BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Fungsi utama pemerintah dalam sektor publik, sebagaimana disampaikan oleh Musgrave dan Musgrave (1991), adalah alokasi, distribusi, dan stabilisasi. Fungsi alokasi adalah penyediaan barang publik atau proses alokasi sumber daya untuk digunakan sebagai barang pribadi atau barang publik dan bagaimana komposisi barang publik ditetapkan. Fungsi distribusi adalah penyesuaian atas distribusi pendapatan dan kekayaan untuk menjamin pemerataan dan keadilan. Sedangkan fungsi stabilisasi adalah penggunaan kebijakan anggaran sebagai alat untuk mempertahankan tingkat kesempatan kerja, stabilitas ekonomi dan laju pertumbuhan ekonomi, dengan memperhitungkan akibat kebijakan pada perdagangan dan neraca pembayaran (Fuad, et al, 2004). Dalam menjalankan fungsi tersebut, pemerintah perlu melaksanakan beberapa kegiatan seperti penyediaan barang dan jasa publik, asuransi sosial, propoor policy, dan juga kegiatan-kegiatan operasional yang memerlukan pendanaan. Untuk itu, pemerintah memerlukan sumber-sumber pembiayaan dengan cara merealokasikan sumber daya dari sektor privat untuk digunakan dalam kegiatan pemerintah (Hyman, 2010: 413). Hal ini menjadi wajar karena pemilik sebagian besar sumber daya dan faktor produksi dalam perekonomian ada di sektor privat. Salah satu cara untuk merealokasikan sumber daya tersebut adalah dengan pengenaan pajak. Mardiasmo (2009:1) mengatakan bahwa fungsi pajak adalah
1
sebagai
sumber
dana
bagi
pemerintah
untuk
membiayai
pengeluaran-
pengeluarannya dan sebagai alat untuk mengatur atau melaksanakan kebijakan pemerintah di bidang sosial dan ekonomi. Menurut Prof. Dr. Rochmat Soemitro, SH, dalam Mardiasmo (2009) pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undang-undang (yang dipaksakan) dengan tiada mendapat jasa timbal (kontraprestasi) yang langsung dapat ditunjukkan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum. Senada dengan pendapat tersebut, Hyman (2010 : 21) mengatakan bahwa pajak, sebagai sumber utama pembiayaan bagi pengeluaran pemerintah, merupakan pembayaran wajib yang tidak perlu adanya hubungan langsung dengan manfaat yang diberikan melalui pengeluaran barang atau jasa pemerintah. Berdasarkan data empiris, pajak merupakan sumber utama bagi pembiayaan negara. Pada APBN Indonesia tahun 2015
1
misalnya, penerimaan pajak
direncanakan sebesar Rp1.201,7 Trilyun atau sebesar 67% dari total pendapatan negara sebesar Rp1.793,6 Trilyun. Persentase penerimaan pajak ini makin membesar pada APBN perubahan 2015 2 . Penerimaan pajak direncanakan mencapai Rp1.294,3 Trilyun atau sebesar 74% dari pendapatan negara sebesar Rp1.761,6 Trilyun. Besarnya persentase pajak ini menunjukkan bahwa pemerintah mempunyai kepentingan yang besar dalam pengelolaan pajak untuk menjalankan kegiatan pemerintahan. Dengan adanya desentralisasi fiskal, pemerintah daerah juga dituntut untuk mandiri dalam pengelolaan fiskalnya dengan terus meningkatkan Pendapatan Asli 1 2
Lihat Budget in Brief APBN 2015 Lihat Budget in Brief APBNP 2015
2
