BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Museum selalu mengalami perubahan dari masa ke masa. Keberadaan museum berawal dari minat para bangsawan Eropa untuk mengumpulkan bendabenda unik dan langka maupun rampasan perang. Ketika itu benda-benda kuno dianggap menarik, indah, langka, dan sangat diminati. Kalangan ini lazim disebut Antiquarian (Munandar dkk, 2011). Pada masa Renaissance museum lalu berkembang menjadi lembaga ilmu pengetahuan, karena koleksi museum menjadi bahan penelitian oleh para ahli. Sejak itu, museum lebih terbuka untuk umum dan mengalami perkembangan sesuai dengan tuntutan jaman dan masyarakatnya. Kini, museum lebih dikenal sebagai lembaga yang mengumpulkan, meneliti, dan memamerkan koleksi untuk kepentingan masyarakat luas. Di Indonesia, museum diperkenalkan oleh orang-orang Eropa. Salah satu tokoh yang sering disebut sebagai perintis pendirian museum di Indonesia adalah G.E. Rumphius (1628-1702). Dia seorang naturalis kelahiran Jerman tetapi bekerja untuk VOC. Pada tahun 1660 ketika ia menjadi saudagar, Rumphius mulai tertarik kepada dunia alam Pulau Ambon. Pada 1662 dia mulai mengumpulkan berbagai spesies tumbuhan dan kerang di rumahnya (Munandar dkk, 2011).
1
Dalam perkembangan selanjutnya, sejumlah orang Eropa di Batavia mendirikan Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen pada 24 April 1778, yaitu perkumpulan untuk memajukan kesenian dan ilmu pengetahuan untuk kepentingan umum. (Sutaarga, 1990: 10). Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen (Batavia Society for the Arts and Sciences) merupakan cikal bakal Museum Nasional. Dari latarbelakang sejarah yang diuraikan di atas, dapat diketahui bahwa permuseuman di Indonesia juga bermula dari minat pribadi para kolektor, ilmuwan, dan perkumpulan-perkumpulan peminat benda masa lalu sebagaimana terjadi di Eropa. Mereka dengan sadar menyimpan beberapa artefak yang dianggap penting dari sudut sejarah kebudayaan. Minat dan perhatian bendabenda kuno tersebut semakin meningkat sehingga akhirnya disadari perlu adanya lembaga khusus yang menangani benda-benda tersebut untuk kemudian diteliti dan dipamerkan kepada khalayak. Rupanya minat terhadap museum kemudian juga berkembang di antara para bangsawan dan cendekiawan bangsa Indonesia sendiri. Minat mereka tumbuh karena mendapat pendidikan dari orang-orang Eropa dalam politik etis diterapkan di Indonesia oleh pemerintahan Hindia-Belanda. Di Jawa beberapa bangsawan
juga
menaruh
perhatian
terhadap
bidang
kebudayaan
dan
permuseuman. Hal ini ditunjukkan dengan pendirian museum-museum di sejumlah daerah. Pada masa pemerintahan Paku Buwono IX, K.R.A Sosrodiningrat IV berperan mendirikan Museum Radya Pustaka (1890) di Surakarta. Museum ini
2
mendapat dukungan dari kalangan keraton, seperti R.T.H. Joyodiningrat II dan G.P.H. Hadiwijaya. Museum Sonobudoyo di Yogyakarta berawal dari Java Instituut yang bergerak dalam bidang kebudayaan Jawa, Madura, Bali, dan Lombok.Yayasan itu berdiri pada 1919 di Surakarta dipelopori oleh sejumlah ilmuwan Belanda dan Indonesia antara lain R.M. Hussein Djajadiningrat. Museum Sonobudojo diresmikan oleh Sri Sultan Hamengku Buwono VII pada 6 November 1935. Selain museum yang menitikberatkan pada kebudayaan, muncul pula museum-museum bersifat ilmu pengetahuan sains didirikan di Bogor, yakni Museum Zoologi (1894) yang didirikan oleh J.C.Koningsberger dan pada tahun 1929 pemerintah Hindia Belanda mendirikan Museum Geologi di Bandung (Munandar dkk, 2011). Perkembangan museum di Indonesia selanjutnya terjadi setelah masa Kemerdekaan RI. Pada tanggal 29 Februari 1950 Bataviaach Genootschap van Kunsten en Wetenschappen diganti menjadi Lembaga Kebudayaan Indonesia (LKI) (Direktorat Museum, 2009). Museum