BAB I PENDAHULUAN
A. Judul dan Alasan Pemilihan Judul Judul menjadi hal yang sangat penting dalam sebuah penelitian, judul merupakan daya tarik “pandangan pertama” pembaca untuk memberikan perhatian mendalam terhadap penelitian ini. Judul adalah sebuah konsepkonsep yang merepresentasikan isi sebuah penelitian. Sebuah judul dibuat bukan karena alasan suka atau tidak suka, tetapi memiliki alasan logis dan rasional. Penelitian ini berjudul “Kontradiksi Pemberdayaan KAKB (Keluarga Asuh
Keluarga
Binangun)
Komunitas
Waria
(Studi
Implementasi
Pemberdayaan KAKB Komunitas Waria Kulon Progo di Kec. Wates, Kab. Kulon Progo)” dengan mempertimbangkann tiga aspek penting, yaitu relevansi dengan Jurusan PSdK, aktualitas, dan orisinalitas. Tiga aspek inilah yang menjadi landasan logis pemilihan judul dalam penelitian ini.
1. Relevansi Sebuah judul penelitian, seharusnya memiliki keterkaitan dengan bidang yang digeluti dan dipelajari oleh peneliti sehingga memiliki relasi terhadap perkembangan ilmu yang telah dipelajari. Judul yang diambil memiliki keterkaitan dengan bidang ilmu yang penulis geluti, yaitu Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan. Secara umum, ilmu pembangunan sosial dan kesejahteraan 1
termasuk dalam lingkup ilmu-ilmu sosial yang memiliki obyek material masyarakat atau manusia. Secara definitif ilmu pembangunan sosial dan kesejahteraan, sering diartikan sebagai ilmu yang memelajari tentang fenomena pembangunan masyarakat (community development) yang berbasis pada penelitian sosial yang fokus terhadap penanganan masalah-masalah sosial. Kompleksitas problematika pembangunan masyarakat dan penyelesaian masyarakat Jurusan Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan (PSdK) membagi ilmunya menjadi tiga konsentrasi yaitu social policy, community development, dan corporate social responsibility. Penelitian ini mencoba menelisik lebih dalam penyebab waria tetap turun ke jalan dalam proses pemberdayaan ini. Pemaparan lokus yang hendak diangkat, penelitian ini, relevan dengan jurusan Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan (PSdK) terutama pada konsentrasi social policy dan community empowerment. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui proses implementasi dari program pemberdayaan yang dilakukan oleh pemerintah. Pemberdayaan yang mencoba merangkul komunitas waria yang salama ini tidak tersentuh. Pemberdayaan komunitas waria menarik, ketika pemerintah telah menganggap waria sebagai komunitas yang perlu diperjuangkan dalam kebijakan. Pemberdayaan
pada dasarnya adalah ruang dimana waria dapat
menyalurkan aspirasinya dan mencurahkan partisipasinya agar lebih berdaya, mandiri secara ekonomi, dan sejahtera. Penelitian ini lebih fokus meneliti implementasi program pemberdayaan KAKB Komunitas Waria ini dilakukan 2
untuk menggali bagaimana program ini dijalankan di lapangan bagaimana respon dan partisipasi para anggota waria. Selain itu penelitian ini hendak menelisik lebih dalam tentang “mengapa masih ada waria yang turun ke jalan sebagai pengamen, di tengah pemberdayaan KAKB Komunitas Waria?”
2. Aktualitas Data 2008 Yayasan Srikandi Sejati menyatakan bahwa jumlah waria di Indonesia mencapai 6 juta waria (EdisiNews, 2013). Koordinator Arus Pelangi Dodo Budidarmo, menyebutkan waria di Indonesia tahun ini telah mencapai 7 juta (EdisiNews, 2013). Waria (wanita pria) menjadi isu yang sangat menarik di Indonesia ketika laju pertumbuhan waria mengalami pertumbuhan positif sedangkan ruang akses hak hidup waria sangat minim. Hal inilah yang sering kali menghantarkan waria pada dunia ngamen. Upaya mengentasan kemiskinan dan pengembangan masyarakat menjadi isu yang paling strategis di Indonesia saat ini. Program-program pengentasan dan pengembangan masyarakat saat ini dikembangkan melalui skema community development (pemberdayaan masyarakat). Skema ini dipilih agar program-program kemiskinan tidak menimbulkan efek ketergantungan, melainkan kemandirian. Hal ini menutut juga adanya penelitian mengenai perkembangan penelitian yang mengangkat isu tentang community development (pemberdayaan masyarakat).
3
Penelitian ini mengangkat tentang kontradiksi pemberdayaan KAKB Komunitas Waria yang belum banyak dibahas secara mendalam, baik dari dari segi obyek (komunitas Waria) dari segi alat kebijakan (Pemberdayaan KAKB Komunitas Waria). Alasan inilah yang menjadikan penelitian ini aktual. Walaupun berbagai isu pemberdayaan masyarakat telah menjadi perbincangan yang umum, namun selama ini sedikit sekali pihak-pihak yang meneliti dan melakukan pemberdayaan komunitas Waria.
3. Orisinalitas Sebuah penelitian dikatan orisinil ketika permasalahan yang ada dalam penelitian itu belum dipecahkan oleh penelitian sebelumnya, ataupun belum dikaji oleh penelitian sebelumnya. Telah banyak penelitian yang mengangkat isu waria penelitian tesis yang dilakukan pada tahun 2013 oleh Sisilya Oktaviana Bolilanga, yang berjudul “Studi Kebijakan Lokal Bagi Waria Sebagai Warga Negara Dalam Upaya Pencegahan HIV/AIDS Di Provinsi DIY Tahun 2012”. Sisilya Oktaviana Bolilanga adalah kajian yang menekankan pada studi tentang kebijakan lokal Provinsi DIY dalam pencegahan HIV/AIDS. Penelitian tesis yang dilakukan pada tahun 2012 oleh Titi Fitrianita, yang berjudul, “Konstruksi Identitas Seksual Waria Dan Gay “Pure” Bottom” (Studi di Kota Malang)”. Titi Fitrianita menengkankan pada sisi sosiologis, dalam hal ini proses konstruksi sosial yang terbentuk dalam memandang waria.
