BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah Di Kalitorong1 , elit agama dan elit pemerintah desa selalu berkontestasi sejak Orde Baru sampai sekarang secara konsisten. Mereka sering berbeda pandangan tentang penyediaan sarana ibadah dan pendidikan, pemahaman agama, pilihan partai politik dan sebagainya. Kedua pemimpin di tingkat desa itu tidak saling bersinergi dan saling melengkapi, tetapi mereka justru saling menjatuhkan satu sama lainnya. Suatu saat, elit agama bertepuk tangan kalau elit kepala desa jatuh. Demikian juga, elit pemerintah senang kalau elit agama bisa masuk penjara. Keduanya bukanlah mitra kerja untuk melayani masyarakat tetapi justru menjadi pesaing. Hubungan keduanya merupakan hubugan yang rivalry (bersaing) dalam upaya memperoleh posisi kekuasaan. Akibatnya, kehidupan sosial di pedesaan sering sering diliputi ketidaknyamanan. Kontestasi tersebut bukan hanya berhenti pada ranah individual, tetapi juga berkembang menjadi ranah sosial karena praktek ini selalu melibatkan massa. Ulama memiliki jamaah yang secara rutin terpelihara loyalitasnya, yang tersebar di masjid dan mushalla. Sedangkan umara juga memiliki pengikut yang loyal dan jaringan sosial lain yang tidak sedikit. Oleh karena itu, kontestasi umara dengan ulama itu kemudian menjadi meluas ke seluruh penduduk desa. Mereka bukan sekedar mengetahui, atau menjadi pengamat, tetapi mereka sering terlibat dalam kontestasi. Penduduk akhirnya menjadi terbelah – ‘pendukung ulama’ atau
1
‘pendukung umara.’ Menjadi pendukung ulama
Salah satu desa di kecamatan Randudongkal, kabupaten Pemalang.
1
berarti menjadi pesaing dari kepala desa, demikian sebaliknya, menjadi pendukung umara sama artinya menjadi pesaing dari ulama. Maka, pada waktu itu sebagian penduduk ada yang kebingungan menentukan sikap - siapa yang harus diikuti. Kontestasi antara ulama dan umara menjadi kontestasi yang terbuka dan diketahui banyak orang. Pada tahun 2005, ulama yang dimotori kyai Muslih mengerahkan massa untuk menurunkan Pak Fahruri dari jabatan kepala desa yang baru dipegangnya selama 2,5 tahun. Pengerahan massa dilakukan di balai desa Kalitorong, kantor kecamatan Randudongkal, maupun pendopo kabupaten Pemalang. Ulama tersebut bukan hanya berpartisipasi dalam beberapa unjuk rasa, tetapi juga melakukan audiensi bupati Pemalang sebagai bagian dari strategi untuk menjatuhkan kepala desa Pak Fahruri. Rumah kyai Muslih dijadikan posko pertemuan dalam mengatur strategi, menggalang dana, dan keperluan lain untuk menurunkan kepala desa. Ulama juga memanfaatkan perantau asal Kalitorong yang berada di Jakarta untuk mendukungnya, baik dalam bentuk finansial, maupun secara fisik untuk melakukan demonstrasi. Pengerahan massa itu dilakukan beberapa kali, dan yang paling besar adalah unjuk rasa yang ketiga, yang dilaksanakan di depan balai desa, dan dilanjutkan di kantor kecamatan. Menurut Pak Sutrisno, 2 jumlah massa pada waktu itu harus diangkut dengan 27 mobil, dan mereka yang menggunakan sepeda motor tidak bisa dihitung. Sebelum berangkat ke kantor kecamatan Randudongkal, para pengunjuk rasa berorasi keliling desa, dengan membawa loud speaker dengan tujuan mengajak masyarakat untuk bergabung. Setelah massa sudah berkumpul di depan balai desa, para tokoh agama kemudian melakukan orasi secara bergantian. Pada unjuk rasa yang kedua, massa
2
Wawancara dengan Pak Sutrisno, koordinator transportasi unjuk rasa penurunan kepala desa Kalitorong, tanggal 16 Deseber 2006.
2
menyegel pintu ruang kepala desa, mencoret-coret pintu dengan kata-kata kotor seperti kepala desa bajingan, asu dan sebagainya. Tindakan tersebut bisa dikategorikan dengan tindakan kekerasan dan tidak ada tokoh yang mampu mengendalikannya. Pak Tutuko, Camat Randudongkal yang menangani langsung unjuk rasa tersebut menggambarkan sebagai berikut: ‘Massa dengan jumlah banyak mendatangi kantor kepala desa, para tokoh melakukan orasi. Massa juga melakukan penyegelan balai desa. Pengunjuk rasa kemudian meneruskan di kantor Kecamatan dan pendopo kabupaten. Mereka menuntut agar kepala desa Drs. Fahruri mundur dari kepala desa, pokoknya mundur. Massa tidak mau ditawari alternatif penyelesaikan melalui jalur hukum atau jalur musyawarah. Pejabat di tingkat muspika dan muspida juga tidak mampu menahan aksi massa, demikian juga aparat dari kepolisian yang jumlahnya sangat terbatas. Aparat keamanan di tingkat lokal, seperti hansip, tidak bisa berbuat apaapa karena yang melakukan demonstrasi itu tetangga sendiri. Kepala desa akhirnya tidak bisa berbuat banyak. Melalui proses negosiasi akhirnya kepala desa mundur. 3 Pak Fahruri sebagai kepala desa merasa sedih menghadapi desakan massa untuk mundur. Pertama, secara ekonomi, Pak Fahruri sudah mengeluarkan uang yang tidak sedikit
untuk membeayai pilkades. Hasil dari tanah bengkok selama menjabat sebagai
kepala desa belum bisa menutup beaya pilkades yang sebagian berasal dari hutang. 4 Penurunan di tengah jalan akan memotong sumber ekonomi kepala desa. Akibatnya pengembalian hutang menjadi beban berat bagi Pak Fahruri.
Kedua, Pak Fahruri itu
dilengserkan dengan alasan yang tidak masuk akal - dipaksa mundur dengan alasan sakit. 5
3
Pak
Fahruri menyatakan ‘saya itu sehat wal ‘afiat,
tetapi saya harus
Wawancara dengan Pak Camat Tutuko tanggal 24 Oktober 2005 di Kantor Kecamatan Randudongkal.
4
Kepala desa terpilih dalam pilkades Kalitorong 13 Desember 2006 yang lalu menghabiskan dana sekitar Rp. 60 juta, sementara di desa lainnya seperti di kecamatan Bodeh, Pemalang bisa menghabiskan dana Rp. 400 juta rupiah. Hal ini sangat tergantung pada kondisi bengkok.
5
Pernyataan kepala desa Drs. Fahruri bermaterai ditujukan kepada Bupati Machrus. Pernyataan ini sebenarnya pilihan hukum yang diberikan oleh Bupati setelah berkompromi dengan perwakilan ulama Kalitorong. Artinya, pernyataan ini bukanlah dilakukan secara sukarela, tetapi dengan paksaan.
3
menandatangani pernyataan bahwa saya tidak mampu memimpin desa lagi dengan alasan sakit.
Ini artinya
saya
harus membohongi diri sendiri’.
