BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Di dalam negara hukum, aturan perundangan-undangan yang tercipta harus
berisi nilai-nilai keadilan bagi semua orang. Negara hukum dalam arti formil (klasik) menyangkut pengertian hukum dalam arti sempit, yaitu dalam arti peraturan perundang-undangan tertulis, dan belum tentu menjamin keadilan substanstif. Negara hukum dalam arti materiel (modern)1 atau the rule of law2 merupakan perwujudan dari negara hukum dalam arti luas yang mengandung pengertian keadilan di dalamnya, yang menjadi esensi daripada sekedar memfungsikan peraturan perundang-undangan dalam arti sempit. Negara hukum didasarkan pada suatu keinginan bahwa kekuasaan negara harus dijalankan atas dasar hukum yang baik dan adil. Hukum menjadi landasan dari segenap tindakan negara, dan hukum itu sendiri harus baik dan adil. Baik karena sesuai dengan apa yang diharapkan oleh masyarakat dari hukum, dan adil karena maksud dasar segenap hukum adalah keadilan. Alasan utama untuk menuntut agar
1
A.V.Dicey menguraikan adanya tiga ciri penting dalam setiap Negara Hukum yaitu supremasi hukum (supremacy of law), persamaan di hadapan hukum (equality before the law), dan kepastian hukum (due process of law). Sedangkan Julius Stahl menggambarkan prinsip negara hukum modern sebagai perlindungan hak asasi manusia, pembagian kekuasaan, pemerintahan berdasarkan Undang-Undang dan Peradilan Tata Usaha Negara. (lihat Cekli S Pratiwi, 2010, “Wajah UU Pasca Uji Materiil Mahkamah Konstitusi (Menggugat Pemegang Kekuasaan Legislasi, Mendorong Tegaknya Konstitusi Dan Terwujudnya The Rule Of Law), Jurnal Konstitusi, Vol. III No. 1, FH UMM, hal. 88. 2 The Rule Of Law adalah sebutan konsep negara hukum dalam tradisi Anglo Amerika yang dipelopori oleh A.V.Dicey
1
negara diselenggarakan dan menjalankan tugasnya berdasarkan hukum di antaranya; (1) kepastian hukum,dan (2) tuntutan perlakuan yang sama (equality before the law). Para penyusun konstitusi dari dulu maupun saat ini (sampai dengan amandemen keempat) mengakui bahwa Negara Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum (rechtsstaat) dan bukan atas dasar kekuasaan (machstaat).3 Artinya Negara Indonesia di bangun atas dasar prinsip-prinsip yang terkandung dalam negara hukum. Konsep negara hukum di antaranya adalah (1) perlindungan HAM, (2) pembagian kekuasaan, (3) pemerintahan berdasarkan Undang-Undang, dan (4) adanya peradilan Tata Usaha Negara. Sementara prinsip-prinsip negara hukum di antaranya negara harus tunduk pada hukum, pemerintahan menghormati hak-hak individu, dan adanya peradilan yang bebas dan tidak memihak. Pengertian dan prinsip-prinsip umum dalam suatu negara hukum tidak dapat dilepaskan dari ada dan berfungsinya demokrasi, kerakyatan, dan perlindungan hak asasi manusia. Dengan kata lain, wawasan rechtsstaat dan wawasan demokrasi berada dalam satu keterkaitan. Oleh karenanya, pencederaan terhadap kehidupan demokrasi dan pelanggaran terhadap hak asasi manusia merupakan pelanggaran terhadap prinsip-prinsip negara hukum. Dalam negara hukum yang demokratis, salah satu pilar yang sangat penting adalah perlindungan dan penghormatan terhadap hakhak asasi manusia. Setiap manusia sejak kelahirannya menyandang hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang bersifat bebas dan asasi. Terbentuknya negara dan
3
“Demokrasi Pancasila”, http://suryainformation.wordpress.com/2010/05/22/demokrasi-pancasila/, diakses tanggal 28 Desember 2010.
