BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Penelitian Republik Demokratik Timor Leste sebagai negara baru yang sedang berkembang memerlukan berbagai kebijakan pemerintahan di segala bidang dalam mencapai tujuan nasional dan tuntutan perkembangan masyarakat terhadap pelayanan publik yang optimal government terutama dibidang kerja sama dengan negara-negara tetangga yang berbatasan langsung karena perbatasan merupakan garis demarkasi antara dua negara yang berdaulat secara yuridiksi. Pada awalnya perbatasan sebuah negara atau states border dibentuk dengan lahirnya negara, sebelumnya penduduk yang tinggal di wilayah perbatasan tidak merasakan perbedaan bahkan berasal dari etnis yang sama namun, dengan lahirnya negara penduduk tersebut akan dipisahkan sesuai dengan tuntutan kewarganegaraan yang berbeda. Dalam era globalisasi, setiap negara yang berbatasan langsung di dunia termasuk negara Republik Demokratis Timor Leste dan Republik Indonesia perlu meningkatkan kerja sama dalam bidang pengelolaan perbatasan, hal ini didukung oleh semakin meningkatnya hubungan masyarakat perbatasan yang saling tergantung satu sama lain. Adanya saling ketergantungan tentu akan berpengaruh dalam bidang ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya dan pertahanan keamanan. Kompleksitas penanganan kawasan perbatasan perlu didukung oleh komitmen politik yang kuat dari semua pihak di berbagai tingkatan pemerintah dengan perumusan kebijakan program pembangunan yang tepat agar dapat 1
2
meningkatkan kualitas kesejahteraan masyarakat dan kemajuan wilayah tanpa mengorbangkan kelestarian lingkungan, karena wilayah perbatasan antara Republik Demokratik Timor Leste dan Republik Indonesia memiliki nilai yang sangat strategis, hal ini dilihat atas pertimbangan karakteristik kegiatan yang berlangsung di wilayah sekitar perbatasan, nilai strategis kawasan perbatasan di tentukan oleh : a). potensi sumber daya alam yang berdampak pada ekonomi dan pemanfaatan ruang wilayah secara signifikan, b). faktor pendorong bagi peningkatan kesejahteraan sosial ekonomi masyarakat didalam atau diluar wilayah, c). keterikatan yang kuat dengan kegiatan wilayah yang lainnya yang berbatasan baik dalam lingkup nasional maupun regional, d). dampak politik dan fungsi pertahanan keamanan nasional. Pengaturan kebijakan hubungan kerja sama bilateral dalam pengelolaan perbatasan ini telah dipertegas dalam Konstitusi negara RDTL (Republiça Demokratica de Timor Leste) yang tertuang dalam Pasal 8 tentang Hubungan Internasional yang menyatakan bahwa : “1. Dalam urusan hubungan internasional, Republik Demokratik Timor Leste akan menganut asas kemerdekaan bangsa, hak segala bangsa atas penentuan nasib sendiri dan kemerdekaan, kedaulatan tetap rakyat atas kekayaan dan sumber daya alamnya. perlindungan hak-hak asasi manusia, saling penghormatan atas kedaulatan, kesatuan wilayah dan persamaan antarnegara, serta tidak campur tangan dalam urusan interen negara lain. 2. Republik Demokratik Timor Leste akan membangun hubungan persahabatan dan kerja sama dengan semua bangsa lain, dengan tujuan untuk mencapai penyelesaian konflik secara damai, perlucutan senjata yang umum, serentak dan teratur, penciptaan suatu sistem pengamanan bersama serta penciptaan suatu orde ekonomi internasional yang baru, yang mampu menjamin perdamaian dan keadilan dalam hubungan antarbangsa. 4. Republik Demokratik Timor Leste akan menjalin ikatan persahabatan dan kerja sama khusus dengan negara-negara tetangganya dan negara-negara sekawasan.”
