BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Penetapan anak dalam perspektif hukum Islam memiliki arti yang sangat penting, karena dengan penetapan itulah dapat diketahui hubungan mahram (nasab) antara anak dengan ayahnya. Kendatipun demikian pada hakikatnya setiap anak yang lahir berasal dari sperma seorang laki-laki dan sejatinya harus menjadi ayahnya, namun hukum Islam (fiqh) berkata lain.1 Fiqh menganut pemahaman yang cukup tegas berkenaan dengan anak yang sah. Kendatipun tidak ditemukan definisi yang jelas dan tegas berkenaan dengan anak yang sah, namun dilihat dari definisi dari ayat-ayat Al-Qur’an dan hadits dapat diberikan batasan, anak yang sah adalah anak yang lahir dalam dan sebab oleh perkawinan yang sah, selain itu, disebut dengan anak zina (walad al-zina) yang hanya memiliki hubungan nasab dengan ibunya. Secara implisit al-Qur’an dalam 23/5-6 menyatakan :
1
Chotib Rasid, “Anak Lahir di Luar Nikah (Secara Hukum) Berbeda dengan anak hasil zina kajian yuridis terhadap putusan mk no. 46/PUU-VII/2012”, Artikeldisampaikan pada Seminar Status Anak Di Luar Nikah dan Hak Keperdataan lainnya, pada tanggal 10 April 2012, di IAIN Walisongo Semarang.
1
2
Artinya : “dan orang-orang yang menjaga kemaluanya, kecuali terhadap istri-istri mereka atau budak yang merka miliki, maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela” QS AlMuminun ayat 5-6. Selanjutnya ditegaskan dalam surat al-isro 17/32 juga dijelaskan :
Artinya : “jangan kamu dekati zina, sesungguhnya zina adalah perbuatan keji dan seburuk-buruk jalan” (QS Al-Isra ayat 32) Larangan Al-Qur’an diatas, tidak hanya dimaksudkan agar seseorang menjaga kehormatan dirinya, tetapi yang lebih penting menghindarkan dampak terburuk dari pelanggaran larangan itu. Secara garis besar didalam hukum Islam, anak digolongkan menjadi dua macam, yaitu anak syari’ah dan anak ghoiru syari’ah. Seorang ulama Mesir bernama sayyid Abdullah Ali Husaini2 dalam kitabnya Al-Muqoraratu Tasyri’iyyah mendefinisikan anak syar’i sebagai berikut :
اﻟﻮﻟﺪاﻟﺸﺮﻋﻲ ھﻮ اﻟﺬي ﺣﻤﻠﺘﮫ اﻣﮫ ﻣﺪة ﻗﯿﺎم اﻟﺰوﺟﯿﺔ اﻟﺼﺤﯿﺤﺔ او ﻣﻦ ﺣﻤﻠﺖ ﺑﮫ اﻟﻤﻐﻠﻂ ﻓﯿﮭﺎ واﻟﻤﺨﻄﺎء ﻓﯿﮭﺎ وﻣﻦ ﻛﺎن ﻧﻜﺤﮭﺎ ﻓﺎﺳﺪ Artinya : “anak yang dikandung dengan masa ikatan perkawinan yang sah, atau anak yang dikandung dari perkawinan yang terdapat kesalahan didalamnya atau dikandung dari orang yang akad nikahnya rusak”.
2
Pengarang kitab : Al- Muqaranat al-Tasyriyyah baina al-Qawanin al-Wadh'iyyah al-Madamiyyah wa al-Tasyri'al al-Islami,
3
Namun, di Indonesia, masalah asal-usul anak ini terdapat beberapa ketentuan hukum yang berbeda-beda. Ini dapat dimengerti karena pluralitas bangsa, utamanya dari segi agama adat kebiasaan akibatnya ketentuan hukum yang berlakupun bervariasi. Setidaknya ada tiga hukum yang berlaku yaitu Hukum Islam, Hukum Perdata yang termasuk dalam KUH Perdata atau BW (Burgelijk Wetbook), dan Hukum Adat sebagai hukum yang tidak tertulis, masing-masing hukum tersebut selain mempunyai persamaan, namun dalam hal asal-usul anak memiliki perbedaan yang sangat signifikan, terutama yang berkaitan dengan segisegi etika moral sudah tentu hukum islamlah yang lebih menekankan pertimbangan moral, ditegaskan oleh Rasullah SAW : “aku diutus untuk menyempurnakan kebaikan akhlak.” (dikeluarkan oleh Malik)3 Dilihat
dari
putusan
Mahkamah
Konstitusi
dengan
mempertimbangkan perlindungan hukum kepada anak diluar nikah adalah semata-mata agar mereka terlepas dari beban kehidupan yang berat akibat perbuatan orang tuanya, yang mana diberikan dengan jalan pengakuan, pengesahan dan pengangkatan. Namun peraturan pemerintah sebagaimana yang tersebutkan dalam UU No 1 tahun 1974 tentang perkawinan yang akan mengatur tentang nasib anak diluar nikah sampai sekarang juga belum diterbitkan. Dasar pertimbangan yang digunakan oleh Mahkamah Konstitusi dalam putusan tersebut adalah bahwa pokok permasalahan hukum 3
Ahmad Rofiq, Hukum perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: PT Raja Grafindo persada, 2013), hal 177
4