masa setelah Kemerdekaan RI secara kelembagaan memang mengalami perubahan, akan tetapi keadaannya tidak banyak berubah. Setelah masa Kemerdekaan, berbagai museum di Indonesia baik yang ada di pusat maupun daerah (provinsi), diselenggarakan dengan mengikuti aturan dari Direktorat Permuseuman. Aturan ini meliputi program, design dan metode katalognya. Bahkan banyak museum swasta juga mengikuti aturan tersebut. Pada masa itu terjadi penyeragaman pengelolaan museum. Aturan atau standar yang ditentukan pemerintah pusat ini dapat ditemukan di hampir seluruh museum
3
provinsi di Indonesia. Tata pamer museum Indonesia pada umumnya terdiri dari serangkaian display dalam almari kaca, display tersebut menampilkan budaya lokal dan sejarah dengan tema-tema yang sudah ditentukan polanya, di antaranya berupa hasil kerajinan, baju adat, peristiwa sejarah dan tokoh tertentu. Aturan ini menyebabkan tampilan museum-museum di Indonesia tampak hampir sama di berbagai tempat (Taylor, 1994: 73-79). Pada masa itu tata pameran museum di Indonesia cenderung menyajikan informasi yang terkotak-kotak, hal ini kemungkinan disebabkan kebijakan pusat yang mengarahkan pada pembagian benda-benda dalam klasifikasi tertentu (antara lain numismatika, epigafika, etnografika, regalia, historia dan lain-lain). Kebijakan untuk menyeragamkan tata pameran dan informasi dalam kelompok tersebut bertujuan agar museum mampu menampilkan keragaman budaya nusantara (Taylor, 1994). Namun kebijakan itu kurang memperhatikan cara komunikasi yang baik karena informasi yang disampaikan cenderung dipilah pilah begitu saja. Cara-cara ini membatasi keluwesan penyampaian informasi secara kontekstual, menyeluruh dan terpadu (Tanudirjo, 2007:19). Secara umum perkembangan permuseuman di Indonesia setelah masa kemerdekaan dapat dibagi dalam beberapa periode yaitu: (a) era transisi kemerdekaan hingga masa orde baru, (b) era permuseuman dalam zaman Orde baru, dan (c) era Indonesia masa reformasi hingga sekarang ini. Ciri utama dari era transisi adalah masih berubah-ubahnya regulasi permuseuman, museum dalam rencana pembangunan, dan institusi permuseuman
4
masih mencari formatnya. Ciri museum masa Orde Baru adalah regulasi yang seragam dan pembangunan museum-museum di tiap provinsi. Adanya pembakuan dan keseragaman yang diterapkan di museum terlihat dari penyeragaman koleksi, tata pamer, pola pengelolaan museum. Ketika Orde Baru berakhir, perkembangan museum berlanjut pada masa reformasi yang menekankan otonomisasi. Hal itu terjadi ketika lembaga-lembaga museum di ibu kota provinsi diserahkan pengelolaan dan pengembangannya kepada pemerintah daerah, sejalan dengan otonomi di bidang-bidang lainnya (Munandar dkk, 2011) Kondisi permuseuman Indonesia dari dahulu hingga sekarang kurang berkembang. Keadaan ini sangat berbeda dengan perkembangan museum di dunia yang sangat pesat akhir akhir ini. Walaupun upaya peningkatan kinerja museum mulai terlihat sejak tahun 2010,di antaranya melalui gerakan cinta museum, tahun kunjungan museum, revitalisasi museum dan pendidikan permuseuman di UGM, UI dan Unpad. Namun, beberapa kegiatan diatas belum banyak memberi perubahan pada permuseuman di Indonesia.. Seiring perkembangan pemikiran tentang museum, kini muncul paradigma baru permuseuman yang dikenal sebagai new museology yang berkembang sekitar tahun 1970an. Museum yang dulunya berorientasi pada koleksi kini lebih mengutamakan kepentingan publik. Museum harus mengetahui keinginan dari pengunjung, pendekatan ini disebut “visitor oriented museum” (Tanudirjo, 2009: 10). Lalu, pada sekitar tahun 2000 mulai muncul perkembangan yang lebih baru lagi. Menurut Van Mensch (2011: 3), kata kunci perkembangan museum terbaru itu adalah partisipasi.
