BAB I Pendahuluan
1.1.
Latar Belakang Fenomena negara dengan kebijakan publiknya seringkali menjadi
representasi dari wajah negara yang patriarkhi. Fakta ini menjadi bukti bahwa posisi perempuan masih rentan dan tergolong sebagai bagian dari kelompok marginal1. Negara dengan wajah patriarkinya selalu berpretensi untuk mengabaikan potensi yang dimiliki perempuan, baik itu di level individu maupun kelompok. Akibatnya kerja (kontribusi) perempuan di sektor publik sering sekali tidak diperhitungkan. Salah satu contoh kasus dari pengabaian peran perempuan terjadi di wilayah rawan bencana di Kecamatan Imogiri, Kabupaten Bantul, Provinsi DIY. Di Kecamatan tersebut, para perempuan, baik dalam kapasitas pribadi maupun yang mengorganisir diri melalui kelompok-kelompok sosial berbasis perempuan secara rutin mengadakan pertemuan untuk mendiskusikan banyak persoalan yang tidak hanya terkait problem-problem domestik, melainkan juga persoalan-persoalan kepublikan. Dengan kata lain perempuan dan juga kelompok perempuan di Kecamatan Imogiri memiliki posisi strategis di ruang publik, terutama berkaitan dengan kepentingan publik yang berhubungan dengan bencana. Konteks tersebut dilatari oleh kondisi wilayah Imogiri, Kabupaten Bantul yang tergolong daerah rawan bencana (gempa dan tsunami). Apa yang dimaksud dengan posisi strategis yang dimiliki perempuan di daerah rawan bencana adalah kaum perempuan, entah melalui kelompok maupun individu
berpotensi
menjadi
instrumen
sosial
yang
efektik
untuk
mendiseminasikan strategi-strategi manajemen bencana guna meminimalisir
1
Menurut Simone De Beavoir (1993), perempuan tetap menyandang gelar “the second class” yang lekat dengan tindak pengabaian.
2
dampak destruktif bencana.2 Melalui peringatan, proteksi, pengetahuan, keahlian, akses, baik terhadap sumber-sumber material dan pengetahuan, perempuan dan kelompoknya dapat memitigasi dampak kejadian alam dan meningkatkan kemampuan manusia untuk memulihkan efek yang ditimbulkan (Blaikie, 2003: 299). Dalam manajemen bencana, pengorganisasian yang dipelopori perempuan efektif untuk melaksanakan fungsi tersebut. Konklusi Ini dilatari oleh karakteristik perempuan yang lebih sering berada di rumah dan keberadaannya hampir selalu ada di lingkungan sekitar. Penyebaran informasi melalui perempuan ini efektif digunakan dalam mitigasi bencana (Partini dkk, 2013: 2-3). Dalam konteks manajemen bencana di Kabupaten Bantul, perempuan memiliki potensi peran besar melalui kegiatan-kegiatan komunitas-komunitas sosial berbasis perempuan.3 Dengan demikian dalam konteks peran perempuan untuk manajemen bencana di Kabupaten Bantul, perempuan memiliki potensi peranan yang besar dalam hal mitigasi, tanggap darurat bencana, maupun manajemen pasca bencana (tahap rehabilitasi dan rekontruksi pascabencana). Namun persoalannya, banyak program manajemen bencana yang diampu pemerintah (baik pemerintah pusat maupun daerah) justru mengabaikan keterlibatan perempuan. Nampak pelaksana program manajemen bencana dari pemerintah tidak menghitung potensi besar yang dimiliki kelompok-kelompok perempuan tersebut. Hal ini tercermin dalam statistik bencana yang menunjukkan bahwa meskipun keberadaan dan eksistensi kelompok sosial berbasis perempuan relatif tinggi, namun minim dimanfaatkan sebagai media sosialisasi atau pemasaran sosial persoalan kebencanaan kepada masyarakat. Padahal kelompok sosial berbasis perempuan tersebut dapat dimanfaatkan secara optimal oleh pemerintah sebagai agen dalam program manajemen penanggulangan bencana.
