BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Yogyakarta dikenal sebagai kota pendidikan yang menjadi daerah tujuan utama mahasiswa untuk menuntut ilmu. Para mahasiswa berasal dari hampir seluruh daerah di Indonesia yang menjadikan Yogyakarta sebagai miniatur Indonesia. Daya tarik ini pertama disebabkan oleh jaminan kualitas pendidikan di Yogyakarta yang direpresentasikan dengan nama besar Universitas Gadjah Mada (UGM), Universitas Negeri Yogyakarta (UNY), Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga, Universitas Islam Indonesia (UII), Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Universitas Teknologi Yogyakarta (UTY), Universitas Ahmad Dahlan (UAD), Universitas Sanata Darma dan Universitas Atma Jaya. Kedua, Yogyakarta menjadi pilihan karena faktor biaya hidup yang masih terjangkau bagi mahasiswa yang berasal dari berbagai daerah. Kondisi Yogyakarta dengan pendidikan yang berkualitas dan dengan biaya yang terjangkau ini telah menarik minat mahasiswa dari berbagai daerah, termasuk mahasiswa dari Maluku Utara umumnya dan Ternate khususnya. Etnis Ternate menjadi bagian dari etnis Jawa yang menjadi etnis dominan di Yogyakarta dan etnis pendatang seperti Aceh, Melayu, Minangkabau, Batak, Sunda, Madura, Dayak, Bugis Makasar, Manado, Maluku, hingga Papua. Mahasiswa Ternate, sebagaimana etnis-etnis lain di Yogyakarta, mereka adalah perantau dalam menuntut ilmu yang keluar dari kampung mereka untuk mengembangkan diri dan mencoba mencapai sesuatu yang lebih baik. Bagi 1
mahasiswa Ternate, meninggalkan kampung halaman merupakan tantangan besar, khususnya untuk meninggalkan tempat tinggal, keluarga, dan tradisi yang di tempat tujuan mengalami hal-hal yang berbeda dengan di daerah asal. Namun demikian, banyak orang Ternate yang tinggal dan hidup lama di Yogyakarta yang dapat menjadi tanda dari penerimaan sosial yang tinggi dari masyarakat setempat serta kemampuan adaptasi yang baik dari mahasiswa atau komunitas Ternate di Yogyakarta. Etnis Ternate tinggal tersebar di berbagai wilayah di Yogyakarta, tidak selamanya mengelompok, sehingga memudahkan adaptasi dan integrasi mahasiswa Ternate dalam masyarakat dan kebudayaan Jawa di Yogyakarta. Di Yogyakarta memang terdapat dua kategori etnis, yakni etnis mayoritas yang memiliki pengaruh dalam hal kebijakan, dan dominan dalam budayanya di Yogyakarta dan etnis minoritas yang kurang berpengaruh di Yogyakarta. Etnis Ternate termasuk dalam etnis yang kurang berpengaruh dibandingkan Melayu, Aceh, dan Madura, misalnya, yang berhasil menjadi pimpinan lembaga pendidikan atau pemerintahan di Yogyakarta. Pada saat yang sama, etnis Ternate dikondisikan untuk mengadopsi hal-hal yang ideal dalam mengembangkan kebudayaan Ternate melalui kesadaran etnis dan budaya mahasiswa Ternate yang tersebar di berbagai perguruan tinggi. Etnis Ternate datang ke Yogyakarta tidak dengan mudah sebab banyaknya kendala-kendala yang dihadapi misalnya ada streotipe negatif terhadap mahasiswa yang berasal dari Indonesia bagian Timur. Streotipe sebagaian masyarakat Yogyakarta menjadi imbas bagi mahasiswa Ternate yang ada di Yogyakarta. 2
Streotipe yang ditujukan kepada semua orang yang berasal dari timur Indonesia tanpa terkecuali sehingga orang Ternate juga merasakan hal tersebut. dengan adanya kasus seperti itu memberikan dampak terhadap beberapa mahasiswa asal Ternate dalam mencari tempat tinggal. Tahun 2013 adanya kasus cebongan yang kebutulan melibatkan orang-orang yang berasal dari timur Indonesia (NTT) sehingga masyarakat semakin tidak simpati dengan orang-orang dari timur. Ditahun yang sama beberapa mahasiswa yang bersal dari Ternate mendapat perlakuan yang bisa dibilang adanya diskriminasi terhadap mereka, karena setiap mencari tempat tinggal selalu ditolak oleh pemilik kontrakan dengan berbagai alasan misalnya kontrakannya penuh padahal ada tulisan didepan rumahnya “ada kamar kosong” dan masih banyak alasan-alasan yang dibuat-buat, hal ini tentunya membuat mahasiswa Ternate kesulitan namun demikian tidak semuanya yang menolak, ada pula yang berbaik hati dan mau menerima mahasiswa-mahasiswa tersebut. Streotipe muncul tanpa membedakan asal dari mahasiswa yang entah berasal dari Ternate, Papua, Nusa Tenggara Timur, Ambon dan lainnya. namun streotipe tersebut hanya dilihat dari kesamaan ciri fisik misalnya kulit hitam, cara berbicara yang keras. Dan pada umumnya orang yang berasal dari daerah timur memiliki ciri tersebut. Dengan demikian mahasiswa yang bersal dari Ternate yang memiliki ciri tersebut akan meresakan streotipe yang sama. Selain masalah-masalah tersebut ada juga tindakan-tindakan diskriminasi terhadap orang timur Indonesia, misalnya kasus pembunuhan diakhir tahun 2014 di daerah titik nol malioboro, mahasiswa tersebut dikejar dan diteriaki maling 3
