BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Pariwisata telah ada semenjak adanya perjalanan manusia dari satu tempat ke tempat yang lain, dan perkembangannnya sesuai dengan kondisi sosial budaya masyarakat itu sendiri. Kata ‘pariwisata’ di Indonesia muncul sekitar awal tahun 1960 atas mandat Presiden Soekarno kepada Sri Sultan Hamengku Buwono (HB) IX selaku ketua Dewan Tourisme Indonesia. Sri Sultan HB IX kemudian memberikan perintah kepada Prof. Moh. Yamin dan Prof. Dr. Prijono, dimana mereka berdua kemudian memunculkan kata ‘pariwisata’ (Pendit, 2006: 3). Pariwisata pada kenyataannya memunculkan kebutuhan-kebutuhan manusia yang harus dipenuhi (Suwena dan Widyatmaja, 2010:1). Dewasa ini berbagai negara, termasuk Indonesia, menggembar-gemborkan keunggulan wisatanya. Berbagai macam produk baik berupa barang maupun wisata ditawarkan kepada wisatawan baik mancanegara maupun wisatawan lokal. Produk tersebut mulai dari produk wisata yang bertujuan untuk senang-senang semata hingga wisata yang bersifat religi dan edukasi. Smith (1977:4-5) dalam buku Host and Guest: The Antropology of Tourism mengkategorikan pariwisata menjadi lima, yaitu kepariwisataan etnik, budaya, sejarah, lingkungan, dan rekreasi. Smith mengilustrasikan bahwa wisata etnik dipasarkan melalui daya tarik adat-istiadat yang dimiliki oleh sebuah suku, namun memiliki daya tarik tersendiri dari masyarakat adat setempat. Wisata etnik juga
sering menampilkan kelompok masyarakat yang memiliki budaya eksotik dan unik, seperti yang terjadi pada masyarakat Eskimo di Alaska dan Kanada, Indian San Blas di Panama, serta Basque di Spanyol. Sedangkan masyarakat Kampung Naga di Tasikmalaya, Suku Toraja di Sulawesi Selatan, dan Suku Asmat di Papua merupakan beberapa contoh dari wisata etnik di Indonesia. Wisata Budaya merupakan bentuk pariwisata yang menampilkan keindahan dari kegiatan lokal, seperti sisa dari beberapa gaya hidup yang sedang mengalami proses kepunahan, namun masih tetap melekat (inherent) dalam ingatan atau memori masyarakat pendukungnya. Hal ini dapat dilihat dalam wujud seperti arsitektur rumah tua, kerajinan tangan, dan peninggalan budaya bendawi (tangible culture) lainnya. Wisata Sejarah menampilkan kejayaan masa lalu yang dapat dipaparkan melalui tempat-tempat menyimpan barang-barang peninggalan sejarah di museum seperti yang terdapat di Roma, Mesir, dan Inca. Wisata Lingkungan seringkali dianggap sebagai pendukung Pariwisata Etnik. Terakhir adalah Wisata Rekreasi yang menggabungkan antara pemandangan pasir, laut, serta dilengkapi dengan promosi keindahan alam yang membuat wisatawan betah berada di lokasi tersebut. Berdasarkan pengelompokan yang dibuat oleh Smith, wisata budaya merupakan bagian yang dikaji dalam penelitian ini. Apabila Smith menyampaikan bahwa yang dimaksud wisata budaya adalah hanya yang berwujud material, seolah beliau kurang mempertimbangkan wujud kebudayaan yang lain. Wujud kebudayaan terdiri atas tiga hal, yaitu atas ide/gagasan, pola perilaku, dan budaya materi atau artefak (Koentjaraningrat dalam Alfian (ed), 1985:100). Misalnya saja
di Indonesia, wayang kulit diakui UNESCO sebagai warisan budaya dunia bukan karena wujud materinya, akan tetapi karena ide dan pola pertunjukannya. Demikian pula dengan batik tulis yang mendapat pengakuan dunia bukan karena motif ataupun jenis kain yang digunakan, akan tetapi ide pembuatan batik. Hal ini juga berpengaruh pada pertunjukan tari, terutama yang memiliki sifat berasal dari kerajaan dan biasa disebut dengan Tari Klasik. Seni pertunjukan wisata yang tercatat di Jawa pertama kali dimotori oleh seorang Tionghoa bernama Gan Kam. Beliau mendirikan grup wayang orang panggung, dimana sejak 1985 setiap penonton harus membayar tiket masuk (Brandon, 1967: 47). Pendapat ini dipertegas dengan keterangan Pigeaud (1938: 123) yang menjelaskan bahwa di Jawa Tengah dan Jawa Timur sebelum tahun 1894, tidak dikenal kebiasaan membeli tiket untuk menyaksikan pertunjukan seni. Oleh karena itu, seni pertunjukan yang merupakan bagian dari industri kreatif, bukan merupakan sesuatu yang baru dikenal saat ini. Yogyakarta merupakan sebuah kota dengan berbagai macam predikat. Mulai dari Kota Pendidikan, Kota Budaya, hingga Kota Perjuangan, dan lain sebagainya. Hal yang paling dikenal di Yogyakarta hingga saat ini adalah kebudayaannya, baik yang tangible maupun intangible. Kesenian merupakan bagian dari budaya yang menonjol di Yogyakarta, terutama pada bidang seni pertunjukan. Banyak berbagai pertunjukan seni yang digelar di Kota Yogyakarta. Kegiatan seperti Gelar Seni Keraton, Gelar Budaya Nusantara, Festival Kesenian Yogyakarta, Yogyakarta Gamelan Festival, Ngayogjazz, dan Jazz Mben Senen, merupakan sebagian kecil dari event-event kesenian di Yogyakarta. Di samping itu,
masih ada upacara sakral yang mampu menjadi daya tarik wisata Yogyakarta. Upacara tersebut misalnya Upacara Grebeg, Rangkaian dan Peringatan Maulud Nabi Muhammad SAW, dan pernikahan kerajaan (Royal Wedding). Setiap hari di Yogyakarta selalu saja ada pertunjukan yang digelar dengan berbagai format dan jenisnya. Mulai dari pentas tari, karawitan, wayang, hingga pementasan band. Bahkan beberapa waktu belakagan, dalam satu hari bisa jadi ada lebih dari satu pertunjukan besar di Yogyakarta. Fungsi pertunjukan kesenian yang disajikan juga berbeda, mulai dari yang bersifat sakral hingga sebatas pertunjukan bersifat hiburan. Fungsi pertunjukan tersebut tergantung pada siapa yang meminta dan untuk acara apa. Salah satu pertunjukan yang sering dipentaskan adalah pertunjukan Tari Klasik. Meskipun Tari Klasik pada awalnya hanya disajikan di dalam tembok benteng Keraton Yogyakarta, akan tetapi di masa kemudian tarian ini menyebar di luar tembok istana. Hal tersebut bertujuan agar masyarakat umum dapat mempelajari tari yang bersumber dari Keraton Yogyakarta. Pertunjukan Tari Klasik Gaya Yogyakarta merupakan sebuah pertunjukan seni tari yang memiliki unsur gerak bergaya Yogyakarta. Tarian ini disebut juga Joged Mataraman, yaitu tarian (joged) yang memiliki nafas Mataram (Islam). Tari Klasik Gaya Yogyakarta mulai dikenalkan ke masyarakat umum dengan adanya perkumpulan Kridha Beksa Wirama pada 17 Agustus 1918 (Wibawa, 1981: 210). Pada masa pemerintahan Sri Sultan HB IX, tepatnya tahun 1977, Keraton Yogyakarta mulai membuka hubungan promosi dengan lembaga pariwisata. Pagelaran tari yang disajikan pada masa tersebut bersifat pertunjukan hiburan bagi para wisatawan dan tamu kerajaan (Hadi, 2007: 61). Hubungan promosi tersebut
kemungkinan untuk meningkatkan kunjungan wisata di keraton Yogyakarta, karena Hughes (2008: 324) menyatakan bahwa kantor pariwisata Keraton Yogyakarta sudah berdiri sejak tahun 1969. Pertunjukan Tari Klasik di masa kini, banyak dijumpai pada beberapa lokasi di Yogyakarta. Bentuk penyajian Tari Klasik tidak hanya bersumber pada pola gerak gaya Yogyakarta, akan tetapi juga gaya Surakarta. Perkembangan Tari Klasik Gaya Surakarta di Yogyakarta bertolak belakang dengan sedikitnya pertunjukan Tari Klasik Gaya Yogyakarta yang ada di Surakarta. Hal ini dikarenakan Yogyakarta memiliki lebih banyak titik pertunjukan yang dapat ‘menjual’ seni pertunjukan – dalam hal ini terutama – Tari Klasik. Pasar pertunjukan di Yogyakarta juga lebih beragam dan memiliki jumlah yang banyak. Setiap pertunjukan yang diadakan di Yogyakarta sudah memiliki pasar masing-masing. Bertumbuh pesatnya hotel di Yogyakarta juga mempengaruhi intensitas pertunjukan Tari Klasik di Yogyakarta, dengan adanya pertunjukan tari yang diselenggarakan pada lokasi tersebut. Dengan bermodalkan kaset, flash disk (FD) atau compact disk (CD) tanpa iringan musik langsung (live), pertunjukan tari sudah dapat diselenggarakan di hotel-hotel. Demikian pula dengan pertunjukan karawitan dengan hanya 5 niyaga (penabuh gamelan), sudah dapat disebut sebagai pentas karawitan dan dianggap ‘sah’. Beberapa hotel bahkan hanya menyajikan pertunjukan 3 alat karawitan dan menyebut apa yang disajikan sudah merupakan pertunjukan karawitan. Padahal bentuk seni karawitan seperti itu lebih tepat disebut cokekan. Hal ini tentunya dipengaruhi oleh berbagai macam faktor, sehingga kegiatan yang minim pemain tersebut, dianggap wajar oleh penyelenggara, tamu,