2
Dalam masyarakat di Imogiri, Kabupaten Bantul banyak terdapat kelompok sosial basis perempuan, di antaranya adalah kelompok PKK, Dasa Wisma, Posyandu, Pengajian, Yasinan. Kelompok-kelompok sosial perempuan tersebut rutin menggelar kegiatan yang dihadiri banyak anggotanya. Kegiatan semacam itu strategis untuk “disisipi” program manajemen bencana yang diagendakan pemerintah. Namun selama ini pemerintah abai terhadap potensi tersebut untuk pengarusutamaan bencana. 3 Berbagai studi yang telah dilakukan oleh pakar kebencanaan di dunia (Bishop et al., 2000; Millar et al., 1999) membuktikan bahwa semakin banyak orang yang terlibat dalam kegiatan masyarakat yang menimbulkan rasa bermasyarakat (sense of community), peningkatan kapasitas diri (selfefficacy) dan pemecahan masalah, maka akan semakin besar ketahanan mereka terhadap kesulitan yang dihadapi akibat dari bencana (Partini dkk, 2013 : 16).
3
Dalam penelitian “Perempuan Tangguh Bencana” yang dilakukan oleh Fisipol UGM 2013, berhasil ditemukan fakta menarik bahwa kaum perempuan ternyata selama ini selalu terlibat aktif dalam penanggulangan bencana mulai dari penyediaan personil, penyediaan logistik, penyediaan sarana dan prasarana, penyediaan lokasi pengungsian, pembuatan peta jalur evakuasi, pemetaan resiko bencana sampai analisis kerentanan. Namun demikian, kegiatan ini sebagian besar masih dikerjakan bersama dengan laki-laki (Partini, dkk., 2013). Grafik berikut ini menunjukkan data pilah gender proporsi keterlibatan dalam kegiatan mitigasi bencana di Kabupaten Bantul: Tabel 1.1. Keterlibatan dalam Mitigasi Bencana Penyediaan Personil penanggulangan bencana
Laki-Laki Perempuan
Keduanya
14,7
0
85,3
0
9,1
90,9
Sarana prasarana penanggulangan bencana
25,5
0
74,5
Lokasi Pengungsian
22,4
0
77,6
Peta jalur evakuasi
38,6
0
96,2
Analisis Kerentanan
23,6
0
76,5
Pemetaan risiko bencana
13,6
0
86,4
Pelatihan tanggap bencana
8,2
3,3
88,5
Tanggap darurat
8,6
3,4
87,9
Logistik bencana
Sumber: Data Survay “Strategi Perempuan Tangguh Bencana” (2013)
Dalam penelitian lainnya, Enarson (2011:11) mengemukakan bahwa dibandingkan dengan laki-laki, perempuan lebih memiliki motivasi dalam pencegahan bencana. Misalnya, perempuan turut membersihkan sampah yang terbawa banjir di wilayah tetangga mereka. Contoh ini menjadi antitesis terhadap striotipe yang selama ini sudah menjadi common sense bahwa perempuan sebagai kelompok lemah dan rentan. Konklusi dari berbagai hasil riset di atas menujukkan terdapat potensi besar dalam diri perempuan yang sering kali diabaikan. Jika berbagai studi dan penelitian sudah menekankan konklusi semacam itu, lantas kenapa pemerintah terkesan masih mengabaikan potensi yang dimilki
4
kaum perempuan dalam manajemen bencana? Fenomena tersebut bukan sematamata karena pemerintah tidak cermat memanfaatkan sesuatu yang potensial. Fenomena ini adalah cerminan dari corak kebijakan yang dikeluarkan pemerintah (negara) yang selama ini masih bias gender. Asumsinya, peminggiran potensi peran kelompok perempuan adalah manifestasi dari wajah negara (pemerintah) yang masih patriarkhis. Namun, meskipun diabaikan oleh hegemoni rezim patriarkhi, ternyata kaum perempuan di daerah rawan bencana