sehingga orang-orang pada saat ini ikut mengejar kemudian menghajarnya sampai mahasiswa tersebut tidak berdaya sehingga pinsan selama tiga hari di rumah sakit Sardjito sebelum dia menghembuskan nafas terakhirnya. Selama tiga hari di rumah sakit tidak ada pihak yang berwenang dan memproses kasus tersebut dan sampai mahasiswa tersebut meninggal. Hal tersebut memicu kemarahan dari mahasiswa Ternate, dan hampir terjadi konflik. Dengan adanya masalah-masalah yang melibatkan mahasiswa berasal dari Indonesia bagian timur khususnya mahasiswa Ternate manjadikan alasan buat mahasiswa Ternate mencoba untuk melakukan hal-hal yang lebih baik terutama adaptasi dengan masyarakat asli yogyakarta maupun sesama pendatang dari berbagai daerah lainnya. Mahasiswa Ternate memposisikan diri sebagai pendatang dan mentaati semua aturan yang ada di Yogyakarta. Hal tersebut karena adanya kerisihan dari mahasiswa Ternate yang selalu disamakan dengan orang timur lainnya. kesadaran-kesadaran ini muncul karena mahasiswa yang berasal dari Ternate merasa berbeda dengan mahasiswa yang berasal dari timur lainnya. Orang Ternate merasa berbeda karena dengan orang lainnya terutama orang-orang yang berasal dari timur Indonesia. Streotipe tentang mahasiswa timur yang suka mabuk-mabukkan yang suka rusuh dan lainnya. Orang Ternate merasa berbeda karena hal ini didukung dengan latar belakang orang Ternate yang mayoritas beragama Islam sehingga hal-hal yang demikian bisa dijauhi. Dengan memegang teguh nilai-nilai agama dan norma-norma dari Ternate sendiri
4
menjadikan orang Ternate lebih mampu menjaga dirinya agar terhindar dari halhal yang diinginkan. Kesadaran etnis tumbuh ketika terjadi interaksi antar etnis yang melahirkan tindakan-tindakan yang positif bagi penguatan identitas dan pengayaan cultural (Abdullah, 2007). Keasadaran etnis ini pun muncul di kalangan mahasiswa Ternate yang tampak dari wacana pentingnya memegang teguh identitas etnis sebagai landasan bersikap dan bertindak dalam suatu kerangka kehidupan bersama yang lebih baik. Tidak jarang pertemuan etnis ini melahirkan konflik yang tampak dari isoloasi diri yang berlangsung di kalangan kelompok etnis tertentu ketika kelompok berhadapan dengan kelompok mayoritas yang dianggap dapat mengancam eksistensi etnis. Fakta juga memperlihatkan bahwa di dalam masyarakat berkembangan citra buruk yang bersifat stereotipe atas suatu etnis, sebagaimana yang dialami oleh mahasiswa Ternate yang seringkali harus berhadapan dengan label orang timur sebagai pembuat onar sehingga menjadi tantangan tersendiri bagi mahasiswa untuk hidup dalam suatu lingkungan kebudayaan di luar kebudayaannya sendiri. Identitas cultural suatu kelompok, menurut Hall dan Gay, merupakan pembeda suatu kelompok dengan kelompok lain yang didasarkan pada parameter tertentu dengan prinsip-prinsip tertentu (Sari, 2013). Identitas dapat terbentuk atas berbagai alasan cultural dan struktural. Kebudayaan yang ditentukan oleh keadaan sekitar, lingkungan dan masyarakat yang mempengaruhi bagaimana kebudayaan dipersepsikan dan dijadikan dasar dalam pembentukan suatu identitas. Kebudayaan yang merupakan faktor penting dalam pembentukan identitas 5
selanjutnya menjadi dasar di dalam pembedaan sekelompok orang lain. Menurut Pratt, pembeda sebagai faktor dapat bersumber pada keadaan sekitar, lingkungan dan masyarakat yang mempengaruhi bagaimana sesuatu dipersepsikan dan dijadikan dasar dalam pembentukan identitas sekelompok orang (dalam Sari 2013). Kebudayaan dapat diwakili oleh pembedaan etnis yang ada dalam suatu masyarakat dan memperlihatkan adanya latar belakang kebudayaan tertentu sehingga menentukan sikap dan perilaku. Studi ini didasarkan pada suatu asumsi bahwa suatu kelompok etnis akan mampu mempertahankan budayanya dalam interaksinya dengan kelompok etnis yang lain. Sebagaimana dikatakan Barth, bahwa batas-batas budaya dapat bertahan meskipun kelompok-kelompok etnik tersebut saling berbaur, atau bahwa adanya perbedaan antar etnik tidak ditentukan oleh tidak terjadinya pembaruan, kontak dan pertukaran informasi, tetapi lebih kepada adanya proses-proses sosial yang berupa pemisahan dan penyatuan. Dengan