bahkan oleh pelaku seni sendiri. Adapula beberapa lokasi yang menyajikan pertunjukan seni untuk pariwisata yang penyajiannya tidak utuh, bahkan ada pula yang asal pentas. Seperti misal pertunjukan Ramayana di Panggung Terbuka maupun Panggung Tertutup Prambanan, dan pertunjukan Ramayana di Purawisata. Lakon Ramayana yang apabila dilakukan secara lengkap membutuhkan waktu tidak kurang dari tiga malam, hanya dilaksanakan dalam waktu 1,5 – 3 jam. Sehingga ada banyak bagian yang dipersingkat dan dibuang. Adapula pementasan Ramayana yang dipadukan dengan Barongsai dan disajikan untuk wisatawan di salah satu hotel bintang lima di Yogyakarta, hanya untuk menarik minat wisatawan. Pertunjukan Wayang Kulit semalam suntuk, dapat diolah sedemikian rupa untuk kepentingan pariwisata, sehingga hanya membutuhkan waktu 2 jam untuk pertunjukannya, atau menyesuaikan dengan permintaan. Pengaruh pariwisata terhadap kesenian pada kenyataannya sudah masuk ke dalam Keraton Yogyakarta dan kaum bangsawan kerajaan. Rumah-rumah pangeran atau Dalem Kepangeranan yang notabene milik kerabat Keraton Yogyakarta, juga terpengaruh oleh adanya pariwisata. Dalem Kepangeranan tersebut pada masa kini memiliki pertunjukan seni, khususnya tari dan karawitan, yang diselenggarakan khusus untuk wisatawan. Durasi pertunjukan pada umumnya cukup singkat, yaitu antara 45-60 menit, dan menampilkan beberapa tarian. Dalem Kepangeranan yang saat ini masih mengadakan kegiatan pertunjukan untuk wisatawan adalah Dalem Kaneman. Ada juga Dalem Suryowijayan yang juga mulai melaksanakan kegiatan serupa. Kedua Dalem itu menyelenggarakan pertunjukan tari untuk kepentingan
pariwisata, bekerjasama dengan travel agent. Berbeda dengan kedua Dalem di atas, ada pula Dalem Pujokusuman yang saat ini sudah tidak menyelenggarakan pertunjukan dan dinner untuk wisatawan. Kegiatan dinner di Dalem Pujokusuman yang mulai semenjak akhir 1970-an. Kegiatan dinner untuk wisatawan di lokasi tersebut menjadi primadona di jamannya, bahkan ditiru oleh beberapa dalem atau hotel dan restoran yang menyajikan pertunjukan seni untuk wisatawan. Akan tetapi semenjak beberapa tahun yang lalu, kegiatan dinner dan pementasan untuk kemasan wisata di Dalem Pujokusuman sudah tidak ada. Hal ini salah satunya disebabkan karena Rama Sas, pendukung utama yang notabene pimpinan di lokasi tersebut, sudah meninggal. Di samping itu, pada masa kini ada kecenderungan bagi para pendukung pementasan untuk lebih banyak pentas di luar Dalem Pujokusuman. Berdirinya kantor pariwisata di Keraton Yogyakarta pada tahun 1969 (Huges, 2008: 234) ikut mempengaruhi pola pertunjukan Tari Klasik yang disajikan. Kita dapat melihat setiap hari Minggu mulai pukul 10.30-12.30 WIB, berbagai macam sajian Tari Klasik ditampilkan pada agenda “Pentas Rutin Mingguan Keraton”. Sajian yang ditawarkanpun sudah menyesuaikan dengan kepentingan pasar. Pengisi acara pada kegiatan tersebut berasal dari sanggar atau perkumpulan kesenian yang ada di Yogyakarta dan sekitarnya. Para pengisi acara tersebut sudah memiliki jadwal pentas yang diatur oleh pihak penyelenggara dari Tepas Pariwisata Keraton Yogyakarta. Durasi pertunjukan yang hanya 2 jam membuat pengisi acara harus mengikuti selera pasar. Hal tersebut karena orangorang yang menonton pertunjukan tersebut adalah wisatawan yang berkunjung ke
Keraton Yogyakarta. Durasi yang singkat ini ‘memaksa’ pengisi acara untuk menyajikan tariantarian yang singkat dan terkadang ada bagian yang hilang. Bentuk sajian tarian baru juga bermunculan menyesuaikan dengan durasi, meskipun tarian tersebut disajikan di dalam kompleks Keraton Yogyakarta. Bahkan ada beberapa sajian pertunjukan yang merupakan hasil improvisasi (kreativitas) sebelum pementasan. Meskipun demikian, beberapa kelompok pengisi pementasan masih mempertahankan keklasikan tariannya, akan tetapi merekapun sudah terpengaruh oleh pasar secara tidak langsung. Hal tersebut dapat terlihat dari beberapa sajian tari yang dipersingkat, menyesuaikan dengan durasi yang diberikan oleh penyelenggara. Misalnya memunculkan pementasan berupa fragmen yang dipersingkat. Berbagai pertanyaan bermunculan mengenai “apakah Tari Klasik masih klasik?” Hal ini ini disebabkan banyaknya produk pementasan yang lebih mementingkan pasar dibandingkan nilai ke-“klasikan”-nya. Ada pula anggapan “sing nonton ora ngerti” (yang menyaksikan tidak tahu) yang biasa disampaikan sebelum pementasan, menjadi catatan tersendiri. Pola gerak Tari Klasik di Yogyakarta
mengalami
perubahan
menyesuaikan
dengan
pasar.
Lokasi
penyelenggaraan tidak terlalu dipentingkan, karena yang lebih penting adalah adanya sajian pertunjukannya. Berbagai macam lokasi di Yogyakarta mulai menawarkan pertunjukan Tari Klasik yang bersifat komersial. Hal ini berkaitan dengan maraknya kegiatan pariwisata membuat berbagai macam lokasi di Yogyakarta menyuguhkan pertunjukan Tari Klasik, akan tetapi permasalahan terjadi ketika kualitas penari menjadi kurang diperhatikan.
Kehadiran wisata MICE (Meeting, Invcentive, Convention, and Exhibition) yang mulai marak di Yogyakarta juga memiliki andil dalam merubah nilai pertunjukan Tari Klasik. Jenis wisata MICE merupakan usaha jasa pelayanan bagi suatu pertemuan sekelompok orang untuk membahas masalah-masalah yang berkaitan dengan kepentingan bersama (Pendit, 1999:25). Kegiatan seperti seminar, sarasehan, temu alumi, merupakan beberapa kegiatan MICE yang sering membutuhkan sajian Tari Klasik. Pada kegiatan semacam itu, beberapa penyelenggara menginginkan sajian tarian yang klasik akan tetapi yang atraktif dan ada interaksi dengan penonton. Padahal dalam Tari Klasik Gaya Yogyakarta sangat jarang atau bahkan tidak ada interaksi secara langsung (lahiriah) dengan penonton, kecuali bagian gara-gara pada Wayang Wong. Dengan demikian, pihak penyaji pada umumnya akan membuat tarian “klasik” tersebut dalam bentuk garapan yang baru agar sesuai dengan keinginan penyelenggara dan daya kreativitas penyaji. Munculnya
pariwisata
membentuk
adanya
biro
perjalanan
dan
menghadirkan wisatawan yang memiliki permintaan dalam setiap kegiatannya. Hal ini berlaku pula pada permintaan untuk pertunjukan seni bagi wisatawan. Permintaan yang diajukan tersebut pada umumnya karena adanya keterbatasan waktu para wisatawan, sehingga pihak biro perjalanan dapat meminta pelaku seni untuk memadatkan durasi pertunjukan dengan tidak mengurangi inti cerita. Beberapa sajian tari yang terpaksa menyajikan tarian yang sudah dipadatkan baik secara durasi maupun pola pertunjukannya. Oleh karena itu, pembatasan tersebut secara langsung merubah ke-‘asli’-an pertunjukannya. Perubahan tersebut akan mempengaruhi dan menghilangkan beberapa nilai yang terkandung di dalam
pertunjukannya. Akan tetapi, hal ini kurang atau bahkan tidak diperhatikan oleh biro perjalanan maupun wisatawan. Kurangnya perhatian tersebut bisa jadi karena bukan ranah mereka. Kemunculan Dana Keistimewaan (dana-is), sedikit banyak juga ikut mempengaruhi perkembangan Tari Klasik di Yogyakarta. Banyak warga, komunitas, maupun lembaga yang berbondong-bondong mengajukan dana-is. Sebagian dari mereka mengajukan proposal untuk memperoleh dana-is yang akan digunakan untuk membuat Kampung Wisata (penyebutan di tingkat Kotamadya) ataupun Desa Wisata (tingkat Kabupaten). Salah satu kegunaan dana tersebut adalah menyelenggarakan pementasan seni yang melibatkan Tari Klasik di dalamnya. Oleh karena masyarakat berbondong-bondong mengajukan dana-is dan bentuk sajiannya serupa, maka muncul pertunjukan Tari Klasik yang digarap dan digunakan untuk kepentingan Kampung Wisata. Ironisnya, beberapa sajian terkesan asal-asalan dan hanya untuk memenuhi formalitas administrasi. Kehadiran pariwisata dan pengaruhnya terhadap pertunjukan Tari Klasik di Yogyakarta tentunya memiliki dampak positif dan negatif. Kreativitas seniman dalam menggarap sajian pertunjukan untuk pariwisata juga berpotensi menimbulkan kedua dampak yang saling bertentangan tersebut. Oleh karena itu, penelitian ini menjadi penting untuk diteliti dan diselesaikan. Hal tersebut karena penelitian ini akan menyumbangkan saran-saran untuk pengembangan kesenian khususnya kesenian secara umum dan Tari Klasik Gaya Yogyakarta secara khusus, berkaitan dengan industri pariwisata. Di samping itu, penelitian ini diharapkan mampu memunculkan teori-teori baru, sebagai pelengkap teori yang sudah ada,
yang berhubungan dengan pertunjukan seni untuk pariwisata khususnya berhubungan dengan Tari Klasik Gaya Yogyakarta. B. RUMUSAN MASALAH, TUJUAN, DAN MANFAAT PENELITIAN Pertunjukkan Tari Klasik di Yogyakarta memiliki keunikan dibandingkan dengan di lokasi lain. Terlebih apabila pertunjukan tersebut dihubungkan dengan kegiatan pariwisata. Beberapa rumusan permasalahan yang diteliti adalah sebagai berikut: 1. Bagaimanakah pariwisata terhadap pertunjukan Tari Klasik pada beberapa lokasi yang menyajikan pertunjukan seni untuk kepentingan wisata di Yogyakarta? 2. Apa saja keterlibatan masyarakat pendukung terhadap pertunjukan Tari Klasik untuk kepentingan pariwisata pada lokasi penelitian? Adapun tujuan dari penelitian ini adalah: 1. Menemukan faktor-faktor yang menyebabkan perubahan pola pertunjukan Tari Klasik di Yogyakarta berkaitan dengan pariwisata. 2. Mendapatkan hasil analisis dampak budaya dalam pariwisata terhadap pola pertunjukan Tari Klasik di Yogyakarta. Penelitian yang dilakukan memiliki beberapa manfaat, yaitu sebagai berikut: 1. Memberikan gambaran utuh mengenai bentuk pertunjukan, atribut, dan makna pertunjukan Tari Klasik di Yogyakarta.
2. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi faktor pendorong untuk melestarikan dan mengembangkan pertunjukan Tari Klasik di Yogyakarta. 3. Mampu merumuskan dan mengkaji kembali hubungan antara pariwisata dan seni Tari Klasik di Yogyakarta. C. TINJAUAN PUSTAKA Tinjauan pustaka merupakan bagian yang memuat teori-teori mengenai permasalahan yang diteliti atau yang memiliki keterkaitan, baik secara langsung maupun tidak langsung. Tinjauan pustaka juga memuat hasil-hasil penelitian terdahulu, yang mendorong perlunya permasalahan penelitian diteliti (Wardiyanta, 2010: 90). Pustaka yang menjadi kajian pada penelitian ini berkaitan dengan dampak pariwisata yang sudah pernah diteliti dan dipublikasikan. Pustaka tersebut berkaitan dengan dampak pariwsata terhadap kebudayaan pada umumnya dan terhadap kesenian pada khususnya. Dampak pariwsata terhadap kehidupan sosial dan budaya masyarakat kiranya telah menjadi fokus banyak peneliti. Cooper (2005: 239-242) dalam Tourism Principles and Practice third edition, menyebutkan bahwa pariwisata memiliki dampak memunculkan lokalisasi, kriminalitas, dan berdampak pula pada kesehatan. Anggapan Cooper tersebut diperkuat dengan artikel Authenticity and Commoditization in Tourism yang ditulis oleh Cohen (1988), menyebutkan pariwisata budaya berdampak pada komodifikasi, otentisitas penjadwalan, standarisasi, dan pengalaman wisata yang baru (alien cultural experience of
tourism). Dengan demikian pariwisata memiliki dampak positif maupun negatif terhadap masyarakat yang menjadi tuan rumah (host). Pariwisata bukanlah satu-satunya faktor yang membuat kehidupan sosialbudaya masyarakat berubah, meskipun banyak yang sudah berubah akibat kegiatan pariwisata. Martin dalam Pitana (2005: 116) menyatakan bahwa perubahan sosialbudaya dalam pariwisata terjadi sebagai akibat kedatangan wisatawan. Ada tiga asumsi yang disampaikan Martin , yaitu 1) perubahan dibawa akibat instruksi dari luar, 2) perubahan tersebut pada umumnya menghancurkan budaya lokal, dan 3) perubahan tersebut akan membawa pada homogenitas budaya, sehingga identitas lokal akan tergerus sistem industri teknologi barat, birokrasi, konsumerisme, dan jet-age lifestyle. Pendapat ini bertentangan dengan asumsi Douglas dan Douglas (1996: 49), yang menyatakan bahwa perubahan yang terjadi tidak semata-mata dikarenakan hadirnya pariwisata. Studi mengenai dampak budaya dalam pariwisata bukanlah hal yang baru. Banyak buku yang meneliti dan menerangkan tentang hal tersebut di Indonesia. Demikian pula studi mengenai seni pertunjukan yang ada di Indonesia, khususnya di Yogyakarta dan sekitarnya. Soedarsono (1999: 33) menyebutkan seni untuk pariwisata harus memiliki lima sifat, yaitu tiruan aslinya, singkat dan padat, penuh variasi, murah harganya, serta menanggalkan nilai-nilai sakral dan magis. Apabila kita lihat bersama, kedua sifat yang disebutkan Soedarsono (murah harganya dan menanggalkan nilai sakral) akan memunculkan dilema dalam masyarakat. Dilema tersebut terutama pada hal yang menyatakan bahwa seni pertunjukan untuk pariwisata murah harganya.
Dampak sosial dan budaya terhadap hasil dari kegiatan pariwisata juga pernah dibahas oleh para peneliti. Pada tahun 1988, sejumlah peneliti yang tergabung dalam kelompok The Group for Anthropology in Policy and Practice (GAPP) menyelenggarakan konferensi bertema “First Conference on Anthropology of Tourism” di London. Pada waktu itu delapan belas karya dipresentasikan, oleh peneliti yang berasal dari tujuh negara dalam sepuluh sesi mengenai Third World Tourism (Din, 1988). Dampak sosial budaya yang negatif dapat dikurangi apabila pertumbuhan fasilitas pariwisata tidak terlalu pesat pernah pula ditulis oleh Spillane (1994: 34). Hal yang dikemukakan Spillane berkaitan dengan pembatasan interaksi antara masyarakat dengan wisatawan (pendatang), agar pencampuran budaya yang terjadi tidak terlalu cepat. Tillotson (1998) menyatakan ada kecenderungan bahwa wisata budaya seringkali merusak kebudayaan sehingga tujuannya jadi rancu. Beliau bahkan sudah menyebutkan secara jelas di dalam judul artikelnya, yaitu “’Cultural Tourism’ or Cultural Destruction?” Di dalam artikel tersebut Tillotson meyatakan bahwa kegiatan pariwisata di Jaipur, India, yang awalnya mengangkat kebudayaan lokal, pada masa berikutnya justru mengaburkan nilai budaya yang ada di lokasi tersebut. Hal ini juga berlaku pada seni pertunjukan wisata yang seringkali nilainya kabur oleh kebutuhan praktek kegiatan wisata. Figuelora dalam Pearce (1989: 218) menyatakan enam kategori dampak sosial-budaya dalam pariwisata. Yaitu dampak demografi, bentuk dan tipe mata pencaharian, transformasi nilai, pengaruh gaya hidup tradisional, modifikasi pola konsumsi, dan keuntungan bagi wisatawan. Sementara Pizam dan Milman (1984),
membagi klasifikasi dampak sosial-budaya dalam pariwisata menjadi enam bagian. Keenam dampak tersebut adalah aspek demografis, mata pencaharian, aspek budaya (seperti tradisi, agama, dan bahasa), transformasi norma, modifikasi pola konsumsi, dan dampak terhadap lingkungan. Picard (2006: 205-206) mengambil contoh kegiatan pariwisata di Bali yang menampilkan atraksi wisata. Pada kenyataannya, Picard menyampaikan bahwa sangat jarang wisatawan yang menyaksikan pertunjukan asli yang dilakukan sebagai wujud budaya di Bali. Hampir semua wujud seni pertunjukan maupun upacara yang disaksikan oleh wisatawan, memang merupakan sajian yang khusus disajikan untuk wisatawan tersebut.
Dengan demikian kegiatan pertunjukan
kesenian yang ada di Bali sengaja sudah dibuat sedemikian rupa agar tepat dan cocok dengan keinginan dan waktu yang dimiliki oleh para wisatawan. Artinya ada berbagai macam nilai yang hilang dari pertunjukan aslinya. Yoeti (2008: 169) menyatakan bahwa pertunjukan yang bersifat futuristik memiliki dampak ganda baik bagi penyelenggara maupun masyarakat sekitar yang terlibat. Pertunjukan futuristik yang dimaksudkan oleh Yoeti merupakan sajiansajian pertunjukan yang disajikan demi memenuhi kepentingan pariwisata. Yoeti memberikan contoh bahwa di Bali, wisatawan yang datang dari bandara akan langsung disuguhi pertunjukan seni, bahkan pertunjukan yang disajikan wisatawan bisa lebih dari sekali dalam satu hari. Pertunjukan seni di Bali tersebut berpengaruh pada mata pencaharian penduduk. Misal penduduk yang sebelumnya bergantung pada sawah, sekarang meninggalkan pekerjaan mereka sebelumnya dan bergantung pada sektor pariwisata.
Dampak pariwisata terhadap pola pertunjukan tari juga mulai diminati oleh peneliti. Kuswarsantyo (2013), dalam disertasi berjudul “Perkembangan Seni Kerakyatan Jathilan di Daerah Istimewa Yogyakarta dalam Era Industri Pariwisata” menjelaskan secara rinci perubahan-perubahan dalam seni jathilan sebagai dampak pariwisata. Kuswarsantyo membagi pertunjukan jathilan sesuai dengan fungsinya, termasuk di antaranya adalah sebagai sarana pertunjuak wisata. Soedarsono (1989) dalam “Seni Pertunjukan Jawa Tradisional dan Pariwisata di Daerah Istimewa Yogyakarta”, menjelaskan dengan cukup rinci antara hubungan pariwisata dengan kesenian tradisional di Daerah Istimewa Yogyakarta. Penulis yang sama, menyatakan ada lima sifat pertunjukan untuk kepentingan pariwisata (Soedarsono, 2002: 273) yaitu, tiruan aslinya; singkat atau padat; dikesampingkan nilai-nilai sakral, magis, dan simbolisnya; variatif; menarik; dan murah harganya menurut ukuran isi dompet wisatawan. Akan tetapi, pendapat Soedarsono tersebut masih dapat diperdebatkan untuk memperoleh formula teori yang lebih tepat. Kemunculan pertunjukan seni untuk pariwisata didukung oleh pendapat Maquet seperti dikutip Soedarsono (1999: 3), yang menyatakan bahwa adanya kesenian tradisional dan hadirnya industri pariwisata akan memunculkan kemasan seni yang disebut art by metamorphosis (seni yang mengalami perubahan bentuk), art by acculturation (seni akulturasi), pseudo- traditional art (seni pseudotradisional), atau tourist art (seni wisata). Penelitian mengenai dampak pariwisata terhadap Tari Klasik Gaya Yogyakarta pernah dibuat oleh Kuswarsantyo (1996), dalam thesis Perkembangan
Tari Jawa di Yogyakarta Menghadapi Tantangan Industri Pariwisata. Beliau menggunakan teori Soedarsono mengenai paket pertunjukan seni untuk pariwisata sebagai patokan dalam penelitian. Ada delapan lokasi pertunjukan wisata yang beliau teliti, yaitu Bangsal Srimanganti Keraton Yogyakarta, Panggung Terbuka Prambanan, Panggung Tertutup Prambanan, Dalem Pujokusuman, Purawisata, Dalem Kaneman, Hotel Ambarukmo, dan Restoran Lotus Yogyakarta. Pengamatan yang dilakukan dalam penelitian tersebut berupa pengamatan umum dan khusus. Kayam (1983:134)
meyatakan bahwa seni yang disajikan sebagai
pertunjukan tontonan harus memiliki unsur yang mendukung penyajiannya, Unsurunsur tersebut adalah apik, inovatif, glamor, dan spektakuler. Apik berkaitan dengan pertunjukan yang baik, menyenangkan, dan menghibur. Inovatif berarti pertunjukan yang disajikan memiliki unsur kreativitas yang tinggi, orisinal, unik, dan dinamis. Glamor atau gemerlap dimaksudkan agar seni pertunjukan yang disajikan megah (penyajian dan panggungnya), berkilau (kostum dan tata lampu). Spektakuler berarti pertunjukan tersebut penuh kejutan, mampu menarik perhatian dan memiliki kesan mendalam bagi yang menyaksikan, serta tidak membosankan. Kelembagaan tari sebagai lembaga produksi untuk pariwisata sudah pernah ditulis oleh Lies (2013: 300-301). Kelembagaan seni tari sebagai bagian dari pariwisata mendorong terjadinya pariwisata kreatif yang memiliki empat manfaat. Keempat manfaat
kelembagaan
tersebut
adalah (1) menghasilkan dan
mengembangkan jenis-jenis seni atau tari untuk wisata; (2) salah satu elemen kekuatan dalam menciptakan industri pariwisata; (3) pendorong keberadaan kelembagaan pariwisata; dan (4) memberikan jasa hiburan berupa tontonan yang
bersifat rekreatif, kesenangan, dan dapat meningkatkan kenyamanan sehingga lama tinggal (lenght of stay) akan lebih lama. Sebagian besar publikasi mengenai Tari Klasik selama ini hanya sebatas pola pertunjukan dan makna, baik gaya Yogyakarta maupun Surakarta. Sebagian besar dari peneliti hanya melihat seni Tari Klasik berdasarkan kacamata seni pertunjukan, sedangkan hanya sedikit yang melihat hubungannya dengan pariwisata sebagai industri. Berdasarkan kacamata pariwisata, belum ada penelitian yang membahas dampak budaya dalam pariwisata terhadap seni pertunjukan Tari Klasik dan memberikan saran untuk pengembangan atau kegiatan ke depan baik bagi Tari Klasik sendiri dan masyarakat pendukungnya. Oleh karena itu dibutuhkan sebuah kajian dampak kegiatan pariwisata terhadap kebudayaan, terutama Tari Klasik di Yogyakarta. D. Kerangka Teori 1. Sistem Pariwisata Pariwisata merupakan pergerakan sementara menuju suatu daerah tujuan yang berada di luar wilayah kerja dan tempat tinggal berupa kegiatan yang dilakukan selama berada dalam di lokasi daerah tujuan (Mathieson dan Wall, 1989). Mc Intosh dan Goeldner (1995) menyatakan bahwa pariwisata merupakan gabungan dari berbagai fenomena dan hubungan yang terkait dan tercipta dari interaksi antara wisatawan, penyedia bisnis, pemerintah setempat, dan penduduk lokal dalam proses menghibur serta menyambut wisatawan ataupun para pendatang lainnya.