2
demikian pula penyelenggaraan kekuasaan suatu negara tidak boleh mengurangi arti atau makna kebebasan4 dan hak-hak asasi kemanusiaan itu. Melihat salah satu konsep negara hukum adalah pemerintahan berdasarkan undang-undang, maka patut kiranya sebagai negara yang berdasarkan atas hukum sesuai Pasal 1 ayat (3) UUD 1945, Indonesia mengatur permasalahan pornografi dalam suatu undang-undang, dengan harapan peraturan atau undang-undang tersebut dibentuk dengan tujuan untuk mengatur. Di banyak negara, masalah pornografi memang diatur dalam undang-undang. Begitu juga di Indonesia, pornografi telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 (selanjutnya disebut UU Pornografi). Namun setelah dibentuk, UU Pornografi ini ternyata sebagai contoh konkret pelanggaran prinsip-prinsip demokrasi sebagai salah satu prinsip dalam negara hukum sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 (selanjutnya disebut UUD 1945). Dalam negara hukum, harus dianut dan dipraktekkan adanya prinsip demokrasi atau kedaulatan rakyat (Pasal 1 ayat (2) UUD 4
Dalam bahasa Inggris terdapat dua istilah yang bermakna kebebasan, yakni „liberty‟ dan „freedom‟. Sebagian ahli membedakan antara kedua istilah tersebut, tetapi sebagian lagi melihat kedua istilah itu sinonim. Concise Oxford Dictionary mendefinisikan „liberty‟ sebagai “personal liberty‟, civil liberty, and liberty of action, sedangkan „freedom‟ sebagai “freedom from control”. Chambers Dictionary mendefinisikan „freedom‟ sebagai „liberty‟, sedangkan „liberty‟ sebagai “freedom to do as one pleases”. Pendapat lain mengatakan „liberty‟ berasal dari bahasa Latin, sedangakan „freedom‟ berasal dari bahasa Jerman. Sementara Hannah Arendt melihat secara umum „feedom‟ digunakan dengan pengertian „the absence of restraint‟ dan „liberty‟ digunakan dengan makna “the opportunity to engage in some activity” seperti dalam partisipasi politik. Hasil pengamatan Hannah Pitkin melihat bahwa secara umum „liberty‟ mengacu pada konsep kebebasan secara negative, sedangkan „freedom‟ menunjukan pada konsep kebebasan secara positif. Sementara dalam bahasa Indonesia dikenal istilah „kebebasan‟ dan „kemerdekaan‟ yang kedua-duanya dipakai dalam UUD 1945. Anthony H. Birch, The Concept and Theories Of Modern Democracy, (New York: Routledge, 1997), hal. 95-96 selanjutnya lihat dalam Aidul Fitriciada Azhari, Menemukan Demokrasi (Surakarta: Muhammadiyah University Press, 2005) hal. 65, dalam Miftachus Sjuhad, 2009, Mengenal Ihwal Demokrasu Konstitusional, Jurnal Konstituis, Vol. II No. 1, FH UNMUH Malang, hal. 48-49
3
1945) yang menyatakan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar, yang menjamin peran serta masyarakat dalam setiap proses pengambilan keputusan kenegaraan. Dengan adanya peran serta masyarakat dalam proses pengambilan keputusan tersebut, setiap peraturan perundang-undangan yang ditetapkan dan ditegakkan dapat diharapkan benar-benar mencerminkan perasaan keadilan yang hidup di tengah masyarakat. Hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku, tidak boleh ditetapkan dan diterapkan secara sepihak oleh dan/atau hanya untuk kepentingan penguasa serta bertentangan dengan prinsip-prinsip demokrasi.5 Hukum tidak dimaksudkan hanya untuk menjamin kepentingan segelintir orang yang berkuasa, melainkan menjamin kepentingan akan rasa adil bagi semua orang tanpa kecuali. Artinya, negara hukum (rechtsstaat) yang dikembangkan bukanlah „absolute rechtsstaat‟, melainkan „democratische rechtsstaat‟ atau negara hukum yang demokratis. Dengan perkataan lain, dalam setiap negara hukum yang bersifat nomokratis harus dijamin adanya demokrasi, sebagaimana di dalam setiap Negara Demokrasi harus dijamin penyelenggaraannya berdasar atas hukum. UUD 1945 5