6
Pernyataan tersebut
menggambarkan kekecewaan kepala desa Pak Fahruri. Beliau tetap belum bisa menerima tindakan penggulingan terhadap dirinya, sehingga beliau masih dendam kepada para ulama. Beliau sampai sekarang masih menjaga jarak dengan tokoh agama Kalitorong, di dalam kehidupan sehari-hari sebagai anggota masyarakat. Ketiga, Pak Fahruri jatuh dari kekuasaan kepala desa oleh rakyatnya, saudara dan tetangganya sendiri, dengan cara dipaksa, dicaci, dihina, difitnah dan sebagainya. Padahal sebelum menjabat sebagai kepala desa, Pak Fahruri disanjung banyak orang sebagai tokoh. Beliau merupakan salah satu ulama yang berpendidikan sarjana, berasal dari kalangan priyayi, berwibawa dan sebagainya. Beliau juga dianggap tokoh reformasi karena berhasil menggulingkan beberapa pamong, di antaranya Pak Tarkhim dan Pak Juhari, yang telah terlalu lama menjabat di desa Kalitorong. Kesedihan dan kejengkelan tersebut telah menyebabkan Pak Fahruri sampai sekarang belum nyaman bergaul dengan tetangga dan saudaranya yang mendukung penurunannya. Bahkan, Pak Fahruri bertahun-tahun tidak mau shalat berjamaah di masjid meskipun sangat dekat (sekitar 20 meter), karena mayoritas tokoh agama di masjid mendukung penurunannya. Pergaulan Pak Fahruri masih terbatas pada teman akrab, dan dan kegiatan di masjid pada hari raya lebaran dan idul adha.
6
Dalam surat pernyataan disebutkan bahwa Pak Fahruri mengundurkan diri dari jabatan kepala desa Kalitorong karena sakit.
4
Pihak ulama seperti
ustadz Asmu’i, Pak Sahnan7
membenarkan adanya
penurunan kepala desa Pak Fahruri di desa ini. Bahkan ustadz Asmu’i mengakui bahwa dirinya menjadi salah satu wakil dari tokoh agama yang diajak beraudiensi dengan Bupati Pemalang Pak Machrus dengan tujuan agar kepala desa Pak Fahruri segera dilengserkan. Pak Asmu’i beralasan bahwa beliau bersama ulama lainnya ingin melakukan pembalasan kepada kepala desa yang telah melecehkan ulama. Peristiwa
yang menimpa ulama dengan umara yang disertai dengan pengerahan
massa itu, menurut ustadz Asmu’i, ‘goro-goro’
akan diingat terus oleh penduduk sebagai bagian dari
sejarah desa Kalitorong, karena pemimpin tertinggi yang dipilih secara sah
oleh rakyat dilengserkan di tengah jalan oleh pemimpin tertinggi di bidang keagamaan. Di samping itu, peristiwa
ini memiliki dampak psikologis yang panjang, bahkan bisa
seumur hidup, bukan hanya di kalangan para tokoh, tetapi juga pendukungnya. Sampai penelitian ini dilakukan tahun 2015 ini, hubungan antara Pak Fahruri dengan tokoh agama belum pernah saling sapa. Bahkan, Pak Fahruri masih sering mencari kelemahan ulama yang , mungkin, akan digunakan pada waktu yang tepat. Di samping itu, meskipun Pak Fahruri itu berasal dari santri yang ahli agama di tingkat desa, kelompok ulama juga belum bisa menerima Pak Fahruri. Peneliti mencurigai bahwa pelengseran kepala desa Pak Fahruri yang dimotori para ulama tersebut bukanlah gerakan sosial, tetapi merupakan bagian dari jejak-jejak kontestasi antar elit, khususnya elit agama dan pemerintah desa. Ulama dan umara saling bersaing berebut pengaruh. Maka mereka saling mencari kelemahan, dan apabila mereka 7
Ustadz Asmu’i adalah imam masjid Baitul Hamid (masjid jami’ untuk desa Kalitorong) dan ikut dalam mendorong penurunan Pak Fahruri. Sedangkan Pak Sahnan pelaku dombreng di era Orde Baru. Pertemuan dilakukan di rumah Pak Asmu’i pada tanggal 5 September 2006 pada saat peneliti pertama kali datang di Kalitorong.
5
memiliki kesempatan menjatuhkan. Kelompok ulama akan bertepuk tangan apabila umara jatuh, demikian sebaliknya, umara akan bergembira apabila ulama jatuh. Menurut Pak Sahnan, putra kyai Abdul Hamid, bahwa “huru-hara kados makaten mbonten sak niki mawon, jaman Pak Harto rumiyin nggih sampun wonten, kulo mboten mangertos nasib ipun Kalitorong” (kejadian seperti ini bukan hanya terjadi sekarang saja, jaman presiden Soeharto dulu juga sudah ada, kami tidak tahu bagaimana nasib desa Kalitorong). Pak Sahnan selanjutnya menyatakan bahwa
‘Dulu saya ikut ke Jakarta,
menyampaikan aspirasi ke DPRRI tahun 1979 untuk menurunkan Pak Wahyu’. Pernyataan tersebut mengungkap bahwa kontestasi antara ulama dan umara di Kalitorong bukan hanya terjadi di era pasca reformasi tahun 2005, tetapi telah berlangsung dalam waktu yang lama. Peristiwa pelengseran kepala desa tersebut tidaklah terjadi secara kebetulan, tetapi memiliki hubungan dengan peristiwa sebelumnya. Ada kontestasi antar elit yang berlangsung lama di Kalitorong sebelum terjadi penurunan kepala desa.
Peristiwa ini
merupakan kelanjutan kontestasi antar governing elite (kepala desa) dengan nongoverning elite (tokoh agama) dengan meggunakan habitus dan kapital yang mereka miliki pada beberapa arena sosial. Kontestasi antar elit di Kalitorng mementahkan pemahaman gambaran desa yang ‘adem ayem, toto tentrem’ sebagai wujud dari keharmonisan sosial di pedesaan. Misalnya, tesis Redfield yang menyatakan bahwa dasar hidup rakyat yang tinggal di pedesaan itu kesatuan, tidak ada yang dominan (Redfield, 1982: 89). Dengan peristiwa di Kalitorong tersebut, wilayah pedesaan yang sering diberi label menjaga harmoni, toleran, hidup penuh kedamaian dan keteraturan seakan hanya mitos, dan semakin susah untuk
6
dijumpai pada tingkat realitas. Tingkat kontestasi yang memanfaatkan faksi, baik antar keturunan, paham keagamaan, ekonomi, dan antar afiliasi politik sangat sengit. Sehingga bangunan desa itu sebenarnya sangat terjal, dipenuhi dengan perkelahian dari berbagai ‘geng’. Perbedaan kepentingan semakin menajam, sehingga kontestasi di aras lokal tidak bisa terhindarkan. Kontestasi ini semakin terlihat pada saat bangsa ini sedang menikmati kebebasan dan membangun demokrasi. Di samping itu, ulama sebagai pemimpin agama (religious leader) tampil menjadi penguasa kuat (powerfull leader) di masyarakat. Kyai memiliki peran polymorphic bersaing dengan kepala desa sebagai pemimpin formal yang dipilih langsung oleh rakyat. Hal ini mengindikasikan bahwa di pedesaan, elit agama itu juga menjadi pemimpin politik. Pemahaman bahwa tokoh agama hanya sebagai informal leader, pembaca do’a dan berperan monomorphic khususnya bidang keagamaan tidak dijumpai di Kalitorong. Bahkan, yang terjadi justru sebaliknya, ulama menjadi pemimpin agama sekaligus pemimpin politik. Hal tersebut bukan ‘given,’ tetapi sengaja diusahakan (by design) oleh ulama. Dimensi agama dan politik tidak bisa dipisahkan bagi ulama. Penulis menduga bahwa kontestasi ulama dengan kepala desa itu memiliki hubungan dengan terbatasnya arena sosial (field) sebagai sumber-sumber ekonomi politik. Hal ini bukan hanya terjadi
di bidang politik, tetapi juga bidang keagamaan,
pendidikan, sosial dan sebagainya. Di pedesaan, kehidupan sosial juga mengikuti prinsip bahwa di mana ada sumber ekonomi dan politik, maka di tempat itu orang akan memperebutkannya. Selama ini akademisi lebih memperhatikan dinamika sosial politik di perkotaan dibandingkan dengan pedesaan. Padahal, hiruk pikuk kontestasi di pedesaan
7
tidak kalah dahsyat dibandingkan dengan di perkotaan. Bahkan, kontestasi di pedesaan itu cenderung berlangsung lebih lama dan dinamis karena mereka sering bertemu.