tidak mudah menyerah. Mereka tangguh. Mereka adalah, “ibu-ibu berhati baja, perempuan-perempuan perkasa, akar-akar yang melata dari tanah perbukitan turun ke kota. Mereka cinta kasih yang bergerak menghidupi desa demi desa”.4 Dalam penelitian ini berhasil dibuktikan bahwa meskipun para perempuan di Kecamatan Imogiri “teralienasi” dari berbagai program manajemen bencana, ternyata mereka tidak patah arang. Para perempuan tersebut berhasil menemukan sumber pengetahuan sendiri tentang mitigasi bencana ketika sosialisasi mitigasi bencana yang diampu pemerintah tidak sampai menyentuh kaum perempuan. Kaum hawa tersebut juga tangkas melakukan berbagai pekerjaan selama masa darurat, masa di mana kekacauan dan kepanikan mendera seluruh warga. Bahkan kaum perempuan di Imogiri sukses menujukkan ketangguhannya sebagai avant garde dalam proses recovery pasca bencana. Melalui kesabaran, ketelatenan dan berbagai bentuk inovasi, para perempuan tersebut mampu menyalurkan energi positif bagi lingkungan di sekitarnya untuk segera bangkit dari keterpurukan. Berikut ini ringkasan tentang bentuk-bentuk ketangguhan perempuan di Bantul dalam menghadapi bencana. Baik sebelum maupun sesudah bencana tersebut berlangsung.
4
Dikutip dari sajak “Perempuan-Perempuan Perkasa” Karya Hartono Andangjaya (1973).
5
Tabel 1.2 Ketangguhan Perempuan di Bantul dalam Menghadapi Bencana Peran dan kontribusi perempuan kurang terakomodasi dalam skema mitigasi bencana. Padahal perempuan juga membutuhkan informasi mengenai mitigasi bencana. Perempuan juga punya potensi besar untuk berkontribusi dalam tahapan mitigasi. Meski kurang terakomodasi, perempuan tidak mudah menyerah. Mereka mencari sumber pengetahuan lain tentang mitigasi yang tidak mereka dapatkan secara optimal dari skema mitigasi yang diampu pemerintah. Salah satu sumber tersebut adalah kearifan lokal yang berasal dari relasi yang akrab antara perempuan dan alam. Dalam tahap ini, perempuan mengalami double burden Tahap Tanggap Darurat (beban ganda). Yakni terjadinya dikotomi kerja di sektor domestik dan publik. Dalam konteks ini, sekalipun perempuan (ibu/istri) sudah bekerja keras untuk memenuhi kebutuhan keluarga di masa pengungsian, namun perempuan masih dituntut untuk melayani kepentingan umum dalam hal penyediaan dapur umum. Hal tersebut terjadi karena persepsi bahwa kerja di sektor domestik belum dianggap “pekerjaan”. Namun meski mengalami beban ganda, perempuan-perempuan di wilayah bencana di Imogiri, Bantul tetap melaksanakan tuntutah domestik dan publik itu secara bersamaan. Dalam masa ini, banyak perempuan yang bertransformasi Tahap Rekonstruksi dan menjadi kepala keluarga karena laki-laki (suami) menjadi Rehabilitasi Pascabencana korban meninggal dunia dari bencana gempa. Dengan demikian, perempuan menghadapi tuntutan kerja di sektor domestik sekaligus publik. Namun ironisnya, sekalipunberdampak signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi keluarga dan komunitas, kontribusi perempuan di sektor publik dengan menjadi pembatik maupun industri kecil berbasis rumah tangga tidak dihitung sebagai “kerja”. Ada bias makna mengenai definisi “kerja”. Namun dorongan “daya hidup” membuat perempuanperempuan di Imogiri, Bantul, tidak menyerah untuk berkreasi dan berinovasi dalam usaha perekonomian demi keberlanjutan hidup keluarga maupun komunitasnya. Sumber: Data Survay “Strategi Perempuan Tangguh Bencana” (diolah) Tahap Mitigasi Bencana
