1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Salah satu upaya meningkatkan mutu sumber daya manusia di suatu negara, adalah dengan meningkatkan mutu pendidikan di negara tersebut. Peningkatan mutu pendidikan tidak bisa dilepaskan dengan penerapan standar dalam
penyelenggaraan
pendidikan.
Setiap
penyelenggara
pendidikan
berkewajiban untuk menerapkan dan mencapai standar itu agar memenuhi standar mutu minimal sebagai modal dasar untuk meningkatkan mutu pendidikan. Upaya meningkatkan mutu pendidikan memerlukan perencanaan dan proses yang panjang. Meningkatkan mutu pendidikan membutuhkan rancangan tentang apa yang hendak ditingkatkan, memilih bagian yang perlu ditingkatkan, dan menghasilkan output yang paling unggul di antara sekolah-sekolah yang ada. Oleh karena itu, peningkatan mutu pendidikan memerlukan komitmen yang tinggi dari semua komponen yang menjadi penggerak sekolah tersebut. Tiap langkah dalam mewujudkan mutu pendidikan yang baik di sekolah memerlukan disiplin, tanggung jawab bersama, dan komitmen bersama. Undang-Undang (UU) Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, merupakan fondasi sekaligus titik awal bagi pembangungn pendidikan nasional. Dikatakan sebagai titik awal karena peraturan perundangan ini disusun dan ditetapkan setelah gerakan reformasi nasional. Gerakan reformasi yang membawa perubahan yang mendasar pada segala sendi kehidupan berbangsa. Hal
2
itu juga berpengaruh pada bidang pendidikan terutama pada pengambilan kebijakanan nasional bidang pendidikan. Undang-undang ini membawa semangat dan paradigma baru dalam hal peningkatan dan penjaminan mutu pendidikan. Produk hukum ini juga sebagai landasan untuk mempercepat tercapainya tujuan pendidikan nasional dengan memberikan amanah kepada pemerintah untuk membuat perangkat penunjang bagi penjaminan dan peningkatan mutu pendidikan di masa yang akan datang. Landasan bagi percepatan peningkatan mutu pendidikan adalah seperti yang tertuang pada pasal 1 ayat (17) yang berbunyi ” Standar nasional pendidikan adalah kriteria minimal tentang sistem pendidikan di seluruh wilayah hukum negara Kesatuan Indonesia”. Hal ini berimplikasi bahwa setiap satuan pendidikan di seluruh Indonesia harus mencapai atau menerapkan standar pelayanan minimal di bidang pendidikan. Akan menjadi lebih baik lagi apabila satuan pendidikan bisa melampaui standar yang telah ditentukan. Kemudian ketentuan hukum ini juga bermakna amanah kepada pemerintah untuk merancang peraturan lanjutan sebagai penjabarannya. Pada pasal 35 ayat (4) UU Sisdiknas dinyatakan bahwa, ”Ketentuan mengenai standar nasional pendidikan akan diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah”. Inilah yang disebut amanah yang harus dilaksanakan di masa yang akan daatang. Penetapan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan merupakan amanah sekaligus penjabaran dari UU Sisdiknas. Pada ketentuan ini, standar pelayanan minimal yang perlu disusun, dicanangkan, dan dilaksanakan oleh penyelenggara pendidikan, yakni meliputi :
3
(1) standar isi; (2) standar proses; (3) standar kompetensi lulusan; (4) standar pendidik dan tenaga kependidikan; (5) standar sarana dan prasarana; (6) standar pengelolaan; (7) standar pembiayaan dan (8) standar penilaian. Tujuan dari diberlakukannya standar nasional pendidikan ini adalah seperti yang tertuang pada pasal 4 Peraturan Pemerintah Nomor 19 tahun 2005 yaitu : “standar nasional pendidikan bertujuan menjamin mutu pendidikan dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat”. Pasal ini mempunyai makna dan semangat bahwa penerapan standar dalam pendidikan tidak saja untuk meningkatkan kecerdesan intelektual peserta didik tapi juga membangun karakter bangsa. Semuanya ini akan bermuara pada kemajuan di semua sendi kehidupan masyarakat dan menempatkan bangsa Indonesia sebagai bangsa yang bermartabat di mata dunia. Selain itu pasal ini juga bermakna bahwa penerapan standar, dalam hal ini standar pelayanan minimal pada penyelenggaraan pendidikan, merupakan tahap awal dari proses panjang dan komplek bagi suatu usaha penjaminan mutu pendidikan. Mengingat demikian pentingnya penjaminan mutu pendidikan bagi kelangsungan dan kualitas generasi penerus bangsa, maka diamanatkan bahwa setiap satuan pendidikan pada jalur formal dan nonformal wajib melakukan penjaminan mutu pendidikan. Kemudian penjaminan mutu pendidikan yang dimaksud adalah bertujuan untuk memenuhi atau melampaui Standar Nasional Pendidikan (PP No.19 / 2005 pasal 91 ayat (1) dan (2) ). Dengan demikian penjaminan mutu pendidikan dilaksanakan di semua jenjang pendidikan dan dilaksanakan di seluruh wilayah nusantara. Dengan kata lain penjaminan mutu
4