1.2 Kajian Pustaka Kajian tentang elit di pedesaan bukan hal baru di Indonesia. Lucas, Basrowi dan tim peneliti LIPI, Sholeh, dan Husken telah memberikan perhatian khusus pada masalah ini. Lucas (2004) telah melakukan penelitian di tiga daerah, yaitu Brebes, Tegal dan Pemalang yang kemudian dikenal dengan ‘peritiwa tiga daerah’. Di era revolusi, sekitar tahun 1945-1946, banyak kepala desa yang menjadi korban dari kontestasi antar elit yang diikuti dengan tindakan kekerasan, seperti pemukulan, pembacokan dengan senjata, penyiksaan, pembakaran dan penjarahan harta milik kepala desa, dan sebagainya. Untuk kabupaten Pemalang, jumlah lurah yang lengser berjumlah 84 dari 115 lurah (Lucas, 2004: 166). Menurut Lucas fenomena tersebut dimaknai sebagai kekosongan kekuasaan karena pada waktu itu muncul ketidakjelasan siapa yang memegang kekuasaan. Kelompok anti-Jepang kemudian melancarkan menurunkan pejabat yang berkuasa, terutama pejabat yang pro terhadap penjajah. Lucas telah memotret dalam konteks kelengkapan aturan hukum, tetapi mengabaikan aktor yang mendesain kejadian tersebut. Basrowi (2004) juga secara khusus mengkaji masalah perlawanan rakyat kepada kepala desa. Basrowi menyimpulkan bahwa geger penurunan kepala desa itu merupakan bentuk baru dari partisipasi masyarakat di dalam melakukan kontrol terhadap kekuasaan kepala desa. Keberanian rakyat itu juga merupakan indikasi dari menguatnya kesadaran masyarakat untuk melakukan perlawanan terhadap hegemoni penguasa. Demonstrasi yang dilakukan rakyat kepada kepala desa itu merupakan gerakan murni dari bawah
8
sehingga bisa dikategorikan sebagai civil society (Basrowi, 2004: 170). Kepala desa (penguasa) yang adigang, adigung dan adiguno – melakukan tindakan korupsi, kekerasan dan tindakan dominatif yang lainya telah memicu rakyat untuk melawan kepala desa, agar good governance di tingkat desa segera terwujud. Basrowi melihat rakyat sebagai agensi. Namun demikian, hal ini perlu kaji lebih mendalam karena
masyarakat itu
bersifat herarkhis (ada kaum elit dan kaum alit). Rakyat biasanya hanya disuruh oleh elit untuk melawan kepala desa. Kajian lain yang membahas geger di pedesaan dilakukan oleh Cahyono dkk (2005), tim peneliti dari Pusat Penelitian Politik LIPI. Tim ini melakukan penelitian di beberapa desa dengan fokus pola relasi BPD (Badan Perwakilan Desa) dan kepala desa. Tim berkesimpulan bahwa relasi kepala desa dengan BPD itu kontestasi. Tim peneliti tersebut menguraikan secara deskriptif sumber kontestasi, ketegangan antara kepala desa dengan BPD. Tetapi, tim peneliti LIPI melihat kontestasi institusi, menggambarkan kontestasi antara kubu kepala desa dengan BPD. Padahal, BPD itu institusi atau wadah yang tidak bisa kontestasi. Aktor yang berada dalam institusi itulah yang berkontestasi, dengan menggunakan kendaraan BPD. Sholeh (2015) dalam disertasinya membahas konflik antar elit di Nusa Tenggara Barat.
Sholeh berkesimpulan bahwa konflik dalam perda zakat merupakan konflik
genelogis yang direproduksi terus menerus oleh para elit di tubuh organisasi Nahdatul Wathon (NW). Setelah Maulana Syaikh meninggal dunia, muncul perebutan warisan penerusnya (Rauhun dan Raihanun). Karena tidak ada penyelesaian, maka kontestasi kemudian berlanjut ke wilayah politik untuk memperebutkan kekuasaan, yang melibatkan massa.
9
Husken (1998) juga mengkaji kontestasi di salah satu desa di kabupaten Pati. Husken berkesimpulan bahwa sejarah desa itu sejarah kontestasi dinasti yang selalu dimenangkan oleh mereka yang memiliki modal yang kuat. Dalam rentang waktu 100 tahun, keluarga Matruno menjadi pemenang dalam perebutan kekuasaan melalui pilkades karena keluarga tersebut memiliki jumlah keluarga yang banyak, kemampuan ekonomi, dan jaringan yang kuat. Kajian yang dilakukan ini berbeda dengan apa yang telah dikemukakan di atas dalam dua hal. Aktor dari penelitian ini bukan hanya wong cilik, tetapi juga ‘kaum elit’. Sebagian penelitian yang telah direview di atas menggunakan subyek rakyat atau pelaku langsung. Mengikuti teori stratifikasi sosial, desa itu bukan hanya milik wong cilik, tetapi tokoh (elit). Oleh karena itu, penelitian ini lebih dialektis melihat tindakan sosial. Penelitian ini meyakini bahwa tidak ada faktor tunggal dalam tindakan sosial. Interaksi sosial itu sangat lentur, tidak clear cut.
Konsekuensinya, penelitian ini juga melihat
adanya variasi aktor, tindakan dan kepentingan dalam kontestasi.
1.3 Pertanyaan Penelitian Pertanyaan pokok yang akan dijawab dalam penelitian ini adalah mengapa para elit di Kalitorong itu berkontestasi sejak Orde Baru sampai sekarang? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, peneliti mengajukan sub-pertanyaan penelitian sebagai berikut : 1. Sejauhmana keterbatasan sumber daya alam, dan rendahnya kualitas sumber daya manusia menjadi potensi kontestasi antar elit di desa Kalitorong? 2. Sejauhmana elit agama dan elit pemerintah desa itu menguasai arena sosial (field), memiliki habitus dan kapital?
10
3. Bagaimana para elit itu menggunakan arena sosial, habitus dan kapital untuk berkontestasi di era Orde Baru dan era pasca reformasi? 4. Apa kepentingan di balik kontestasi antar elit di desa Kalitorong?
