu strategi yang sering digunakan oleh stakeholder (fasilitator) pemberdayaan adalah dengan terlebih dahulu menginisiasi pilot project yang mampu menarik atensi masyarakat untuk turut berpartisipasi (pemberdayaan ekonomi atau peningkatan lifeskill melalui pelatihan misalnya). Ketika partisipasi masyarakat telah muncul, maka barulah diinisiasikan program-program pemberdayaan pada dimensi lainnya. 37
2. Komunitas / Masyarakat Tipikal program pemberdayaan berbasis partisipasi adalah adanya subjek masyarakat yang akan diberdayakan (dapat berupa kelompok atau entitas masyarakat di suatu wilayah). Literatur yang terkait dengan kebijakan pembangunan dan pemberdayaan umumnya menggunakan istilah community dengan mensimplifikasikannya sebagai masyarakat yang tinggal di wilayah (lokasi) administrasi tertentu, tanpa memperhatikan aspek homogenitas sosial politik, kohesi masyarakat serta kesamaan nilai dan interest. Seringkali pengklasifikasian masyarakat berdasarkan wilayah administratif menjadi kontra produktif ketika dijadikan acuan di dalam program pemberdayaan dengan pola pendekatan CBD. Hal ini antara lain disebabkan oleh : 1. Batas administrasi seringkali menjadi kabur seiring dengan meningkatnya mobilitas di masyarakat. Klasifikasi masyarakat yang berdasarkan wilayah administrasi akan lebih heterogen, multi etnis dan memiliki kompleksitas permasalahan yang beragam. Hal ini tentu akan semakin mempersulit proses pemberdayaan karena rawan terjadi friksi dan konflik interest di masyarakat. 2. Kompleksitas masyarakat dalam suatu wilayah administrasi akan mengaburkan struktur ekonomi lokal, budaya dan nilai-nilai lokal serta modal sosial di masyarakat, sehingga akan sangat mempengaruhi kekuatan dan efektivitas program. Oleh karena itu, pemilihan masyarakat atau komunitas sebagai target pemberdayaan tentu harus dicermati secara mendalam. Pengamatan karakteristik masyarakat ini akan sangat berguna dalam penentuan strategi pemberdayaan yang akan dilaksanakan. 3. Modal Sosial Aspek ketiga yang terkandung dalam pendekatan CBD adalah sokongan modal sosial dari masyarakat. Putnam (1993) dalam Ghazala & Rao (2004), mengartikan modal sosial sebagai “features of organizations such as trust, norms and networks, that can improve the efficiency of society by facilitating coordinated actions” Modal sosial dapat diartikan sebagai tampilan organisasi sosial seperti jaringan-jaringan kepercayaan yang memfasilitasi adanya koordinasi dan kerjasama bagi keuntungan bersama. Hal 38
ini merujuk kepada kemempuan individu dalam masyarakat untuk melekatkan diri (bonds) serta berinteraksi dengan kelompoknya sekaligus membangun jaringan dengan kelompok lain diluar komunitasnya. Adapun hasil dari interaksi ini adalah terbangunnya kepercayaan antar anggota masyarakat dan antar kelompok masyarakat. Kualitas dan kuantitas aktivitas kelompok ini adalah kunci utama kekuatan dari suatu masyarakat. Masyarakat dengan modal sosial yang tinggi akan cenderung bekerja sama dengan baik (gotong royong misalnya), merasa aman untuk berinteraksi dan mampu mengatasi perbedaan yang muncul antar individu maupun kelompok. Sebaliknya, di masyarakat yang modal sosialnya rendah akan tampak kecurigaan satu sama lain, fragmentasi di masyarakat juga akan mencuat, tidak ada keteraturan sosial dan sering muncul ‘kambing hitam’. Modal sosial ini dapat dilihat sebagai sumber (resource) yang timbul dari adanya interaksi antara orang-orang dalam suatu komunitas. Namun, pengukuran modal sosial jarang melibatkan pengukuran terhadap interaksi itu sendiri. Akan tetapi lebih menekankan pada hasil dari interaksi tersebut, seperti terciptanya atau terpeliharanya kepercayaan antar warga masyarakat. Berbagai ilmuan sosial sepakat bahwa sebenarnya