pendidikan secara nasional sebenarnya dimulai dari tingkat satuan pendidikan yaitu sekolah. Dalam konteks manajemen mutu, PP No.19 tahun 2005 ini merupakan bagian dari penerapan manajemen mutu yang diaplikasikan melalui perangkatperangkat seperti perencanaan mutu (quality planning), pengendalian mutu (quality control), jaminan mutu (quality assurance), dan peningkatan mutu (quality improvement). Tanggung jawab manajemen mutu terdapat pada semua tingkatan manajemen dan implementasinya melibatkan semua orang pada semua unit dalam organisasi pemerintah pusat, pemerintah provinsi, pemerintah kota/kabupaten dan pada organisasi tingkat satuan pendidikan. Hal ini dipertegas dalam pasal 91 ayat (3) bahwa penjaminan mutu pendidikan dilakukan secara bertahap, sistematis, dan terencana dalam suatu program penjaminan mutu yang memiliki target dan kerangka waktu yang jelas. Perencanaan mutu (quality planning) dalam konteks sekolah tentunya adalah pemenuhan kebijakan mutu terhadap 8 Standar Nasional Pendidikan. Dengan demikian, sasaran dari program sekolah adalah pencapaian indikatorindikator kunci pada setiap standar yang ditetapkan. Perencanaan mutu harus disusun oleh segenap unsur-unsur sekolah dengan juga membangun komitmen untuk memperbaiki dan meningkatkan kinerja. Perencanaan mutu harus pula dikemas dan disusun secara sistematis mulai dari apa yang telah dicapai dan apa yang akan dicapai sesuai dengan target yang ditetukan secara rasional. Segala upaya yang dilakukan untuk mencapai mutu yang terbaik harus terencana dan
5
semuanya berada dalam kerangka waktu yang jelas. Jadi ada kesesuaian antara apa yang akan dicapai dan kapan hal itu tercapai. Sementara itu dalam melaksanankan pengendalian mutu (quality control) dalam PP No.19 tahun 2005 dijelaskan bahwa dalam rangka pengendalian mutu akan dilakukan oleh pemerintah pusat, pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten/kota, organisasi tingkat satuan pendidikan, Badan Standar Nasional Pendidikan (BNSP), dan Badan Akreditasi Nasional (BAN). Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 juga menjelaskan tentang penjaminan mutu pendidikan. Proses penjaminan mutu (quality assurance) dilakukan untuk mengidentifikasi hal-hal yang akan dan telah dicapai dan menentukan prioritas-prioritas peningkatan mutu, memberikan bahan untuk pengambilan keputusan berbasis data, dan membantu membangun budaya peningkatan mutu berkelanjutan. Setiap satuan pendidikan wajib melakukan penjaminan mutu pendidikan melalui pemenuhan 8 standar pendidikan secara konsisten dan berkelanjutan, sehingga konsumen, produsen, dan pihak lain yang berkepentingan memperoleh kepuasan. Penjaminan mutu atau mutu bukanlah suatu tujuan akan tetapi suatu proses yang dinamis yang berlangsung terus menerus. Sebuah proses yang dalam dunia manufaktur atau bisnis, harus menghasilkan produk yang memenuhi spesifikasi yang ditetapkan sebelumnya. Dalam konsep penjaminan mutu, proses produksi yang baik diletakkan dan dilekatkan pada tanggung jawab pribadi pelaku produksi. Proses produksi tidak begitu memerlukan kendali mutu (QC : quality control) apalagi dengan konsep inspeksi.
6
Akan tetapi sebenarnya inspeksi juga mempunyai peranan dalam proses penjaminan mutu (Sallis, 2010:59), namun dalam konteks yang berbeda. Proses yang panjang dan terus-menerus tentu sangat membutuhkan suatu unsur yang berfungsi untuk mengawasi dan mengontrol. Oleh karena itu maka fungsi pengawasan sangat vital dalam kerangka pemantauan proses yang terjadi. Dunia pendidikan juga mengenal fungsi pengawasan yaitu yang disebut pengawas sekolah. Pengawas sekolah merupakan pegawai negeri sipil yang diberi tugas, tanggung jawab dan wewenang secara penuh oleh pejabat yang berwenang untuk melakukan pengawasan pendidikan di sekolah dengan melaksanakan penilaian dan pembinaan dari segi teknis pendidikan dan administrasi pada satuan pendidikan pra sekolah, dasar dan menengah (Kepmendikbud RI Nomor 020/U/1998 tanggal 6 Pebruari 1998 tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan Jabatan Fungsional Pengawas Sekolah dan Angka Kreditnya). Pengawas sekolah juga berfungsi sebagai mitra guru dan kepala sekolah, inovator, konselor, motivator, kolaborator, asesor, evaluator dan konsultan. Bentuk kegiatan yang dapat dilakukan dalam rangka pembinaan sekolah adalah dengan melakukan pemantauan (monitoring) dan penilaian (evaluasi). Dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 39 Tahun 2009 tentang Pemenuhan Beban Kerja Guru dan Pengawas Satuan Pendidikan, pada ayat 3 dinyatakan “Pengawas sebagaimana dimaksud ayat (1) meliputi: mengawasi, memantau, mengolah dan melaporkan hasil pelaksanaan 8 (delapan) Standar Nasional Pendidikan pada Satuan Pendidikan.
7
Kenyataannya pengawas sekolah sebagai pihak eksternal pengendalian mutu pendidikan pada level satuan pendidikan sering
dikesampingkan
peranannya dalam proses peningkatan mutu pendidikan di sekolah. Bahkan, tidak jarang pengawas menjadi pihak pertama yang patut disalahkan ketika terjadi kegagalan dalam hasil pendidikan. Tentunya, hal ini menjadi pertanyaan besar mengapa anggapan dan wacana itu dapat terjadi di kalangan sekolah. Keadaan di lapangan juga memperlihatkan terjadinya penurunan kinerja pengawas satuan pendidikan di Indonesia. Hal ini seperti yang terungkap dari pengalaman penelitian dari Adaski (2010: 48-53) yang menyatakan bahwa saat ini kinerja pengawas menjadi bahan pembicaraan warga sekolah. Berdasarkan pengalaman Adaski sewaktu memimpin sebuah sekolah swasta di Jawa Barat, masih ada tindakan tidak terpuji oknum pengawas dengan cara ”nangok” atau meminta sejumlah uang kepada sekolah swasta yang baru buka. Tindakan seperti jelas sangat disesalkan mengingat seharusnya pengawas bertugas memberikan arahan dan binaan yang baik pada sekolah. Kejadian seperti ini bisa terjadi karena beberapa faktor, diantaranya : 1. Rekrutmen
pengawas
hanya
didasarkan
pada
senioritas
atau
memperpanjang usia pensiun bagi birokrat 2. Masih dipandang sebagai tempat isolasi bagi pegawai tertentu. 3. Belum adanya perhatian yang serius dalam pembinaan karir pengawas 4. Dalam penyelenggaraan tugasnya belum didukung oleh sarana prasarana dan alokasi pembiayaan yang memadai.