Inu Kencana Syafiie, Lektor Kepala IPDN (Institut Pemerintahan dalam Negeri) yang juga sebagai Kandidat Doktor Ilmu Pemerintahan Universitas Padjadjaran, merinci prinsip-prinsip demokrasi sebagai berikut, yaitu ; adanya pembagian kekuasaan, pemilihan umum yang bebas, manajemen yang terbuka, kebebasan individu, peradilan yang bebas, pengakuan hak minoritas, pemerintahan yang berdasarkan hukum, pers yang bebas, beberapa partai politik, konsensus, persetujuan, pemerintahan yang konstitusional, ketentuan tentang pendemokrasian, pengawasan terhadap administrasi negara, perlindungan hak asasi, pemerintah yang mayoritas, persaingan keahlian, adanya mekanisme politik, kebebasan kebijaksanaan negara, dan adanya pemerintah yang mengutamakan musyawarah. Diakses pada tanggal 28 Desember 2010 di http://www.google.co.id/#hl=id&biw=1280&bih=613&q=prinsipprinsip+demokrasi+menurut+inu+kencana&aq=o&aqi=&aql=&oq=&gs_rfai=&fp=4ba4fd34351620 61
4
menyatakan bahwa untuk menetapkan dan membentuk peraturan perundangundangan juga tunduk pada Undang-Undang, yang berguna untuk memastikan bahwa setiap perundang-undangan dibuat untuk kepentingan akan rasa adil bagi semua orang. Jaminan dalam UUD 1945 tentang pembentukan peraturan perundangundangan ini dituangkan dalam Pasal 22A yaitu “ketentuan lebih lanjut tentang tata cara pembentukan Undang-Undang diatur dengan Undang-Undang”. Berdasarkan ketentuan tersebut, rujukan utama dalam setiap proses pembentukan peraturan perundang undangan adalah Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Tata Cara Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Dalam UU tersebut juga dinyatakan asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan, misalnya dipenuhinya asas keterbukaan, yakni dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan
mulai
dari
perencanaan,
persiapan,
penyusunan,
dan
pembahasan bersifat transparan dan terbuka. Dengan demikian seluruh lapisan masyarakat mempunyai kesempatan yang seluas-luasnya untuk memberikan masukan dalam
proses
pembuatan
peraturan
perundang-undangan.
Contoh
konkret
pelanggaran lainnya yaitu terkait pelanggaran asas-asas yang termuat dalam Pasal 5 UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yaitu salah satunya asas keterbukaan tersebut. Hal ini terbukti dari pemberlakuan UU Pornografi yang tidak serta-merta mewakili aspirasi masyarakat. Suara publik seolah tanpa makna, dan partisipasi publik menjadi tidak berguna. Artinya, dalam demokrasi di Indonesia saat ini, melalui proses pembentukan UU Pornografi, masih terdapat
5
kelompok masyarakat yang diabaikan. Hal ini sangat bertentangan dengan prinsip demokrasi yang hendak dibangun, sebagaimana tercantum dalam TAP/MPR/V/2000 tentang Pemantapan Persatuan dan Kesatuan. Dengan demikian, pembentukan UU Pornografi telah melenceng jauh dari cita-cita demokrasi yang diinginkan. Proses pembentukan UU Pornografi merupakan pelanggaran terhadap demokrasi yang memiliki makna melibatkan semua pihak dan menghindari penyerahan keputusan kepada individu atau kelompok tertentu. Dalam demokrasi deliberatif bukan hanya kepentingan umum, kepentingan individu, dan kepentingan kelompok yang dijadikan legitimasi kebijakan publik, tetapi proses kebijakan harus berjalan secara deliberatif dan argumentative sebagai sumber legitimasi kebijakan. Padahal kembali lagi salah satu asas yang harus dipenuhi dalam membentuk suatu Peraturan Perundangundangan yaitu asas keterbukaan6, artinya bahwa ketika para anggota DPR RI akan membentuk suatu rancangan undang-undang, maka sangat penting kiranya rancangan undang-undang tersebut dipublikasikan terlebih dahulu kemudian dipertimbangkan kembali ketika muncul penolakan atau protes dari masyarakat karena dalam membentuk suatu undang-undang tidak semudah membalikkan telapak tangan. Masyarakat wajib mengetahui pembentukan suatu peraturan perundang-undangan, karena kembali lagi ke Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar. Sebuah undang-undang yang diundangkan haruslah memilki satu makna yang universal di antara seluruh warga negara Indonesia, sehingga tidak terjadi kesalah6
Pasal 5 UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