3
Dalam rangka melaksanakan berbagai kerja sama dengan Republik Indonesia, Republik Demokratik Timor Leste perlu menyiapkan berbagai langkah terutama dalam kebijakan penyelesaian khusus masalah perbatasan antara Republik Demokratik Timor Leste dengan Republik Indonesia masih banyaknya wilayah perbatasan yang belum disepakati oleh kedua negara merupakan permasalahan tersediri bagi hubungan kerja sama bilateral. Bahkan konflik antar warga kedua negara sering terjadi karena tidak jelasnya border sign pos yang ada di perbatasan kedua negara.
Sebagian besar kawasan perbatasan di Republik Demokratik Timor Leste masih merupakan kawasan yang tertinggal dengan sarana dan prasarana sosial ekonomi yang masih terbatas, pandangan masa lalu bahwa kawasan perbatasan halaman belakang negara yang mengutamakan pendekatan keamanan (security approach) daripada pendekatan kesejahteraan (prosperity approach), dampak dan cara pandang inilah yang mengakibatkan kawasan perbatasan menjadi daerah yang belum tersentuh oleh dinamika pembangunan bahkan Masyarakat yang berada di kawasan perbatasan itu pun umumnya miskin dan lebih berorientasi ke negara tetangga. Pada awalnya, permasalahan pengelolaan kawasan perbatasan negara hanya merupakan salah satu isu sensitif yang berdimensi politik dan pertahanan, terutama berkenaan dengan keberlangsungan kerja sama atau ketegangan bilateral antara dua negara yang memiliki kawasan perbatasan yang langsung bersinggungan. Namun, seiring dengan perkembangan zaman, sensitivitas isu pengelolaan kawasan perbatasan negara dapat berkembang menjadi permasalahan
4
multilateral dan bahkan internasional. Di samping itu, kemajuan teknologi dan beroperasinya kepentingan negara dan korporasi yang bersifat lintas negara memungkinkan intervensi sejumlah pihak yang lebih luas melalui berbagai mekanisme internasional. Pada tanggal 28 Juli 2010 ada peristiwa penting terjadi di perbatasan Timor Leste - Indonesia di Batu Gade District Maliana. Peresmian launching border pass bagi masyarakat yang tinggal di sekitar perbatasan kedua negara. Dengan adanya sistem border pass ini maka perbatasan Republik Demokratik Timor Leste dan Republik Indonesia dapat dilalui hanya dengan kartu pelintas batas, tidak perlu menggunakan paspor dan visa. Dengan border pass maka warga di perbatasan dapat memenuhi keperluan mereka untuk saling kunjung keluarga dan sebagainya atau belanja di seberang perbatasan tanpa memerlukan bea cukai. Kebijakan border pass antara Republik Demokratik Timor Leste dan Republik Indonesia ini ditengarai oleh interaksi penduduk dalam hal perpindahan penduduk dan perdagangan tradisional perbatasan dengan alasan ekonomi yang sangat pelik penegakan secara tegas batas-batas antara kedua negara. Hal inilah yang
mendorong
pemerintah
kedua
negara
untuk
menyepakati
Mou
(Memorandum of Understanding) tentang Pengelolaan Perbatasan antara Republik Demokratik Timor Leste dengan Republik Indonesia Tahun 2003 yang memberi kelonggaran lintas batas negara antar masyarakat perbatasan. Pada dasarnya kebijakan border pass antara Republik Demokratik Timor Leste dan Republik Indonesia ini memiliki beberapa aspek penting, yaitu : hukum, politik, ekonomi, dan sosial. Hukum dalam hal ini lebih mengarah pada batas negara secara yuridiksi. Politik sebagai cermin negara yang melindungi
5