modal sosial ini merupakan suatu hal yang sulit untuk di ukur, namun dapat dirasakan keberadaannya di masyarakat (terutama masyarakat desa). Untuk melihat keberadaan modal sosial ini setidaknya ada 3 parameter yang dapat dilihat di masyarakat yaitu : (1) Trust (kepercayaan), dalam hal ini Fukuyama (1995) menyatakan bahwa kepercayaan adalah harapan yang muncul di masyarakat yang ditunjukkan dengan perilaku jujur, teratur dan kooperatif yang berdasarkan pada norma-norma yang dianut bersama. Kepercayaan sosial yang terlembaga dengan baik merupakan tanda modal sosial di masyarakat yang masih baik. Modal sosial yang baik juga ditandai dengan adanya lembaga sosial yang kokoh dan pada akhirnya hal ini mampu melahirkan komunitas masyarakat yang harmonis. (2) Norms (norma-norma), dalam hal ini norma-norma terdiri dari pemahaman, nilai, harapan dan tujuan yang diyakinai sekaligus dijalankan oleh masyarakat. Norma-norma ini dapat bersumber dari panduan moral, kode etik maupun dogma dan nilai-nilai agama. (3) Network (jaringan), dalam hal ini jaringan kerjasama antar individu dan kelompok yang memfasilitasi terjadinya interaksi dan komunikasi merupakan perwujudan infrastruktur dinamis dari modal sosial. Adanya jejaring sosial ini akan memperkuat kerjasama antar individu dan kelompok sekaligus memupuk rasa kepercayaan antar sesama.
39
Menurut Spellerber (1997) dalam Suharto (2005) ada maka ada beberapa indikator kunci yang dapat dijadikan ukuran modal sosial antara lain yaitu : •
Perasaan identitas
•
Perasaan memiliki atau sebaliknya, perasaan alineasi
•
Sistem kepercayaan dan ideologi
•
Nilai-nilai dan tujuan-tujuan
•
Ketakutan-ketakutan
•
Sikap-sikap terhadap anggota lain dalam masyarakat
•
Persepsi mengenai akses pelayanan sosial, sumber daya, dan fasilitas (misalnya pekerjaan, pendapatan, pendidikan, perumahan, kesehatan, transportasi, jaminan sosial)
•
Opini mengenai kinerja pemerintah yang telah dilakukan terdahulu
•
Keyakinan dalam lembaga-lembaga masyarakat dan orang-orang pada umumnya
•
Tingkat kepercayaan
•
Kepuasan dalam hidup dalam bidang-bidang kemasyarakatan lainnya
•
Harapan-harapan yang ingin dicapai di masa depan. Para ilmuan sosial sepakat bahwa modal sosial tidak akan rusak jika terus menerus dipakai
dan dilembagakan di dalam sebuah komunitas / masyarakat. Hal ini karena pada dasarnya modal sosial tidak akan habis jika dipakai, tetapi akan malah semakin meningkat. Kerusakan maupun penurunan modal sosial lebih karena modal sosial ini jarang dipakai oleh masyarakat. Kerusakan modal sosial ini akan menyebabkan anomie dan perilaku anti sosial di masyarakat. I.6.2.3 Proses Pemberdayaan Perempuan Proses pemberdayaan perempuan pada umumnya terbagi dalam beberapa tahapan-tahapan. Pembagian ini bertujuan untuk memudahkan para pelaksana program pemberdayaan dalam hal penentuan tujuan dan indikator capaian pemberdayaan. Dengan demikian pemberdayaan yang di laksanakan dapat lebih sistematis, lebih efektif dan terukur. Menurut Wrihatnolo & Dwijowijoto (2007), ada tiga tahapan proses pemberdayaan yaitu:
40
1. Proses penyadaran target. Dalam hal ini perempuan yang hendak diberdayakan diberi pencerahan dan penyadaran bahwa mereka punya hak untuk maju. Prinsipnya adalah membuat target mengerti bahwa mereka perlu diberdayakan dan proses pemberdayaan dimulai dari dalam diri mereka. 2. Proses selanjutnya pemberian daya dan kuasa bagi perempuan yang diberdayakan agar memiliki kapasitas. Proses pembentukan kapasitas ini terdiri atas manusia, organisasi, dan sistem nilai. 