Dalam titik inilah, sisi menarik dari fenomena ini menampakkan diri. Hal apakah yang menyebabkan para perempuan di Kecamatan Imogiri tersebut menemukan semangat pantang menyerah, selalu tangguh, sekalipun berbagai potensinya dalam proses manajemen bencana kurang diperhatikan oleh kebijakan bias gender yang lahir dari negara patriarkhis. Motif atau dorongan apa yang
6
menjadikan perempuan di Kecamatan Imogiri tetap tangguh dalam menghadapi bencana merupakan titik tolak yang dipilih peneliti untuk melakukan riset ini. Dengan menganalisis pengabaian potensi perempuan beserta ketangguhan perempuan itu sendiri dalam manajemen bencana di Imogiri, Bantul Yogyakarta, tesis ini ingin menganalisis tentang produk kebijakan yang lahir dari negara patriarkhis. Asumsinya, dalam perspektif feminisme, yang bisa “terjangkiti” paham patriakhisme tidak hanya manusia atau kelompok manusia melainkan juga negara. Negara (pemerintah) juga ditengarai sebagai “sosok” yang dapat menganut doktrin patriarki. Konsekuensinya doktrin patriarkhi tersebut dapat membawa negara untuk menelurkan berbagai kebijakan yang bias jender dengan mengarusutamakan dominasi patriarkhi (laki-laki). Maka preferensi negara yang tidak memanfaatkan potensi yang dimiliki komunitas perempuan, linear dengan kebijakan negara yang tidak sensitif gender. Thesis ini menjadi penting karena studi ini ingin mendalami pengalaman dan suara dari pihak perempuan dalam menghadapi patriarkhisme selama manajemen bencana di Bantul. Mengeksplorasi suara perempuan, oleh peneliti perempuan dengan perspektif perempuan merupakan kombinasi yang diharapkan mampu melengkapi atau bahkan memberi warna baru bagi studi-studi kebijakan mengenai perempuan yang sudah pernah dilakukan sebelumnya. Kemudian,yang membedakan studi ini dengan studi-studi lainnya adalah pendekatannya dalam menganalisis fenomena perempuan yang terpinggirkan dalam manajemen bencana tidak semata-mata dilakukan dengan perspektif studi jender dan/atau studi tentang kebijakan an sich. Karena penelitian ini ingin menekankan titik tekan pada bagaimana kaum perempuan mampu menggeliat dan menujukkan ketangguhan perannya dalam manajemen bencana, sekalipun kaum perempuan tersebut kurang diakomodasi potensinya oleh berbagai kebijakan yang tidak sensitif gender. Dengan mengambil sudut pandang ini, akan ditemukan motif atau dorongan yang melatari ketangguhan perempuan tersebut. Kontribusi dari penelitian ini adalah memberi sudut pandang baru dalam studi kebijakan yang selama ini masih didominasi oleh sudut pandang patriarkhisme dan “teknoratis”. Melalui analisis terhadap tiap fase manajemen bencana di Imogiri, Kabupaten Bantul, penelitian hendak mengungkap hegemoni
7
ideologi patriarkhi yang ditanamkan pemerintah melalui kebijakan manajemen bencana yang bias jender.
1.2
Rumusan Pertanyaan Apa motif atau dorongan bagi perempuan untuk tetap tangguh dalam menghadapi bencana di tengah hegemoni negara patriarkhi?