Menurut UU no 10 tahun 2009 tentang pariwisata, yang dimaksud dengan pariwisata adalah berbagai macam kegiatan wisata dan didukung berbagai fasilitas serta layanan yang disediakan oleh masyarakat, pengusaha, pemerintah pusat, dan pemerintah daerah. UU yang sama juga menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan wisata adalah kegiatan yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang dengan mengunjungi tempat tertentu untuk tujuan rekreasi, pengembangan pribadi, atau mempelajari keunikan daya tarik wisata yang dikunjungi dalam jangka waktu sementara. Wisatawan, merupakan orang yang melakukan kegiatan wisata (UU no 10 tahun 2009 Tentang Pariwisata). Kegiatan pariwisata dapat dikategorikan menjadi beberapa jenis. Kategori tersebut dibagi berdasarkan tujuan kedatangan wisatawan ke sebuah destinasi maupun ODTW. Spillane menyatakan jenis-jenis pariwisata dibagi menjadi enam kategori, yaitu pariwisata untuk menikmati perjalanan (pleasure tourism), pariwisata rekreasi (recreation tourism), pariwisata budaya (cultural tourism), pariwisata olahraga (sport tourism), pariwisata untuk perjalanan bisnis atau perdagangan (business tourism), dan pariwisata konvensi (convention tourism) (Splillane, 1987). Keenam jenis ini memiliki fungsi yang sesuai dengan tujuan masing-masing wisatawan. Pariwisata untuk menikmati perjalanan (pelasure tourism) adalah bentuk pariwisata yang dilakukan dengan cara meninggalkan tempat asal untuk berlibur dan bersenang-senang. Pariwisata rekreasi (recreation tourism) dilakukan dengan cara berlibur untuk memulihkan kesegaran jasmani dan rohani. Pariwisata budaya (cultural tourism) dilakukan dengan cara mengunjungi dan mempelajari segala
sesuatu yang berkaitan dengan budaya baik yang berwujud materi, ide, maupun gagasan. Pariwisata Olahraga (sport tourism) dilakukan dengan cara melakukan kegiatan olahraga secara langsung, maupun menyaksikan kegiatan olahraga. Pariwisata dagang (business tourism) dilakukan untuk keperluan bisnis atau dagang. Pariwisata konvensi (convention tourism) adalah kegiatan pariwisata yang dilakukan untuk menghadiri konvensi atau konferensi. Mengenai motivasi wisatawan, Murphy menyatakan bahwa perjalanan wisata mengalami evolusi apabila dilihat dari motivasinya. Sedikitnya ada empat proses evolusi yang membuat perubahan motivasi bagi wisatawan. Pertama adalah pada masa pre-industri, motivasi wisatawan terdiri atas keinginan untuk eksplorasi, ziarah (keagamaan), pendidikan, dan kesehatan. Kedua, masa industri yang ditandai dengan keinginan untuk mendapatkan dampak positif dalam pendidikan, pengaruh media massa, melarikan diri dari kejenuhan harian di kota, dan mengunjungi negara jajahan. Ketiga adalah masa masyarakat konsumer, yang ditandai dengan besarnya pengaruh media massa visual (berita-berita atau liputan di televisi maupun media online) dan melarikan diri dari rutinitas. Keempat adalah evolusi melakukan perjalanan di masa depan, yang ditandai dengan adanya motivasi untuk mendapatkan libur sebagai hak dan kebutuhan, serta kombinasi motivasi bisnis dan belajar (Murphy, 1985: 22). Salah satu keunggulan pariwisata di Yogyakarta adalah wisata berbasis pada budaya, baik berwujud material maupun ide dan pola perilaku. Sunaryo (2013), menjelaskan bahwa daya tarik wisata budaya dikembangkan dan berbasis pada hasil karya manusia. Daya tarik tersebut dapat berwujud bendawi maupun yang berwujud
ide dan pola perilaku. Wisata budaya juga memiliki daya tarik baik berupa peninggalan budaya (situs / heritage) berupa bangunan, kawasan, struktur, museum, desa tradisional, maupun karya teknologi. Daya tarik lainnya berwujud nilai budaya yang masih ada atau biasa disebut living culture, seperti upacara adat, adat-istiadat, seni pertunjukan tradisional, sistem mata pencaharian, dan kebiasaan sehari-hari masyarakat. Pendit (1994), menyatakan bahwa wisata budaya adalah perjalanan wisata yang didasari keinginan untuk memperluas pandangan seseorang dengan mengadakan kunjungan ke tempat lain, dan terlibat dalam kegiatan mempelajari keadaan, kebiasaan, adat istiadat, cara hidup, kebudayaan, dan kesenian setempat. Dengan demikian wisata budaya tidak sekedar bersenang-senang tanpa tujuan. Akan tetapi wisata budaya juga memiliki tujuan mempelajari dan mengalami secara langsung kebudayaan atau kebiasaan yang dilakukan oleh orang lain. Wisatawan yang melakukan kegiatan wisata ini memiliki harapan dan kemauan untuk mempelajari hal-hal yang baru berkaitan dengan nilai budaya di lokasi yang baru. Cara belajar yang dilakukanpun berbeda dengan kegiatan wisata yang sifatnya hanya sekedar sebagai sarana refreshing. Inskeep (1991: 76-90), menyatakan bahwa ada beberapa tipe atraksi dan aktivitas wisata. Tipe tersebut dibagi dalam atraksi alam, atraksi budaya, atraksi buatan. Atraksi alam terbagi menjadi 1) iklim, 2) keindahan alam, 3) area pantai dan bahari, 4) flora dan fauna, 5) lingkungan alam khusus, 6) taman dan kawasan konservasi, serta 7) wisata kesehatan. Atraksi budaya terbagi menjadi 1) situs arkeologis, sejarah, dan budaya, 2) pola budaya yang khas 3) seni dan kerajinan, 4)
kegiatan ekonomi yang menarik, 5) kawasan urban yang menarik, 6) museum dan fasilitas budaya, 7) festival budaya, serta 8) keramah-tamahan. Atraksi buatan atau minat khusus, berkaitan dengan 1) taman bermain dan sirkus, 2) kegiatan belanja, 3) wisata MICE, 4) kegiatan khusus, 5) kasino atau lokasi perjudian, 6) wisata hiburan, serta 7) rekreasi dan olahraga. Di samping ketiga jenis atraksi tersebut, masih ditambah dengan satu tipe lagi yaitu fasilitas dan layanan pariwisata sebagai atraksi, yang kegiatannya dibagi dalam 1) hotel dan resort, 2) transportasi, dan 3) masakan atau kuliner. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), wisata budaya adalah kegiatan perjalanan wisata yang dilakukan untuk mengenali hasil kebudayaan setempat. Kebudayaan setempat yang dieksplorasi tercermin dalam tiga wujud kebudayaan, yaitu ide/gagasan, pola perilaku, dan budaya materi. Wujud kebudayaan berupa ide masih banyak dijumpai di masyarakat setempat. Hal ini tercermin misalnya dalam proses pembuatan wayang dan batik. Wujud kebudayaan berupa pola perilaku yang dapat menjadi daya tarik wisata budaya terutama berhubungan dengan adat istiadat dan kebiasaan setempat. Misalnya upacara adat, kegiatan sehari-hari, kegiatan bersih desa, kirab budaya, dan kesenian tradisional. Wisata budaya menawarkan atraksi utama berupa wujud materi sudah banyak ditemukan di Indonesia. Wujud materi (artefak) yang sudah dijadikan sebagai daya tarik wisata budaya adalah bangunan-bangunan kuno seperti misalnya candi, keraton, petilasan, makam, dan taman. Candi Borobudur, Prambanan, dan Keraton Yogyakarta merupakan bagian dari wujud materi dalam kebudayaan yang dijadikan lokasi
wisata budaya. Meskipun pada perkembangannya orang yang datang ke ketiga lokasi tersebut hanya memenuhi tugas dari instansi atau lembaga tertentu. Di samping itu, masih banyak terdapat wujud materi yang dapat dijadikan daya tarik wisata, yang mana terdapat di sekitar masyarakat. Wujud yang seperti ini misalnya berupa punden, batu kuno, tuk (mata air), dan sendang (pemandian). Pada tahap wisata budaya, pengelolaannya dikembalikan lagi ke masyarakat yang akan merencanakan dan sebagai pengelola. Akan tetapi pada kenyataannya, lokasi wisata budaya yang banyak mendatangkan keuntungan tidak terlalu memperdulikan keberlanjutan atau pengulangan kegiatan wisatanya. Ketika pariwisata menjadi andalan peningkatan ekonomi, maka kegiatannya akan banyak mengacu pada kebudayaan di mana masyarakat menjadi operatornya (Prasiasa, 2013: 89). Dengan demikian, terlihat benar bagaimana peran serta masyarakat dalam menjadi pengelola kegiatan pariwisata berbasis komunitas. Di samping itu, kebudayaan menjadi daya tarik unggulan karena melekat langsung pada masyarakat. Salah satu kegiatan masyarakat yang berkaitan dengan budaya adalah kegiatan kesenian. Tentunya bentuk kesenian di tiap wilayah berbeda-beda. Oleh karena itu, perlakuan pada pada tiap destinasi akan berbeda sesuai dengan kearifan lokal di dalamnya. Sehingga dengan demikian masing-masing lokasi memiliki ciri tersendiri yang menampakkan nilai yang heterogen, bukan memunculkan homogenitas.