8
Hal ini diperparah lagi dengan penugasan pengawas ke sekolah yang tidak pernah di dukung dengan biaya yang memadai sehingga sebagian beban itu menjadi tanggungan sekolah. Akibatnya wibawa pengawas di sekolah terganggu dengan dampak psikologis. Ditambah lagi dengan kekeliruan kebijakan dari pemerintah dengan memberikan bantuan pendidikan dan pelatihan tentang kegiatan supervisi yang hanya terfokus kepada kepala sekolah saja dengan tanpa mengikutsertakan pengawas sekolah. Akibatnya, fungsi supervisi yang dilakukan oleh pengawas semakin tidak bertaring saja di mata sekolah. Terjadinya keterlambatan pengawas merespon dan mengantisipasi kebijakan dan inovasi pendidikan yang baru, disebabkan fasilitas dan dukungan dari pemerintah pusat dan pemerintah daerah yang sangat kurang dalam memberikan program-program yang mendukung dan terlalu menitikberatkan kepada kepala sekolah dan guru. Seharusnya, sebelum kepala sekolah dan guru mengetahui akan kebijakan dan inovasi pendidikan yang baru, pengawas sekolah harus lebih dulu mengetahui dan memahaminya. Supervisi pendidikan bertujuan menghimpun informasi atau kondisi nyata pelaksanaan tugas pendidik dan tenaga kependidikan sesuai dengan tugas pokoknya sebagai dasar untuk melakukan pembinaan, akreditasi, dan tindak lanjut perbaikan mutu belajar siswa. Tujuan lanjut adalah bermanfaatnya hasil akreditasi untuk melakukan perbaikan mutu. Target puncak supervisi adalah berkembangnya proses
perbaikan
mutu
secara
berkelanjutan;
meningkatnya
kebiasaan
melaksanakan tugas sejak awal dengan mutu yang terukur, dan membiasakan tiap tahap pekerjaan jelas pula mutunya. Dengan demikian meningkat pula kejelasan
9
pengaruh pelaksanaan tugas profesi pengawas terhadap hasil belajar siswa. Pada akhirnya supervisi menumbuhkan budaya mutu karena mutu itu adalah budaya yang selalu menjunjung target yang tinggi pada setiap langkah kegiatan. Kondisi seperti ini menggerakkan pihak, yang berkepentingan terhadap peningkatan mutu pendidikan, untuk melakukan berbagai upaya dalam rangka meningkatkan kompetensi pengawas sekolah. Sebuah temuan dari survai yang dilakukan oleh Direktorat Tenaga Kependidikan, Departemen Pendidikan Nasional menunjukkan bahwa pengawas masih memiliki kelemahan dalam dimensi kompetensi supervisi manajerial dan supervisi akademik serta penelitian dan pengembangan (Direktorat Tenaga Kependidikan, 2008: 1). Hal ini seperti yang terlihat pada tabel di bawah ini. Tabel 1.1 Tingkat Penguasaan Kompetensi Dasar Pengawas Sekolah
1.
Kepribadian
TK / SD N=77 48,72
2.
Sosial
43,60
46,10
44,70
3.
Supervisi Manajerial
39,68
37,42
37,18
4.
Supervisi Akademik
35,33
36,94
36,40
5.
Evaluasi Pendidikan
42,42
43,80
42,84
6.
Penelitian dan Pengembangan
36,05
42,00
37,80
No.
Unsur Kompetensi
SMP N=70 49,56
SMA/K N=295 51,24
Kemudian ada banyak pelatihan dan sosialisasi yang dilakukan baik oleh pusat maupun daerah untuk meningkatkan kompetensi pengawas sekolah. Akan
10
tetapi pelatihan dan sosialisasi yang dilaksanakan selama ini dipandang kurang memadai untuk menjangkau keseluruhan pengawas dalam waktu yang relatif singkat. Selama ini, pelatihan dan sosialisasi yang dilakukan karena waktunya yang singkat maka intensitas dan penguasaan materinya kurang optimal Berdasarkan kenyataan ini maka upaya peningkatan kompetensi pengawas harus dilakukan dengan strategi yang lain yang lebih inovatif. Salah satu strategi yang dapat ditempuh dengan melibatkan lebih banyak pengawas, dalam waktu yang singkat dan pada saat yang bersamaan serta sebaran wilayah yang luas, adalah dengan memanfaatkan forum Kelompok Kerja Pengawas Sekolah (KKPS) dan Musyawarah Kerja Pengawas Sekolah (MKPS) sebagai wahana belajar bersama. Forum dan wahana belajar ini diharapkan akan lebih efisien dan efektif mengingat para pengawas belajar dalam suasana kesejawatan yang akrab namun akademis. Para pengawas diharapkan dapat saling berbagi pengetahuan dan pengalaman guna bersama-sama meningkatkan kompetensi dan kinerja mereka di samping pula untuk memperkuat komitmen mereka untuk meningkatkan mutu pendidikan di daerah masing-masing. Pengawas sekolah pun sekarang telah menempati posisi penting dalam dunia pendidikan dengan predikat sebagai profesi yakni profesi pengawas sekolah. Bentuk kegiatan yang dapat dilakukan dalam rangka menjalankan profesi pengawas adalah pembinaan sekolah secara menyeluruh dan juga pengembangan profesi kepengawasan sendiri. Peran penting ini akan semakin terlihat apabila disandingkan dengan data kependidikan misalnya data tentang jumlah guru, siswa maupun sekolah terutama
11
di Provinsi Jawa Timur. Berdasarkan Analisis Data Guru 2009 yang berbasis pada Sistem Informasi Manajemen Nomor Unik Pendidik dan Tenaga Kependidikan (SIM NUPTK) per Juni 2009 didapatkan bahwa Jawa Timur memilik 383.881 guru dari semua jenjang mulai dari TK sampai SMA baik yang PNS maupun Non-PNS. Jumlah ini adalah yang tertinggi diantara seluruh provinsi di Indonesia atau sekitar 14,72% dari total guru di Indonesia yang berjumlah 2.607.311 orang guru. Berdasarkan sumber data yang sama dapat pula diketahui jumlah siswa yang terdapat di Jawa Timur yang berjumlah sekitar 5.866.089 siswa dari semua jenjang mulai dari TK sampai SMA di sekolah negeri dan swasta. Ini berarti yang tertinggi di Indonesia atau sekitar 14,08 % dari total siswa di seluruh Indonesia yang berjumlah 41.673.552 siswa per Juni 2009. Seluruh siswa di Jawa Timur ini teralokasikan pada sekitar 233.496 rombongan belajar atau kelas. Sementara itu, Jawa timur juga memilik sekitar 40.132 sekolah dari semua jenjang, negeri dan swasta. Ini juga tertinggi di Indonesia dengan sekitar 16,67% dari total sekolah di Indonesai yang berjumlah 240.678 unit sekolah. Suatu jumlah yang yang fantastis dan sangat perlu mendapatkan perhatian dan pembinaan terutama dari pengawas sekolah. Data di atas adalah sebagai obyek binaan dari pengawas sekolah. Obyek atau sasaran yang harus ditangani, dibina dan ditingkatkan mutunya. Peningkatan mutu masih menjadi isu yang krusial walaupun Jawa Timur memiliki indeks mutu pendidikan sebesar 4,7 yang berarti tertinggi di Indonesia (Dirjen PMPTK: 2009). Sementara itu, di lain pihak, berdasarkan pendataan yang dilakukan oleh LPMP Jawa Timur dengan aplikasi SIM NUPTK dapat disajikan bahwa Jawa
