BAB I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Atas berkat rahmat Tuhan Yang Maha Esa dan didorong oleh keinginan luhur untuk berperikehidupan yang bebas, bersatu, adil dan makmur sebagaimana diisyaratkan dalam Pancasila dan UUD 1945, oleh karena itu pembangunan
daerah
Sulawesi
Selatan
diwujudkan
melalui
penyelenggaraan pemerintah daerah yang berkedaulatan rakyat, demokratis dan pengarusutamaan gender untuk meningkatkan kesejahteraan dan keadilan gender. Paradigma pembangunan yang sentralistik dan birokratis, merupakan faktor penyebab hasil-hasil pembangunan menjadi tidak merata antardaerah, antar sektor, antar wilayah dan golongan sehingga diperlukan sebuah pendekatan baru yang mampu menjawab tantangan ke depan, oleh karena itu keberadaan Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah dan Undang-undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN) dan PERDA No. 2 Tahun 2010 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Daerah, merupakan peluang sekaligus tantangan di Sulawesi Selatan
dalam
penyusunan kebijakan program yang berperspektif gender. Meskipun berbagai upaya pembangunan telah banyak dilakukan, namun masih dijumpai berbagai kesenjangan gender, utamanya peluang dan
akses
terhadap
sumberdaya
pembangunan.
Permasalahan
pengarusutamaan gender ditinjau dari aspek manajemen adalah :
1
-
Kurangnya pemahaman dan komitmen para stakeholders, akan
pentingnya data dan indikator gender dimulai dari penyusunan perencanaan sampai pada tahap evaluasi dan berakhir pada penentuan kebijakan. -
Kurangnya penciptaan akses masyarakat ke input ketersediaan data dan indikator serta analisis gender terhadap pemerintah. Kebijakan pemerintah Sulawesi Selatan diarahkan untuk membangun
partisipasi masyarakat dalam mendukung terwujudnya kesetaraan dan keadilan gender di dalam masyarakat, maka pembangunan pada prinsipnya untuk meningkatkan kualitas hidup manusia tanpa membedakan suku, agama, ras dan jenis kelamin secara terencana, bertahap, komprehensif dan berkesinambungan, dengan melibatkan partisipasi stakeholder yang meliputi pemerintah, dunia usaha dan masyarakat yang menjadi kunci keberhasilan pelaksanaan pembangunan dalam penyusunan statistik indikator gender baik untuk kepentingan Nasional maupun Daerah. Selanjutnya kebijakan Pembangunan Pemberdayaan Perempuan di dalam RPJMD Provinsi Sulawesi Selatan 2008-2013 diarahkan untuk membangun partisipasi masyarakat
dalam mendukung terwujudnya
kesetaraan dan keadilan gender di masyarakat yang diwujudkan beberapa program aksi sebagai berikut : 1). Peningkatan kesempatan bagi kaum perempuan untuk menikmati pendidikan disemua jenjang, sehingga mereka memiliki posisi tawar yang tinggi menuju terciptanya kesetaraan dan keadilan gender; 2). Peningkatan partisipasi masyarakat dalam ikut menurunkan angka kesakitan dan kematian ibu dan anak serta peran serta masyarakat dalam menjaga kesehatan reproduksi termasuk dalam keluarga berencana; 3). Peningkatan akses kaum perempuan untuk berusaha di
2
bidang ekonomi produktif, termasuk mendapatkan modal pelatihan usaha, program perluasan kesempatan kerja dan informasi pasar sehingga dapat mendorong lahirnya kemandirian kaum perempuan dalam berwirausaha; 4). Peningkatan partisipasi perempuan dalam pengambilan keputusan dan perumusan kebijakan, sehingga tercipta keseimbangan perempuan diberbagai sektor.; 5). Peningkatan perlindungan terhadap perempuan dan anak guna mencegah terjadinya diskriminasi, eksploitasi, kekerasan dan bahkan tindak perdagangan perempuan dan anak (trafikking) yang dilakukan berdasarkan prinsip-prinsip keterpaduan dan keseimbangan. Dalam rangka implementasi strategi dan kebijakan pengarusutamaan gender, diperlukan ketersediaan data dan informasi gender sebagai dasar analisis dan bahan perumusan program/kegiatan prioritas yang berperspektif gender. Oleh karenanya ketersediaan data dan informasi gender ini menjadi suatu keharusan dalam perumusan program/kegiatan prioritas yang memperhatikan kebutuhan, pengalaman, dan aspirasi yang berbeda antara laki-laki dan perempuan, sehingga dapat mengoptimalkan akses, partisipasi, control dan manfaat penduduk laki-laki dan perempuan dalam setiap tahapan pembangunan di semua bidang. 1.2. Tujuan Tujuan dari penyusunan statistik gender sebagai berikut : • Meningkatkan ketersediaan data dan informasi statistik gender di Sulawesi Selatan, sebagai bahan analisis gender dalam rangka perumusan program/kegiatan yang berperspektif gender.
3
• Meningkatkan pemahaman dan komitmen akan pentingnya data dan indikator gender bagi penyusunan perencanaan, pelaksanaan, pemantauan, dan evaluasi kebijakan dan program daerah.
1.3. Sumber dan Proses Pengolahan Data Untuk penyusunan statistik gender digunakan data sekunder yang utamanya berasal dari hasil registrasi dan pencatatan pada setiap SKPDSKPD yang terkait dan data dasar hasil survei-survei yang dilakukan BPS seperti SUSENAS, SAKERNAS, SENSUS PENDUDUK dan SDKI. Untuk mendukung data tersebut juga digunakan data hasil penelitian yang dilakukan PSW/PSG/Lemlit di masing-masing wilayah, baik data kuantitatif maupun kualitatif dan selanjutnya melalui brain storming. Proses pengolahan data dilaksanakan secara institusional yaitu dengan mengumpulkan data primer dan sekunder meliputi data kondisi fisik dari studi kepustakaan (berbagai laporan) dan literatur seperti berbagai kebijakan yang dilaksanakan oleh SKPD lingkup Pemeintah Provinsi Sulawesi Selatan. Skema pengolahan data digambarkan dibawah sebagai berikut :
4
PROSES PENGOLAHAN DATA U M P A N B A L I K
Inventarisasi Data
Pengolahan Data/Analisa
Pencapaian/Penilaian
Pengembangan/Rekomendasi
Observasi/wawancara Laporan Dokumen
Indikator Program
Tujuan/Sasaran
Dampak
1.4. Landasan Hukum Komitmen Pemerintah Indonesia terhadap upaya mewujudkan kesetaraan dan keadilan Gender dilandaskan atas pasal 27 Undang-undang Dasar 1945 yang menerapkan asas persamaan antara laki-laki dan perempuan di muka hukum. Untuk memperkuat pemerintah RI telah meratifikasi beberapa konvensi International dan menandatangai beberapa kesepakatan International, seperti Konvensi Penghapusan segala Betuk Diskriminasi terhadap Perempuan (Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women) CEDAW yang diratifikasi ke dalam Undang-undang No. 7 Tahun 1984, serta landasan Aksi dan deklarasi 5
Beijing tahun 1995. Berdasarkan Human Development Index tahun 1997 dan Undang-Undang No. 25 tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional. Perda No. 10 tahun 2008 tentang RPJPD, Perda No. 10 tahun 2008 tentang RPJMD, Provinsi Sulawesi Selatan. 1.5. Ruang Lingkup Ruang lingkup statistik gender mencakup seluruh aspek pembangunan di bidang pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak, disusun dengan sistimatika meliputi, Bab I.Pendahuluan ; Bab II. Gambaran Umum Kondisi Wilayah ; Bab III. Demografi; Bab IV. Pendidikan; Bab V. Kesehatan ; Bab VI. Kegiatan Ekonomi ; Bab VII. Sektor Publik ; Bab VIII. Kekerasan Terhadap Perempuan; Bab IX. Masalah Anak ; Bab X. Penutup.
6
BAB II. GAMBARAN UMUM KONDISI WILAYAH 2.1. Geografis Secara geografis wilayah darat Provinsi Sulawesi Selatan dilalui oleh garis khatulistiwa yang terletak antara 0012’~80 Lintang Selatan dan 1160 48’~122’ 36’ Bujur Timur, yang berbatasan dengan Provinsi Sulawesi Barat di sebelah utara dan Teluk Bone serta Provinsi Sulawesi Tenggara di sebelah timur, serta berbatasan dengan Selat Makassar di sebelah barat dan Laut Flores di sebelah timur. Luas wilayah Provinsi Sulawesi Selatan khususnya wilayah daratan mempunyai luas kurang lebih 45.519,24 km2, dimana sebagian besar wilayah daratnya berada pada jazirah barat daya Pulau Sulawesi serta sebagian lainnya berada pada jazirah tenggara Pulau Sulawesi. 2.1.1. Topografi Wilayah Sulawesi Selatan membentang mulai dari dataran rendah hingga dataran tinggi. Kondisi Kemiringan tanah 0 sampai 3 persen merupakan tanah yang relatif datar, 3 sampai 8 persen merupakan tanah relatif bergelombang, 8 sampai 45 persen merupakan tanah yang kemiringannya agar curam, lebih dari 45 persen tanahnya curam dan bergunung. Wilayah daratan terluas berada pada 100 hingga 400 meter DPL, dan sebahagian merupakan dataran yang berada pada 400 hingga 1000 meter DPL. Terdapat sekitar 65 sungai yang mengalir di provinsi ini, dengan jumlah sungai terbesar ada di bagian utara wilayah provinsi ini. Lima danau besar menjadi rona spesifik wilayah ini, yang tiga di antaranya yaitu Danau Matana, Danau Towuti dan Danau Mahalona di
7
Kabupaten Luwu Timur, serta dua danau lainnya yaitu Danau Tempe dan Danau Sidenreng yang berada di Kabupaten Wajo. 2.1.2. Geologi Struktur geologi batuan di Provinsi Sulawesi Selatan memiliki karakteristik geologi yang dicirikan oleh adanya berbagai jenis satuan batuan yang bervariasi. Struktur dan formasi geologi wilayah Provinsi Sulawesi Selatan terdiri dari volkan tersier, Sebaran formasi volkan tersier ini relatif luas mulai dari Cenrana sampai perbatasan Mamuju, daerah Pegunungan Salapati (Quarles) sampai Pegunungan Molegraf, Pegunungan Perombengan sampai Palopo, dari Makale sampai utara Enrekang, di sekitar Sungai Mamasa, Sinjai sampai Tanjung Pattiro, di deretan pegunungan sebelah barat dan timur Ujung Lamuru sampai Bukit Matinggi. Batuan volkan kwarter, Formasi batuan ini ditemukan di sekitar Limbong (Luwu Utara), sekitar Gunung Karua (Tana Toraja) dan di Gunung Lompobatang (Gowa). Kapur kerang terdapat di sebelah barat memanjang antara Enrekang sampai Rantepao, utara Parepare, di Pegunungan Bone Utara sebelah barat Watampone, bagian barat Pulau Selayar, dan di Tanjung Bira (Bulukumba). Alluvium kwarter, dijumpai di dataran sepanjang lembah sungai antara Sungai Saddang dan Danau Tempe, Sungai Cenrana di dataran antara Takalar – Sumpang Binangae (Barru), di selatan Parepare, di dataran Palopo – Malili, di selatan Palopo sampai Umpu, di sekitar Sinjai serta di Rantepao (Tana Toraja) dan Camba (Maros).
8
Sekis hablur, formasi ini ditemukan di beberapa tempat seperti di bagian barat Sabbang (Luwu Utara), Pegunungan Latimojong, di sebelah tenggara Barru dan di Bukit Tanjung Kerambu di Kabupaten Pangkep. Batuan sedimen mesozoikum, Formasi ini ditemukan di daerah Tana Toraja (Pegunungan. Kambung dan di sebelah barat Masamba) batuan terdiri dari serpih, napal, batu tulis, batu pasir, konglomerat yang umumnya berwarna merah, ungu, biru, dan hijau. Batuan plutonik basa, dijumpai di bagian timur Malili dan tersebar sebagai intrusi antara lain di bagian utara Palopo, di Gunung Maliowo dan Gunung Karambon. Batuan plutonik masam, ditemukan di sekitar Sungai Mamasa, sedangkan granodiorit dijumpai di barat laut Sasak. Di antara Masamba dan Leboni. Batuan sediment paleogen, Tersebar di bagian utara Provinsi Sulawesi Selatan, yaitu di bagian timur Pangkajene sampai di timur Maros, memanjang di bagian timur lembah Walane dan di tenggara Sungai Sumpatu. Batuan sedimen neogen, penyebarannya di sekitar Lodong, sebelah timur Masamba memanjang dari utara Enrekang sampai Pompanua, dari Sengkang ke tenggara sampai Rarek dan ke selatan sampai Sinjai, di Pulau Selayar bagian timur dan di selatan Sinjai sampai Kajang. 2.1.3. Hidrologi Pada wilayah Provinsi Sulawesi Selatan, terdapat sekitar 65 sungai mengaliri berbagai kabupaten khususnya yang berada di dataran tinggi. Di wilayah Luwu terdapat 25 aliran sungai. Kabupaten Tana Toraja, Enrekang, dan Pinrang dialiri oleh sungai terpanjang yakni sungai Saddang (150 km). DAS Jeneberang meliputi wilayah 8 (delapan)
9
kabupaten di bagian selatan Sulawesi Selatan, termasuk kota Makassar, mencakup wilayah seluas 825,607 Ha dan kawasan hutan seluas 204,427 Ha. Sungai Walanae mengalir di kawasan Bone dan Wajo, sementara di Gowa dan Makassar mengalir sungai Jeneberang. Danau Tempe dan Sidenreng terdapat di Kabupaten Wajo dan sekitarnya, sementara di wilayah Luwu terdapat danau Matana dan Towuti. Pada wilayah bagian tengah wilayah Sulawesi Selatan, Formasi Walanae merupakan suatu formasi lapisan batuan pembawa air yang bersifat tertekan dengan debit kecil sampai sedang. Air tanah bebas dijumpai pada endapan alluvial dan endapan pantai, endapan formasi walanae serta pada lembah-lembah yang ditempati oleh endapan batuan formasi Camba. 2.1.4. Klimatologi Provinsi Sulawesi Selatan terdapat dua musim, yaitu musim hujan dan musim kemarau, dimana musim hujan bervariasi dari satu daerah ke daerah yang lain. November sampai Maret angin bertiup sangat banyak mengandung uap air yang berasal dari Benua Asia dan Samudera Pasifik sehingga pada bulan-bulan tersebut sering terjadi musim hujan. Berdasarkan klasifikasi tipe iklim menurut Oldeman, Provinsi Sulawesi Selatan memiliki 5 jenis iklim, yaitu Tipe iklim A termasuk kategori iklim sangat basah dimana curah hujan rata-rata 3500-4000 mm/tahun. Wilayah yang termasuk ke dalam tipe ini adalah Kabupaten Enrekang, Luwu, Luwu Utara dan Luwu Timur. Tipe Iklim B, termasuk iklim basah dimana Curah hujan rata-rata 3000 – 3500 mm/tahun. Wilayah tipe ini terbagi 2 tipe yaitu (B1) meliputi 10
Kabupaten Tana Toraja, Luwu Utara, Luwu Timur, Tipe B2 meliputi Gowa, Bulukumba, dan Bantaeng. Tipe iklim C termasuk iklim agak basah dimana Curah hujan ratarata 2500 – 3000 mm/tahun. Tipe iklim C terbagi 3 yaitu Iklim tipe C1 meliputi Kabupaten Wajo, Luwu, dan Tana Toraja. Iklim C2 meliputi Kabupaten Bulukumba, Bantaeng, Barru, Pangkep, Enrekang, Maros dan Jeneponto. Sedangkan tipe iklim C3 terdiri dari Makassar, Bulukumba, Jeneponto, Pangkep, Barru, Maros, Sinjai, Gowa, Enrekang, Tana Toraja, Parepare, Selayar. Tipe iklim D dengan Curah hujan rata-rata 2000 – 2500 mm/tahun. Tipe iklim ini terbagi 3 yaitu Wilayah yang masuk ke dalam iklim D1 meliputi Kabupaten Wajo, Bone, Soppeng, Luwu, Tana Toraja, dan Enrekang. Wilayah yang termasuk ke dalam iklim D2 terdiri dari Kabupaten Wajo, Bone, Soppeng, Sinjai, Luwu, Enrekang, dan Maros. Wilayah yang termasuk iklim D3 meliputi Kabupaten Bulukumba, Gowa, Pangkep, Jeneponto, Takalar, Sinjai dan Kota Makassar Tipe iklim E dengan Curah hujan rata-rata antara 1500 – 2000 mm/tahun dimana tipe iklim ini disebut sebagai tipe iklim kering. Tipe iklim E1 terdapat di Kabupaten Maros, Bone dan Enrekang. Tipe iklim E2 terdapat di Kabupaten Maros, Bantaeng, dan Selayar. 2.2. Sejarah Sebelum Proklamasi RI, Sulawesi Selatan, terdiri atas sejumlah wilayah kerajaan yang berdiri sendiri dan didiami empat etnis yaitu ; Bugis, Makassar, Mandar dan Toraja.
11
Ada tiga kerajaan besar yang berpengaruh luas yaitu Luwu, Gowa dan Bone, yang pada abad ke XVI dan XVII mencapai kejayaannya dan telah melakukan hubungan dagang serta persahabatan dengan bangsa Eropa, India, Cina, Melayu dan Arab. Setelah kemerdekaan, dikeluarkan UU Nomor 21 Tahun 1950 dimana Sulawesi Selatan menjadi propinsi Administratif Sulawesi dan selanjutnya pada tahun 1960 menjadi daerah otonom Sulawesi Selatan dan Tenggara berdasarkan UU Nomor 47 Tahun 1960. Pemisahan Sulawesi Selatan dari daerah otonom Sulawesi Selatan dan Tenggara ditetapkan dengan UU Nomor 13 Tahun 1964, sehingga menjadi daerah otonom Sulawesi Selatan. Periode Gubernur : I. Gubernur Sulawesi 1945 – 1949 DR. G. S.S.J. Ratulangi 1950 – 1951 B. W. Lapian 1951 – 1953 R. Sudiro 1953 – A. Burhanuddin 1953 - 1956 Lanto Dg. Pasewang 1956 – 1959 A. Pangerang Pettarani II. Gubernur Sulawesi Selatan dan Tenggara : 1959 – 1960 A. Pangerang Pettarani 1960 – 1966 A. A. Rivai. III. Gubernur Sulawesi Selatan 1966 – 1978 Ahmad Lamo (Dua periode) 1978 – 1983 Andi Oddang 1983 – 1993 A. Amiruddin (Dua periode)
12
1993 - 2003 H. Z. B. Palaguna (Dua periode) 2003 - 2008 H. M. Amin Syam 2008 - Ahmad Tanribali Lamo Pejabat Gubernur Sementara 2008 - Syahrul Yasin Limpo sekarang 2.3. Sosial Ekonomi dan Budaya Kekayaan dan keragaman budaya dalam tatanan Sulawesi Selatan sangat bervariasi sebagai satu rumpun budaya yang terdiri dari Bugis, Makassar, dan Toraja. Rumpun Makassar dominan berada pada Kabupaten di wilayah Selatan Sulawesi Selatan. Rumpun Toraja tersebar di Kabupaten Tana Toraja dan Luwu. Rumpun Bugis tersebar di wilayah utara Sulawesi Selatan. Gambaran ini menunjukkan keragaman budaya yang tersebar pada wilayah yang beragam pula. Di balik keragaman tersebut, terdapat pula keragaman sistem nilai dan norma serta adat-istiadat yang spesifik. Variasivariasi ini terkait pula dengan potensi kearifan lokal yang bisa berkembang dalam tatanan sosial budaya. Selain itu, terkandung pula potensi berkembangnya interaksi sosial dan komunikasi lintas budaya, yang dapat mendorong dinamika perubahan secara lebih kreatif dalam menanggapi spirit zaman. Komunitas pedesaan terdiri dari nelayan, petambak, petani, dan pengrajin. Komunitas ini merupakan suatu komunitas berskala kecil namun tetap memiliki kearifan lokal. Komunitas petani adalah komunitas yang terbesar di seluruh wilayah Sulawesi Selatan. Disamping itu berapa komunitas yang berbasis pada aktivitas ekonomi sekunder, antara lain pengrajin besi di Massepe Sidrap dan pengrajin perahu di Bira Bulukumba
13
yang berkaitan dengan sumberdaya alam yang ada disekitarnya. Komunitas petani misalnya, memahami kapan waktu yang tepat untuk mulai menanam serta bagaimana menangani hama, demikian pula dengan komunitas nelayan yang telah menyatu dengan pantai dan laut, sehingga mereka dapat memprediksi lebih awal kondisi dan permasalahan yang akan terjadi baik di pantai maupun di laut. Pada era globalisasi, eksistensi keberadaan beberapa komunitas yang terkait dengan sektor pertanian masih ada yang mengalami ketertinggalan akibat dari ketidakmampuan bersaing dengan berbagai produk lainnya yang beredar dipasaran. Disamping itu juga umumnya masih mengalami masalah persyaratan dalam mengakses permodalan pada kelembagaan keuangan seperti Bank Rakyat yang ditawarkan pemerintah melalui berbagai program perkreditan. Disamping itu juga terdapat komunitas tradisional yang mampu bertahan di antaranya adalah komunitas Ammatoa di Kajang Bulukumba, Karangpuang di Sinjai, Tolotang di Sidrap, Aluk Todolo di Toraja, Pua Cerekang di Luwu. Senyatanya, komunitas ini benar-benar merupakan suatu komunitas yang memiliki karakteristik tersendiri. Komunitas ini masih tetap eksis walaupun secara sosial dikelilingi oleh berbagai informasi dan iptek namun karakteristik tetap dipertahankan.