6
pahaman mengenai undang-undang tersebut. Faktanya UU Pornografi telah menimbulkan pemahaman yang beraneka ragam di antara warga Negara Indonesia dan hal ini menyebabkan adanya ketidakadilan antara warga negara Indonesia yang berbeda pemahaman. Isi atau materi pada undang-undang pornografi yang multi tafsir, diantaranya pengertian pornografi yang terdapat pada Pasal 1 angka 1 yaitu :
Pornografi adalah gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan suara, bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan lainnya melalui berbagai bentuk media komunikasi dan/atau pertunjukan di muka umum, yang memuat kecabulan atau eksploitasi seksual yang melanggar norma kesusilaan dalam masyarakat.7 Dalam ketentuan tersebut, yang dimaksud dalam cakupan pornografi menurut undang-undang ini hanyalah materi seksualitas yang mengandung 2 (dua) unsur, yaitu: yang dapat membangkitkan hasrat seksual dan/atau melanggar nilai-nilai kesusilaan dalam masyarakat. Kedua pengertian ini belum konkrit sehingga dapat menimbulkan macammacam penafsiran, seperti apa batasan membangkitkan hasrat seksual itu dan siapa yang berhak menentukan kriterianya? Apa yang kemudian dijadikan sebagai standar nilai-nilai kesusilaan dalam masyarakat? Masyarakat yang mana? Sedangkan Indonesia terdapat banyak suku dan budaya yang memilki standar nilai kesusilaan yang berbeda-beda. Pasal 4 ayat (1) huruf d, undang-undang pornografi : “Setiap orang dilarang memproduksi,
7
membuat,
memperbanyak,
menggandakan,
menyebarluaskan,
Pasal 1 angka 1 UU No. 44 Tahun 2008 tentang Pornografi
7
menyiarkan,
mengimpor,
mengekspor,
menawarkan,
memperjualbelikan,
menyewakan atau menyediakan pornografi yang secara eksplisit memuat ketelanjangan atau tampilan yang mengesankan ketelanjangan”.8 Dalam ketentuan tersebut tercantum istilah ketelanjangan atau tampilan yang mengesankan ketelanjangan, akan tetapi tidak ada batasan yang jelas mengenai istilah tersebut, sehingga aparat penegak hukum akan sulit untuk menentukan mana yang termasuk dalam mengesankan ketelanjangan. Dengan demikian hakim harus dapat menentukan sendiri batasan-batasan dari mengesankan ketelanjangan dan secara otomatis terjadilah sistem judge made law9 berdasarkan pertimbangan masing-masing hakim secara individual. Pasal
10
undang-undang
pornografi:
“Setiap
orang
dilarang
mempertontonkan diri atau orang lain dalam pertunjukan atau di muka umum yang menggambarkan ketelanjangan, eksploitasi seksual, persenggamaan, atau yang bermuatan pornografi lainnya.”10 Sehingga, pemberlakuan UU Pornografi akan menghambat dipraktekkannya budaya-budaya yang telah berkembang di berbagai daerah di Indonesia, contohnya di Sulawesi Utara yang umumnya bersifat terbuka dan dapat diinterpretasikan sebagai
8
Ibid, Pasal 4 ayat (1), Secara filosofis, profesi hakim diidealkan sebagai sosok yang bijaksana dan senantiasa paham tentang hukum (ius curiat novit: de rechtbank kent het recht), itulah sebabnya hakim kemudian diberi otoritas dan didaulat untuk menciptakan hukumnya sendiri melalui media peradilan (judge made law), yang dikemas dengan baju hukum yurisprudensi. Yurisprudensi itu sendiri secara etimologis berasal dari bahasa Latin jurisprudential yang bermakna pengetahuan hukum. Adapun konsepsi terminologisnya adalah hasil interpretasi hakim terhadap teks UU ataupun fakta di persidangan (opinion of the court). 10 Pasal 10, Op.cit. 9
8