Daerah (PAD) terutama melalui pajak daerah. Berdasarkan data yang dikeluarkan Ditjen Perimbangan Keuangan Kementerian Keuangan, secara nasional PAD menyumbang 23,75% dari total pendapatan daerah. Dari jumlah tersebut, 73,71% atau Rp132,93 triliun merupakan pajak daerah. Hal ini menunjukkan bahwa pajak daerah merupakan sumber pendapatan yang sangat penting bagi daerah. Dalam pelaksanaannya, masih terdapat inefisiensi diberbagai bidang yang menyebabkan pajak daerah tidak dapat dioptimalkan. Kota Metro, adalah salah satu daerah yang memiliki kendala dalam pengelolaan pajak daerahnya. Sebagai daerah dengan kategori kota kecil dan tidak memiliki sumber daya alam untuk dieksplorasi, pajak daerah seharusnya menjadi sumber pembiayaan utama. Pada APBD 2014, pajak daerah Kota Metro ditargetkan mencapai Rp11,4 milyar dari total PAD Rp87,389 milyar atau hanya 13,45%. Jumlah tersebut merupakan kontribusi dari 9 jenis pajak daerah yang, sebagaimana terlihat pada tabel 1.1. dibawah. Tabel 1.1. Target dan Realisasi Penerimaan Pajak Daerah Pemerintah Kota Metro Tahun Anggaran 20143 No
Uraian Pendapatan
1
Pajak Hotel
2
Target (Rp)
Penerimaan (Rp)
Persentase (%)
75.000.000
79.742.500
106,32
Pajak Restoran
700.000.000
529.413.556
75,63
3
Pajak Hiburan
85.000.000
109.576.000
128,91
4
Pajak Reklame
50.000.000
316.301.056
210,87
5
Pajak Penerangan Jalan
5.200.000.000
4.886.321.947
93,97
6
Pajak Parkir
70.000.000
83.558.822
119,37
7
Pajak Air Tanah
20.000.000
18.393.705
91,97
8
BPHTB
2.100.000.000
2.208.339.125
105,16
9
PBB
3.000.000.000
2.426.046.874
80,87
11.400.000.000
10.657.693.585
93,49
Jumlah
Sumber : Dinas Pendapatan Kota Metro 3
Data sampai dengan bulan Desember 2014
3
Dari tabel tersebut, terlihat bahwa pajak restoran di Kota Metro mempunyai realisasi penerimaan yang paling kecil. Sampai dengan November 2014, realisasi pajak restoran hanya mencapai Rp529.413.556,00 atau 75,63% dari target. Selain itu, sekitar Rp400 juta dari realisasi tersebut, disumbang oleh satu restoran cepat saji4. Kondisi ini bukanlah kondisi yang ideal bagi kota yang perekonomiannya bergantung dari sektor perdagangan dan jasa. Sistem pemungutan pajak restoran menggunakan self assessment system, yaitu sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada wajib pajak untuk menentukan sendiri besarnya pajak yang terutang (Mardiasmo, 2009: 7). Sistem ini juga diterapkan pada pajak hotel, akan tetapi jumlah wajib pajak hotel yang ada di Kota Metro hanya berjumlah 11 wajib pajak. Bandingkan dengan jumlah wajib pajak restoran yang mencapai 151 wajib pajak. Besarnya jumlah wajib pajak membuat pengawasan yang dilakukan oleh otoritas pajak akan sangat mahal dari segi biaya dan waktu, sehingga pemungutan pajak restoran sangat bergantung pada kepatuhan (tax compliance) dari wajib pajak untuk melaporkan jumlah penghasilannya. Pajak restoran di Kota Metro diatur melalui Peraturan Daerah Kota Metro Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pajak Daerah. Besar pungutan pajak restoran adalah 10% dari penghasilan restoran atas pelayanan penjualan makanan dan atau minuman yang dikenakan kepada pemilik restoran yang mempunyai penghasilan total lebih dari Rp250.000,00 per hari. Pada tahun 2014, jumlah wajib pajak yang
4
Berdasarkan wawancara tanggal 24 Mei 2015 kepada salah satu pegawai Dispenda Kota Metro
4