masyarakatnya. Ekonomi, memberikan perlindungan terhadap potensi ekonomi yang ada dan sosial, mendidik masyarakat untuk lebih mengenali wilayah negaranya. Secara umum persoalan perbatasan antar-negara biasanya dipicu oleh ketiga hal pokok. Pertama, perangkat hukum yang kurang memadai. Meskipun biasanya sudah terwadahi dalam perjanjian, akan tetapi perjanjian itu belum sepenuhnya memadai sehingga memungkinkan terciptanya lubang-lubang persoalan baru baik karena belum dirundingkan ataupun karena adanya perubahan geopolitik dan situasi regional. Kedua, tidak harmonisnya pengelola perbatasan secara nasional. Dalam kasus pengaturan wilayah perbatasan di Timor Leste dan Indonesia misalnya, sampai sekarang pengaturan perbatasan dilakukan secara ad hoc dan interdepartemen. Ketiga, belum tuntasnya perundingan antara negara yang berbatasan. Persoalan ini dipicu tidak hanya persoalan penentuan batas wilayah yang sangat rumit dan kompleks karena faktor demografis, administrasi pemerintahan yang belum efektif dan faktor sosial budaya masyarakat setempat akibat penentuan garis perbatasan warisan pemerintah kolonial yang membagi wilayah perbatasan secara imajiner. Terlepas dari segala keterbatasan yang ada, persoalan formulasi kebijakan border pass antara Republik Demokratik Timor Leste dan Republik Indonesia ini menjadi kebutuhan yang mendesak. Segenap potensi yang bisa dikelola dari kebijakan border pass ini akan sangat tergantung dari pelaksanaannya di lapangan. Dengan kata lain, proses ini menjadi kebutuhan dasar sebagai mengukuhkan kepentingan nasional masing-masing negara di wilayah-wilayah perbatasan secara multidimensional.
6
Berdasarkan pengamatan yang peneliti lakukan, masalah border pass di kedua negara ini dikelola oleh beberapa instansi yaitu Departemen Luar Negeri, Departemen Kepolisian Imigrasi dan instansi-instansi setingkat kecamatan di daerah perbatasan. Namun sangat disayangkan beberapa instansi tersebut dirasa kurang optimal dalam mengelola perbatasan ini. Hal tersebut disebabkan ketidakjelasan kebijakan pengelolaan perbatasan yang berlaku di kedua negara. Seringkali upaya perubahan kelembagaan yang mengurusi perbatasan di kedua negara (dalam hal ini adalah aturan main dan instrumennya) tidak diikuti oleh pembaruan landasan filosofi dan kerangka pikir yang digunakan. Akibatnya peraturan bertambah, lembaga bertambah, nama lembaga seringkali diubah, tetapi tipe kebijakan perbatasan yang dijalankan tidak berubah, sehingga tidak pula mengubah kinerja di lapangan. Dalam analisisnya terhadap kegagalan belajar berbagai bangsa, Diamond (2005) menyebutkan bahwa kegagalan tersebut akibat lemahnya para pengambil keputusan memahami adanya kondisi sosial yang kompleks (complex societies). Ciri complex societies antara lain keputusan yang terpusat, aliran informasi yang tinggi, koordinasi yang tinggi, instruksi oleh kewenangan formal, dan pemusatan sumberdaya. Adanya complex societies tanpa disertai adanya kemampuan kelembagaan untuk mengatasinya, hampir selalu berakhir dengan kegagalan. Berkaitan dengan formulasi kebijakan border pass yang dilakukan antara pemerintah Republik Demokratik Timor Leste dan Republik Indonesia ini, peneliti merasa pemerintah kedua kurang mendalami proses formulasi kebijakan. Salah satu sebab hambatan pemerintah kedua negara dalam merumuskan kebijakan border pass ini adalah terwujudnya kondisi sulit bagi tumbuhnya inovasi baru dalam pembuatan kebijakan. Kondisi tersebut akibat dari akumulasi
7
pengaruh dalam pembuatan kebijakan, misalnya pengetahuan dan bahkan keyakinan yang sudah usang, adanya kepentingan kelompok tertentu, kurang informasi yang diperlukan untuk mengungkap suatu fenomena, pemimpin yang tidak mengambil peran yang seharusnya, perorangan yang dapat mengubah hasilhasil kesepakatan dalam pembuatan kebijakan maupun keterlanjuran yang tidak mungkin diubah saat itu. Termasuk di dalamnya mencakup analisis aktor yang berkepentingan dalam formulasi kebijakan border pass, pengertian dan pengetahuan yang digunakan, informasi yang tersedia, maupun proses pembuatan kebijakan itu sendiri. Dengan demikian masalah kebijakan mempunyai lingkup lebih luas dan tidak sekedar pengetahuan teknis mengenai obyek yang