5
Dalam paradigma new museology muncul konsep untuk berbagi tanggungjawab, museum tidak hanya menjadi tanggungjawab pihak museum saja namun juga menjadi tanggungjawab masyarakat (Mensch, 2011: 15). New museology berupaya membangun identitas komunitas dengan meneliti kebutuhan masyarakat dan berupaya untuk memenuhi kebutuhan tersebut (Magetsari, 2008 : 9). Ada beragam bentuk perwujudan new museology, salah satunya adalah museum terpadu (integrated museum). Inti dari
museum terpadu adalah (a)
memadukan atau mengintegrasikan beragam koleksi, (b) melibatkan banyak disiplin ilmu dalam pengelolaannya, (c) melakukan kajian museografi (berupa kegiatan
konservasi/restorasi,
registrasi/dokumentasi,
desain
pameran,
pendidikan, serta program pelatihan manajemen museum), (d) menghubungkan keberadaan museum dengan warisan budaya (heritage) yang ada di sekitarnya dan (e) melibatkan masyarakat secara aktif. Masyarakat merupakan komponen penting yang tidak dapat dipisahkan dari sumber daya budaya. Museum berusaha untuk melayani masyarakat, memecahkan persoalan bersama. Konsep museum terpadu ini akan cocok diterapkan di kawasan yang terdapat beberapa situs yang letaknya cukup berdekatan, memiliki nilai historis yang penting dan saling bersinggungan. Kondisi tersebut banyak dijumpai di Indonesia, salah satunya adalah Kawasan Situs di Desa Plered, Kabupaten Bantul DIY. Kawasan Plered memiliki nilai historis tinggi karena menjadi salah satu bekas Kraton Mataram Islam. Kawasan ini memiliki daya tarik tersendiri untuk dijelajahi lebih dalam. Sumberdaya budaya yang terdapat di Desa Plered yang
6
masih ada hingga sekarang merupakan bukti arkeologis bahwa kawasan tersebut merupakan salah satu permukiman kuno di wilayah Yogyakarta dibuktikan dengan temuan sisa struktur yang diduga merupakan bekas kedaton Kerajaan Mataram Islam, Masjid Agung Kauman, Makam Gunung Kelir dan Situs Kerto. Kawasan situs di Desa Plered merupakan peninggalan dari masa Kerajaan Mataram Islam. Kerajaan Mataram Islam pusat pemerintahannya bermula di Kota Gede, lalu pindah Kerto, kemudian pindah ke Plered, dan selanjutnya pindah lagi ke Kartasura. Ketiga lokasi kota tersebut dipilih berdasarkan pertimbangan kemudahan akses terhadap sumber-sumber kehidupan dan juga kemudahan dalam segi pertahanan-keamanan (Adrisijanti, 2000 : 246). Plered
merupakan
daerah
kekuasaan
Amangkurat
I.
