BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Setiap
individu
tumbuh
dan
berkembang selama
perjalanan
kehidupannya melalui beberapa periode atau tahap-tahap perkembangan. Setiap tahap perkembangan manusia biasanya disertai dengan berbagai tuntutan psikologis yang harus dipenuhi. Sebagian besar pakar psikologi setuju, bahwa jika berbagai tuntutan psikologis yang muncul pada tahap perkembangan manusia tidak berhasil dipenuhi, maka akan muncul dampak yang secara signifikan dapat menghambat kematangan psikologisnya di tahap-tahap yang lebih lanjut. Berbagai tuntutan psikologis pada remaja dimana hal ini terkait dengan tugas perkembangan yang ada pada remaja. Havigrust (1961) mengartikan tugas-tugas perkembangan sebagai suatu tugas yang muncul pada periode tertentu dalam rentang kehidupan individu, yang apabila tugas itu dapat berhasil dituntaskan akan membawa kebahagiaan dan kesuksesan dalam menuntaskan tugas-tugas berikutnya; sementara apabila gagal, maka akan menyebabkan ketidakbahagiaan pada diri individu yang bersangkutan, menimbulkan penolakan masyarakat, dan kesulitan dalam menuntaskan tugas-tugas berikutnya. Adapun tuntutan psikologis terkait dengan tugas perkembangan remaja menurut Hurlock (1991) dalam Ali dan Asrori adalah berusaha: 1)
1
2
mampu menerima keadaan fisik 2) mampu menerima dan memahami peran seks usia dewasa 3) mampu membina hubungan baik dengan anggota kelompok berlainan jenis 4) mencapai kemandirian emosional 5) mencapai kemandirian ekonomi 6) mengembangkan konsep dan keterampilan intelektual yang sangat diperlukan untuk melakukan peran sebagai anggota masyarakat 7) memahami dan menginternalisasikan nilai-nilai orang dewasa dan orang tua 8) mengembangkan perilaku tanggung jawab sosial yang diperlukan untuk memasuki dunia dewasa 9) mempersiapkan diri untuk memasuki perkawinan 10) memahami dan mempersiapkan berbagai tanggung jawab kehidupan keluarga. Demikian pula pada usia SMA/ SMK yang berada dalam masa remaja (adolescence). Remaja yang dalam bahasa aslinya disebut adolescence, berasal dari bahasa Latin adolescence yang berarti tumbuh atau tumbuh untuk mencapai kematangan. Menurut Hurlock (1980: 206) adolescence mencakup kematangan mental, emosional, sosial, dan fisik. Remaja sebenarnya tidak mempunyai tempat yang jelas, mereka sudah tidak masuk ke golongan orang anak-anak tetapi masuk ke golongan orang dewasa.akan tetapi belum mampu memegang tugas sebagai orang dewasa. Wills (2008: 35), mengatakan bahwa pada masa ini amat baik untuk mengembangkan segala potensi positif yang mereka miliki seperti bakat, kemampuan dan minat. Selain itu masa ini merupakan masa pencarian jati diri, sehingga mereka cenderung bertingkah laku labil. Masa remaja merupakan masa transisi dari anak-anak ke masa dewasa
3
yang berjalan antara usia 12-21 tahun. Periode ini dianggap sebagai masamasa yang amat penting dalam kehidupan seseorang khususnya dalam pembentukan kepribadian seseorang. Pada masa transisi inilah yang menjadikan emosi remaja kurang stabil. Hall menyebut masa ini sebagai masa topan badai (“Strum and Drang)” yaitu sebagai periode yang berada dalam dua situasi: antara kegoncangan, penderitaan, asmara dan pemberontakan dengan otoritas orang dewasa (Yusuf 2009: 185), dengan ciri-ciri sering dan mulai timbul sikap untuk menentang dan melawan terutama dengan orangorang yang dekat, misalnya orang tua, guru dan sebagainya (Mulyono 1993: 16). Menurut Erikson, dalam tiap tahap perkembangannya individu akan dihadapkan suatu krisis. Krisis ini bukanlah suatu bencana tapi merupakan suatu titik balik peningkatan kerentanan dan peningkatan potensi, yang mempunyai kutub positif dan negatif. Semakin