12
Timur memiliki 350 orang pengawas rumpun mata pelajaran dan tersebar secara tidak merata pada 38 kabupaten dan kota. Kemudian untuk pengawas satuan pendidikan, terdapat 2.880 orang pengawas yang bertugas pada semua jenjang pendidikan dan semua bentuk pendidikan, in formal, formal dan non formal. Sungguh suatu perbandingan yang timpang apabila dikaitkan dengan jumlah sekolah yang sekitar 40.132 seperti diatas. Berdasarkan Permendiknas Nomor 12 Tahun 2007 tentang Standar Pengawas Sekolah/Madrasah, menyatakan bahwa jenis pengawas terdiri dari : 1. Pengawas Taman Kanak-Kanak/Raudatul Athfal (TK/RA) 2. Pengawas Sekolah Dasar/Madrasah Ibtidaiyah (SD/MI). 3. Pengawas Sekolah Menengah Pertama/Madrasah Tsanawiyah (SMP/MTs) 4. Pengawas Sekolah Menengah Atas/Madrasah Aliyah (SMA/MA) dalam Rumpun Mata Pelajaran yang Relevan (MIPA dan TIK, IPS, Bahasa, Olahraga Kesehatan, atau Seni Budaya). 5. Pengawas Sekolah Menengah Kejuruan/Madrasah Aliyah Kejuruan (SMK/MAK) dalam Rumpun Mata Pelajaran yang Relevan (MIPA dan TIK, IPS, Bahasa, Olahraga Kesehatan, Seni Budaya, Teknik dan Industri, Pertanian dan Kehutanan, Bisnis dan Manajemen, Pariwisata, Kesejahteraan Masyarakat, atau Seni dan Kerajinan). Pengawas sekolah terdiri dari pengawas satuan pendidikan, pengawas mata pelajaran, atau pengawas kelompok mata pelajaran. Wilayah dari tugas pengawas satuan pendidikan menurut Permendiknas Nomor 12 tahun 2007 adalah
13
melaksanakan supervisi manajerial dan supervisi akademik dengan pendekatan jumlah sekolah yang di bina yang diuraikan sebagai berikut : 1. Pengawas Taman Kanak-Kanak melakukan pengawasan dan membina paling sedikit 10 sekolah dan paling banyak 15 sekolah. 2. Pengawas Sekolah Dasar melakukan pengawasan dan membina paling sedikit 10 sekolah dan paling banyak 15 sekolah, 3. Pengawas Sekolah Menengah Pertama melakukan pengawasan dan membina paling sedikit 7 sekolah dan paling banyak 15 sekolah, 4. Pengawas Sekolah Menengah Atas melakukan pengawasan dan membina paling sedikit 5 sekolah dan paling banyak 10 sekolah, 5. Pengawas Sekolah Menengah Kejuruan melakukan pengawasan dan membina paling sedikit 5 sekolah dan paling banyak 10 sekolah, 6. Pengawas Sekolah Luar Biasa melakukan pengawasan dan membina paling sedikit 5 sekolah dan paling banyak 10 sekolah. Berkaitan dengan rekrutmen dan kualifikasi standar, untuk pengawas Taman Kanak-kanak/Raudhatul Athfal ( TK/RA ) dan Sekolah Dasar/Madrasah Ibtidaiyah ( SD/MI ) minimum S1 atau D-4 kependidikan dari perguruan tinggi terakreditasi. Sebelumnya berpredikat sebagai guru dengan sertifikat pendidik dan berpengalaman sedikitnya 8 tahun atau 4 tahun sebagai kepala TK atau SD dan berpangkat minimum penata atau III/c. Sedangkan untuk pengawas SMP, SMA dan SMK minimum berpendidikan magister atau S2 kependidikan dengan berbasis sarjana (S1) dengan rumpun mata pelajaran yang relevan, dari perguruan tinggi yang terakreditasi. Sebelumnya berpredikat sebagai guru yang bersertifikat
14
pendidik dan mempunyai pengalaman minimum 8 tahun sebagai guru dalam rumpun mata pelajaran yang relevan di jenjang tersebut, atau 4 tahun sebagai kepala sekolah pada jenjang tersebut. Selanjutnya, memenuhi kompetensi sebagai pengawas satuan pendidikan yang dapat diperoleh melalui uji kompetensi dan atau pendidikan dan pelatihan fungsional pengawas, pada lembaga yang ditetapkan pemerintah; dan lulus seleksi pengawas satuan pendidikan. Saat ini seorang pengawas sekolah harus mempunyai 6 (enam) kompetensi dasar sesuai dengan Permendiknas No.12 tahun 2007 tentang Standar Pengawas Sekolah/Madrasah yakni : 1. Kompetensi supervisi akademik yaitu kemampuan pengawas sekolah dalam melaksanakan pengawasan akademik yakni menilai dan membina guru dalam rangka mempertinggi kualitas proses pembelajaran yang dilaksanakannya, agar berdampak pada kualitas hasil belajar siswa. Oleh karena itu sasaran supervisi akademik adalah guru dalam proses pembelajaran, yang terdiri dari materi pokok dalam proses pembelajaran, penyusunan
silabus
dan
RPP,
pemilihan
strategi/metode/teknik
pembelajaran, penggunaan media dan teknologi informasi dalam pembelajaran, menilai proses dan hasil pembelajaran serta penelitian tindakan kelas. 2. Kompetensi supervisi manajerial yaitu supervisi yang berkenaan dengan aspek pengelolaan sekolah yang terkait langsung dengan peningkatan efisiensi dan efektivitas sekolah yang mencakup perencanaan, koordinasi,
15
pelaksanaan, penilaian, pengembangan kompetensi sumberdaya manusia (SDM) kependidikan, dan sumberdaya lainnya. 3. Kompetensi evaluasi pendidikan yakni kemampuan untuk menyusun kriteria
dan
indikator
keberhasilan
pendidikan
dalam
bidang
pengembangan serta menilai kinerja kepala sekolah, guru, dan staf sekolah dalam melaksanakan tugas pokok dan tanggung jawabnya untuk meningkatkan mutu pembelajaran. 4. Kompetensi penelitian dan pengembangan yakni kemampuan dalam menguasai berbagai pendekatan, jenis, dan metode penelitian dalam pendidikan serta mampu menentukan masalah kepengawasan yang penting untuk