cara ini perbedaan etnik tetap dipertahankan walaupun terjadi pertukaran peran dan keanggotaan di antara unitunit tersebut. Ciri masing-masing kelompok etnik bukan ditentukan oleh tidak adanya interaksi dan penerimaan sosialnya, tetapi berdasarkan terbentuknya sistem sosial tertentu dalam interaksi antar etnis. Dalam hubungan cultural dengan struktur setempat yang bersifat interaktif, suatu kelompok etnis dapat memproduksi kebudayaan asalnya di tempat yang baru, karena kebudayaan bisa berfungsi sebagai landasan bagi pemaknaan realitas dan penyusunan strategi aksi dalam suatu lingkungan sosial (Abdullah, 2015). Dengan kata lain, kebudayaan asal dapat mengalami 6
rekontekstualisasi dalam suatu lingkungan baru di luar kebudayaannya sendiri yang terdeteritorialisasi (Appadurai, 1991). Proses semacam ini merupakan suatu gejala sosial budaya yang penting karena menyangkut dua hal. Pertama, pada tataran sosial akan terlihat proses dominasi dan subordinasi budaya terjadi secara dinamis yang memungkinkan dijelaskan dinamika kebudayaan secara mendalam. Kedua, pada tataran individual akan dapat diamati proses resistensi di dalam reproduksi identitas kultural sekelompok orang di dalam konteks sosial budaya tertentu. Proses adaptasi ini berkaitan dengan dua aspek: ekspresi kebudayaan dan pemberian makna tindakan-tindakan individual. Dengan kata lain hal ini menyangkut cara-cara yang ditempuh oleh sekelompok orang untuk dapat mempertahankan identitasnya sebagai suatu etnis di dalam lingkungan sosial budaya yang berbeda. B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan dan beberapa contoh kasus yang ada, maka yang menjadi permasalahan utama dalam penelitian ini adalah “Mengapa muncul kesadaran
etnis Ternate di Yogyakarta?
“pertanyaan tersebut akan dibagi dalam 3 pertanyaan penelitian, yakni: 1. Bagaimana mahasiswa Ternate merepresentasikan identitas kultural Ternate di Yogyakarta? 2. Apa motif yang mendasari kesadaran mahasiswa dalam membangun identitas Ternate di Yogyakarta? 3. Bagaimana identitas Ternate direproduksi di Yogyakarta sebagai respon mahasiswa terhadap tantangan kehidupan sehari-hari? 7
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian a. Tujuan penelitian Dalam melakukan penelitian ini, diharapkan ada tujuan-tujuan yang dicapai yaitu: 1. Mendeskripsikan dan memetakan perkembangan etnis Ternate di Yogyakarta. 2. Mendeskripsikan
dan
memetakan
faktor-faktor
apa
saja
yang
mengakibatkan semangat etnis Ternate lebih menonjolkan etnisnya. 3. Mendeskripsikan dan memetakan pengaruh-pengaruh etnis Ternate berusaha menunjukan eksistensinya di Yogyakarta. b. Manfaat Penelitian Penelitian
ini
diharapkan
akan
memberikan
manfaat
untuk
menambah/memperluas khazanah ilmu pengetahuan, terutama memperkaya literatur yang berhubungan dengan isu etnisitas. Selain itu diharapkan dalam penelitian ini bisa lebih bermanfaat pada masyarakat yang hidup dalam lingkungan dan etnis yang berbeda, selain itu, penelitian ini juga diharapkan menjadi satu rekomendasi dalam membentuk masyarakat yang lebih harmonis walaupun berbeda. D. Tinjauan Pustaka Sejauh ini studi khusus tentang reproduksi identitas di kalangan mahasiswa Ternate belum banyak dilakukan. Dari penelusuran studi-studi terdahulu tentang Ternate lebih banyak pada masalah politik etnis, sejarah 8
kesultanan yang bersifat intra etnis maupun antar etnis dan berhujung pada konflik antar etnis, beberapa studi konflik misalnya dari Klinken “popularisasi di Maluku Utara‟ (perang Kota kecil) tulisan tersebut lebih cenderung pada konflik tahun 1999 di Halmahera. Klinken menulis bagaimana pendekatan untuk menganalisa cerita secara cermat telah membuktikan bahwa kekerasan kolektif di Maluku Utara mengandung banyak dimensi politis. Sebab kekerasan yang terjadi di Maluku Utara sama halnya terjadi di Ambon maupun Poso yang menimbulkan banyak korban. Studi yang dilakukan oleh Irsyadi (2012) tentang refleksi relasi antar etnik dilakukan lewat legu gam (pesta rakyat) yang dilaksanakan setiap tahunnya. Legu gam merupakan politik kebudayaan pasca konflik horizontal di Maluku Utara umumnya dan kota Ternate khususnya hal ini dilakukan untuk merajut kebersamaan antara etnis secara umum mempresentasikan kemajemukan masyarakat Ternate yang bersatu dalam legu gam tersebut. Legu Gam dalam hal ini merupakan ruang negosiasi dan representasi identitas etnik yang beragam, dalam ranah inilah identitas, posisi sosial dan budaya masing-masing etnik dipertemukan dengan konteks untuk mengapresiasi berbagai keragaman budaya yang berbasis pada keragaman etnik. Selain itu Ibrahim (2004: 4) menulis dalam bukunya tentang Mengelola Pluralisme yaitu bagaimana batas-batas etnik (ethnic boundary) dapat ditentukan secara jelas, berdasarkan kesamaan keyakinan, pandangan, pemeliharaan budaya, dan penggunaan bahasa. Pada frasa ini, kesadaran mengenai pentingnya hubungan lintas-etnik belum terbangun dengan baik. Kasus-kasus mengenai divergensi etnik 9