14
BAB III. DEMOGRAFI 3.1. Jumlah Penduduk dan Rasio Jenis Kelamin Penduduk merupakan salah satu sumber daya potensial dalam menunjang aktifitas pembangunan bangsa dan negara. Kedudukannya sebagai Sumber Daya Manusia memegang peranan penting karena berfungsi menggerakkan faktor-faktor produksi dan jasa lainnya. Justru itu, penduduk termasuk kategori aset atau modal pembangungan yang sifatnya dinamis. Namun bila tidak dimanfaatkan seefektif dan seefisien mungkin, penduduk cenderung menjadi tidak produktif dan bahkan semakin menambah beban bagi negara atau daerah tertentu. Keberadaan penduduk sebagai obyek dan subyek pembangunan diharapkan mampu mengembangkan kreatifitasnya dengan segala kemampuan yang dimiliki untuk pencapaian tujuan pembangunan yaitu untuk meningkatkan harkat dan martabatnya agar dapat menikmati hasilhasil pembangunan secara adil dan merata. Perwujudan hal tersebut, tentunya hanya bisa dicapai melalui peningkatan kualitas Sumber Daya Manusia serta mengarahkannya secara profesionalisme. Dalam berbagai kegiatan pembangunan atau produksi, penduduk berfungsi sebagai penyedia tenaga kerja. Kontribusinya terhadap suatu daerah sangat ditentukan oleh tingkat partisipasi kerja. Propinsi Sulawesi Selatan sendiri tidak terlepas dari hal tersebut, dimana penduduknya yang teridi dari laki-laki dan perempuan mempunyai peluang yang sama dalam pasar tenaga kerja untuk menempatkan dirinya sebagai tenaga kerja. Populasi penduduk kadang kala menjadi dilematis karena di samping tersedianya banyak tenaga kerja, dapat pula menimbulkan pengangguran. Penduduk Sulawesi Selatan berdasarkan DAU Tahun 2009 berjumlah 15
7.908.519 jiwa yang tersebar di 24 kabupaten/kota, dengan jumlah penduduk terbesar yakni 1.271.870 jiwa mendiami Kota Makassar. Secara keseluruhan, jumlah penduduk yang berjenis kelamin perempuan lebih banyak dari penduduk yang berjenis kelamin Laki-laki, hal ini tercermin dari angka rasio jenis kelamin yang lebih kecil dari 100. Hanya di daerah Kabupaten Luwu dan Luwu Utara yang menunjukkan angka rasio jenis kelamin lebih besar dari 100, yang berarti penduduk Laki-laki di dua daerah tersebut lebih besar dari jumlah penduduk perempuan. Tabel.3.1. ....Jumlah Penduduk dan Rasio Jenis Kelamin menurut Kabupaten/Kota di Sulawesi Selatan, 2008- 2009 Kabupaten/Kota (1)
(2)
Laki-Laki Male
Perempuan Rasio Jenis Kelamin Female Sex Ratio (3) (5)
01. Selayar 58.659 02. Bulukumba 188. 057 03. Bantaeng 83.500 04. Jeneponto 161.674 05. Takalar 121.738 06. Gowa 305.202 07. Sinjai 110.225 08. Maros 147.210 09. Pangkep 143.138 10. Barru 77.891 11. Bone 326.550 12. Soppeng 108.104 13. Wajo 178.263 14. Sidrap 124.146 15. Pinrang 172 607 16. Enrekang 96.184 17. Luwu 165.895 18. Tana Toraja 236.031 22. Luwu Utara 166.109 25. Luwu Timur 119.294 26. Toraja Utara - - 71. Makassar 617.747 72. Pare Pare 57.032 73. Palopo 71.718 Jumlah - Total 2009 3.836.971 2008 3.763.085 Sumber : BPS Provinsi Selatan (DAU 2009)
16
63.090 206.689 90.676 172.501 136.236 312.110 118.079 159.477 155.563 85.094 385.198 122.640 202.803 128.337 178.435 94.392 162.285 233.308 155.870 118.060
92,98 90,99 92,09 93,72 89,36 97,78 93,35 92,31 92,01 91,53 84,77 88,15 87,90 96,73 96,73 101,90 102,22 101,17 106,57 101,05
654.123 61.810 74.764 4.071.548 4.041.939
94,44 92,27 95,92 94,24 93,10
Penduduk Propinsi Sulawesi Selatan selama periode tahun 2007 – 2008 cenderung mengalami peningkatan, baik untuk jenis kelamin laki-laki maupun perempuan. Jika di tahun 2007 jumlah penduduk sebanyak 7.675.893 jiwa yang terdiri dari laki-laki 3.717.194 jiwa atau 48,43 persen dan perempuan sebesar 3.958.699 jiwa atau 51,57 persen, maka pada tahun 2009 jumlah penduduk mencapai 7.908.519 jiwa dengan rincian : lakilaki 3.836.971 jiwa dan perempuan 4.071.548 jiwa. Apabila ditinjau dari aspek ketenagakerjaan, maka gejala kependudukan tersebut akan menunjukkan relatif tingginya penyediaan tenaga kerja untuk jenis kelamin perempuan sehingga peluangnya untuk memasuki lapangan kerja yang tersedia terbuka luas. Pertambahan penduduk sekitar 232.626 jiwa (periode 2007 – 2009) ditandai dengan meningkatnya penduduk jenis kelamin lakilaki sebanyak 119.777 jiwa dan perempuan sebesar 112849 jiwa persen. Pertumbuhan penduduk di masa yang akan datang diperkirakan terus berlangsung dan membawa dampak terhadap semakin menumpuknya domisili penduduk di daerah perkotaan serta bertambahnya tingkat pengangguran. Oleh sebab itu, diperlukan langkah-langkah antisipatif dengan jalam membuka lapangan kerja secara luas dan merata ke berbagai daerah Kabupaten. 3.2. Jumlah Penduduk menurut Kelompok Umur dan Jenis Menyangkut aspek kependudukan, maka kita dapat memahaminya dari beberapa segi dan tergantung pada kualifikasi kebutuhan data. Kualitas dan kuantitas penduduk tidak semata-mata dinilai dari jumlahnya, tetapi dapat pula ditinjau berdasarkan komposisi umur. Pembagian klasifikasi umur tentunya disesuaikan dengan konsep-konsep ketenagakerjaan karena
17
sangat erat kaitannya terhadap penyajian data terpilah. Tinjauan tenaga kerja berdasarkan kelompok umur, dibedakan atas 2 (dua) yaitu umur produktif dan umur tidak produktif. Termasuk kategori umur produktif adalah tenaga kerja yang berusia 25 sampai 64 tahun, sedangkan umur tidak produktif terdiri dari kelompok usia 0-14 tahun dan di atas 65 tahun. Sehubungan penjelasan tersebut di atas, maka kondisi penduduk Propinsi Sulawesi Selatan ditunjukkan sebagai berikut : Tabel 3.2 ....Penduduk menurut Kelompok Umur dan Jenis Kelamin di Sulawesi Selatan, 2008- 2009 Kelompok Umur (1) 0–4 5-9 10 - 14 15 - 19 20 - 24 25 - 29 30 - 34 35 - 39 40 - 44 45 - 49 50 - 54 55 - 59 60 - 64 65 +
(2)
Laki-Laki Male 375 198 447 014 431 498 351 712 291 052 301 980 275 764 296 539 237 824 210 957 168 401 135 327 106 189 207 515
Perempuan Jumlah Rasio Female Sex Ratio Jenis Kelamin (3) (5) (6) 352 040 407 851 409 938 362 508 309 477 343 087 311 959 327 183 266 303 228 271 195 258 144 647 144 438 268 589
Jml - Total 2009 3.836.971 4.071.548 2008 3.763.085 4.041.939 Sumber : BPS Provinsi Selatan (DAU 2009)
18
727 238 854 865 841 437 714 220 600 529 645 067 587 723 623 722 504 127 439 227 363 660 279 973 250 627 476 104
106,58 109,60 105,26 97,02 94,05 88,02 88,40 90,63 89,31 92,42 86,25 93,56 73,52 77,26
7.908.519 7.805.024
94,24 93,10
Dalam hal ini penduduk diklasifikasikan menurut kelompok umur dan jenis kelamin degan tujuan agar lebih memahami spesifikasi kependudukan sesuai kepentingannya. Pengelompokan umur penduduk pada jenis kelamin laki-laki dan perempuan digolongkan dalam 3 (tiga) tingkatan. Pada tahun 2008, penduduk jenis kelamin laki-laki yang jumlahnya 3.857.664 jiwa terdiri dari : penduduk usia muda di bawah 15 tahun jumlahnya 1.68.101 jiwa atau 32,87 persen, penduduk produktif (15-59 tahun) sebanyak 2.378.918 jiwa atau 61,67 persen, dan penduduk usia lanjut lanjut yaitu bersuai 60 tahun ke atas sebesar 210.645 jiwa atau 5,46 persen. Begitu pula halnya dengan penduduk perempuan yang jumlahnya 4.256.084 jiwa secara rinci terdiri atas : penduduk usia muda di bawah 15 tahun sebesar 1.201.473 jiwa atau 28,22 persen, penduduk produktif 15-59 tahun 2.672.677 jiwa atau 62,80 persen dan usia lanjut yaitu 60 tahun ke atas sebanyak 381.934 jiwa atau 8,98 persen. Lebihlanjut dijelaskan perbandingan kedua jenis kelamin berdasarkan kelompok umur, dimana penduduk laki-laki usia muda sebanyak 38,87 persen lebih besar dari perempuan yaitu 28,22 persen. Untuk kategori usia produktif, laki-laki 61,67 persen lebih kecil dari perempuan yang jumlahnya 62,80 persen. Sementara pada kelompok usia lanjut, laki-laki 5,46 persen lebih kecil dari perempuan yang besarnya 8,98 persen. Apabila kita melihat grafik, nampak sangat jelas bahwa pada keloompok usia 0 -14 tahun jumlah penduduk laki-laki lebih besar dibandingkan perempuan. Kenyataan ini menggambarkan pada periode selanjutnya peluang laki-laki untuk memasuki lapangan kerja 19
lebih potensial ketimbang perempuan. Berbeda halnya dengan kondisi kelompok usia 15 – 59 tahun dan usia 60 tahun ke atas, dimana jumlah penduduk perempuan lebih tinggi dibandingkan lakilaki sehingga lebih memiliki potensi mengisi lapangan kerja. Namun apa yang dijabarkan disini masih sebatas konteks estimasi, sedangkan riilnya tergantung bagaimana kedua jenis kelamin bisa memanfaatkan peluang kerja yang tersedia. Selisih jumlah perempuan dengan laki-laki pada komposisi usia produktif sekitar 1,13 persen karena perempuan mencapai 62,80 persen sedang lakilaki hanya 61,67 persen.
20
BAB IV. PENDIDIKAN Pendidikan, sebagaimana diamanatkan UUD 1945 merupakan tugas pemerintah untuk mengusahakan dan menyelenggarakan sistim pendidikan nasional guna meningkatkan keimanan dan ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang diatur dengan undang-undang. Disamping itu, sistem pendidikan nasional harus mampu menjamin mutu, pemerataan, relevansi dan efisiensi manajemen pendidikan untuk menghadapi tantangan sesuai dengan tuntutan perubahan kehidupan lokal, nasional dan global sehingga perlu dilakukan pembaharuan pendidikan secara terencana, terarah dan berkesinambungan. Untuk itu, salah satu kebijakan dalam bidang pendidikan saat ini adalah Pendidikan Untuk Semua (PUS) atau yang lebih dikenal dengan EFA (Education For All), sesuai kesepakatan internasional yang lebih dikenal dengan Deklarasi DAKAR, yang menargetkan bahwa ; (1) menjelang tahun 2015, semua anak khususnya anak perempuan, anak-anak yang dalam keadaan sulit dan mereka yang termasuk etnik minoritas, mempunyai akses dan menyelesaikan Pendidikan Dasar yang bebas dan wajib dengan kualitas yang baik; (2) mencapai perbaikan 50% pada tingkat keniraksaraan orang dewasa, menjelang tahun 2015, terutama bagi kaum perempuan, dan akses yang adil pada pendidikan dasar dan pendidikan berkelanjutan bagi semua orang dewasa; (3) penghapusan kesenjangan gender pada pendidikan dasar dan menengah pada tahun 2005 dan mencapai kesetaraan gender dalam pendidikan pada tahun 2015, dengan fokus pada kapasitas
21
sepenuhnya bagi anak perempuan terhadap akses dalam memperoleh pendidikan dasar yang bermutu. Menyimak kesepakatan Dakar tersebut, maka kita dapat memahami pentingnya pendidikan yang responsif gender, oleh karena salah satu indikator pembangunan manusia atau yang lebih dikenal dengan HDI/IPM adalah pendidikan. 4.1. Buta Aksara (Keaksaraan Fungsional/KF) 2009
No.
Tabel 4.1 Jumlah Buta Aksara di Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2008 -
Kabupaten/ Kota
Keaksaran Fungsional (KF) Tahun 2008 LK
1 Selayar 2 Bulukumba 3 Bantaeng 4 Jeneponto 5 Takalar 6 Gowa 7 Sinjai 8 Maros 9 Pangkep 10 Barru 11 Bone 12 Soppeng 13 Wajo 14 Sidrap 15 Pinrang 16 Enrekang 17 Luwu 18 Tana Toraja 19 Luwu Utara 20 Luwu Timur 21 Makassar 22 Pare-pare 23 Palopo Jumlah (Prov. Sul-Sel)
1.037 2.031 2.419 3.225 1.474 5.231 819 2.311 601 1.423 648 189 1.955 997 1.197 819 571 823 321 2.389 2.022 441 473 33.416
Jumlah
PR 1.813 3.549 4.226 5.635 2.576 9.139 1.431 4.039 1.049 2.487 1.132 1.981 3.415 1.743 2.093 1.431 33.967 39.737 41.835 23.810 109.407 12.740 14.195 323.430
2.850 5.580 6.645 8.860 4.050 14.370 2.250 6.350 1.650 3.910 1.780 2.170 5.370 2.740 3.290 2.250 34.538 40.560 42.156 26.199 111.429 13.181 14.668 356.846
Sumber : Dinas Pendidikan Provinsi Sulawsi Selatan, 2010
22
Tahun 2009 LK
PR
382 989 3.329 1.239 846 3.305 684 2.420 1.074 1.359 246 513 1.765 393 1.073 403 428 619 425 517 109 167
668 1.731 5.821 2.156 1.479 5.775 1.196 4.230 1.876 2.376 429 896 3.085 687 1.877 697 747 1081 750 907 191 293
22.285
38.948
Jumlah 1.050 2.720 9.150 3.395 2.325 9.080 1.880 6.650 2.950 3.735 675 1.409 4.850 1.080 2.950 1.100 1.175 1.700 1.175 1.424 300 460 61.233
Prov. Sul-Sel
Prov. Sul-Sel
9% 36%
64% 91%
% LK % PR
% LK % PR
Berdasarkan data Dinas Pendidikan Provinsi Sulawesi Selatan seperti terlihat pada Tabel 4.1, jumlah buta huruf (aksara) di Provinsi Sulawesi Selatan untuk tahun 2008 sebanyak 356.846 orang, diantaranya laki-laki sebanyak 33.430 orang atau 9% dan perempuan sebanyak 323.430 orang atau 91%. Sementara untuk tahun 2009 mengalami penurunan sehingga yang buta aksara tersisa 61.233 orang, laki-laki sebanyak 22.285 orang atau 36% dan perempuan sebanyak 38.948 orang atau 64%. Dari 23 kabupaten yang ada di Provinsi Sulawesi Selatan nampaknya Kota Makassar yang terbanyak dengan jumlah penduduk yang buta aksara sebanyak 111.429 orang pada tahun 2008 diantaranya laki-laki 2.022 orang atau 2% dan perempuan 109.407 orang atau 98%. Sementara untuk tahun 2009 Kota Makassar berhasil mengurangi, sehingga jumlah penduduk buta aksara tinggal 1.424 orang, diantaranya laki-laki 517 orang atau 36% dan perempuan sebanyak 907 orang atau 64%.
23
Sementara dari 23 kabupaten di Provinsi Sulawesi Selatan yang paling sedikit jumlah penduduk buta aksara pada tahun 2008 adalah Kabupaten Pangkep yaitu 1.650 orang, diantaranya laki-laki sebanyak 601 orang atau 36% dan perempuan sebanyak 1.049 orang atau 64%. Untuk tahun 2009 kabupaten yang paling sedikit buta aksaranya adalah Kota ParePare yaitu 300 orang, diantaranya laki-laki sebanyak 109 orang atau 36% dan perempuan sebanyak 191 orang atau 64%. Sementara itu informasi data di Kabupaten Luwu Utara belum ada di tahun 2009. Informasi tersebut diatas menunjukkan bahwa Kabupaten Pangkep perlu memperhatikan bagaimana kebijakan di bidang pendidikan agar jumlah penduduk yang buta aksara tidak bertambah tetapi seharusnya berkurang. Hal ini juga berlaku bagi kabupaten lain yang sama kondisinya dengan Kabupaten Pangkep, sehingga apa yang diharapkan sesuai kesepakatan Dakar yaitu mencapai perbaikan 50% pada tingkat keniraksaraan orang dewasa, menjelang tahun 2015, terutama perempuan. 4.2. Partisipasi Sekolah Umumnya, terdapat dua ukuran partisipasi sekolah yang utama, yaitu Angka Partisipasi Kasar (APK) dan Angka Partisipasi Murni (APM). Keduanya mengukur penyerapan penduduk usia sekolah oleh sektor pendidikan. Perbedaan diantara keduanya adalah penggunaan kelompok usia "standar" di setiap jenjang pendidikan. Usia standar yang dimaksud adalah rentang usia yang dianjurkan pemerintah dan umum dipakai untuk setiap jenjang pendidikan, yang ditampilkan pada tabel berikut:
24
Tabel 1: Usia standar di setiap jenjang pendidikan Jenjang SD SMP SMA Perguruan tinggi Angka
Kelompok usia 7 - 12 tahun 13 - 15 tahun 16 - 18 tahun 19 tahun keatas partisipasi
sekolah
sangat
erat
kaitannya
dengan
ketersediaan fasilitas pendidikan dan tenaga pengajar serta kesadaran masyarakat untuk aktif dalam bidang pendidikan. Untuk dapat melihat keadaan partisipasi sekolah, maka hal penting yang perlu dikaji sebelumnya adalah ketersediaan fasilitas dan tenaga pengajar sekolah sebagai bagian dari faktor yang menentukan keberhasilan dalam proses belajar mengajar. Keaktifan masyarakat sangat menentukan tingkat partisipasi sekolah sehingga kesadaran, motivasi dan semangat masyarakat memanfaatkan fasilitas untuk bersekolah sangat penting. Pemerataan pendidikan bagi masyarakat sebagai wujud pemerataan pendidikan nasional memerlukan dukungan yang besar bagi semua kalangan baik dari pemerintah pusat terlebih lagi dari masyarakat, wujud dari partisipasi ini adalah tersedianya fasilitas pendidikan berupa sarana dan prasarana sekolah. Ketersediaan sarana dan prasarana sekolah akan mempermudah para siswa untuk mengakses pendidikan, sarana dan prasarana yang memadai akan menciptakan lingkungan pendidikan yang berkualitas, suasana belajar akan lebih hidup dan minat mencari ilmu pengetahuan bagi siswa akan tinggi.
25
Tabel 4.2 Jumlah Sarana dan Prasarana Sekolah Menurut Kabupaten di Provinsi Sulawesi Selatan Kabupaten/ Kota
Sekolah
Selayar Bulukumba Bantaeng Jeneponto Takalar Gowa Sinjai Maros Pangkep Barru
15 63 16 86 19 60 41 130 38 53
159 351 138 253 233 381 248 672 253 340
34 62 21 54 38 81 39 103 51 55
SD LB 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
Bone Soppeng Wajo Sidrap Pinrang Enrekang Luwu Tana Toraja Luwu Utara Luwu Timur Makassar Pare-pare Palopo Jumlah (Prov. SulSel)
52 134 61 64 33 23 54 42 83 51 202 43 28
231 433 259 252 336 212 227 351 150 376 479 100 70
31 42 55 46 49 37 64 46 34 112 179 24 22
1 1 1 1 1 1 1 1
1.279
18
TK
1.391
SD
6.504
SLTP
Total SLB
RA
MI
MTs
SLTA
MA
SMK
2 1 1 3 1 2 1
20 29 2 5 1 22 11 11 8 7
13 36 12 15 9 76 26 77 23 11
10 42 24 35 18 60 27 54 30 21
7 14 4 12 11 18 8 22 20 14
1 13 14 12 9 18 15 13 15 12
4 7 5 8 7 13 4 5 6 7
264 620 237 482 347 733 421 1.090 445 522
2 1 1 0 3 11 3 -
10 14 13 9 34 6 3 3 6 22 12 -
27 21 33 11 23 20 44 22 15 10 56 8 2
16 26 19 17 19 20 34 37 23 5 40 10 3
9 12 9 12 13 10 15 10 15 24 104 7 14
10 6 8 8 5 10 13 11 7 2 22 8 1
3 8 6 6 8 5 4 2 2 36 87 11 26
390 699 465 426 521 344 458 524 329 626 1.202 227 167
233
270
32
248
590
590
384
Sumber: Dinas Pendidikan Sulawesi Selatan Tahun 2010
Tabel 4.2 diatas menunjukkan ketersediaan sarana sekolah di Sulawesi Selatan sebanyak 11.539 unit, sarana sekolah terbanyak di Kota Makassar yang merupakan ibukota provinsi dengan jumlah 1.202 buah diantaranya sarana sekolah TK sebanyak 202 unit jenjang pendidikan tingkat SD sebanyak 479 unit, jenjang pendidikan SLTP sebanyak 179 unit, SLB 11 unit, RA 22 unit, MI 56 unit, MTs 40 unit, SLTA 104 unit, MA 22 unit dan jenjang pendidikan SMK sebanyak 87 unit. Sedangkan kabupaten yang memiliki jumlah sarana sekolah paling sedikit adalah Kota Palopo dengan jumlah 167 unit diantaranya sarana sekolah TK sebanyak 28 unit
26
11.539
jenjang pendidikan SD sebanyak 70 buah, jenjang pendidikan SLTP sebanyak 22 unit, MI 2 unit, MTs 3 unit, SLTA 14, MA I unit dan jenjang pendidikan SMK sebanyak 26 unit. Untuk lebih jelasnya mengenai perbandingan jumlah sarana sekolah berdasarkan jenjang pendidikan pada setiap kabupaten di Provinsi Sulawesi Selatan dapat dilihat pada Diagram 4.3.
27
Diagram 4.3 menujukkan ketersediaan sarana sekolah di Provinsi Sulawesi Selatan yang terlihat bahwa persentase ketersediaan sarana sekolah terbanyak berturut-turut yaitu pada jenjang pendidikan SD sebanyak 57%, kemudian TK sebanyak 12 %, jenjang pendidikan SLTP sebanyak 11 % dan SLTA sebanyak 3 %. Peningkatan mutu pendidikan bagi murid sekolah selain dengan tersedianya sarana dan prasarana pendidikan juga harus ditunjang oleh tenaga pengajar yang profesional agar program pendidikan berjalan dengan baik.
Diagram 4.3. Persentase Ketersediaan Sarana Sekolah Menurut Pendidikan di Provinsi Sulawesi Selatan
Berdasarkan Tabel 4.3 diatas yang bersumber dari Dinas Pendidikan Provinsi Sulawesi Selatan 2010 menunjukkan bahwa jumlah guru di Provinsi Sulawesi Selatan sebanyak 21.399 orang diantaranya guru pada jenjang pendidikan TK sebanyak 7.227 orang, yang terdiri dari laki-laki hanya 1 orang dan perempuan 7.226 orang. Adanya perbedaan yang mencolok antara jumlah guru laki-laki dan perempuan pada jenjang
28
pendidikan TK ini kemungkinan dipengaruhi oleh minat dari laki-laki untuk menjadi guru TK yang rendah dibanding perempuan, dan ini tidak lepas pula dari asumsi dasar masyarakat tentang peran gender. Selanjutnya pada jenjang pendidikan SD/MI sebanyak 54.629 orang yang terdiri dari laki-laki 22.232 orang dan perempuan 32.397 orang, dan pada jenjang pendidikan SLTP/MTs sebanyak 12.850 yaitu laki-laki 54.629 orang dan perempuan 8.549 orang. Untuk jenjang pendidikan SLTA/MA tidak diperoleh data tentang jumlah guru yang ada. Untuk melihat perbandingan jumlah guru menurut jenis kelamin dapat dilihat pada Diagram 4.4. berikut:
Diagram 4.4. Jumlah Guru Menurut Jenis Kelamin pada Jenjang Pendidikan TK SLTP di Provinsi Sulawesi Selatan Pada Diagram 4.4 tersebut, nampak bahwa persentase guru perempuan yang mengajar mulai dari jenjang pendidikan TK sampai SLTP jauh lebih banyak yaitu mencapai 63 % dibanding laki-laki yaitu dengan persentase 37 %. Hal ini dapat mengindikasikan bahwa peran perempuan 29
dalam memajukan pendidikan di Provinsi Sulawesi Selatan sudah cukup baik. Selanjutnya untuk itu dapat melihat keadaan partisipasi sekolah di Provinsi Sulawesi Selatan yang terdiri dari Angka Partisipasi Sekolah (APS), Angka Partisipasi Murni (APM), dan Angka Partisipasi Kasar (APK) berdasarkan kelompok umur. 4.2.1. Angka Partisipasi Sekolah Angka partisipasi sekolah merupakan ukuran daya serap sistem pendidikan
terhadap
penduduk
usia
sekolah.
