1
BAB I PENDAHULUAN
I.1.
Latar Belakang Saat seseorang memasuki usia dewasa awal, ia mengalami perubahan
dalam hidupnya. Pada usia ini merupakan transisi terpenting dalam hidup manusia, dimana remaja mulai tumbuh dan berkembang menjadi orang dewasa. kematangan perkembangan psikososial dewasa muda dapat dicapai ketika mampu melalui tahap intimacy vs isolation. Pada tahap ini, individu berusaha untuk membuat komitmen pribadi yang dalam dengan orang lain, jika tidak berhasil maka ia dapat mengalami isolasi dan tenggelam dalam dirinya sendiri, (dalam Papalia, 2009). Erikson memandang perkembangan hubungan yang intim sebagai tugas krusial bagi seorang dewasa awal. Keterbukaan diri (self-disclosure) dan berbagi pikiran-pikiran personal merupakan tanda keintiman. Seorang dewasa awal yang belum cukup terlepas dari ikatan orang tua dapat mengalami kesulitan dalam interpersonal dan karier. Wanita juga perlu mempertahankan kompetensi dan minat mereka dalam relasi, namun mereka juga perlu memotivasi diri (dalam Santrock 2009). Adanya need to belong membuat intimacy dengan orang lain merupakan suatu yang penting untuk hidup (Fleeson, Brewer dalam Pearlman & Brehm, 2007). Kebutuhan yang kuat, stabil, dekat dan saling peduli adalah salah satu motivator yang kuat dari perilaku manusia. Individu cenderung lebih sehat
2
secara fisik maupun mental dan dapat hidup lebih lama, jika mereka memiliki hubungan romantis yang dekat dengan orang lain. Dan untuk memenuhi intimacy kita didorong untuk dapat memiliki dan mempertahankan hubungan yang dekat dan intim dengan orang lain, (dalam papalia 2009). Intimacy dipercayai sebagai bagian dari kebutuhan manusia, bukan sekedar sesuatu yang ia inginkan, harapkan, atau impikan. Kebutuhan akan intimacy tumbuh dari kebutuhan yang mendasar akan attachment (Bagarozzi, 2001;Hazan & Shaver, 1987;Reiss & Patrick, dalam Regan, 2003). Kuat lemahnya kebutuhan intimacy bersifat sangat individual. Sebagian dari keunikannya bisa ditelusuri melalui sejarah attachment awal dengan ibu, lalu dengan ayah, saudara kandung, dan kerabat lain. Kemudian melalui relasi personal dengan teman sebaya berjenis kelamim sama, lalu dengan lawan jenis. Ketika individu beranjak dewasa, kekuatan kebutuhan akan intimacy yang ia miliki, baik pada setiap komponen maupun secara total, sudah menjadi relatif stabil (Baragozzi, 2001). Namun tentu saja ada saat-saat dimana individu lebih mengharapkan terpenuhinya komponen kebutuhan tertentu. Misalnya orang yang sedang sedih mungkin merasa lebih membutuhkan emotional intimacy. Menurut Roy Baumister dan Mark Leary (1995) dalam Miller, Pearlman & Brehm, 2007), jika individu ingin berfungsi secara normal, individu membutuhkan interaksi yang sering dan menyenangkan dengan pasangan intim dalam hubungan yang penuh perhatian dan bertahan lama. Itu merupakan sebuah need to belong manusia dalam mencari hubungan dekat. Pentingnya need to belong dalam suatu hubungan memandakan pentingnya “kontak sosial secara regular dengan orang-orang yang
3
membuat kita merasa terhubung” (Baumister & Leary dalam Miller, Pearlman & Brehm, 2007). Untuk memenuhi kebutuhan tersebut, seseorang didorong untuk dapat memiliki dan mempertahankan hubungan yang dekat dengan orang lain, individu memerlukan interaksi dan kerukunan dengan orang yang mengenal dan perhatian terhadap kita. Pentingnya need to belong ini merupakan alasan kenapa berada dalam kesendirian dalam waktu lama akan menjadi sangat stres (Schachter dalam Miller, Pearlman & Brehm, 2007). Keintiman juga mencakup rasa memiliki (sense of belonging). Kebutuhan untuk membentuk hubungan yang kuat, stabil, dekat dan saling peduli merupakan motivator terkuat perilaku