mengenai anak yang dilahirkan di luar perkawinan adalah mengenai makna hukum (legal maening) frasa “yang dilahirkan diluar perkawinan” untuk memperoleh jawaban dalam prespektif yang lebih luas perlu dijawab pula permasalahan yang terkait, yaitu permasalahan tentang sahnya anak. Hal yang tidak mungkin terjadi secara alamiah bagi seorang perempuan hamil tanpa terjadinya pertemuan ovum dan spermatozoa yang menyebabkan terjadinya pembuahan. Dengan pertimbangan ini, adalah tidak tepat dan tidak adil apabila hukum menetapkan bahwa anak yang lahir dari suatu kehamilan karena hubungan seksual diluar perkawinan hanya memiliki hubungan dengan prempuan tersebut sebagai ibunya. Didalam UUD 1945 pasal 28B Ayat 1 dan 2 serta pasal 28D ayat 1 menyatakan “setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum” dan ayat 2 pasal 28B menyatakan “Negara menjamin setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi ” serta Pasal 2 Konvensi Hak Anak (KHA) menyatakan secara jelas “Negara-negara peserta akan menghormati dan menjamin hak-hak yang ditetapkan dalam konvensi ini terhadap setiap anak dalam wilayah hukum mereka tanpa diskriminasi dalam bentuk apapun, tanpa memandang ras, warna kulit, jenis kelamin,bahasa, kelamin, pandangan politik,asal-usul
5
bangsa, suku bangsa,atau social, harta, kekayaan,cacat atau walinya yang sah menurut hukum” Kompilasi hukum islam pasal 99 menyebutkan : “anak yang sah adalah : a. Anak yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang sah b. Hasil perbuatan suami isteri yang sah diluar rahim yang dilahirkan isteri tersebut” Pengertian diatas memberikan batasan mengenai anak sah yaitu seorang anak yang lahir dengan memenuhi salah satu dari tiga syarat: 1. Anak yang dilahirkan dari perkawinan yang sah, dengan dua kemungkinan, pertama, setelah terjadi akad nikah yang sah isteri hamil, dan kemudian melahirkan. Kedua, sebelum akad nikah isteri telah hamil terlebih dahulu dan kemudian melahirkan setelah akad nikah. Inilah yang dapat ditangkap dari pasal tersebut. 2. Anak yang lahir sebagai akibat perkawianan yang sah. Contohnya, isteri hamil dan kemudian suami meninggal. Anak yang dikandung isteri adalah anak sah sebagai akibat dari adanya perkawinan yang sah. 3. Anak yang dibuahi di luar rahim oleh pasangan suami isteri yang sah dan kemudian dilahirkan oleh isterinya. Ketentuan ini menjawab kemajuan teknologi tentang bayi tabung.
6
Dengan demikian selain dari kategori diatas, tergolong anak luar nikah.4 Seorang anak dapat dikatakan menjadi anak yang sah dan memiliki hubungan nasab dengan ayahnya manakala terlahir dari perkawinan yang sah pula. Sebaliknya manakala anak yang lahir diluar perkawinan yang sah, tidak dapat disebut dengan anak yang sah, bisa disebut dengan anak zina atau anak diluar perkawinan yang sah dan ia hanya memiliki hubungan nasab dengan ibunya, maka dengan demikian membicarakan masalah asal usul anak sebenarnya membicarakan masalah anak yang sah. Sebagaimana telah diketahui bahwa Al-Qur’an adalah firman Allah (Kalam Allah), maka Allah saja yang paling mengetahui maksud dan kandunganya. Manusia, bagaimanapun tidak dapat mengetahui kandungan Al-Qur’an sepenuhnya. Namun demikian, karena Al-Qur’an yang diwahyukan kepada nabi Muhammad SAW, (Kitabnya) ditunjukan pada manusia, maka ada keharusan bagi manusia untuk senantiasa berusaha memahami kandungan Al-Qur’an, dalam Al-Qur’an surat Sad ayat 29 Allah berfirman :
Artinya : “ini adalah sebuah kitab yang kami turunkan kepadamu, penuh dengan berkah supaya mereka memperhatikan ayat-ayatnya dan supaya mendapat perjalanan orang-orang yang mempunyai pikiran”
4
Ani Royani, Tinjaun hukum Islam Terhadap putusan Mahkamah Konstitusi No 46/PUU-VIII/2010 tentang Status Hukum dan Anak di Luar Nikah” 2012, Jurusan Syari’ah STAIN Pekalongan
7