4
Penelitian di Jurnal Economia, Volume 9, Nomor 1, April 2013 yang dilakukan oleh Rr. Indah Mustikawati, Mahendra Adhi Nugroho & Pratiwi Wahyu Widiarti, berjudul “Strategi Pemberdayaan Ekonomi Komunitas Waria Melalui Life Skill Education”. Penelitian ini lebih fokus mengetahui penurunan jumlah waria yang “turun ke jalan” yang berprofesi sebagai Pekerja Seks Komersial melalui life skill education. Sedangkan penelitian ini membahas kontradiksi pemberdayaan KAKB Komunitas Waria di Kulon Progo.
B. Latar Belakang Kemiskinan masih menjadi masalah yang paling penting di Indonesia. Badan Perencanaan Pembangunan Nasional/ Bappenas mencatat 29.14 juta jiwa (11.96%) penduduk Indonesia hidup dalam kemiskinan. Sebagian besar golongan miskin adalah golongan marginal, yaitu: gelandangan, petani, nelayan, PSK, Pengamen, Pengemis, dan komunitas miskin di daerah perkotaan lainnya. Di Indonesia waria (wanita pria) menjadi isu yang sangat menarik ketika, laju pertumbuhan waria mengalami pertumbuhan positif sedangkan ruang akses hak hidup waria sangat minim. Data 2008 Yayasan Srikandi Sejati menyatakan bahwa jumlah waria di Indonesia mencapai 6 juta waria (EdisiNews, 2013). Koordinator Arus Pelangi Dodo Budidarmo, menyebutkan waria di Indonesia tahun ini telah mencapai 7 juta (EdisiNews, 2013). Waria di Indonesia masih dianggap “tabu” dan merupakan jenis kelamin abu-abu, bagi 5
masyarakat Indonesia. Waria menurut ahli termasuk transeksualisme, yakni abnormalitas seks yang diakibatkan oleh cara-cara abnormal dalam pemuasan dorongan seks (Kartono, 1989, h. 257). Stigma negatif ini muncul karena, masyarakat memandang waria dan PSK (Pekerja Seks Komersial) adalah dua mata uang yang tidak bisa dipisahkan. Selain itu etika dan norma yang berkembang dalam masyarakat Indonesia memposisikan waria itu melanggar norma dan etika. Kehadiran waria memunculkan kegelisahan dalam masyarakat hal ini muncul karena ada stigma negatif yang berkembang. Stigma ini terus berkembang sehingga memarginalkan kaum waria. Rr. Indah Pustikawati dkk (2013) memaparkan tiga
masalah waria, khususnya waria di Yogyakarta
adalah: (1) masih banyaknya waria yang berprofesi sebagai PSK (Penjaja Seks Komersial) sehingga menimbulkan stigma di tengah masyarakat, (2) masih seringnya waria mengalami perlakuan kasar terutama dari pihak aparat (Satpol PP), dan (3) terjadinya diskriminasi dalam memperoleh pekerjaan (Rr. Indah Mustikawati et al, 2013 h 66-67 ). Penelitian yang dilakukan Puspitosari (2005) menunjukkan bahwa tekanan sosial waria berasal dari keluarga dan masyarakat. Tekanan dari keluarga timbul karena perbedaan yang dimiliki akan dianggap sebagai aib yang harus dihilangkan. Orang tua yang otoriter dalam menyikapi perbedaan tersebut semakin mendorong seseorang individu menjadi waria. Tekanan dari masyarakat timbul karena waria cenderung melanggar norma sosial yang ada dalam masyarakat (Rr. Indah Mustikawati et al, 2013 h 67). Idealnya setiap 6
manusia memiliki hak untuk pendidikan, kesempatan pekerjaan yang layak, kesehatan, ketrampilan, dan kesempatan beragama. Saat ini, marginalisasi membuat mereka sulit mengakses hak hidupnya seperti pendidikan, kesempatan pekerjaan yang layak, kesehatan, ketrampilan, dan kesempatan beragama. Keterbatasan hak hidup bagi waria mencerminkan sebuah sistem yang diskriminatif. Kaum waria memiliki permasalah yang sangat kompleks, dari aspek biologis, psikologis, kesehatan, sosial budaya, juga kesejahteraan. Permasalahan waria yang sangat kompleks dapat menjerumuskan waria kepada hal-hal yang menyimpang seperti seks bebas, alkohol, obat-obatan terlarang, pengemis, pengamen, dan pengangguran. Aktifitas penyimpangan tersebut menjadikan kaum waria rentan terhadap masalah kesehatan (HIV/AIDS), narkoba, dan Penyakit Menular Seksual (PMS). Konferensi yang diadakan pada tahun 2011 oleh International Planned Parenthood Federation (IPPF) menemukan beberapa kebijakan pro-waria di negara-negara Asia Tenggara yang dapat dijadikan best practice bagi Indoenesia. Contohnya Malaysia dan Thailand yang berhasil meningkatkan penerimaan masyarakat terhadap kelompok transgender melalui kegiatan kesenian (festival dan teater), Singapura dengan inovasi program pelaksanaan HIV/AIDS bagi kelompok transgender, Hongkong melalui Community Based Organization (CBO) yang dapat melakukan aksi sosial yang inovatif dengan orang tua transgender (Bolilanga, 2013). Beberapa strategi kebijakan itu,
7
mampu mengurangi marjinalisasi dan diskriminasi kaum waria di negaranegara tersebut. Berkaca dari negara-negara lain, Indonesia mulai melakukan kebijakan pro-waria. Di Indonesia terjadi pergeseran cara pandang pembuat kebijakan mengenai waria itu sendiri. Awalnya para pemangku kebijakan menggunakan individual model dan medical model, memandang waria sebagai individu “patologis”, sehingga kebijakan yang diambil adalah kebijakan keorsif, dengan melakukan razia dan rehabilitasi (Masduqi, 2010 h.24). Kemudian terjadi berpedaan cara pandang pemangku kebijakan dengan Human Right Model dan Empowerment Model, sehingga pemerintah mulai melakukan pemberdayaan terhadap waria (Masduqi, 2010 h.25). Pemberdayaan dirasa penting alasan pertama adalah waria didefinisikan dinas sosial sebagai PMKS (Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial) yang perlu dibina melalui program pelatihan dan pemberdayaan sehingga stigma dan diskriminasi oleh masyarakat dapat dihapuskan. Kedua urgensi pemberdayaan kaum waria merupakan strategi memerangi menyebaran
HIV/AIDS sebagai pencapaian point keenam dari
Millenium Development Goals. Pemerintah DIY mulai melakukan skema pemberdayaan kaum waria, melalui program-program dari Dinas Sosial Provinsi DIY.