“mengesankan ketelanjangan” sesuai dengan Pasal 4 ayat (1) huruf d UU Pornografi dan “menggambarkan ketelanjangan” sesuai dengan Pasal 10 UU Pornografi. Ketiga pasal tersebut diatas telah jelas memuat pengertian yang sangat bias dan dangkal dalam melihat dan membatasi apa yang dimaksud dengan pornografi. Definisi Pornografi yang terdapat dalam UU Pornografi tersebut tidak dapat memberikan batasan yang jelas dan pasti untuk menilai pelanggaran nilai-nilai kesusilaan dalam masyarakat. Pornografi merupakan hal yang sangat relatif karena berhubungan dengan imajinasi seseorang atas pandangan. Bahwa dengan terbukanya penggunaan definisi yang dapat ditafsirkan oleh setiap orang, maka akan berakibat tidak adanya kepastian hukum. Permasalahan kedua setelah definisi yang multi tafsir yaitu masalah kebudayaan, Kebudayaan dalam arti luas adalah keseluruhan hasil perbuatan manusia yang bersumber pada kemauan, pemikiran dan perasaannya. Jika kita mengambil definisi ini, maka budaya ini melingkupi berbagai jenis kegiatan manusia, termasuk kehidupan spiritual, seni; termasuk nyanyian, puisi, maupun kebiasaan-kebiasaan lain yang terdapat di dalam masyarakat. Negara Indonesia yang terdiri dari berbagai macam suku memiliki wujud kebudayaan dalam bentuk gambar, tulisan, suara maupun gerak tubuh yang berbeda-beda pada setiap daerah yang merupakan warisan dari leluhurnya. Kebudayaan terbagi dalam 3 (tiga) bagian, yaitu wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks dari ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan, dan sebagainya; wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitet kelakuan
9
berpola dari manusia dalam masyarakat; dan wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia. Berdasarkan pendapat Koentjaraningrat dalam bukunya “Kebudayaan Mentalitet dan Pembangunan” tersebut, kebudayaan adalah hasil dari buah pikiran manusia yang berupa ide ataupun gagasan yang tentu saja diperoleh setelah melewati tahapan-tahapan yang panjang dan tidak mudah. Untuk itu adalah wajar apabila ide ataupun gagasan manusia tersebut kemudian wajib dilindungi dan dihargai oleh Undang-Undang. Sejumlah muatan dalam UU Pornografipun pada dasarnya, telah diatur dalam peraturan perundang-undangan yang telah berlaku.11 Khusus untuk pengaturan pornografi anak dalam UU Pornografi, materi yang diatur, pada dasarnya telah dimuat dalam UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Ketentuan pidana dalam UU Perlindungan Anak secara luas telah mengatur sanksi pidana terhadap kejahatan terhadap anak, termasuk diskriminasi, penelantaran, kekejaman, kekerasan dan ancaman kekerasan, penganiayaan, pemaksaan persetubuhan, perbuatan cabul, memperdagangkan, menjual atau menculik anak, serta mengeksploitasi seksual anak dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain. Sebagai tambahan materi tersebut juga telah dimuat dalam the Optional Protocol to the Convention on the Rights of the Child on the Sale of Children Prostitution and Child Pornography, dimana Indonesia pada 24 September 2001 tercatat sebagai Negara Pihak yang 11
Andi Saputra,”Dissenting Opinion, Hakim MK Maria Farida Nilai Ada Penyimpangan Asas UU” http://www.detiknews.com/read/2010/03/25/191102/1325607/10/dissenting-opinion-hakim-mkmaria-farida-nilai-ada-penyimpangan-asas-uu, diakses tanggal 25 November 2010
10
menandatangani Protokol Opsional ini. Berkaitan dengan penyebaran informasi dan dokumen elektronik yang memiliki muatan melanggar kesusilaan juga sudah diatur dalam UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Dalam UU tersebut, setiap orang yang memenuhi unsur tindak pidana, dipidana paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 1 miliar. Sejumlah muatan dalam UU Pornografi pada dasarnya sudah dimuat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, antara lain: pasal-pasal yang berkaitan dengan perbuatan cabul. Pasal 289 KUHP menyatakan: "Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seseorang untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, diancam karena melakukan perbuatan yang menyerang kehormatan kesusilaan, dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun." Jika terdapat tindak pidana berkaitan dengan kehormatan kesusilaan yang masih perlu diatur, tentu lebih tepat dimuat dalam KUHP. Secara umum, definisi yang dapat digunakan berkaitan dengan unsur-unsurnya, yakni: (1) merendahkan martabat manusia; (2) eksploitasi; (3) pemaksaan, dan (4) kekerasan. Melihat sudah banyaknya aturan yang telah dibuat, maka UU Pornografi ini sama sekali tidak penting. Dan seharusnya sudah dapat disadari oleh pihak-pihak yang berkeras ingin memberlakukan aturan terhadap pornografi. Pornografi yang marak bukan cermin ketiadaan UU, tapi cermin bahwa di negara ini lemah dalam hal implementasi kebijakan. Banyak sekali aturan dibuat tetapi apakah dapat menjamin pemenuhan, perlindungan, dan penghormatan pada hak dasar (asasi) manusia yang