Angka
tersebut
memperhitungkan adanya perubahan penduduk terutama usia muda. Ukuran yang banyak digunakan di sektor pendidikan seperti pertumbuhan jumlah murid lebih menunjukkan perubahan jumlah murid yang mampu ditampung di setiap jenjang sekolah. Sehingga, naiknya persentase jumlah murid tidak dapat diartikan sebagai semakin meningkatnya partisipasi sekolah. Kenaikan tersebut dapat pula dipengaruhi oleh semakin besarnya jumlah penduduk usia sekolah yang tidak diimbangi dengan ditambahnya infrastruktur sekolah serta peningkatan akses masuk sekolah sehingga partisipasi sekolah seharusnya tidak berubah atau malah semakin rendah. Data nasional tahun 2006 sampai tahun 2008 menunjukkan bahwa APS berkecenderungan meningkat pada semua kelompok umur baik anak laki-laki maupun anak perempuan. Tidak ada perbedaan pencapaian yang nyata antara laki-laki dan perempuan disemua jenjang pendidikan, bahkan pada kelompok usia 7-12 thn dan 13-15 tahun anak perempuan lebih tinggi dibandingkan anak lakilaki. Sementara apabila kita mencermati perbedaan antar wilayah perdesaan 30
dan perkotaan, wilayah perkotaan cenderung lebih tinggi pencapaiannya apabila dibanding perdesaan, hal ini terjadi disemua jenjang pendidikan. Artinya didalam rangka meningkatkan angka pencapaian APS nasional, wilayah perdesaan perlu mendapatkan perhatian yang lebih baik. Berdasarkan data Susenas 2008 menunjukkan bahwa APS Sulsel untuk usia 16-18 tahun masih dibawah 50% (tabel 4.4). Tabel 4.4. Angka Partisipasi Sekolah (APS) menurut Usia Sekolah,dan Jenis Kelamin, Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2008
Sumber data : BPS, Susenas 2008
31
Data diatas menunjukkan bahwa untuk usia sekolah 7 -12 tahun, akses lakilaki maupun perempuan sudah cukup tinggi, sehingga arah kebijakan pendidikan kedepan hendaknya lebih ditujukan pada peningkatan kualitas. Untuk usia 13-15 tahun relative lebih rendah dibandingkan usia 7 -12 tahun. Hal ini menunjukkan bahwa keberlanjutan pendidikan anak-anak usia 7 – 12 tahun ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi perlu mendapatkan perhatian, sehingga ketersediaan sarana prasarana pendidikan di jenjang SLTP diperlukan untuk meningkatkan akses pendidikan lanjutan bagi anak-anak. Selanjutnya, dari tabel diatas dapat pula dilihat bahwa partisipasi usia sekolah di jenjang pendidikan yang semakin tinggi, cenderung menurun. Tabel 4.5. APS menurut Usia Sekolah,dan Jenis Kelamin, Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2009
Sumber data : BPS, Susenas 2009
32
4.2.2. Angka Partisipasi Murni Angka Partisipasi Murni (APM) adalah persentase siswa dengan usia yang berkaitan dengan jenjang pendidikannya dari jumlah penduduk di usia yang sama. Indikator APM merupakan indikator yang lebih baik dibanding dengan indikator APK, sebab APK biasanya digunakan ketika APM-nya masih jauh dari 100 persen. APK dapat mencapai lebih dari 100 persen, sedangkan APM semestinya maksimal 100 persen. Tabel 4.6. APM menurut Usia Sekolah,dan Jenis Kelamin, Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2008
Sumber data : BPS, Susenas 2008
33
Berdasarkan tabel 4.6 dan 4.7 nampak bahwa Angka Partisipasi Murni untuk golongan usia semakin tinggi, APMnya semakin rendah. Kecenderungan ini terjadi baik di kelompok laki-laki maupun perempuan, meskipun jika dilihat persentasenya, perempuan sedikit lebih tinggi APMnya dibandingkan laki-laki. Suatu hal yang sangat memprihatinkan bahwa APM usia 16-18 tahun masih dibawah 50%, artinya kesempatan untuk memperoleh pendidikan bagi laki-laki dan perempuan di jenjang pendidikan menengah atas, masih sangat rendah. Untuk tahun 2009, terdapat penurunan APM perempuan di kelompok usia ini. Tabel 4.7. APM menurut Usia Sekolah,dan Jenis Kelamin, Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2009
Sumber data : BPS, Susenas 2009
34
Hal ini sejalan dengan data Dinas Pendidikan yang menunjukkan bahwa jumlah anak sekolah untuk tahun 2008/2009 kelompok umur 07 – 12 tahun di Provinsi Sulawesi Selatan, anak perempuan lebih banyak yaitu 883.257 orang (53,78 %) sementara laki-laki sebanyak 758.996 orang atau 46,22 % dari total 1.642.253 orang. Untuk kelompok umur 13 – 15 tahun ada 930.666 orang diantaranya laki-laki sebanyak 452.355 orang (48,61 %) dan perempuan sebanyak 478.311 orang (51,39 %) yang lebih banyak dari pada laki-laki. Tabel 4.8 Jumlah Peserta Didik Menurut Kelompok Umur Tahun 2008/2009 Kabupaten / Kota Selayar
Bulukumba Bantaeng Jeneponto Takalar Gowa Sinjai Maros Pangkep Barru Bone Soppeng Wajo Sidrap Pinrang Ebrekang Luwu Tana Toraja Luwu Utara Luwu Timur Makassar Pare-pare Palopo Jumlah (Prov. SulSel)
07 - 12 Thn LK PR 13.169 17.191
Jml 30.360
Kelompok Umur 13 - 15 Thn Jml LK PR 5.953 5.418 11.371
16 - 18 Thn LK PR 6.094 5.289
Jml 11.383
34.992 14.622 32.038 22.853 58.107 24.256 25.377 30.494 19.395 83.162 27.274 42.766 30.502 38.136 16.159 31.455 39.735 40.808 23.350 87.986 10.687 11.673
44.646 17.990 38.120 29.031 63.976 28.951 29.710 40.252 21.659 96.112 32.379 55.780 32.121 43.616 16.032 33.967 39.737 41.835 23.810 109.407 12.740 14.195
79.638 32.612 70.158 51.884 122.083 53.207 55.087 70.746 41.054 179.274 59.653 98.546 62.623 81.752 32.191 65.422 79.472 82.643 47.160 197.393 23.427 25.868
19.902 8.194 16.760 15.188 29.072 12.394 18.046 14.749 8.143 29.992 13.441 16.576 16.620 21.978 12.596 23.851 36.745 18.807 15.095 77.155 9.357 11.741
21.841 7.783 19.937 13.455 34.568 12.081 17.202 12.473 8.588 40.609 16.148 20.697 16.278 24.248 13.986 24.156 33.632 16.529 13.830 86.185 8.950 9.717
41.743 15.977 36.697 28.643 63.640 24.475 35.248 27.222 16.731 70.601 29.589 37.273 32.898 46.226 26.582 48.007 70.377 35.336 28.925 163.340 18.307 21.458
23.879 6.832 17.550 12.808 32.966 7.127 21.707 17.998 6.810 29.266 10.807 14.842 13.804 17.017 12.877 21.663 23.860 13.340 18.645 162.954 12.135 14.262
19.386 5.784 15.222 12.222 30.715 8.792 18.219 12.830 8.827 27.234 10.723 12.860 11.697 16.756 11.540 17.971 20.254 9.970 12.549 164.613 11.694 14.560
43.265 12.616 32.772 25.030 63.681 15.919 39.926 30.828 15.637 56.500 21.530 27.702 25.501 33.773 24.417 39.634 44.114 23.310 31.194 327.567 23.829 28.822
758.996
883.257
1.642.253
452.355
478.311
930.666
519.243
479.707
998.950
Sumber : Dinas Pendidikan Provinsi Sulawesi Selatan 2010
35
Sementara untuk kelompok umur 16–18 tahun jumlahnya sebanyak 998.950 orang diantaranya laki-laki sebanyak 519.243 orang (51,98 %) dan perempuan sebanyak 479.707 orang (51,39 %). Dengan mencermati tingkat APS pada kelompok umur 07 – 12 tahun sederajat SD dan kelompok umur 13– 15 tahun yang sederajat SMP, nampaknya APS perempuan lebih tinggi dari APS anak laki-laki. Tetapi APS pada kelompok umur 16– 8 tahun yang sederajat SMU nampaknya APS laki-laki lebih tinggi dari pada APS perempuan. Hal ini mencerminkan bahwa makin tinggi tingkat pendidikan partisipasi perempuan makin menurun. 4.2.3
Angka Partisipasi Kasar (APK) Indikator ini digunakan untuk mengukur proporsi anak sekolah pada
suatu jenjang pendidikan tertentu dalam kelompok umur yang sesuai dengan jenjang pendidikan tersebut. Angka partisipasi kasar dapat memberikan gambaran tentang banyaknya anak yang menerima pendidikan pada jenjang tertentu. Untuk mendapatkan gambaran Angka Partisipasi Kasar (APK) di Provinsi Sulawesi Selatan dapat dilihat pada Tabel 4.9 dan 4.10. Berdasarkan tabel tersebut, nampak bahwa secara umum terjadi kenaikan angka partisipasi kasar dari tahun 2008 ke tahun 2009, khususnya untuk usia 13-15, 16-18, dan 19-24 tahun. Namun, untuk usia 7-12 tahun justru mengalami pnurunan. Jika dilihat berdasarkan jenis kelamin, nampak bahwa APK perempuan pada jenjang sekolah SMP sampai PT lebih tinggi dibandingkan laki-laki. Hal ini menunjukkan bahwa partisipasi laki-laki justru menurun di usia sekolah yang semakin tinggi. Untuk usia 7-12 tahun terdapat kecendungan penurunan baik laki-laki maupun perempuan, dan 36
pada tahun 2009, keadaannya menjadi berbanding terbalik dengan tahun 2008, dimana perempuan menjadi lebih tinggi APKnya dibandingkan laki-laki. Fenomena ini cukup memprihatinkan, ditegah-tengah gencarnya upaya pemberdayaan perempuan dan keseteraan gender, namun justru ada kecenderungan menurunnya partisipasi laki-laki dalam pendidikan.
Tabel 4.9. APK menurut Usia Sekolah,dan Jenis Kelamin, Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2008
Sumber data : BPS, Susenas 2008
37
Tabel 4.10. APK menurut Usia Sekolah,dan Jenis Kelamin, Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2009
Sumber data : BPS, Susenas 2009
4.3. Pendidikan Tertinggi yang Ditamatkan Pendidikan yang lebih baik berpengaruh terhadap peningkatan potensi dasar penduduk dalam menerima perubahan-perubahan sosial dan ekonomi, berinovasi, dan menyerap teknologi baru untuk mendukung kehidupannya ke arah yang lebih baik. Selain Tingkat Partisipasi Sekolah (TPS), Pendidikan tertinggi yang ditamatkan penduduk dapat dijadikan sebagai salah satu alat kontrol untuk melihat sejauh mana peningkatan pembangunan bidang pendidikan. Semakin tinggi tingkat pendidikan yang 38
ditamatkan maka kualitas sumberdaya manusia secara umum akan semakin tinggi. Salah satu ukuran keberhasilan pembangunan pendidikan dapat dilihat dari kualitas tingkat pendidikan yang ditamatkan. Banyaknya penduduk yang berpendidikan tinggi menunjukkan semakin baik kualitas penduduknya. Tabel berikut menunjukkan penduduk Sulawesi Selatan yang berumur 10 tahun ke atas menurut pendidikan tertinggi yang ditamatkan. Tabel tersebut memperlihatkan bahwa masih adanya kesenjangan tingkat pendidikan antara penduduk laki-laki dan perempuan. Persentase perempuan tamat SD masih cukup tinggi dibandingkan laki-laki. dan semakin tinggi jenjang pendidikan, persentase perempuan semakin menurun. Namun disisi lain, untuk D1/2/3 dan sarjana muda, justru laki-laki lebih rendah . Meskipun demikian, secara umum, semakin tinggi jenjang pendidikan, persentasenya semakin menurun, sehingga partisipasi dan kesempatan laki-laki maupun perempuan untuk memperoleh pendidikan dalam rangka peningkatan kualitas manusia Sulawesi Selatan masih harus ditingkatkan.
39
Tabel 4.11. Persentase Penduduk Menurut Jenis Kelamin, Pendidikan yang Ditamatkan dan Kabupaten/Kota Tahun 2008 Kab/Kota
SD
SLTP
SMU
SMA Kejuruan
D I/II
D III/ Sarmud
D IV/S 1/S 2/S 3
Lk
Prp
Lk
Prp
Lk
Prp
Lk
Prp
Lk
Prp
Lk
Prp
Lk
Prp
01 Selayar
30,33
34,61
13,71
10,91
12,76
8,93
1,28
1,72
1,62
2,02
0,47
1,01
4,01
4,40
02 Bulukumba
23,95
27,39
13,62
13,40
14,28 10,69
2,06
1,20
0,83
1,66
0,21
0,65
4,89
3,91
03 Bantaeng
22,70
24,18
12,72
10,46
9,44
6,60
1,17
1,18
1,28
2,74
0,86
0,93
4,12
4,35
04 Jeneponto
25,13
27,51
13,14
14,39
13,01 10,20
0,76
0,79
1,15
1,06
0,29
0,44
3,48
2,48
05 Takalar
23,64
26,99
15,71
12,51
10,77
9,81
2,48
1,55
0,86
1,45
0,47
0,43
3,36
2,85
06 Gowa
25,13
25,78
12,57
13,93
11,28 11,04
2,97
1,34
0,36
0,85
1,09
0,84
4,92
4,00
07 Sinjai
28,75
31,03
14,69
12,95
7,42
8,13
1,02
1,29
0,92
1,85
0,74
0,57
4,76
3,86
08 Maros
22,40
24,03
15,93
13,91
17,24 13,75
1,92
0,98
0,76
1,57
0,58
0,80
4,65
3,57
09 Pangkep
27,75
32,43
13,42
10,05
11,80
8,55
4,58
1,78
0,87
1,87
0,78
1,54
4,75
4,80
10 Barru
32,14
30,46
13,50
12,08
9,20
11,21
2,08
1,21
0,66
2,07
0,44
0,75
4,29
3,75
11 Bone
32,83
30,62
11,84
12,94
10,41
8,21
1,15
0,46
0,57
1,47
0,48
0,39
3,86
2,80
12 Soppeng
31,56
31,31
15,55
15,62
11,78
9,84
0,73
0,52
0,42
0,61
0,52
0,78
3,25
2,90
13 Wajo
30,88
32,95
11,97
12,22
10,08
6,91
0,64
0,69
0,42
1,13
0,21
0,52
4,12
2,77
14 Sidrap
31,59
30,35
17,21
15,38
11,56
9,74
2,73
1,31
0,19
0,94
1,05
0,61
4,09
3,99
15 Pinrang
30,03
30,52
17,30
16,97
11,70 10,94
1,70
0,79
0,60
0,80
0,70
0,53
4,58
4,33
16 Enrekang
23,96
21,82
18,68
19,04
16,72 14,00
2,38
1,71
1,35
2,59
1,04
1,53
7,89
5,36
17 Luwu
26,98
27,54
20,45
19,59
15,31 12,90
3,27
1,68
0,74
1,41
0,47
1,15
3,56
3,98
18 TanaToraja
23,16
23,63
21,42
20,00
9,79
9,75
4,11
2,29
0,38
0,10
0,38
1,26
5,52
3,96
22 LuwuUtara
34,46
36,46
15,88
14,41
9,14
8,12
2,12
0,57
0,56
0,68
0,75
0,29
2,60
2,20
25 LuwuTimur
25,84
28,33
16,70
16,45
17,89 13,50
2,74
1,43
0,66
1,72
0,77
0,93
4,73
3,87
71 Makassar
18,37
20,09
16,11
15,82
29,65 27,73
4,37
2,49
0,26
1,21
1,89
2,26
14,05 11,68
72 Parepare
22,82
25,68
19,98
18,04
20,45 20,04
5,46
3,53
0,67
1,72
1,14
1,72
10,91
8,40
73 Palopo Jumlah
21,12 25,95
25,12 27,23
21,25 15,47
17,19 14,75
22,15 23,24 15,15 13,35
3,66 2,60
2,52 1,44
0,62 0,61
1,04 1,29
1,88 0,85
1,84 1,04
11,67 6,19
7,78 5,09
Sumber data : BPS, Susenas 2008
40
Tabel 2.8. Persentase Penduduk Menurut Jenis Kelamin, Pendidikan yang Ditamatkan dan Kab/Kota Tahun 2009 Kab/Kota
SLTP Lk Prp -5 -5
SMU Lk Prp -6 -6
SMA Kejuruan Lk Prp -7 -7
Prp -8
D III/ Sarmud Lk Prp -9 -9
D IV/S 1/S 2/S 3 Lk Prp -10 -10
Prp -4
01 Selayar
30,38
28,21
14,25
13,74
10,31
7,62
3,49
2,44
0,98
2,07
0,86
0,85
3,15
4,25
02 Bulukumba
26,69
30,41
17,43
14,39
12,24
10,55
4,15
2,47
0,72
1,21
0,55
1,04
2,27
3,22
03 Bantaeng
24,02
25,39
12,07
12,47
10,03
6,05
2,46
2,15
0,65
1,93
0,57
0,64
3,66
2,36
04 Jeneponto
23,21
26,23
14,79
14,02
10,85
7,14
2,54
2,02
0,87
1,31
0,63
1,45
2,15
2,26
05 Takalar
21,97
25,24
15,32
14,78
15,29
10,96
2,07
1,67
0,40
0,41
0,78
1,33
2,14
1,90
06 Gowa
23,04
24,28
14,77
17,08
14,55
12,13
5,48
4,21
0,64
1,40
1,27
1,58
4,26
3,88
07 Sinjai
31,19
30,46
13,26
12,15
10,99
9,82
2,80
2,80
0,83
2,15
1,04
1,87
3,11
3,27
08 Maros
26,22
28,85
14,31
14,10
17,47
10,71
2,12
0,84
0,19
0,58
0,49
0,58
2,73
1,51
09 Pangkep
31,91
33,24
11,65
11,09
11,40
8,50
5,05
2,63
0,40
0,72
0,60
0,81
3,45
2,87
10 Barru
29,87
33,53
15,84
16,19
12,57
10,89
3,24
2,23
0,53
0,72
1,02
1,43
4,24
3,98
11 Bone
31,70
32,32
12,64
12,26
11,64
8,73
1,31
1,34
0,37
1,19
0,55
0,60
3,65
3,94
12 Soppeng
31,89
29,25
15,10
16,73
12,70
11,60
3,47
2,11
0,67
1,58
0,88
2,12
3,67
2,88
13 Wajo
36,44
36,14
12,45
11,79
10,20
8,10
1,42
1,07
0,42
0,80
0,22
0,98
4,35
2,90
14 Sidrap
28,52
28,32
16,60
16,97
12,93
10,12
4,16
2,96
0,38
0,44
0,66
0,80
3,03
2,43
15 Pinrang
33,51
31,48
17,05
16,18
12,84
12,00
4,03
2,18
0,19
0,81
0,48
1,18
3,08
2,63
16 Enrekang
26,43
24,40
17,60
18,03
15,47
12,70
4,30
1,95
0,60
2,12
0,89
1,59
4,96
3,74
17 Luwu
30,35
29,65
19,10
19,13
15,52
16,81
3,19
1,40
0,46
0,75
0,56
0,93
2,05
1,76
18 TanaToraja
24,74
25,91
17,49
18,30
11,70
11,23
5,77
2,89
0,82
0,75
0,83
0,93
2,83
1,74
22 LuwuUtara
34,72
34,02
16,85
15,33
10,68
8,98
2,07
0,68
0,47
1,07
0,66
0,95
3,36
3,19
25 LuwuTimur
27,67
29,69
17,19
18,19
15,33
12,59
6,21
2,00
0,85
1,72
0,37
1,24
3,63
71 Makassar
17,40
19,37
15,65
18,24
32,08
27,40
6,57
3,75
0,61
0,95
2,25
3,41
4,81 11,4 5
72 Parepare
18,84
21,96
21,95
20,49
22,97
21,48
7,68
4,59
0,36
1,76
1,49
2,62
7,13
6,20
73 Palopo Jumlah
21,56 26,55
22,11 27,64
21,87 15,54
19,79 15,70
23,20 16,24
24,31 13,54
6,38 4,10
5,13 2,48
1,00 0,57
1,11 1,10
0,90 0,96
2,76 1,53
7,83 4,79
7,47 4,15
Sumber data : BPS, Susenas 2009
41
Lk -8
D I/II
-4
-1
Lk
SD
9,62
Secara umum di Sulawesi Selatan, Persentase penduduk yang berpendidikan rendah masih relatif tinggi. Hal ini terlihat dari persentase penduduk yang menamatkan pendidikan pada tingkat sekolah dasar masih lebih tinggi dibanding pada jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Persentase tertinggi adalah penduduk yang menamatkan pendidikan SD yaitu 46 %, selanjutnya penduduk yang menamatkan pendidikan SLTP/MTs/Paket B sebesar 23 %, penduduk yang menamatkan pada jenjang pendidikan SLTA sebesar 28 %. Tentunya diharapkan kedepan penduduk Sulawesi Selatan dapat lebih ditingkatkan lagi pendidikan yang ditamatkannya yang akan berpengaruh pada kondisi sosial ekonomi masyarakat akan semakin baik. 4.4. Putus Sekolah Partisipasi Sekolah dapat dikaitkan dengan keadaan putus sekolah. Di Sulawesi Selatan masih cukup banyak dijumpai anak putus sekolah, sebagaimana digambarkan dalam Tabel 2.4. berikut. Kemiskinan seringkali menjadi alasan bagi siswa sekolah untuk tidak melanjutkan sekolah, karena mereka diharapkan membantu mencari nafkah untuk keluarganya, dan anggapan lebih baik bekerja dengan mendapatkan uang, disamping anggapan bahwa semakin tinggi jenjang pendidikan, semakin besar biaya yang diperlukan, sementara masyarakat miskin dan rumah tangga miskin tidak memiliki penghasilan yang cukup untuk biaya pendidikan. Kondisi geografis juga berpengaruh terhadap tingginya angka putus sekolah. Aksesibiltas yang rendah untuk menjangkau sekolah dengan sarana dan prasarana transportasi yang terbatas dan masih sulit dijangkau
42
oleh masyarakat di pelosok pedesaan dan wilayah kepulauan, merupakan salah satu alasan bagi siswa untuk tidak melanjutkan sekolah, meskipun guru telah memberikan dorongan dan motivasi kepada siswa agar tidak putus sekolah. Angka putus sekolah menurut kelas dan jenjang sekolah, tampak mulai terjadi sejak
SD, dan menunjukkan persentase yang meningkat
seiring dengan jenjang sekolah. Hal ini mengindikasikan masih adanya hambatan bagi anak untuk bertahan belajar di sekolah sejak memasuki sekolah dasar. Tabel 4.11. Persentase Penduduk Berdasarkan Status Putus Sekolah Menurut Jenis Kelamin, Usia dan Kabupaten/KotaTahun 2008
Sumber data : BPS, Susenas 2008 43
Tabel 4.12. Persentase Penduduk Berdasarkan Status Putus Sekolah Menurut Jenis Kelamin, Usia dan Kabupaten/KotaTahun 2009 Kabupaten/ Kota 7-12
Laki-laki 13-15 16-18
Tidak bersekolah lagi Jenis Kelamin 19-24
7-12
Perempuan 13-15 16-18
19-24
01 Selayar
3,15
15,75
44,75
85,32
1,32
5,45
39,26
93,80
02 Bulukumba
2,12
15,91
32,90
92,05
0,70
20,04
59,19
81,37
03 Bantaeng
6,12
15,88
58,00
81,82
3,56
33,07
52,97
88,66
04 Jeneponto
3,41
24,84
51,15
77,39
3,99
22,28
64,84
91,91
05 Takalar
3,80
25,25
55,61
87,49
3,51
20,13
49,30
88,19
06 Gowa
1,81
14,10
38,88
83,70
-
17,64
47,39
80,16
07 Sinjai
2,02
10,50
35,12
87,22
0,60
16,10
37,68
76,17
08 Maros
3,48
19,38
45,83
91,97
1,93
20,37
61,11
89,64
09 Pangkep
4,31
32,93
54,92
91,93
3,84
32,55
60,72
86,22
10 Barru
5,88
20,39
42,48
86,50
3,38
15,73
54,15
82,27
11 Bone
2,74
29,75
59,66
85,81
0,96
28,39
46,08
86,34
12 Soppeng
2,59
12,53
53,51
90,74
1,45
14,78
35,41
89,23
13 Wajo
2,22
31,45
63,31
91,23
3,57
30,34
60,61
90,83
14 Sidrap
3,28
26,76
40,12
92,43
3,29
17,86
44,72
84,78
15 Pinrang
4,11
23,82
58,31
95,42
2,82
12,81
54,33
89,02
16 Enrekang
1,25
11,65
40,28
86,48
0,45
4,01
21,30
84,51
17 Luwu
1,33
8,71
52,77
94,76
1,63
11,32
49,18
89,96
18 TanaToraja
1,65
9,79
33,18
93,22
1,76
8,94
28,85
83,21
22 LuwuUtara
2,24
22,67
50,79
95,49
2,68
7,53
37,43
91,79
25 LuwuTimur
3,20
12,45
37,27
94,26
1,56
7,85
27,29
88,47
71 Makassar
2,94
13,33
45,61
66,22
0,81
12,05
40,27
58,30
72 Parepare
2,92
12,72
49,93
91,61
2,01
9,22
37,47
78,08
73 Palopo
0,56
5,22
33,48
79,44
0,57
5,20
32,06
68,24
2,74
18,61
46,86
83,97
1,74
16,88
46,39
79,78
Jumlah
Sumber data : BPS, Susenas 2009 44
Berdasar table 4.11 dan 4.12, angka putus sekolah di Sulawesi Selatan menunjukkan persentase laki-laki lebih besar daripada perempuan, di semua jenjang usia pendidikan. Banyaknya laki-laki yang putus sekolah dimungkinkan karena beberapa hal meliputi pergi merantau mencari pekerjaan di daerah lain, membantu orangtua mencari nafkah, dan juga disebabkan oleh factor internal siswa laki-laki. Tabel tersebut juga menunjukkan bahwa keadaan putus sekolah pada jenjang pendidikan yang lebih tinggi cenderung semakin meningkat persentasenya.