Disamping pemahaman terhadap ayat-ayat Al-Qur’an, perlu pula pemahaman terhadap Sunnah Nabi sebagai sumber kedua hukum Islam setelah Al-Qur’an. Dalam dua sumber inilah pencarian Maqosid AlSyari’ah.5 Penggunaan Maqosid al-syaria’ah sebagai landasan dalam berijtihad, pada hakikatnya telah dipraktekan oleh para ulama sejak periode awal islam. Akan tetapi, mereka belum menyebutkan terma Maqosid Al-Syaria’ah secara jelas, apalagi model aplikasinya terhadap proses penetapan hukum suatu kasus. Konsep Maqosid Al-Syaria’ah adalah suatu teori perumusan (istimbath) hukum dengan menjadikan tujuan penetapan hukum syara’ sebagai refrensinya. Al-syatibi telah memprakarsai sistematisasi konsep Maqosid al-syari’ah dengan mencakup teori tentang tiga preoritas kebutuhan (Kemaslahatan); Daruriyat, hajiyyat, dan tahsiniyyat. Konsep maqosid al-syari’ah yang dikembangkan alSyatibi, secara simple menggambarkan sebuah hukum dengan lebih menitikberatkan pada substansi (maqoshid) sebuah teks (al-syari’ah), yang kemudian disinkronkan dengan sebuah kasus dan realita.6 Sebagai sebuah gagasan, diskursus maqosid al-syari’ah adalah bidang ilmu yang lahir dari Rahim ushul fiqh. Secara bahasa maqasid adalah maksud atau tujuan sedangkan Syari’ah adalah ajaran agama. Asumsuninya hukum-hukum yang disyari’atkan agama diberlakukan 5
Asafri Jaya Bakri, Konsep Maqashid Al-Ssyari’ah menurut AL-Syatibi, (Jaakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1996), hlm. 89. 6 Nurul Maisyal, Pembatasan poligami diindonesia perspektif Maqosid Al-syari’ah menurut imam Al-Syatibi, 2013, Skripsi Jurusan Syari’ah STAIN Pekalongan (tidak diterbitkan), hal 5.
8
karena memiliki tujuan tertentu. Fungsi ilmu Maqasid Al Syari’ah adalah berusaha menyibak apa tujuan dibalik disyari’atkanya sebuah hukum.7 Menurut panadangan Imam Tahir Ibn Asyur bangunan Maqosid al syari’ah dilandaskan kepada islam sebagai agama yang fitrah. Pandangan ini merujuk pada Al-Qur’an surat Ar-Rum ayat 30.
Artinya : “Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang Telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. tidak ada peubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui”. (QS. Ar-Ruum : 30) Fitrah dalam redaksi ayat tersebut bermakana “ciptaan” (AlKholaqoh), yaitu karakter ciptaan manusia yang memiliki dimensi dhoir dan batin atau badan dan akal (aktifitas jiwa). Maqosid al-syari’ah Islam yang berlandaskan pada fitroh harus memenuhi kemaslahatan baik yang berhubungan dengan kepentingan dhohir maupun batin manusia.8 Oleh sebab itu putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 tentang status anak diluar nikah banyak menarik perhatian masyarakat, terutama dikalangan para Ulama, karena mengaanggap putusan tersebut bertentangan dengan norma-norma agama. Penulis mengaanggap sangat perlu untuk membahas perdebatan polemik putusan Mahkamah Konstitusi tersebut sesuai dengan tujuan 7
Tim redaksi. Pesantren, Ushul Fiqh dan politik hukum maqosidh sebagai metode pendekatan Jurnal Mlangi, pelajar mahasiswa. 2013. 8 Ibid, hal 52
9
Syar’I atau tidak. Sebab tujuan syar’I juga sangat menjunjung tinggi nilai keadilan dan kemaslahatan. Dalam ruang lingkup maqasid al syari’ah memeiliki beberapa teori untuk memahami dan mengatasi permasalahanpermasalahan yang ada, yang mana semua teori tersebut bertujuan untuk mendapatkan nilai keadilan yang berdasarkan kemaslahatan umum. Adapun tinjauan maqosid al syari’ah yang penulis gunakan untuk mengkaji polemik putusan Mahkamah Konstitusi dalam rangka mencapai kemaslahatan dengan mewujudkan kebaikan dan menghindari keburukan menggunakan skala preoritas yaitu Maslahah Dlaruriyat, Maslahah Hajjiyat dan Maslahah Tahsiniyat, yang kemudian kemaslahatan tersebut dalam rangka untuk melindungi lima hal, yaitu hifd ad-din, Hifd nas, Hifd al-nasl, Hifd Mal, dan hifd – al mal. Persoalan Nasab dalam kajian hukum di Indonesia akhir-akhir ini menjadi menarik dan penting untuk diperhatikan. Khusunya setelah Mahkamah konstitusi mengeluarkan putusan yang sangat konterversial terkait status anak luar nikah. Putusan mahkamah konstitusi ini juga bukan hanya konterversial tapi juga mengundang polemik berkepanjangan di masyarakat, hingga akhirnya Majelis Ulama Indonesia mengeluarkan fatwa No 11 Tahun 2012 tentang kedudukan anak hasil Zina dan perlakuan terhadapnya. Fatwa ini muncul dilatar belakangi oleh putusan Mahkamah
10
Konstitusi yang mengabulkan permohonan judicial review atas pasal 43 ayat 1 UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.9 Atas dasar inilah penulis tertarik untuk meneliti dan menganalisa dari sudut pandang Maqosid al syari’ah bagaimana sebetulnya tujuan Syar’I dari putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 sehingga menimbulkan polemik dikalangan Masyarakat, akademisi dan Ulama.