2. Dampak Budaya dalam Pariwisata Salah satu alasan dampak pariwisata terjadi, disebabkan adanya motif yang berbeda pada masing-masing wisatawan. Splillane (1987: 29-31) menyatakan ada enam motif yang menyebabkan terjadinya tujuan perjalanan wisata. Keenam motif tersebut adalah pariwisata untuk menikmati perjalanan (pleasure torusim), wisata rekreasi (recreation tourism), wisata budaya (cultural tourism), wisata olahraga (sport tourism), wisata untuk urusan dagang (business tourism), dan wisata konvensi (convention tourism). Macintosh (1972) menyatakan empat motivasi manusia melakukan perjalanan wisata, yaitu motivasi fisik, kultural, personal, dan meningkatkan status atau prestige. Berdasarkan maksud bepergiannya, Wahab (1976: 6-7) menyatakan bahwa pariwisata budaya merupakan bentuk pariwisata berdasarkan maksud bepergian. Kegiatan yang lain yang masuk dalam kategori pariwisata berdasarkan maksud bepergian adalah pariwisata rekreasi, kesehatan, olahraga, dan konvensi. Pariwisata budaya berfungsi untuk memperkaya informasi dan pengetahuan tentang negara atau wilayah lain untuk memuaskan kebutuhan hiburan. Beberapa kegiatan dalam pariwisata budaya menurut Wahab tersebut adalah pameran, perayaan adat, serta kunjungan ke lokasi cagar alam dan cagar budaya. Pitana dan Gayatri (2005: 109) menyatakan ada tiga dampak utama pariwisata. Ketiganya adalah dampak ekonomi, sosial-budaya, dan lingkungan. Dampak ekonomi sudah sangat jelas akan mempengaruhi tingkat pendapatan ekonomi seseorang, kelompok, atau wilayah tertentu. Dampak sosial-budaya
dijadikan satu karena keduanya tidak dapat dipisahkan dan saling terkait (periksa Mathieson dan Wall, 1982: 37). Dampak lingkungan yang dimaksud adalah kegiatan pariwisata yang mempengaruhi lingkungan fisik. Ketiga dampak tersebut sering menjadi pokok bahasan utama, meskipun di antaranya masih ada dampak politik akan tetapi bukan menjadi topik yang sering dibahas dan diteliti. Cohen (1984), mengelompokkan dampak sosial-budaya dalam pariwisata menjadi sepuluh kelompok, yaitu dampak terhadap (1) keterkaitan dan keterlibatan antara masyarakat setempat dengan masyarakat yang lebih luas, termasuk tingkat ekonomi dan ketergantungannya; (2) Hubungan interpersonal antara anggota masyarakat; (3) Dasar-dasar organisasi/kelembagaan sosial; (4) migrasi dari dan ke daerah tujuan wisata; (5) irama kehidupan sosial masyarakat; (6) pola pembagian kerja; (7) stratifikasi dan mobilitas sosial; (8) distribusi pengaruh dan kekuasaan; (9) meningkatnya penyimpangan-penyimpangan sosial; dan (10) dampak terhadap kesenian dan adat istiadat. Dampak budaya dalam pariwisata terjadi karena ada faktor yang mengakibatkan. Pitana (1999), menyebutkan ada 13 faktor yang menyebabkan dampak sosial-budaya dalam pariwisata, yaitu (1) Perbandingan jumlah wisatawan terhadap penduduk lokal; (2) Objek dominan yang menjadi sajian wisata dan kebutuhan wisatawan terkait dengan sajian tersebut; (3) Bentuk-bentuk atraksi yang disajikan (alam, budaya, maupun bentuk lain); (4) Struktur dan organisasi kepariwisataan di DTW; (5) Perbedaan tingkat ekonomi dan kebudayaan antara wisatawan dan masyarakat lokal; (6) Perbedaan kebudayaan wisatawan dengan masyarakat lokal; (7) Tingkat otonomi dari DTW; (8) Kecepatan pertumbuhan
pariwisata; (9) Tingkat perkembangan pariwisata (masih masa awal atau sudah mulai ada kejenuhan); (10) Tingkat pembangunan ekonomi DTW; (11) Struktur sosial masyarakat lokal; (12) Tipe resort yang dikembangkan; dan (13) Peranan pariwisata dalam ekonomi DTW. Ahimsa-Putra dan Raharjana (2001) menjelaskan bahwa dampak budaya adalah berbagai macam perubahan yang terjadi pada sistem nilai, aturan, dan berbagai macam aturan sebagai akibat dari adanya perubahan pada lingkungan fisik, sosial, dan budaya dari sistem tersebut. Dampak budaya dibedakan menjadi dua bagian, yaitu berdasarkan sifat atau karakter dampak tersebut dan berdasarkan atas aspeknya. Berdasarkan sifat atau karakternya, dampak budaya dibagi menjadi dampak positif dan dampak negatif. Berdasarkan aspeknya, dibedakan menjadi dampak kualitatif dan kuantitatif. Yoeti (2008: 23) menyatakan bahwa seringkali pariwisata membawa dampak negatif pada kegiatan sosial-budaya, sedangkan dampak positifnya seringkali dalam hal ekonomi. Pariwisata sebagai dampak budaya menimbulkan apa yang disebut Yoeti dengan komersialisasi seni. Salah satu contoh yaitu adanya pertunjuka Tari Kecak di Bali. Tarian yang merupakan penggalan dari Ramayana ini merupakan bentuk pertunjukan versi padat dan singkat, padahal pertunjukan yang sebenarnya dapat menghabiskan waktu selama dua sampai tiga malam. Di samping itu, terjadi pemalsuan barang-barang kerajinan (imitasi), demonstration effect, moral anak-anak muda rusak, dan komersialisasi adat.
Tabel 1. Frekuensi Kedatangan Wisatawan dan Pengaruhnya Terhadap Norma Lokal menurut Valene. L. Smith, 1977 (baca juga Pearce, 1989: 217) No. Tipe
Jumlah
Adaptasi Wisatawan Terhadap Norma
Wisatawan Wisatawan
Lokal
1.
Explorer
Sangat Terbatas
Menerima Apa Adanya
2.
Elite
Jarang
Mampu Beradaptasi Sepenuhnya
3.
Off-beat
Jarang
Tapi Mampu Beradaptasi dengan Baik
Terlihat 4.
Unusual
Kadang-Kadang
Sedikit beradaptasi
5.
Incipient
Stabil / Rutin
Mencari Amenitas Sesuai yang ada di
Mass 6.
7.
Mass
Charter
Tempat Asal Wisatawan Masuk
secara Mengharapkan Adanya Amenitas Seperti
Terus menerus
di Tempat Asal Wisatawan
Masif
Meminta Fasilitas Seperti yang Ada di Tempat Asal Wisatawan
3. Tari Klasik Gaya Yogyakarta Tari Klasik Gaya Yogyakarta merupakan tarian yang diciptakan oleh Sri Sultan Hamengku Buwono (HB) I yang bertahta sejak tahun 1755-1792. Beliau juga mengawali pementasan Wayang Wong dengan judul “Gondowerdoyo” secara masal (Suryobrongto dalam Wibawa, 1981: 30). Martin dalam Hadi (2007: 19-20) menyatakan bahwa kata “klasik” berasal dari Bahasa Latin classici yang pada mulanya digunakan sebagai predikat karya sastra bernilai tinggi pada zaman Kekaisaran Romawi Abad Pertengahan. Karya-karya yang bernilai tinggi disebut
classici (skriptor classicus), sedangkan karya yang berkualitas paling rendah disebut proletari (skriptor proletarius). Tari Klasik Gaya Yogyakarta memiliki makna yang dalam karena dilakukan dari dalam hati. Seorang Penari Klasik Gaya Yogyakarta yang baik, sudah melampaui berbagai proses baik lahir dan batin yang mengasah fisik dan jiwa. GBPH Suryobrongto menyebutkan bahwa seorang penari klasik ketika menari maka mereka akan mengalami trance (Suryobrongto dalam Wibowo, 1981: 88). Keadaan trance ini bukan berarti seorang penari kehilangan akal seperti pada seni jathilan atau kuda lumping. Akan tetapi seorang penari yang ‘khusyuk’ dalam melakukan tariannya, dia akan menyatu dengan karakternya. Misal seorang penari untuk tokoh Dasamuka (Rahwana) ketika menari harus menyatu dengan penokohannya, dari watak hingga gerakannya. Penari yang memerankan Arjuna harus memiliki kehalusan gerak namun tetap maskulin dan tidak ke-wanita-an, sehingga sesuai dengan karakter yang diperankan. Suryobrongto menyatakan bahwa ada 4 (empat) filosofi Joged Mataraman atau Tari Klasik Gaya Yogyakarta. Keempat filosofi tersebut adalah sawiji, greged, sengguh, ora mingkuh (Suryobrongto dalam Wibowo, 1981: 90-92). Sawiji berarti menjadi satu (menyatu) dengan karakter yang diperankan. Greged merupakan semangat yang harus dimiliki para penari. Semangat ini harus dikendalikan agar tidak overpower sehingga menyebabkan kerugian bagi tubuh penari. Sengguh merupakan sikap percaya diri, akan tetapi tetap pada batasan-batasan tertentu. Kepercayaan diri tersebut tidak boleh berlebih agar tidak menjadi gegeden rumangsa (ge er), yang berpotensi menimbulkan sombong. Ora mingkuh memiliki
arti bertanggungjawab terhadap apa yang menjadi tugasnya. Keempat filosifi ini berkaitan dengan pengendalian emosi seorang penari.
Sawiji
Ora Mingkuh
Joged Mataraman
Greged
Sengguh
Gambar 1. Filosofi Joged Mataram (berdasarkan tulisan Suryobrongto dalam Wibowo:88-93) Tari Klasik Gaya Yogyakarta berkaitan erat dengan daya spiritual. Daya tersebut berbeda-beda bagi masing-masing orang. Di dalam Tari Klasik Gaya Yogyakarta terdapat tiga unsur yang menjadi penopangnya, yaitu wiraga, wirama, dan wirasa. Wiraga adalah bagaimana seseorang mengendalikan tubuhnya, wirama berkaitan dengan kesinambungan dengan iringan, dan wirasa berkaitan dengan pengendalian emosi. Unsur tersebut juga berkaitan dengan kemampuan mengolah raga, kemampuan memperhatikan sekitar, dan pengendalian emosi (olah jiwa). Masing-masing manusia (penari), memiliki awalan yang berbeda menyangkut
penghayatan. Hal tersebut tergantung pada tingkat kemampuan penghayatan pada masing-masing individu. Ada penari mengawali kegiatan latihan tarinya dan memiliki kekuatan di wiraga, ada pula yang memiliki kekuatan wirama ataupun wirasa. Hal ini dikarenakan daya spiritual pada masing-masing penari berbeda. Meskipun ketiganya berbeda, akan tetapi unsur tersebut saling mengisi dan tidak dapat dipisahkan. Keadaan tersebut dapat kita saksikan pada kegiatan ibadah, misalnya gerakan takbir untuk mengawali sholat. Mereka melakukan takbir untuk mengawali sholat dengan cara yang seringkali berbeda, tergantung cara mereka untuk meraih puncak ke-khusyukannya.