proses dimana sebuah komunitas atau etnik mendefinisikan dirinya “sebagai lain dan berbeda” dengan komunitas lain atau mendefinisikan komunitas atau etnik lain “sebagai yang lain dan berbeda dengan dirinya” memperpanjang jarak penerimaan. Pertanyaan mengenai “anda asli dari mana” pada teman baru saat pertama kali bertemu dalam kosmopolit pergaulan lintas komunitas di Indonesia menimbulkan dua hal yang ambivalen. Pertama, ketika bertanya kepada orang lain yang baru dikenal tentang asal-usul sebagai atribut sosial, seseorang itu telah melakukan pendefisian atas dirinya sendiri sebagai yang berbeda dengan orang lain yang baru dia temui. Kedua, secara bersamaan, dengan pertanyaan itu ia telah sadar melakukan suatu mekanisme “penemptan orang lain” itu pada komunitasnya. Penelitian yang dilakukan oleh Umar (2014) tentang Orang Makeang: Identitas Etnik dan Dinamika Politik Lokal di Ternate ini untuk memahami dinamika historis orang makeang dan kompleksitas politik lokal di Ternate sehingga dapat menganalisis permainan strategi politik serta reproduksi identitas kekinian orang Makeang1 dalam hubungan dengan sejarah Moloku Kie Raha. Dalam konteks kekinian ini orang Makeang secara politik lebih cenderung mendominasi pentas politik di Ternate. Hal ini terlihat dengan eksistensi orang Makeang yang duduk sebagai anggota legislatif, Walikota pertama dan Gubernur pertama. Sementara itu penelitian yang dilakukan oleh Syukur (2004) tentang perkembangan orang Makeang di Maluku Utara dari tahun 1974-2006 menunjukan bahwa terdapat dinamika yang fluktuatif terkait dinamika politik
1
Makeang adalah salah satu etnis yang ada di Maluku Utara
10
lokal dengan perkembangan sejarah di Maluku Utara. Politik lokal merupakan suatu fenomena sosial budaya yang kompleks dan memiliki makna yang multitafsir, sekaitannya dengan relasi-relasi yang terbangun antara politisi-politisi. Politik lokal sebagai fenomena sosiokultural, tentunya memiliki multi makna dalam berbagai perspektif, salah satunya tentang isu-isu politik kekuasaan. Keterlibatan etnis Makeang dalam kontestasi kekuasaan disemua bidang terkadang bukan merupakan hal hal yang tidak disengaja tetapi secara sadar dilakukan, baik diawali keinginan secara individu dalam perpolitikan tesebut maupun dalam reproduksi identitasnya. Sebaliknya, di luar Etnis Ternate penelitian khusus tentang masalah konstruksi identitas sudah dilakukan oleh beberapa peneliti, seperti Maunati dalam bukunya yang berjudul “Identitas Dayak” komodifikasi dan politik kebudayaan” (2004). Fokus kajian utama dari studi ini adalah ingin memahami bagaimana identitas budaya menjadi produk kekuatan-kekuatan politik dan ekonomi serta tanggapan-tanggapan orang Dayak sendiri terhadap negosiasinegosiasi sehubungan dengan hubungan-hubungan politik dan ekonomi semacam itu. Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa kategori orang Dayak secara histori tidaklah abadi, bukan pula merupakan objektif yang sudah kuno melainkan sebuah konstruksi yang relativ modern. Batas-batas “Kedayakan” bersifat ambigu--- batasan-batasan ini selalu berinteraksi dengan kontes-kontes politik, ekonomi dan budayanya. Maunati, menyatakan bahwa luas identitas diyakini bahwa identitas budaya (dengan sengaja) dibentuk atau dibangun. Tetapi kalangan intelektual 11
saling berbeda pendapat mengenai seberapa jauh konstruksi identitas budaya berkaitan dengan proses-proses tertentu dan pengalaman-pengalaman sejarah yang berbeda-beda. Maunati merasa bahwa pendekatan terhadap pertanyaan-pertanyaan tentang identitas budaya sangat bermanfaat dan menjelaskan penelitiannya mengenai identitas Dayak (Maunati, 2004). Pembentukan dan manipulasi identitas menurut Manuati adalah hal yang kompleks dan juga merupakan tindakan politik. Negara kolonial dan „otoritas‟ barat, seperti akademisi dan para misionaris secara historis telah terlibat dalam upaya merepresentasikan identitas untuk tujuan-tujuan politis. Pada pemerintahan orde baru orang Dayak