11
sifatnya sangat universal, dan jelas diakui oleh negara ini dengan meratifikasi Deklarasi HAM yang termuat dalam Undang-Undang No 39 Tahun 1999; ini adalah pertanyaan yang juga relevan diajukan saat ini. Ironisnya, bagian-bagian dari UU Pornografi ini justru menempatkan perempuan sebagai pelaku kriminal.
B.
Rumusan Masalah Adapun rumusan masalah yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah: 1. Bagaimanakah Implikasi Yuridis Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 10-17-23/PUU-VII/2009 mengenai permohonan judicial review atas Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi terhadap pemenuhan hak atas pekerjaan ? 2. Upaya hukum apa yang dapat dilakukan apabila Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 10-17-23/PUU-VII/2009 mengenai permohonan judicial review atas Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi menimbulkan kerugian konstitusional warga negara terhadap pemenuhan hak atas pekerjaan ?
C.
Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka tujuan dilakukannya penelitian ini
adalah sebagai berikut: 1. Untuk mengetahui, memahami, serta mendeskripsikan Implikasi Yuridis
12
Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 10-17-23/PUU-VII/2009 mengenai permohonan judicial review atas Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi terhadap pemenuhan hak atas pekerjaan; 2. Untuk mengetahui, memahami, serta mendeskripsikan upaya hukum apa yang dapat dilakukan apabila putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 10-17-23/PUU-VII/2009 mengenai permohonan judicial review atas Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi telah menimbulkan kerugian konstiusional warga Negara terhadap pemenuhan hak atas pekerjaan;
D.
Manfaat Penelitian Berkaitan dengan tujuan penelitian, maka manfaat yang akan diperoleh dalam
penulisan ini adalah sebagai berikut: 1. Secara Teoritis, penelitian ini berguna untuk memberikan wawasan dan wacana bagi lembaga atau instansi perguruan tinggi. 2. Secara Praktis: a. Bagi Pemerintah (dalam hal ini pembuat undang-undang) Penelitian ini bertujuan untuk menambah, mengembangkan dan memperdalam pemahaman yang lebih baik terhadap pembentukan peraturan perundang-undangan, sehingga dapat membawa sikap yang lebih kritis terhadap sistem hukum nasional yang telah ada.
13
b. Bagi Aparat Penegak Hukum Penelitian ini bertujuan memberikan pengetahuan tentang perbedaan pemahaman terhadap pemberlakuan peraturan perundang-undangan pornografi, sehingga dapat dijadikan bahan pertimbangan untuk memecahkan masalah-masalah hukum terkait pornogarfi secara adil dan bijaksana. c. Bagi masyarakat Penelitian ini selain memberikan pengetahuan kepada masyarakat juga membantu masyarakat untuk mengetahui dan dapat membedakan antara ketidakjelasan suatu peraturan perundang-undangan atau tidak, karena dalam hal ini masyarakat adalah pihak yang terlibat dalam pelaksanaan suatu peraturan perundang-undangan. d. Bagi mahasiswa Penelitian ini sangat bermanfaat bagi mahasiswa karena dapat memperoleh ilmu, wawasan serta dapat dijadikan sebagai bahan acuan dalam rangka pembuatan penelitian selanjutnya khususnya yang terkait dengan permasalahan dalam penelitian ini. e. Bagi penulis Penelitian ini bertujuan untuk menambah pengetahuan di bidang Hukum Tata Negara, khususnya memperluas wacana keilmuan pembentukan peraturan perundang-undangan tentang pornografi,
14
sehingga dapat memberikan kepuasan keilmuan secara ilmiah terhadap kajian Hukum Ketatanegaraan.