Program
pemberdayaan kaum waria yang dilakukan Dinas Sosial adalah Program KUBE (Kelompok Unit Bersama) dan Usaha Ekonomi Produktif (UEP). Hasil penelitian tesis Bolilanga (2013) menunjukkan KUBE tidak berjalan karena 8
ketidakmampuan Dinas Sosial Provinsi DIY dalam memetakan kebutuhan waria dan ketrampilannya, orientasi waria hanyalah uang untuk kebutuhan, praktis tidak terfasilitasi waria untuk mengembangkan usahanya, kurang intensifnya monitoring (Bolilanga,2013 h.151). Hal yang patut digarisbawahi dalam penyelenggaraan pemberdayaan sangatlah penting untuk meletakkan waria sebagai subyek sehingga sekaligus melakukan pemetaan kebutuhan dengan baik. Tidak hanya Pemerintah DIY, Kab. Kulon Progo juga melakukan pemberdayaan Waria sebagai salah satu sasaran program KAKB (Kelaurga Asuh Keluarga Binangun). Program ini muncul akibat kegelisahan pemerintah Kab. Kulon Progo dengan masalah kemiskinan yang ada di Kulon Progo. Kemiskinan masih menjadi masalah yang cukup serius bagi Kabupaten Kulon Progo. Saat ini kemiskinan DIY berada diatas kemiskinan nasional, yaitu 18%, sedangkan kemiskinan DIY, yaitu 24%. Angka ini adalah angka minimal, yang berarti masyarakat yang hampir miskin dimungkinkan mencapai 20-30% (Widyatmoko, 2011, h.1). Masyarakat hampir miskin ini bisa menjadi masyarakat miskin dengan berbagai faktor, apalagi saat ini perekonomian Indonesia sedang tidak stabil, hal ini menjadi sangat riskan bagi penduduk hampir miskin untuk masuk ke dalam jurang kemiskinan. Pemerintah pusat maupun pemerintah daerah sudah berusaha melakukan berbagai program kemiskinan, nyatanya dan triliyunan rupiah hanya mampu mengangkat sedikit rakyat miskin. Bahkan pemerintah melai mengevaluasi program-program yang 9
telah di keluarkan. Misalnya saja Program PNPM Mandiri yang sejauh ini tersedot besar-besaran untuk menyokong kinerja pegawai negeri sipil. Belum lagi budaya korupsi yang melekat pada beberapa oknum pemerintahan (eksekutif dan legislatif) membuat dana pembangunan dan pengentasan kemiskinan, tinggal berupa ampasnya ditingkat grass-root (Fatollah, 2012, h. 10-11). Melihat tak sebandingnya dana yang dikeluarkan dengan hasil yang diperoleh, memunculkan formulasi bahwa pengobatan penyakit kemiskinan ini terlalu luas spektrumnya dan tidak tepat sasaran. Oleh karena itu diperlukan usaha yang lebih kreatif dan inovatif namun berbiaya rendah. KAKB adalah salah satu formulasi jawaban yang diciptakan oleh pemerintahan Kabupaten Kulon Progo untuk percepatan penanggulangan kemiskinan. Akar dari program ini adalah kegotong-royongan, yang sudah mampu membantu yang belum mantu supaya bisa mandiri. Hal ini diharapkan menjadi
jembatan penghubung jurang kesenjangan yang ada, hingga pada
akhirnya tercipta
rasa nyaman, saling mengasihi, membantu, dan percaya.
Konsep program ini dengan pendekatan berbasis komunitas yang bermuara pengentasan kemiskinan. Tujuan program ini tidak akan tercapai, tanpa partisipasi aktif kelompok sasaran. Program ini melibatkan beberapa stakeholder dari entitas bisnis, akademisi, masyarakat, dan birokat. Program KAKB mencoba merangkul kaum waria, yang selama ini tidak tersentuh. Program ini menarik karena pemerintah telah mengaggap waria adalah komunitas yang perlu diperjuangkan secara konten dalam kebijakan, 10
agar tercipta kesejahteraan holistik di Kab. Kulon Progo. Pemerintah mulai sadar bahwa kaum waria adalah kaum yang ter-marginal-kan dan sangat rentan dengan ketidak-sejahteraan dan ketidak-berdayaan. Pemberdayaan KAKB menjadikan waria salah satu sasaran program, agar waria ini berdaya dan sejahtera. Ada tiga tujuan dari Program KAKB yaitu kemandirian waria, menghapuskan stigma dan diskriminasi, dan mengurangi waria di jalan. Dari pemaparan Paoulo ketua PKBI Kulon Progo ada lima waria yang masuk dalam kelompok Pemberdayaan KAKB Komunitas Waria dan empat diantaranya masih turun ke jalan baik mengamen atau menjadi PSK (Pekerja Seks Komersial). (Wawancara Paulo, Ketua PKBI Kulon Progo, 28 Desember 2013). Hal inilah yang mendorong peneliti untuk menelisik lebih dalam tentang, mengapa masih ada waria yang turun ke jalan sebagai pengamen, di tengah pemberdayaan KAKB Komunitas Waria. Untuk menjawab fenomena yang ada, penelitian ini menganalisa masalah tersebut melalui isi kebijakan yang lebih bersifat administratif dan konteks kebijakan yang lebih mengarah ke kondisi lingkungan sosial-politik implementasi pemberdayaan KAKB Komunitas Waria.