1.4 Tujuan Penelitian Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk menganalisis fenomena kontestasi ulama dan umara yang terjadi di desa Kalitorong. Secara lebih rinci penelitian ini bertujuan: 1. Mendiskripsikan dan menganalisis hubungan keterbatasan sumber daya alam, dan rendahnya kualitas sumber daya manusia menjadi potensi kontestasi antar elit di desa Kalitorong 2. Mendiskripsikan dan menganalisis bagaimana para elit itu menguasai arena sosial, habitus dan kapital. 3. Mendiskripsikan
dan
menganalisis
proses
kontestasi
di
arena
sosial,
menggunakan habitus dan kapital pada masa Orde Baru dan pasca reformasi 4. Mendiskripsikan dan menganalisis kepentingan di balik kontestasi antar elit di desa Kalitorong?
1.5 Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan bermanfaat : 1. Secara
teoritis,
untuk
mendapatkan
pemahaman
yang
komprehensif dari
fenomena kontestasi antar elit, instrumen yang digunakan, dan kepentingan yang mengikutinya. Pemahaman selama ini
11
dirasa masih terbatas pada permukaan
misalnya kontestasi institusi, kontestasi rakyat dengan penguasa, dan sebagainya. Oleh karena itu, kajian ini diharapkan memberikan pemahaman alternatif agar lebih mendekati pada realitas, sehingga memberi kontribusi bagi pengembangan keilmuan. 2. Secara
praktis.
Penelitian
ini diharapkan bermanfaat dalam mengantisipasi
kontestasi antar elit, khususnya ulama dengan umara. Dengan pengetahuan kontestasi, maka orang tidak akan mudah berpihak, tidak akan mudah terjebak untuk
melakukan
justifikasi,
fenomena komprehensif.
berfikir
hitam-putih,
tetapi mampu memahami
Pembuat kebijakan dapat mengambil manfaat dengan
membuat program yang relevan untuk melakukan pembangunan di pedesaan tanpa terganggu oleh adanya gejolak kontestasi antar elit.
1.6 Kerangka Teoritik Penulis memahami bahwa kontestasi merupakan bagian dari kehidupan sosial, maka kontestasi bisa ditemukan di setiap kehidupan sosial. Para aktor bermanuver untuk merebut posisi atau mempertahannya. Oleh karena itu, untuk mengkaji kontestasi antar elit di desa Kalitorong, peneliti meminjam teori sosialogi
dari Bourdieu. Peneliti menilai
bahwa konsep yang ditawarkan Bourdieu sangat tepat untuk digunakan untuk membaca praktek sosial di Kalitorong. Bourdieu menawarkan konsep arena (field), habitus, dan kapital. Ketiga komponen itu membentuk rumus yang dikenal dengan formulasi tindakan generatif yaitu (Habitus x Modal) + Ranah = Praksis. Rumus ini tidak logik dan aneh kalau berfikir secara matematika, tetapi inilah ilmu sosial. Dari rumus tersebut tampak bahwa tidak ada monokausalitas (faktor tunggal) dari tindakan sosial, karena tindakan
12
sosial itu merupakan hasil dialektis dari arena, habitus dan modal. Konsep yang ditawarkan di atas sangat berbeda dengan yang ditawarkan oleh Mills yaitu ekonomi, politik dan militer sebagai the power elite. Di samping itu, metode yang ditawarkan sangat realistis karena konsep dari Bourdieu itu bersifat diealektis, baik subyektif dan obyektif, struktur dan agensi. Arena sosial, habitus dan kapital itu saling mempengaruhi, tidak bersifat otonom dalam menghasilkan untuk menempatkan posisi seseorang atau kelompok.
Arena, habitus, dan
kapital memiliki hubungan dialektis. Arena sosial yang di dalamnya terdapat kapital akan menghasilkan habitus (opus operatum). Sedangkan habitus itu sebagai strategi dalam meraih kapital (modus operandi). Kapital yang telah diperoleh akan dipertaruhkan dalam arena sosial. Relasi yang dialektis tersebut akan terus terulang, tetapi berbeda arena berbeda habitus dan kapital yang digunakan. Bourdieu menganalogkan kehidupan sosial itu seperti game (pemainan) yang di dalamnya terdapat pemain (agen), bidang permainan, peraturan, strategi, dan kapital. Untuk
menjadi pemenang dalam permainan,
pemain tidak cukup hanya dengan
mengetahui dan mentaati peraturan, tetapi juga paham tentang sense of game. Pemain harus mengetahui jenis gamenya apa, siapa pemain yang terlibat, sehingga bisa menentukan langkah, mampu melihat kekuatan dan kelemahan. Pemain harus bisa mengantisipasi tindakan yang dilakukan oleh pemain. Pemain harus mengetahui rekam jejak dari pemain berdasarkan pengalaman yang dimiliki maupun pembelajaran yang diajarkan melalui proses internalisasi.
Pemain juga disyaratkan bisa memodifikasi
permainan, sehingga tampak tidak diketahui kalau sebenarnya melanggar peraturan.
13
Bourdieu mengembangkan konsep field (arena) yang digunakan para aktor untuk bermanuver, berjuang, mengatur strategi dan sebagainya. Maka, kehidupan sosial itu seperti layaknya permainan game di mana para pemain selalu berjuang untuk menjadi pemenang. Setiap arena sosial memiliki aturan yang harus diketahui oleh para aktor sebagai pemainnya. Di dalam arena itu para aktor berusaha keras untuk mendapatkan posisi untuk mengumpulkan beragam kapital.
Mengikuti pandangan Bourdieu, arena
sosial yang tersedia di dalam kehidupan sosial itu sangat banyak, seperti arena politik, pendidikan, agama,
arena ekonomi, arena politik dan sebagainya. Masjid, pengajian,
khol, dhibaan, yasinan, tahlil, mujahadah bisa dikategorikan sebagai arena bidang keagamaan. Sedangkan TK, Paud, SD, SMP termasuk arena sosial bidang pendidikan. Arena sosial bidang keagamaan berbeda dengan arena sosial bidang pendidikan, tetapi arena sosial sosial tidak bersifat otonomi, karena arena sosial yang satu dipengaruhi oleh arena sosial yang lainnya, misalnya arena politik mempengaruhi arena keagamaan, dan sebagainya. Swartz (1997: 117) menyatakan bahwa arena sosial yang dimaksud Bourdieu memiliki beberapa karakteristik. Pertama, arena sosial itu merupakan arena perjuangan untuk mengontrol dan mengakumulasi beragam modal seperti ekonomi, kultural, dan sosial. Kedua, arena itu ruang yang terstruktur antara posisi dominan dengan posisi subordinate. Di dalam arena itu, terjadi pertarungan antara pihak yang mempertahankan kekuasaan dan pihak yang merebut kekuasaan, atau antara ortodoks dengan heterodoks. Ketiga, di arena itu terdapat penerimaan aturan permainan (the rule of game). Artinya, kontestasi itu sah, legitimate, tidak aneh. Keempat, arena sosial itu tidak otonomi absolut
14
tetapi relatif. Artinya arena sosial yang satu tergantung pada arena lainnya. Arena sosial pendidikan juga dipengaruhi oleh arena politik dan sebagainya. Konsep field
itu menunjukkan arena sosial di mana agensi berjuang untuk
memperebutkan sumber daya (kapital), dan memperoleh posisi kekuasaan. Field juga menunjukkan arena pertarungan dari para agensi untuk mempertahan kekuasaan atau mengubah konfigurasi kekuasaan. Oleh karena itu, membicarakan arena sosial berarti menghadirkan kekuatan individu maupun kelompok, tetapi juga mengkaji perjuangan para agensi untuk memperebutkan posisi di dalamnya. Arena sosial itu itu merupakan arena kekuatan dan arena perjuangan dari para agen untuk
berusaha menjadi pemenang dalam kontestasi memperebutkan posisi
kekuasaan. Dengan kekuatan posisi dalam suatu ranah, maka peluang untuk mendapatkan tambahan kapital semakin besar.