berhasil indvidu mengatasi kritis, akan semakin sehat perkembangannya (dalam Desmita 2006). Masa remaja adalah masa yang sangat rawan terhadap berbagai permasalahan.Santrock menyebutkan ada beberapa permasalahan yang rawan terjadi pada remaja diantaranya masalah penyalahgunaan obat terlarang, alkohol; kenakalan remaja (meliputi kekerasan dan kriminalitas), seks pranikah, bunuh diri dan depresi (Santrock, 2007). Banyaknya konflik yang terjadi pada masa remaja, yang menurut Sarwono (2003) sebagai masa transisi dari periode anak ke dewasa. Dalam masa transisi ini, remaja mulai menjajaki ruang lingkup kehidupan yang lebih
4
luas, seperti cinta, dunia kerja, dan mulai terlibat dengan lingkungan orang dewasa. Remaja juga cenderung bertindak berdasarkan keinginannya. Keadaan itu menunjukkan bahwa remaja mengalami berbagai perubahan, yang merupakan proses pematangan diri untuk menjadi orang yang dewasa. Kurniawan (1998) berpendapat bahwa remaja mengalami perubahan dalam sejumlah aspek perkembangan, baik itu fisik dan fisiologis, emosi, mental, sosial, maupun moral. Perubahan-perubahan tersebut menuntut remaja mengadakanperubahan besar dalam sikap dan perilaku sesuai dengan tugas perkembangannya dengan cara yang adaptif. Teori perkembangan Erikson menyebutkan, masa remaja dalam tahap psikososial yang sangat penting yaitu pembentukan identitas (identity formation), dimana pada tahap itu setiap individu diharapkan menemukan siapa dirinya dan kemana arah dan tujuan hidupannya (Santrock, 2007). Pembentukan identitas merupakan tugas perkembangan utama bagi remaja. Jika remaja gagal maka mereka akan mengalami “peperangan” dalam dirinya, sehingga berdampak pada munculnya perilaku menyimpang (delinquent), melakukan kriminalitas, atau menutup diri dari masyarakat. Berdasarkan survei Komisi Perlindungan Anak (KPA) yang dilakukan terhadap 4.500 remaja di 12 kota besar seluruh Indonesia juga menemukan 93% remaja pernah berciuman, dan 62,7% pernah berhubungan badan, dan 21% remaja telah melakukan oborsi. (www.kompas.com, 2010). Berdasarkan data dari Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) tahun 2013, anak usia 10-14 tahun yang telah melakukan
5
aktivitas seks bebas atau seks di luar nikah mencapai 4,38%, sedang pada usia 14-19 tahun sebanyak 41,8% telah melakukan aktivitas seks bebas. Data lain mengatakan bahwa tidak kurang dari 700.000 siswi melakukan aborsi setiap tahunnya. Selain itu dikalangan pelajar narkoba cukup mengkhawatirkan yaitu sebanyak 921.695 (4,7%) pelajar dan mahasiswa adalah pennguna narkoba. (Mahardika, 2013) Dadang Hawari mengatakan dalam problematika kenakalan remaja 68% masyarakat Indonesia terjerumus ke dalam penyalahgunaan napza (narkotika, alcohol, psikotrofika, dan zat adiktif) atau yang biasa disebut dengan narkoba, dan ini sebagian besar dikonsumsi oleh para remaja. Bahkan suatu lembaga bonafid Amerika yang bernama, The National Institute of Drug Abuse melaporkan bahwa masyarakat Amerika merupakan drug oriented society, suatu masyarakat yang beriontasi kepada narkoba, sehingga 1 dari 6 pelajar di Amerika telah terjerumus ke dalam penyalahgunaan narkoba (Sukayat, 2001: 193). Sekretaris Utama Badan Nasional Narkotika (BNN) Irjen Pol Bambang Abimanyu mengatakan jumlah pecandu narkoba di Indonesia telah mencapai 3,8 juta jiwa. “Sekarang narkoba sudah merambah ke seluruh tingkatan, tidak saja orang dewasa, tapi anak-anak, bahkan beberapa pejabat yang saat ini menjalani rehabilitasi.” Menurutnya, sebagai orang tua dituntut waspada dan terus melakukan komunikasi dengan anak. Bila ternyata sudah menjadi pemakai dihimbau untuk segera melaporkan ke BNN guna mendapatkan rehabilitasi.