diteliti
baik
untuk
tugas
kepengawasan
maupun
untuk
pengembangan karirnya sebagai pengawas. 5. Kompetensi kepribadian dan sosial yakni kemampuan dalam pengenalan diri, pengembangan diri, dan memberdayakan diri serta kemampuan dalam menjalin komunikasi yang efektif guna menumbuhkan peran serta dan kerjasama dengan pihak lain. 6. Kompetensi penelitian tindakan sekolah merupakan pengkhususan dan pendalaman lebih lanjut dari kompetensi penelitian dan pengembangan. Salah satu peran yang diharapkan dari seorang pengawas adalah menjadi agen perubahan (agent of change). Untuk melaksanakan peran tersebut, akan lebih efektif apabila mereka menguasai metode action research seperti penelitian tindakan sekolah ini. Dengan kompetensi ini pengawas
16
memiliki kemampuan metodologis untuk melakukan penelitian, sekaligus mengupayakan tindakan untuk memperbaiki sekolah binaannya. Berbekal 6 (enam) kompetensi dasar inilah diharapkan seorang pengawas bisa tampil sebagai pengawas yang berkompeten dan profesional. Dengan tampil sebagai pengawas yang berkompeten dan profesional maka tujuan selanjutnya adalah dapat memberikan kontribusi pada peningkatan mutu sekolah. Mutu sekolah dalam hal ini adalah baik mutu proses belajar mengajar, mutu lulusan, kinerja dan kompetensi guru, maupun manajemen pengelolaan kelas dan sekolah yang dilaksanakan oleh guru dan kepala sekolah. Peningkatan mutu pengawas tidak berhenti dengan penetapan standar kompetensi pengawas saja. Standar mutu pengawas dengan penguasaan kompetensi minimal akan sulit dicapai apabila dilaksanakan secara invidual. Kalaupun terjadi peningkatan mutu pengawas maka yang terjadi adalah perbedaan pencapaian standar kompetensi yang beragam diantara pengawas dan akan memerlukan waktu yang relatif lama untuk mencapai standar mutu yang memadai. Oleh karena itu pemerintah membentuk semacam organisasi profesi pengawas yang bersifat non kedinasan. Organisasi ini dibentuk untuk mewadahi pengawas dalam rangka untuk meningkatkan ketrampilan dan keahlian kepengawasan di antara rekan sejawat mereka sendiri. Organisasi itu bernama Musyawarah Kerja Pengawas Sekolah (MKPS) atau sering disebut dengan sanggar pengawas sekolah. Sanggar ini juga sama dengan sanggar lainnya yang dibentuk untuk guru mata pelajaran tertentu yang dikenal dengan Musyarawah Guru Mata Pelajaran (MGMP) atau Kelompok Kerja Guru (KKG) untuk guru SD
17
atau guru kelas. Di dalam organisasi atau wadah ini diharapkan terjadi interaksi antar anggota yang seprofesi dan terjadi dalam suasana kesejawatan yang akrab antar anggota. Interaksi yang terjadi juga berupa saling berbagi informasi, saling berbagi pengalaman dan pengetahuan dan saling memberi solusi terhadap permasalahan yang sedang dihadapi. B. Fokus Penelitian Di dalam penelitian kualitatif masalah penelitian disebut dengan fokus (Moleong, 1989:68) atau dengan istilah yang lengkap adalah fokus penelitian (Idrus, 2009: 48). Fokus penelitian ditetapkan karena begitu banyak fakta yang ingin diketahui dan diungkapkan. Hal ini ditambahkan lagi dengan begitu banyak temuan lapangan yang akan membuat rasa keingintahuan untuk menelusuri lebih jauh. Namun demikian peneliti harus membatasi dirinya dan kajian penelitiannya agar penelitian ini tidak berjalan tanpa arah. Pembatasan area penelitian inilah yang disebut dengan fokus penelitian. Penetapan batas area penelitian ini untuk mencegah terjadinya kebingungan dalam memilih, memilah, mereduksi dan menganalisis data (Satori dan Komariah, 2009: 30). Rincian mengenai maksud dari penetapan fokus penelitian adalah seperti yang dinyatakan oleh Moleong (1989: 69) bahwa, pertama, fokus penelitian dapat membatasi studi sehingga tidak tidak menyertakan hal-hal yang di luar penelitian. Kedua, penetapan fokus penelitian berfungsi untuk memenuhi kriteria inklusieksklusi atau memasukkan – mengeluarkan informasi yang baru diperoleh dari lapangan. Dengan panduan dan arahan dari fokus penelitian maka peneliti dapat tahu data mana yang perlu dikumpulkan dan data mana yang, walaupun menarik,
18
karena tidak relevan, tidak perlu dimasukkan ke kumpulan data yang akan dianalisis di tahap selanjutnya. Kemudian, dari penetapan fokus penelitian, akan “dipecah” atau diuraikan lagi menjadi pertanyaan penelitian. Pertanyaan penelitian dimaksudkan untuk lebih mengoperasionalkan fokus penelitian (Idrus. 2009: 48). Operasionalisasi fokus penelitian nantinya akan membantu peneliti dalam mempertajam arah penelitiannya. Pertanyaan penelitian ini juga akan membantu peneliti dalam membuat pedoman wawancara guna mengumpulkan data dari lapangan, menentukan aspek data dan informasi yang perlu dikumpulkan, dan membantu melakukan koding pada saat analisis data. Sebagai ilustrasi untuk memperjelas penetapan fokus penelitian dapat dinyatakan disini bahwa pengawas dengan 6 (enam) kompetensi dasar diharapkan bisa tampil sebagai pengawas sekolah yang berkompeten, profesional dan bermartabat. Dalam rangka lebih meningkatkan standar mutu pengawas maka pemerintah membentuk sebuah wadah sebagai sarana untuk meningkatkan keprofesionalan kompetensi pengawas sekolah. Wadah ini berupa sanggar pengawas yang dikenal juga dengan Musyawarah Kerja Pengawas Sekolah. Salah satu tujuan dari pembentukan sanggar pengawas adalah untuk mendiskusikan permasalahan
yang
dihadapi
dan
mencari
pemecahannya
kemudian
mengaplikasikannya kepada sekolah binaan serta sebagai sarana saling berbagi informasi dan pengalaman dalam pembinaan sekolah (Depdikbud, 1989: 7). Dengan demikian pengawas akan memberikan kontribusi yang besar kepada mutu sekolah.