Para aktor ingin memperluas pengaruhnya, bukan
hanya kepada pesaingnya maupun mereka yang berada di arena sosialnya. Oleh karena itu,
para agensi berusaha untuk memperkuat basis internal maupun memperoleh
pengakuan secara eksternal. Arena sosial dan habitus juga memiliki hubungan yang dialektis. Habitus itu dipengaruhi oleh arena sosial. Bentuk habitus itu merupakan hasil dari arena sosial (opus operatum). Bentuk habitus sangat ditentukan oleh arena sosialnya. Tetapi, habitus merupakan modus operandi dalam perjuangan memperoleh posisi di arena sosial. Oleh karena itu, habitus dan arena sosial memiliki hubungan ‘circular relationship’. Hubungan itu dijelaskan sebagai berikut:
15
Habitus
itu
merupakan
nilai-nilai
sosial,
yang
terbangun
melalui
proses
internalisasi dalam proses yang lama, sehingga mengkristal menjadi cara pandang, berfikir dan berperilaku. Oleh karena itu, pendidikan yang diberikan dalam keluarga, sebagai sekolah pertama, menjadi penting. Kedua orang tua, saudara, dan keluarga besar menjadi pembentuk habitus bagi seseorang. Lingkungan sekolah dan masyarakat juga sangat menentukan habitus seseorang. Di lingkungan ini diberikan pelajaran mana yang boleh dan mana yang tidak boleh dilakukan. Maka dalam hal ini, habitus itu produk dari keluarga, sekolah dan lingkungan sosial. Habitus akan terus menyesuaikan dengan arena sosial. Pada saat seseorang berada di arena sosial yang baru, maka habitus akan segera menyesuaikan dengan keadaan. Maka habitus itu never ending process of construction. Habitus agar segera mengeluarkan respon apa yang seharusnya dilakukan. Habitus akan fleksibel, mengikuti arena sosial. Menurut Bourdieu, ada beberapa ciri dari habitus. Pertama, habitus merupakan sistem disposisi (sikap dasar yang menjadi rujukan dalam menentukan sikap ketika
16
menghadapi pihak lain). Oleh karena itu, habitus itu merupakan cara pandang yang diperoleh melalui pengalaman dalam posisi sosial. Proses internalisasi dalam waktu yang lama sehingga membentuk disposisi dalam menentukan tindakan. Kedua,
sistem disposisi itu berlangsung lama dan berubah-ubah. Habitus
terbentuk melalui proses pembelajaran dan internalisasi. Habitus itu terbentuk dari proses dialog yang lama antara individu dengan kenyataan sosial. Maka, Bourdieu menyatakan bahwa habitus itu the product of an internalization of the structure of the social world. Mereka yang berkontestasi menggunakan beragam modus untuk memenangkan pertarungan karena tindakan manusia itu rasional. Oleh karena itu, penulis meminjam teori Bourdieu tentang habitus. Internasisasi yang halus dari para elit telah menghipnotis publik, sehingga mampu mengundang sempati tanpa penolakan. Habitualisasi yang dilakukan agensi sangat cerdas, sehingga menghadirkan doxa (penerimaan). Sebagai suatu game, tidak mungkin aktor hanya puas menjadi pengamat. Maka mereka juga aktif berjuang agar bisa menjadi pemenang dalam permainan. Pemain harus pandai memanfaatkan situasi, mencari kelemahan lawan, memahami aturan, belajar dari pengalaman, agar bisa menjadi pemenang. Bourdieu
(1986)
juga
menawarkan konsep
kapital sangat penting untuk
dipertimbangkan di antaranya economic capital, social capital, cultural capital, dan symbolic capital. Kapital itu
memiliki relasi
dengan arena sosial, karena kapital itu
berada dan berfungsi di arena sosial. Maka kapital itu seperti resource yang diletakkan dan diambil aktor di arena sosial. Bagi Bourdieu bahwa kapital itu bukan hanya ekonomi, tetapi semua yang memiliki bisa mengakses terhadap resources seperti kekuasaan, status, jaringan sosial, pengetahuan dan sebagainya.
17
Meskipun kapital itu bentuknya beragam
dan berbeda, tetapi kapital satu dengan yang lain memiliki kaitan yang erat dan bisa dipertukarkan, misalnya, uang bisa digunakan untuk membeli buku, benda seni dan sebagainya.
Kategori ini sangat membantu memahami kepentingan di balik kontestasi
antar elit di Kalitorong. Elit yang memiliki banyak kapital, merekalah yang akan menjadi pemenang dalam berkontestasi. Modal dalam konsep yang ditawarkan Bourdieu ini tidak sama dengan pandangan Marx. Meskipun tidak sama tetapi sangat tampak pengaruh Marx dalam pemikiran Bourdieu. Kapital dalam konsep Marx selalu diindentikan dengan modal ekonomi. Sedangkan modal dalam pandangan Bourdieu sangat luas, bukan hanya ekonomi, tetapi juga sosial, budaya dan simbolik. Kapital itu merupakan sumber daya, kekuatan-kekuatan yang bekerja di dalam ranah. Oleh karena itu, kapital itu sangat menentukan posisi seseorang dalam dunia sosial. Berdasarkan kepemilikan modal, Bourdieu membagi masyarakat berdasarkan kepemilikan modal. Pertama, kelas dominan. Kelompok ini memiliki modal besar, sehingga memudahkan mereka menerapkan persepsi dunia sosial tertentu terhadap kelas terdominasi. Kedua, kelas boujuasi kecil. Mereka merupakan kelompok yang ingin naik tangga menjadi kelas dominan. Ketiga, kelas populer. Mereka tidak memiliki modal. Modal ekonomi (economic capital) mencakup semua sarana produksi dan financial. Modal ini sangat penting dalam kontestasi, karena modal ekonomi mudah diukur kuantitasnya. Perseteruan membutuhkan modal ekonomi, jika tidak ada, maka tindakan sosial tidak berjalan dengan baik. Penawaran konsep modal ekonomi ini menunjukkan
bahwa
Bourdieu
dipengaruhi
oleh
Marx,
dan
kemudian
mengembangkannya bahwa modal itu bukan hanya ekonomi, tetapi juga modal lain.
18
Realitas sosial menunjukkan bahwa tidak semua barang itu bisa dinilai dengan uang, tetapi memiliki kekuatan dalam pertarungan memperebutkan posisi. Hal ini tentu tidak bisa diabaikan saja. Pemaknaan modal dengan uang saja, berarti telah mereduksi makna dari modal. Hal ini merupakan keunggulan Bourdieu di dalam menawarkan teori modal. Namun demikian, economic capital ini merupakan kapital yang paling mudah dikonversi dengan kapital yang lain, karena dengan kapital ini bisa membeli benda yang bisa menjadi pembeda, mengejar pendidikan, membangun jaringan sosial dan sebagainya. Bourdieu juga memperhatikan modal kultural (cultural capital) sebagai modal penting yang dipertaruhkan para agen dalam perebutan posisi. Yang termasuk dalam modal kultural di antaranya seni, pendidikan, bahasa, agama dan sebagainya. Mengkaji modal kultural ini tampak bahwa Bourdieu juga dipengaruhi oleh Weber yang telah lebih dahulu menawarkan konsep cultural values, religious belief dan sebagainya. Bourdieu membagi modal kultural ke dalam tiga bentuk. Pertama, embodied atau incorporated cultural capital dalam bentuk disposisi pikiran dan pembawaan fisik. Modal ini terbentuk melalui proses internalisasi dalam jangka waktu yang panjang. Ada proses penanaman dari eksternal ke dalam diri individu, sehingga mengkristal dan terwujud dalam pikiran dan pembawaan fisik. Kedua, objectivied cultural capital yang berupa barang-barang material, seperti lukisan, photo, lukisan, buku
dan sebagainya,
yang bisa menjadi pembeda dengan orang lain. Ketiga, institutionalized cultural capital, yaitu modal kultural yang diperoleh secara formal melalui proses pendidikan, sehingga para aktor itu meningkatkan kompetensi dan status sosial. Ijazah yang dikeluarkan oleh institusi menjadi cultural capital yang bisa membedakan dengan lainnya.