C. Rumusan Masalah Pemberdayaan KAKB Komunitas Waria Kulon Progo dijadikan sebagai skema yang tepat untuk memandirikan, mengurangi waria turun ke jalan, dan menghilangkan stigma dan diskriminasi. Lantas, mengapa masih ada anggota 11
Komunitas Waria yang turun ke jalan sebagai pengamen di tengah – tengah implementasi pemberdayaan KAKB Komunitas Waria di Kulon Progo?
D. Tujuan Penelitian Tujuan Penelitian ini adalah untuk: 1. Mengetahui bagaimana implementasi program pemberdayaan KAKB Komunitas Waria. 2. Mengetahui bagaimana partisipasi waria dalam pemberdayaan KAKB Komunitas Waria. 3. Mengetahui alasan keberadaan waria turun ke jalan sebagai pengamen lagi, di tengah pemberdayaan KAKB Komunitas Waria.
E. Manfaat Penelitian Manfaat penelitian ini adalah : 1. Hasil penelitian ini menggambarkan alasan keberadaan waria turun ke jalan sebagai pengamen lagi di tengah pemberdayaan KAKB Komunitas Waria 2. Hasil penelitian ini memberikan input kepada program pemberdayaan KAKB Komunitas Waria.
12
3. Memperkaya khasanah ilmu pengetahuan terutama dalam kajian pemberdayaan dalam bingkai kebijakan dan pengembangan keilmuan Jurusan Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan.
F. Kerangka Teori dan Konsep Penulis hendak melakukan analisis tehadap implementasi kebijakan dalam penelitian ini. Hal ini termaktub dalam rumusan masalah yang diangkat oleh penulis “Mengapa masih ada waria yang turun ke jalan sebagai pengamen di tengah pemberdayaan KAKB Komunitas Waria?”. Untuk menganalisa kasus ini, peneliti menggunakan tori evaluasi Robert Stake dan teori implementasi menurut S. Grindle yang dipengaruhi dua variabel besar yakni isi kebijakan (content of policy) dan lingkungan kebijakan (context of
policy) (Grindle,
1980). 1. Teori 1. Teori Evaluasi Menurut Wirawan (2011 h.31), teori evaluasi mengemukakan bagaimana memahami objek evaluasi, bagaimana memberikan nilai terhadap program yang dievaluasi dan kinerjanya, bagaimana mengembangkan ilmu pengetahuan dari hasil evaluasi. Sedangkan teori program menjelaskan bagaimana dan mengapa suatu program seharusnya bekerja. Teori program menjelaskan suatu logika dan deskripsi yang rasionabel trntang apa yang dilakukan dan aktivitas ptogram apa 13
yang dilakukan untuk mencapai tujuan dan maanfaat program (Wirawan, 2011 h.31). Dalam penelitian ini peneliti menggunakan teori implementasi Grindle sebagai pijakan dalam program. Menurut Marvin C.Alkin dan Cristina A. Christie (dalam Wirawan, 2011 h.36) teori evaluasi terbagi menjadi tiga cabang besar, yaitu metode-metode, nilai, dan pemakai. Dalam penelitian ini menggunakan teori evaluasi cabang menilai. Cabang menilai suatu cabang yang menaruh perhatian pada menilai dan membuat penilaian. Robert Stake merupakan pembela kuat penggunaan studi kasus. Bagi Stake studi kasus diperlukan untuk deskripsi aktivitas konteks. Stake menempatkan dirinya pada cabang menilai, baginya tindakan penilaian termasuk dalam deskriptif dan bagian dari observasi (Wirawan, 2011 h.52). Stake menyatakan bahwa ada multiple realitas dan bahwa perspektif para pemangku kepentingan perlu diwakili dalam evaluasi. 2.
Teori Implementasi Marilee S. Grindle (1980) Implementasi kebijakan adalah proses dimana formula kebijakan
ditransformasikan menjadi produk konkrit kebijakan (Santoso, 2010 h.15). Asumsi ideal yang seringkali dipakai sebagai dasar untuk menganalisa implementasi kebijakan adalah upaya untuk mewujudkan tujuan kebijakan yang dinyatakan dalam formula kebijakan, sebagai policy statement, ke dalam policy outcome, yang muncul sebagai akibat dari aktivitas pemerintah. (Grindle, 1890 h.6 dalam Santoso h.126). Sangat diperlukan sebuah policy delivery system 14
untuk
mewujudkan
kesinambungan
tujuan
dan
outcome.
Kebijakan
diterjemahkan sebagai program-program, dan dalam masing-masing program ada
instrument-instrumen
yang
didesain
untuk
memastikan
bahwa
implementasi program-program itu secara simultan berkontribusi untuk mencapai tujuan kebijakan. (Grindle, 1890
dalam Sontoso h.129). Pada
kenyataannya masih banyak muncul missing-link antara policy statement dan outcome, sehingga para ahli mengemukakan pentingnya studi analisa implementasi kebijakan untuk menelaah missing-link tersebut. Sejak saat itu, analisis kebijakan mulai bergerak lebih jauh lagi dan tidak hanya memandang implementasi kebijakan sebagai proses administrasi-teknokratif semata. Kemudian, para analis mengemukakan bahwa proses implementasi kebijakan juga dipengaruhi oleh konteks sosial, politik, dan ekonomi dimana kebijakan tersebut dilaksanakan. Keberhasilan implementasi menurut S. Grindle dalam Subarsono (2010, h.93) dipengaruhui oleh dua variable besar, yakni isi kebijakan (policy content) dan lingkungan kebijakan (policy context). Isi kebijakan mempengaruhi proses implementasi karena isi kebijakan yang dihasilkan melalui pembuatan kebijakan, menentukan apa yang harus disampaikan melalui sebuah kebijakan, perubahan apa yang akan muncul akibat implementasi kebijakan, dimana kebijakan tersebut dimplementasiakan, dan siapa yang mengimplementasikan.