manusia. Emosi yang paling kuat – baik positif
maupun negatif – dibangkitkan oleh rasa kasih sayang. Orang – orang cenderung lebih sehat, baik secara fisik maupun mental, dan hidup lebih lama, jika mereka memiliki hubungan dekat yang memuaskan (dalam Papalia et.al. 2009). Hurlock (1999) berpendapat bahwa saat usia dua puluhan, tujuan hidup wanita yang belum menikah adalah pernikahan, namun saat usianya mencapai tiga puluh tahun maka ia cenderung menukar tujuan hidupnya kearah nilai, tujuan dan hidup baru yang berorientasi pada pekerjaan. Sementara pernikahan merupakan suatu hal yang dianggap sangat penting, khususnya bagi para wanita karena banyak dikaitkan dengan peran sebagai pengelola rumah tangga, bahkan oleh masyarakat seringkali diingatkan bahwa tujuan wanita adalah menjadi ibu rumah tangga yang baik (Poerwandari dalam Larasati 2012). Sehingga ketika seseorang telah mencapai usia tiga puluh tahun, ada tekanan yang semakin meningkat untuk menetap dan menikah. Hal ini terjadi ketika banyak orang dewasa yang sendirian
4
membuat keputusan yang disadari untuk menikah atau tetap hidup sendiri (Santrock, 2009). Di berbagai negara, fenomena menurunnya jumlah wanita menikah menjadi semakin marak. Hal ini diungkapkan dalam artikel yang berjudul The Flight from Marriage (“The economist,”2011) yang memaparkan bahwa berdasarkan penelitian, usia rata-rata wanita yang belum menikah dikota-kota besar bagian Asia Timur dan Asia Tenggara, salah satunya Jakarta, mengalami peningkatan pesat bahkan lebih tinggi daripada dinegara-negara Barat, seperti Inggris dan Amerika Serikat. Sensus di Indonesia yang dilakukan oleh Departemen
Sosial
Ekonomi,
(“Indonesia
Marriage
Statisctic,”2012)
menunjukkan bahwa wanita yang menikah dikota-kota besar memang semakin berkurang. Artinya, semakin banyak wanita yang belum menikah di kota-kota besar. Pada tahun 2000 mengalami peningkatan 43,12% wanita yang belum menikah di usia yang sama. Angka ini terus mengalami peningkatan pada tahun 2005, yaitu ada sebesar 51,42% wanita yang belum menikah diusia tersebut. Pada tahun 2000, ada 16,67% wanita berusia 25-29 tahun yang belum menikah dan diikuti pada tahun 2005, yaitu ada 19,74% wanita berusia 25-29 tahun yang belum menikah. Data statistik wanita belum menikah di atas menunjukkan bahwa saat ini, angka pernikahan wanita dewasa muda semakin rendah. Papalia (2009) menyebutkan juga bahwa jumlah dewasa awal yang belum menikah terus meningkat secara dramatis. Pada tahun 2000, sekitar 45 persen usia 25 – 29 tahun belum menikah. Bahkan di antara usia 35 – 44 tahun, 15,5 persen masih tetap belum menikah (Papalia, 2009). Tren tersebut khususnya terdapat pada wanita
5
Afro-Amerika yang 30 persen diantara mereka belum menikah hingga akhir usia 30 (Teachman, Tedrow & Crowder, 2000). Salah satu penyebab dari rendahnya angka pernikahan di perkotaan adalah pendidikan dan pekerjaan. Faktanya, semakin berkembang tingkat pendidikan di perkotaan, semakin tinggi pula angka kelulusan perguruan tinggi lanjut yang melibatkan banyak wanita didalamnya. Perkembangan pendidikan yang pesat pada wanita inilah yang mempengaruhi kecenderungan wanita untuk menunda pernikahan
(dalam
Lannakanita,
2012).