E.
Metode Penelitian Berdasarkan perumusan masalah, agar dapat diperoleh jawaban secara
maksimal dan baik, maka diperlukan data-data yang relevan dengan rumusan permasalahan. Selain itu diperlukan pula metode yang tepat untuk mengolah datadata yang didapat agar dapat memecahkan permasalahan serta mencapai sasaran yang dituju. 1. Metode Pendekatan Dalam penelitian ini, pendekatan yang digunakan adalah pendekatan yuridis normatif, artinya pendekatan dengan melihat hukum sebagai norma dalam masyarakat.12 2. Jenis Bahan Hukum a. Bahan hukum primer Bahan hukum primer adalah bahan hukum yang isinya mengikat karena dikeluarkan oleh pemerintah (diperoleh dari hukum positif). Bahan hukum primer yang dimaksud dalam penelitian ini terdiri dari: Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 10-1723/PUU-VII/2009 atas Permohonan Judicial Review Terhadap 12
Fakultas Hukum UMM, Pedoman penulisan hukum, 2007
15
Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi, Pancasila dan UUD 1945, Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, Undang-undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, InstrumenInstrumen Hak Asasi Manusia, seperti Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) dan Kovenan Internasional Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (ICESCR), Convention On The Elimination Of All Forms Of Discrimination Againts Women (CEDAW) yang diratifikasi Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan
Konvensi
Mengenai
Penghapusan
Segala
Bentuk
Diskriminasi Terhadap Wanita, dan yang terakhir Deklarasi VIENNA. b. Bahan hukum sekunder Bahan hukum sekunder adalah bahan yang memberikan penjelasan atau bersifat menunjang terhadap bahan hukum primer atau dengan kata lain bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang mendukung bahan hukum primer.13 Bahan hukum sekunder dalam penelitian ini terdiri atas bukubuku teks (textbooks) yang ditulis para ahli hukum yang berpengaruh, 13
Fakultas Hukum UMM, Loc.cit.
16
jurnal-jurnal hukum, pendapat para sarjana, kasus-kasus hukum, yurisprudensi, dan literatur-literatur lainnya seperti artikel, makalah, skripsi serta laporan tahunan dari instansi terkait yaitu Mahkamah Konstitusi, Komnas HAM, dan Komnas Perempuan. c. Bahan hukum tersier Bahan hukum tersier adalah bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder.14 Dalam penelitian ini, bahan hukum tersier yang dipakai berupa Kamus Hukum, Kamus Bahasa Indonesia dan Ensiklopedi. 3. Teknik pengumpulan bahan hukum Teknik pengumpulan bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini adalah berupa studi kepustakaan dan studi dokumentasi, dimana dalam studi kepustakaan, Penulis akan melakukan pengumpulan data yang dilakukan dengan Library research/studi pustaka yang sudah dipilih sesuai dengan permasalahan guna memperoleh teori-teori hukum dan literatur yang terdapat dalam buku, majalah, surat kabar, jurnal maupun karya-karya ilmiah lainnya tentang segala aspek permasalahan sesuai dengan tugas akhir yang akan dianalisa. Sedangkan studi dokumentasi
merupakan
teknik
pengumpulan
data
dengan
cara
memanfaatkan data yang ada di Instansi yang bersangkutan (browsing internet) berupa laporan, peraturan, maupun arsip yang ada untuk 14
Johnny Ibrahim, Op.cit. hal. 296
17
memperoleh informasi yang menunjang secara teoritis terhadap topik penelitian. 4. Teknik Analisa Bahan Hukum Untuk menganalisa data atau menarik kesimpulan dari hasil penelitian maka terhadap data yang diperoleh dari penelusuran bahan hukum primer, sekunder, dan tersier, Penulis menggunakan metode Deskriptif Kualitatif Analisis yaitu suatu metode untuk memperoleh gambaran singkat mengenai suatu permasalahan yang tidak didasarkan atas bilangan statistik tetapi didasarkan atas analisis yang diuji dengan norma-norma dan kaidah-kaidah hukum yang berkaitan dengan masalah yang dibahas.15 Sehingga dengan analisis tersebut Penulis dapat mengklasifikasikan bagaimana implikasi yuridis Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 10-17-23/PUU-VII/2009 mengenai permohonan judicial review atas Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi terhadap pemenuhan hak atas pkerjaan, dan upaya hukum apa yang dapat dilakukan apabila putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 10-17-23/PUU-VII/2009 mengenai permohonan judicial review atas Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi telah menimbulkan kerugian konstitusional warga negara terhadap pemenuhan
15
Sari Yulianti Parahita, 2009, Analisa Yuridis Tindak Pidana Pencemaran Nama Baik Terkait Dengan Implementasi Hak Kebebasan Berpendapat Di Indonesia Ditinjau Dari Hukum Pidana Dan Hukum Hak Asasi Manusia, Skripsi Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Malang, Malang, Hal. 16
18
hak atas pekerjaan.