3. Tahap terakhir, target (perempuan) diberikan daya, kekuasaan, otoritas, serta peluang untuk mengembangkan potensi yang dimilikinya. Sumodiningrat (1999) menjelaskan setidaknya ada tiga tahapan yang harus diperhatikan agar program pemberdayaan lebih efektif dan efisien : pertama, upaya itu harus terarah. Ini yang secara populer disebut dengan pemihakan, yang ditujukan langsung kepada yang memerlukan, dengan program yang dirancang untuk mengatasi masalahnya dan sesuai kebutuhannya. Kedua, program ini harus langsung mengikutsertakan atau bahkan dilaksanakan oleh masyarakat yang menjadi sasaran (dalam konteks ini adalah perempuan). Mengikutsertakan masyarakat yang akan dibantu mempunyai beberapa tujuan, yakni agar bantuan tersebut efektif karena sesuai dengan kehendak sekaligus juga mengenali kemampuan serta kebutuhan mereka. Hal ini sekaligus dapat meningkatkan kemampuan dari masyarakat (perempuan) dengan pengalaman dalam merancang, melaksanakan, mengelola, dan mempertanggungjawabkan upaya peningkatan kapasitas diri dan ekonominya. Ketiga, menggunakan pendekatan kelompok, karena secara individu masyarakat miskin dan perempuan sulit untuk dapat memecahkan masalah yang dihadapinya. I.6.2.4 Peran Aktor Sosial dalam Pemberdayaan Perempuan Aktor sosial adalah individu atau kelompok yang memiliki peranan penting dalam proses pemberdayaan. Aktor sosial memiliki kapasitas untuk memberikan pengaruh bagi masyarakat di sekitarnya. Aktor sosial juga dapat berubah menjadi agen sosial yang akan mendorong terjadinya perubahan di masyarakat jika ada sebuah tujuan, baik itu yang berkaitan dengan kepentingannya maupun kepentingan masyarakat luas yang memiliki keterkaitan dengan dirinya. Secara definitif agen sosial (social agent) dapat dimaknai sebagai sebuah entitas independen (dalam hal ini yang melekat dalam sistem kehidupan masyarakat baik itu individu, kelompok, pemerintah, ideologi 41
maupun sistem nilai dan budaya) yang memiliki kemampuan untuk mewujudkan suatu tujuan. Dalam konteks ini, tujuan (goals) yang dimaksud adalah perubahan masyarakat menuju kearah yang lebih baik (berdaya). Aktor sosial ini merupakan salah satu kunci dari keberlanjutan sebuah program pemberdayaan. Dalam konteks pemberdayaan perempuan aktor sosial inilah yang lalu menentukan sukses atau tidaknya sebuah program jika ditinjau dari aspek keberlanjutan setelah dilepas mandiri oleh pihak fasilitator pemberdaya. Aktor sosial ini umumnya dijadikan sebagai rujukan dan panutan oleh anggota komunitasnya. Karakteristik perempuan yang egaliter tentunya akan memudahkan indoktrinasi nilai oleh para aktor sosial ini. Apabila nilai dan semangat yang diinisiasikan oleh aktor sosial ini bersifat positif (membangun) serta seiring dengan tujuan akhir program pemberdayaan, maka probabilitas keberlanjutan program akan semakin tinggi, begitu pula sebaliknya. Smulovitz & Walton (2002), mendeskripsikan agen sosial (social agent) setidaknya harus memiliki 4 modal dasar, yaitu : 1. Sumberdaya Manusia dan Ekonomi Dengan semakin membaiknya SDM dan kemampuan ekonomi, maka akan mengurangi ketergantungan agen sosial terhadap kaum lemah yang harus diberdayakan. Terpenuhinya kebutuhan ekonomi akan membuat alokasi sumber daya dan usaha yang dilmiliki oleh agen sosial dapat dimaksimalkan dalam pemberdayaan. SDM yang baik juga akan memberi berbagai kemudahan bagi agen sosial dalam membuat pilihan serta keputusan yang terbaik dalam upaya pemberdayaan masyarakat. 2. Kapasitas dalam Memberikan Aspirasi (Pendapat) SDM agen sosial yang berkualitas merupakan aset masyarakat yang berharga. Dalam hal ini agen sosial dengan latar belakang pendidikan dan SDM yang mempuni mampu menuangkan ide-ide dan gagasan untuk kemajuan masyarakat kedepan. Dengan adanya pengaruh sosial di masyarakat yang dimilikinya, para agen sosial dengan mudah dapat menyalurkan dan menginternalisasikan ide-ide serta gagasan yang dimilikinya kepada seluruh masyarakat luas.