6
(kemenkopmk, 2010) Selain itu balai riset Synovate Research tahun 2004 melakukan survey tentang perilaku seksual remaja di 4 kota yaitu Jakarta, Bandung, Surabaya, dan Medan dengan jumlah responden 450 orang, dengan kisaran usia 15-24 tahun. Hasil penelitian menunjukkan pengalaman berhubungan seks dimulai sejak usia 16-18 tahun sebanyak 44% sementara 16% melakukan hubungan seks pada usia 13-15 tahun. Selain itu rumah menjadi tempat favorit (40%) untuk melakukan hubungan seks. Sisanya mereka memilih hubunga seks di kos (26%) dan hotel (26%). Kasus terbaru pada 16 September 2014 yang terjadi di kota Malang yaitu seorang siswa berinisial AY kelas II SMA mencuri sepeda motor milik seorang mahasiswa di sebuah kafe di wilayah Universitas Muhammadiyah Malang, Jawa Timur. Kasus tersebut terjadi karena si pelaku tidak memiliki uang untuk bermain game online di sebuah warung internet (warnet) dekat rumah si pelaku. Tidak hanya sekali AY mencuri sepada motor tetapi sudah tiga kali menurut pengakuannya. (kompas, 2014) Semua permasalahan yang dialami oleh remaja di atas akan mempengaruhi kemampuan remaja untuk dapat berfungsi secara efektif didunia ini dan juga dapat membahayakan orang lain. Selain itu permasalahan yang dihadapi remaja juga akan mempengaruhi perkembangan
dan
kesejahteraannya (Santrock, 2007). Menurut Ali dan Asrori (2011: 161) bahwa pada dasarnya setiap remaja menghendaki semua kebutuhannya dapat terpenuhi secara wajar.
7
Terpenuhinya
kebutuhan-kebutuhan
menimbulkan
keseimbangan
dan
tersebut keutuhan
secara
memadai
akan
Remaja
yang
pribadi.
kebutuhannya terpenuhi secara memadai akan memperoleh suatu kepuasan hidup. Selanjutnya, remaja akan merasa gembira, harmonis, dan produktif manakala kebutuhan-kebutuhannya dapat terpenuhi secara memadai. Sebaliknya,
jika
kebutuhannya
tidak
terpenuhi
remaja
akan
mengalami kekecewaan, ketidakpuasan, atau bahkan frustasi, marah, menyerang orang lain, minum-minuman keras, narkotika, dan tingkah laku negatiflainnya yang sangat merugikan diri sendiri dan orang lain yang pada akhirnya akan mengganggu pertumbuhan dan perkembangannya. Hal ini dapat menyebabkan remaja merasa tidak puas dalam hidup sehingga dapat berpengaruh pada kesejahteraan psikologis remaja. Kesejahteraan psikologis terdiri dari kepuasan hidup dan juga perasaaan yang positif seperti rasa senang, gembira dan puas. Seseorang yang ingin memiliki kualitas hidup yang baik idealnya juga memiliki kesejahteraan psikologis yang baik pula dalam dirinya. Ryff menjelaskan bahwa kesejahteraan psikologis sebagai suatu keadaan dimana individu mampu menerima dirinya apa adanya, mampu membentuk hubungan yang hangat dengan orang lain, memiliki kemandirian terhadap tekanan sosial, mampu mengontrol lingkungan eksternal, memiliki arti dalam hidup serta mampu merealisasikan potensi dirinya secara kontinu. Ryff (dalam Papalia dkk, 2002: 434) juga mengatakan bahwa individu yang memiliki kesehatan psikologis mempunyai sikap yang positif terhadap dirinya dan orang lain, mereka
8
memiliki keputusan sendiri dan mengatur kebiasaan mereka serta mampu memilih dan membentuk lingkungan yang sesuai dengan kebutuhankebutuhan mereka. Mereka juga memiliki tujuan yang menjadikan hidup mereka lebih bermakna dan adanya dorongan untuk megembangkan segala potensi yang dimiliki secara penuh. Sedangkan Hurlock (1980: 19) menyebutkan bahwa kesejahteraan psikologis (PWB) atau kebahagiaan tergantung dipenuhi atau tidaknya “tiga A kebahagiaan” yaitu acceptance (penerimaan), affection (kasih sayang), dan achievement (pencapaian). Terdapat