direpresentasikan secara beragam, sebagai kelompok yang terbelakang yang membutuhkan pemberadaban dan sekaligus eksotik yang layak “dijual” (dalam Kumbara, 2008). Penelitian serupa juga pernah dilakukan oleh Adrian Vickers di Bali yang di terbitkan dalam buku yang berjudul “Bali a Paradise Created” (1989). Salah satu kesimpulan penting yang dirumuskan Vickers sehubungan dengan proses pembentukan identitas Bali bahwa penjajah Belanda mendefinisikan kembali citra Bali dari citra dari sebagai sebuah tempat yang liar tak beradab menjadi citra sebuah pulau surga. Proses yang serupa juga dilakukan secara intensif oleh pemerintah Indonesia bahwa Bali merupakan satuan etnis yang homogen yang mengabaikan keragaman etnis di Indonesia, untuk kepentingan politik dan ekonomi. Implikasinya, Bali sekarang merujuk pada acuan-acuan geografis, acuan etnis, dan acuan administrasi (Picard, 1997: 199).Kajian tentang identitas suatu etnik yang berada di wilayah lain sangatlah perlu hal ini bisa diidentifikasi tentang 12
banyak hal misalnya konflik antara etnis mayoritas dan etnis minoritas (pendatang). Selain itu juga bisa dilihat bagaimana peran etnis-etnis pendatang beradaptasi dan sadar akan statusnya sebagai pendatang sehingga sama-sama mampu menciptakan suatu keharmonisan. Pemahaman tentang reproduksi kultural yang menyangkut bagaimana “kebudayaan asal” direpresentasikan dalam lingkungan baru, masih sangat terbatas. Penelitian kesukubangsaan umumnya menitikberatkan kebudayaan sebagai “pedoman” dalam adaptasi dan kelangsungan hidup (Barth, 1988) sehingga lebih melihat aspek produktif dari sebuah kebudayaan. Identitas budaya merupakan ciri yang muncul karena seseorang merupakan anggota dari sebuah etnik tertentu, sedangkan identitas sosial terbentuk akibat dari keanggotaan seseorang dalam suatu kelompok kebudayaan. Hal inilah yang membuat proses konstruksi identitas yang berawal dari diri sendiri. Identitas dan kebudayaan lokal memang mendapat tantangan ketika berada dalam suatu wilayah, hal ini kemudian menajadi tantangan tersendiri bagi etnis lokal yang mampu mempertahankan kebudayaannya atau terpengaruh dengan kebudayaan pendatang begitu juga dengan etnis pendatang apakah akan mampu bertahan dengan etnis atau “rela” melepasnya untuk mengikuti etnis di lingkungan yang mereka tinggal. Hal inilah yang kemudian dilihat dalam etnis Ternate bagaimana para mahasiswa mencoba bertahan dalam etnis besar (Jawa) dan di lingkungan yang berbeda. Anggota dari setiap budaya mempunyai suatu keunikan yang dijadikan sebagai identitas sosial untuk menyatakan tentang siapa mereka dan mengapa 13
mereka ada. Dengan kata lain kebudayaan dapat memiliki suatu perilaku personal atau kelompok. Pelbagai penelitian yang dilakukan oleh Cattel (1951) tentang mental kelompok atau sintalitas menerangkan bahwa orientasi individu cenderung tampil sebagai identitas kelompok (Liliweri, 2003). Secara budaya, Yogyakarta menonjol sebagai kota yang didominasi oleh budaya Jawa dan dapat dikategorikan sebagai etnis besar di Indonesia. Dengan demikian, pandangan hidup Jawa masih menonjol. Dalam budaya Jawa, ketenangan batin merupakan tujuan hidup, untuk mencapai hal itu maka kehidupan lahiriyah harus ditaklukan dan lebih mementingkan batiniah. Pandangan inilah yang mendasari pandangan norma sosial orang Jawa. Aturanaturan dalam masyarakat harus dicoba untuk ditaati agar hubungan sosial berjalan lancar. Rukun sebagai suatu kemauan untuk memelihara hubungan sosial yang harmonis. Permasalahan etnis Ternate di Yogyakarta muncul karena adanya asumsi orang timur yang “kurang baik” dalam sikap. Terkait dengan itu, etnis Ternate secara fisik hampir mirip dengan etnis lain yang berasal dari Indonesia bagian timur lain seperti Papua, Nusa Tenggara Timur dan Ambon. Hal inilah yang kemudian menjadikan suatu pelajaran berharga bagi mahasiswa Ternate yang sedang melanjutkan studi di Yogyakarta. E. Kerangka Pemikiran Dalam kajian tentang reproduksi identitas ini lebih mengacu pada teori tentang reproduksi dari Abdullah bagaimana sebuah konsep yang dijelaskan bahwa semua yang ada didunia ini berjalan dan mengalami perubahan termasuk 14