B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, masalah yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah: Bagaimana tinjaun Maqashid Al-Syariah terhadap putusan Mahkamah Konstitusi No 46/PUU-VIII/2010 tentang status nasab anak luar nikah?
C. Tujuan Dan Kegunaan Penelitian 1. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengungkap kesesuaian putusan Mahkamah Konstitusi No 46/PUU-VIII/2010
tentang status nasab
anak luar nikah dengan prinsip-prinsip Maqasid al-syari’ah. 2. Kegunaan penelitian a. Penelitian ini diharapkan bisa digunakan sebagai konstribusi pengembangan 9
hal. xi
wacana
dan
khazanah
pemikiran
Islam
M. Nurul Irfan, Nasab dan Status Anak dalam Hukum islam, (Jakarta : AMZAH, 2013)
11
kontemporer, khususnya dalam pengembangan hukum Islam mengenai status anak diluar nikah. b. Sebagai bahan bagi pengkajian selanjutnya yang lebih mendalam mengenai permasalahan yang sejenis. c. Secara praktis berguna untuk memenuhi tugas dan melengkapai syarat guna memperoleh gelar Strata satu (S1)
D. Tinjauan Pustaka Dalam melakukan penelitian, penulis mencoba untuk mengkaji dan menelaah beberapa refrensi dan literature yang releven dan dapat dijadikan titik pijak dalam penelitian ini. Sejauh penelusuran penulis belum menemukan secara khusus dan mendetail tentang Tinjauan Maqosid AlSyrai’ah terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi No 46/PUU-VIII/2010 tentang anak diluar nikah namun banyak kajian yang berhubungan dengan status anak diluar Nikah seperti: Skripsi yang berjudul Tinjauan Hukum Islam terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi No 46/PUU-VIII/2010 tentang staus hukum dan hak anak diluar nikah. Kajian yang dilakukan oleh Ani Royani ini meneliti tentang hasil keputusan Mahkamah Konstitusi secara umum menggunakan pendekatan Fiqh. Dari segi status keaslian hukum Islam secara umum Skripsi yang ditulis oleh tedy Himawan, STAIN Pekalongan tahun 2009 dengan judul “studi komparasi hak dan kedudukan anak luar nikah dalam hukum positif dan presspektif fuqoha”. Masalah yang diangkat
12
dalam skripsi ini adalah bagaimana hak dan kehidupan anak diluar nikah dalam hukum positif dan prespektif Fuqoha. Penelitianya menyimpulkan bahwa menurut UUP dan KHI secara eksplisit hak-hak anak luar nikah dibedakan
dengan
hak-hak
anak
sah.
Demikian
juga
dengan
kedudukannya, anak sah mempunyai kedudukan hukum yang jelas sebagai anak kandung dari kedua orang tuanya sementara kedudukan anak luar nikah hanya dihubungkan pada ibunya dan keluarga ibunya. Sehingga anak luar nikah secara hukum tidak dapat menuntut hak-hak perdatanya kepada ayah yang menghamili ibunya. Dikalangan Fuqoha yaitu pemikiran Imam Syafi’I dan Imam Maliki menitik beratkan nasab pada usia kehamilan dalam pernikahan, jika anak itu lahir sebelum enam bulan dari pernikahan maka anak itu dinasabkan kepada ibunya dan keluarga ibunya. Skripsi Siti Nur Malikhah (Mahasiswa IAIN Walisongo Semarang) yang berjudul Analisis Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 46/PUU-VIII/2010 tentang Kedudukan Anak di Luar Perkawinan. Dalam skripsi ini dijelaskan mengenai kedudukan anak di luar perkawinan. Setiap anak yang dilahirkan pasti mempunyai hak-hak konsitusi yang harus dilindungi. Mengenai hak konstitusi anak di atur dalam Pasal 28 B ayat 1 Undang-Undang Dasar
(UUD) 1945. Namun tidak semua anak
mendapatkan hak tersebut, seperti halnya anak luar kawin yang tidak bisa mendapatkan hak konstitusional sebagai anak. Kedudukan anak luar kawin berbeda dengan anak sah, hal ini dipengaruhi oleh ada atau tidaknya hubungan perkawinan antara ibu dan ayahnya. Anak luar kawin hanya
13