15
Grindle mengidentifikasi elemen yang masuk konteks kebijakan meliputi : kekuatan, kepentingan, dan strategi aktor yang terlibat ; karakteristik rezim dan institusi; dan kepatuhan dan responsif. (Santoso, 2010 h.127) Bagan. 1 Implementasi sebagai Proses Politik dan Administrasi
Tujuan Kebijakan
Implementasi Kebijakan Dipengaruhi oleh A. Konten Kebijakan
Partisipasi
1. 2. 3.
Tujuan yang dicapai?
Program Aksi dan Proyek individu yang didanai
4. 5. 6. B.
Kepentingan yang dipengaruhi Tipe Manfaat Derajat Perubahan yang diinginkan Letak Pengambilan keputusan Pelaksana Program Sumberdaya yang dilibatkan
K0nteks Implementasi 1. Kekuasaan, Kepentingan, dan strategi aktor yang terlibat 2. Karakteristik lembaga dan penguasa 3. Kepatuhan dan daya tanggap
Program yang dilaksanakan sesuai rencana
Hasil Kebijakan A. Dmpak Pada masyarakat , individu, da kelompok B. Perubahan dan Penerimaan Masyarakat
Mengukur Keberhasilan
Sumber : Grindle, Merilee S, 1980 dalam Santoso h.128 Policy Content menurut Grindle (Agustino h. 154-155,2008)
16
a) Kepentingan
yang
dipengaruhi
kebijakan
adalah
kepentingan kelompok sasaran termuat isi program.
sejauh
mana
Sejauh mana
kepentingan waria termuat dalam pemberdayaan KAKB. b) Tipe Manfaat Pada poin ini policy content berupaya untuk menunujukkan bahwa dalam suatu kebijakan harus menunjukkan jenis manfaat yang diterima kelompok sasaran. Manfaat yang diterima atas program ini adalah kemandirian waria, penghapusan stigma dan diskriminasi, dan mengurangi waria turun ke jalan. c) Derajat Perubahan yang diinginkan Setiap kebijakan hendaknya memiliki target yang ingin dicapai. Poin ini akan menjelaskan sejauh mana perubahan yang dicapai dalam implementasi program. Melalui pemberdayaan waria diharapkan terjadi perubahan sikap yang diinginkan yaitu waria tidak lagi turun ke jalan, mandiri secara ekonomi, mengurangi stigma dan diskriminasi. d) Letak Pengambilan Keputusan Poin ini menjelaskan apakah pengambilan keputusan program sudah tepat atau belum. Dalam poin ini menjelaskan apakah pemberdayaan KAKB dengan usaha menjual makanan itu sudah tepat untuk waria
17
tidak lagi turun ke jalan, mandiri secara ekonomi, mengurangi stigma dan diskriminasi. e) Pelaksana Program Suatu kebijakan harus didukung oleh pelaksana kebijakan yang kompeten dan kapabel demi keberhasilan kebijakan. Pelaksana program dalam KAKB Komunitas Waria ini adalah Badan Pemberdayaan Masyarakat Pemerintah Desa dan Keluarga Berencana, Dinas Koperasi dan UMKM, PKBI, dan Komunitas Waria. f) Sumberdaya yang dilibatkan Pelaksanaan kebijakan harus didukung oleh sumberdaya-sumberdaya yang mendukung agar pelaksanaan berjalan baik. Pemberdayaan KAKB Komunitas Waria didukung oleh berbagai elemen dari pemerintah, sektor privat dan LSM. Setiap elemen memiliki sumberdaya yang diberikan dalam proses implementasi pemberdayaan KAKB Komunitas Waria. Pemerintah memiliki berbagai instansi yang didapuk untuk menjadi fasilitator, sektor privat memberikan sumberdaya modal, dan LSM sebagai tenaga pendamping. Policy Context dalam Grindle ( Agustino h. 154-155,2008) a) Kekuasaan, kepentingan, dan strategi aktor yang terlibat.
18
Kebijakan perlu mempertimbangkan kekuasaan, kepentingan, dan strategi aktor-aktor
didalamnya
guna
memperlancar
jalannya
implementasi
kebijakan. Bila hal ini tidak diperhitungkan dengan matang kemungkinan program yang diimplementasikan akan jauh panggang dari api. b) Karakteristik lembaga dan penguasa Lingkungan
dimana
suatu
kebijakan
tersebut
dilaksanakan
juga
berpengaruh terhadap keberhasilannya, maka pada bagian ini ingin dijelaskan karakteristik dari suatu lembaga. c) Tingkat kepatuhan dan daya tanggap Pada poin ini akan dijelaskan sejauh mana kepatuhan dan respon pelaksana dalam menanggapi suatu kebijakan. Partisipasi dalam pemberdayaan KAKB adalah partisipasi waria. 2. Kerangka Konsep 2.1
Waria dan Jalanan : Dua sisi mata uang Kartono (1989, h. 247). mengatakan bahwa, kelainan seksual dalam diri
seseorang
dikelompokkan
menjadi
tiga
jenis
yaitu
homoseksualitas,
transvestisme, dan transseksualisme. Gejala homoseksualitas yaitu relasi seks dengan jenis kelamin yang sama, atau rasa tertarik dan mencintai jenis seks yang sama secara emosional atau secara erotik. Seorang tranvetis, yaitu nafsu yang patologis untuk memakai pakaian dari lawan jenis dan mendapat kepuasan 19
seks dengan memakai pakaian dari jenis kelamin lainnya. Lain halnya dengan transeksualisme, yaitu gejala seseorang yang merasa memiliki seksualitas berlawanan dengan kondisi fisiknya (Kartono, 1989, h. 266). Waria
menurut
berbagai
ahli
termasuk
transeksualisme,
yakni
abnormalitas seks yang diakibatkan oleh cara-cara abnormal dalam pemuasan dorongan seks (Kartono, 1989, h. 257).