Masa
pemerintahannya berlangsung sekitar 1645-1677 M. Menurut catatan Van Goens yang berkunjung ke wilayah ini, pada bulan Juni 1648 keraton Plered telah berdiri (Graaf, 1987 :11). Amangkurat I memindahkan keraton dari Kerta ke Plered, yang hanya berjarak kurang lebih 1 km. Plered sebagai pusat pemerintahan Mataram ditinggalkan oleh Sunan Amangkurat I pada tanggal 28 Juni 1677 dalam usahanya menyelamatkan diri dari serangan Trunajaya ( Graaf, 1987: 197). Daerah Plered yang berada pada ketinggian antara 25 hingga 300 mdpl dan memiliki banyak tinggalan arkeologis. Sebaran tinggalan arkeologis yang cukup banyak di Desa Plered ini semakin meyakinkan Plered merupakan kawasan bersejarah yang cukup penting, Hal ini dibuktikan juga dengan ditemukannya berbagai artefak, prasasti dan toponim yang masih ada hingga masa kini.
7
Sebaran data artefak yang cukup padat di kawasan Desa Plered, Kab.Bantul Yogyakarta sebagian telah diamankan oleh Dinas Kebudayaan DIY, antara lain : di Dusun Kedaton berjumlah 57 BCB, di Dusun Kauman berjumlah 13 BCB, sedangkan di Dusun Gunung Kelir terdiri dari 4 temuan BCB. Dinas Kebudayaan Provinsi Yogyakarta dalam kegiatan pengamanan benda-benda purbakala di kawasan Plered ini juga dapat mengamankan kurang lebih 101 benda yang kemudian disimpan di Museum Purbakala Plered. Dari jumlah seluruh benda yang diamankan, 58 bendadi antaranya merupakan temuan baru yang belum terdapat dalam daftar inventarisasi oleh BPCB Yogyakarta (Tim Disbud Provinsi, 2013: 67). Temuan dua prasasti di Kecamatan Plered pada tahun 1976 dan 1985 menjadi bukti tentang keberadaan kawasan Plered yang cukup penting tidak hanya pada masa kerajaan Islam. Jika merujuk pada angka tahun yang tertera pada prasasti yaitu sekitar tahun 796 Ç atau sekitar abad ke-9 M wilayah Plered ini menjadi bagian dari kerajaan Mataram Kuna. Prasasti Wihara I ditulis menggunakan bahasa dan huruf Jawa Kuna berisi tentang sima (daerah perdikan atau daerah yang bebas akan pajak kerena keistimewaan yang dimilikinya), berangka tahun 796 Saka. Prasasti Wihara II menggunakan bahasa dan huruf Jawa Kuna, juga berisi tentang penetapan sima. Menurut pendapat Dr. Titi Surti Nastiti, prasasti yang ditemukan di Plered ini merupakan salinan (Tim Disbud DIY, 2013 :16). Di Kawasan Plered juga masih terdapat toponim lama. Toponim tersebut antara lain: Kauman, Gerjen, Trayeman, Panegaran, Kepanjen, Bintaran,
8
Surodinanggan, Jaha, Mertosanan, Pugeran, Suren, Kanoman, Kaputren, Kedaton, Kentolan, Wirakerten, Kundhen dan Sampangan (Adrisijanti, 2000 : 219). Di antara topinim tersebut, tiga toponim menunjukkan profesi tertentu di Situs Plered ini yaitu Kauman (permukiman ulama), Gerjen (penjahit), dan Kundhen (perajin gerabah). Adanya toponim, sebaran artefak yang cukup banyak, temuan prasasti dan sisa struktur menjadi salah satu bukti bahwa Kawasan Situs Plered merupakan bekas permukiman kuno dan diduga merupakan bekas kedaton Kerajaan Mataram Islam. Situs ini memiliki nilai penting kesejarahan yang cukup tinggi dan keberadaan sumberdaya budaya yang cukup banyak sangat potensial untuk dikembangkan dan dikelola dengan konsep museum terpadu.
B. Rumusan Masalah Mengingat potensi sumberdaya budaya yang ada di wilayah Plered, daerah ini potensial untuk dibentuk museum terpadu. Namun, karena konsep museum terpadu termasuk baru di Indonesia, untuk mewujudkan hal itu akan muncul permasalahan yaitu: Bagaimana langkah-langkah yang diperlukan untuk membentuk museum terpadu di Kawasan Plered Yogyakarta? Permasalahan itu akan menjadi pertanyaan penelitian yang menjadi dasar disusunnya thesis ini.
