BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Penelitian Sejarah pemungutan pajak mengalami perubahan dari masa ke masa sesuai
dengan perkembangan masyarakat dan negara baik di bidang kenegaraan maupun di bidang sosial dan ekonomi. Pada mulanya pajak belum menjadi suatu pungutan, tetapi hanya merupakan pemberian sukarela oleh rakyat dalam memelihara kepentingan negara, seperti menjaga keamanan negara, menyediakan jalan umum, membayar gaji pegawai. Dengan bertambahnya tugas-tugas negara, maka negara akan memerlukan biaya yang cukup besar. Pembayaran pajak yang sebelumnya bersifat sukarela berubah menjadi pembayaran yang ditetapkan secara sepihak oleh negara dalam bentuk undang-undang dan dapat dipaksakan (Suandy, 2011: 2 ). Pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undang – undang (yang dapat dipaksakan) dengan tiada mendapat jasa timbal (kontraprestasi) yang langsung dapat ditunjukkan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum.( Rochmat soemitro dalam Mardiasmo: 2011:1). Jika dilihat dari jumlah pendapatan negara ditahun 2012 sekitar 1.311,4 triliun, pendapatan dari sektor pajak menyumbang sekitar 78,74% atau 1.032,6 triliun, pendapatan dari sektor bukan pajak (minyak, gas alam, BUMN, PNBP lainnya) menyumbang sekitar 21,19% atau 278,0 triliun, dan sisanya pendapatan dari sektor hibah lainnya menyumbang sekitar 0.07% atau 0,8 triliun. Hal ini
menjadi bukti bahwa pajak mempunyai peran penting dalam pelaksanaan pembangunan nasional sehingga setiap tahunnya target penerimaan pajak semakin ditingkatkan (Pujianto: 2013). Sejak adanya reformasi perpajakan sistem pajak diindonesia berubah dari official assessment menjadi self assessment, yaitu sistem pemungutan pajak tidak lagi fiskus yang diberi wewenang dalam menentukan besarnya pajak yang terutang oleh Wajib Pajak, tetapi Wajib Pajak sendiri yang diberikan wewenang untuk menghitung, atau menyetor dan melaporkan kewajiban pajak yang terutang kepada Kantor Pelayanan Pajak (KPP). Dengan berlakunya self assessment system diharapkan kepatuhan masyarakat, khususnya meningkatkan jumlah Wajib Pajak yang memenuhi kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang – undangan. Indikasi utama dari tingkat kepatuhan pajak adalah dalam hal pelaporan Surat Pemberitahuan (SPT) merupakan sarana utama sarana yang digunakan oleh Wajib Pajak untuk melakukan perhitungan atas pajak terutangnya, kemudian membayar dan melakukan pelaporan atas pajak terutangnya (Pujianto, 2013). Surat Pemberitahuan (SPT) merupakan salah satu bukti bahwa Wajib Pajak telah melaksanakan kewajiban perpajakannya, dengan demikian perlu diadakan perhatian khusus pada penyempurnaan Surat Pemberitahuan (SPT) baik dalam masalah bentuk, isi dan susunannya agar tercapainnya tujuan perpajakan. Fenomena tingkat kepatuhan Wajib pajak di Indonesia tergolong masih minim artinya belum seluruh Wajib Pajak yang mematuhi ketentuan perpajakan, maka
dapat dilihat dari perhitungan KPP Pratama Kebayoran Baru Tiga, sebagai berikut: Tabel 1.1 Tabel Kepatuhan Wajib Pajak Uraian/tahun
2009
2010
2011
2012
2013
WP terdaftar
15,696,00
17,312,00
18,309,00
19,201,00
20,065,00
SPT Tahunan
5.528
5,840
6,225
6,552
6,232
31%
62,5%
Rasio kepatuhan SPT tahunan 34% 32% 34% Sumber : KPP Pratama Jakarta Kebayoran Baru Tiga
Pengetahuan tentang pajak yang dimiliki oleh masyarakat ditunding sangat berpengaruh terhadap jumlah kepatuhan Wajib Pajak dalam memenuhi kewajiban pajaknya. Tanpa adanya pengetahuan, wajib pajak akan mengalami kesulitan dalam mendaftarkan diri, mengisi Surat Pemberitahuan (SPT). Menghitung jumlah pajak yang terutang dan membayar pajaknya. Salah satu yang bisa ditekankan oleh aparat dalam meningkatkan kepatuhan Wajib Pajak dengan cara mensosialisasikan peraturan pajak baik itu melalui penyuluhan, seruan moral baik dengan media billboard, baliho, maupun membuka situs peraturan pajak yang suatu saat bisa diakses wajib pajak. Dengan adanya sosialisasi tersebut pengetahuan Wajib Pajak terhadap kepatuhan Wajib Pajak dalam memenuhi kewajiban perpajakan bertambah tinggi (Pujianto, 2013). Tingkat pelanggaran yang dilakukan oleh WP harus dapat dikurangi, dimana untuk penurunan tingkat pelanggaran yang dilakukan oleh WP setiap tahunnya diberikan target yaitu minimal 5 %,