4.5. Pendidikan Anak Usia Dini Pendidikan anak usia dini (PAUD) adalah jenjang pendidikan sebelum jenjang pendidikan dasar yang merupakan suatu upaya pembinaan yang ditujukan bagi anak sejak lahir sampai dengan usia enam tahun yang dilakukan melalui pemberian rangsangan pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani agar anak memiliki kesiapan dalam memasuki pendidikan lebih lanjut, yang diselenggarakan pada jalur formal, nonformal, dan informal. Pendidikan anak usia dini merupakan salah satu bentuk penyelenggaraan pendidikan yang menitikberatkan pada peletakan dasar ke arah pertumbuhan dan perkembangan fisik (koordinasi motorik halus dan kasar), kecerdasan (daya pikir, daya cipta, kecerdasan emosi, kecerdasan spiritual), sosio emosional (sikap dan perilaku serta agama) bahasa dan komunikasi, sesuai dengan keunikan dan tahap-tahap perkembangan yang dilalui oleh anak usia dini.
45
Ada dua tujuan diselenggarakannya pendidikan anak usia dini yaitu: •
Tujuan utama: untuk membentuk anak Indonesia yang berkualitas, yaitu anak yang tumbuh dan berkembang sesuai dengan tingkat perkembangannya sehingga memiliki kesiapan yang optimal di dalam memasuki pendidikan dasar serta mengarungi kehidupan di masa dewasa.
•
Tujuan penyerta: untuk membantu menyiapkan anak mencapai kesiapan belajar (akademik) di sekolah. Rentangan anak usia dini menurut Pasal 28 UU Sisdiknas
No.20/2003 ayat 1 adalah 0-6 tahun. Sementara menurut kajian rumpun keilmuan PAUD dan penyelenggaraannya di beberapa negara, PAUD dilaksanakan sejak usia 0-8 tahun. Gambaran PAUD di Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2009 dapat dilihat pada Tabel 4.8 berikut: Tabel 4.13 Jumlah Siswa PAUD di Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2009
46
Berdasarkan Tabel 4.13 diatas yang bersumber dari Dinas Pendidikan Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2010, nampak bahwa jumlah murid yang mengikuti PAUD sebanyak 433.284 orang yang terdiri dari umur 0 – 4 bulan sebanyak 101.787 orang yang terdiri dari laki-laki 48.520 orang (47,67%) dan perempuan 53.267 orang ((52,33%), selanjutnya umur 24 – 48 bulan sebanyak 130.048 orang yang terdiri dari laki-laki 62.273 orang (47,88%) dan perempuan 67.775 orang (52,11 %) dan kelompok umur 49 – 72 bulan sebanyak 201.449 orang yang terdiri dari laki-laki 89.874 orang (44,61 %)dan perempuan 111.575 orang (55,38 %). Jika dilihat secara cermat nampak bahwa jumlah murid PAUD perempuan pada setiap kelompok umur lebih banyak dibanding laki-laki. Jika perbandingan murid PAUD dianalisis menurut kabupaten, maka dapat dilihat bahwa pada kelompok umur 0 – 4 bulan jumlah murid PAUD yang paling banyak adalah di Kabupaten Luwu Utara yaitu sebanyak 20.474 yang terdiri dari laki-laki 10.252 murid (50,07 %) dan perempuan 10.222 murid (49,93 %) sedangkan kabupaten yang memiliki jumlah murid PAUD yang paling sedikit pada kelompok umur tersebut adalah di Kabupaten Wajo dengan jumlah 35 murid yaitu laki-laki 14 murid (40,00 %) dan perempuan 21 murid (60,00 %). Selanjutnya pada kelompok umur 24 – 48 bulan, kabupaten yang memiliki jumlah murid PAUD yang lebih banyak dibanding kabupaten lainnya yaitu Kabupaten Pinrang yaitu sebanyak 18.890 murid yang terdiri dari laki-laki 9.420 murid (49,87 %) dan perempuan sebanyak 9.470 murid (50,13 %) sedangkan kabupaten yang memiliki jumlah murid PAUD yang paling sedikit pada kelompok umur ini sama pada kelompok umur 0 -4 bulan yaitu Kabupaten Wajo yaitu hanya berjumlah 543 murid yang terdiri dari laki-laki 237 murid (43,65 %) dan
47
perempuan 306 murid (56,35 %). Sementara pada kelompok umur 49 – 72 bulan yang memiliki jumlah murid PAUD yang lebih banyak dibanding kabupaten lainnya yaitu Kota Makassar sebanyak 26.943 murid yang terdiri dari laki-laki sebanyak 10.814 murid (40,14 %) dan perempuan 16.129 murid (59,86 %) sedangkan kabupaten yang memiliki jumlah murid PAUD yang paling sedikit pada kelompok umur tersebut adalah di Kabupaten Gowa yaitu 1.109 murid yang terdiri dari laki-laki sebanyak 519 murid (46,80 %) dan perempuan 590 murid (53,20 %). Secara umum kabupaten/kota yang memiliki partisipasi yang paling tinggi dalam melaksanakan PAUD adalah Kabupaten Pinrang dengan jumlah murid PAUD sebanyak 54.803 murid.
48
BAB V. KESEHATAN Gambaran perkembangan derajat kesehatan masyarakat dapat dilihat dari kejadian kematian dalam masyarakat dari waktu ke waktu. Di samping itu kejadian kematian juga dapat digunakan sebagai indikator dalam penilaian keberhasilan pelayanan kesehatan dan program pembangunan kesehatan lainnya. Angka kematian pada umumnya dapat dihitung dengan melakukan berbagai survey dan penelitian. Peristiwa kematian pada dasarnya merupakan proses akumulasi akhir dari berbagai penyebab kematian langsung maupun tidak langsung. Secara umum kejadian kematian pada manusia berhubungan erat dengan permasalahan kesehatan sebagai akibat dari gangguan penyakit atau akibat dari proses interaksi berbagai faktor yang secara sendiri-sendiri atau bersama-sama mengakibatkan kematian dalam masyarakat. Pada Bab ini akan dicoba dilihat atau diungkap kemungkinan adanya kesenjangan antara laki-laki dan perempuan di bidang kesehatan. Adapun rincian permasalahan yang akan dilihat adalah angka kematian bayi (AKB), AKABA, AKI, Kesehatan Reproduksi, Partisipasi dalam ber KB, Penolong Persalinan, cakupan imunisasi dan status gizi balita, dan gerakan sayang ibu. 5.1.1. Angka Kematian Bayi (AKB). Derajat kesehatan masyarakat di Sulawesi Selatan semakin meningkat, hal tersebut ditandai dengan menurunnya angka kematian bayi (AKB). Angka kematian bayi menunjukkan banyaknya kematian bayi per seribu kelahiran hidup. Menurut hasil Surkesnas/Susenas, AKB di Indonesia 49
pada tahun 2001 sebesar 50 per 1.000 kelahiran hidup, pada tahun 2002 sebesar 45 per 1.000 kelahiran hidup. Sedangkan AKB menurut hasil SDKI 2002-2003 terjadi penurunan yang cukup besar, yaitu menjadi 35 per 1.000 kelahiran hidup sementara hasil SDKI 2007 hasilnya menurun lagi menjadi 34 per 1.000 kelahiran hidup, angka ini berada jauh dari yang diproyeksikan oleh Depkes RI yakni sebesar 26,89 per 1.000 kelahiran hidup. Selama tiga puluh tahun terakhir, AKB Sulawesi Selatan menunjukkan penurunan yang sangat tajam seperti Tabel 5.1. Di Sulawesi Selatan, Angka Kematian Bayi menunjukkan penurunan yang sangat tajam, yaitu dari 161 per 1.000 kelahiran hidup pada tahun 1971 menjadi 55 pada tahun 1996, lalu turun lagi menjadi 52 pada tahun 1998 kemudian pada tahun 2003 menjadi 48 (Susenas 2003). Ini berarti rata-rata penurunan AKB selama kurun waktu 1998-2003 sekitar 4 poin. Namun, menurut hasil Surkesnas/Susenas 2002-2003, AKB di Sulawesi Selatan sebesar 47 per 1.000 kelahiran hidup sedangkan hasil Susenas 2006 menunjukkan AKB di Sulsel pada tahun 2005 sebesar 36 per 1.000 kelahiran hidup, dan hasil SDKI 2007 menunjukkan angka 41 per 1.000 kelahiran hidup. Fluktuasi ini bisa terjadi oleh karena perbedaan besar sampel yang diteliti, sementara itu data proyeksi yang dikeluarkan oleh Depkes RI bahwa AKB di Sulsel pada tahun 2007 sebesar 27,52 per kelahiran hidup.
50
Tabel 5.1. Angka Kematian Bayi (AKB) dan Angka Harapan Hidup (AHH) Di Sulawesi Selatan Tahun 1971-2009 Tahun AKB AHH (1) (2) (3) 1971 1996 1998 2000 2001 2003 2004 2005 2007 2008 2009
161 55 52 48 47 48 44 36 41 4,39*) 3,31*)
63 64 68 68 68 69 69 69,4 69,6 69,8
Sumber : Susenas dan SDKI, Tanda *) adalah AKB menurut laporan Dinkes Sulawesi Selatan Sementara laporan dari Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota bahwa jumlah kematian bayi pada tahun 2006 sebanyak 566 bayi, atau 4,32 per 1.000 kelahiran hidup, mengalami peningkatan pada tahun 2007 menjadi 709 kematian bayi atau 4,61 per 1.000 kelahiran hidup. Tahun 2008 ini jumlah kematian bayi turun menjadi 638 atau 4,39 per 1.000 kelahiran hidup, sementara tahun 2009, jumlah kematian bayi turun menjadi 495 atau 3,31 per 1.000 kelahiran hidup. Penurunan angka kematian bayi merupakan indikasi terjadinya peningkatan derajat kesehatan masyarakat sebagai salah satu wujud keberhasilan pembangunan di bidang kesehatan dan semakin meningkatnya pendidikan dan kesadaran masyarakat akan pentingnya kesehatan. Hal tersebut merupakan respon positif dari upaya pemerintah untuk mendekatkan fasilitas kesehatan pada masyarakat. Adapun nilai normatif AKB yang kurang dari 40 sangat sulit diupayakan penurunannya (hard rock), 51
antara 40-70 tergolong sedang, namun sulit untuk diturunkan, dan lebih besar dari 70 tergolong mudah untuk diturunkan. Sejalan dengan menurunnya AKB, Angka Harapan Hidup (AHH) juga diharapkan terjadi peningkatan. Rata-rata usia harapan hidup penduduk Sulawesi Selatan terus meningkat dari 63 pada tahun 1996 menjadi 64 pada tahun 1998. Sejak tahun 2000 hingga tahun 2003 AHH relatif stabil pada usia 68 tahun, sedangkan dari tahun 2004 – 2005 AHH mencapai angka 69 dan pada tahun 2009, AHH nya mencapai 69,8 (Tabel 5.1). Ada banyak faktor yang mempengaruhi tingkat AKB tetapi tidak mudah untuk menentukan faktor yang paling dominan dan faktor yang kurang dominan. Tersedianya berbagai fasilitas atau faktor aksesibilitas dan pelayanan kesehatan dari tenaga medis yang terampil, serta kesediaan masyarakat untuk merubah kehidupan tradisional ke norma kehidupan modern dalam bidang kesehatan merupakan faktor-faktor yang sangat berpengaruh terhadap tingkat AKB. Menurunnya AKB dalam beberapa waktu terakhir memberi gambaran adanya peningkatan dalam kualitas hidup dan pelayanan kesehatan masyarakat. Tabel 5.2 menunjukkan bahwa penyakit Diarre dan Pneumonia adalah penyebab utama terjadinya kematian pada bayi yaitu masing-masing 31,4 persen dan 23,8 persen.
52
Tabel 5.2. Proporsi Penyebab Kematian Bayi No. 1. 2. 3. 4. 5.
Penyebab Kematian
Diare Pneumonia Meningitis/ensefalitis Kelainan Saluran Pencernaan Kelainan jantung Kogenital & Hydrocephalus 6. Sepsis 7. Tetanus 8. Malnutrisi 9. TB 10. Campak Sumber Riskesdas 2007 5.1.2.
% 31,4 23,8 9,3 6,4 5,8 4,1 2,9 2,3 1,2 1,2
Angka Kematian Balita (AKABA). Angka Kematian Balita (AKABA) adalah jumlah anak yang
dilahirkan pada tahun tertentu dan meninggal sebelum mencapai usia 5 tahun, dinyatakan sebagai angka per 1.000 kelahiran hidup. AKABA menggambarkan tingkat permasalahan kesehatan anak dan faktor-faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap kesehatan anak Balita seperti gizi, sanitasi, penyakit menular dan kecelakaan. Indikator ini menggambarkan tingkat kesejahteraan sosial, dalam arti besar dan tingkat kemiskinan penduduk, sehingga kerap dipakai untuk mengidentifikasi kesulitan ekonomi penduduk.
53
Tabel 5.3. Angka Kematian Anak Balita (1-4 th) di Sulawesi Selatan dan Indonesia, tahun 1995-2008 Tahun 1 1995 1997 1998 1999 2000 2001 2003 2004 2005 2006 2007 2008
AKABA per 1000 KH Nasional Propinsi 2 3 75 19,4 17,1 64,28 59,55 44,7 42,16 64 46 72 51 46 1,13 44
53 1,33 1,93
Sumber 4 Estimasi SUPAS 1995 SDKI 1997 Estimasi SUPAS 1995 Estimasi SUPAS 1995 Estimasi SUPAS 1995 Estimasi SUSENAS Estimasi SUSENAS Estimasi SUSENAS Estimasi SUSENAS Dilaporkan dari Dinkes Kab. SDKI 2007 Dilaporkan dari Dinkes Kab. Dilaporkan dari Dinkes Kab.
Sumber : Data Sekunder diolah serta Profil Kesehatan Provinsi Sulawesi Selatan Catatan: Adapun nilai normatif AKABA yakni lebih besar dari 140 tergolong sangat tinggi, antara 71-140 sedang dan kurang dari 71 rendah.
Angka Kematian Balita di Indonesia (menurut estimasi SUPAS 1995) dalam beberapa tahun terakhir (kecuali tahun 2001) terlihat mengalami penurunan yang cukup bermakna. Pada tahun 1986 AKABA diperkirakan sebesar 111 per 1.000 kelahiran hidup, kemudian turun menjadi 81 pada tahun 1993 dan turun lagi menjadi 44,7 pada tahun 2000 sementara untuk Sulawesi Selatan, pada tahun yang sama berada dibawah rata-rata nasional yakni sebesar 42,16 per 1.000 kelahiran hidup. Menurut hasil SUSENAS 2001 AKABA diperkirakan sebesar 64 per 1.000 kelahiran hidup. Namun, hasil SDKI 54
2002-2003 menunjukkan bahwa AKABA di Sulawesi Selatan mencapai 72 per 1.000 kelahiran hidup dan menurun menjadi 53 per 1.000 kelahiran hidup menurut SDKI 2007. Jumlah kematian balita yang dilaporkan oleh Dinas Kesehatan Kab/Kota di Sulsel pada tahun 2006 sebanyak 148 balita atau 1,13 per 1.000 kelahiran hidup. Sedangkan pada tahun 2007 jumlah kematian balita dilaporkan sebanyak 105 balita atau 1,33 per 1.000 kelahiran hidup. Pada tahun 2008 jumlah kematian balita dilaporkan mengalami peningkatan menjadi 283 balita atau 1,93 per 1000 kelahiran hidup. Sementara itu, dari hasil penelitian mendalam terhadap semua kasus kematian AKABA yang ditemukan dalam RISKESDAS diperoleh gambaran besarnya proporsi sebab utama kematian Balita dapat dilihat pada tabel 5.4.. menunjukkan bahwa pola penyakit penyebab kematian balita menurut Hasil Riskesdas tahun 2007 masih didominasi oleh penyakit infeksi. Angka kematian Bayi dan Balita untuk tingkat kecamatan, kabupaten maupun provinsi tidak tepat jika diperoleh dari survey yang berskala nasional. Hal ini karena rancangan sampel diperuntukkan untuk menggambarkan angka kematian bayi dan balita tingkat nasional. Sehubungan dengan hal tersebut, maka untuk menggambarkan angka kematian bayi dan balita di Sulawesi Selatan dapat digambarkan dengan indikator program yang dilaksanakan dalam upaya menurunkan angka kematian bayi dan balita, antara lain persentase BBLR (0,83% pada tahun 2006 dan 1,57% tahun 2007 dari kelahiran hidup), cakupan kunjungan bayi (82,81% pada tahun 2006 dan mengalami penurunan pada tahun 2007
55
menjadi 75,20% dari jumlah kelahiran hidup), cakupan pemberian ASI ekslusif (57,48% pada tahun 2006 dan 57,05% pada tahun 2007) dan lainlain. Untuk data tahun 2008 persentase BBLR 1,38 % dari kelahiran hidup, cakupan kunjungan bayi menurun 71,39 %, cakupan pemberian ASI eksklusif meningkat menjadi 77,18 %. Tabel 5.4. Proporsi Penyebab Kematian Balita di Indonesia Hasil Riskesdas Tahun 2007 Penyebab Kematian No. Diare 1. Pneumonia 2. Meningitis/ensefalitis 3. Kelainan Saluran Pencernaan 4. Kelainan jantung Kogenital & Hydrocephalus 5. Sepsis 6. Tetanus 7. Malnutrisi 8. TB 9. Campak 10. Sumber : Riskesdas 2007
% 25,2 15,5 10,7 8,8 6,8 5,8 4,9 3,9 2,9 2,9
5.2.1. Angka Kematian Ibu (AKI) AKI adalah banyaknya wanita yang meninggal dari suatu penyebab kematian terkait dengan gangguan kehamilan atau penanganannya selama kehamilan, melahirkan dan dalam masa nifas (42 hari setelah melahirkan) per 100.000 kelahiran hidup. Angka Kematian Ibu (AKI) berguna untuk menggambarkan tingkat kesadaran perilaku hidup sehat, status gizi dan kesehatan ibu, kondisi kesehatan lingkungan, tingkat pelayanan kesehatan terutama untuk ibu hamil, pelayanan kesehatan waktu ibu melahirkan dan masa nifas. Untuk mengantisipasi masalah ini maka diperlukan terobosan56
terobosan dengan mengurangi peran dukun dan meningkatkan peran Bidan. Harapan kita agar Bidan di desa benar-benar sebagai ujung tombak dalam upaya penurunan AKB (IMR) dan AKI (MMR). Angka Kematian Ibu (AKI) diperoleh melalui berbagai survey yang dilakukan secara khusus seperti survey di rumah sakit dan beberapa survey di masyarakat dengan cakupan wilayah yang terbatas. Dengan dilaksanakannya Survey Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) dan Survey Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI), maka cakupan wilayah penelitian AKI menjadi lebih luas dibanding survey-survey sebelumnya. Tabel 5.5. Angka Kematian Ibu Maternal per 100.000 Kelahiran Hidup di Indonesia, tahun 1982-2007 Penelitian/Survei Tahun AKI 1 2 3 SDKI 1982 450 SKRT 1986 450 SKRT 1992 425 SKRT 1994 390 SKRT 1995 373 SDKI 1997 334 SDKI 2002-2003 307 SDKI 2007 248 Sumber: Badan Litbangkes, Publikasi Hasil SKRT 1995 & SDKI 2003,2007 Untuk melihat kecenderungan AKI di Indonesia secara konsisten, digunakan data hasil SKRT. Menurut SKRT, AKI menurun dari 450 per 100.000 kelahiran hidup pada tahun 1986 menjadi 425 per 100.000 kelahiran hidup pada tahun 1992, kemudian menurun lagi menjadi 373 per 100.000 kelahiran hidup pada tahun 1995. Pada SKRT 2001 tidak dilakukan 57
survey mengenai AKI. Pada tahun 2002-2003, AKI sebesar 307 per 100.000 kelahiran hidup diperoleh dari hasil SDKI, kemudian menjadi 248 per 100.000 kelahiran hidup (SDKI 2007). Hal ini menunjukkan AKI cenderung terus menurun. Tetapi bila dibandingkan dengan target yang ingin dicapai secara nasional pada tahun 2010, yaitu sebesar 125 per 100.000 kelahiran hidup, maka apabila penurunannya masih seperti tahun-tahun sebelumnya, diperkirakan target tersebut akan sulit tercapai. Jumlah kematian ibu maternal yang dilaporkan oleh Dinas Kesehatan Kabupaten/ Kota di Sulawesi Selatan pada tahun 2006 sebanyak 133 orang atau 101,56 per 100.000 kelahiran hidup, sedangkan pada tahun 2007 sebanyak 143 kematian atau 92,89 per 100.000 kelahiran hidup. Untuk tahun 2008 jumlah kematian ibu maternal mengalami penurunan menjadi 121 orang atau 82,67 per 100.000 kelahiran hidup. Gambar 5.1. Angka Kematian Ibu (AKI) di Sulawesi Selatan Tahun 2006,2007 dan 2008
Sumber : Profil Kesehatan Kab/ Kota tahun 2006-2008
58
5.2.2. Kesehatan Reproduksi Persalinan yang dilakukan pada ibu usia kurang dari 20 tahun, lebih dari 35 tahun, pernah hamil empat kali/lebih, atau jarak waktu kelahiran terakhir kurang dari dua tahun akan semakin memperbesar resiko persalinan.