WIRASA
JOGED MATARAMAN
WIRAMA
WIRAGA
Gambar 2. Penghayatan Joged Mataram (Suryobrongto dalam Wibowo, 1981) Penari di Keraton Yogyakarta juga memiliki kelas atau tingkatan. Penari Wayang Wong di Keraton Yogyakarta disebut juga dengan ringgit yang apabila diterjemahkan sama dengan kata wayang. Hal ini karena penari Wayang Wong
merupakan personifikasi dari wayang kulit (Suryobrongto dalam Wibawa, 1981: 46-48). Lindsay (1991: 96) menyatakan bahwa kelas penari di Keraton Yogyakarta dibagi menjadi tiga, yaitu Ringgit Cina, Ringgit Encik, dan Ringgit Gupermen. Kegiatan latihan yang dilakukan oleh ketiga kelas tersebut dilaksanakan di lokasi yang berbeda, meskipun masih di dalam lingkungan Keraton Yogyakarta. Ringgit Cina yang merupakan kelas terendah, berlatih di Bangsal Kemagangan. Ringgit Encik yang merupakan kelas menengah berlatih di Bangsal Trajumas (timur Bangsal Srimanganti). Ringgit Gupermen merupakan kelas tertinggi berlatih dan dapat mengikuti pementasan di Tratag Bangsal Kencana yang berada di bagian tengah Keraton Yogyakarta. Pramutomo (2005: 246-249) menyatakan bahwa pembagian tersebut lebih berdasarkan pada alasan politis. Orang-orang Cina di masa tersebut dianggap sebagai orang kaya baru sehingga memiliki kelas yang lebih rendah dibandingkan dua kelas lainnya. Encik merupakan sebutan bagi orang Timur Tengah (Timur Asing) yang dianggap memiliki hubungan politis lebih kuat. Sedangkan gupermen yang dimaksud adalah penduduk pribumi (Jawa). Penyebutan tersebut sudah dipengaruhi oleh sistem politis Belanda. Sebagai reaksi budaya atas penyempitan peran politik Sultan pada masa itu, dibuatlah imbangan struktural dalam kreasi kelas penari istana yang menyerupai nama stratifikasi sosial penduduk Yogyakarta pada masa tersebut (Ngayogyakarta Pagelaran dalam Pramutomo, 1991: 249). Rama (baca: Romo) Sas atau biasa dikenal dengan nama K.R.T Sasmintadipura, menyatakan bahwa belajar Tari Klasik Gaya Yogyakarta di Keraton Yogyakarta, sama artinya dengan belajar tata karma (Suyenaga dkk, 1999:
18). Seseorang yang mempelajari Tari Klasik secara tidak langsung akan mengikuti pola-pola yang sudah dibentuk di Keraton Yogyakarta sebagai pusat pelatihannya. Gerakan yang dilakukan ketika menarikan Tari Klasik Gaya Yogyakarta memiliki apa yang disebut sebagai aturan-aturan. Mulai dari aturan naik pendapa hingga turun pendapa. Aturan selama menari juga diperhatikan dengan sungguh-sungguh. Ada banyak aturan yang mengikat antara tokoh satu dengan tokoh yang lain. Misal pada adegan kahyangan (jejer dewa) di mana ada seorang yang menghadap Bethara Guru akan melakukan gerakan penghormatan sebelum duduk dan menyampaikan tujuannya. Gerakan tersebut berupa ukel-junjung-tekuk diikuti ukel jengkeng. Hal tersebut dilakukan karena Bethara Guru merupakan pemimpin para dewa dan memiliki kedudukan yang tinggi di antara dewa lainnya. Patut disayangkan pada masa kini ada beberapa aturan yang tidak dilaksanakan berkaita dengan tata karma dalam menari. Dialog (pocapan), juga merupakan pelajaran lain mengenai tata karma yang berlaku dalam Tari Klasik Gaya Yogyakarta. Bagian dialog juga diisesuaikan dengan tingkatan kelas dalam masyarakat di mana antara satu dengan lainnya berbeda. Hal tersebut seperti apabila kita menggunakan Bahasa Jawa krama inggil, krama madya, dan ngoko. Dengan demikian maka sesungguhnya Tari Klasik Gaya Yogyakarta tidak hanya sekedar kesenian tanpa makna. Tari Klasik Gaya Yogyakarta merupakan sebuah kesenian yang juga mengajarkan olah rasa, olah jiwa, serta tak lupa juga olah raga. Oleh karena itu bukan hal yang salah apabila
Tari Klasik Gaya Yogyakarta menjadi pendidikan karakter yang dapat diajarkan sejak usia dini. Busana menjadi bagian penting dalam pertunjukan Tari Klasik Gaya Yogyakarta. Busana atau kostum mampu menunjukkan banyak hal, di antaranya jenis tarian, nama tokoh dalam sebuah pertunjukan, dan kedudukan tokoh yang dibawakan. Busana Tari Klasik Gaya Yogyakarta juga mengalami beberapa perubahan. Di antara perubahan tersebut, yang paling menonjol adalah pada masa Sri Sultan Hamengku Buwono VIII (Hadi, 2007). Busana pertunjukan Tari Klasik Gaya Yogyakarta di masa sekarang hampir sebagian besar sudah mengalami perubahan di era kedudukan HB VIII. Pendapat ini didukung oleh Kuswaji (1981) yang menyatakan bahwa ada perbedaan rias dan busana pada masa sebelum HB VIII, dengan masa HB VIII dan seterusnya. Busana yang digunakan beberapa karakter penokohan dalam Tari Klasik Gaya Yogyakarta merupakan bagian dari busana yang digunakan dalam tokoh Wayang Wong. Busana Wayang Wong gaya Yogyakarta terinspirasi dari busana yang terpahat pada wayang kulit (Soedarsono, 1990: 406-407). Meskipun busana yang dikenakan tidak sama persis dengan pahatan busana pada wayang kulit, tetapi sebagian besar atribut penting seperti penutup kepala, pola rias wajah, dan atribut atau simbol penting dari karakter Wayang Wong mengikuti model dari wayang kulit. Soedarsono juga menyatakan bahwa perkembangan busana Wayang Wong gaya Yogyakarta sangat lambat, dan baru mencapai bentuk yang baku (ada standarisasi) pada pemerintahan Sri Sultan HB VIII (1921-1939).
Tata rias dalam Tari Klasik Gaya Yogyakarta memiliki pola yang sudah baku bagi masing-masing karakter. Soedarsono (1990: 423) menyatakan ada tujuh jenis tata rias yang digunakan dalam Wayang Wong (termasuk dalam tarian tunggal maupun berkelompok), yaitu (1) putri luruh; (2) putri mbranyak; (3) putra luruh; (4) putra mbranyak; (5) putra gagah kambeng; (6) putra gagah kinantang; (7) dan tipe punokawan. Raksasa dan kera tidak menggunakan rias, akan tetapi mengenakan topeng yang menutup wajah secara menyeluruh dan penggunaannya dengan cara diikatkan pada bagian belakang kepala. Penggunaan topeng gaya Yogyakarta berbeda dengan gaya Surakarta yang menggunakan topeng dengan cara digigit (cokotan). Condronogoro (1985) meneliti mengenai berbagai jenis busana yang ada di Keraton Yogyakarta. Beliau mendokumentasikan busana tersebut baik yang digunakan upacara adat Kasultanan Yogyakarta, termasuk di dalamnya busana Tari Klasik Gaya Yogyakarta dengan lengkap. Busana Tari Klasik Gaya Yogyakarta yang juga merupakan sebuah tarian ‘sakral’ memiliki perbedaan antara satu busana dengan yang lainnya. Meskipun ada beberapa tokoh mengenakan busana yang hampir sama, tetapi sebenarnya tetap ada perbedaan pada ornamen hiasnya. Misal jenis praba yang dikenakan oleh raja akan berbeda dengan yang dikenakan oleh dewa, meskipun perbedaan tersebut hampir tidak tampak.
Elemen Tari Klasik Gaya Yogyakarta Tari dan Pocapan
Iringan
Rias dan Busana
Bagan 1. Elemen Pertunjukan Tari Klasik Gaya Yogyakarta (dibuat dari berbagai sumber) 4. Partisipasi / Keterlibatan Masyarakat Murphy (1988) menjelaskan bahwa kegiatan pariwisata merupakan industri berbasis komunitas, yaitu bahwa wisatawan juga merupakan konsumen terhadap sumber daya komunitas, dan komunitas sebagai komoditas yang mampu menarik minat apresiasi wisatawan. Artinya, peran komunitas lokal menjadi penting dalam menarik perhatian wisatawan ataupun pengunjung. Berbagai macam kegiatan yang akan disajikan komunitas menjadi daya tarik kedatangan wisatawan, dan kegiatan yang telah disajikan menentukan tingkat pengulangan kedatangan wisatawan. Drake (1991) menyatakan bahwa keterlibatan masyarakat lokal (local involvement) merupakan kunci utama dalam pengembangan CBT. Aspek keterlibatan masyarakat tersebut dapat diimplementasikan dalam tiga area, yaitu tahap perencanaan, implementasi atau pelaksanaan, dan manfaat bagi komunitas lokal. Pada tahap perencanaan, keterlibatan masyarakat berkaitan dengan identifikasi
masalah,
identifikasi
potensi,
pengembangan
alternatif,
dan
pengembangan fasilitas. Tahap implementasi berarti masyarakat terlibat dalam pelaksanaan, pengelolaan, dan turut serta dalam evaluasi. Manfaat yang diperoleh
masyarakat terdiri atas berbagai macam aspek, di antaranya manfaat secara ekonomi dan budaya.
Keterlibatan Masyarakat
Perencanaan
Implementasi / Pelaksanaan
Gambar 3. Keterlibatan Masyarakat menurut Drake (1991) Cohen dan Uphoff (1980) menyatakan ada sembilan tipe partisipasi yang dapat terjadi dalam pembangunan di daerah. Kesembilan tipe tersebut adalah (1) Partisipasi sukarela dengan inisiatif dari bawah; (2) Partisipasi dengan imbalan yang inisiatifnya dari bawah; (3) Partisipasi dengan desakan atau paksaan yang inisiatifnya berasal dari bawah; (4) Partisipasi sukarela yang inisiatifnya dari atas; (5) Partisipasi dengan imbalan yang inisiatifnya dari atas; (6) Partisipasi dengan desakan atau paksaan yang datangnya dari atas; (7) Partisipasi sukarela dengan inisiatif bersama; (8) Partisipasi dengan imbalan yang inisiatifnya bersama; dan (9) Partisipasi dengan desakan atau paksaan dengan inisiatif bersama.
Inisiatif dari Bawah
Inisiatif dari Atas
Inisiatif Bersama
Sukarela
Sukarela
Sukarela
Dengan Imbalan
Dengan Imbalan
Dengan Imbalan
Dengan Paksaan
Dengan Paksaan
Dengan Paksaan
Gambar 4. Tipe Partisipasi Masyarakat menurut Cohen dan Uphoff (1980), baca pula Sagrim (1997) Tosun (2011) mentipologikan partisipasi masyarakat ke dalam tiga tipe. Ketiganya adalah partisipasi secara spontan (spontaneous), adanya dorongan (induce), dan paksaan (coercive). Spontan merupakan sebuah partisipasi yang lahir dari masyarakat (bottom-up) dan segala kegiatannya menimbulkan partisipasi aktif, langsung, informal, dan autentik. Partisipasi dengan dorongan (induce) lahir dari adanya sponsor atau pemilik modal dan kepentingan (top-down) sehingga kegiatan partisipasinya pasif, tidak langsung (birokratif), formal, dan semi partisipatif. Partisipasi dengan paksaan (coercive) memunculkan kegiatan partisipasi yang sama dengan induce participation namun dengan skala yang lebih besar, sehingga lebih banyak kepentingan di dalamnya.
Spontaneous
•Lahir dari masyarakat, partisipasi aktif, langsung, informal, dan autentik
Induce
•Memiliki sponsor, wujud partisipasi pasif, birokratif, formal, dan semi partisipatif
Coercive
•Memiliki sponsor, wujud partisipasi pasif, birokrasi rumit (terlalu banyak pemangku kepentingan), formal, dan partisipasi masyarakat hampir tidak ada.