mempunyai hubungan perdata dengan ibu dan keluarga ibunya. Ketentuan ini di atur dalam Undang-Undang Perkawinan (UUP) No 1 Tahun 1974 Pasal 43 ayat 1. Menurut Mahkamah Konstitusi (MK) ketentuan tersebut di anggap tidak adil karena anak luar kawin tidak seharusnya menanggung dosa akibat perbuatan orang tuanya. Oleh karena itu MK menetapkan bahwa anak luar kawin juga memiliki hubungan perdata dengan ayah dan keluarga ayahnya, sehingga Pasal 43 ayat 1 UUP No 1 Tahun 1974 berbunyi "anak yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan tekhnologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya." Mengenai hak waris anak luar kawin, dalam hukum Islam anak luar kawin tidak bisa menjadi ahli waris maka hukum Islam memberikan alternatif lain seperti diberikan 1/3 harta pewaris untuk anak luar kawin. Nasab Anak di Luar Perkawinan Paska Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 46/PUU-VIII/2010 Tanggal 27 Pebruari 2012 Menurut Teori Fikih dan Perundang-undangan menjelaskan poin, diantaranya yaitu: 1. Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan permohonan pemohon yang mengandung cacat hukum. kecacatan tersebut karena pemohon mendalilkan mengenai kasus anak yang lahir dari poligami di bawah tangan, yang menurut hukum masih dimungkinkan
14
mendapatkan jaminan hukum. Sedangkan yang dimohonkan adalah me-review ketentuan Pasal 2 ayat (2) juga ketentuan Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang status hukum anak yang lahir di luar perkawinan. 2. Menurut hukum status anak akibat poligami bawah tangan dengan luar kawin berbeda. Namun dalam putusan MK menganalogikan anak yang lahir akibat poligami bawah tangan dengan anak luar kawin. 3. Pasal 43 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 yang senada dengan Pasal 100 Kompilasi Hukum Islam (KHI), jika dilihat dari substansinya tidak bertentangan dengan Pasal 28 B ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945. 4. Putusan MK mengandung banyak polemik dalam masyarakat muslim yang berkepanjangan, karena putusan MK bertentangan terutama dengan Pasal 28 B ayat (1) UUD 45 dan bertentangan dengan Syari’at Islam. 5. Putusan MK berupaya melegalkan suatu akibat dari perbuatan yang melanggar hukum sehingga melahirkan ketentuan normatif yang tidak mendorong untuk terciptanya suasana masyarakat yang tertib dan ta’at hukum. 6. Pasal 43 ayat (1) yang telah di review oleh putusan MK hanya berlaku dalam hubungan hukum keperdataan antara anak dengan ayah biologisnya, selain hubungan keperdataan perwalian dalam perkawinan dan selain hubungan keperdataan dalam kewarisan.
15
Andhika Mayrizal Amri, mahasiswa fakultas hukum program magister kenotariatan Universitas Indonesia menulis tesis dengan judul Kedudukan Anak Luar Nikah Sebagai Anak Angkat Menurut peraturan Perundang-undangan dan Hukum Islam, Tesis ini dijelaskan bahwa akibat hukum pengakuan anak berdasarkan hukum Islam berbeda dengan akibat hukum pengangkatan anak menurut konsepsi Staatsblad 1917 Nomor 129 dan pengangkatan anak menurut sebagian hukum adat Indonesia. Status anak angkat menurut hukum Islam tidak sama dengan anak kandung, anak angkat diambil dengan nama ayahnya atau orang tua kandungnya. Akibat hukumnya tidak memutuskan hubungan nasab. Wali nikah bagi anak angkat perempuan dan hak saling mewarisi dengan orang tua kandungnya. Demikian pula dalam hubungan mahram, anak angkat tetap bukan sebagai mahram orang tua angkatanya. Dalam hal warisan, anak angkat bukan ahli waris tetapi anak angkat dapat menerima wasiat yang kemudian dalam kompilasi hukum Islam diatur bahwa antara anak angkat dengan orang tua angkat atau sebaliknya terjadi hubungan wasiat wajibah sebagaimana ketentuan pasal 209 Kompilasi Hukum Islam. Kajian kontemporer dari beberapa artikel, skripsi dan jurnal yang penulis temukan tentang polemik dari putusan Mahkamah konstitusi sudah banyak yang mengkaji, akan tetapi yang secara khusus membahas maksud dan tujuan dalam pendekatan Maqasid Al-Syari’ah penulis belum menemukanya, maka disitu akan muncul letak perbedaan antara penulis-
16
penulis terdahulu dengan tulisan yang menggunakan pendekatan Maqosid al syari’ah ini.