42
3. Kemampuan untuk Mengatur (Menejerial) Keampuan menejerial ini sangat penting dalam rangka mengimplementasikan ide-ide dan gagasan dalam sebuah program pemberdayaan. Kemampuan ini dibutuhkan dalam rangka mengorganisasikan sumberdaya yang ada di masyarakat agar lebih efektif serta efisien. Selain itu kemampuan ini juga berguna dalam menjalin jaringan dan kerjasama dengan pihak luar. Hal lain yang tidak kalah penting adalah seorang agen sosial harus memiliki kemempuan me-manage konflik kepentiangan yang rentan muncul di anggota masyarakat (terutama masyarakat miskin). 4. Kemampuan Berinteraksi Sebagai motor penggerak perubahan di masyarakat, tentu kemampuan komunikasi dan berinteraksi bagi agen sosial merupakan hal yang krusial. Kemampuan komunikasi dan berinteraksi yang baik dengan masyarakat di lingkungannya akan mempermudah dalam upaya penyaluran ide-ide dan gagasan pembangunan. I.6.3 Mengukur Keberhasilan Pemberdayaan Perempuan Suatu program pemberdayaan yang baik harus memiliki desain program dan perencanaan yang matang. Perencanaan program yang baik akan sangat menentukan dalam pelaksanaan tiap tahapan-tahapan pemberdayaan sehingga program yang dilaksanakan lebih terarah efektif serta efisien. Dalam perencanaan program pemberdayaan juga harus diperhatikan aspek pengalokasian sumber daya, rentang waktu yang dibutuhkan serta indikator capaian program. Hal ini tentu saja akan mempermudah para pelaksana program pemberdayaan dalam mengontrol setiap program sehingga pemberdayaan perempuan yang dilaksanakan menjadi lebih sistematis dan terukur. Di sisi lain, adanya perencanaan pemberdayaan yang baik pada akhirnya akan mempermudah para pelaksana program dalam mengevaluasi keberhasilan pemberdayaan. Hasil evaluasi program ini biasanya akan dijadikan acuan dalam pelaksanaan pemberdayaan selanjutnya dikemudian hari. Pada dasarnya ada berbagai cara yang dapat digunakan umtuk mengukur keberhasilan dari sebuah upaya pemberdayaan perempuan. Masing-masing cara ini memiliki nilai dan indikator yang dapat dijadikan sebagai tolok ukur keberhasilan suatu pemberdayaan. Namun begitu para ahli dan ilmuan sosial sepakat tidak ada nilai mutlak yang dapat digunakan sebagai ukuran serta indikator pemberdayaan perempuan secara absolut. Hal ini dikarenakan sifat pemberdayaan itu 43
sendiri yang multi-dimensional sehingga sulit untuk diukur berdasarkan angka-angka statistik yang bersifat kuntitatif. Kalaupun ada, itupun hanya bersifat parsial (hanya mengukur salah satu aspek saja atau mengukur keberhasilan program spesifik tertentu) seperti indeks pembangunan gender, indeks pembangunan manusia, rasio melek huruf dsb. Oleh karena itu, hingga saat ini belum ada sebuah indikator pemberdayaan secara universal yang dapat dijadikan acuan dalam mengukur keberhasilan pemberdayaan. Para praktisi pemberdayaan dan ilmuan sosial biasanya menetapkan indikator keberhasilannya berdasarkan karakteristik masyarakat setempat dan tujuan pemberdayaan yang akan dicapai. Namun walaupun demikian, ada juga rumusan indikator untuk mengukur keberhasilan pemberdayaan yang sering dijadikan rujukan oleh berbagai paraktisi dan ilmuan sosial, khususnya di dalam program pemberdayaan perempuan, seperti rumusan indikator pemberdayaan perempuan dari Peneliti dari JSI (John Show International), Naila Kabeer, Linda Mayoux, Anne Marie Goetz, Rahman, Ackerley, Sara Longwe dan Hashmi pada tabel dibawah ini (Kumar & Paul, 2002) : JSI Six Domains of Women Empowerment Domain
Indikator
1.