Himbauan untuk menunda usia perkawinan pertama dan
membatasi jumlah kelahiran merupakan usaha nyata dalam merealisasikan tujuan tersebut. Perkawinan yang dilakukan pada usia matang (di atas 20 tahun) bagi perempuan akan membantu mereka menjadi lebih siap untuk menjadi ibu dan mengurangi resiko persalinan. Sementara jumlah kelahiran yang terbatas (cukup dua saja) membuat perhatian ibu terhadap anakanaknya semakin besar. Disamping itu juga pengetahuan para ibu rumahtangga tentang kesehatan merupakan sesuatu yang sangat penting dalam rangka meningkatkan derajat kesehatan keluarga. Kesempatan untuk memperoleh pengetahuan tersebut telah tersedia di berbagai tempat-tempat pemukiman penduduk, misalnya melalui Puskesmas, Posyandu, Polindes dan saranasarana kesehatan lainnya. Dengan demikian diharapkan akan lahir generasi baru yang lebih handal dan berkualitas untuk kelanjutan pembangunan di masa yang akan datang. Usia perkawinan pertama
merupakan salah satu faktor yang
berpengaruh terhadap tingkat fertilitas, karena semakin tinggi umur perkawinan, khususnya wanita menyebabkan masa reproduksinya lebih pendek. Hal ini berarti pula bahwa penundaan perkawinan mengakibatkan berkurangnya peluang wanita untuk melahirkan anak lebih banyak. Kesadaran masyarakat untuk berperan aktif dalam mengendalikan banyaknya kelahiran belum terlihat nyata. Persentase wanita yang 59
melangsungkan perkawinan pada usia muda (< 16 tahun) dari tahun 2007 – 2009 memperlihatkan persentase yang semakin meningkat. Pada tahun 2007 proporsi wanita yang usia perkawinan pertamanya di bawah 16 tahun sekitar 22,26 persen, menjadi 23,16 persen pada tahun 2008, dan pada tahun 2009 persentase ini turun menjadi 21,66 persen. Kondisi ini cukup menggembirakan, mengingat usia <16 tahun masih tergolong usia anak (berdasarkan batasan usia anak dalam UU Perlindungan Anak). Namun demikian, persentase ini masih cukup tinggi apalagi jika diakumulasikan dengan perempuan yang menikah pada usia 17-18 tahun., sehingga upayaupaya perlindungan anak masih harus terus ditingkatkan. Hal ini perlu menjadi perhatian tersendiri karena akan mempengaruhi ketahanan rumah tangga, dimana ketika perempuan belum siap secara mental dan psikis, maka cenderung terjadi perceraian yang pada akhirnya akan bermuara pada kemiskinan warisan bagi anak keturunannya. Tabel 5.6. Persentase Wanita Pernah Kawin Menurut Umur Perkawinan Pertama Sulawesi Selatan Tahun 2007,2008 dan 2009 Tahun
Umur Perkawinaan Pertama (tahun)
2007
2008
2009
(1)
(2)
(3)
(4)
≤ 16
22,26
23,16
21,66
17 - 18
23,22
21,73
22,43
19 - 24
40,85
40,00
40,76
25+
14,63
15,12
15,14
Sumber : Susenas 2007, 2008 dan 2009
60
Persentase penduduk yang menikah pada umur 17-18 tahun cenderung fluktuatif. Pada tahun 2007 persentasenya sekitar 23,22 persen, turun menjadi 21,73 persen pada tahun 2008, dan pada tahun 2009 naik lagi menjadi 22,43 persen. Persentase penduduk yang menikah pada umur 19 – 24 tahun relatif stabil. Pada tahun 2007 persentasenya adalah sekitar 40,85 persen, menjadi 40,00 persen pada tahun 2008, dan pada tahun 2009 naik menjadi 40,75 persen. Untuk wanita yang menikah pada usia 25 tahun ke atas persentasenya memperlihatkan tren meningkat. Pada tahun 2007 persentasenya adalah 14,63 persen, dan mengalami kenaikan pada tahun 2008 menjadi sekitar 15,12 persen. Pada tahun 2009 persentase wanita yang menikah pada usia 25 tahun ke atas menjadi meningkat menjadi 15,14 persen 5.2.3. Partisipasi Dalam ber KB. Selain melalui penundaan usia perkawinan pertama, partisipasi masyarakat
dalam
membantu
pemerintah
menangani
masalah
kependudukan adalah berupa kesadaran masyarakat untuk mensukseskan program Keluarga Berencana. Salah satu tujuan program ini adalah untuk meningkatkan kesejahteraan ibu dan anak serta mewujudkan keluarga kecil bahagia dan sejahtera melalui pembatasan dan pengaturan jarak kelahiran. Hal ini bisa ditempuh antara lain dengan cara pemakaian alat/cara kontrasepsi KB.
61
Tabel 5.7. Persentase Akseptor KB Menurut Kontrasepsi yang Sedang Digunakan Tahun 2004, 2005, 2006 dan 2009 Tahun
Jenis Kontrasepsi 2004
2005
2006
2009
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
MOW/MOP AKDR/IUD
1,62 3,59
1,95 2,88
1,24 2,52
1,40 3,10
Suntikan KB Susuk KB Pil KB
51,54 5,39 35,12
54,74 4,05 33,53
57,86 4,21 31,73
57,71 4,70 29,81
Lainnya
2,73
2,85
2,44
3,25
Sumber : Susenas 2004, 2005, 2006 dan 2009
Jika dirinci menurut jenis alat/cara KB yang dipakai tampak bahwa akseptor yang menggunakan suntikan KB menempati urutan tertinggi, yaitu mencapai sekitar 51,54 persen pada tahun 2004, meningkat menjadi 54,74 persen pada tahun 2005, pada tahun 2006 menjadi 57,86 persen dan pada tahun 2009 menjadi 57,71 persen.. Tingginya persentase penggunaan alat kontrasepsi Suntikan KB disebabkan alat ini relatif praktis, mudah pemakaiannya (tidak membuat akseptor malu/risih pada saat pemasangan seperti misalnya IUD) dan efek sampingnya juga tidak terlalu besar, sehingga untuk wanita-wanita yang sibuk, cenderung lebih memilih jenis alat kontrasepsi ini. Kelebihan lain dari alat kontrasepsi ini adalah jika akseptor ingin berhenti, bisa dilakukan pada saat yang dikehendaki oleh akseptor. Alat/cara ini relatif lebih aman bagi kebanyakan wanita dan relatif lebih murah dan gampang didapatkan. 62
Meningkatnya
akseptor
KB
yang
menggunakan
metode
kontrasepsi berupa suntikan, diikuti oleh semakin berkurangnya akseptor KB yang menggunakan metode kontrasepsi pil. Hal ini menunjukkan telah terjadi pergeseran pemakaian alat kontrasepsi dari pil KB ke Suntikan KB, kondisi ini kemungkinan disebabkan karena kesibukan para wanita, sehingga lebih memilih suntikan KB yang resiko terjadinya kelainan kecil dibanding dengan pil KB. Sementara itu sisanya menggunakan alat kontrasepsi jenis lain, seperti MOW/MOP, AKDR/IUD, susuk KB, kondom dan metode tradisional. 5.3.1. Penolong Persalinan Penolong persalinan sangat berpengaruh terhadap keselamatan dan kesehatan bayi dan ibu pada saat proses persalinan. Penolong persalinan yang
berkualitas
tentunya
lebih
memungkinkan
terwujudnya
keselamatan/kesehatan bayi dan ibu pada saat persalinan. Tenaga medis sebagai penolong persalinan tentunya lebih baik dibanding tenaga non medis. Bahkan pada periode tahun 2005-2009, penolong persalinan oleh dokter terjadi peningkatan yang cukup signifikan yaitu dari sekitar 8,5 persen pada tahun 2005 dan 8,88 persen pada tahun 2006 meningkat menjadi 11,32 persen pada tahun 2009. Penolong persalinan oleh tenaga medis (dokter dan bidan) di Sulawesi Selatan lebih dari 60 persen, sementara yang ditolong oleh tenaga nonmedis hanya sekitar 30 persen saja. Namun demikian, persentase tersebut cenderung berfluktuasi dari tahun ke tahun. Pada tahun 2005 persentase kelahiran yang ditangani oleh tenaga medis terdapat sekitar 63,73 persen
63
dan pada tahun 2006 turun menjadi sekitar 62,93 persen dan 62,51 persen pada tahun 2009 (Tabel 5.8). Tabel 5.8. Persentase Balita Menurut Penolong Kelahiran Tahun 2005, 2006 dan 2009 Penolong Kelahiran (1)
2005 (2)
2006 (3)
2009 (4)
Medis :
63,73
62,93
62,51
Dokter
8,50
8,88
11,32
Bidan
54,37
53,05
50,83
Lainnya
0,86
1,00
0,36
Non.Medis:
36,27
37,07
37,49
Dukun
31,21
33,39
28,48
Famili
4,61
3,44
8,74
0,24
0,27
Lainnya 0,45 Sumber: BPS, Susenas 2005, 2006 dan 2009
Terjadinya fluktuasi tersebut, karena penolong persalinan oleh tenaga dukun masih cukup tinggi walaupun cenderung menurun, sehingga perlu pemantauan pengetahuan akan pentingnya kesehatan bagi dukun. Hal ini karena dikhawatirkan terjadinya resiko terhadap keselamatan dan kesehatan ibu dan bayi baik pada saat melahirkan maupun pada pasca kelahiran. Keberadaan Bidan di desa (bidides), diharapkan menjadi penolong persalinan dan mentrasfer pengetahuan tentang kesehatan kepada tenaga dukun. Sehingga kualitas kesehatan anak sejak lahir semakin membaik yang pada akhirnya akan berpengaruh terhadap kualitas sumber daya manusia Sulawesi Selatan khususnya dan Indonesia umumnya dimasa yang akan datang.
64
5.3.2. Lama Pemberian ASI Selama ini pemerintah senantiasa mengaktualisasikan dan mensosialisasikan peningkatan penggunaan air susu ibu (ASI) bagi balita. Hal ini karena dalam pertumbuhan dan perkembangan balita
sangat
memerlukan air susu ibu (ASI). ASI merupakan zat makanan yang paling ideal untuk pertumbuhan bayi sebab selain bergizi juga mengandung zat pembentuk kekebalan tubuh. Pemberian ASI kepada bayi akan memenuhi kebutuhan gizi dan memberikan kekebalan terhadap beberapa penyakit. Di Sulawesi Selatan, pada periode 2005-2009, paling banyak balita diberi ASI selama 12 sampai 17 bulan yaitu sekitar 32,24 persen walaupun cenderung menurun menjadi 29 persen pada tahun 2009, lalu 24 bulan atau lebih sekitar 24,20 persen dan 18 - 23 bulan sekitar 15,15 persen. Data yang disajikan pada Tabel 5.9 memperlihatkan bahwa ternyata masih ada sekitar 1,35 persen balita
yang disusui kurang dari satu bulan dan
cenderung meningkat menjadi 4,24 persen. Persentase ini mengalami peningkatan dibanding tahun 2005 dan 2006 yaitu sekitar 0,83 poin dan 2,89 poin. Secara umum, ada kecenderungan seorang ibu memberikan ASI kepada Balitanya sekitar 1 hingga 2 tahun. Persentase balita yang disusui selama dua belas sampai tujuh belas bulan pada tahun 2006 relatif sama jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya yaitu dari 32,16 persen pada tahun 2005 menjadi 32,24 persen pada tahun 2006 tetapi menurun lagi menjadi 29,0 persen. Disamping itu, untuk balita yang disusui 6 - 11 bulan mengalami penurunan. Ini berarti, di satu pihak, kesadaran ibu akan arti pentingnya ASI bagi bayi semakin meningkat tetapi seiring dengan meningkatnya peran perempuan dalam kegiatan ekonomi sehingga
65
kecenderungan balita yang disusui 0 bulan cenderung meningkat. Padahal, pemberian ASI kepada bayi juga lebih efisien jika dilihat dari segi ekonomi, sebab ASI jauh lebih murah jika dibandingkan dengan susu formula. Mungkin hal itu menjadi salah satu pertimbangan bagi ibu untuk tetap memberikan ASI kepada bayinya. Tabel 5.9 Persentase Balita Menurut Lamanya Disusui (Bulan) Tahun 2005, 2006 dan 2009 Lama Disusui (Bulan) (1)
2005
2006
2009
(2)
(3)
(3)
0
0,52
1,35
4,24
1-5
12,20
8,42
12,11
6-11
18,98
14,26
15,27
12-17
32,16
32,24
29,00
18-23
15,68
17,52
15,15
24+
20,46
26,20
24,23
Sumber: BPS, Susenas 2005, 2006 dan 2009 5.3.3. Imunisasi Sebenarnya jenis imunisasi cukup beragam baik yang diberikan pada anak-anak maupun pada orang dewasa, tetapi yang jadi focus bahasan disini adalah imunisasi untuk anak balita (bawah 5 Tahun). Sejak tahun 1982, untuk mencegah penyakit yang biasa menyerang anak-anak yang diduga akan mengakibatkan kematian pada bayi, pemerintah
66
Indonesia telah mengusahakan pemberian 4 macam imunisasi yaitu BCG (pencegahan TBC), DPT (pencegahan Dipteri, Partusis dan Tetanus), Polio (pencegahan polio) dan Campak (pencegahan campak) kepada balita. Pemantauan pencapaian imunisasi balita ini dapat dilakukan melalui Susenas secara tahunan. Dari tahun ke tahun pemerintah terus berupaya untuk meningkatkan cakupan imunisasi dari keempat jenis yang diprogramkan di atas, tetapi data Susenas tahun 1999 menunjukkan sedikit penurunan persentase balita yang paling tidak pernah menerima salah satu jenis imunisasi (lihat table 5.10). Tabel 5.10. Persentase Balita yang Pernah Diimunisasi menurut Daerah dan Jenis Kelamin, Sulawesi Selatan, 2007-2009 Daerah/Jenis Kelamin
2007
2008
2009
(1) Perkotaan Perempuan Laki-laki
(2)
(3)
(4)
94,3 92,7 93,7
94,5 94,7 94,3
95,0 94,9 95,2
Pedesaan Perempuan Laki-laki
85,2 85,0 85,4
88,2 88,3 88,1
91,2 91,0 91,3
89,8 87,2 87,8
89,9 90,1 89,8
92,4 92,2 92,6
Total
Perempuan Laki-laki
Sumber: BPS, Susenas 2007-2009
Pada dasarnya sebagai salah satu program pemerintah, pemberian imunisasi balita tidak selektif gender atau semua balita ditargetkan menerima imunisasi. Oleh karena itu tidak terlihat adanya perbedaan yang
67
berarti pada cakupan imunisasi antara balita laki-laki dan perempuan. Tetapi perbedaan itu terlihat antara daerah pekotaan dengan daerah pedesaan, walaupun tak terpaut jauh. Hal ini nampaknya terkait dengan kemudahan sarana transportasi untuk menuju tempat pemberian imunisasi. Kesadaran masyarakat pedesaan untuk membawa putra putri mereka ke posyandu atau puskesmas untuk mendapatkan imunisasipun nampaknya masih lebih rendah dari masyarakat perkotaan. Yang tentunya hal ini berkaitan juga dengan tingkat pendidikan mereka. Sayangnya pada kesempatan ini cakupan imunisasi belum dirinci untuk setiap jenis imunisasi yang diterima balita. 5.4. Status Gizi Status gizi seseorang sangat erat kaitannya dengan permasalahan kesehatan secara umum, karena disamping merupakan faktor predisposisi yang dapat memperparah penyakit infeksi secara langsung juga dapat menyebabkan terjadinya gangguan kesehatan individual. Bahkan status gizi janin yang masih berada dalam kandungan dan bayi yang sedang menyusu sangat dipengaruhi oleh status gizi ibu hamil atau ibu menyusui. Berikut ini akan disajikan gambaran mengenai indikator-indikator status gizi masyarakat di Sulawesi Selatan antara lain bayi dengan Berat Badan Lahir Rendah (BBLR) dan status gizi balita, sebagaimana diuraikan berikut ini: 5.4.1.
Bayi dengan Berat Badan Lahir Rendah (BBLR) Berat Badan Lahir Rendah (kurang dari 2.500 gram) merupakan
salah satu faktor utama yang berpengaruh terhadap kematian perinatal dan neonatal. BBLR dibedakan dalam 2 kategori yaitu BBLR karena prematur
68
(usia kandungan kurang dari 37 minggu) atau BBLR karena Intra Uterine Growth Retardation (IUGR), yaitu bayi yang lahir cukup bulan tetapi berat badannya kurang. Di negara berkembang, banyak BBLR dengan IUGR karena ibu berstatus gizi buruk, anemia, malaria dan menderita penyakit menular seksual (PMS) sebelum konsepsi atau pada saat hamil. Tabel 5.11. Persentase Balita Menurut Penolong Kelahiran dan Status BBLR Tahun 2007, 2008 dan 2009 Penolong Kelahiran
Jumlah Bayi dengan BBLR (2) 2.416
Persentase dari Total Bayi Lahir (3) 1,56
2008
1.998
1,36
2009
2.040
1,36
2007
(1)
Sumber : Profil Kesehatan Provinsi Sulawesi Selatan tahun 2009
Tabel 5.11 menunjukkan bahwa di Sulawesi Selatan pada tahun 2007, tercatat bahwa jumlah bayi dengan berat badan lahir rendah sebanyak 2.416 (1,56 % dari total bayi lahir) dan yang tertangani sebanyak 2.451 orang (100%), dengan kasus tertinggi terjadi di Kab. Sidrap (584 kasus) dan Kota Makassar (295 kasus) dan yang terendah di Kota Palopo (8 kasus). Sedangkan untuk tahun 2008 jumlah bayi dengan BBLR mengalami penurunan menjadi 1.998 (1,36 % dari total jumlah bayi lahir) dan yang ditangani sebanyak 1.670 (83,58 %), sementara kasus tertinggi di Kota Makassar (251 kasus), menyusul Kab. Sidrap (172 kasus), Kota ParePare (158 kasus) dan Kab. Pangkep (147 kasus) dan terendah di Kab.
69
Jeneponto sebanyak 22 kasus. Pada tahun 2009, jumlah bayi dengan BBLR mengalami kenaikan menjadi 2.040 (1,36 % dari total jumlah bayi lahir). 5.4.2. Status Gizi Balita Status
gizi
balita
merupakan
salah
satu
indikator
yang
menggambarkan tingkat kesejahteraan masyarakat. Salah satu cara penilaian status gizi pada balita adalah dengan anthropometri yang diukur melalui indeks Berat Badan menurut umur (BB/U) atau
berat badan
terhadap tinggi badan (BB/TB). Kategori yang digunakan adalah: gizi lebih (z-score>+2 SD); gizi baik (z-score-2 SD sampai +2 SD); gizi kurang (zscore<-2 SD sampai -3 SD) dan gizi buruk (z-score<-3 SD). Sejak tahun 1992 untuk mengukur keadaan gizi anak balita digunakan standar WHO-NCHS untuk index berat badan menurut umur. Namun dari beberapa studi/survei yang melakukan pengukuran berat badan dan tinggi badan (BB/TB), pada umumnya pengukuran BB/TB menunjukkan keadaan gizi kurang yang lebih jelas, dan sensitif/peka dibandingkan prevalensi berdasarkan pengukuran berat badan menurut umur seperti hasil dari pengukuran prevalensi gizi kurang menurut BB/TB (wasting) sesudah tahun 1992 berkisar antara 10-14 %. Masalah gizi kurang pada anak balita dikaji kecenderungannya menurut Susenas dan survei atau pemantauan lainnya. Secara nasional, menurut Susenas tahun 1989, prevalensi gizi buruk dan kurang pada balita adalah 37,5 % menurun menjadi 24,7 % tahun 2000, yang berarti mengalami penurunan sekitar 34 %. Dari hasil Susenas 2001 di Indonesia, persentase Balita yang bergizi baik adalah sebesar 64,14%, yang bergizi sedang 21,51 % dan sisanya 9,35
70
% adalah Balita bergizi kurang/buruk atau yang dikenal dengan istilah Kurang Kalori Protein (KKP). Bila dibandingkan menurut jenis kelamin, persentase balita perempuan bergizi baik relatif lebih tinggi daripada balita laki-laki, demikian pula gizi kurang/buruk lebih tinggi pada balita laki-laki dibandingkan balita perempuan. Hal ini dapat dilihat pada tabel berikut: Tabel 5.12. Persentase Balita (0-59 bulan) Menurut Status Gizi & Jenis Kelamin di Indonesia Tahun 2002 dan 2003 Status Gizi
2002 LakiLaki
Perempuan
2003 Laki-
Laki-
Laki+Perempuan
Laki
Perempuan
Laki-laki +Perempuan
Lebih
2,04
2,58
2,3
2,03
2,47
2,24
Normal
70,46
73,73
71,88
67,89
71,41
69,59
Kurang
19,46
17,18
18,35
20,73
18,43
19,62
Buruk
8,03
6,88
7,47
7,47
7,69
8,55
Sumber: Profil Kesehatan Sulawesi Selatan tahun 2008
Di Sulawesi Selatan, untuk menanggulangi masalah gizi atau untuk memperoleh gambaran perubahan tingkat konsumsi gizi di tingkat rumah tangga dan status gizi masyarakat dilaksanakan beberapa kegiatan seperti Pemantauan Konsumsi Gizi (PKG) dan Pemantauan Status Gizi (PSG) di seluruh kabupaten/kota. Hasil Pemantauan Status Gizi yang dilaksanakan pada tahun 2001 menggambarkan 84,7 % anak yang berstatus gizi baik, 11,3 % anak yang berstatus gizi kurang, 1,0 % anak yang berstatus gizi buruk dan 3,1 % anak yang berstatus gizi lebih. Sedangkan untuk tahun 2004, menurut laporan yang diterima oleh Subdin Bina Kesehatan Keluarga 71
dan KB Dinkes Prov. Sulsel tercatat bahwa jumlah KEP sebesar 13,48 % (PSG,2004). Menurut hasil survei Gizi Mikro Tahun 2006 balita gizi buruk tercatat sebesar 9 %, sedangkan KEP total sebesar 28,5 %. Secara umum prevalensi gizi buruk di Sulawesi Selatan menurut hasil Riskesdas adalah 5,1 % dan gizi buruk 12,5 % dari kabupaten./kota tercatat delapan kab./kota yang diatas angka provinsi dan Sulawesi Selatan sudah mencapai target pencapaian program perbaikan gizi pada RPJM 2015 sebesar 20 %. Pada kasus gizi buruk di Sulawesi Selatan pada tahun 2008 dengan adanya gejala klinis terbagi atas 3 jenis, yaitu marasmus, kwashiorkor, dan gabungan marasmik-kwashiorkor. Jumlah kasus gizi buruk berdasarkan ketiga jenis tersebut di Sulsel pada tahun 2008 sebanyak 95 kasus, empat kabupaten/kota dengan kasus terbanyak antara lain Bone (16 kasus), Pinrang (15 kasus), Wajo (11 kasus), dan Jeneponto (8 kasus). Kasus gizi buruk yang sebanyak itu terdiri dari marasmus (48 kasus), kwashiorkor (25 kasus), dan marasmik-kwashiorkor (22 kasus). Marasmus adalah gizi buruk yang disertai tanda-tanda seperti badan sangat kurus (kulit membungkus tulang), wajah seperti orang tua (pipi kempot, mata terlihat cekung), cengeng dan rewel, iga gambang, perut cekung, tulang belakang terlihat menonjol, kulit keriput, jaringan lemak subkutis sangat sedikit sampai tidak ada dan sering disertai penyakit infeksi serta diare. Kasus gizi buruk jenis marasmus di Sulawesi Selatan pada tahun 2008 sebanyak 48 kasus, empat kabupaten/kota terbanyak antara lain Pinrang 12 kasus, Bone 11 kasus, Luwu Timur 7 kasus, dan Jeneponto sebanyak 6 kasus. Kwashiorkor adalah keadaan gizi buruk yang disertai tanda-tanda klinis seperti edema di seluruh tubuh, rambut tipis, wajah membulat dan sembab. Kasus gizi buruk
72
jenis kwashiorkor ditemukan terbanyak pada Kabupaten Wajo (5 kasus), Soppeng, Pinrang, Selayar, Bulukumba dan Bantaeng masing-masing (3 kasus). Sedangkan gizi buruk jenis marasmik-kwashiorkor (M+K) adalah gizi buruk dengan gambaran klinis yang merupakan campuran dari beberapa gejala klinis kwashiorkor dan marasmus dengan BB/U < 60% baku median WHO-NHCS disertai edema yang tidak mencolok. Kasus M+K di Sulsel pada tahun 2008 terbanyak di Kab. Enrekang (7 kasus), Pangkep (6 kasus), dan Bone (5 kasus). Situasi gizi buruk di Sulawesi Selatan pada tahun 2009 berdasarkan profil kesehatan kabupaten/kota tercatat sebanyak 2.825 orang (24,92 persen yang mendapat perawatan). 5.5. Gerakan Sayang Ibu Seorang ibu mempunyai peran yang sangat besar di dalam pertumbuhan bayi dan perkembangan anak. Gangguan kesehatan yang dialami seorang ibu bisa berpengaruh pada kesehatan janin dalam kandungan hingga kelahiran dan masa pertumbuhan bayi dan anaknya. Oleh karena itu pelayanan kesehatan terhadap ibu dan bayi sangat penting yang dikenal dengan gerakan sayang ibu seperti pelayanan berikut: 5.5.1. Pelayanan Antenatal (K1 dan K4) Masa kehamilan merupakan masa rawan kesehatan, baik kesehatan ibu yang mengandung maupun janin yang dikandungnya sehingga dalam masa kehamilan perlu dilakukan pemeriksaan secara teratur. Hal ini dilakukan guna menghindari gangguan sedini mungkin dari
73
segala sesuatu yang membahayakan terhadap kesehatan ibu dan janin yang dikandungnya. Pelayanan antenatal merupakan pelayanan kesehatan oleh tenaga kesehatan profesional (dokter spesialis kandungan dan kebidanan, dokter umum, bidan dan perawat) kepada ibu hamil selama kehamilannya, yang mengikuti pedoman pelayanan antenatal yang ada dengan titik berat pada kegiatan promotif dan preventif. Hasil pelayanan antenatal dapat dilihat dari cakupan pelayanan K1 dan K4. Cakupan K1 atau juga disebut akses pelayanan ibu hamil merupakan gambaran besaran ibu hamil yang telah melakukan kunjungan pertama ke fasilitas pelayanan kesehatan untuk mendapatkan pelayanan antenatal. Sedangkan cakupan K4 adalah gambaran besaran ibu hamil yang telah mendapatkan pelayanan ibu hamil sesuai dengan standar serta paling sedikit empat kali kunjungan, dengan distribusi sekali pada trimester pertama, sekali pada trimester dua dan dua kali pada trimester ketiga. Angka ini dapat dimanfaatkan untuk melihat kualitas pelayanan kesehatan kepada ibu hamil. Gambaran persentase cakupan pelayanan K1 menurut kab./kota di Sulawesi Selatan tahun 2007 tercatat sebesar 93,55 % dan K4 sebesar 76,45%. Cakupan K1 berada di atas target nasional sedangkan K4 berada di bawah target nasional (78%), namun bila dilihat menurut kab./kota maka terdapat kab./kota yang berada di atas target nasional bahkan berada dibawah rata-rata provinsi. Adapun Kab./Kota yang memiliki cakupan yang masih berada jauh dari rata-rata adalah Kab. Selayar, Pangkep, Bone, Enrekang, Tator, Kota Pare-pare dan Palopo. Sedangkan pelayanan K1 tahun 2008 tercatat sebesar 85,91 % dan K4 sebesar 77,74 %.