E. Krangka Teori Hukum Islam pada dasarnya bernorma sosial sebagaimana Maqosid Al Syariah, serta berlandaskan maslahah. Sebagaimana dalam proposal ini, penulis menggunakan teori Maqosid Al Syari’ah yang berarti tujuan Allah dan Rasul-Nya dalam merumuskan hukum Islam. Tujuan itu dapat ditelusuri dalam ayat-ayat Al-Qur’an dan sunah Rasullah sebagai alasan yang logis bagi rumusan suatu hukum yang berorientasi kepada kemaslahatan umat manusia.10 Persoalan anak diluar nikah sebenarnya bukanlah persoalan baru, akan tetapi dalam konteks putusan Mahkamah Konstitusi No No 46/PUUVIII/2010 dimana putusan tersebut bertentangan dengan pendapat jumhur ulama, utamanya yang selama ini dianut oleh umat Islam di Indonesia, maka persoalan tersebut menjadi relevan untuk dikaji dengan berbagai perspektif. Menurut Musfir bin Ali bin Muhammad al-Qoththani, dalam menghadapi persoalan baru, setidaknya ada tiga model metode yang umum digunakan, yaitu: metode yang menyempitkan dan menyulitkan, metode yang terlalu memperingan dan mempermudah, dan metode yang moderat antara yang menyulitkan dan mempermudah.
10
Satria Efendi, ushul Fiqh, (Jakarta : kencana, 2005), Hal 233
17
Metode pertama adalah
metode
yang
menyempitkan dan
menyulitkan. Bersikap tegas terhadap ketentuan hukum adalah sesuatu yang baik, namun ketika berlebihan dan cenderung untuk mempersulit dan menyempitkan aplikasi hukum Islam itu sendiri adalah sesuatu yang juga tercela secara syara’, karena dianggap bertentangan dengan konsep rahmat, kasih saying, kemudahan, dan keluwesan hukum islam. Meskipun demikian, metode ini tetap banyak digunakan karena hal-hal sebagai berikut: 1) fanatisme pada suatu madzhab, pendapat atau ulama tertentu, 2) berpegang hanya pada makana lahir nash, 3) berlebihan dalam menerapkan konsep sad al-dhara’i dan asas kehati-hatian dalam menghadapi setiap permasalahan yang dipermasalahkan. Diantara contoh dari hasil metode ini adalah larangan perempuan bekerja walaupun ada kebutuhan masyarakat untuk hal tersebut dan diatur sesuai dengan batasan-batsan syari’ah, diharamkanya semua jenis gambar fotografi, baik yang diam seperti fotografis maupun bergerak seperti video dan televisi, juga haramnya internetdengan beberapa programyang ada didalamnya, seperti facebook, freindster, twitter, dan sebagainya. Metode yang kedua, yakni berlebih-lebihan dalam mempermudah juga tidak kalah banyaknya dibandingkan dengan penggunaan metode yang pertama. Tidak menjadi perdebatan bahwa menghilangkan kesulitan dan memperoleh manfaat dan kemudahan adalah bagian dari maqashid alsyariah. Tetapi, berlebihan dalam hal ini, yakni melakukan pilihan tidak atas dasar metode yang tepat dan hanya berdasarkan pada keinginan dan
18
kepentingan bahwa nafsu semata adlah perbuatan yang tidak dikehendaki oleh syara’. Metode yang kedua ini terjadi karena : 1) melampui batas tantangan dengan nash, 2) mengikuti pendapat yang mudah-mudah saja dan talfiq (praktik memilih pendapat yang mudah-mudah diantara pendapata yang ada) diantara madzhab yang ada, 3) melakukan hiyal (peralihan pada hukum yang lain karena ingin menghindari hukum yang harus diterapkan) dalam printah syara’. Metode yang ketiga, yakni yang moderat diantara kedua kutub yang berbeda diatas., adalah metode yang lahir dari akumulasi keinginan berperang pada dalil-dalil yang ada dan keinginan untuk memunculkan ajaran islam sebagai ajaran yang mudah, flaksibel, dan seusai dengan setiap tempat dan waktu. Sikap mengambil metode ketiga ini bukan merupakan sikap mengentengkan syari’at dengan mengikuti hawa nafsu sekaligus bukan merupakan menyepelekan factor kemaslahatan dan kemudahan dalam agama. Sebagai contoh adalah kebolehan muslim dinegara barat berpartisipasi dalam bidang politik, mengambil kredit bank yang mengundang unsur riba, mengumpulkan kuburan muslim dengan non-muslim dalam suatu lokasi pemakaman umum, dan sebagainya. Dalam konteks ketiga metode di atas, maka penelitian ini akan menggunakan metode yang ketiga. Menggunakan siasat yang tidak dibenarkan oleh hukum atau mencampur adukan pendapat-pendapat lebih dari satu madzhab dengan seenaknya dapat menggagalkan tujuan di atas
19
dan
menyebabkan
kehancuran
universalitas
hukum11.