beberapa
faktor
yang
mempengaruhi
kesejahteraan
psikologis, salah satu diantaranya adalah religiusitas. Hal ini sejalan dengan penelitian Seligman (2002) yang menyatakan bahwa individu yang religius merasa lebih bahagia terhadap kehidupannya dibandingkan dengan individu yang tidak religius (Muslim dan Nashori, 2007: 6). Selain itu, terdapat faktor yang berasal dari diri internal individu yang dapat memberikan pengaruh pada evaluasi seseorang akan peran dikehidupannya, misalnya faktor kepribadian. Religiusitas menurut Glock & Sttrak (dalam Sari, Yunita dkk 2012: 312) adalah tingkat konsepsi seseorang terhadap agama dan tingkat komitmen seseorang terhadap agamanya. Tingkat konseptualisasi adalah tingkat pengetahuan seseorang terhadap agamanya, sedangkan yang dimaksud dengan tingkat komitmen adalah sesuatu hal yang perlu dipahami secara menyeluruh, sehingga terdapat berbagai cara bagi individu untuk menjadi religius.
9
Konsep religiusitas yang dirumuskan oleh Glock dan Stark ada lima macam dimensi keagamaan, yaitu 1) dimensi keyakinan (the ideological dimension) 2) dimensi praktek agama (the ritualistic dimension) 3) dimensi ihsan dan penghayatan (the experiental dimension) 4) dimensi pengetahuan agama (the intellectual dimensi 5) dimensi pengamalan dan konsekuensi (the consequential dimension) (Ancok & Suroso, 1994: 77). Adapun perkembangan religiusitas pada manusia dibedakan menjadi empat tingkatan usia, salah satunya perkembangan religiusitas pada remaja. Pada tahap ini, perilaku agama pada remaja sudah dilandasi dengan kepercayaan yang mantap serta semakin banyak merenungkan dirinya sendiri. Hal ini disebabkan karena adanya kematangan organ jasmani, emosi dan pikiran pada remaja tersebut. Kesadaran akan dirinya akan mengarahkan pada remaja berfikir secara mendalam tentang ajaran dan perilaku agama. Timbul hasrat tampil ke depan umum termasuk dalam bidang agama sehingga para remaja termotivasi terlibat dalam berbagai organisasi keagamaan (Jalaluddin, 2010: 73-78). Keyakinan religius remaja akan begitu terasa dan dibutuhkan dalam kehidupannya ketika remaja mengalami peristiwa yang mengancam dirinya, membuatnya gelisah dan berada dalam keadaan terjepit maka akan lebih membuat para remaja sadar akan butuhnya kekuatan yang lebih besar dari manusia. Hal ini sesuai dengan konsep seeking spiritual support (mencari dukungan spiritual), dimana individu akan berusaha mencari kenyamanan dan keamanan melalui cinta dan kasih Tuhan (Trimulyaningsih & Rachmana,
10
2008). Remaja yang sadar akan keberadaan hidupnya merupakan anugerah dari Tuhan maka ia akan menggunakan masa remajanya ke arah yang positif. Milanesi dan Aletti (dalam Waruwu, 2003) menjelaskan bahwa kaum remaja berupaya menemukan berbagai potensi yang ada dalam dirinya dan mencoba mencapai suatu integrasi baru dan mengolah seluruh keberadaannya hingga kini, termasuk juga keyakinan-keyakinan religiusnya. Menurut Desmita (2008: 208), dibandingkan dengan masa anak-anak keyakinan agama remaja telah mengalami perkembangan yang cukup berarti.Pada masa remaja, mereka mungkin berusaha mencari sebuah konsep yang
lebihmendalam
tentang
Tuhan
dan
eksistensi.