terdaftar adalah 151 wajib pajak5. Dari data tersebut, dapat dilakukan simulasi potensi minimal penerimaan pajak restoran di Kota Metro sebagaimana tabel 1.2. Tabel 1.2. Simulasi Potensi Minimal Penerimaan Pajak Restoran di Kota Metro Tahun Anggaran 20146 Uraian Penghasilan/hari/WP Penerimaan pajak/hari/WP Penerimaan pajak/hari Penerimaan pajak/tahun
Rp250.000 Rp250.000 x 10% =
Rp25.000
Rp25.000 x 151 WP =
Rp3.775.000
Rp3.775.000 x 30 hari x 12 bulan = Rp1.359.000.0007
Sumber : Diolah dari Dinas Pendapatan Kota Metro Apabila diasumsikan bahwa semua wajib pajak restoran mendapatkan penghasilan minimalnya yaitu Rp250.000,00 perhari, maka berdasarkan simulasi akan didapat potensi penerimaan pajak restoran sebesar Rp1.359.000.000,00 per tahun. Dengan angka realisasi pajak restoran yang hanya Rp529.413.556,00, maka sebenarnya realisasi pajak restoran di Kota Metro hanya mencapai sekitar 38,96% dari potensi minimalnya. Perbedaan antara jumlah potensi dengan realisasi ini disebut dengan tax gap yaitu selisih antara kewajiban pajak yang secara teoritis diwajibkan dalam peraturan perundang-undangan dengan penerimaan pajak aktual (McManus dan Warren, 2006). GIZ (2010) juga menyatakan hal serupa, yaitu tax gap atau tax revenue gap didefinisikan sebagai perbedaan antara pendapatan pajak
5 6 7
Data bersumber dari Dinas Pendapatan Kota Metro per 1 Januari 2015 151 wajib pajak yang terdata telah dinilai memiliki penghasilan perhari minimal Rp250.000 Perhitungan merupakan potensi minimal dengan asumsi penghasilan perhari Rp250.000
5
yang dapat diperoleh secara hipotesis (potensi) dari pajak terhadap pendapatan pajak yang sebenarnya. Besarnya tax gap pada pajak restoran di Kota Metro mengindikasikan adanya isu dalam kepatuhan wajib pajak restoran, sebagaimana yang diungkapkan oleh Gemmell dan Hasseldine (2013) : “...the difference between actual tax collected and the potential tax collection under full compliance with the tax code – have become the primary measures of tax non-compliance via (legal) avoidance and/or (illegal) evasion.” Sejalan dengan Gemmell dan Hasseldine, Andreoni, et al (1998) juga menyatakan bahwa tax gap merupakan indikator yang sering digunakan dalam melihat besarnya penggelapan pajak. Tax gap menjadi penanda adanya praktikpraktik ketidakpatuhan dalam membayar pajak melalui tindakan penghindaran pajak (tax avoidance) dan penggelapan pajak (tax evasion). Penghindaran pajak dilakukan dengan mencari celah dalam peraturan perpajakan (loopholes), sedangkan penggelapan pajak dilakukan dengan cara melanggar aturan. Dalam melakukan penghindaran pajak perlu adanya tax planning, yaitu perencanaan pajak dengan tujuan memperkecil pajak yang akan dibayar. Untuk melakukannya biasanya diperlukan seorang ahli hukum atau ahli perpajakan yang mengerti tentang regulasi dan administrasi perpajakan. Sehingga hanya wajib pajak perusahaan yang bisa melakukan penghindaran pajak. Pembahasan penggelapan pajak lebih kompleks karena merupakan perilaku ilegal sehingga wajib pajak yang melakukannya cenderung untuk menutupinya. Selain itu faktor penyebabnya bisa bermacam-macam, bisa dari faktor administrasi pajak, ekonomi, psikologis dan sosial. Beberapa penelitian yang ada menunjukkan hal tersebut.