Banyak teori yang bermunculan
sehubungan dengan transeksualisme ini. Kinsey (dalam Abrar 2001, h.196) misalnya menyebutkan, bahwa keabnormalan itu timbul karena sugesti masa kecil. Artinya seseorang akan seseorang akan abnormalitas
mengalami atau terjangkit
seksual karena pengaruh luar (acquired), seperti dorongan
kelompok tempat ia tinggal, pendidikan orang tua yang menjurus kepada timbulnya benih-benih penyimpangan seksual, dan pengaruh budaya yang diakibatkan oleh komunitas intens dalam lingkungan abnormalitasnya (Abrar, 2001, h. 196). Abnomalitas seksual diperoleh sejak lahir (contingental). Teori contingental menyatakan bahwa abnormalitas itu meuncul karena pengaruh yang ada di dalam diri seseorang. Sementara itu, Moerthiko seperti dikutip Koeswinarno
(1996)
memadukan
perbedaan
keduannya,
menurutnya
abnormalitas terjadi saat ia dewasa, sangat dipengaruhi oleh pengaruh lingkungan luar (acquired) semata, tetapi juga pengaruh yang ada di dalam diiri sendiri (contingental) (Abrar, 2001, h. 196-197). Sementara itu, dalam hal ini Kartono (1989 h. 227) menyebutkan bahwa secara umum abnormalitas tergantung dari : 20
a) Susunan kepribadian seseorang dan perkembangan kepribadiannya, sejak ia dalam kandungan hingga ia dianggap menyimpang. b) Menetapnya kebiasaan perilaku yang dianggap menyimpang c) Sikap,
pandangan,
dan
persepsi
seseorang
terhadap
gejala
penyimpangan perilaku. d) Seberapa kuat perilaku penyimpangan itu berada
dalam dirinya dan
dipertahankan e) Kehadiran perilaku menyimpang
lainnya yang biasanya ada secara
paralel. Jadi, kehadiran waria dipengaruhi oleh lingkungan luar (acquired) dan diri sendiri (contingental). Masyarakat lebih akrab dengan istilah banci atau bencong yang merupakan bagian dari bahasa Indonesia informal. Banci atau bencong digunakan untuk sebutan kepada orang (laki-laki atau perempuan) yang berpakaian atau berbicara sebaliknya tidak sesuai dengan kelaminnya. Kehadiran
waria
memunculkan
kegelisahan
dalam
masyarakat,
kegelisahan ini muncul karena ada stigma negatif yang berkembang. Stigma negatif ini muncul karena, masyarakat memandang waria dan PSK (Pekerja Seks Komersial) adalah dua mata uang yang tidak bisa dipisahkan. Selain itu etika dan norma yang berkembang dalam masyarakat Indonesia memposisikan waria itu melanggar norma dan etika. Stigma ini terus berkembang sehingga, memarginalkan kaum waria. Marjinalisasi ini membuat mereka sulit mengakses hak hidupnya, seperti pendidikan, kesempatan pekerjaan yang layak, kesehatan, 21
ketrampilan, dan kesempatan beragama. Keterbatasan hak hidup bagi waria mencerminkan sebuah sistem yang mendiskriminasi. Kaum waria memiliki permasalah yang sangat kompleks, dari aspek biologis,
psikologis,
kesehatan,
sosial
budaya,
hingga
kesejahteraan.
Permasalahan waria yang sangat kompleks dapat menjerumuskan waria kepada, hal-hal yang menyimpang seperti seks bebas, alkohol, obat-obatan terlarang, pengemis, pengamen, dan pengangguran. Aktifitas penyimpangan tersebut menjadikan kaum waria rentan terhadap masalah kesehatan (HIV/AIDS, narkoba, sifilis, dan penyakit menular lainnya). 2.2
Pengamen Definisi pengamen menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia berasal dari
kata amen atau mengamen (menyanyi, main musik, dsb) untuk mencari uang. Sedangkan pengamen adalah penari, penyanyi, atau pemain musik yang tidak bertempat tinggal tetap, berpindah-pindah dan mengadakan pertunjukkan di tempat umum. Jadi pengamen itu mempertunjukkan keahliannya di bidang seni. Seorang pengamen tidak bisa dibilang pengemis, karena perbedaannya cukup mendasar. Seorang pengamen yang sebenarnya harus betul-betul dapat menghibur orang banyak dan memiliki nilai seni yang tinggi. Sehingga yang melihat, mendengar atau menonton pertunjukkan itu secara rela untuk merogoh koceknya, bahkan dapat memesan sebuah lagu kesayangannya dengan membayar mahal. 22
Pengamen merupakan komunitas yang relatif baru dalam kehidupan pinggiran perkotaan, setelah kaum gelandangan, pemulung, pekerja sex kelas rendah, selain itu juga dianggap sebagai “virus social” yang mengancam kemampuan hidup masyarakat, artinya pengamen jalanan dianggap pengganggu ketertiban masyarakat. Oleh karena itu tidak mengherankan jika mereka sering diperlakukan tidak adil dan kurang manusiawi terutama oleh kelompok masyarakat yang merasa terganggu oleh komunitas waria seperti golongan ekonomi kelas atas. Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pengamen adalah salah satu pekerjaan yang dilakukan waria dengan cara menyanyikan lagu baik menggunakan alat maupun tidak. Sebagian besar menghabiskan waktunya untuk mencari nafkah dan atau berkeliaran dijalan atau tempat-tempat umum lainnya. Tipologi pengamen menurut Habibullah (2008, hh. 12-14) ada tiga tipologi, yaitu tipe idealis-ekspresionisme, tipe profesional (Survival Oriented), tipe fatalistik. Tipologisasi ini didasari beberapa kriteria, seperti motivasi, tujuan mengamen, alat yang digunakan, ideologi, lokasi serta latar belakang. 1.
Tipe idealis-ekspresionisme. Bagi pengamen idealis-ekspresionisme, motivasi mengamen adalah
untuk mengekspresikan jiwa seni. Pengamen jenis ini lebih menekankan segi estetis
daripada
segi
ekonomis.