Sedangkan
pekerjaan
sangat
mempengaruhi kondisi finansial, kondisi rumah, cara meluangkan waktu, lokasi rumah, sahabat – sahabatnya, dan kesehatan (Hodson, 2009). Beberapa orang memperoleh identitasnya melalui pekerjaan. Pekerjaan juga menciptakan sebuah struktur dan ritme dalam hidup yang sering hilang jika individu tidak bekerja selama periode waktu
tertentu. Ada banyak individu yang mengalami stress
emosi dan rendah diri karena tidak mampu bekerja. Di negara maju jumlah wanita yang memasuki lapangan kerja semakin meningkat. Sebuah proyeksi terbaru mengindikasikan bahwa jumlah tenaga kerja wanita dalam lapangan kerja di Amerika Serikat akan meningkat lebih cepat dari tenaga kerja pria hingga tahun 2018 (Santrock, 2009). Budaya timur yang dianut oleh Indonesia, memandang status pernikahan sebagai hal penting bagi seorang wanita. Perlakuan masyarakat dan status pernikahan yang dimiliki oleh seorang wanita menjadi salah satu faktor penting dalam pembentukan kesejahteraan psikologis. Hal ini didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Kim dan McKendry (dalam Woo dan Raley, 2009), wanita
6
yang menikah memiliki tingkat kesejahteraan psikologis yang lebih tinggi dibandingkan dengan wanita yang belum menikah. Hal ini disebabkan karena adanya berbagai sumber dukungan sosial yang diperoleh. Masyarakat Indonesia sebagai negara berkebudayaan timur, masih berpegang teguh pada tradisi yang mengharuskan seseorang untuk mengikuti norma budayanya (Matsumoto, 2004). Sebagai contoh, mitos perawan tua yang dipercaya masyarakat menyatakan bahwa bila seoarang wanita belum menikah sampai umur tiga puluh tahun, maka akan kesulitan mendapatkan pasangan. Karena tuntutan sosial mengenai pernikahan berlainan maka konflik yang terjadi diasumsikan juga berbeda beda. Cara memandang yang negatif seperti “perawan tua” lebih banyak diberikan kepada wanita yang masih melajang di usia dewasa awal dari pada pria. Norma ini dianut oleh masyarakat Indonesia secara turun temurun sehingga orang tua juga mengajarkan hal yang sama kepada anak wanitanya (Subiantoro, 2002). Namun aturan bagi perilaku yang dapat diterima saat ini lebih fleksibel dibandingkan pada paruh pertama abad kedua puluh. Norma pada saat ini tidak lagi mendikte bahwa seseorang harus menikah, terus berada dalam perkawinan, atau memiliki anak, dan pada usia berapa hal tersebut harus dilaksanakan (dalam Papalia, et.al., 2009). Adapun keuntungan dari hidup sendiri adalah memiliki waktu untuk membuat keputusan mengenai perjalanan hidupnya, memiliki waktu untuk mengembangkan sumber daya pribadi untuk mencapai tujuan-tujuannya, memiliki kebebasan untuk membuat keputusan secara otonom dan mengejar minatnya, memiliki peluang untuk menjelajahi berbagai tempat baru dan mencoba hal-hal baru, serta memiliki privasi. Masalah umum pada orang dewasa lajang
7
biasanya mencakup menjalin relasi akrab dengan orang dewasa lainnya, menghadapi kesepian, dan menemukan posisi yang sesuai dalam masyarakat yang berorientasi pada pernikahan (Koropecjy-Cox, 2009). Stres juga bisa menjadi masalah , sebuah survey nasional mengungkapkan bahwa presentase lajang yang lebih besar (58 persen) melaporkan mereka mengalami stres yang ekstrem sebulan belakangan dibanding mereka yang bercerai (48 persen) (Asosiasi Psikologi Amerika, 2000). Sehingga seorang dewasa awal yang masih melajang bisa bergantung kepada pertemanan untuk memenuhi kebutuhan sosial mereka dibandingkan orang dewasa awal yang telah menikah atau yang telah menjadi orang tua. Orang yang memiliki teman cenderung merasa nyaman; terlepas apakah memiliki teman membuat orang merasa nyaman dengan diri mereka sendiri, atau orang yang merasa nyaman dengan diri mereka sendiri memiliki waktu yang lebih luang untuk membuat pertemanan (dalam Papalia, et.al., 2009). Kecenderungan melajang lebih sering dijumpai pada wanita yang memiliki tingkat pendidikan yang tinggi dan mengutamakan karier dalam pekerjaannya (Robinson & Bessel, 2002). Pendapat senada juga diungkapan Becker (dalam Blossfeld, 1995) bahwa wanita dengan tingkat pedidikan tinggi dan kesempatan karier yang baik mengalami peningkatan dalam menunda pernikahan. Penundaan pernikahan juga cenderung terjadi pada wanita bekerja karena adanya perasaan mampu dalam memenuhi kebutuhan hidup tanpa harus bergantung pada orang lain. Wanita muda – terlepas apakah dia melajang atau telah menikah, atau apakah belum memiliki anak – cenderung memiliki kebutuhan sosial yang dipenuhi oleh teman mereka ketimbang pria muda. Pria cenderung berbagi informasi dan