19
Saat ini dengan adanya Standar Nasional Pendidikan dan akreditasi sekolah, ada penjenjangan mutu sekolah berdasarkan pencapaian 8 standar nasional pendidikan. Ada sekolah dengan Standar Pelayanan Minimal (SPM), Sekolah Standar Nasional (SSN), Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI), dan Sekolah Bertaraf Internasional (SBI). Pada sekolah dengan predikat SSN dan RSBI terdapat pernyataan mutu dan juga program peningkatan dan penjaminan mutu pendidikan yang tertuang dalam Rencana Kerja Sekolah (RKS). Berdasarkan hal tersebut diatas maka fokus penelitian ini akan mencoba mengungkapkan bagaimana aktifitas dan keberadaan sanggar pengawas serta peran sanggar pengawas sekolah, dalam hal ini Musyawarah Kerja Pengawas Sekolah (MKPS) terhadap kinerja dan kompetensi pengawas sekolah. Kemudian dari hasil interaksi dan belajar mandiri dengan sesama pengawas akan ditelaah pula bagaimana peran pengawas sekolah tersebut dalam proses penjaminan mutu di sekolah binaannya. Fokus penelitian diatas apabila diturunkan dan diuraikan dalam pertanyaan penelitian maka seperti di bawah ini : 1. Bagaimana aktifitas dan keberadaan sanggar pengawas sekolah di lingkungan Dinas Pendidikan Lumajang, Jawa Timur? 2. apakah sanggar pengawas tersebut mempunyai program atau kegiatan untuk meningkatkan kompetensi pengawas sekolah? 3. Bagaimanakah kinerja pengawas sekolah terutama berkaitan dengan visitasi dan teknik supervisi yang digunakan dalam pembinaan pada sekolah binaanya?
20
4. bagaimanakah peran pengawas sekolah dalam proses penjaminan mutu pendidikan di sekolah binaannya? C. Unit Analisis Satuan kajian (unit of analysis) ditetapkan dalam penelitian kualitatif, karena berkaitan dengan keputusan penentuan sampel dan strategi sampling serta besarnya sampel yang akan diambil. Kadang kala satuan kajian itu bersifat perorangan dan bisa pula bersifat kelompok. Apabila sudah ditetapkan maka pengumpulan data dipusatkan di “sekitarnya”. Data yang dikumpulkan adalah apa yang terjadi dalam kegiatannya, apa yang mempengaruhinya, bagaimana sikapnya, dan lainnya. Selanjutnya dari penetapan satuan kajian dikembangkan pula domain dan sub domainnya. Pengembangan ini disesuaikan dengan struktur yang dibangun atas bantuan kajian literatur dan pemahaman awal peneliti terhadap fokus penelitian. Dengan menentukan domain dan sub domain, maka akan memudahkan peneliti dalam menentukan batas-batas yang harus dieksplorasi di lapangan dan penelitian akan lebih terfokus. Domain dalam unit analisis ini adalah kepengawasan dan mutu sekolah. Selanjutnya dari domain ini dipecah dan dipersempit menjadi sub domain dan komponensial agar lebih terfokus. Sub domain dan komponensial itu antara lain adalah : 1. Sanggar Pengawas atau Musyawarah Kerja Pengawas Sekolah (MKPS) Musyawarah Kerja Pengawas Sekolah (MKPS) adalah wadah bagi para pengawas sekolah yang sifatnya non-kedinasan, tetapi menunjang tugas
21
kedinasan. Pada khasanah pendidikan di daerah, karena mengacu pada tempat atau wadah bagi orang yang berkeahlian khusus, seperti pengawas, maka biasanya forum ini disebut juga dengan sanggar pengawas. Forum ini merupakan tempat bagi pengawas untuk menyatukan pendapat, menyeragamkan pola kerja, dan menampung segala permasalahan kepengawasan yang perlu dipecahkan bersama. Berdasarkan petunjuk penyelenggaran MKPS (Depdikbud:1998), wadah ini telah mempunyai struktur organisasi dan jaringan, serta tujuan dan fungsi yang jelas, namun sebagai ujung tombak dari orgnisasi ini adalah MKPS yang berada di tingkat kabupaten dan kota. Dalam struktur organisasi pada dinas pendidikan kabupaten atau kota, posisi sanggar pengawas hampir sama dengan sanggar-sanggar kependidikan lainnya. Sanggar itu antara lain sanggar untuk guru mata pelajaran baik pada sekolah menengah pertama maupun sekolah menengah atas, sanggar untuk kepala sekolah dan ada pula sanggar untuk guru kelas bagi sekolah dasar. Sanggar atau forum ini diharapkan bisa menjadi wadah bagi para guru dan kepala sekolah untuk meningkatkan kompetensi dan kinerjanya. Peningkatan kompetensi dan kinerja anggota sanggar bisa dilakukan dengan cara saling berbagi antara anggota yang senior dengan anggota yang junior. Selain itu juga dengan cara berbagi pengalaman dan pengetahuan dalam melaksanakan, misalnya pembelajaran atau penelitian tindakan kelas. Oleh karena itu aspek-aspek yang akan digali adalah (i) bagaimana struktur sanggar pengawas, (ii) bagaimana mekanisme dan interaksi yang terjadi di dalam sanggar tersebut, dan (iii) bagaimana mekanisme peningkatan
22
kompetensi pengawas melalui program yang dirancang melalui sanggar pengawas. 2. Pengawas Sekolah Komponen yang akan dieksplorasi pada sub domain ini adalah : (i) bagaimana kinerja dan standar kinerja pengawas sekolah dalam melaksanakan tugas pokok dan fungsinya, dan (ii) bagaimana impact kinerja pengawas sekolah tersebut terhadap mutu sekolah binaanya. Pengawas sekolah dalam hal ini adalah yang berdasarkan pada PP No.16 tahun 1994 tentang Jabatan Fungsional Pegawai Negeri Sipil, Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara No. 118 tahun 1996 tentang Jabatan Fungsional Pengawas dan Angka Kreditnya, Keputusan Bersama Menteri Pendidikan dan Kebudayaan dan Kepala BAKN No. 0322/O/1996 dan No.36 tahun 1996, dan Kep.Mendikbud No.020/U/1998 tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan Jabatan Fungsional Pengawas dan Angka Kreditnya, serta Permendiknas No. 19 tahun 2005 tentang Penilaian Angka Kredit Jabatan Fungsional Pengawas. Dalam peraturan itu dapat disarikan bahwa pengawas sekolah adalah pegawai negeri sipil yang diberi tugas, tanggung jawab, dan wewenang secara penuh oleh pejabat yang berwenang untuk melakukan pengawasan pendidikan di sekolah dengan melaksanakan penilaian dan pembinaan dari segi teknis pendidikan dan administrasi. Pengawasan dan pembinaan pendidikan dalam hal ini pada konteks yang seluas-luasnya bukan hanya dalam hal pengajaran dan administrasi kependidikan tapi juga dalam pengembangan profesi. Pengembangan profesi yang dalam hal ini