Perkembangan
pemahaman remajaterhadap keyakinan agama ini sangat dipengaruhi oleh perkembangan kognitifnya. Agama
memegang
peranan
penting
dalam
kehidupan
manusia.Manusia religius adalah manusia yang struktur mental secara keseluruhan dan secara tetap diarahkan kepada pencipta nilai mutlak, memuaskan, dan tertinggi yaitu Tuhan. Manusia membutuhkan agama untuk memenuhi kebutuhan rohani serta mendapat ketentraman dikala mereka mendekatkan diri dan mengabdi kepada yang Maha Kuasa (Jalaluddin, 2005: 67). Adams dan Gullota (1983) (dalam Desmita 2008: 208) mengatakan bahwa agama memberikan sebuah kerangka moral, sehingga membuat seseorang
mampu
membandingkan
tingkah
lakunya.
Agama
dapat
11
menstabilkan tingkah laku dan bisa memberikan penjelasan mengapa dan untuk apa seseorang berada di dunia ini. Agama memberikan perlindungan rasa aman, terutama bagi remaja yang tengah mencari eksistensi dirinya. Berdasarkan uraian tersebut, dapat dikatakan bahwaagama memiliki arti yang cukup penting bagi seorang remaja. Agama juga dapat membantu remaja dalam menghadapi suatu masalah. Penelitian yang dilakukan Ellison (dalam Trankle, 1991: 29) menyebutkan bahwa terdapat hubungan antara ketaatan beragama (religiosity) dengan psychological well-being. Hasil penelitian ini mengungkapkan bahwa individu dengan tingkat religiusitas yang kuat menunjukkan tingkat psychological well-being yang lebih tinggi dan lebih sedikit mengalami traumatik. Penelitian ini juga didukung oleh penelitian Koening, Kvale dan Ferrel (dalam Papalia dkk, 2002: 419) menunjukkan bahwa individu yang tingkat religiusitasnya yang tinggi mempunyai sikap yang lebih baik, lebih merasa puas dalam hidup dan hanya sedikit mengalami rasa kesepian. Penelitian ini dilakukan oleh Coke, 1992; Walls & Zarit, 1991 (dalam Papalia dkk, 2002: 419) bahwa individu yang merasa mendapatkan dukungan dari tempat peribadatan cenderung mempunyai tingkat psychological well-being yang tinggi. Pada penelitian selanjutnya yaitu Hubungan Religiusitas dengan Kesejahteraan Psikologis pada lanjut usia. Populasi penelitian ini adalah para lanjut usia yang berada di Kecamatan Tampan Kota Pekanbaru pada Desember 2010. Hipotesis yang diajukan adalah terdapat hubungan
12
Religiusitas dengan Kesejahteraan Psikologis.Teknik yang digunakan adalah teknik Purposive sampling yaitu teknik pengambilan sampel yang dilakukan berdasarkan kriteria tertentu dengan jumlah sampe1 sebanyak 100 orang.Validitas skala Religiusitas 0,292 sampai 0,578 dengan koefisien reliabilitas sebesar 0,883.Pada skala kesejahteraan psikologis diperoleh validitas yang berkisar antara 0,277 sampai 0,530 dengan koefisien reliabilitas sebesar 0,873. Berdasarkan hasil analisis data maka diperoleh koefisien korelasi sebesar 0,694 (dengan nilai p= 0,000). Hasil penelitian kemudian diolah dengan menggunakan teknik koefisien korelasi product moment dad Karl Pearson. Dalam penelitian ini ditemukan bahwa, terdapat hubungan yang positif antara Religiusitas dengan Kesejahteraan Psikologis pada lanjut usia. SMK Muhammadiyah 2 Malang merupakan sekolah kejuruan yang berbasis Islam, jadi selain diajarkan tentang keahlian kerja, para siswa juga diajarkan tentang agama lebih dari sekolah kejuruan pada umumnya. Di antaranya