Gambar 5. Tipologi Partisipasi menurut Tosun (2011) Canter dalam Arimbi (1993:1) mendefinisikan partisipasi masyarakat sebagai feedforward information dan feedback information. Artinya bahwa partisipasi masyarakat merupakan komunikasi yang dilakukan dengan dua arah, antara pemerintah sebagai pemegang kebijakan dan masyarakat sebagai pihak yang terlibat atau terkena dampak langsung. Pendapat Canter juga menunjukkan bahwa harus ada dialog antara kedua belah pihak sehingga partisipasi yang terjadi tidak hanya berlaku satu arah. Dengan demikian, akan ada masukan-masukan dari kedua belah pihak yang akan membuat partisipasi menjadi bermanfaat dan tetap guna. Hasil dialog tersebut dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam setiap pengambilan keputusan.
Tingkatan Peran Partisipasi Keterangan Tinggi Memiliki Kontrol Organisasi meminta masyarakat mengidentifikasi masalah dan membuat seluruh keputusan kunci mengenai tujuan dan metode pelaksanaan. Organisasi bersedia membantu masyarakat dalam setiap langkah untuk menyelesaikan tujuan-tujuan yang telah dibuat masyarakat. Mendelegasikan
Organisasi mengidentifikasi dan mempresentasikan sebuah masalah kepada masyarakat, kemudian menetapkan batas-batas dan meminta masyarakat membuat serangkaian keputusan yang dapat dimasukkan ke dalam sebuah rencana matang yang akan diterima. Merencanakan Organisasi mempresentasikan sebuah rencana Bersama sementara dan secara terbuka menerima masukan dari masyarakat yang menerima pengaruh. Organisasi kemudian mebuat perubahan sesuai dengan masukan yang diterima. Manasehati Organisasi mempresentasikan sebuah rencana dan mengundang masyarakat, serta merubah rencana hanya bila diperlukan. Dikonsultasikan Organisasi mencoba mempromosikan sebuah rencana dan berupaya mengembangkan dukungan untuk mempermudah penerimaan masyarakat, atau memberikan perubahan secukupnya terhadap rencana, sehingga persetujuan secara administratif dapat diperoleh. Menerima Organisasi membuat sebuah rencana dan Informasi mengumumkannya. Masyarakat dihadirkan dalam rapat hanya untuk diberi informasi dan diminta persetujuannya atas rencana yang telah dibuat organisasi. Rendah Nihil Masyarakat tidak diberitahu apa-apa. Tabel 2. Kontinum Partisipasi Masyarakat dari UK Health for All Network (dalam Ife dan Tesoriero, 2006: 301) Cole (1996) menyatakan bahwa partisipasi masyarakat merupakan prinsip dasar pengembangan pariwisata berkelanjutan. Akan tetapi di dalam masyarakat yang memiliki pendidikan minimal dan sedikit pengalaman mengenai pariwisata, tidak mungkin bahwa tujuan perencanaan dan pengendalian pariwisata masyarakat dapat terpenuhi. Oleh karena itu perlu adanya pengetahuan dasar mengenai
pengembangan pariwisata sehingga dapat memberikan pengalaman mengenai pariwisata kepada masyarakat. Aplikasi teori ini memiliki manfaat agar ke depan, masyarakat sudah memiliki pengetahuan dasar dan bayangan untuk pengembangan pariwisata berkelanjutan di wilayahnya sendiri. Hal ini didasari keterbatasan pemerintah atau pihak pengampu kepentingan lain untuk melaksanakan program lokal. Soetrisno dalam Bahagia (2009) menyatakan pentingnya partisipasi masyarakat. Berdasarkan wujudnya, ada dua hal yang menjadikan partisipasi menjadi penting bagi pembangungan. Pertama, partisipasi akan memunculkan upaya memadukan model top down dan bottom up agar program yang direncanakan dapat dilaksanakan dengan sepenuh hati. Dengan demikian akan memunculkan kolaborasi antara masyarakat dan pengampu kepentingan. Kedua, partisipasi akan memotivasi masyarakat untuk menumbuhkan rasa memiliki hasil pembangunan. Hal ini berhubungan erat dengan upaya perawatan dan pengelolaan hasil pembangunan yang dilakukan oleh masyarakat, sehingga kegiatan yang sudah terlaksana akan semakin berkembang. Spillane (1987) menyatakan ada lima unsur yang diperlukan dalam keberlanjutan industri pariwisata. Kelimanya adalah atraksi, fasilitas, infrastruktur, transportasi, dan hospitalitas (keramahan). Beberapa unsur tersebut pada prakteknya tidak dapat dipisahkan dengan masyarakat. Atraksi misalnya, merupakan bagian yang dikelola oleh masyarakat. Fasilitas yang ada dapat pula dikelola dan dijalankan oleh masyarakat. Sedangkan hospitalitas secara langsung
berkaitan dengan masyarakat pendukung yang ada di sekitar atraksi atau justru yang mengelolanya. Edward (1980) menyatakan bahwa implementasi akan berjalan baik apabila memenuhi faktor komunikasi, sumberdaya, disposisi (sikap), dan struktur birokrasi yang baik. Komunikasi berguna untuk menyampaikan apa yang diinginkan oleh pihak perencana maupun pengembang kepada para pelaksana. Kegiatan komunikasi yang baik akan terjadi apabila penyaluran komunikasinya baik, jelas, dan konsisten. Sumber daya merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi keberhasilan implementasi, yang terdiri atas sumber daya manusia, informasi, wewenang, dan fasilitas yang dimiliki. Disposisi merupakan keadaan dimana terjadi persamaan visi antara perencana atau perancang kebijakan, dengan pihak pelaksana yang diberi tugas. Struktur birokrasi merupakan badan atau lembaga pelaksana kebijakan. Struktur birokrasi yang baik dan profesional akan mempengaruhi keberhasilan pelaksanaan kebijakan. E. METODE PENELITIAN Metode penelitian adalah cara yang digunakan untuk memecahkan masalah dalam sebuah penelitian. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif kualitatif. Yaitu cara memecahkan masalah yang diteliti, dengan menggambarkan objek penelitian secara rinci berdasarkan fakta yang terdapat di lapangan. Metode penalaran yang digunakan dalam menyelesaikan penelitian ini bersifat deduktif, yaitu penalaran yang bergerak dari kajian fakta-fakta atau gejala
umum yang kemudian disimpulkan menjadi gejala yang bersifat khusus (Nawawi, 2003:63). Berdasarkan dua metode di atas, maka penelitian ini akan dilaksanakan untuk mendapatkan diskripsi secara rinci mengenai kegiatan pariwisata di Yogyakarta, yang mempengaruhi kegiatan seni. Penelitian ini juga akan mendiskripsikan pola pertunjukan Tari Klasik di Yogyakarta. Penelitian ini akan membutuhkan tahapan-tahapan agar dapat diselesaikan dengan baik dan tepat. Tahapan-tahapan tersebut adalah sebagai berikut: 1. Tahap pengumpulan data Tahap ini akan dilaksanakan untuk memperoleh data yang berhubungan dengan penelitian. Data yang dikumpulkan pada tahap ini terdiri atas data primer dan data sekunder. Pengumpulan data primer dilakukan melalui dua cara, yaitu observasi atau pengamatan langsung dan wawancara, sedangkan data sekunder diperoleh melalui teknik dokumentasi. Data tesebut diperoleh dengan cara: a. Studi pustaka / Teknik Dokumentasi Studi pustaka dilakukan untuk mendapatkan data sekunder yang terkait dengan topik penelitian. Studi pustaka bertujuan untuk mendapatkan informasi tentang dampak budaya dalam pariwisata dan pertunjukan Tari Klasik di Yogyakarta. Studi mengenai dampak budaya pariwisata dapat diperoleh melalui berbagai macam pustaka dari berbagai tempat seperti perpustakaan dan lokasilokasi lain. Data mengenai Tari Klasik di Yogyakarta dapat diperoleh dari sumbersumber tertulis yang sudah dipublikasikan atau direkomendasikan sebagai acuan
pustaka. Rekaman berupa gambar, foto, dan video juga dapat menjadi data dalam studi ini. Studi pustaka atau teknik dokumentasi ini bertujuan untuk melengkapi data yang dikumpulkan melalui observasi dan mendukung argumen yang akan disampaikan. Pustaka yang menjadi acuan dalam penelitian ini berkaitan dengan dampak budaya dalam pariwisata, dan tentunya mengenai Tari Klasik Gaya Yogyakarta. Acuan yang berkaitan dengan pariwisata terutama wisata budaya dan komodifikasi dalam pariwisata. Di samping itu keterlibatan masyarakat juga akan ditelaah dalam penelitian ini, karena setiap lokasi memiliki masyarakat pendukung. Kajian mengenai Tari Klasik dimulai dari pengertian tari dan berlanjut kepada pengertian Tari Klasik Gaya Yogyakarta. Kajian pustaka dilanjutkan dengan perubahanperubahan yang terjadi pada pertunjukan Tari Klasik berdasarkan tulisan hasil penelitian sebelumnya. b. Observasi Observasi atau pengamatan secara langsung pada objek akan dilakukan di beberapa tempat. Objek yang diamati yaitu pertunjukan Tari Klasik di Yogyakarta dan perubahan-perubahan yang terjadi selama pertunjukan. Bentuk pertunjukan yang diamati adalah yang berhubungan dengan kegiatan wisata, di lingkungan Yogyakarta. Lokasi observasi yang menjadi bahan pencarian data merupakan lokasi yang menyajikan pertunjukan kesenian untuk pariwisata. Bentuk kesenian yang menjadi data observasi berupa pertunjukan Tari Klasik Gaya Yogyakarta, baik tarian tunggal, berpasangan, maupun berkelompok. Observasi dilakukan secara
menyeluruh, kemudian dipilih jenis-jenis tarian yang mewakili tari tunggal, berpasangan, dan kelompok. Ada dua lokasi yang menjadi objek observasi pada penelitian ini. Kedua lokasi tersebut adalah Bangsal Srimanganti Keraton Yogyakarta dan Dalem Kaneman. Bangsal Srimanganti terletak di dalam kompleks Keraton Yogyakarta, dan terletak di bagian tengah kompleks Keraton Yogyakarta. Lokasi ini dipilih karena menjadi salah satu daya tarik wisata di Keraton Yogyakarta, dengan adanya pertunjukan kesenian yang diselenggarakan setiap hari. Dalem Kaneman terletak di sebelah barat Tamansari dan masih berada dalam tembok Benteng Keraton Yogyakarta. Lokasi ini dipilih dikarenakan pada masa ini digunakan sebagai lokasi makan malam (dinner) untuk wisatawan asing maupun mancanegara. Sehingga pertunjukan yang disajikan disesuaikan untuk kebutuhan pariwisata. Pertunjukan yang ditampilkan pada dua lokasi tersebut merupakan sajian Tari Klasik Gaya Yogyakarta dari segala jenis tarian. Kedua lokasi tersebut juga melibatkan pendukung kegiatan. Keraton Yogyakarta melalui Tepas Pariwisata secara rutin menyelenggarakan pementasan Tari Klasik setiap hari Minggu. Pengisi acara pada kegiatan tersebut terdiri dari berbagai macam kelompok Tari Klasik dan jenis tarian yang disajikanpun berbeda. Kelompok-kelompok tersebut sudah memiliki jadwal yang diatur oleh pihak pengelola pertunjukan di Bangsal Srimanganti. Hingga saat ini, ada sekitar 12 kelompok organisasi yang menyajikan pertunjukan Tari Klasik Gaya Yogyakarta di Bangsal Srimanganti.