Artinya,
Pembahasan Maqosid Al-Syari’ah secara khusus, sistematis dan jelas dalam rangka menetapkan hukum-hukum-Nya adalah untuk terwujudnya maslahah hidup manusia, baik di dunia maupun di akhirat. Karena itu, taklif dalam bidang hukum harus mengarah terwujudnya tujuan hukum tersebut.12 Sebagaimana ulama sebelumnya, ia juga membagi urutan dan skala prioritas maslahat menjadi tiga urutan peringkat yaitu : Maslahah dlaruriyyah (Primer)13. Maslahah hajjiyah (Skunder)14 dan maslahah tahsiniyyah (tersier)15 kemudian kemaslahatan manusia tersebut dalam rangka untuk melindungi lima hal yaitu hifdz ad-din (memelihara agama, aqidah, keyakinan), hifdz an-nasl (menjaga kehidupan dan jiwa raga), hifd an-nasl (menjaga keturunan), hifd al-mal (menjaga harta benda), dan hifd al-aql (menjaga akal) Penulis berpandangan bahwa putusan MK tersebut mempunyai keterkaitan erat dengan konsep Maqashid Al- Syariah. Bentuk keterkaitan 11
Wael B. Hallaq, Sejarah Teori hukum Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001, Cet II), hlm. 256 12 Al-syatibi, Ibrahim Ibn Musa, al Muwafaqat fi Ushul al-Syari’ah (Kairo: Mustafa Muhammad, t.t), Jus II. Hlm. 4 13 Maslahah atau Maqosihd dlaruriyyat adalah seseuatu yang mesti ada demi terwujudnya kemaslahatan agama dan dunia. Apabila hal ini tidak ada, maka akan menimbulkan kerusakan bahkan hilangnya hidup dan kehidupan, seperti makan, minum, shalat, puasa dan ibadah-ibadah lainya. Yang termasuk maslahat atau maqosidh doruriyah ini adalah agama, jiwa keturunan, harta dan akal. 14 Maslahah atau maqoshid Hajjiyat adalah sesuatu yang sebaiknya ada agar dalam melaksanakanya leluasa dan terhindar dari kesulitan. Kalau sesuatu itu tidak ada, maka ia tidak akan menimbulkan kerusakan atau kematian hanya saja akan mengakibatkan masyaqqoh dan kesempitan. Misalnya dalam maslahah ibadah adalah adanya rukhsoh, sholat jama’ dan qoshor bagi musafir 15 Maslahah atau maqosid tahsiniat adalah sesuatu yang sebaiknya ada demi sesuainya dengan keharusan akhlak yang baik atau dengan adat. Kalau sesuatu itu tidak ada, maka tidak akan menimbulkan kerusakan atau hilangnya sesuatu juga tidak akan menimbulkan masyaqoh dalam melaksanakanya, hanya saja dinilai tidak pantas dan tidak layak menurut ukuran tatakrama dan kesopanan. Diantara contohnya adalah taharah, menutup aurat dan hilangnya najis.
20
keduanya dapat dilihat dalam pandangan Yusuf al-Qordhowi tentang 4 tujuan pokok Maqosid al syari’ah 1) memahami Nash al-Qur’an dan AlHadits tidak hanya pada aspek harfiyah-nya, tetapi juga makna dari teks itu sendiri, baik yang berupa illat, maksud, maupun hikmah; 2) Maqosid Al Syari’ah menjadi suatu kaidah dalam melakukan proses pilihan hukum, tarjih, dan istimbath hukum; 3) dakwah dan pemberian fatwa serta memberikan kepastian hukum; 4) mengarahkan gerakan kesilaman; 5) menghidupkan fiqh yang selaras dengan al-Qur’an dan As-sunnah.16 Dengan memepertimbangkan konsep Maqosid Al-syari’ah, penulis akan mencoba melakukan suatu analisa hukum terhadap Putusan Mahkamah konstitusi No 46/PUU-VIII/2010 yang telah menyebabkan polemik berkepanjangan dimasyarakat.
F. Metode Penelitian Sebagai penelitian ilmiah, maka penelitian ini menggunakan seperangkat metode penelitian yang dapat mempersiapkan, menunjang dan membimbing serta mengaharhkan penelitian ini sehingga memperoleh target yang dituju secara ilmiah. 1. Jenis penelitian Jenis penelitian yang penulis pakai pada penelitian ini adalah jenis penelitian pustaka (library reseach) dimana penelitian ini penulis menggunakan studi keputusan berupa keputusan Mahkamah konstitusi 16
Ahmad Imam Mawardi, Fiqh Minoritas fiqh Al-Aqalliyat dan Evolusi Maqosid AlSyari’ah dari Konsep ke Pendekatan, (Yogyakarta : LKIS Yogyakarta, 2010), Hal 266-267.