diajarkan tentang kajian keislaman, fiqih Islam, dan pembelajaran kemuhammadiyahan. Seluruh siswa juga melaksanakan kegiatan-kegiatan keagamaan yang wajib maupun sunnah seperti sholat jamaah dhuha, dzuhur, dan sholat jumat bagi siswa laki-laki, membaca surat al-Qur’an sebelum pelajaran dimulai, puasa ramadhan, pondok ramadhan, puasa sunnah, memberikan amal jariyah, zakat, dzikir dan istighosah. Penulis mencoba melihat fenomena yang ada di SMK Muhammadiyah 2 Malang dengan melakukan observasi dan wawancara 20 September 2014
13
pada beberapa siswa menunjukkan bahwa siswa rutin melaksanakan kegiatankegiatan keagamaan Islam di sekolah diantaranya adalah sholat berjamaah, sholat sunnah, sholat wajib, membaca al-Qur’an, puasa, mengikuti kegiatan pondok ramadhan, dzikir & istighosah. Hal ini dapat dikatakan bahwa siswa SMK Muhammadiyah 2 Malang secara keagamaan/religius lebih baik berdasarkan beberapa hal yang tersebut dalam dimensi-dimensi religiusitas. Namun yang menarik disini, (wawancara dengan bapak Lukman Hakim selaku wakil kepala sekolah bidang kesiswaan) berkaitan dengan masalah yang sering dilakukan siswa dimana hal ini bertentangan dengan nilai-nilai religi remaja serta dapat mempengaruhi perkembangan
dan
kesejahteraan siswa terdapat beberapa permasalahan pada siswa antara lain: pelanggaran aturan-aturan sekolah, dimana para siswa merasa bahwa mereka sudah besar dan tidak mau diatur seperti anak kecil, terlambat masuk sekolah, mencontek, membolos sekolah, merokok di lingkungan sekolah, mencuri, konflik antar teman yang berujung pada perkelahian (wawancara, 20 September 2014). Dan hasil wawancara dengan beberapa siswa kelas XI (wawancara dengan siswa Rizki dan Irwan) mereka mengakui, bahwa pernah melanggar tata tertib sekolah, seperti bolos sekolah, tidak mengikuti pelajaran, mencontek pada waktu ujian, pencurian, perkelahian antar siswa, merokok, bahkan terdapat tindakan siswa dimana siswa dalam satu kelas berani membolos kegiatan sekolah secara bersamaan yang akhirnya mendapatkan hukuman berdiri dan dijemur di lapangan pada pukul 07.00 hingga 09.00. Serta terdapat kasus siswa membolos hingga 12 kali, sehingga
14
siswa tersebut dikeluarkan dari sekolah, berkelahi, mengintimidasi teman, dan kasus pergaulan bebas atau seks bebas (wawancara, 30 September 2014). Beberapa kasus lain terkait dengan dimensi penerimaan diri pada beberapa siswi bahwa mereka terkadang merasa minder dengan keadaan dirinya. Hal ini menunjukkan secara individu remaja belum sepenuhnya mampu menerima apapun kelebihan dan kekurangan yang ada pada diri remaja, menghargai potensi diri, menciptakan hubungan interpersonal yang baik dengann temanteman sebayanya, menjalin interaksi secara akrab dan saling menghargai, mampu mengarahkan diri, bersikap mandiri dan sadar akan tanggung jawab, memiliki tujuan dan pandangan dalam hidupnya, sehingga apabila dikatikan dengan aturan-aturan sekolah dalam lingkungan sekolah siswa yang merupakan seorang remaja belum sepenuhnya peduli dan mau menerima peraturan-peraturan sekolah, berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan sekolah, bersikap hormat terhadap guru, pemimpin sekolah dan staf lainnya, serta siswa membantu sekolah dalam merealisasikan tujuan-tujuannya.