c. Wawancara Tahap wawancara dilakukan untuk melengkapi data yang tidak dapat diperoleh melalui observasi dan sebagai penguat sumber dokumentasi pustaka. Data tersebut berhubungan dengan pariwisata dan hubungannya terhadap kesenian khususnya Tari Klasik. Wawancara yang dilakukan adalah metode wawancara indepth interview, atau wawancara yang dilakukan secara mendalam terhadap narasumber terkait. Narasumber yang terkait dengan penelitian ini berasal dari kalangan akademisi dan praktisi. Kalangan akademisi dipilih berkaitan dengan kegiatan seni dan pariwisata. Sedangkan kalangan praktisi dipilih yang langsung berkaitan dengan kegiatan seni untuk pariwisata. Tahap wawancara mengenai Tari Klasik dilakukan dengan mewawancara beberapa narasumber, terutama pelaku kegiatan Tari Klasik di Yogyakarta. Di antaranya adalah Dr. Kuswarsantyo atau Kanjeng Raden Tumenggung (K.R.T.) Condrowasesa, selaku seniman sekaligus pelestari dan pengembang Tari Klasik Gaya Yogyakarta. Beliau juga merupakan sutradara untuk berbagai pertunjukan Wayang Orang yang diselenggarakan oleh Keraton Yogyakarta. Bahkan saat ini Kuswarsantyo menjadi salah satu pengurus Kampung Wisata Kadipaten dan biasa melakukan pertunjukan wisata yang didanai oleh Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) bidang Pariwisata. Beberapa pihak yang terkait dengan pertunjukan tari untuk pariwisata juga akan menjadi narasumber dalam penelitian ini, seperti R.M. Dinusatomo (K.R.T. Pujaningrat), yang merupakan seorang maestro Tari Klasik di Yogyakarta. Beliau
juga terlibat dalam kegiatan tari yang diselenggarakan untuk kegiatan pariwisata di Dalem Kaneman. Di samping itu, K.R.T Pujaningrat merupakan salah satu sesepuh tari yang juga aktif mengurus kegiatan pementasan rutin di Bangsal Srimanganti Keraton Yogyakarta. R.M. Binu Samsi atau dikenal K.R.T. Danukusumo sebagai Koordinator pertunjukan di Bangsal Srimanganti, juga akan menjadi narasumber. Beliau adalah orang yang mengurus kegiatan pementasan mulai dari penjadwalan hingga pengaturan kebersihan setelah pementasan. Pihak lain yang menjadi narasumber adalah Cunduk Bagus S.S. Beliau merupakan manajer PT Gama Wisata, sebuah lembaga di lingkungan Universitas Gadjah Mada yang menangani perjalanan wisata. Beliau juga sudah berpengalaman dalam kegiatan pariwisata yang berhubungan dengan pertunjukan seni, misalnya kegiatan dinner seperti yang ada di Dalem Kaneman. Data yang diperoleh dari wawancara ini akan menjadi penguat bahwa ada faktor kuat yang menyebabkan munculnya pertunjukan seni untuk tujuan pariwisata. Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan ke beliau tentunya berhubungan dengan biro wisata dan kaitannya dengan perminataan untuk mengadakan pertunjukan untuk pariwisata. d. Lokasi Penelitian Ada dua lokasi yang menjadi perhatian dalam penelitan ini. Kedua lokasi seperti sudah disebutkan di atas, adalah di Bangsal Srimanganti Keraton Yogyakarta dan Dalem Kaneman. Bangsal Srimanganti terletak di dalam Kompleks Keraton Yogyakarta, Kelurahan Patehan, Kecamatan Keraton, Kota Yogyakarta. Dalem Kaneman terletak di Jalan Kadipaten no.44, Kelurahan Kadipaten,
Kecamatan Keraton Yogyakarta, Kota Yogyakarta. Pemilihan kedua lokasi tersebut telah melalui berbagai macam pertimbangan dan diharapkan dapat mendukung penelitian ini. Kedua lokasi tersebut dipilih dengan mempertimbangkan beberapa hal. Keraton Yogyakarta dipilih karena menyajikan pertunjukan kesenian yang berlandaskan pada kesenian yang berasal dari Keraton Yogyakarta, di antaranya Tari Klasik Gaya Yogyakarta. Pertunjukan tari yang disajikan di Bangsal Srimanganti, merupakan pertunjukan yang diselenggarakan untuk kebutuhan wisata. Pendukung pementasan di lokasi ini terdiri atas sanggar, perkumpulan, maupun organisasi seni yang mempelajari kesenian Klasik gaya Yogyakarta. Sehingga sangat mungkin ada beberapa perubahan dalam penyajiannya. Oleh karena kemungkinan adanya perubahan dalam penyajian pertunjukan Tari Klasik Gaya Yogyakarta, maka lokasi ini dipilih karena sesuai dengan topik penelitian dengan pengambilan data di tempat di mana asal pertunjukan Tari Klasik Gaya Yogyakarta. Dalem Kaneman menjadi lokasi observasi dikarenakan hingga saat ini masih sering mengadakan pertunjukan seni untuk paket pariwisata. Lokasinya yang strategis dan memiliki bangunan pendapa, serta berarsitektur kuno, menyebabkan lokasi ini memiliki kelebihan. Kegiatan seni untuk pariwisata di Dalem Kaneman dilaksakan dengan melibatkan orang-orang yang ada di sekitarnya. Mulai dari pertunjukan, penataan ruang, penyajian makanan, dan penyambutan dilakukan oleh orang dalam didukung masyarakat sekitar. Hal ini dikarenakan di dalam Dalem Kaneman terdapat perkumpulan kesenian bernama Yayasan Siswo Among Beksa,
yang hingga kini masih rutin mengadakan latihan. Akan tetapi pertunjukan seni untuk pariwisata di lokasi ini belum memiliki jadwal tetap, karena tergantung permintaan dari biro perjalanan maupun travel agent. Ada beberapa Dalem yang juga menyelenggarakan kegiatan pementasan Tari Klasik untuk tujuan wisata. Di antaranya adalah Dalem Pujokusuman dan Dalem Kaneman. Dalem Pujokusuman pernah menyelenggarakan kegiatan pementasan yang bekerja sama dengan banyak biro perjalanan. Intensitas pementasannya juga pernah cukup tinggi bahkan seminggu sampai tiga kali pementasan. Akan tetapi di masa sekarang kegiatan pementasan dinner di lokasi tersebut nyaris sudah tidak ada, salah satunya dikarenakan kesibukan pendukung pementasan, yang juga anggota tari Dalem Pujokusuman, lebih memilih pentas di luar Dalem tersebut. Pementasan yang ada di luar dalem dianggap lebih bermanfaat dan tidak merepotkan. e. Waktu Penelitian Penelitian mengenai Analisis Dampak Budaya dalam Pariwisata terhadap Pola Pertunjukan Tari Klasik di Yogyakarta akan dilaksanakan selama 8 (delapan) bulan. Waktu penelitian dibagi menjadi tahap penelitian di lapangan atau pengambilan data, dan tahap penulisan penelitian. Penelitian di lapangan menyesuaikan dengan lokasi penelitian, sedangkan waktu penulisan dilakukan secara rutin dan teratur. Penelitian lapangan di Keraton Yogyakarta akan dilaksanakan sejak awal November 2013 hingga Maret 2014. Hal tersebut
dikarenakan ada sekitar 12 kelompok yang saat ini mengisi pementasan mingguan di Keraton Yogyakarta. Sehingga waktu yang dibutuhkan lebih banyak. Pengambilan data di Dalem Kaneman dilaksanakan antara November 2013 hingga bulan Februari 2014. Jadwal penelitian lapangan di Dalem Kaneman tidak dapat dipastikan waktunya secara tepat, karena pementasan di lokasi tersebut bersifat insidental atau sesuai pesanan. Akan tetapi berdasarkan informasi yang sudah dikumpulkan peneliti, kegiatan pementasan di Dalem Kaneman memiliki intensitas yang cukup tinggi. Hal tersebut karena kegiatan pementasan di rumah pangeran ataupun bangunan tradisional, semakin banyak penikmatnya. Sehingga penelitian tetap dapat berjalan tanpa khawatir tidak akan mendapatkan data pada lokasi yang dituju. f. Alat Penelitian Penelitian ini menggunakan beberapa alat yang membantu penulis dalam proses pengumpulan data. Alat-alat tersebut berupa kamera video, kamera foto, tape recorder atau perekam suara, dan tentunya alat tulis. Kamera video dan foto dibutuhkan untuk merekam selama kegiatan observasi maupun wawancara. Perekam suara dan alat tulis digunakan sebagai bukti penunjang kegiatan pada tahap wawancara. Di samping itu, beberapa alat dan perlengkapan lain yang memungkinkan, digunakan sebagai pendukung penelitian. 2. Analisis data Analisis data didasarkan pada hasil tiga sumber data pada tahap pengumpulan data. Ketiga sumber data tersebut adalah sumber data hasil dari
wawancara, sumber data berdasarkan observasi di lapangan, dan sumber data atau informasi tertulis yang berhasil dikumpulkan. Selain itu masih terdapat pula sumber dokumentasi dalam bentuk foto atau video untuk menguatkan analisis yang dibuat. Sumber data dokumentasi menjadi penguat karena dapat disaksikan langsung dan menjadi pembanding dokumentasi di masa lalu, masa kini, dan masa mendatang. Pada tahap ini, penulis ingin mengemukakan penjelasan dampak budaya dalam pariwisata terhadap pola pertunjukan Tari Klasik di Yogyakarta secara lebih rinci. Hal ini bertujuan agar penulis dapat memahami dampak pertunjukan seni untuk pariwisata di Yogyakarta, pada beberapa lokasi yang menjadi objek penelitian. Setelah pemahaman tersebut didapat, penulis akan dapat memberikan pemahaman mengenai perubahan pola pertunjukan Tari Klasik di Yogyakarta sebagai dampak budaya dalam kegiatan pariwisata. Penulis juga akan membuat analisis mengenai bagaimana teori atau konsep pertunjukan seni untuk pariwisata, khususnya di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Analisis ini juga menggunakan indikator-indikator yang berfungsi untuk menjawab pernyataan penelitian. Hasil analisis tersebut kemudian akan menjadi pelaporan bahan penelitian. Adanya indikator akan mempermudah dalam menentukan data apa yang dibahas dan didokumentasikan oleh peneliti. Indikator penelitian ini berkaitan dengan dampak budaya dalam pariwisata yang diterima oleh pertunjukan Tari Klasik Gaya Yogyakarta, yaitu: a. Berkaitan dengan Pertunjukan 1. Durasi pertunjukan.
2. Penyajian gerak tari dan pocapan. 3. Penyajian iringan, termasuk lagon, kandha, dan tembang. 4. Busana dan tata rias yang digunakan. b. Berkaitan dengan Peran 1. Tahap Perencanaan (top-down atau bottom-up) 2. Tahap Implementasi