F. Sistematika Penulisan Penulisan penelitian ini terbagi atas IV bab dengan tata urutan penulisan yang teratur, gunanya untuk memperoleh hasil penulisan yang sistematis dan mudah untuk dipahami. Sistematikanya sebagai berikut: BAB I:
PENDAHULUAN Dalam bab ini memuat latar belakang permasalahan sehingga dari latar belakang masalah tersebut munculah rumusan masalah dimana rumusan masalah tersebut disusun dan dirangkum sehingga nantinya permasalahan tersebut dapat terjawab dengan tuntas, kemudian dibuatkan tujuan dari penelitian ini, manfaatnya, metode apa saja yang digunakan dalam melakukan penelitian ini, dan yang terakhir yaitu sistematika penulisan.
BAB II:
TINJAUAN PUSTAKA Dalam
bab
ini,
penulis
akan
menguraikan
mengenai
pengertian, landasan hukum, kedudukan, kewenangan, fungsi dan peran Mahkamah Konstitusi (MK), tinjauan umum tentang judicial review yang di dalamnya terdiri dari sejarah munculnya judicial review, pengertian judicial review menurut
19
pakar, judicial review di beberapa Negara, dan pengaturan judicial review di Indonesia, pengertian pemohon judicial review dan hak pemohon judicial review, tinjauan tentang kerugian
konstitusional
yang
terdiri
dari
kerugian
konstitusional menurut UUD 1945, kerugian konstitusional menurut yurisprudensi Hakim MK, dan kerugian konstitusional menurut pakar, pengertian pornografi menurut UndangUndang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi, pengertian pornografi menurut para ahli, bentuk-bentuk dan kriteria pornografi, tinjauan umum tentang hak asasi manusia yang terdiri dari jaminan hak atas pekerjaan, dan jaminan perlindungan hak asasi manusia terhadap perempuan serta tinjauan umum terkait upaya hukum. BAB III:
PEMBAHASAN Bab ini merupakan pembahasan dari rumusan permasalahan yang telah disebut dalam Bab I yang terdiri atas 2 (tiga) sub bab sebagai berikut: implikasi yuridis Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 10-17-23/PUU-VII/2009 mengenai permohonan judicial review atas Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi terhadap pemenuhan hak atas pekerjaan, dan upaya hukum yang dapat dilakukan apabila
20
Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 10-17-23/PUUVII/2009 mengenai permohonan judicial review atas UndangUndang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi telah menimbulkan kerugian konstitusional warga Negara terhadap pemenuhan hak atas pekerjaan. BAB IV:
PENUTUP Bab ini merupakan akhir penulisan yang berisi suatu kesimpulan dari pembahasan-pembahasan serta uraian-uraian yang telah dibahas sebelumnya dan saran-saran Penulis terkait dengan kesimpulan tersebut sehingga dapat digunakan sebagai acuan penelitian lebih lanjut terhadap permasalahan baru yang masih terkait dengan pembahasan pada penelitian ini.
21