Perasaan akan diri (sense of self) & visi di masa depan
Ketegasan, rencana untuk masa depan, tindakan yang berorientasi masa depan, kebebasan relatif dari ancaman kekerasan fisik, kesadaran masalah sendiri dan otonomi akan pilihan serta tindakan yang menunjukkan rasa aman.
2.
Mobilitas & visibilitas
Kegiatan di luar rumah, kebebasan relatif dari pelecehan di ruang publik dan aspek interaksi dengan manusia.
3.
Jaminan ekonomi
Kepemilikan properti, keterampilan dan pengetahuan baru, peningkatan pendapatan dan keterlibatan pada pekerjaan baru / non-tradisional.
4.
Status & pengambilan Percaya diri, mengendalikan pengeluaran, peningkatan status dalam keluarga, keputusan serta kekuasaan di memiliki / menguasai / membelanjakan uang, partisipasi dalam membuat dalam rumah tangga keputusan mengenai alokasi sumber daya dan tidak didominasi oleh orang lain.
5.
Kemampuan untuk berinteraksi secara efektif di ruang publik
Kesadaran status hukum dan akses terhadap layanan (fasilitas publik) yang tersedia, kemampuan untuk mendapatkan akses ke pelayanan sosial, kesadaran politik, partisipasi dalam program kredit dan penyedia layanan di masyarakat
6.
Partisipasi pada kelompok non-keluarga
Keterlibatan dalam forum di luar keluarga, ada forum untuk menciptakan rasa solidaritas dengan perempuan lain, kebebasan ekspresi diri dan artikulasi masalah, berpartisipasi dalam kelompok dengan struktur otonom
Tabel I.2 Indikator enam bidang pemberdayaan perempuan oleh Jhon Show International (JSI)
44
Dalam upaya mengukur keberhasilan pemberdayaan perempuan, Malholtra, Schuler & Boender (2002) memasukkan juga dimensi lain dalam domain pemberdayaan seperti aspek legal (hukum), ekonomi, sosio-kultural, keluarga dan interpersonal, politik dan aspek psikologis. Dari hasil elaborasi berbagai aspek pemberdayaan yang bersifat multi-dimensional ini, kemudian di operasionalisasikan kedalam berbagai indikator dari level rumah tangga (keluarga), masyarakat, hingga ke area yang lebih luas. Dimensi
Rumah Tangga
Masyarakat
Area yang Lebih Luas
Ekonomi
Kontrol perempuan atas pendapatan, kontribusi relatif terhadap pendapatan keluarga, akses dan kontrol terhadap sumber daya keluarga
Akses perempuan terhadap pekerjaan, kepemilikan aset dan tanah, akses ke kredit, keterlibatan dan / atau representasi dalam asosiasi perdagangan lokal, akses ke pasar dan tenaga kerja nonpertanian
Representasi perempuan dalam pekerjaan berupah tinggi, rasio perempuan yang menjadi CEO di perudahaan, representasi kepentingan ekonomi perempuan dalam kebijakan ekonomi makro negara, besaran anggaran untuk kepentingan ekonomi bagi kaum perempuan
Sosial dan Budaya
Kebebasan dalam beraktivitas bagi perempuan, tidak adanya diskriminasi terhadap anak-anak perempuan, komitmen untuk mendidik anak perempuan dengan pendidikan yang layak
Akses perempuan terhadap ruangruang sosial, akses ke transportasi moderen, partisipasi dalam kelompok non-keluarga dan jaringan sosial, pergeseran normanorma patriarki (seperti preferensi bagi anak lelaki), representasi simbolis dari perempuan dalam mitos dan ritual adat / keagamaan
Perempuan yang melek huruf dan akses ke berbagai fasilitas dan pelayanan pendidikan, imej positif terhadap perempuan, peran dan kontribusi perempuan dalam area di luar komunitasnya
Keluarga / Hubungan Interpersonal
Partisipasi perempuan dalam pengambilan keputusan keluarga, kontrol atas hubungan seksual, kemampuan untuk membuat keputusan kehamilan, menggunakan alat kontrasepsi, akses aborsi, kontrol atas pemilihan pasangan dan waktu pernikahan, tidak ada kekerasan dalam rumah tangga