23
berarti pengawas sekolah juga harus mampu menjadi penggerak dan pemicu bagi pengembangan profesi guru. Pengembangan profesi guru dengan jalan memberi asistensi dan fasilitasi bagi guru dalam mengembangkan dan meningkatkan kompetensinya. Kiprah pengawas dalam hal pembinaan pengajaran dan pengembangan profesi guru secara tidak langsung juga berpengaruh pada pengembangan dan peningkatan profesi pengawas itu sendiri. Pengawas sebagai profesi sebagaimana profesi yang ada lainnya, juga memerlukan perhatian untuk dikembangkan dan ditingkatkan. Hal ini sejalan dengan PP No.38 tahun 1992 tentang Tenaga Kependidikan pasal 61 ayat (1) yang menyatakan bahwa tenaga kependidikan dapat membentuk ikatan profesi sebagai wadah untuk meningkatkan dan/atau mengembangkan karier, kemampuan, kewenangan profesional, martabat, dan kesejahteraan tenaga kependidikan demi terwujudnya tujuan pendidikan nasional yang optimal. 3. Penjaminan Mutu Sekolah Ada banyak pendapat tentang mutu tetapi mutu dalam dunia pendidikan, dan dalam hal ini pada tingkat satuan pendidikan, bertumpu pada dua hal pokok yaitu mutu pembelajaran dan mutu guru (Sallis, 2010: 86, Hadis dan Nurhayati, 2010: 4). Dua komponen inilah yang dalam dunia pendidikan disebut sebagai pelanggan internal pendidikan. Disebut sebagai pelanggan karena pendidikan dipandang sebagai lembaga atau unit usaha yang bergerak pada bidang layanan atau jasa. Dua unsur ini juga menjadi indikator, baik secara bersama-sama ataupun
24
secara terpisah, bagi sekolah untuk bisa dikatakan sebagai sekolah yang bermutu atau tidak. Berkaitan dengan sistem penjaminan mutu di sekolah maka berkaitan pula dengan berbagai sub-sistem yang membentuk sekolah dan proses yang terjadi di sekolah. Sub-sistem di dalam sekolah dalam hal ini adalah seperti yang termaktub dalam 8 standar nasional pendidikan. Standar nasional pendidikan dalam hal ini bisa dikatakan sebagai komponen internal sekolah. Kemudian ada pula komponen yang berada di luar sekolah yang juga memberikan kontribusi sekaligus juga sebagai sasaran dari sekolah yaitu para stakeholder pendidikan. Para pemangku kepentingan bidang pendidikan antara lain para orangtua siswa, dunia industri, pendidikan lanjutan, dan masyarakat sekitarnya. Dalam konteks penjaminan mutu pendidikan yang dilihat dari sebuah institusi sekolah adalah bagaimana sebuah sekolah tersebut melakukan perencanaan, pelaksanaan, dan pencapaian target mutu sehingga dapat memuaskan semua pihak.Semua pihak dalam hal ini adalah semua pelanggan internal dan pelanggan eksternal sekolah. D. Manfaat Penelitian Sanggar pengawas sekolah dapat dianggap sebagai organisasi profesi. Sebagai sebuah organisasi profesi, di dalamnya akan terjadi saling tukat menukar pengetahuan dan informasi yang berkaitan dan menunjang profesinya. Prinsip inipun sesuai dengan apa yang disebut community of practice. Konsep ini mengacu pada sebuah perkumpulan bagi orang-orang yang mempunyai keahlian dan ketrampilan yang spesifik dan kemudian bersepakat untuk saling berbagi pengetahuan dan informasi tentang ketrampilan dan keahlian tersebut agar posisi
25
mereka di hadapan publik pengguna jasa keahlian mereka, akan semakin kokoh dan mantap serta dapat mengikuti tuntutan pengguna (Wenger dalam Organization 2000
7 : 225 - 245). Di dalam dunia pendidikan juga dikenal
dengan istilah Learning Organization yang menurut McGill (dalam Komariah, 2004: 58) bermakna organisasi pembelajar adalah organisasi yang memberikan fasilitas belajar bagi semua anggotanya sehingga akan terjadi tranformasi secara terus dengan sendirinya sebagai cara untuk mengembangkan diri dan dalam rangka mengembangkan efektifitas organisasi. Fiol dan Lyles (1985: 803-813) juga menyatakan bahwa organizational learning adalah organisasi yang yang selalu memperbaiki tindakan-tindakan melalui pengetahuan dan pemahaman yang lebih luas. Berdasarkan paparan diatas, beberapa hal yang dapat disumbangkan penelitian ini antara lain adalah : 1. Secara teoritis penelitian ini hendak mengungkapkan apakah aktifitas seperti yang dikemukakan oleh McGill dan Fiol telah terjadi pada sanggar pengawas yang dalam hal ini adalah juga sebuah organisasi profesi. Aktifitas yang dimaksud adalah berbagi informasi, pengetahuan dan pengalaman diantara para anggotanya. 2. Berkaitan dengan kinerja pengawas sekolah, penelitian ini hendak melihat apakah kinerja pengawas sekolah dalam melakukan supervisi seperti apa yang diungkapkan Burton (dalam Purwanto, 2008 : 27) dan Arikunto (2004 :2 ) dapat terjadi di lapangan atau dalam kenyataan di masyarakat pendidikan.