8
aktivitas, tapi tidak berbagi kepercayaan dengan teman (dalam Papalia, et.al., 2009). Whitehead (2003) para wanita karier ketika menginjak usia tiga puluhan mengalami kebingungan untuk menemukan dan mengembangkan sebuah hubungan yang mengarah pada pernikahan dan keluarga karena terdapat sedikit pria yang dianggap tepat secara prestasi dan pendapatan untuk menjadi pasangan hidup sehingga banyak wanita karier yang tetap lajang. Banyaknya wanita yang bekerja setelah menyelesaikan pendidikan tingginya, membawa akibat bagi tugas perkembangan lain. Semakin tinggi tingkat pendidikan yang dijalani, semakin tinggi pula para wanita untuk menjadi pekerja. Hal ini meningkatkan komitmen terhadap
karir dan penundaan
terhadap pernikahan (Betz, 1993; Spain &
Bianchi, 1996). Namun demikian, Bridges (1997) mengatakan meskipun banyak wanita dewasa awal yang bekerja menunda untuk menikah, mereka tetap memiliki keinginan untuk membuat suatu komitmen pernikahan dalam hidup. Ketika mereka menjadi sosok dalam arti sebenarnya, orang dewasa awal mencari keintiman emosional fisik kepada teman sebaya atau pasangan romantis. Hubungan ini mensyaratkan keterampilan seperti kesadaran diri, empati, kemampuan
mengkomunikasikan
emosi,
pembuatan
keputusan
seksual,
penyelesaian konflik, dan kemampuan mempertahankan komitmen. Keterampilan tersebut sangat penting ketika orang dewasa awal memutuskan untuk menikah, membentuk pasangan yang tidak terikat pernikahan atau homoseksual, atau hidup
9
seorang diri, atau memutuskan memiliki atau tidak memiliki anak (dalam Papalia, et.al., 2009). Berdasarkan uraian di atas, maka peneliti tertarik untuk mengetahui lebih jauh intimacy need mereka. Kelompok dewasa awal dipilih karena secara teoritis relevan dengan krisis intimacy versus isolation yang menjadi tugas perkembangan mereka (Erikson, dalam Papalia, dkk, 2009). Peneliti bermaksud untuk menggali intimacy need dengan melakukan wawancara secara mendalam pada subyek dengan jumlah terbatas guna mengungkapkan sejauh mana penghayatan subyek mengenai intimacy need mereka, apakah wanita yang belum menikah ini mempunyai kebutuhan intimacy untuk menjalin relasi dengan lawan jenisnya. Peneliti memfokuskan pada individu dewasa awal yang berkerja di perkotaan khususnya di wilayah Jakarta terutama pada wanita, menginginkan intimacy untuk menjalankan tugas pekembangannya. I.2
Rumusan Masalah Berdasarkan
minat peneliti untuk memperoleh gambaran mengenai
intimacy need melalui wawancara, rumusan permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimanakah gambaran kebutuhan akan intimacy pada wanita dewasa awal berkarier yang belum menikah. I.3
Tujuan Penelitian Pertanyaan diatas diatas dimaksudkan untuk memperoleh gambaran
mengenai intimacy need pada wanita dewasa awal berkarier yang belum menikah.
10
I.4
Manfaat Penelitian
1.4.1
Manfaat Teoritis Hasil penelitian ini diharapkan dapat memperkaya teori dalam bidang
Psikologi perkembangan dan Psikologi klinis, mengenai gambaran intimacy need pada masa dewasa awal yang belum menikah. 1.4.2
Manfaat Praktis
1. Peneliti berharap agar penelitian ini dapat menjadi acuan untuk memberikan masukan kepada dewasa awal yang belum menikah mengenai intimacy need sehingga dapat memberikan suatu pengertian dan juga dapat berguna bagi subyek dalam membina hubungan yang lebih baik dengan pasangannya. 2. Memberikan tambahan informasi pada konselor mengenai gambaran wanita dewasa awal yang belum menikah.