Pergeseran dalam sistem perkawinan dan kekerabatan menunjukkan nilai yang lebih baik dan otonomi bagi perempuan (misalnya keputusan menikah pada usia tua atau menunda pernikahan, pemilihan pasangan secara mandiri dan otonom, pengurangan praktek mas kawin, penerimaan hak-hak perceraian), kampanye lokal terhadap kekerasan dalam rumah tangga / keluarga
Kemudahan akses terhadap berbagai pilihan kontrasepsi, aborsi yang aman, pelayanan kesehatan reproduksi, akses terhadap lembaga hukum perceraian
45
Legal / Hukum
Pengetahuan tentang hakhak hukum dan pelindungan hukum
Mobilisasi masyarakat untuk hak asasi manusia, kampanye kesadaran hak asasi manusia, penegakan hukum lokal yang efektif dan berkeadilan
Hukum yang mendukung hakhak perempuan, akses ke berbagai pilihan sumber daya, Advokasi hukum bagi perempuan, penggunaan sistem peradilan untuk advokasi pelanggaran hak-hak perempuan
Politik
Pengetahuan tentang sistem politik dan sarana mengaksesnya, dukungan domestik untuk terlibat dalam politik, melaksanakan hak untuk memilih
Keterlibatan perempuan atau mobilisasi dalam sistem politik lokal / kampanye, dukungan untuk calon tertentu atau perundangundangan; perwakilan perempuan di badan-badan pemerintahan lokal
Representasi perempuan dalam lembaga pemerintahan regional dan nasional, representasi kepentingan perempuan dalam lobi-lobi yang efektif
Psikologi
Harga diri, aktualisasi diri, kesuksesan, kesejahteraan secara psikologis perempuan
Kesadaran kolektif akan ketidakadilan, potensi untuk mobilisasi
Rasa inklusi perempuan, penerimaan sistemik hak perempuan
Tabel I.3 Dimensi pemberdayaan yang sering digunakan beserta operasionalisasinya pada level rumah tangga, masyarakat hingga ke tataran area yang lebih luas
Mengukur keberhasilan pembangunan secara multi-dimensional seperti dalam uraian diatas tentu merupakan hal yang sulit dilakukan secara empirik. Hal ini karena proses pemberdayaan itu sendiri memakan waktu yang lama, sehingga seringkali proses pemberdayaan ini dibagi kedalam tahapan-tahapan yang menekankan pada pembangunan / penguatan salah salah satu dimensi saja, baru kemudian ketika dirasa masyarakat telah berdaya dilanjutkan dengan pembangunan dimensi lainnya. Oleh karena itu, pada prakteknya dalam mengukur keberhasilan kegiatan pembangunan (pemberdayaan) seringkali hanya melihat salah satu dimensi yang menjadi fokus pemberdayaan saja. Selain itu, perbedaan karakteristik masyarakat (sikap permisif, resistensi, norma dan nilainilai budaya) juga sering menyulitkan para praktisi dan ilmuan sosial dalam menggali informasi secara lebih mendalam di masyarakat untuk mengukur keberhasilan pemberdayaan secara multidimensional. Sehingga pada umumnya praktisi dan ilmuan sosial hanya menggunakan indikator dan acuan keberhasilan pemberdayaan yang bersifat umum dan esensial saja. Kesulitan lainnya dalam mengukur keberhasilan pemberdayaan adalah karena hakikat pemberdayaan sendiri yang merupakan sebuah ‘proses’. Dalam hal ini, sebuah proses dapat diartikan sebagai upaya untuk maju (berubah menuju ke arah yang lebih baik) secara berkesinambungan sehingga kondisi riil di masyarakat menjadi lebih dinamis dan dapat berubah setiap saat. Dinamika proses pemberdayaan 46