15
Berdasarkan pemaparan di atas tidak menutup kemungkinan bagi remaja yang berada pada tahap berproses dan menyesuaikan keadaannya yang baru memiliki kemampuan berhadapan dengan berbagai tuntutan yang dihadapinyadiantara tuntutan perubahan fisik, tuntutan dari masyarakat serta tuntutan dari adanya perubahan nilai dan aspirasi yang dipegang, dan cenderung mampu bereaksi secara sesuai dengan setiap tuntutan yang berasal dari perubahan-perubahan disekelilingnya mengarahkan remaja kepada tercapainya kesejahteraan psikologis pada usianya. Oleh karena itu, kesejahteraan psikologis penting untuk dilakukan karena nilai positif dari kesehatan mental yang ada di dalamnya membuat seseorang dapat mengidentifikasi apa yang hilang dalam hidupnya. Kebahagiaan yang dialami setiap individu itu bersifat subjektif karena setiap individu memiliki tolak ukur kebahagiaan yang berbeda-beda setiap individu juga memiliki faktor yang berbeda sehingga mendatangkan kebahagiaan yang diinginkannya sendiri. Hal ini didukung oleh beberapa hasil penelitian yang menyatakan bahwa kesejahteraan psikologis dapat membantu remaja untuk menumbuhkan emosi positif, merasakan kepuasan hidup dan kebahagiaan, mengurangi kecenderungan mereka untuk berperilaku negatif, dimana religiusitas merupakan salah satu faktor yang turut serta memberikan pengaruh terhadap kesejahteraan psikologis. Berdasarkan uraian diatas penulis tertarik untuk mengkaji tentang hubungan tingkat religiusitas dengan kesejahteraan psikologis siswa SMK Muhammadiyah 2 Malang.
16
B. Rumusan Masalah 1. Bagaimana tingkat religiusitas siswa SMK Muhammadiyah 2 Malang? 2. Bagaimana tingkat kesejahteraan psikologis siswa SMK Muhammadiyah 2 Malang? 3. Apakah ada hubungan antara tingkat religiusitas dengan timgkat kesejahteraan psikologis siswa SMK Muhammadiyah 2 Malang?
C. Tujuan Penelitian Dari rumusan masalah di atas, maka dapat diambil tujuan penelitian ini adalah: 1. Untuk mengetahui tingkat religiusitas siswa SMK Muhammadiyah 2 Malang. 2. Untuk
mengetahui
tingkat
kesejahteraan
psikologis
SMK
siswa
Muhammadiyah 2 Malang. 3. Untuk mengetahui hubungan antara tingkat religiusitas dengan tingkat kesejahteraan psikologis siswa SMK Muhammadiyah 2 Malang.
D. Manfaat Penelitian Dari adanya penelitian ini maka diharapkan mendapatkan beberapa manfaat, antara lain: 1. Secara Teoritis Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan wawasan keilmuan psikologi khususnya psikologi perkembangan, psikologi agama, dan pikologi
17
pendidikan.
2. Secara Praktis a. Bagi Sekolah Sebagai bahan informasi dalam usaha sekolah untuk menciptakan interaksi sosial antara guru dengan murid, murid dengan murid, dan murid dengan karyawan sehingga tercipta susasana belajar yang kondusif demi terciptanya tujuan belajar. Dan juga dapat digunakan sebagai bahan rujukan dalam membantu siswa memecahkan masalahnya yang berhubungan dengan kesejahteraan psikologis sehingga secara individu siswa mampu menerima apapun kelebihan dan kekurangan yang ada pada diri siswa, menghargai potensi diri, mampu menciptakan hubungan interpersonal yang baik dengann teman-teman sebayanya, menjalin interaksi secara akrab dan saling menghargai, maampu mengarahkan diri, bersikap mandiri dan sadar akan tanggungjawab, memiliki tujuan dan pandangan dalam hidupnya serta dalam lingkungan sekolah yang berkaitan dengan aturan-aturan sekolah siswa akan bersikap
peduli
dan
mau
menerima
peraturan-peraturan
sekolah,
berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan sekolah, bersikap hormat terhadap guru, pemimpin sekolah dan staf lainnya, serta siswa membantu sekolah dalam merealisasikan tujuan-tujuannya.
b. Bagi Peneliti Dapat menambah pengetahuan/ wawasan dan mengaplikasikan ilmunya secara langsung dengan menghadapi kondisi secara nyata di lapangan dan
18
mengasah kemampuan peneliti dalam melakukan penelitian dengan metode ilmiah.
c. Bagi Universitas Islam Negeri Malang Penelitian
ini
dapat
dijadikan
sebagai
salah
satu
sumber
untuk
mengembangkan kegiatan keilmuan dan pendidikan, khususnya untuk jurusan psikologi.