9
C. Batasan Penelitian
Penelitian ini difokuskan pada situs–situs tinggalan dari masa Kerajaan Mataram Islam yang berada di wilayah administratif Desa Plered, Kecamatan Plered, Kabupaten Bantul,Yogyakarta. Situs-situs yang dimaksud meliputi: Situs Kedaton Plered, Situs Masjid Agung Kauman, Situs Makam Gunung Kelir dan Situs Kedaton Kerto.
D. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan memberikan gambaran konsep museum terpadu yang dapat diterapkan di Kawasan Situs Plered.
Dalam
konsep
tersebut
ditekankan
pentingnya
memberdayakan
masyarakat sekitar situs agar ikut berperan aktif dalam pengelolaan dan pelestarian situs.
Dengan demikian diharapkan kajian ini
akan
menunjukkan potensi pemberdayaan rakyat melalui museum terpadu.
Penelitian ini dimaksudkan untuk membuka wacana tentang pengelolaan museum secara terpadu antara pemerintah dan masyarakat sekitar situs untuk melindungi, mengembangkan dan memanfaatkan Cagar Budaya melalui pengaturan, perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan untuk kesejahteraan masyarakat.
10
E. Manfaat Penelitian
Penelitian ini
diharapkan dapat
menyumbangkan pemikiran dan
menyuguhkan suatu model yang dapat diaplikasikan pada pengelolaan museum secara bersama-sama dan bersinergi, antara pihak pemerintah, akademisi dan masyarakat.
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah khasanah pengetahuan tentang museum terpadu yang belum banyak diaplikasikan di Indonesia. Penerapan museum terpadu di Kawasan Situs Plered
menjadi media
komunikasi dua arah dan sarana menyalurkan pengetahuan tentang sejarah manusia, budaya, dan kondisi masyarakat sesuai perkembangan paradigma baru museum.
F. Keaslian Penelitian Kawasan situs Plered merupakan salah satu bekas pusat pemerintah kerajaan Mataram Islam. Penelitian di wilayah ini memang sudah banyak dilakukan oleh para ahli, sehingga tidak mungkin membuat bahasan secara rinci semua penelitian tersebut. Di antara berbagai penelitian tersebut, salah satu hasil penelitian yang menginspirasi penelitian ini adalah disertasi Inajati Adrisijanti yang berjudul “Kota Gede, Plered, dan Kartasura sebagai Pusat Pemerintahan Kerajaan Mataram Islam (±1578 TU -1746 TU) : Suatu Kajian Arkeologis”. Meskipun penelitian ini membahas kota-kota pusat pemerintahan kerajaan Mataram Islam, namun bahasan tentang Plered sangat komprehensif sehingga
11
memberikan gambaran yang cukup lengkap mengenai warisan budaya di wilayah ini. Namun, sebagaimana terlihat dari judulnya, penelitian Inajati Adrisijanti ini lebih merupakan kajian arkeologis daripada kajian permuseuman. Sementara itu, penelitian yang dilakukan untuk penulisan thesis ini merupakan penelitian yang lebih mengarah pada kajian pemanfaatan tinggalan-tinggalan arkeologis pada masa sekarang dan mendatang dalam bentuk pengembangan museum terpadu. Lagipula, kerangka pikir yang digunakan dalam penelitian adalah paradigma new museology yang belum banyak diterapkan dalam penelitian warisan budaya di Indonesia, termasuk di wilayah Plered ini. Karena itu, penelitian ini merupakan penelitian situs-situs Plered yang berbeda dengan penelitian-penelitian sebelumnya. Tulisan lain yang membahas tentang Plered adalah skripsi dari Lutfi Khamid yang berjudul Situs Makam Gunung Kelir, Pleret, Yogyakarta. Tulisan Lutfi Khamid ini fokus tentang Situs Makan Ratu Malang, yaitu selir dari Amangkurat I. Tulisan ini membahas tentang sejarah pembuatannya, alasan pembuatan makam Ratu Malang hingga deskripsi tinggalan arkeologi yang ada di Situs Ratu Malang. Sementara penelitian pada tesis ini mengenai langkah langkah penerapan museum terpadu yang belum pernah dilakukan sebelumnya. Penulis mengambil wilayah penelitian Kawasan Situs di Desa Plered, dan Situs Ratu Malang menjadi salah satu dari koleksi museum terpadu.