inilah yang kemudian sulit untuk diukur, apalagi ketika menyangkut aspek transisi dan peralihan power kepada masyarakat yang diberdayakan. I.6.4 Definisi Konseptual 1. Industri Rumah Tangga (IRT) Industri rumah tangga dapat dimasukkan ke dalam golongan usaha kecil maupun industri kecil, tergantung dari kesesuaian kriteria yang dimiliki oleh usaha rumah tangga tersebut. Dalam hal ini industri rumah tangga termasuk dalam kategori usaha mikro, dengan kepemilikan pribadi (perseorangan) dan tenaga kerja minim (anggota keluarga). Menurut UU Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) disebutkan bahwa usaha mikro adalah usaha produktif milik orang perorangan dan / atau badan usaha perorangan yang memenuhi kriteria seperti : (1) Memiliki kekayaan bersih maksimal sebesar maksimal Rp. 50.000.000; tidak termasuk tanah dan / atau bangunan tempat usaha. (2) Memiliki hasil penjualan tahunan paling banyak sebesar Rp. 300.000.000; Adapun ciri-ciri usaha mikro adalah sebagai berikut : 1. Jenis barang / komoditi usahanya tidak tetap sehingga sewaktu-waktu dapat berubah. 2. Tempat usaha yang tidak menetap 3. Pengelolaan keuangan masih sangat sederhana. Belum ada pemisahan keuangan usaha dan keuangan rumah tangga. 4. SDM yang belum memiliki jiwa kewirausahaan. 5. Tingkat pendidikan rata-rata relatif masih rendah. 6. Umumnya belum memiliki akses kepada lembaga finansial formal. 7. Umumnya tidak memiliki persyaratan usaha dan aspek legalitas lainnya (NPWP). 2. Kelembagaan dan Kelompok Dalam berbagai literatur dan pemahaman masyarakat luas, seringkali ditemukan kerancuan dalam memahami konsep lembaga (institution) dan organisasi (organization). Dua kata berbeda 47
makna ini saling silang dan bersinggungan dalam tiap pembahasan yang berkaitan dengan aspek pemberdayaan masyarakat sehingga sering terjadi miskonsepsi dalam penggunaan kedua istilah tersebut. Menurut Portes, dalam Syahyuti (2006), lembaga dapat diartikan sebagai sekumupulan aturan baik itu formal maupun non formal yang membentuk kesalinghubungan antar peran dalam organisasi sosial. Secara lebih jauh, konsep lembaga (institution) ini juga dapat diartikan sebagai hal yang berisi norma, regulasi, dan kultural-kognitif yang menyediakan pedoman, sumber daya, sekaligus hambatan untuk bertindak bagi aktor sosial (masyarakat). Fungsi lain lembaga adalah menyediakan stabilitas dan keteraturan dalam masyarakat, meskipun lembaga juga dapat berubah seiring dengan dinamika dan perkembangan masyarakat. Adapun organisasi adalah bagian dari lembaga. Organisasi yang telah mendapatkan kedudukan khusus dan legitimasi dari masyarakat karena keberhasilan memenuhi kebutuhan dan harapan masyarakat dalam waktu yang panjang dapat dikatakan bahwa organisasi tersebut telah “melembaga”. Namun demikian, menurut para ahli setidaknya ada empat cara membedakan kelembagaan dengan organisasi, yaitu (Syahyuti, 2006) : 1. Kelembagaan adalah tradisional, organisasi moderen. 2. Kelembagaan dari masyarakat itu sendiri, organisasi datang dari atas (strukural). 3. Kelembagaan dan organisasi berada dalam satu kontinuum. Organisasi adalah kelembagaan yang belum melembaga. Organisasi yang sempurna adalah organisasi yang melembaga. 4. Organisasi merupakan bagian dari kelembagaan sehingga dapat disebut juga sebagai organ kelembagaan. Oleh karena itu, sebagai bagian dari lembaga, organisasi biasanya dibentuk sebagai wadah unuk mencapai tujuan bersama secara efektif. Jadi dapat disimpulkan bahawa organisasi adalah semacam ‘rumah’ (hardware) sedangkan lembaga merupakan ‘isi’ (software). Konsep kelompok tentu berbeda dengan konsep lembaga dan organisasi. Kelompok adalah kumpulan orang-orang yang merupakan kesatuan sosial yang mengadakan interaksi yang intensif dan mempunyai tujuan bersama sekaligus memiliki semacam organisasi atau struktur diantara mereka. Kelompok mengembangkan norma-norma, atau peraturan yang mengidentifikasi tentang apa yang dianggap sebagai perilaku yang diinginkan bagi semua anggotanya.