74
Secara provinsi, pelayanan K1 di Sulawesi Selatan pada tahun 2008 tercatat sebesar 94,71 %, itu artinya pola pelayanan antenatal sudah cukup aktif. Tiga Kab./Kota dengan cakupan terendah yaitu Kota Parepare (84,53%), Selayar (84,71%), dan Enrekang (88,93%). Sedangkan cakupan pelayanan K4 di Sulawesi Selatan dari tahun 2004 -2009 mengalami peningkatan setiap tahunnya. 5.5.2.
Pertolongan Persalinan oleh Tenaga Kesehatan dengan Kompetensi Kebidanan Komplikasi dan kematian ibu maternal dan bayi baru lahir
sebagian besar terjadi pada masa disekitar persalinan. Hal ini antara lain disebabkan pertolongan tidak dilakukan oleh tenaga kesehatan yang tidak memiliki kompetensi kebidanan (profesional). Dalam kurun waktu lima tahun terakhir, cakupan pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan, termasuk pendampingan, meningkat sekitar 10% yaitu dari 60,75 % pada tahun 1998 menjadi 70,62 % pada tahun 2003. Sementara itu, cakupan pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan pada tahun 2005 di Sulawesi Selatan tercatat sebesar 78,69 %, bila dibandingkan dengan target SPM Bidang Kesehatan Tahun 2005 (77%) maka Sulawesi Selatan berada di atas target. Sedangkan cakupan pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan pada tahun 2007 (72,68%) dan tahun 2008 mengalami peningkatan sebanyak (82,66%). Sedangkan gambaran cakupan persalinan oleh tenaga medis pada tahun 2009 sudah di atas 64 persen seperti yang disampaikan pada bahasan sebelumnya.
75
5.5.3.
Deteksi Risiko, Rujukan Kasus Risti dan Penanganan Komplikasi Kegiatan
deteksi
dini
dan
penanganan
ibu
hamil
berisiko/komplikasi kebidanan perlu lebih ditingkatkan baik di fasilitas pelayanan Kesehatan Ibu dan Anak (KIA) maupun di masyarakat. Risti/komplikasi adalah keadaan penyimpangan dari normal, yang secara langsung menyebabkan kesakitan dan kematian ibu maupun bayi. Risti/Komplikasi kebidanan meliputi Hb < 8 g %. Tekanan darah tinggi (sistole > 140 mmHg, diastole > 90 mmHg). Oedema nyata, eklampsia, perdarahan pervagina, ketuban pecah dini, letak lintang usia kehamilan > 32 minggu, letak sungsang pada primigravida, infeksi berat/sepsis, persalinan prematur. Dalam memberikan pelayanan khususnya oleh bidan di Desa dan Puskesmas, beberapa ibu hamil diantaranya tergolong dalam kasus risiko tinggi (Risti) dan memerlukan pelayanan kesehatan karena terbatasnya kemampuan dalam memberikan pelayanan maka kasus tersebut perlu rujukan ke unit pelayanan kesehatan yang memadai. Persentase cakupan ibu hamil risti yang dirujuk tahun 2008 sebesar 25,24 %. Neonatus
risti/komplikasi
yang
meliputi
asfiksia,
tetanus
neonatorum, sepsis, trauma lahir, BBLR (Berat Badan Lahir < 2.500 gram). Sindroma gangguan pernapasan dan kelainan neonatal. Neonatal risti/Komplikasi yang tertangani adalah neonatus risti/komplikasi yang mendapat pelayanan oleh tenaga kesehatan yang terlatih di Puskesmas perawatan dan RS Pemerintah/swasta dengan fasilitas PONED dan PONEK (Pelayanan Obestetrik dan Neonatal Emergensi Dasar dan Pelayanan Obestetrik dan Neonatal Emergensi Komprehensif).
76
Berdasarkan data hasil SDKI 2007, pemeriksaan kehamilan di Sulawesi Selatan secara garis besar masih sangat rendah, hal ini ditunjukkan dengan persentase pemeriksaan kehamilan oleh tenaga kesehatan mencapai 92,2 % (Nasional 93,2 %), yang memperoleh imunisasi TT paling sedikit sebesar 1 kali sebesar 82,5 % (Nasional 73 %), yang menerima tablet zat besi selama hamil sebesar 71,9 % (Nasional 77,3 %), yang melahirkan pada tenaga kesehatan sebesar 58,8 % (Nasional 73 %) dan yang melahirkan pada fasilitas kesehatan sebesar 30,6 % (Nasional 46,1%). Pada tahun 2008, persentase cakupan bumil risti di Sulawesi Selatan masih rendah yakni 31,29 %, masih jauh dari target nasional (100 %). Sementara pada tahun 2009, jumlah ibu hamil risti/komplikasi sebanyak 21.438 IH (11,86 persen dari ibu hamil) dan hanya 49,12 persen yang tertangani. Sedangkan jumlah neonatal risti/komplikasi sebanyak 4.509 orang (3,14 persen dari jumlah neo natal) dan sebanyak 78,51 persen yang tertangani.
77
78
BAB VI. KEGIATAN EKONOMI Keterlibatan perempuan dalam sector ekonomi, dilatarbelakangi oleh keharusan bekerja atau mereka memilih untuk bekerja. Sebagian perempuan yang “harus bekerja” adalah karena kondisi ekonomi keluarga yang tidak mencukupi, sehingga melibatkan diri di dalam kegiatan ekonomi secara aktif. Sedangkan bagi perempuan yang memilih untuk bekerja dan memiliki latarbelakang ekonomi menengah ke atas, mereka bekerja tidak lain hanya didorong oleh motivasi tertentu. Sehubungan dengan ini dapat dikatakan bahwa semakin rendah tingkat kehidupan social ekonomi rata-rata penduduk di dalam suatu masyarakat, tingkat partisipasi angkatan kerja perempuan cenderung semakin tinggi. Pembahasan kegiatan ekonomi di provinsi Sulawesi Selatan pada kegiatan
ini
meliputi:
penduduk
usia
kerja,
TPAK
dan
pangangguran,lapangan usaha,jenis usaha serta status usaha, jam kerja, Upah/gaji, Kemiskinan dan Pekerja Migran.. 6.1 Penduduk Usia Kerja Sejalan dengan pertambahan jumlah penduduk, jumlah penduduk usia kerja juga mengalami pertambahan. Penduduk usia kerja yang dimaksud berumur 15 tahun keatas yang merupakan sumber angkatan kerja potensial. Pada tahun 2008, penduduk usia kerja Sulawesi selatan sebanyak 5.559.748 jiwa. Jumlah ini meningkat menjadi 5.660.624 jiwa pada tahun 2009. Jika dilihat dari jenis kelamin, terdapat perbedaan usia kerja dimana penduduk usia kerja perempuan lebih besar dari penduduk usia kerja lakilaki dengan sex rasio 95 (Hasil Sensus Penduduk 2010). Berarti setiap 100 79
perempuan, hanya ada 95 laki-laki.. Adanya perbedaan ini disebabkan antara lain jumlah penduduk perempuan memang lebih besar. Selain itu penduduk usia kerja laki-laki di Sulawesi selatan banyak yang merantau. Hal yang sama terlihat pada daerah perkotaan dan pedesaan dimana penduduk usia kerja perempuan lebih besar daripada laki-laki (lihat table 6.1) Tabel 6.1 Banyaknya penduduk usia kerja menurut jenis kelamin dan daerah tempat tinggal Sulawesi Selatan, 2008 dan 2009 Jenis kelamin (1)
2009
2008
Perkotaan
Pedesaan
Total
(3)
(4)
(5)
(2)
Perempuan Laki-laki
2.932.712 2.627.036
992.655 960.766
1.986.370 1.720.833
2.979.025 2.681.599
total
5.559.748
1.953.421
3.707.203
5.660.624
Sumber : BPS, Sakernas 2008 dan 2009 Jika kita mengamati table 6.1 di atas terlihat penduduk usia kerja di pedesaan ,lebih banyak dibanding perkotaan. Adanya perbedaan ini disebabkan oleh jumlah penduduk di pedesaan lebih besar daripada di perkotaan. 6.2. Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) dan Pengangguran TPAK dapat diukur dari perbandingan angkatan kerja dan usia kerja. Akan tetapi perubahan TPAK dapat dipengaruhi oleh factor demografis, sosial, dan ekonomi. Pengaruh masing-masing faktor tersebut terhadap TPAK berbeda bagi perempuan dan laki-laki.
80
Bagi TPAK laki-laki, pengaruh faktor-faktor tersebut tidaklah terlalu besar oleh karena umumnya laki-laki pencari nafkah utama keluarga. Lain halnya dengan TPAK perempuan, banyak dipengaruhi oleh factor sosial, ekonomi dan budaya. Melaksanakan tugas rumah tangga masih dianggap sebagai tugas pokok perempuan. Gambar 6.1 Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) Menurut Daerah Tempat Tinggal dan Jenis Kelamin, Sulawesi Selatan, Tahun 2009
90.00 80.00 70.00 60.00 50.00 40.00 30.00 20.00 10.00 0.00 P erkotaan
Laki-Laki
Sumber : BPS, Sakernas 2009
81
P erempuan
P edesaan
Dari gambar 6.1 di atas terlihat bahwa TPAK perempuan baik di perkotaan maupun di pedesaan pada tahun 2009 selalu lebih rendah dari pada laki-laki. Walaupun demikian, pada periode 2000-2009 terjadi kenaikan TPAK perempuan dari 28,2 persen pada tahun 2000 menjadi 44,94 persen pada tahun 2009. Kenaikan TPAK tersebut diduga disebabkan oleh kondisi ekonomi yang sudah berangsur membaik yang juga berdampak pada perekonomian rumah tangga. Hal ini berkaitan dengan pembagian tugas dalam rumah tangga peranan perempuan semakin signifikan dalam pasar tenaga kerja untuk mendukung ekonomi rumah tangga. TPAK perempuan dan laki-laki di Sulawesi Selatan memiliki perbedaan yang cukup besar yaitu 44,94 persen berbanding 81,97 persen pada tahun 2009. Ini berarti partisipasi perempuan di bidang ekonomi belum dapat menyamai partisipasi laki-laki. Kondisi ini masih sama pada tahun 2000 di mana TPAK perempuan hanya sebesar 28,2 persen sedang laki-laki 69,9 persen. Perbedaan ini mungkin disebabkan oleh system pembagian kerja secara seksual dalam masyarakat, di mana perempuan mempunyai kegiatan utama di dalam rumah dan laki-laki di luar rumah (mencari nafkah).
82
Gambar 6.2 tingkat partisipasi angkatan kerja menurut umur, jenis 100.000 80.000 60.000 40.000 20.000 .000 1519
2024
2529
3034
3539
4044
4549
5054
5559
60 +
Perkotaan Laki-Laki Perkotaan Perempuan Perdesaan Laki-Laki Perdesaan Perempuan
kelamin, dan daerah, Sulawesi selatan 2009 Sumber : BPS, Sakernas 2009 Secara keseluruhan mereka yang berada di pasar kerja atau yang bekerja itu terdiri atas berbagai kelompok umur, dan seperti telah disinggung sebelumnya partisipasi mereka dalam angkatan kerja dapat berbeda-beda. Perbedaan itu di samping dipengaruhi oleh desakan kebutuhan ekonomi, juga oleh kondisi lain, diantaranya yang utama adalah karakteristik angkatan kerja itu sendiri. Salah satu karakteristik angkatan kerja yang utama adalah umur dan tentunya jenis kelamin. Pada daerah yang berbeda, tingkat partisipasi angkatan kerja (TPAK) berbeda menurut umur dan jenis kelamin. Dari gambar 6.2 terlihat bahwa puncak TPAK perempuan di perkotaan berada pada usia 25-29 tahun (57,91 persen) dan di pedesaan pada usia 40-44 tahun (57,19
83
persen). Pada tahun 2009 TPAK perempuan perkotaan mempunyai 2 puncak dan di pedesaan mempunyai 3 puncak. Hal ini menunjukkan bahwa pada tahun 2009 pola TPAK perempuan di Sulawesi Selatan adalah the early peak yaitu partisipasi sebagian besar adalah pada perempuan belum kawin atau perempuan muda yang telah kawin sebelum melahirkan, yang kemudian keluar dari pasar kerja selama dan setelah melahirkan anak. Di bandingkan dengan TPAK laki-laki, ternyata memang TPAK laki-laki selalu lebih tinggi di semua kelompok umur baik di perkotaan maupun pedesaan. Namun demikian, dibandingkan tahun 2000, terjadi peningkatan TPAK perempuan untuk semua umur, baik di perkotaan maupun di pedesaan menunjukkan kecenderungan semakin melonggarnya ikatan sosial dan budaya di Sulawesi Selatan. Lingkungan sosial budaya selama ini tidak terlalu memberikan peluang bagi keikut sertaan perempuan dalam angkatan kerja. Hal menarik dari kedua gambar di atas adalah secara keseluruhan TPAK perempuan di pedesaan lebih tinggi dari angka di perkotaan. Jika anggapan selama ini yang menyatakan rendahnya TPAK perempuan di Sulsel disebabkan oleh factor social dan budaya benar, maka seharusnya TPAK perempuan di pedesaan akan jauh lebih rendah dari TPAK perempuan di perkotaan. Hal ini disebabkan oleh lebih kuatnya pengaruh factor ekonomi daripada factor social budaya di pedesaan. 6.3. Tingkat Pengangguran Timbulnya pengangguran adalah disebabkan oleh banyaknya pencari kerja yang tidak dapat diimbangi oleh penciptaan kesempatan kerja. Dalam kondisi ekonomi yang sulit, jumlah pengangguran cenderung meningkat, yang disebabkan oleh dua kondisi yang berlawanan. Disatu sisi 84
jumlah pencari kerja semakin bertambah, baik berupa pendatang baru maupun mereka yang lepas/ keluar dari pekerjaan lama untuk mencari pekerjaan yang lebih baik. Tetapi disisi lain, kesempatan kerja yang tersedia justru menciut karena kontraksi ekonomi atau tumbuh dalam besaran yang sangat terbatas karena minimnya investasi atau investasi yang ada lebih bersifat padat modal. Tabel 6.2 Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) menurut Daerah tempat tinggal, dan jenis kelamin, Sulawesi Selatan, 2000 dan 2009 Daerah Tempat Tinggal (1) Perkotaan Pedesaan
2000 LakiPerempuan laki (2) (3) 9,3 5,9 3,9 1,0
Total (4) 7,0 1,9
Total 5,4 2,3 3,2 Sumber : BPS, Sakernas 2000 dan 2009
2009 LakiPerempuan laki (5) (6) 13,1 10,3 9,4 6,5 10,7
7,8
Total (7) 11,4 7,6 8,9
Hasil pengolahan Sakernas 2000-2009 Sulawesi Selatan menunjukkan tingkat pengangguran terbuka (TPT) perempuan lebih tinggi dibandingkan TPT laki-laki. Pada tahun 2000 perbandingannya adalah 5,4 terhadap 2,3. Jika perbedaan TPT dilihat dari daerah tempat tinggal, didapat perbedaan yang sangat besar antara TPT perkotaan dengan TPT pedesaan, yaitu 7,0 berbanding 1,9. Namun perbedaan TPT menurut jenis kelamin di dua daerah tesebut relative lebih kecil (lihat table 6.2). TPT perempuan di Sulsel pada tahun 1997 adalah 11,5 persen dan menurun menjadi 5,4 persen pada tahun 2000, dengan TPT perempuan 85
yang lebih tinggi dari TPT laki-laki. Tingginya TPT perempuan diduga karena berhubungan dengan peningkatan keinginan untuk bekerja diluar rumah tangga. Hal ini merupakan indikasi adanya pergeseran status pekerjaan perempuan dari hanya bekerja sebagai pekerja keluarga tanpa dibayar disektor pertanian, menjadi pekerja public/umum untuk mendapatkan upah. Tidak mustahil hal ini berkaitan dengan menurunnya angka kelahiran. Dalam keluarga yang mempunyai sedikit anak (misalnya 2) yang sudah bersekolah, maka tersedia kesempatan bagi perempuan untuk mencari pekerjaan guna menambah penghasilan keluarga sambil mengisi kekosongan waktu ( effendi,1992 dalam Fatmawati). Menarik untuk ditelaah lebih lanjut adalah TPT perempuan di pedesaan lebih rendah dari perkotaan baik pada tahun 1997, tahun 2000 maupun pada tahun 2009. Padahal penduduk usia kerja di pedesaan lebih banyak dari perkotaan. Menurut Effendi (1992), perbedaan ini berkaitan dengan perbedaan struktur peluang kerja. Di pedesaan, usaha di sector pertanian dan usaha rumah tangga lebih berperan di bandingkan usaha/kegiatan nonpertannian. Perempuan yang belum bekerja atau tidak mempunyai pekerjaan, dapat saja bekerja sementara dengan membantu usaha keluarga, meskipun dengan produktivitas yang rendah. Hal tersebut terkait dengan sifat-sifat pekerjaan di pedesaan yang lebih mudah menyerap tenaga kerja keluarga, termasuk istri dan anak-anak. Keadaan ini dapat mempengaruhi TPT, karena mereka yang membantu usaha keluaraga dicatat sebagai pekerja meskipun tidak dibayar, baik dengan jam kerja normal maupun tidak.