26
3. Secara praktis hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat dalam memberikan gambaran menyeluruh kepada pihak berwenang di bidang pendidikan yang terkait, tentang bagaimana peran dan kinerja pengawas sekolah terhadap mutu sekolah binaanya. Selain itu juga akan dipaparkan pula bagaimana peran sanggar pengawas, dalam hal ini Kelompok Kerja Pengawas Sekolah, terhadap peningkatan kompetensi dan kinerja pengawas sekolah. Peningkatan kemampuan dan unjuk kerja pengawas akan berujung pada peningkatan mutu sekolah dan pendidikan di daerah bersangkutan. E. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan bagaimana peran dan pengaruh sebuah sanggar pengawas dalam hal meningkatkan kompetensi dan kinerja anggotanya melalui media belajar mandiri antar anggota. Di samping itu secara mendasar penelitian ini juga bertujuan untuk mengungkapkan bagaimana peran pengawas sekolah baik terhadap kegiatan peningkatan mutu pembelajaran maupun pada proses penjaminan mutu di sekolah. F. Paradigma Penelitian Penelitian pada hakikatnya merupakan suatu upaya untuk menemukan kebenaran atau untuk lebih membenarkan kebenaran. Usaha untuk mengejar kebenaran dilakukan oleh para filsuf, peneliti, maupun oleh para praktisi melalui model-model tertentu. Model tersebut biasanya dikenal dengan paradigma. Paradigma, menurut Bogdan dan Biklen (dalam Moleong 1989: 33), adalah
27
kumpulan longgar dari sejumlah asumsi yang dipegang bersama, konsep atau proposisi yang mengarahkan cara berpikir dan penelitian. Paradigma merupakan pola atau model tentang bagaimana sesuatu distruktur (bagian dan hubungan) atau bagaimana bagian-bagian berfungsi (perilaku yang di dalamnya ada konteks khusus atau dimensi waktu). Kuhn (1962: 67, dalam http://www.scribd.com/doc/37913447/paradigma-penelitian-kualitatif2) mendefinisikan „paradigma ilmiah‟ sebagai contoh yang diterima tentang praktek ilmiah sebenarnya, contoh-contoh termasuk hukum, teori, aplikasi, dan instrumentasi secara bersama-sama yang menyediakan model yang darinya muncul
tradisi
yang
koheren
dari
penelitian
ilmiah.
Penelitian
yang
pelaksanaannya didasarkan pada paradigma bersama berkomitmen untuk menggunakan aturan dan standar praktek ilmiah yang sama. Berdasarkan
definisi
di
atas
Baker
(1992:
23,
dalam
http://sambasalim.com/metode-penelitian-/paradigma-penelitian.html) mendefinisikan paradigma sebagai seperangkat aturan (tertulis atau tidak tertulis) yang melakukan dua hal: (1) membangun atau mendefinisikan batas-batas; dan (2) bagaimana seharusnya melakukan sesuatu di dalam batas-batas itu agar bisa mencapai tujuan ilmiah. Dengan memakai landasan seperti diatas maka dalam penelitian ini paradigma penelitian seperti yang tergambar seperti di bawah ini :
28
Kepala Sekolah Guru
P Sekolah
Sanggar Pengawas R
Proses belajar mandiri Sharing Knowledge Berbagi Pengalaman Sinkronisasi Pola Kerja
Pengawas yang berkompeten Secara Profesional Secara Individual
O
bermutu Guru bermutu Siswa bermutu
S E Perencanaan
Lulusan bermutu
S
Mutu Pelak. Mutu Pencapaian target Mutu
Gambar 1.1 : Paradigma penelitian Berdasarkan gambar di atas dapat dipaparkan bahwa, sebagai organisasi atau wadah bagi orang-orang yang mempunyai keahlian dan ketrampilan yang spesifik, di dalam sanggar pengawas seharusnya terdapat aktifitas atau program yang dapat menunjang bahkan meningkatkan kemampuan diri maupun kinerjanya. Peningkatan kemampuan diri sendiri ini bisa berarti secara individual seorang anggota organisasi ini bisa lebih baik, lebih luas wawasannya, dan menjadi pribadi yang lebih terbuka. Di samping itu anggota, peningkatan kemampuan juga bisa berarti peningkatan ketrampilan dalam bidangnya baik meningkat sampai pada tingkatan teknis, taktis maupun pada level strategis. Kegiatan-kegiatan itu dapat berupa kegiatan belajar mandiri, saling berbagi pengetahuan yang baru, saling berbagi pengalaman, dan secara lebih luas terdapat sinkronisasi pola kerja.
29
Di dalam sanggar pengawas sekolah seharusnya juga terdapat kegiatan atau program seperti yang tersebut di atas. Dengan adanya kegiatan seperti itu, tentunya akan semakin meningkatkan kompetensi pengawas sekolah. Peningkatan kompetensi bisa terjadi baik pada kompetensi secara profesional maupun secara pribadi. Di dalam dunia kepengawasan terdapat 6 (enam) kompetensi dasar pengawas yang harus dikuasai oleh seorang pengawas. Kompetensi kepribadian berkaitan dengan kemampuan pribadi pengawas sekolah dalam membina hubungan yang harmonis dengan sesama maupun dengan subyek binaanya yaitu guru dan kepala sekolah. Selain itu juga berkaitan dengan kecakapan dalam melakukan komunikasi yang efektif serta keterbukaan dalam wawasan. Sementara kompetensi profesional mencakup kompetensi manajerial, akademis, penelitian dan pengembangan, evalauasi, dan penelitian tindakan sekolah. Pengawas yang berkompeten tentunya akan mempengaruhi kinerjanya dalam kepengawasan dan pembinaan terhadap sekolah binaanya. Hal ini seperti yang dinyatakan oleh Desti Irja (2008: 66-72) dalam penelitiannya tentang hubungan antara motivasi kerja dan kinerja pengawas sekolah. Dalam hal ini motivasi kerja adalah salah satu aspek dalam dimensi kompetensi kepribadian yang harus dimiliki seorang pengawas. Dalam penelitian tersebut disimpulkan bahwa motivasi kerja berhubungan positif dengan kinerja pengawas atau efektivitas kerja pengawas sekolah. Namun demikian faktor motivasi kerja saja tidak cukup untuk meningkatkan kinerja pengawas sekolah, tapi faktor pendidikan, ketrampilan, dan kepemimpinan organisasi perlu juga diperhatikan. Hal ini juga berarti tidak saja kompetensi kepribadian tapi juga kompetensi
30
manajerial, akademis, evaluasi, dan penelitian dan pengembangan serta penelitian tindakan sekolah. Pengawas yang berkompeten dan berkinerja tinggi akan mempengaruhi mutu kepala sekolah dan mutu guru yang dibinanya. Pengawas ini juga akan terlibat dan memfasilitasi proses penjaminan mutu di sekolah binaanya yang terdiri atas kegiatan perencanaan mutu sertga pelaksanaan dan pencapaian target mutu. Hasil dari semua proses dan keterlibatan aktif dari pengawas sekolah terhadap sekolah binaannya adalah terwujudnya sekolah yang bermutu. Di dalam sekolah yang bermutu terdapatn komponen siswa yang bermutu, proses pembelajaran yang bermutu serta lulusan yang bermutu. Puncaknya adalah naiknya kualitas pendidikan setidaknya di daerah tempat pengawas sekolah melaksanakan tugasnya, yaitu pendidikan di tingkat kabupaten / kota.