masalah kebudayaan. Kesadaran atau pola pikir manusia mengalami perubahan, mencairnya batas-batas teritorial identitas, mobilisasi manusia, kecanggihan intelektual yang dimiliki, media komunikasi yang semakin modern, masyarakat menjadi terintegrasi bukan hanya pada level lokal tapi level dunia, maka batasbatas identitas suatu kebudayaan itu pun mau tidak mau harus harus mencair atau memudar (Abdullah, 2007). Istilah etnisitas sesungguhnya tidak sepenuhnya istilah yang baru, karena Weber dalam karyanya pada tahun 1922 telah mengemukakan istilah etnisitas. Menurut Weber etnisitas atau kelompok etnik adalah kelompok manusia yang memiliki suatu keyakinan subjektif dari keturunan mereka karena adanya kesamaan fisik dan atau kebiasaan-kebiasaan atau ingatan akan kolonisasi dan migrasi. Keyakinan ini merupakan hal yang paling penting bagi perkembangan pembentukan kelompok yang bersangkutan, tidak peduli apakah para anggota memiliki hubungan darah atau tidak (Weber, 1922). Dalam pengertian umum, identitas sosial mengacu pada definisi diri seseorang dalam hubungan dengan orang lain. Sebagai istilah psikologi sosial, identitas sosial memiliki konotasi lebih spesifik, yaitu definisi diri dalam yakni pengertian keanggotaan seseorang dalam berbagai kelompok sosial (Kuper & Kuper, 2000). Menurut Mead, identitas sosial merupakan konsepsi sosial tentang diri, dalam mana individu akan menghayati kehadirannya “dari sudut pandang kelompok sosial secara keseluruhan” dari mana ia berasal (Kuper & Kuper, 2000). Menurut Weber yang dikutip oleh Stephan (1989), identifikasi etnik dalam sebuah kelompok etnik adalah perasaan sadar jenis yang diawali dengan 15
kesamaan atau komunalitas budaya. Setiap aspek budaya menjadi titik awal pembentukan kelompok etnik. Dalam hal itu, bahasa dan kepercayaan religious merupakan aspek budaya yang penting dalam identifikasi etnik disamping dalam kehidupan yang termasuk dalam gaya hidup. Kesemuanya itu dapat menimbulkan perasaan seetnik (Wohing Ati, 1999, dalam Permata, 2003). Dalam kehidupan sehari-hari, identitas mungkin setara mengacu pada keunikan individu sebagai suatu kelompok sosial (Eriksen, 2004), identitas diri adalah apa yang dipikirkan tentang diri sebagai pribadi (Giddens, 1991). Identitas sepenuhnya merupakan konstruksi sosial dan tidak mungkin eksis di luar representasi budaya dan akulturasi (Barker, 2000). Lebih lanjut Giddens mengatakan bahwa tidak satupun kebudayaan yang dikenal tidak mempergunakan kata ganti „saya‟ dan yang tidak memiliki konsepsi tentang diri dan kedirian. Tentu dia juga berpendapat bahwa identitas bukanlah kumpulan sifat-sifat yang dimiliki ataupun entitas atau benda yang bisa ditunjuk. Pada umumnya penelitian tentang berperspektif kesukubangsaan melihat permasalahan etnisitas dari sisi outgroup. Bagaimana outgroup memandang persoalan-persoalan
yang dihadapi
suku
bangsa tertentu
dan
akhirnya
memunculkan semacam penilaian dan prasangka terhadap karakter dan cara-cara hidup suku bangsa yang bersangkutan (Sari, 2013). Sekelompok orang yang pindah dari suatu lingkungan budaya ke lingkungan budaya yang lain, mengalami proses sosial budaya yang dapat mempengaruhi model adaptasi dan pembentukan identitasnya (Appadurai, 1994; Ingold, 1995 dalam Abdullah, 2006). Kebudayaan daerah tujuan telah memberika 16
kerangka kultural baru yang karenanya turut pula memberikan definisi-definisi dan ukuran-ukuran nilai bagi kehidupan sekelompok orang (Featherstone, 1990. Abdullah, 2006). Proses reproduksi kebudayaan merupakan proses aktif yang menegaskan keberadaannya dalam kehidupan sosial sehingga mengharuskan adanya adaptasi bagi kelompok yang memiliki latar belakang kebudayaan yang berbeda. Adaptasi merupakan suatu hal yang penting ketika suatu kelompok atau suatu komunitas berada dalam kelompok/komunitas yang lain apalagi berada dalam komunitas yang dominan. Para ahli mengikuti pandangan ini yang melihat identitas tidak bisa dipisahkan dari struktur yang melingkupinya. Sejalan dengan ini Burke juga mengatakan bahwa identitas diri manusia itu tidak bisa dipandang sebatas siapa dia tetapi identitas diri hanya bisa di jelaskan melalui relasi-relasi sosial yang berada disekitar „aktor‟. Adanya relasi sosial di dalam masyarakat pada akhirnya membentuk suatu struktur sosial yang berlaku di dalam masyarakat (Burke, dalam Sari, 2013). Berbicara tentang identitas maka tidak terlepas dari banyaknya teori yang dikemukakan oleh para ahli dalam kajian tentang identitas suatu kelompok yang berada dalam lingkungan yang berbeda. Selain itu, bagaimana suatu kelompok tersebut mampu mempertahankan identitasannya dalam kelompok yang lain. Kajian ini mengacu pada teori Hall yang menyebutkan bahwa identitas terdiri atas identitas diri dan identitas sosial yang merupakan konstruksi individual dan terikat pada struktur sosial (Hall, 1990). Selain itu juga Giddens (2003), menyampaikan bahwa identitas merupakan cara berpikir tentang kita yang berubah dari satu 17