1.3
Tujuan dan Manfaat Penelitian
1.3.1
Tujuan Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui dorongan atau motif apa
yang menjadi faktor penguat bagi kaum perempuan sehingga tetap tangguh dalam manajemen bencana sekalipun para perempuan tersebut menjadi korban dari kebijakan manajemen bencana yang tidak sensitif gender. 1.3.2
Manfaat Adapun manfaat penelitian ini adalah sebagaimana berikut. 1 Manfaat secara akademis, penelitian ini berkontribusi terhadap studi
Kebijakan
Publik,
terutama
studi
kebijakan
yang
dikorelasikan dengan negara patriarkhis yang selama ini masih jarang dilakukan. 2 Secara praksis, studi ini dapat berkontribusi terhadap pemerintah yang berwenang agar lebih sensitif gender ketika menyusun kebijakan manajemen bencana.
8
1.4
Batasan Penelitian Dalam penelitian ilmu sosial selalu dihadapkan pada limitasi-limitasi. Baik
berasal dari limitasi peneliti, maupun batasan dalam konteks substansi penelitian itu sendiri. Terkait dengan penelitian kali ini, beberapa limitasi atau batasan tersebut dapat disusun sebagaimana di bawah ini. 1. Penelitian ini bersifat studi kasus,sehingga tidak dapat digeneralisasi. 2. Data yang digunakan adalah adalah data sekunder dari penelitian “Strategi Perempuan Tangguh Bencana” yang dilakukan oleh Dr. Partini, Dr. Bevaola Kusumasari, Dr. Hempri Suyatna dalam penelitian hibah kolaboratif Fisipol UGM tahun 2013. 3. Lokasi yang digunakan adalah Desa Wukirsari dengan sample responden berasal dari tiga dusun. 4. Seluruh responden adalah perempuan yang memiliki pekerjaan dan penghasilan pribadi, baik secara mandiri/kelompok.
1.5
Kajian Pustaka
1.5.1
Penelitian Terdahulu Mengenai Posisi Perempuan dalam Manajemen Bencana Pandangan yang menempatkan perempuan sebagai bagian dari kelompok
beresiko dalam bencana acapkali membuat keberadaannya tidak diperhitungkan. Padahal banyak kerja yang dilakukan perempuan, mulai dari pencegahan, pada saat terjadinya bencana dan pada tahapan rehabilitasi dan rekonstruksi. Penelitian Elaine Enarson (2000) dalam papernya “Gender Equality, Work, and Disaster Reduction: Making the Connection” memaparkan bahwa resiko terhadap bencana akan terdistribusikan secara berbeda dalam masyarakat. Perempuan dan anak perempuan merupakan kelompok masyarakat yang memiliki resiko tinggi dalam bencana. Perempuan acap kali bekerja suka rela tidak dibayar, dan nilai kerjanya tidak diperhitungkan. Masih dalam paper yang sama Enarson bercerita bahwa dibandingkan dengan laki-laki, perempuan memiliki motivasi yang lebih besar dalam melakukan tindakan pencegahan bencana. Demikian pula kesimpulan tulisan Blaike yang salah satu pointnya bahwa perempuan, orang tua dan anak anak, atau kelompok dengan status sosial yang rendah, kelompok
9
minoritas dengan akses yang terbatas, kelompok yang tidak memiliki modal sosial mengalami nasib yang paling buruk (2003: 300). Dalam paper yang lain, “Gender Matters: Talking Points on Gender Equality and Disaster Risk Reduction,” Elaine Enarson (2004) menggambarkan beberapa masalah yang timbul sebagai dampak dari diferensiasi dan kesenjangan gender. Paper ini juga menggunakan beberapa contoh kasus untuk menunjukkan pentingnya paradigma gender dalam manajemen bencana. Pertama, bahwa sistem peringatan dini tidak terjangkau oleh perempuan. Kedua, penilaian terhadap kerentanan mengeksklusi pengetahuan lokal perempuan. Ketiga, kebutuhan spesifik jenis