48
Dalam perspektif pemberdayaan masyarakat, peranan kelompok dianggap sangat strategis dalam meningkatkan partisipasi sosial, memfasilitasi proses belajar, dan bahkan sebagai wadah bersama dalam penyaluran aspirasi. Dalam tahapan lebih lanjut, kelompok juga dapat berfungsi sebagai katalisator bagi masyarakat sekaligus sebagai penguat posisi tawar (bargaining position) masyarakat terhadap aktor diluar kelompok. 3. Corporate Social Responsibility (CSR) Salah satu bentuk kontribusi entitas bisnis dalam pembangunan di wilayah operasionalnya diwujudkan dalam perilaku etis dengan memberikan kontribusi nyata kepada internal ataupun eksternal perusahaan. Salah satu wujud kontribusi tersebut adalah pelaksanaan Corporate Social Responsibility (CSR). Menurut The World Business Council for Sustainable Development dalam Edi (2008), CSR adalah komitmen berkesinambungan dari entitas bisnis untuk berperilaku etis dan memberikan kontribusinya bagi pembangunan ekonomi sekaligus meningkatkan kualitas kehidupan internal perusahaan (karyawan beserta keluarganya) maupun masyarakat luas. Secara lebih jauh, Carroll (1991) menjelaskan setidaknya ada 4 tingkatan implementasi CSR yang kemudian sering dikenal dengan istilah piramida CSR, yaitu : 1. Economic Responsibilities Secara historis entitas bisnis diciptakan untuk memproduksi barang dan jasa yang akan menghasilkan profit. Adanya CSR perusahaan seringkali dijadikan sebagai ajang untuk memperluas market dan meningkatkan profit daripada membantu mengembangkan dan memeberdayakan masyarakat. 2. Legal Responsibilities Implementasi CSR oleh perusahaan semata-mata hanya untuk mematuhi aturan hukum atau kontrak sosial dengan masyarakat. Perusahaan melaksanakan CSR hanya sekedar untuk menepati janji atau menghindari sanksi hukum dari pihak pemerintah / otoritas yang berwenang.
49
3. Ethical Responsibilities Dalam tingkatan ini entitas perusahaan telah menyadari bahwa mereka memiliki suatu tanggung jawab moral / etis kepada masyarakat sekitar yang terpengaruh atau terkena dampak operasional perusahaan (dampak lingkungan, sosial, ekonomi, budaya) baik itu secara langsung ataupun tidak langsung. Oleh karena itu program CSR lebih diarahkan untuk meminimalisasi dampak operasional perusahaan di masyarakat sekitar sekaligus berupaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat. 4. Philantrophic Responsibilities Dalam tingkatan ini perusahaan telah memiliki visi / misi untuk mengembangkan good citizenship yang menekankan pada kesejahteraan masyarakat (well being). Perusahaan telah memposisikan diri sebagai agen pembangunan masyarakat selain pemerintah dan aktif melakukan pengembangan masyarakat tidak hanya di lingkungan sekitar operasi perusahaan, tetapi juga masyarakat luas yang membutuhkan asistensi pemberdayaan. Dalam konteks pemberdayaan perempuan IRT jamu tradisional di Desa Argomulyo, upaya memahami positioning perusahaan dalam pengimplementasian program CSR ini cukup penting terutama untuk mengetahui motif perusahaan dalam memeberdayakan para perempuan anggota di kedua kelompok jamu. Motif inilah yang kemudian mempengaruhi bagaimana pendekatan / sudut pandang perusahaan dalam pemberdayaan. Hal ini akan sangat mempengaruhi hasil akhir dari pemberdayaan itu sendiri.
50