situasi ke situasi yang lain menurut perubahan ruang dan waktu. Dalam konteks inilah identitas suatu kelompok perlu dikaji. Memahami suatu kelompok masyarakat yang teridentifikasi dalam suatu etnik tertentu membutuhkan pemahaman tentang batas-batas yang diciptakan dan ciri-cirinya. Hal itu antara lain ditunjukan dalam American hartitage dictionary (Purwanto, dalam Pertmata, 2003). Istilah itu menunjuk pada dua hal: pertama, pada keadaan suatu suku bangsa. Kedua, perasaan harga diri yang dimiliki oleh suatu suku bangsa. Jadi etnisitas berkutat pada keadaan suatu suku bangsa yang ditunjukan melalui ciri atau batas suku bangsa yang bersangkutan. Reproduksi kebudayaan adalah proses penegasan identitas kebudayaan yang dilakukan oleh pendatang, yang dalam hal ini menegaskan kebudayaan asalnya. Sedangkan proses reproduksi budaya merupakan proses aktif yang menegaskan keberadaannya dalam kehidupan sosial sehingga mengharuskan adanya adaptasi bagi kelompok yang memiliki latar belakang kebudayaan yang berbeda. Reproduksi kebudayaan dilatarbelakangi oleh perubahan wilayah tempat tinggal, latar belakang sosial, latar belakang kebudayaan, yang pada akhirnya akan memberikan warna bagi identitas kelompok dan identitas kesukubangsaan ( Anderson, Barth, dalam Abdullah 2006). Salah satu tokoh sosiologi kontemporer, yakni Peirre Bourdieu juga mengemukakan kajian analitisnya tentang reproduksi kebudayaan. Melalui konsepnya tentang habitus dan arena serta hubungan dialektis antara keduanya, Bourdieu mengemukakan analitisnya tentang reproduksi kebudayaan.Habitus adalah “struktur mental atau kognitif” yang dengannya orang berhubungan 18
dengan dunia sosial. Orang dibekali dengan skema yang terinternalisasi yang mereka
gunakan
untuk
mempersepsi,
memahami,
mengapresiasi,
dan
mengevaluasi dunia sosial. Melalui skema inilah orang menghasilkan praktik mereka, mempersepsi dan mengevaluasinya (Bourdieu, 1998: 18). Sebagai sebuah konstruksi yang dinamis, identitas selalu dibangun dan diubah atas realitas kuasa yang berlaku dan melahirkan ketegangan dan perjuangan untuk diterima untuk berlakunya suatu identitas. Ketika identitas mulai dipertanyakan dalam suatu siklus kekuasaan dan budaya suatu masyarakat, sebagaimana tampak dalam dinamika masyarakat dewasa ini, maka identitas dapat bersifat cair karena proses identifikasi berlangsung secara terus menerus sejalan dengan perubahan kerangka ideologi (Malasevic, 2006 dalam Sari, 2013). Mobilitas sosial membuat lingkungan sosial budaya setiap orang berubahubah sehingga setiap orang sering kali dihadapkan pada nilai-nilai baru yang mengharuskan setiap orang menyesuaikan diri secara terus menerus. Dengan demikian terdapat dua kemungkinan yang akan terjadi. Pertama, terjadi adaptasi kultural para pendatang dengan kebudayaan tempat ia bermukim, yang menyangkut adapatasi nilai dan praktik kehidupan secara umum..Kebuadayaan lokal menjadi kekuatan baru yang memperkenalkan nilai-nilai kepada pendatang, meskipun tak sepenuhnya memiliki daya paksa. Namun, proses reproduksi kebudayaan lokal, menjadi pusat orientasi nilai suatu masyarakat dan mempengaruhi mode ekspresi diri setiap orang. Kedua, proses pembentukan identitas individual yang dapat mengacu kepada nilai-nilai kebudayaan asalnya. Bahkan mampu ikut memproduksi kebudayaan asalnya di tempat yang baru. 19
dalam hal ini kebudayaan disebut sebagai imagined values yang berfungsi dalam fikiran setiap orang sebagai pendukung dan yang mempertahankan kebudayaan itu meskipun seseorang berada diluar lingkungan kebudayaannya (Appadurai, 1994; Hill dan Turpin, 1995. Dalam Rohmah, Sofia, Bryan, Dyah, 2011). Perpindahan penduduk dari daerah satu ke daerah lainnya dapat mengakibatkan terjadinya reproduksi budaya. Dengan adanya perbedaan budaya dari daerah asal dan daerah tujuan maka dapat mengakibatkan 2 pilihan. Pertama, kebudayaan lokal dapat tetap dipertahankan oleh setiap individu yang merupakan bagian terintegrasi dari kebudayaan lokal tersebut walaupun berada di lingkungan yang berbeda. Bahkan dalam konteks ini seseorang dapat saja ikut memproduksi kebudayaan asalnya di tempat yang baru (Foster, 1973). Kedua, kebudayaan lokal mengalami tranformasi yang disebabkan karena proses adaptasi dengan kebudayaan lain, adaptasi ini menyangkut nilai serta praktik-praktik