21
Nmor 46/PUU-VIII/2010 tentang anak diluar nikah yang analisisnya menggunakan konsep Maqosid Al syari’ah. untuk menjelaskan secara rinci pembahasan sebagai jawaban dari pokok permasalahan tanpa melakukan hipotesa dan metode penghitungan menggunakan statistik 2. Pendekatan Penelitian Dalam Penulisan ini penulis menggunakan dua pendekatan: Penulis menggunakan pendekatan teoritis yaitu menggunakan metode Maqashid al-syari’ah dan Pendekatan Normatif untuk meneliti Putusan yang dilakukan oleh Mahkamah konstitusi. Menurut Peter Mahmud Marzuki dalam pendekatan untuk meneliti bahan hukum terdapat beberapa pendekatan, yaitu : a. Statute approach (pendekatan undang-undang) b. Case approach (pendekatan kasus) c. Historical approach (pendekatan sejarah) d. Comparative approach (pendekatan komparasi) e. Conceptual approach (pendekatan konseptual) Berdasarkan teori diatas maka, dengan demikian penelitian ini merupakan penelitian hukum yang menerapkan konsep pendekatan undang-undang.17 Dalam hal ini penulis menggunakan pendekatan Ushul Fiqh sebagai dasar utama dalam memahami konsep Maqosihd Al-syari’ah. Hasil suatu penelitian hukum normatif agar lebih baik nilainya atau 17
Peter Ahmad Marzuki, Penelitian Hukum, Jakarta: Kencana Prenada Group, 2008, Cet. Ke-1, h. 96.
22
untuk lebih tepatnya penelaahan dalam penelitian tersebut, penulis perlu menggunakan pendekatan dalam setiap analisisnya. penelaahan tentang materi penelitian secara mendalam.18 3. Sumber Bahan Hukum Sumber bahan hukum yang di maksud peneliti adalah subyek dari mana data diperoleh untuk memudahkan mengidentifikasi sumber bahan hukum, maka penulis mengaplikasi menjadi tiga sumber bahan hukum, yaitu: a. Bahan hukum primer bersifat autoritatif, yang berarti mempunyai otoritas. Bahan hukum primer ini terdiri dari undang-undang, putusan hakim, catatan atau risalah dalam pembuatan undangundang. Data primer yang digunakan dalam skripsi ini diperoleh dari Putusan MK Nomor 46/PUU-VIII/2010 tentang Status Anak Luar Nikah dan yang berkaitan dengan judul diatas. b. Bahan hukum sekunder, yaitu sumber data pendukung yang dapat membantu untuk memahami dan mengkaji permasalahan penelitian, berupa literature yang membicarakan permasalahan penelitian, seperti buku, jurnal, skripsi, tesis atau literature sejenis. c. Bahan hukum tersier, yaitu sumber data yang tidak berkaitan langsung dengan penelitian, akan tetapi dapat membantu proses penelitian, seperti kamus, insklopedi, thesaurus dan lain-lain. 4. Metode analisis data 18
Mukti fajar Nur Dewata dan Yulianto Achmad, Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan empiris, Hal 190.
23
Analisis data menurut Moleong adalah proses mengatur urutan data, mengorganisasikannya kedalam suatu pola kategori dan uraian data. Sehingga setelah data terkumpul, kemudian dilakukan analisis dengan menggunakan metode analisis deskriptif yaitu bahwa dalam menganalisis
berkeinginan
untuk
memberikan
gambaran
atau
pemaparan atas subjek dan objek penelitian.19 Dalam analisis data ini, penulis menggambarkan tinjauan Maqosid al-syari’ah terhadap putusan Makhamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 tentang Status Anak Luar Nikah. Selain itu, jika di lihat dari sudut pandang pendekatan analisisnya, Jenis penelitian yang digunakan dalam skripsi ini yaitu penelitian dengan pendekatan kualitatif. Penelitian dengan pendekatan kualitatif yaitu penelitian yang menggunakan logika ilmiah dengan lebih menekankan analisisnya pada suatu proses penyimpulan deduktif dan dan induktif serta terdapat dinamika hubungan antar fenomena yang diamati.20
G. Sistematika Pembahasan Untuk memperjelas deskripsi penelitian yang akan dilakukan, maka pembahasan skripsi ini akan penulis sajikan dalam lima bab dengan sistematika sebagai berikut :
19
Mukti Fajar Yulianto Ahmad, Dualisme Penelitian Hukum Normatif & Empiris, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000, Cet. Ke- 1, h. 183 20 Saifuddin Azwar, Metode Penelitian, Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset, 1998, h. 5.
24
BAB I : berisi tentang uraian latar belakang, rumusan masalah, tujuan dan kegunaan penelitian, telaah pustaka, kerangka teori, metode penelitian dan sistematika penulisan. BAB II : Membahas Tinjauan tentang teori Maqosid al syari’ah, meliputi sejarah teori Maqashid al-Syari’ah, definisi dan penggunaan Maqashid al-Syari’ah. BAB III : Membahas tentang gambaran umum status anak diluar nikah dalam konteks Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUUVIII/2010,
meliputi
konteks
pengajuan
judicial
review,
dasar
pertimbangan majelis hakim MK, pendapat Mahkamah tentang pokok permohonan dan putusan MK serta ragam pendapat yang muncul pasca putusan. BAB IV : Analisis tinjauan Maqosid Al-Syari’ah terhadap putusan mahkamah konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 tentang status anak diluar nikah. BAB V : Penutup yang berisi simpulan dan saran.