Pengamen
idealis-ekspresionisme, 23
menggunakan alat musik klasik dan modern dalam mengekspresikan jiwa seninya. Alat-alat musik seperti gitar, bas betot, biola, gendang, drum serta alatalat lain menjadi bagian penting dari tipe pengamen idealis. Biasanya mereka mempunyai sebuah pandangan akan suatu masyarakat egaliter. Menurut mereka maka pengamen harus bersatu untuk mencapaian idealisme tersebut. Mereka diikat oleh sebuah nilai kebersamaan untuk melawan kelas superior. 2.
Tipe profesional (survival oriented) Jika dalam pemahaman umum kita temukan bahwa profesionalisme
dipandang sebagai tingkat keahlian tertentu dari seseorang dalam mengerjakan sesuatu. Lain halnya dengan definisi yang diberikan pengamen yang merupakan alternatif profesi sebagaimana halnya guru, tukang cukur ataupun penjahit. Bagi mereka, mengamen adalah mencari uang bukan untuk tujuan lain. Alat yang digunakan biasanya mulai dari ecek-ecekan sampai gitar. Mereka jarang menggunakan alat musik yang lengkap komposisinya, seperti gitar, bas betot, biola, gendang ataupun drum karena mobilitas mereka sangat tinggi. Sukar dibayangkan, bagaimana membawa alat musik tersebut diperempatan jalan. 3.
Tipe fatalistik Motivasi pengamen tipe fatalistik adalah sekedar iseng. Mengacu pada
kerangka Kluckhon (Koenjaraningrat, 1990 h.31) yang mengemukakan sebuah kerangka mengenai masalah hidup yang menentukan orientasi nilai budaya 24
manusia. Maka pengamen yang masuk kategori ini adalah pengamen yang memandang hidup itu buruk, kerja itu untuk hidup sesaat. Sikap inilah oleh Oscar Lewis disebut sebagai kebudayaan kemiskinan (Suparlan, 1984 h.29). Uang yang didapatkan dari mengamen digunakan membeli minuman keras atau narkoba bersama dengan teman-temannya. Mereka menggunakan alat musik apa adanya untuk mengamen. 2.3
Implementasi Pemberdayaan Implementasi kebijakan adalah proses dimana formula kebijakan
ditransformasikan menjadi produk konkrit kebijakan (Santoso, 2010 h.15). Ada dua
langkah
untuk
mengimplementasikan
kebijakan,
langsung
mengimplementasikan dalam program atau melalui formulasi derivat atau turunan dari kebijakan publik tersebut (Nugroho, R,2012 h.674). Proses pemberdayaan dapat dipandang sebagai depowerment dari sistem yang mutlak-absolut (intelektual, religious, politik, ekonomi dan militer). Konsep pemberdayaan berlandaskan manusia dan kemanusian. Doktrin konsep ini sama dengan aliran fenomenologi, eksistensialisme, dan parsonisme yang menolak segala bentuk power yang bermuara pada dehumanisasi eksistensi manusia lainnya. Konsep pemberdayaan dalam wacana pembangunan masyarakat selalu dihubungkan dengan konsep mandiri, partisipasi, jaringan kerja, dan keadilan. Menurut Rappaport (1987) pemberdayaan diartikan sebagai pengaruh dan 25
kontrol individu terhadap keadaan sosial, kekuatan politik, dan hak-haknya menurut undang-undang. Sementara itu, Mc Ardle (1989) mengartikan pemberdayaan sebagai proses pengambilan keputusan oleh orang-orang yang secara konsekuen melaksanakan keputusan tersebut (Hikmat, 2006). Orang yang telah mencapai tujuan kolektif diberdayakan melalui kemandiriannya, bahkan merupakan keharusan untuk mengembangkannya melalui usaha mereka sendiri, akumulasi pengetahuan, rangaka mencapai tujuan mereka
ketrampilan, dan
sumber lainnya dalam
tanpa bergantung pada petolongan dari
hubungan eksternal. Namun Mc Ardle lebih mementingkan makna pentingnya “proses” dalam pengambilan keputusan. Menurut World Bank dalam Shellman (2009) pemberdayaan adalah “the process of increasing the assets and capabilities of individuals or groups to make purposive choices and to transform those choices into desired actions and outcomes” (Shellman, 2009) Melihat dari perspektif individual dalam pemberdayaan, studi ini fokus dengan pemberdayaan psikologi. Menurut Zimmerman dan Rappaport (dalam Shellaman, 2009, h.25) adalah hubungan antara kompetensi pribadi, keinginan, dan kemauan untuk mengambil tindakan dalam ruang publik. Selain itu, menurut Zimmerman & Warschausky (1998) pemberdayaan psikologis meliputi persepsi kontrol pribadi, partisipasi dengan orang lain untuk mencapai tujuan, dan kesadaran kritis dari faktor-faktor yang menghambat atau
26
meningkatkan upaya seseorang untuk melakukan kontrol dalam kehidupan seseorang (Shellman, 2009 h.26). Partisipasi merupakan komponen terpenting dalam pembangkitan kemandirian dan proses pemberdayaan.