kelamin seringkali diabaikan dalam paket bantuan dalam bantuan darurat. Keempat, perempuan dan anak perempuan mengalami peningkatan resiko seksual dan kekerasan domestik. Kelima, terdapat perluasan tanggung jawab tenaga kerja domestik dan care giving. Keenam, peran tradisional perempuan mungkin mengalami kerusakan (dirusak). Ketujuh, adanya tuntutan terhadap perempuan untuk mereduksi ketahanannya. Kedelapan, bahwa pemulihan ekonomi laki-laki selalu menjadi prioritas. Dan bentuk kerentanan perempuan lainnya. Pada bagian selanjutnya Enarson memperlihatkan beberapa contoh kasus yang muncul dalam dunia internasional mengenai bagaimana perempuan melakukan manajemen resiko. Mereka bekerjasama dengan pemerintah dalam melakukan rekonstruksi, dalam bentuk peer learning mereka saling berbagi pelajaran yang mereka dapatkan dari bencana, mereka menjaga keberlangsungan kehidupan (securing livehoods), melakukan pengorganisasian untuk memperoleh keadilan, membangun kembali komunitasnya, mengidentifikasi dan monitoring hazards, melakukan penilaian kerentanan dan kapasitas dalam lingkungan yang memiliki resiko, melakukan mitigasi hazards, mempromosikan kehidupan yang berkelanjutan dan upaya lainnya. Bagian terakhir paper ini memberikan best parctices dalam kasus internasional tentang bagaimana praktikal pemulihan dalam bencana yang berkeadilan gender. Pertama adalah dengan melibatkan komunitas perempuan dalam pengambilan keputusan. Kedua, melibatkan komunitas perempuan dalam penelitian. Ketiga mengubah stereotype mengenai gender dan usia. Keempat, membangun ketrampilan perempuan dalam inisiasi recovery pasca
10
bencana. Ketiga, “Responding To Men As Men In Disaster”. Keempat, bekerjasama dengan organisasi perempuan. Kelima, mengkapitalisasi “window of opportunity” untuk perubahan sosial. Keenam, mempertemukan kebutuhan perempuan dengan pendapatan. Keenam, incorporating analisis gender dalam kehidupan. Ketujuh, melakukan analisis kolaboratif mengenai gender. Ketujuh, melakukan pengarusutamaan tujuan dari keadilan gender. Delapan, melakukan pelatihan kepada
perempuan muda. Sembilan, mengintegrasikan
tujuan
pembangunan dan pengurangan resiko.
1.5.2
Posisi Penelitian Penelitian sebelumnya lebih banyak melihat peran perempuan dalam
manajemen bencana yang dikaji dari sisi kultur maupun kearifan lokal (modal sosial dan kearifan lokal) dan juga dari sisi struktural, dalam arti negara dengan produk kebjiakannya yang belum sensitif jender. Sedangkan kajian ini ingin melihat dari sisi “struktur” kognitif maupun dorongan diri di dalam benak para perempuan tersebut sehingga mereka punya level ketangguhan dan tingkat semangat yang tinggi untuk terus survive, dan berinovasi dalam setiap fase manajemen bencana, sekalipun seringkali peran mereka tidak terakomodasi oleh negara. Kajian ini sekaligus ingin membuktikan bahwa negara (pemerintah) bukan institusi yang netral. Negara memiliki bias-bias ideologi, yang dalam hal ini ideologi gender. Ideologi bias gender yang terjadi adalah perempuan harus tetap pada kendali laki-laki baik dalam ruang domestik maupun ruang publik. Dalam konteks ini, kerja sebagai aktivitas ekonomi masih diidentikkan dengan laki-laki. Demikian pula dengan beberapa urusan yang masuk dalam domain urusan publik, masih dipegang laki-laki. Dan perempuan tidak mendapatkan akses yang lebih besar untuk turut serta dalam domain urusan publik tersebut.
11