kehidupan, dalam hal ini keberagaman kebudayaan akan terlihat sebagai suatu kekayaan dan bukan sebagai suatu ancaman bagi kebudayaan lain karena dalam contoh nyata seperti di lingkungan transmigrasi, adanya adaptasi kebudayaan dari masyarakat pendatang menjadi penambah keberagaman dalam hal pengenalan nilai-nilai baru kepada masyarakat lokal. Kebudayaan bagi suatu masyarakat bukan sekedar sebagai frame of reference yang menjadi pedoman tingkah laku dalam berbagai praktik sosial, tetapi lebih sebagai materi yang berguna dalam proses identifikasi diri dan kelompok. Oleh karena itu masyarakat cenderung membangun wilayah simboliknya sendiri yang membedakan diri mereka dengan orang lain. Mobilitas 20
sosial membuat lingkungan sosial budaya setaip orang berubah-ubah sehingga setiap orang sering kali dihadapkan pada nilai-nilai baru yang mengharuskan setiap orang menyesuaikan diri secara terus menerus. Dengan demikian terdapat dua kemungkinan yang akan terjadi. Pertama, terjadi adaptasi cultural para pendatang dengan kebudayaan tempat ia bermukim, yang menyangkut adaptasi nilai dan praktik kehidupan secara umum. Kebuadayaan lokal menjadi kekuatan baru yang memperkenalkan nilai-nilai kepada pendatang, meskipun tak sepenuhnya memiliki daya paksa. Kedua, proses pembentukan identitas individual yang dapat mengacu kepada nilai-nilai kebudayaan asalnya. F. Metode Penelitian Metode yang digunakan dalam penelitian ini yakni metode deskriptif dengan analisa kualitatif. Pertimbangan yang dipilih oleh penelitian agar dapat memahami cara berfikir subjektif di dalam penelitian. Bukan sekedar mencari data berupa kenyataan yang aktual dan teramati dalam observasi namun juga ingin menggali makna-makna subjektif melandasi sikap perilaku dan simbol masyarakatnya. Dalam mengumpulkan data penulis menggunakan, pedoman wawancara yang berisi panduan wawancara dan daftar pertanyaan terbuka yang disusun sebelumnya tapi tidak menutup kemungkinan pertanyaan dapat berkembang atau muncul pertanyaan baru pada saat wawancara sehingga informan memberikan jawaban atau keterangan atas pertanyaan diajukan. Instrumen pembantu, seperti alat perekam, kamera digital, alat tulis menulis. Pengamatan (observasi) yakni melihat langsung kejadian-kejadian atau tindakantindakan yang dilakukan informan, tanpa dengan wawancara. Studi kepustakaan 21
yakni data diperoleh melalui bacaan berupa : buku-buku, majalah, jurnal dan laporan-laporan penelitian. Selain itu, penulis juga menggunakan data-data demogrfi kependudukan (keadaan penduduk, kelahiran, umur, dan kematian), keadaan sosial (agama, organisasi sosil, pendidikan). Dalam penelitian ini peneliti akan mewawancarai mahasiswa yang berasal dari Ternate dan tinggal di Yogyakarta, untuk observasinya penelitia akan mengobservasi beberapa asrama mahasiswa Ternate. Teknik pengumpulan data 1. Pengamatan (observasi) Pengamatan dilakukan dengan terlibat langsung dalam aktivitas mahasiswa Ternate, seperti adanya pertemuan-pertemuan yang dilakukan oleh mahasiswa Ternate. Selain keterlibat langsung seperti itu kita juga dapat melakukan pengamatan biasa. Pengamatan ini dilakukan dengan melakukan survey tempat-tempat berkumpulnya mahasiswa Ternate yang ada di Yogyakarta. Seperti asrama Ternate dan sekertarian paguyuban mahasiswa Ternate. 2. Wawancara mendalam Wawancara merupakan teknik pengumpulan data untuk memperoleh keterangan tentang peristiwa yang dapat disaksikan oleh pewawancara. Wawancara dilakukan agar memahami perilaku dan kebiasaan suatu kelompok, dengan tujuan untuk merekonstruksi mengenai orang, kegiatan, kelompok, motivasi serta aspek lainnya (Nugraha dan Murtijo, 2005). Wawancara terdiri dari berbagai macam, diantaranya wawancara bebas (open 22
interview), wawancara mendalam (indeph interview). Dalam wawancara mendalam peneliti akan memilih beberapa mahasiswa yang sudah lama berdomisili di Yogyakarta. 3. Studi Pustaka Studi pustaka dilakukan dengan menelusuri laporan, literatur dan perekam sehingga dapat merekam setiap data yang diperoleh. Selain itu juga kita akan melakukan secara manual (tulis tangan) dan bantuan alat perekam. 4. Focus Group Discusion (FGD) Selain melakukan beberapa teknik pengumpulan data seperti observasi dan wawancara mendalam dalam penelitian ini juga digunakan metode FGD yang nantinya dilakukan dengan cara diskusi secara terbuka, dan mengundang mahasiswa-mahasiswa asal Ternate yang sudah lama atau yang sudah tinggal lebih dari 3 tahun di Yogyakarta.
23