19
Relasi sosial dikategorikan oleh Bourdieu sebagai modal sosial (social capital). Modal ini sangat penting, karena berkaitan dengan sumber daya, tetapi jarang diperhatikan. Modal sosial ini berbentuk jaringan sosial antara agen dengan individu atau kelompok sosial. Mereka terlibat dalam relasi tukar menukar, saling membantu, dan sebagainya. Modal sosial ini merupakan aset bersama yang memunculkan kepercayaan (trust). Modal sosial ini juga ditawarkan Coleman dan Putnam, tetapi penekanan mereka tidak
sama.
Bagi Bourdieu,
modal sosial itu modal dalam rangka pertarungan
memperebutkan posisi, sedangkan Coleman lebih fungsional untuk ekonomi, dan Putnam social capital dalam bentuk trust. Symbolic capital merupakan tawaran penting dari Bourdieu pada waktu membicarakan modal. Symbolic capital merupakan efek dari economic capital, cultural capital, dan social capital. Pada saat elit desa itu terkumpul ketiga kapital di atas, maka mereka akan mendapatkan kuasa simbolik yang berupa honor, dan recognition. Mereka yang hanya memiliki salah satu dari ketiga kapital di atas, symbolic capitalnya juga masih lemah, karena masih kurang, sehingga penghormatan dan legitimasi masih terbatas pada arena sosial tertentu. Tindakan para agen itu membutuhkan makna simbolis dari masyarakat. Modal ini tidak tampak, tetapi dapat dirasakan. Modal simbolik ini sebenarnya efek dari modal lain dalam bentuk pengakuan, penerimaan, penghormatan. Kapital ini tidak independent, tetapi dipengaruhi oleh bekerjanya kapital lainnya. Penghormatan dan pengakuan itu bukan hanya dari internal kelompok, tetapi juga dari kompetitor, dan pihak ekternal. Symbolic capital itu merupakan bentuk kekuasaan dalam pengertian pengakuan, penghormatan,
ketaatan,
20
pengaruh. Oleh karena itu, dalam
konsep Weber, modal ini mirip dengan kharisma.
Hubungan antar kapital ini bisa
dijelaskan sebagai berikut. Mengikuti logika yang dibangun oleh Bourdieu bahwa hubungan arena sosial, habitus dan kapital itu bersifat ‘circular relationship, maka kontestasi antar elit desa tampaknya tidak akan berakhir, dan akan terus direproduksi pada masa yang akan datang. Kontestasi akan terus direproduksi selama menguntungkan para elit desa. Pertarungan antar antar elit desa tidak pernah selesai.
Mereka yang menang dalam kontestasi akan
memiliki kesempatan untuk melakukan dominasi. Setelah menjadi kelompok dominant, mereka akan terus berusaha mempertahankannya agar tetap berada pada posisi tersebut, sedangkan mereka yang berada pada posisi dominated akan berjuang keras untuk memperbaiki posisinya. Akhirnya, kontestasi akan terus ada dalam sejarah kehidupan manusia.
1.7. Metode Penelitian 1.7.1 Pemilihan lokasi Penelitian ini dilakukan di desa Kalitorong, kecamatan Randudongkal kabupaten Pemalang. Berawal dari informasi di Koran Suara Merdeka tahun 2005, penulis melakukan survey lapangan ke beberapa desa yang kepala desanya diturunkan massa. Penulis kemudian melakukan pelacakan ke beberapa desa. Maka, akhirnya penulis memilih desa Kalitorong. Hal ini karena di desa ini pernah terjadi peristiwa penurunan kepala desa dua kali (era Orde Baru dan era Reformasi), sedangkan desa lainnya hanya terjadi di era reformasi. Penurunan kepala desa di desa ini mencerminkan dua konteks yang berbeda, yaitu era Orde Baru ditandai dengan regim otoriter - di mana rakyat pada
21
umumnya tidak berani berbeda pendapat dengan kepala desa karena kontrol negara yang kuat, dan era pasca reformasi - rakyat bebas mengemukakan pendapat, dan menyalurkan aspirasi. Dengan pilihan dua peristiwa penurunan kepala desa ini diharapkan penelitian ini lebih diakronis, sehingga pemahaman tentang makna kontestasi kepala desa dengan elit agama lebih utuh akan diperoleh. Setelah melakukan penelitian dalam waktu yang lama, fokus penelitian ini bukan ke penurunan kepala desa, tetapi kontestasi antar elit. Penurunan kepala desa itu gejala yang tampak dari luar, ibarat gunung berapi, penurunan kepala desa itu seperti meletusnya gunung. Maka, penulis mendalami ‘magma panas’ yang berupa kontestasi antar elit yang telah menumpuk lama di dalam kehidupan sosial.
1.7.2. Jenis Penelitian Penulis
menggunakan
metode
penelitian
kualitatif
ethnografi.
Pilihan
ini
didasarkan pada beberapa alasan. Pertama, kontestasi ulama dengan umara ini bukan terjadi secara spontan, tetapi telah berlangsung dalam waktu yang lama, dan melibatkan banyak informan. Maka penelitian ini membutuhkan penggalian data mendalam, tidak cukup hanya dengan mempercayai pendapat atau pandangan melalui angket, tetapi diperlukan wawancara mendalam dan observasi. Kedua, kontestasi antar elit desa yang terjadi pada tahun 1979 dengan tahun 2005 itu memiliki konteks yang berbeda, sehingga hal ini harus dipahami sesuai dengan konteksnya. Maka pilihan metodenya lebih tepat menggunakan kualitatif karena sangat memerlukan kedalaman, bukan generalisasinya. Ketiga, penggalian makna harus bisa mengungkap realitas yang sebenarnya. Hal ini tidak
22
mudah ditangkap kalau menggunakan angket. Penelitian ini membutuhkan deskripsi data secara detil, maka pilihannya adalah menggunakan metode kualitatif.