Menurut Craig dan Mayo (1995)
sebaiknya setiap orang harus terlibat dalam proses pemberdayaan sehingga mereka lebih menghargai hidupnya untuk memperoleh rasa percaya diri, memiliki harga diri dan pengetahuan untuk mengembangkan keahlian baru (Hikmat, 2006, h. 5). Pemberdayaan merupakan proses pembangunan yang memiliki tahapantahapan dalam prosesnya. Tahapan-tahapan tersebut antara lain (Sulistiyani, 2004, h. 83) : 1. Tahapan penyadaran dan pembentukan perilaku sadar dan peduli sehingga merasa mebutuhkan peningkatan kapasitas diri (kesadaran kritis). 2. Tahap
transformasi
kemampuan
berupa
wawasan
pengetahuan,
kecakapan, ketrampilan agar terbuka wawasan dan memberikan ketrampilan dasar sehingga dapat mengambil peranan di dalam pembangunan. 3. Tahapan peningkatan kemampuan intelektual, kecakapan-ketrampilan, sehingga terbentuklah inisiatif dan kemampuan inovatif untuk mengantarkan pada kemandirian 27
Beberapa konsep yang ada dapat dikurucutkan bahwa pemberdayaan adalah sebuah proses kesadaran kritis, peningkatan kapasitas, aset, dan, kemampuan pengambilan keputusan untuk mencapai kemandirian. Hal yang menjadi kunci dari keberhasilan pemberdayaan adalah partisipasi dalam setiap proses pemberdayaan 2.4 Partisipasi anggota Komunitas Waria dalam Pemberdayaan Pemberdayaan masyarakat harus berupaya untuk memaksimalkan partisipasi dengan tujuan membuat setiap anggota terlibat secara aktif dalam proses-proses pemberdayaan. Partisipasi sangat penting dalam proses pemberdayaan karena mencerminkan rasa kepemilikan komunitas seseorang dan konsesus yang terbangun. Kepemilikan komunitas mencakup dua level yaitu kepemilikan pada sebuah benda material dan kepemilikan pada stuktur serta proses. Perluasan pemilikan komunitas menjadi aspek penting dalam membangun komunitas, dapat mendorong tumbuhnya rasa memiliki terhadap identitas komunitas, dapat member alasan bagi seseorang untuk menjadi aktif terlibat dalam setiap level komunitas, dan dapat mendorong sumberdaya secara lebih efisien (Suparjan dan Suyatna, 2003). Eugen C. Erickson (1974) mengungkapkan secara lebih jelas tentang konsep partisipasi. Partisipasi pada dasarnya mencakup dua bagian yaitu internal dan eksternal. Partisipasi internal berarti adanya rasa memiliki terhadap 28
komunitas. Sementara partisipasi eksternal terkait dengan bagaimana individu melibatkan diri dengan komunitas luar (seperti: hubungan dengan pemerintah ataupun dengan komunitas lainnya) (Suparjan dan Suyatna, 2003). Partisipasi masyarakat (kelompok sasaran) hendaknya perlu dilibatkan dalam tiap proses pembangunan sebagai bentuk rasa kepemilikan (Suparjan dan Suyatna, 2003 h 59). Berikut proses-proses dalam pemberdayaan: 1. Identifikasi permasalahan. Masyarakat bersama dengan perencana ataupun pemegang otoritas kebijakan tersebut mengidentifikasikan dalam diskusi kelompk, brain stoming, identifikasi peluang, potensi, hambatan. 2. Proses Perencanaan. Masyarakat dilinatkan dalam penyusunan rencana dan strategi dengan berdasarkan pada hasil identifikasi. 3. Pelaksanaan proyek/program 4. Evaluasi. Masyarakat dilibatkan untuk menilai hasil pembangunan yang telah dilakukan, apakah program memberikan hasil guna ataukah masuarakat dirugikan dengan proses yang telah dilakukan. 5. Mitigasi. Kelompok masyarakat dapat terlibat dalam mengukur sekaligus mengurangi dampak negatif pembangunan. 6. Monitoring. Tahap yang dilakukan agar proses pembangunan yang dilakukan dapat berkelanjutan. Dalam tahap ini juga dimungkinkan 29
adanya penyesuaian-penyusuaian berkaitan dengan situasi dan informasi terakhir dari program pembangunan yang telah dilaksanakan (Suparjan dan Suyatna, 2005) Partisipasi masyarakat dalam penerapan program yang dilakukan, untuk benar-benar mendapat program yang paling tepat untuk keberdayaan masyarakat, dalam hal ini kelompok waria. Selain itu partisipasi masyarakat memiliki tingkatan guna mengukur seberapa jauh partisipasi yang dilakukan oleh masyarakat dalam menjalankan suatu program ataupun dalam melakukan kegiatan-kegiatan dalam rangka mencapai tujuan bersama. Menurut Hobley (1996) ada tujuh tipe partisipasi: 1.
Partisipasi Semu adalah partisipasi yang merupakan perwakilan dari ekelompok orang yang tidak punya kekuatan tanpa proses pemilihan. Dalam konteks pemberdayaan KAKB Komunitas ini partisipasi semu adalah partisipasi yang dimanipulasi oleh pihak pemerintah maupun fasilitator.
2.
Partisipasi pasif adalah masyarakat hanya melakukan pekerjaan sederhana yang kurang signifikan terhadapa sebuah perubahan. Tahap partisipasi pasif dalam suatu pemberdayaan muncul ketika kelompok hanya mengerjakan segala program atau skema pemerintah atau fasilitator.
30
3.
Partisipasi konsulatif berkaitan dengan keterlibatan masyarakat dalam konsultasi, analisis dan pembuatan kebijakan. Tahap partisipasi ini kelompok waria di ajak untuk berkonsultasi tentang analisis maslah, tetap secara strategi pemberdayaan ditentukan pihak luar.
4.
Partisipasi untuk insentif adalah partisipasi secara materi yaitu masyarakat berpartisipasi dalam menyediakan
sumberdaya seperti
tenaga untuk memperoleh insentif. 5.
Partisipasi
fungsional
yaitu
masyarakat
berpartisipasi
dengan
pembentukan kelompok-kelompok yang dikaitkan dengan tujuan proyek, Masyarakat tidak dilibatkan pada tahap awal atau perencanaan, pengarahan dilakukan oleh pihak luar 6.
Partisipasi interaktif yaitu masyarakat berpartisipasi dalam analisi bersama, membuat rencana aksi dan pembentukan lembaga lokal baru dan
pengutan
lainnya.
Masyarakat
menentukan
keputusan
dan
bertanggung jawab atas proses pelaksanan. 7.
Pengembangan
diri
yaitu
masyarakat
berpartisipasi
mengambil
kebebasan inisiatif dari lembaga eksternal untuk mengubah sistem. Masyarakat membangun hubungan dengan lembaga eksternal untuk mengembangkan sumberdaya, dan tetap menguasai sumberdaya. Tangga partisipasi menunjukkan tingkat partisipasi anggota Komunitas waria terhadap pemberdayaan KAKB. Partisipasi ini menunjukkan tinggi rendahnya 31
rasa kepemilikan waria terhadap pemberdayaan KAKB dan sangat mempengaruhi keberlanjutan dan keberhasilan KAKB.
32