86
Gambar 6.3 Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) menurut Umur, Jenis Kelamin, dan Daerah, Sulawesi Selatan, 2009
Sumber : BPS, Sakernas 2009 Rendahnya pengangguran terbuka dipedesaan juga dapat dipakai sebagai indikator migrasi desa-kota. Tidak tertutup kemungkinan mereka yang berpendidikan dipedesaan mencari kerja diperkotaan. Keengganan bekerja di sektor pertanian dan langkahnya peluang kerja non-pertanian dipedesaan diduga mendorong mereka untuk mencari kerja di perkotaan. Sementara di perkotaan, yang berpendididkan bersedia menunggu beberapa saat untuk mendapatkan pekerjaan yang sesuai dengan pendidikan. Inilah yang menyebabkan TPT di perkotaan relatif lebih tinggi
87
dari pedesaan. Selain itu, perluasan kota diduga turut menambah pengangguran terbuka. (Fatmawati 1993). Gambar 6.3 menunjukkan TPT mencapai puncaknya pada kelompok usia 20 sampai 24 tahun baik di perkotaan maupun di pedesaan serta baik antara laki-laki dan perempuan, kemudian menurun setelah itu. Pada usia 15-19 tahun sebagian besar masih di bangku sekolah, dan mungkin masih berfikir-fikir dulu apakah akan terus sekolah atau bekerja, sehingga belum mencari kerja, tetapi memasuki usia 20-24 sudah semakin jelas untuk memutuskan masuk kepasar kerja, terutama biaya sekolahpun pada jenjeng lebih tinggi telah dirasakan memberatkan beban rumah tangga. Jika dibandingkan dengan TPT tahun 1997 dapat dikatakan telah terjadi penurunan TPT diseluruh kelompok umur. Hal ini berkaitan dengan dampak krisis ekonomi yang ada. Pada awal krisis pengangguran meningkat atau berada pada posisi tinggi karena menurunnya kegiatan ekonomi secara umum maka merosot juga peluang kerja, baik karena terkena pemutusan hubungan kerja (PHK) maupun karena menurunnya daya beli masyarakat secara umum. Pada dasarnya hanya orang yang mampu atau dari status sosial-ekonomi menengah keatas yang dapat tetap menunggu untuk mendapatkan pekerjaan yang layak. Mereka yang berasal dari status social ekonomi yang rendah tidak mampu untuk menganggur, karena itu mereka akan bekerja apa saja untuk memperoleh penghasilan, walaupun untuk itu mereka mendapatkan upah/penghasilan yang rendah. Namun demikian pada periode 2006-2009, Tabel 6.3 menunjukkan bahwa tingkat pengannguran di Provinsi Sulawesi Selatan cenderung terus menurun dari 12,8 persen (2006), 11,2 persen (2007), 10,5 persen (2008) dan 8,9 persen tahun 2009. Seiring dengan menurunnya penduduk miskin
88
dari 14,57 persen (2006), 14,11 persen (2007), 13,34 persen (2008) dan 12,31 persen tahun 2009. Tabel 6.3. Tingkat Pengngguran Terbuka (TPT) dan Tingkat Kemiskinan di Sulawesi Selatan Tahun 2006-2009 Indikator
2006
2007
2008
2009
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
12,8
11,2
10,5
8,9
14,57
14,11
13,34
12,31
1. Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT %) 2. Tingkat Kemiskinan
Sumber : Sakernas 2006-2009 dan Susenas 2006-2009
6.4. Lapangan Usaha Lapangan usaha yang dimasuki oleh pekerja perempuan dan lakilaki memperlihatkan adanya perbedaan. Pekerja perempuan di luar sektor pertanian (primer) banyak memasuki sector tertier, terutama jasa dan perdagangan. Kedua sector ini secara umum, karakteristiknya mirip dengan sector pertanian, yaitu mudah dimasuki oleh mereka yang pendidikannya rendah dan sering terjadi income/work sharing, sehingga produktivitas merekapun tergolong rendah. Sebenarnya kesertaan pada sector industri, dalam kelompok sector sekunder, cukup besar. Bagian terbesar dari pekerja sector industri, sebenarnya adalah pada subsector industry kecil dan kerajinan rakyat (IKKR). Industry pengolahan yang berskala besar umumnya berlokasi di Makassar dan sekitarnya dengan kegiatan yang banyak menyerap tenaga
89
kerja adalah industry pengolahan makanan, misalnya pengolahan biji coklat, kopi, maupun udang untuk tujuan sector. Jika dilihat dari perkembangan data tahun 2007-2009 terlihat adanya pergeseran yang cukup jelas di daerah pedesaan, yaitu dari sector sekunder dan tertier ke sector primer di antara pekerja perempuan. Hal ini menunjukkan adanya penurunan kegiatan ekonomi di kedua kelompok besar lapangan usaha tersebut, yang menandakan adanya penurunan kondisi ekonomi pedesaan dalam kurun waktu tahun 2007-2009. Tampaknya pertanda inilah yang mendorong banyaknya perempuan pedesaan mencari pekerjaan di luar sector pertanian. Table 6.4 Penduduk Berumur 10 Tahun Keatas yang Bekerja Menurut Lapangan Usaha Utama, Daerah, Dan Jenis Kelamin, Sulawesi Selatan, 2007, 2009 Daerah/Lapangan Usaha (1)
2007 Perempua Lakin laki (2) (3)
2009 Perempua Lakin laki (4) (5)
Perkotaan -
Primer Sekunder Tertier
-
Primer Sekunder Tertier
9.690 22.904 187.482
64.863 24.439 281.695
10.276 24.274 187.569
70.240 36.542 271.295
352.240 72.648 177.231
1.130.55 7 45.210 189.729
396.815 56.197 164.442
1.153.00 9 57.010 185.146
361.930 95.552 364.713
4.495.92 0 71.649 471.424
407.091 80.471 352.011
Pedesaan
Perkotaan+Pedesaan Primer Sekunder Tertier
1.223.24 9 93.552 456.441
Catatan: sector primer= sector pertanian, Sector sekunder= sector industry,pertambangan,listrik,kontruksi Sector tertier= sector perdagangan,transpotasi,keuangan,jasa,lainnya Sumber: BPS Sakernas 2007, 2009 90
Tabel 6.5. menunjukkan bahwa pekerja perempuan banyak terserap selain di sektor pertanian (45,21 persen) adalah sektor perdagangan besar, eceran, rumah makan dan hotel (29,03 persen). Bahkan di daerah perkotaan mayoritas pekerja perempuan terserap di sektor sektor perdagangan besar, eceran, rumah makan dan hotel (47,33 persen) dan sektor jasa kemasyarakatan (30,06 persen). Yang menarik adalah proporsi pekerja perempuan yang terserap di sektor industri pengolahan
cenderung lebih tinggi dari pekerja laki-laki yaitu masing-
masing 7,69 persen dan 6,05 persen, dan itu terjadi baik di perkotaan dan perdesaan. Table 6.5. Penduduk Berumur 15 Tahun Keatas yang Bekerja Menurut Lapangan Usaha Utama, Daerah, Dan Jenis Kelamin, Sulawesi Selatan, 2009
Sumber : BPS, Sakernas 2009
91
6.5. Status Pekerjaan Proses pembangunan ekonomi tidak saja dihubungkan dengan distribusi angkatan kerja menurut sector, tetapi juga distribusi status usaha/pekerjaan (oberay, 1978). Pengelompokan pekerja menurut status usaha sangat berguna untuk menelusuri sifat usaha (pekerjaan) dan jenis usaha tertentu (Manning, dalam Fatmawati 1993). Table 6.7 Penduduk Berumur 10 Tahun Keatas yang Bekerja Menurut Status Pekerjaan, Daerah, Dan Jenis Kelamin, Sulawesi Selatan, 2007, 2009 2007 Status Pekerjaan
2009 Perempu Lakian laki (4) (5)
(2)
Lakilaki (3)
Berusaha Buruh/kar yawan Pekerja Keluarga
22,9 44,5 32,6
28,9 47,5 23,5
26,8 50,4 22,7
Berusaha Buruh/kar yawan Pekerja Keluarga
25,2 12,9 62,8
30,4 14,1 55,5
20,6 12,3 72,2
Berusaha Buruh/kar yawan Pekerja Keluarga
26,6 23,6 54,6
37,1 22,4 47,5
22,2 22,6 55,1
(1)
Perempuan
Perkotaan -
35,8 49,9 16,3
Pedesaan -
33,9 13,8 52,3
Total -
34,4 22,9 42,7
Di Sulawesi Selatan, pola status usaha pekerja perempuan menunjukkan bahwa sebagian besar mereka bekerja sebagai pekerja keluarga (tak dibayar atau sebagai buruh/ karyawan). Untuk 2 status tersebut, persentase pekerja perempuan masing-masing sebesar 55,1 92
persen dan 22,6 persen pada tahun 2009 (lihat table 6.7). sebenarnya perempuan pekerja keluarga dapat dikatakan sebagai fenomena pedesaan. Hal ini terlihat dari persentase perempuan yang bekerja sebagai pekerja keluarga adalah 72,2 persen. Di perkotaan pada waktu yang sama, pekerja perempuan sebagian besar (50,4 persen) berstatus buruh atau karyawan. Jumlah ini melebihi pekerja laki-laki (49,9 persen). Persentase perempuan yang berusaha (berusaha sendiri/dibantu buruh tidak tetap/dibantu buruh tetap) ternyata tidak banyak berbeda dengan laki-laki yaitu 26,8 persen berbanding 35,8 persen. Cukup besarnya persentase perempuan pengusaha sejalan dengan lapangan pekerjaan utamanya sebagai pedagang atau jasa dengan skala kecil, baik dilakukan sendiri maupun dibantu anggota rumah tangga lainnya (anak). Agaknya hal ini berbeda dengan di pedesaan. Umumnya kegiatan perekonomian di pedesaan lebih bersifat informal, sehingga persentase perempuan yang bekerja sebagai buruh atau karyawan tergolong rendah (12,3 persen) karena umumnya mereka bekerja sebagai pekerja keluarga (72,2 persen). Tingginya persentase pekerja keluarga di pedesaan dimungkinkan karena dengan tingkat pendidikan umumnya rendah, lazim terjadi praktek berbagi rejeki/pekerjaan (income/work sharing) dalam usaha rumah tangga. 6.6 Jam Kerja Jam kerja merupakan salah satu variable yang mengukur pemanfaatan seseorang dalam bekerja. Seseorang dapat dikatakan bekerja penuh jika yang bersangkutan bekerja minimal 35 jam dalam seminggu.
93
Dengan banyaknya perempuan yang bekerja sebagai pekerja keluarga atau yang hanya berfungsi membantu suami/ayah/KRT, maka banyak pula ditemukan perempuan yang bekerja dengan jam kerja rendah. Dari table 6.8 terlihat bahwa pekerja yang bekerja di bawah jam kerja normal (35 jam seminggu), atau dikenal seminggu setengah penganggur, lebih banyak perempuan daripada laki-laki. Data tersebut adalah 59,0 persen berbanding 42,0 persen pada tahun 2009. Perbandingan tersebut menjadi lebih mencolok untuk mereka yang bekerja 1-14 jam seminggu, atau dikenal juga sebagai setengah penganggur kritis. Meskipun jumlah jam kerja perempuan lebih rendah dibanding jumlah jam kerja laki-laki, tetapi bila dibandingkan data tahun 2007 dengan data tahun 2009 nampak ada sedikit peningkatan. Dalam periode tersebut, proporsi perempuan yang bekerja di atas jam kerja normal (35 jam seminggu) meningkat dari sebesar 37,8 persen menjadi 40,7 persen. Table 6.8. Persentase Pekerja Menurut Kelompok Jam Kerja Dan Jenis Kelamin, 2007-2009 Jumlah Jam Kerja (Jam) (1) 0*) 1-14 15-34 35+
2007 Perempuan
2009 Laki-laki
Perempuan
(2) (3) (4) 3,9 4,5 21,3 9,0 20,9 37,1 32,7 38,5 37,8 53,9 40,7 840.16 1.976.574 823.780 Total (100,0) (100.0) (100,0) Catatan: *) Sementara tidak bekerja ( ) angka dalam kurung adalah persentase Sumber: BPS Susenas 2007 dan 2009
94
Laki-laki (5) 8,8 32,8 58,4 1.964.188 (100,))
6.7. Upah/Gaji Sebulan Pemberian upah biasanya ditentukan oleh banyak faktor, seperti latar belakang pendidikan, keahlian, jam kerja, jenis pekerjaan, jabatan, pengalaman kerja, dan lain sebagainya. Biasanya penentuan tersebut merupakan kombinasi dari beberapa factor sekaligus. Tetapi pada bahasan ini hanya dilihat berdasarkan tingkat pendidikan yang ditamatkan untuk lakilaki maupun perempuan. Dari hasil pengolahan data Sakernas 2000 dan 2009 (Tabel 6.9) menunjukkan bahwa tingkat upah pekerja secara umum berhubungan positif dengan tingkat pendidikan pada pekerja laki-laki maupun perempuan. Kemudian terlihat pula adanya kesenjangan antara tingkat upah di perkotaan dengan tingkat upah di pedesaan, yang mengakibatkan adanya arus migrasi dari pedesaan ke perkotaan. Tabel 6.9 juga menunjukkan bahwa telah terjadi peningkatan upah/gaji baik laki-laki maupun perempuan pada periode 2000-2009. Peningkatan upah/gaji tersebut terjadi pada perekerja laki-laki maupun perempuan di semua jenjang pendidikan dan daerah. Bahkan pada pekerja perempuan peningkatannya lebih signifikan yaitu 2,25 kali, sementara lakilaki hanya 2,07 kali, bahkan pada pekerja berpendidikan rendah dan tinggi masing-masing 3,39 kali dan 2,82 kali untuk pekerja perempuan. Sehingga gap antara upah/gaji laki-laki dan perempuan semakin mengecil bahkan upah/gaji di perkotaan sudah mencapai di atas satu juta. Peningkatan upah/gaji tersebut salah satunya mungkin karena semakin membaiknya perekonomian di Sulawesi Selatan sehingga upah/gaji pekerja sudah di atas UMR.
95
Sementara itu terlihat juga kesenjangan tingkat upah antara yang diterima pekerja perempuan dan yang diterima pekerja laki-laki pada seluruh tingkat pendidikan. Kesenjangan tersebut sangat nyata di antara mereka yang berpendidikan di atas SLTA baik tahun 2000 maupun 2009. Table 6.9. Rata-rata upah/gaji pekerja sebulan Menurut tingkat pendidikan dan jenis kelamin, Sulawesi Selatan, 2000-2009
Sumber: BPS Sakernas 2000 dan 2009
96
6.8. Kemiskinan Jumlah penduduk miskin di Sulawesi Selatan selama periode Maret 2006-Maret 2009 terus mengalami penurunan baik secara absolut maupun relatif. Pada tahun 2006 penduduk miskin di Sulawesi Selatan adalah sebanyak 1112,0 orang (14,57 persen) turun menjadi 1083,4 orang (14,11 persen) pada tahun 2007. Pada bulan Maret 2008 turun menjadi 1031,7 orang (13,34 persen) dan pada bulan Maret 2009 turun lagi menjadi di bawah satu juta yaitu 963.600 jiwa (12,31 persen). Tabel 6.10 Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin di Sulawesi Selatan Menurutt daerah, 2006-2009
Jumlah Penduduk Miskin (000)
Persentase Penduduk Miskin
Tahun Kota
Desa
Kota+Desa
Kota
Desa
Kota+Desa
2006
167,8
944,2
1112,0
6,83
18,25
14,57
2007
152,8
930,6
1083,4
6,18
17,87
14,11
2008
150,8
880,9
1031,7
6,05
16,79
13,34
2009
124,5
839,1
963,6
4,94
15,81
12,31
Sumber: Diolah dari data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas)
Penduduk miskin di Provinsi Sulawesi Selatan lebih tinggi di daerah perdesaan. Pada tahun 2006, penduduk miskin di perdesaan mencapai 18,25 persen sementara di daerah perkotaan hanya 6,83 persen. Pada periode 2006-2008, penduduk miskin di daerah perdesaan menurun menjadi 16,79 persen sedangkan di daerah perkotaan turun menjadi 6,05 persen. Secara absolut selama periode Maret 2007-Maret 2008, penduduk
97
miskin di daerah perkotaan berkurang 2.000 orang, sementara di daerah perdesaan berkurang 49.700 orang. Persentase penduduk miskin antara daerah perkotaan dan perdesaan tidak banyak berubah. Pada bulan Maret 2007, sebagian besar (85,90 persen) penduduk miskin berada di daerah perdesaan, sementara pada bulan Maret 2008 persentase ini sedikit mengalami penurunan menjadi 85,38 persen. Jumlah penduduk miskin di Indonesia pada periode Maret 2006-Maret 2008 tampak semakin menurun. Pada tahun 2006 jumlah penduduk miskin di Indonesia adalah sebesar 39 295,3 ribu orang (17,75 persen), turun menjadi 37 168,3 ribu orang (16,58) pada tahun 2007, dan pada tahun 2008 turun lagi menjadi 34 963,3 (15,42). Tabel 6.11 Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin di Indonesia Menurut Daerah, 2006-2008
Tahun
Jumlah Penduduk Miskin (000)
Persentase Penduduk Miskin
Kota
Desa
Kota+Desa
Kota
Desa
Kota+Desa
2006
14 489,0
24 806,3
39 295,3
13,47
21,81
17,75
2007
13 559,3
23 609,0
37 168,3
12,52
20,37
16,58
2008
12 768,5
22 194,8
34 963,3
11,65
18,93
15,42
Sumber: Diolah dari data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 2006-2008
98
Jika dibandingkan dengan persentase penduduk miskin di Sulawesi Selatan pada periode Maret 2006-Maret 2008 tampak bahwa persentase penduduk miskin di Indonesia masih lebih besar. Pada tahun 2006 persentase penduduk miskin di Indonesia mencapai 17,75 persen sedangkan di Sulawesi Selatan hanya sekitar 14,57. Demikian juga pada tahun 2008, penduduk miskin di Indonesia mencapai 15,42 sedangkan di Sulawesi Selatan mencapai sekitar 13,34 persen. 6.9. Perubahan Garis Kemiskinan Besar kecilnya jumlah penduduk miskin sangat dipengaruhi oleh Garis Kemiskinan, karena penduduk miskin adalah penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran per kapita per bulan dibawah Garis Kemiskinan. Selama Maret 2007-Maret 2008, Garis Kemiskinan mengalami kenaikan, yaitu dari Rp.126.623,- per kapita per bulan pada Maret 2007 menjadi Rp.138.334,- per kapita per bulan pada Maret 2008. Dengan memperhatikan komponen Garis Kemiskinan (GK), yang terdiri dari Garis Kemiskinan Makanan (GKM) dan Garis Kemiskinan Bukan-Makanan (GKBM), terlihat bahwa peranan komoditi makanan jauh lebih besar dibandingkan peranan komoditi bukan makanan (perumahan, sandang, pendidikan, dan kesehatan). Pada bulan Maret 2007, sumbangan GKM terhadap GK sebesar 75,78 persen, tetapi pada bulan Maret 2008, peranannya sedikit meningkat menjadi 76,12 persen. Komoditi yang paling penting bagi penduduk miskin adalah beras. Pada bulan Maret 2007, sumbangan pengeluaran beras terhadap Garis Kemiskinan sebesar 28,64 persen di perdesaan dan 18,56 persen di perkotaan. Selain beras, barang-barang kebutuhan pokok lain yang 99
berpengaruh cukup besar terhadap Garis Kemiskinan adalah gula pasir (2,99 persen di perdesaan, 2,23 persen di perkotaan), telur (1,11 persen di perdesaan, 1,58 persen di perkotaan), mie instan (1,58 persen di perdesaan, 1,70 persen di perkotaan) dan minyak goreng (1,34 persen di perdesaan, 0,90 persen di perkotaan). Untuk komoditi bukan makanan, biaya perumahan mempunyai peranan yang cukup besar terhadap Garis Kemiskinan yaitu 6,04 persen di perdesaan dan 7,82 persen di perkotaan. Biaya untuk listrik, angkutan dan minyak tanah mempunyai pengaruh yang cukup besar untuk daerah perkotaan, yaitu masing-masing sebesar 2,90 persen, 2,78 persen dan 2,50 persen, sementara untuk daerah perdesaan pengaruhnya relatif kecil (kurang dari 2 persen). Tabel 6.12. Garis Kemiskinan, Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin di Sulsel Menurut Daerah, Maret 2006-Maret 2009
Sumber: Diolah dari data Susenas Panel Maret 2006-Maret 2008, dan Maret 2009.
100
6. 10. Indeks Kedalaman Kemiskinan dan Indeks Keparahan Kemiskinan Persoalan kemiskinan bukan hanya sekadar berapa jumlah dan persentase penduduk miskin. Dimensi lain yang perlu diperhatikan adalah tingkat kedalaman dan keparahan dari kemiskinan. Selain harus mampu memperkecil jumlah penduduk miskin, kebijakan kemiskinan juga sekaligus harus bisa mengurangi tingkat kedalaman dan keparahan dari kemiskinan. Pada periode Maret 2007-Maret 2008, Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1) dan Indeks Keparahan Kemiskinan (P2) menunjukkan kecenderungan menurun. Indeks Kedalaman Kemiskinan turun dari 2,60 pada keadaan Maret 2007 menjadi 2,44 pada keadaaan Maret 2008. Demikian pula Indeks Keparahan Kemiskinan turun dari 0,68 menjadi 0,67 pada periode yang sama (Tabel 6.13). Penurunan nilai kedua indeks ini mengindikasikan bahwa rata-rata pengeluaran penduduk miskin cenderung makin mendekati garis kemiskinan dan ketimpangan pengeluaran penduduk miskin juga semakin menyempit.
101
Tabel 6.13 Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1) dan Indeks Keparahan Kemiskinan (P2) di Sulawesi Selatan Menurut Daerah, Maret 2006- Maret 2008 Tahun
Kota
Desa
Kota + Desa
Maret 2006
2,61
4,22
3,43
Maret 2007
0,91
3,40
2,60
Maret 2008
1,20
3,03
2,44
Maret 2009
0,67
2,74
2,08
Maret 2006
0,77
1,22
1,00
Maret 2007
0.22
0,89
0,68
Maret 2008
0,35
0,82
0,67
Maret 2009
0,15
0,74
0,55
Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1)
Indeks Keparahan Kemiskinan (P2)
Sumber: Diolah dari data Susenas Panel Maret 2006-Maret 2009
Nilai Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1) dan Indeks Keparahan Kemiskinan (P2) di daerah perdesaan jauh lebih tinggi dari pada perkotaan. Pada bulan Maret 2008, nilai Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1) untuk perkotaan hanya 1,20 sementara di daerah perdesaan mencapai 3,03. Nilai Indeks Keparahan Kemiskinan (P2) untuk perkotaan hanya 0,35 sementara di daerah perdesaan mencapai 0,82.
102
6.11. Pekerja Migran (TKI/TKW) Teori migrasi klasik menyatakan bahwa migran lebih banyak lakilaki daripada perempuan pada usia umur produktif. (Demographic Institut, 1981). Globalisasi telah merubah banyak jumlah perempuan yang migrasi bukan saja sebagai pengikut tetapi juga sebagai pelaku migrasi. Perempuan meningkatkan migrasi internasional bukan saja jumlah perempuannya yang meningkat tetapi juga konstribusi perempuan di bidang sosial ekonomi juga meningkat (Sri Harijati Hatmaji, 2004). Seiring berkembangnya era globalisasi pada saat ini, dunia seakan tanpa batas. Adanya globalisasi informasi menyebabkan mobilitas penduduk semakin meningkat. Dengan semakin tingginya tingkat mobilitasi baik nasional maupun internasional, telah mendorong banyak peneliti melakukan analisa mengenai apa yang mendorong seseorang melakukan hal ini. Tujuan dan motif utama migrasi yang sering ditemukan adalah untuk memperbaiki keadaan ekonomi dan status sosial. Mobilitas penduduk merupakan salah satu usaha manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya dengan mencari dan menemukan sesuatu yang baru (innovative migration) atau mempertahankan apa yang telah dimiliki (conservative migration).
103
Tabel 6.14.Banyaknya Migrasi Internasional (TKI dan TKW) dari Sulawesi Selatan Menurut Tujuan Negara Tahun 2010
Tujuan Negara
Jumlah
Persentase
2.775
81,6
Arab saudi
85
2,5
Brunei Darussalam
457
13,4
Hongkong
1
0,0
Kuwait
3
0,1
Malaysia Timur
80
2,4
3.401
100,0
Malaysia
Jumlah
Sumber: Disnakertrans Provinsi sulawesi Selatan (Data Diolah) Data bulan Januari-September 2010. Mobilitas penduduk dapat mendatangkan perubahan sosial baik bagi daerah asal maupun daerah tujuan. Karena dalam proses mobilitas terjadi kontak dengan lingkungan lain. Migran yang telah tersentuh atau dipengaruhi oleh lingkungan yang lain, seringkali menjadi pelaku perubahan. Mereka membawa berbagai pengetahuan dan nilai-nilai baru ke tempat asal atau ke tempat tujuan sehingga mendorong terjadinya perubahan sosial budaya. Secara umum, perubahan sosial budaya dapat diamati dari perubahan orientasi nilai budaya tradisional, perubahan status sosial ekonomi seperti mata pencaharian serta tingkat pendidikan, dan pola fertilitas. Tabel menunjukkan bahwa migrasi dari sulawesi Selatan sebagian
104
besar menuju Malaysia mencapai 81,3 persen, berikutnya adalah Brunei Darussalam (13,4 persen) dan Arab Saudi 2,5 persen. Tabel 6.15. Banyaknya Migrasi Internasional (TKI dan TKW) dari Sulawesi Selatan Menurut Tujuan Negara dan Jenis Kelamin, Tahun 2010
Tujuan Negara Malaysia Arab saudi
Jenis Kelamin L
P
1.833
942
Total 2.775
0
85
85
457
0
457
Hongkong
0
1
1
Kuwait
0
3
3
Malaysia Timur
66
14
80
2.356
1.045
3.401
Brunei Darussalam
Jumlah Diolah)
Persentase L
P
77,80
90,40
0,00
8,13
19'40
0,00
0,00
0,10
0,00
0,29
2,80
1,34
100,00 Sumber: Disnakertrans Provinsi sulawesi Selatan (Data
100,00
Data bulan Januari-September 2010. Tetapi yang menarik adalah migrasi ke Malaysia dari Sulawesi
Selatan yang menjadi TKI dan TKW ke malaysia adalah laki-laki dan perempuan masing masing untuk laki-laki 77,80 persen dan 90,40 persen. Sedangkan migrasi yang menuju nega-negara Arab seperti ke Arab Saudi adalah umumnya perempuan yaitu sebanyak 85 orang (8,13 persen).dan Kuwait 3 orang (0,29 persen). Bahkan ada yang menuju Hong Kong yaitu 1 orang (0,10 persen) dan Malaysia Timur 14 orang (1,34 persen).