1.7.3 Langkah Penelitian Ada beberapa langkah yang penulis lakukan untuk penelitian ini. Pertama, melakukan riset pendahuluan. Setelah penulis memperoleh informasi adanya penurunan kepala desa yang dilakukan oleh para ulama di Kalitorong dari internet, penulis kemudian melakukan pengecekan ke lapangan untuk mengetahui kebenaran peristiwa tersebut. Penulis menemui Pak Tutuko, Camat Randudongkal, di rumah dinasnya yang berlokasi di belakang kantor kecamatan. Beliau menyatakan ‘betul ada peristiwa penurunan kepala desa yang dimotori ulama, dan saya akan membantunya untuk penelitian ini’. Beliau yang langsung menangani unjuk rasa dan sering datang ke desa Kalitorong dalam upaya mediasi. Penulis,
kemudian,
datang ke desa Kalitorong diantar teman dari desa
Bantarbolang yang mengenal desa Kalitorong dan memiliki kesamaan dialek dalam berbahasa, dengan harapan penulis mudah diterima di masyarakat. Penulis
mendatangi
masjid sekaligus melakukan shalat ashar, dengan harapan bisa bertemu dengan orang yang mengetahui tentang kontestasi ulama dengan umara. Penulis diterima dengan baik oleh ustadz Asmu’i selaku imam di masjid. Pada awalnya, Ustadz Asmu’i mencurigai penulis sebagai penyidik dari kejaksaan atau petugas kepolisian. Hal ini karena peristiwa politik yang berupa penurunan kepala desa masih sangat terasa. Ustadz Asmu’i kemudian mengundang tetangga kanan kiri untuk menerima penulis, di antaranya Pak Sahnan dan Pak Kaspuri. Setelah penulis menjelaskan maksud dan tujuan ke Kalitorong, sambil
23
menunjukkan identitas penulis, akhirnya Ustadz Asmu’i dan tetangganya bisa menerima penulis, dan bersedia membantunya. Pada kesempatan tersebut penulis juga mendapat informasi bahwa di era Orde Baru juga pernah ada ‘geger’ antara ulama dan kepala desa Pak Wahyu. Bagi penulis, hal ini sangat menarik untuk dikaji lebih lanjut karena ada dua peristiwa penurunan kepala desa dalam konteks yang sangat berbeda (era Orde Baru dan pasca reformasi). Penulis mencurigai ada pola yang sama dalam peristiwa yang terjadi di era Orde Baru dengan pasca reformasi – pelakunya hampir sama, instrumen yang digunakan sama, meskipun strategi yang digunakan berbeda karena disesuaikan dengan situasi dan kondisi. Dari ustadz Asmu’i diperoleh sejumlah nama penting yang terlibat dalam penurunan kepala desa di antaranya kyai Muslih (kyai nomor satu di Kalitorong), Pak Harir (mantan kepala desa, tokoh masyarakat), Ali Sobirin (Pjs kepala desa, tokoh agama), Pak Tayubi (koordinator lapangan ketika terjadi pengerahan massa), Ust. Munasik (ulama), Pak Casmo dan Pak Salim (keduannya carik di era kepala desa Pak Wahyu) dan sebagainya. Penulis kemudian bersilaturrahmi kepara para tokoh tersebut dalam waktu yang berbeda. Penulis bukan meminta pendapat tentang penurunan kepala desa, tetapi mencara data tentang apa yang mereka ketahui. Penulis membiarkan pada subyek penelitian tersebut mengatakan apa adanya, sesuai dengan apa yang mereka ingat. Penulis kemudian bersilaturrahmi ke rumah kepala yang baru dilengserkan yang berdampingan dengan rumah ustadz Asmu’i.
Pak Fahruri menyatakan ‘saya diturunkan
ditengah jalan dan saya akan membantu penelitian ini, biar semua kelihatan’. Penulis sangat senang dengan pernyataan tersebut. Namun, Pak Fahruri juga berpesan ‘sebaiknya
24
jangan tinggal di Kalitorong’. Hal ini menunjukkan bahwa situasi belum aman kalau ada orang luar yang berada di Kalitorong. Kedua, mengurus ijin secara formal mulai dari Kesbang Linmas, kemudian turun ke kecamatan hingga kepala desa Kalitorong. Ketika di balai desa, penulis diterima oleh Pjs kepala desa yang dijabat oleh Pak Ali. Beliau menyatakan bahwa ‘pihak desa tidak bisa membantu apa-apa seperti tempat tinggal dan transportasi, tetapi beliau mengizinkan menjalankan tugas di desa ini’. Pak Ali bertanya kepada penulis ‘apa ini seperti KKN (Kuliah Kerja Nyata)’. Agar tidak banyak pertanyaan, penulis menjawab ‘ya’. Beliau juga menyarankan agar tidak tinggal di Kalitorong dengan alasan menjaga keamanan penulis. Dengan diterimanya penulis oleh imam masjid, kepala desa yang digulingkan dan Pjs kepala desa berarti penulis telah memperoleh rapport dari key informans. Bagi penulis, pintu untuk masuk ke desa Kalitorong telah terbuka lebar. Ketiga, menemui key informans. Penulis bertemu dengan Pak Harir, mantan kepala desa sekaligus ulama yang ikut menurunkan kepala desa Pak Wahyu di era Orde Baru, dan kepala desa Pak Fahruri. Dari Pak Harir, penulis memperoleh nama Pak Dahali, pamong yang mengalami nasib digulingkan oleh Pak Faruri, dan kemudian ikut menggulingkan kepala desa Pak Fahruri. Penulis juga diperkenalkan nama Pak Tarkhim, pamong yang pernah menjabat selama 55 tahun, dan menjadi centeng kepala desa Pak Wahyu. Pak Harir juga menunjukkan nama Pak Juhari, pelempar batu pada saat pengajian, tangan kanan Pak Wahyu yang juga digulingkan oleh Pak Fahruri. Selama melakukan penelitian, penulis sering berpartisipasi dalam kegiatan shalat berjamaah di masjid/mushalla, mengikuti beberapa pengajian akbar seperti halal bi halal, khol, dan maulid,
ikut kerja bakti pembangunan masjid, menghadiri beberapa hajatan
25
dan sebagainya. Masyarakat menganggap penulis sebagai ‘orang KKN (Kuliah Kerja Nyata)’- mahasiswa yang mendapatkan tugas dari kampus untuk melakukan pengabdian di masyarakat. Hal tersebut penulis lakukan agar penulis lancar di dalam proses pengumpulan data. Keempat, setelah penulis merasa aman, penulis kemudian memilih tinggal di rumah Pak Harir. Masyarakat saat ini mengakui sebagai tokoh masyarakat sekaligus tokoh agama. Beliau juga ikut menurunkan kepala desa Pak Wahyu tahun 1979, dan Pak Fahruri tahun 2005. Di samping itu, penjelasannya mudah dipahami oleh penulis,maka , ketika ada informasi yang agak sulit dipahami,
penulis selalu konfirmasi dengan Pak
Harir. Bagi penulis, Pak Harir ini seperti penterjemah, dan penjelas dari data yang penulis peroleh. Dialog dengan Pak Harir sering dilakukan sampai larut malam. Penulis juga beberapa kali bermalam di rumah informan lain, khususnya pada saat wawancara harus dilakukan sampai larut malam seperti Pak Dahali. Penulis juga sering berbuka bersama dengan informan, pada waktu wawancara dilakukan pada bulan puasa. Penulis berusaha menyesuaikan dengan informan seperti berperilaku sopan. Kalau malam hari, penulis memakai sarung dan berpeci, memakai baju yang sopan, bersikap merendah dan tidak menggurui, sering ke masjid/mushalla dan sebagainya. Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan melalui beberapa teknik. Pertama, wawancara mendalam (indepth interview). Wawancara ini dilakukan dengan key informan di antaranya, kepala desa yang digulingkan, para pamong, mantan kepala desa, para calon kepala desa yang kalah, dan pamong lainya. Di samping itu, penulis juga mewawancarai elit agama yaitu kyai, ustadz, imam masjid, imam mushalla dan tokoh agama yang lain. Wawancara mendalam juga dilakukan kepada para tokoh penurunan
26
kepala desa di antaranya, anggota tim 10, tim 11, tim 17, korlap, juru bicara, orang awam yang ikut melakukan unjuk rasa, dan pendukung kepala desa. Wawancara biasanya dilakukan sore hari setelah Ashar atau malam hari, karena pada waktu pagi masyarakat melakukan aktifitas rutin yaitu ke sawah, berdagang, dan pekerjaan lainnya. Bahkan kalau wawancara dilakukan malam hari, mereka tidak mengenal batas. Mereka selalu siap, tetapi penulis sendiri yang merasa kelelahan. Wawancara dilakukan secara informal, dan mengalir. Peneliti lebih banyak berusaha agar informan bisa bercerita apa yang mereka ketahui sekitar kontestasi ulama dengan kepala desa, dan penurunan kepala desa. Penulis mencatat dengan cepat kemudian setelah sampai di kost, penulis segera menulisnya. Penulis juga menggunakan alat bantu voice recorder, yang tidak diketahui oleh informan. Untuk
interview pertama, penulis biasanya ditemani penduduk lokal, agar
dipercaya dan diterima. Penulis cenderung tidak mempercayai interview pertama, karena sifat
jawabannya
sangat normatif.