6
Andreoni, et al (1998) dan Franzoni (1999) menyampaikan kerangka analitis penggelapan pajak yang menunjukkan interaksi antara kelembagaan otoritas pajak dengan wajib pajak. Kerangka yang disampaikan dilandasi pada rational choice dari otoritas pajak dan wajib pajak sehingga untuk mengurangi perilaku penggelapan pajak yang dilakukan adalah penegakkan aturan (enforcement) yang sangat ketat. Penelitian lain dilakukan oleh Loo, et al (2010) di Malaysia tentang kaitan antara self assessment system dengan penggelapan pajak. Penelitian itu sendiri menemukan bahwa self assessment system berpengaruh terhadap kepatuhan wajib pajak dalam memenuhi aturan-aturan perpajakan. Peran otoritas pajak menjadi penting dalam meningkatkan pengetahuan wajib pajak (tax knowledge) melalui program-program pendidikan pajak, dan juga adanya perbaikan dalam strategi kehumasan. Hal yang kurang lebih sama juga disampaikan melalui penelitian oleh Sapiei dan Kasipillai (2013) yang melakukan penelitian terhadap wajib pajak perusahaan di Malaysia. Lebih lanjut, Puspitasari dan Wardani (2013) menunjukkan bahwa self assessment system berpengaruh terhadap terjadinya penggelapan pajak pada penelitian di Sleman Yogyakarta. Penyebab dari hal tersebut adalah sistem perpajakan, kurangnya kesadaran masyarakat wajib pajak akan kewajiban perpajakannya, kondisi lingkungan, ekonomi dan sosial, tarif pajak yang tinggi, serta pelayanan fiskus yang kadang mengecewakan. Fagbemi, et al (2010) mencoba melihat perilaku penggelapan pajak dari sisi sosial dengan mengaitkannya dengan etika. Penelitian tersebut menunjukkan
7
bahwa perilaku penggelapan pajak tidak dibenarkan secara etika. Penelitian itu juga menemukan bahwa perilaku penggelapan pajak cenderung meningkat apabila masyarakat menganggap pemerintah berperilaku korup. Penelitian lain di Turki yang dilakukan oleh Benk, et al (2015) menunjukkan bahwa masyarakat secara umum tidak menganggap penggelapan pajak sebagai suatu kejahatan yang serius yang diakibatkan oleh kurangnya upaya penegakan aturan sehingga masyarakat tidak menjadi takut melakukan penggelapan pajak. Ketika masyarakat banyak yang mempersepsikan bahwa penggelapan pajak bukanlah kejahatan, maka perilaku penggelapan pajak menjadi norma sosial yang berlaku di masyarakat. Sehingga melakukan hal yang ilegal dianggap wajar karena semua orang melakukannya. 1.2. Rumusan Masalah Dari pemaparan diatas, diketahui bahwa terjadi tax gap yang besar pada penerimaan pajak restoran di Kota Metro antara realisasi pajak dibandingkan dengan potensi minimalnya. Tax gap ini menandakan adanya ketidakpatuhan wajib pajak dalam melaporkan penghasilan dan membayar pajaknya dengan menggunakan sistem pemungutan self assessment system. Hillman (2009:282) mengatakan bahwa penjual yang menjual langsung kepada konsumen yang merupakan pembeli terakhir mempunyai peluang terbesar untuk melakukan penggelapan pajak karena secara umum pembeli terakhir jarang sekali untuk meminta bukti transaksi. Selain itu Alt dalam Slemrod dan Yitzhaki (2002 : 1427) mengatakan semakin lebih mudah untuk memungut pajak dari bisnis yang terorganisir dibandingkan dari rumah tangga. Pendapat Hillman dan
8
Alt tersebut sejalan dengan karakteristik dari restoran yang menjual langsung kepada konsumen dan merupakan usaha rumah tangga yang kurang terorganisir. Sehingga perilaku penggelapan pajak merupakan penyebab terjadinya tax gap pada pajak restoran di Kota Metro. Keberadaan perilaku penggelapan pajak tidak bisa hanya diselesaikan dengan penegakkan aturan perpajakan. Sifat pajak yang memaksa dapat bertentangan dengan nilai-nilai kepublikan yang ada di masyarakat. Sehingga atas dasar tersebut, permasalahan yang akan diangkat dalam penelitian ini adalah mengapa terjadi perilaku penggelapan pajak oleh wajib pajak restoran di Kota Metro? 1.3. Tujuan Penelitian Dari pemaparan latar belakang dan masalah diatas, tujuan penelitian ini adalah untuk dapat menjelaskan latar belakang mengapa terjadinya perilaku penggelapan pajak oleh wajib pajak restoran di Kota Metro.
9