diatur. Kebijakan juga tidak dapat diartikan sebatas peraturan-perundangan, melainkan solusi atas masalah yang terjadi di lapangan. Oleh karena itu, apa yang disebut sebagai masalah menjadi sangat penting dalam pembuatan kebijakan. Bertolak dari fenomena di atas, jelas bahwa dalam formulasi kebijakan border pass antara Republik Demokratik Timor Leste dan Republik Indonesia ini aspek kelembagaan dan politik lokal di yang belum ditetapkan sebagai masalah. Kondisi seperti itu disebabkan oleh: 1. Pendekatan dalam penyusunan kebijakan border pass hampir selalu berangkat dari sisi kepentingan pemerintah/nasional, sebaliknya kurang memperhatikan subyek yang diatur, seperti swasta, individu, kelompok masyarakat, dan lainlain, serta kepentingan dan kemampuannya. 2. Peraturan-perundangan menjadi instrumen yang dominan bahkan tunggal. Padahal banyak hal dapat diseselaikan secara sosial, ekonomi, maupun politik. Dalam kaitan ini juga terdapat pandangan yang kuat, bahwa peraturan secara
8
otomatis dapat tertuju kepada penyelesaian masalah, sementara kondisi di lapangan mempunyai banyak faktor yang dipertimbangkan oleh para pelaksana dalam mengambil keputusan yang dijalankannya. 3. Kedua hal tersebut terjadi akibat adanya policy narrative dan discource yang telah menjadi conventional wisdom dan tidak sejalan dengan masalah yang dihadapi dalam pembangunan daerah perbatasan. Permasalahan-permasalahan perumusan kebijakan border pass di atas, pada hakikatnya bermuara pada para aktor pembuat kebijakan tersebut. Perumusan kebijakan dalam prakteknya akan melibatkan berbagai aktor, baik yang berasal dari aktor negara maupun aktor non negara atau yang disebut oleh Anderson (2006: 46-67) sebagai pembuat kebijakan resmi (official policy-makers) dan peserta non pemerintahan (nongovernmental participants). Pembuat kebijakan resmi atau disebut pula aktor resmi adalah mereka yang memiliki kewenangan legal untuk terlibat dalam perumusan kebijakan publik. Yang termasuk dalam aktor resmi adalah agen-agen pemerintah (birokrasi), presiden (eksekutif), legislatif dan yudikatif. Selain pembuat kebijakan resmi, terdapat pula peserta lain yang terlibat dalam proses kebijakan yang meliputi diantaranya kelompok kepentingan; partai politik; organisasi penelitian; media komunikasi; serta individu masyarakat. Mereka ini yang disebut oleh Anderson sebagai peserta non pemerintahan (nongovernmental participants) atau aktor tidak resmi, karena penting atau dominannya peran mereka dalam sejumlah situasi kebijakan tetapi mereka tidak memiliki kewenangan legal untuk membuat kebijakan yang mengikat. Peranan mereka biasanya adalah dalam menyediakan informasi; memberikan tekanan;
9
serta mencoba untuk mempengaruhi (Anderson, 2006: 57-67). Mereka juga dapat menawarkan proposal kebijakan yang telah mereka siapkan. Untuk memahaminya perlu memahami pula sifat-sifat semua pemeran serta (participants), bagian atau peran apa yang mereka lakukan, wewenang atau bentuk kekuasaan yang mereka miliki, dan bagaimana mereka saling berhubungan serta saling mengawasi. Di sinilah letak permasalahannya, pemerintah Republik Demokratik Timor Leste dan Republik Indonesia kurang melibatkan aktor tidak resmi dalam membuat kebijakan border pass ini, sehingga berakibat kebijakan yang dihasilkan kurang menyentuh pada kepentingan masyarakat. Hal ini dapat terlihat dari masih banyaknya penduduk yang melintas secara ilegal padahal telah diterapkan kebijakan border pass ini. Berdasarkan uraian yang dikemukakan diatas maka penulis merasakan pentingnya penelitian yang mendalam mengenal hal tersebut dan disusun dalam sebuah proposal yang berjudul “Formulasi Kebijakan Border Pass di Perbatasan Republik Demokratik Timor Leste dan Republik Indonesia dalam Pencegahan Illegal Border Crossing”.