Informan tidak
berani menyatakan apa yang
sebenarnya terjadi, karena diketahui oleh pengantar penulis. Untuk interview yang kedua dan seterusnya, penulis melakukannya sendiri sesuai kesepakatan waktu yang telah ditentukan. Setelah interview, penulis selalu mengkonfirmasi dengan informan lain. Key informan keperluan ini biasanya Pak Harir, Pak Dahali dan Pak Rosyidiq di rumah Pak Harir. Di samping itu, penulis melakukan triangulasi kepada informan yang tidak ikut tetapi mengetahui penurunan kepala desa. Triangulasi juga menambah dan meluruskan data yang diperoleh. Penulis melakukan triangulasi dengan penduduk yang penulis nilai netral, baik berstatus tokoh atau orang awam.
27
Kedua,
observasi (pengamatan).
Penulis mengamati perilaku aktor sebagai
konsekuensi dari apa yang telah mereka lakukan sebelumnya. Peristiwa penurunan kepala desa ini belum berlangsung lama sehingga dampak dari peristiwa tersebut masih terasa di dalam kehidupan sehari-hari.
Peristiwa yang masih bisa diamati sekarang di antaranya,
proses interaksi ulama dengan kepala desa yang digulingkan, sikap masyarakat dengan pendukung mantan kepala desa dan sebaliknya, lokasi balai desa yang menjadi tempat orasi dan penyegelan, dan sebagainya. Di samping itu, penulis juga mengamati pengajian, dan masjid dan mushalla, lokasi persawahan, sekolah dan kondisinya, rumah penduduk, lahan pekarangan dan pertanian, gang, shalat hari raya, shalat jum’at, pengajian khol kyai,
halal bi halal,
pengajian maulid di rumah ustadz Thohirin, pengajian rutin yang diisi oleh kyai Muslih, dan sebagaihnya. Penulis juga mengamati kegiatan sosial ekonomi masyarakat, baik orang awam maupun tokoh agama dan masyarakat seperti kyai Muslih, kepala desa, mantan kepala desa dan sebagainya. Penulis juga mengamati madrasah yang dicat oleh Pak Fahruri, penyembelihan binatang kurban, rehab masjid, orang hajatan, orang khol di rumah, kegiatan membaca yasin dan tahlil di makam yang dilakukan setelah shalat Subuh, dan sebagainya. Penulis juga melihat buruh tani itu bekerja di sawah, kehidupan priyayi di rumah, dan sebagainya. Ketiga, studi dokumen. Penulis mencari beberapa dokumen yang masih tersimpan di balai desa dan kantor kecamatan seperti data pemilu. Dokumen tuntutan warga yang diwakili oleh tim 11, kesepakatan yang dibuat dan ditandangi antara pihak kepala desa Pak Fahruri dengan tim 11 masih tersimpan di salah satu tokoh penurunan kepala desa. Hal tersebut sangat berarti di dalam penelitian ini. Di samping itu, penulis juga
28
mendapatkan arsip yang ditulis oleh surat kabar Kompas pada tahun 1979, dan berita demonstrasi penurunan kepala desa Kalitorong di Suara Merdeka yang ditulis pada tahun 2005. Namun demikian, arsip di desa itu sangat terbatas, karena budaya mencatat, mendokumentasi itu masih lemah. Hal ini menyulitkan penulis untuk melacak data yang diperlukan. Arsip atau dokumen mengenai gejolak yang pernah terjadi di Kalitorong, baik tahun 1979 maupun 2005 tidak ditemukan. Bahkan catatan mengenai hasil pemilu juga tidak tersimpan dengan baik. Para demonstran juga tidak menyimpan foto kegiatan yang mereka lakukan. Pengamatan,
interview
mendalam dan
studi dokumen
itu
sifatnya
saling
melengkapi. Observasi dan studi dokumen disempurnakan oleh interview mendalam, demikian juga sebaliknya – interview akan disempurnakan oleh observasi dan studi dokumen.
Di samping itu, proses pengamatan, interview dan studi dokumen itu bersifat
siklus interaktif. Ketika observasi sedang dilakukan, kemudian ada kesempatan untuk interview, maka interview bisa dilakukan. Demikian juga, ketika interview sedang dilakukan dan menemukan dokumen, maka penulis mengejar dokumen dan kemudian dilanjutkan interview lagi. Ketiga teknik pengumpulan data itu sangat fleksibel di dalam penerapan di lapangan.
1.7.4 Pengolahan dan Analisis Data Pengolahan data dimulai dengan mendiskripsikan kontestasi antara ulama dengan kepala desa. Penulis berprinsip membiarkan realitas berbicara apa adanya (let’s the reality say something), yang melalui observasi, wawancara mendalam maupun studi
29
dokumen. Penulis mencatat apa yang key informan ketahui, dengar, lihat, dan lakukan ketika terjadi penurunan kepala desa. Di samping itu, hasil observasi dan studi dokumen diselaraskan dengan hasil wawancara. Data kemudian dikonstruksi sesuai dengan apa yang subyek ketahui. Penulis kemudian merentangnya ke dalam beberapa kategorisasi, memilah-milah data berdasar substansi temuan, dan pada saat yang sama dilakukan proses reduksi data. Penulis hanya mengambil data yang relevan dengan masalah yang diteliti. Penulis kemudian melihat kecenderungan-kecenderungan, mencari hubungan asosional antara data yang satu dengan lainnya. Pada saat inilah penulis berdialog dengan teori-teori sosiologi kontestasi. Dialog dengan teori ini memerlukan waktu yang lama, karena pilihan teori yang digunakan untuk berdialog harus tepat. Selanjutnya, peneliti juga melakukan interpretasi (pemaknaan) terhadap tindakan sosial yang terjadi di Kalitorong. Semua proses pengumpulan data, pengolahan data, dan analisis data dilakukan secara siklus interaktif. Pada saat pengumpulan data, penulis sekaligus melakukan analisis. Pada waktu melakukan analisis, dan ditemukan datanya kurang, maka penulis melakukan pengumpulan data kembali. Pola demikian berlangsung terus sampai dengan penelitian dianggap selesai. Oleh karena itu, wawancara mendalam dilakukan berulangulang dengan tujuan memperoleh pemaknaan yang sebenarnya dari penurunan kepala desa.
30