12
G. Metode Penelitian Penelitian ini merupakan upaya untuk menerapkan suatu konsep atau kerangka pikir tertentu dalam suatu kasus. Dalam hal ini, kerangka pikir yang dimaksud adalah museum terpadu, sedangkan kasusnya adalah warisan budaya di wilayah Plered. Sesuai dengan penalaran pemikiran tersebut maka setidaknya ada dua kelompok informasi penting yang diperlukan dalam penelitian ini yaitu :
Informasi terkait dengan konsep museum terpadu yang akan dijabarkan secara lebih rinci meliputi: pengertian, sejarah dan syarat-syarat terbentuknya museum terpadu. Konsep museum terpadu ini diperoleh dari studi pustaka, yang hasilnya akan diuraikan di Bab II pada penelitian ini.
Gambaran tentang keadaan sumberdaya budaya atau warisan budaya yang ada di Kawasan Situs Plered. Informasi ini dapat diperoleh dari studi pustaka, observasi dan wawancara dengan tokoh tokoh masyarakat Plered yang hasilnya akan dijabarkan menjadi Bab III pada tulisan ini.
Kemudian pada tahap berikutnya dilakukan Analisis gap (analisis Kesenjangan) terhadap kedua kelompok informasi tersebut. Dari analisis yang dilakukan akan menghasilkan informasi yaitu: o Hasil penelitian tentang
museum terpadu akan menghasilkan
rangkuman tentang ciri-ciri, syarat dan cara penyelenggaraan museum terpadu. o Hasil dari konsep museum terpadu yang telah diketahui kemudian akan diterapkan pada kondisi Kawasan Situs di Desa Plered, Bantul, Yogyakarta
13
o Dalam proses analisis, penulis menerapkan analisis kesenjangan (gap analysis), yaitu penulis berupaya untuk menemukan apa saja kondisi yang sesuai dan apa saja kondisi yang tidak sesuai untuk menerapkan museum terpadu pada warisan budaya di wilayah Plered. Apabila ditemukan hal-hal yang tidak sesuai (gap), maka hasil penelitian ini akan dapat memberikan arahan tentang hal-hal apa saja yang perlu dilakukan agar konsep museum terpadu dapat diterapkan di kawasan situs Plered yaitu berupa ide dan saran. o Sesuai dengan alur penalaran penelitian ini, maka hasil akhir penelitian ini berupa rangkuman dari langkah yang harus diambil untuk menerapkan museum terpadu berupa concept plan (konsep perencanaan). Bagian penutup dari penelitian ini berisi kesimpulan hasil penelitian untuk mewujudkan museum terpadu di Kawasan Situs Plered.
14
H. BAGAN ALIR PENELITIAN
Permasalahan: Bagaimana Konsep Museum terpadu (Integrated Museum) dapat diterapkan dalam pengelolaan warisan budaya di Kawasan Situs Plered
Kajian Literatur Tentang Museum Terpadu (Integrated Museum)
Pengumpulan data Warisan Budaya melalui Observasi, Studi Pustaka, dan wawancara
Kondisi Warisan Budaya di Kawasan Situs Plered
Ciri Museum Terpadu (Integrated Museum) dan Prasyarat penerapannya
Analisis Kesenjangan (gap analysis)
Kondisi Yang sesuai
Kondisi Yang belum sesuai
Langkah- langkah yang diperlukan
15