1.2. Rumusan Masalah Kebijakan mengenai perbatasan negara antara Republik Demokratik Timor Leste dan Republik Indonesia lebih menitikberatkan pada aspek pertahanan keamanan, sedangkan isu pengelolaan kawasan perbatasan lainnya kurang dibahas dengan mendalam. Kebijakan yang ada belum berpihak kepada kawasan perbatasan dan daerah terisolir. Selain itu, belum adanya kebijakan dan strategi nasional pengembangan kawasan perbatasan. Paradigma yang terbangun selama
10
ini tentang wilayah perbatasan adalah kawasan perbatasan sebagai halaman belakang sehingga kebijakan yang dikeluarkan kurang memihak pada kepentingan masyarakat sekitar perbatasan. Pendapat umum yang berkembang selama ini adalah kawasan perbatasan merupakan sarang pemberontak, harus diamankan, terbelakang dan kurang menarik bagi investor. Akibatnya, berbagai potensi sumberdaya alam kurang dikelola, terutama oleh investor swasta. Sebagian besar kawasan perbatasan di Timor Leste merupakan kawasan tertinggal dengan sarana dan prasarana sosial dan ekonomi yang sangat terbatas. Di masa lalu kawasan perbatasan dipandang sebagai wilayah yang perlu diawasi secara ketat karena menjadi tempat persembunyian para pemberontak. Akibatnya, di sejumlah daerah, kawasan perbatasan tidak tersentuh dinamika pembangunan. Semenjak dikeluarkannya kebijakan border pass di perbatasan Republik Demokratik Timor Leste dan Republik Indonesia, fenomena yang peneliti uraikan di atas masih saja terjadi. Kebijakan yang dihasilkan kurang menyentuh pada kepentingan masyarakat sekitar perbatasan, hal ini terlihat dari masih banyaknya pelintas negara ilegal dalam arti banyak pelintas negara yang tidak memiliki dokumen resmi (termasuk kartu border pass). Bertitik tolak dari uraian latar belakang penelitian di atas, maka yang menjadi rumusan permasalahan dalam penelitian ini adalah: “Mengapa hasil dari formulasi kebijakan border pass antara Republik Demokratik Timor Leste dan Republik Indonesia hasilnya kurang menyentuh pada kepentingan masyarakat?”
11
1.3. Tujuan Penelitian Berdasarkan uraian dari masalah penelitian maka tujuan yang ingin di capai dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui formulasi kebijakan border pass antara Timor Leste dan Republik Indonesia dalam pencegahan Illegal Border Crossing.
1.4. Manfaat Penelitian Adapun manfaat yang diperoleh dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 1.4.1. Manfaat Teoritis a. Penelitian
ini
diharapkan
dapat
memberikan
masukan
kepada
pengembangan ilmu pengetahuan di bidang kebijakan publik. b. Penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sumber referensi penelitian sejenis, khususnya penelitian di bidang kebijakan publik.
1.4.2. Manfaat Praktis a. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan bagi pemegang kewenangan yang mengatur masalah border pass antara Timor Leste dan Indonesia sehingga pengaturan tentang border pass antara Timor Leste dan Republik Indonesia dapat berjalan sesuai dengan tujuan yang diharapkan. b. Penelitian ini diharapkan dapat membantu pembentukan peraturan bagi pemerintah Timor Leste yang berkaitan dengan wilayah perbatasan.