maka perlu adanya suatu cara untuk
mencapai target penurunan tingkat pelanggaran tersebut yaitu dengan cara
dilaksanakannya pemeriksaan pajak yang dilakukan langsung oleh Kantor Pelayanan Pajak (KPP). Dimana Kantor Pelayanan Pajak diberi kewenangan untuk melakukan pemeriksaan pajak dan memberikan sanksi kepada WP yang melakukan pelanggaran sesuai dengan peraturan-peraturan perpajakan yang berlaku. Pemeriksaan yang dilakukan pihak fiskus (pemeriksa pajak) selayaknya dilakukan dengan mengikuti prosedur yang telah ditentukan, sehingga selain untuk menguji kepatuhan WP, pemeriksaan juga tidak akan mengganggu aktivitas WP dalam hal ini orang pribadi yang diperiksa. Sehingga dengan adanya pemeriksaan pajak tersebut tidak akan merugikan WP, bahkan selayaknya diciptakan suasana yang bersifat simbiosis mutualisme ( saling menguntungkan) dan menghasilkan win-win solution, baik bagi fiskus (mewakili Negara) dan Wajib Pajak. Kasus Pemeriksaan pajak terjadi Bahasyim Assifie (Mantan Kepala Kantor Pemeriksaan dan Penyidikan Pajak Jakarta VII) dengan kasus menerima Rp 1 miliar dari wajib pajak dan pencucian uang atas hartaya Rp 60,82 miliar dan 681.000 dollar AS. Memiliki dana hingga Rp 70 miliar di rekening. Jumlah dana transaksi tidak sesuai dengan pekerjaannya. Bhasyim divonis dengan hukuman 10 tahun penjara oleh PN Jakarta Selatan (3/2/2011) (Kholil Rokhmanwordpress.com). Sedangkan Sanksi Pajak pada dasarnya dimaksudkan agar masyarakat patuh dan mau melunasi kewajiban pajaknya. Sebagai konsekwensinya, fiskus, dalam hal ini Direktorat Jendral Pajak, berkewajiban mendukung upaya wajib
pajak dalam memenuhi kewajiban perpajakanya melalui pelayanan prima dan penyuluhan intensif. Berdasarkan latar belakang diatas, maka penelitian dan analisa ini dikembangkan dalam bentuk skripsi yang berjudul, “Pengaruh Pengetahuan Pajak, Pemeriksaan Pajak, dan Sanksi Pajak Terhadap Kepatuhan Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Menyampaikan Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan”.
B.
Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang dan beberapa alasan tersebut, dapat
dirumuskan permasalan sebagai berikut: 1.
Apakah Pengetahuan Pajak berpengaruh terhadap kepatuhan Wajib Pajak Orang Pribadi dalam menyampaikan Surat Pemberitahuan (SPT) tahunan?
2.
Apakah Pemeriksaan Pajak berpengaruh terhadap kepatuhan Wajib Pajak Orang Pribadi dalam menyampaikan Surat Pemberitahuan (SPT) tahunan?
3.
Apakah Sanksi Pajak berpengaruh terhadap kepatuhan Wajib Pajak Orang Pribadi dalam menyampaikan Surat Pemberitahuan (SPT) tahunan?
C.
Tujuan Dan Kontribusi Penelitian
Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah di atas, tujuan dari penelitian ini adalah: Tujuan Penelitian 1. Untuk mengetahui pengaruh tingkat pengetahuan perpajakan terhadap
kepatuhan Wajib Pajak dalam menyampaikan surat pemberitahuan (SPT) tahunan orang pribadi. 2. Untuk mengetahui pengaruh pemeriksaan pajak terhadap kepatuhan Wajib
Pajak dalam menyampaikan surat pemberitahuan (SPT) tahunan orang pribadi. 3. Untuk mengetahui pengaruh sanksi pajak terhadap kepatuhan Wajib Pajak
dalam menyampaikan surat pemberitahuan (SPT) tahunan orang pribadi. Kontribusi penelitian 1. Kontribusi Penelitian
Adapun kontribusi penelitian ini adalah sebagai berikut: a. Kontribusi praktik
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi, wawasan serta pengetahuan mengenai aspek-aspek perpajakan sehingga dapat diterapkan pada praktik nyata dan dapat memperbaiki praktik yang telah ada dengan lebih baik lagi khususnya di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak (DJP).
b. Kontribusi kebijakan
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi bagi Direktorat Jenderal
Pajak
mengenai
aspek-aspek
perpajakan
khusunya
mengenai
pengetahuan pajak, pemeriksaan pajak, dan sanksi pajak sehingga dapat berpengaruh terhadap kepatuhan Wajib Pajak Orang Pribadi dalam menyampaikan surat pemberitahuan (SPT) tahunan.