105
106
BAB VII. SEKTOR PUBLIK Peran aktif perempuan dalam pembangunan pada hakekatnya adalah upaya untuk mengembangkan diri yang dapat dilihat pada bidangbidang yang memberi pengaruh luas disektor publik meliputi politik dan sektor pemerintahan. Partisipasi perempuan memberikan kemampuan, kemandirian serta ketahanan mental dan spiritual menuju terwujudnya kemitrasejajaran perempuan dan laki-laki yang selaras, serasi, dan seimbang yang dilandasi saling menghormati, saling menghargai, saling membutuhkan dan saling mengisi. Dengan demikian akan terdapat persamaan status, kedudukan, hak kewajiban dan tanggung jawab antara laki-laki dan perempuan dalam menjalankan peran masing-masing. Dalam bab ini, akan disajikan data tentang keterlibatan perempuan di Sulawesi Selatan pada sektor publik dalam bidang legislatif, eksekutif dan yudikatif. 6.1. Partisipasi Perempuan dalam Bidang Legislatif, Eksekutif, Yudikatif Hak untuk dipilih dan memilih berdasarkan persamaan hak merupakan perintah UU yang harus dipatuhi. Artinya peraturan perundangundangan yang terkait dengan Pemilu wajib menjamin hak yang sama antara laki-laki dan perempuan untuk menikmati hak sipil dan politik. Hambatan bagi partisipasi perempuan dalam kehidupan politik tidak boleh ditolerir, karena dapat menghambat pertumbuhan kesejahteraan keluarga dan masyarakat dan mempersulit perkembangan potensi perempuan dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. UU No. 2 Tahun 2007 tentang Partai Politik dan UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum memberikan dukungan untuk terlaksananya 107
affirmative action dalam rangka meningkatkan peranan perempuan di bidang partai politik. Ditentukannya 30% pengurus partai politik di semua tingkatan harus diisi oleh perempuan dan 30% calon anggota legislatif juga diisi oleh perempuan dengan jaminan penempatan pada nomor urut kopiah atau dasi, cukup memberi peluang kepada peningkatan peranan perempuan secara kuantitatif. Tetapi hal tersebut belum menjamin calon anggota legislatif dari kalangan perempuan akan benar terpilih, karena partai politik berubah pikiran dalam penetapan calon terpilih dari berdasar nomor urut ke berdasar suara terbanyak. Artinya bila hal tersebut menjadi keputusan politik calon anggota legislatif dari kalangan kaum hawa harus lebih keras dalam mengumpulkan pemilih. Ketentuan UU tersebut diperlukan sebagai sarana perubahan sosio cultural menuju persamaan gender dalam kehidupan politik. Hukum sebagai sarana perubahan sosial diharapkan mampu mengubah pola peranan laki-laki dan perempuan dalam masyarakat yang masih diwarnai oleh ciri-ciri suatu masyarakat tradisional paternalistik. Dalam masyarakat tradisional semacam itu perempuan diberi peran untuk tugas-tugas yang perlu kesabaran, kehalusan perasaan, sehingga peran mereka terutama mengasuh anak, memasak, menjadi bidan/perawat. Sedangkan pekerjaan-pekerjaan yang lebih menantang dianggap dunianya laki-laki seperti menjadi tentara, bupati atau pemimpin partai. Secara bertahap sejak reformasi perubahan sosio cultural menuju persamaan peran laki-laki dan perempuan di dunia politik sudah mulai terjadi. Keterlibatan perempuan dalam dunia politik memberikan kecerahan bahwa kaum perempuan bisa menjadi ujung tombak dalam
108
advokasi upaya pengarusutamaan serta nilai-nilai kesetaraan gender dalam produk
perundang-undangan
maupun
penciptaan
perencanaan
pembangunan yang berperspektif gender. Partisipasi perempuan dalam bidang legislatif dapat dilihat dari keanggotaan mereka dalam lembaga legislatif, dalam hal ini sebagai anggota DPR/DPRD. Jumlah anggota DPRD Provinsi Sulawesi Selatan tahun 2009 dapat dilihat pada Tabel 7.1.
109
Tabel 7.1 Jumlah Anggota DPRD Tingkat Kab/Kota & Provinsi Periode 2004-2009 Berdasarkan Jenis Kelamin di Provinsi Sulawesi Selatan
No . 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23
Jumlah Anggota DPRD
Kabupaten/ Kota
Selayar Bulukumba Bantaeng Jeneponto Takalar Gowa Sinjai Maros Pangkep Barru Bone Soppeng Wajo Sidenreng Rappang Pinrang Enrekang Luwu Tana Toraja Luwu Utara Luwu Timur Kota Makassar Kota Parepare Kota Palopo
T o t al
Laki-laki
Perempuan
Jumlah Anggota DPRD
%
25 36 18 31 23 32 25 29 32 20 36 26 29
78,13 90,00 72,00 88,57 76,67 71,11 86,21 82,86 91,43 80,00 80,00 86,67 82,86
29 31 27 32 40 34 30
Jumlah Anggot a DPRD
%
Total
7 4 7 4 7 13 4 6 3 5 9 4 6
21,88 10,00 28,00 11,43 23,33 28,89 13,79 17,14 8,57 20,00 20,00 13,33 17,14
32 40 25 35 30 45 29 35 35 25 45 30 35
96,67 88,57 90,00 91,43 88,89 97,14 100,00
1 4 3 3 5 1 0
3,33 11,43 10,00 8,57 11,11 2,86 0,00
30 35 30 35 45 35 30
51
87,93
7
12,07
58
22
88,00
3
12,00
25
21 679
84,00 86,06
4 110
16,00 13,94
25 789
Sumber : Badan PP dan KB Provinsi Sulawesi Selatan, 2010 110
Berdasarkan Tabel 7.1, jika dianalisis berdasarkan jumlah anggota DPRD pada setiap kabupaten/kota terlihat bahwa dari 24 kabupaten/kota di Sulawesi Selatan, yang memiliki jumlah anggota DPRD paling banyak adalah kota Makassar yaitu sebanyak 58 orang diantaranya laki-laki 51 orang (87,93 %) dan perempuan 7 orang (12,07 %). Selanjutnya kabupaten yang memiliki jumlah anggota DPRD yang banyak adalah Kabupaten Gowa sebanyak 45 orang dengan perbandingan laki-laki sebanyak 32 orang (71,11 %) dan perempuan 13 orang (28,89 %). Jumlah yang sama juga di Kabupaten Bone yaitu sebanyak 45 orang dengan perbandingan laki-laki 36 orang (80 %) dan perempuan 9 orang (20 %). Kabupaten berikutnya yang memiliki jumlah anggota DPRD yang cukup banyak adalah Kabupaten Bulukumba yaitu sebanyak 40 orang dengan perbandingan laki-laki 36 orang (90 %) dan perempuan 4 orang (10 %). Dari data Tabel 7.1 juga terlihat bahwa dari seluruh kabupaten di Provinsi Sulawesi Selatan belum ada satupun kabupaten yang keberadaan anggota DPRD perempuan memenuhi quota 30 %. Hal ini menunjukkan bahwa aturan UU No. 2 Tahun 2007 tentang Partai Politik dan UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum memberikan dukungan untuk terlaksananya affirmative action dalam rangka meningkatkan peranan perempuan di bidang partai politik belum sepenuhnya dapat terlaksana. Untuk melihat perbandingan persentase jumlah anggota DPRD Tingkat II Pemilu 2009 berdasarkan jenis kelamin di Provinsi Sulawesi Selatan dapat dilihat pada Diagram 7.1 berikut:
111
Diagram 7.1 Persentase Anggota DPRD Tingkat II Provinsi Sulawesi Selatan Berdasarkan Jenis Kelamin di 2009 Jumlah Anggota DPRD Provinsi Sulawesi Selatan tahun 2009 berjumlah 789 orang diantaranya laki-laki 679 orang (86,06 %) dan perempuan 110 orang (13,94 %). Jika kita amati data tersebut, maka dapat kita simpulkan bahwa baik jumlah anggota DPRD baik di setiap kabupaten maupun di tingkat provinsi belum ada yang memenuhi quota 30%, sehingga ke depan perlu dilakukan langkah-langkah strategis agar keterlibatan dan peran perempuan di ranah legislative dapat lebih ditingkatkan. Peran perempuan dalam kepemimpinan di bidang pemerintahan tidak jauh berbeda dari peran mereka dalam calon anggota legislatif. Peran perempuan dibidang pemerintahan merupakan refleksi dari kualitas peran mereka dalam kepemimpinan partai politik dan dalam lembaga legislatif. Untuk meningkatkan kualitas peran perempuan, diperlukan komitmen, yang kuat dikalangan elit politik untuk secara sungguh-sungguh melaksanakan amanat UUD dan ketentuan undang-undang yang menjamin kedudukan antara laki-laki dan perempuan didepan hukum dan
112
pemerintahan. Sementara itu kaum perempuan perlu mengkonsolidasikan potensinya, menggalang dukungan untuk meraih simpati dan secara sistematis menempa diri agar memiliki kapasitas, kapabilitas serta akseptabilitas untuk memainkan peranan lebih besar dalam kancah politik demi kesejahteraan seluruh rakyat. Urusan politik dalam negara demokratis adalah urusan laki-laki dalam negara demokratis adalah urusan laki-laki dan perempuan. Laki-laki dan perempuan mempunyai hak dan tanggung jawab yang sama untuk membangun bangsanya. Partisipasi perempuan dan laki-laki dalam bidang eksekutif dapat dilihat dari jumlah mereka yang terlibat sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS). Pegawai Negeri Sipil yang dimaksud adalah semua pegawai yang bekerja pada departemen, non departemen, dinas, badan dan lembaga lainnya yang berada di bawah koordinasi pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan. Komposisi PNS Pemerintah pada tingkat provinsi dan kabupaten berdasarkan jenis kelamin di Provinsi Sulawesi Selatan pada Tahun 2010 disajikan pada Tabel 7.2 berikut :
113
Tabel 7.2. Jumlah PNS Kabupaten/Kota Provinsi Sulawesi Selatan Menurut Jenis Kelamin Tahun 2010 No
Kabupaten
Jenis Kelamin LK
%
PR
%
TOTAL
1
Selayar
2.009
45,44
2.412
54,56
4.421
2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14
Bulukumba Bantaeng Jeneponto Takalar Gowa Sinjai Maros Pangkep Barru Bone Soppeng Wajo Sidrap
4.238 2.093 3.501 3.199 4.396 2.938 3.735 3.467 2.366 5.592 3.184 3.614 2.998
48,98 46,03 52,03 49,14 45,23 47,06 48,65 45,76 43,45 45,06 44,77 46,39 46,46
4.415 2.454 3.228 3.311 5.323 3.305 3.942 4.109 3.079 6.817 3.928 4.176 3.455
51,02 53,97 47,97 50,86 54,77 52,94 51,35 54,24 56,55 54,94 55,23 53,61 53,54
8.653 4.547 6.729 6.510 9.719 6.243 7.677 7.576 5.445 12.409 7.112 7.790 6.453
15 16 17 18
Pinrang Enrekang Luwu Tana Toraja
3.550 2.727 3.381 4.817
46,87 49,64 48,09 51,51
4.024 2.767 3.650 4.534
53,13 50,36 51,91 48,49
7.574 5.494 7.031 9.351
19
Luwu Utara
2.834
48,88
2.964
51,12
5.798
20
Luwu Timur
1.713
42,93
2.277
57,07
3.990
21 22 23 24
Makassar Pare-Pare Palopo Prov Sulawesi Selatan *)
5.939 2.177 2.307 5.769
39,17 44,52 42,81 56,61
9.222 2.713 3.082 4.422
60,83 55,48 57,19 43,39
15.161 4.890 5.389 10.191
82.544
46,86
93.609
53,14
176.153
Jumlah
Sumber : BKN Provinsi Sulawesi Selatan 2010
Berdasarkan Tabel 7.2 terlihat bahwa dari 176.153 orang PNS pada tingkat kabupaten dan provinsi, diantaranya 82.544 orang (46,86%) adalah laki-laki dan perempuan 93.609 orang (53,14%). Hampir pada setiap kabupaten persentase PNS perempuan lebih banyak dibanding laki-laki, kecuali di Kabupaten Jeneponto dan Tana Toraja serta persentase PNS di 114
tingkat Provinsi Sulawesi Selatan. Hal ini dapat berarti bahwa perempuan telah diberi kesempatan yang luas dalam bidang eksekutif sehingga diharapkan dapat memberikan peran dalam pembangunan daerah. Selanjutnya untuk mengetahui perbandingan pegawai laki-laki dan perempuan berdasarkan golongan dapat dilihat pada Diagram 7.2 berikut :
Diagram 7.2 Persentase PNS Menurut Jenis Kelamin dan Golongan di Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2010 Gambaran tentang posisi PNS di Provinsi Sulawesi Selatan perempuan dan laki-laki bila ditinjau dari segi golongannya dapat di lihat pada Diagram 7.2. Dari diagram ini dapat diketahui bahwa secara umum proporsi PNS laki-laki yang berada pada golongan II, III dan IV lebih rendah persentasenya dibanding PNS perempuan, kecuali pada golongan I. Secara rinci dapat diuraikan bahwa pada golongan I laki-laki sebesar 78 % sedangkan perempuan 22 %. Pada golongan II dan III, persentase PNS perempuan lebih besar yaitu mencapai 55 % sedangkan laki-laki 45 %. Pada golongan 115
IV perempuan sebesar 52 % sedangkan 48 %. Dari data-data ini menunjukkan bahwa di Provinsi Sulawesi Selatan ada pergeseran posisi perempuan yang lebih dominan dibanding laki-laki pada setiap golongan. Untuk mengetahui secara lebih jelas perbandingan antara laki-laki dan perempuan menurut golongan pada setiap kabupaten dapat dilihat pada Lampiran 1. Hal lain yang perlu diperhatikan dari keberadaan pegawai adalah komposisinya berdasarkan tingkat pendidikan yang dimiliki. Untuk peningkatan pembangunan khususnya di daerah diperlukan sumber daya manusia yang berkualitas baik dari segi moral maupun pendidikan sehingga mereka dapat menjadi motor penggerak pembangunan daerah. Utamanya dalam kerangka Otonomi Daerah, diharapkan sumber daya manusia berkualitas ini mampu mendatangkan manfaat bagi daerahnya. Adapun komposisi pegawai pada tingkat provinsi di Provinsi Sulawesi Selatan berdasarkan Tingkat Pendidikan dapat dilihat pada Diagram 7.3 berikut:
116
Diagram 7.3 Jumlah PNS Menurut Jenis Kelamin dan Pendidikan di Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2010 \Analisis lebih lanjut berdasarkan tingkat pendidikan, dari 176.153 orang PNS di Provinsi Sulawesi Selatan, jumlah pegawai terbanyak berpendidikan S1/DIV/ Akta IV/Akta V/Spesialis yaitu sebanyak 63.092 orang diantaranya laki-laki 31.175 orang dan perempuan 31.917 orang, kemudian tingkat pendidikan DI/DII/DIII/Sarjana Muda/Akademik sebanyak 45.233 orang diantaranya laki-laki 14.158 orang dan perempuan 31.075 orang, kemudian tingkat pendidikan SLTA sebanyak 56.000 orang diantaranya laki-laki 28.410 orang dan perempuan 27.590 orang. Pada tingkat pendidikan yang lebih tinggi yaitu pada S2 dan S3, jumlah lakilaki jauh lebih banyak dibanding perempuan. Untuk mengetahui secara lebih jelas perbandingan antara laki-laki dan perempuan menurut pendidikan pada setiap kabupaten dapat dilihat pada Lampiran 2. 117
Selain peran perempuan dalam bidang legislatif dan eksekutif, bidang lainnya yang perlu mendapat perhatian adalah yudikatif. Persamaan hak dalam bidang yudikatif merupakan salah satu manifestasi prinsip persamaan yang dituntut oleh keadilan yang dicanangkan pemerintah, hukum yang dilaksanakan atas semua orang tanpa mengistimewakan dan tanpa membedakan seorang individu atas lainnya karena jenis kelamin, warna kulit, kedudukan, kekayaan, kemiskinan, kekerabatan atau persahabatan. Partisipasi perempuan dalam bidang yudikatif dapat dilihat dari keterlibatan mereka dalam segi tugas dan tanggungjawab pekerjaannya. Dalam hal ini, dapat dilihat dari keterlibatan mereka sebagai praktisi hukum yaitu
sebagai
hakim
(negeri
dan
agama),
jaksa,
notaris
dan
advokat/pengacara dan anggota kepolisian. Pada Tabel 7.3 disajikan data mengenai jumlah Jaksa yang ada di Provinsi Sulawesi Selatan menurut jenis kelamin.
118
Tabel 7.3 Jumlah Pejabat Strutural Pada Kejaksaan Tinggi Di Kabupaten/Kota dan Provinsi Sulawesi Selatan NO.
Kabupaten/Kota
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24
Kejari Selayar Kejari Bulukumba Kejari Bantaeng Kejari Jeneponto Kejari Takalar Kejari Sungguminasa Kejari Sinjai Kejari Maros Kejari Pangkep Kejari Barru Kejari Watampone Kejari Soppeng Kejari Sengkang Kejari Sidrap Kejari Pinrang Kejari Enrekang Kejari Belopa Kejari Makale Kejari Masamba Kejari Malili Kejari Makassar Kejari Pare-Pare Kejari Palopo Kejati Provinsi Sul-Sel Jumlah
Jml 4 6 4 5 8 12 6 7 5 5 5 5 6 6 7 5 8 5 6 7 17 9 10 48 167
LK
% 80,00 75,00 44,44 83,33 80,00 63,16 75,00 46,67 31,25 55,56 71,43 55,56 75,00 75,00 63,64 71,43 72,73 71,43 100,00 87,50 62,96 90,00 76,92 57,83 63,50
Jml 1 2 5 1 2 7 2 8 11 4 2 4 2 2 4 2 3 2 1 10 1 3 35 96
PR
% 20,00 25,00 55,56 16,67 20,00 36,84 25,00 53,33 68,75 44,44 28,57 44,44 25,00 25,00 36,36 28,57 27,27 28,57 12,50 37,04 10,00 23,08 42,17 36,50
Jumlah 5 8 9 6 10 19 8 15 16 9 7 9 8 8 11 7 11 7 6 8 27 10 13 83 263
Sumber: Kejaksaaan Tinggi Sulawesi Selatan Berdasarkan Tabel 7.3 dapat diketahui bahwa jumlah jaksa sebanyak 257 orang diantaranya laki-laki 167 orang (63,50 %) dan 119
perempuan 96 orang (36,50 %) yang tersebar pada 23 Kejari kabupaten/kota dan Kejati Provinsi Sulawesi Selatan. Hanya saja tidak didapatkan data tentang jumlah pengacara, hakim dan notaris.
Selain
praktisi hukum, untuk menegakkan pelaksanaan hukum aparat keamanan dalam hal ini polisi juga memegang peranan penting. Polisi banyak memainkan peran untuk menciptakan kedamaian dan perlindungan hukum kepada masyarakat.
Pada Tabel 7.4 berikut disajikan data mengenai
jumlah personil polisi menurut pangkat dan jenis kelamin di Provinsi Sulawesi Selatan pada Tahun 2010. Tabel 7.4. Jumlah Personil Polisi Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2010 Sumber : Polda Sulawesi Selatan, 2010
120
Saat ini di Provinsi Sulawesi Selatan, jumlah aparat kepolisian adalah sebanyak 14.736 orang, terdiri dari laki-laki sebanyak 14.436 orang (97,96 %) dan perempuan sebanyak 300 orang (2,04 %). Sedikitnya jumlah perempuan yang menjadi anggota polisi ini disebabkan karena masih kentalnya nilai-nilai budaya yang melekat pada pekerjaan polisi ini yang beranggapan bahwa hanya laki-laki yang paling tepat untuk pekerjaan tersebut. Karena secara fisik pekerjaan sebagai polisi dianggap sebagai pekerjaan berat. 6.2. Partisipasi Perempuan dalam Partai Politik dan Organisasi Sosial Kemasyarakatan Selain keterlibatan perempuan dalam keanggotaan di DPRD, hal lain yang perlu dilihat adalah keterlibatan perempuan di setiap partai politik sebagai langkah awal dalam memasuki dunia politik. Sejumlah partai politik memberi peran strategis kepada kaum perempuan dalam kepemimpinan partai politik. Tetapi lebih banyak yang memberi peran figuran untuk sekedar memenuhi formalitas yang ditentukan undang-undang perempuan lebih kurang ditempatkan pada posisi sekretaris, bendahara atau peran-peran yang terkait dengan konsumsi, dan kesenian. Dalam daftar calon legislatif yang diserahkan kepada KPU, sebagian partai politik berusaha memenuhi batas minimum kuota perempuan. Karena langkanya kader perempuan yang dimiliki tidak jarang aroma nepotisme dalam rekrutmen calon anggota legislatif sulit dielakkan. Soal kualitas calon perempuan masih menjadi tanda tanya, karena tidak sedikit partai politik yang belum sempat menempa kader-kader srikandi yang mempunyai kemampuan untuk ditampilkan sebagai wakil rakyat yang cerdas, trengginas mampu menangkap aspirasi rakyat dan paham lika-likunya politik. Untuk
121
mengetahui keberadaan perempuan dalam kepengurusan partai politik dapat dilihat pada tabel 7.5 berikut: Tabel 7.5. Jumlah Pengurus Partai Politik Tingkat Provinsi Menurut Jenis Kelamin dalam Pemilu Legislatif Tahun 2009
122
Diagram 7.4 Persentase Pengurus Partai Politik Tingkat Provinsi Menurut Jenis Kelamin dalam Pemilu Legislatif Tahun 2009 Tabel 7.4. menggambarkan keterlibatan perempuan pada kepengurusan partai politik di Provinsi Sulawesi Selatan, dari 114 orang yang menjadi pengurus partai politik perempuan hanya 16 orang (14 %) saja sementara perempuan mencapai 98 orang (86 %). Dari data tersebut terlihat pula bahwa masih banyak partai politik yang tidak melibatkan perempuan dalam kepengurusannya seperti partai. Dari 38 partai politik yang ada hanya 12 partai politik yang melibatkan perempuan. Kurangnya keterlibatan perempuan dalam partai politik dapat memberikan indikasi bahwa akses perempuan dalam pengambilan keputusan, perumusan kebijakan, dan perencanaan akan menjadi terbatas. Oleh karena itu, seringkali aspirasi perempuan kurang diperhitungkan dalam menyusun kebijakan partai, sehingga pada gilirannya kebijakan-kebijakan partai politik yang ada kurang berperspektif gender.
123
6.3. Jumlah PNS menurut Eselonisasi Salah satu ukuran keterlibatan perempuan dalam sektor publik adalah banyaknya perempuan yang duduk dalam jabatan-jabatan publik. Hal ini sangat penting mengingat bahwa duduknya perempuan dalam jabatan/eselon memperlihatkan kontrol perempuan terhadap suatu bidang tertentu dari kebijakan dan program-program publik. Dengan demikian diharapkan setiap kebijakan yang dihasilkan oleh instansi yang mereka pimpin tidak bias gender. Untuk lebih jelasnya mengenai perbadingan PNS laki-laki dan perempuan di Provinsi Sulawesi Selatan berdasarkan eselon dapat dilihat pada Diagram 7.5 berikut :
Diagram 7.5 Jumlah dan Persentase PNS Kabupaten/Kota Dan Provinsi Sulawesi Selatan Menurut Jabatan Struktural (Eselon) dan Jenis Kelamin Kondisi Oktober 2010 Berdasarkan Diagram 7.5 jika dijumlahkan antara PNS laki-laki dan perempuan berdasarkan Eselon dapat diketahui bahwa jumlah pegawai di Provinsi Sulawesi Selatan yang menjabat posisi eselon sebanyak 7.924
124
orang diantaranya laki-laki 5.682 orang (72 %) dan perempuan 2.242 orang (28 %). Analisis lebih lanjut menunjukkan bahwa PNS terbanyak pada eselon IV sebanyak 6.309 orang diantaranya laki-laki 4.322 orang dan perempuan 1.987 orang ,kemudian eselon III sebanyak 1.349 orang diantaranya laki-laki 1.117 orang dan perempuan 232 orang. Pada tingkat eselon II
sebanyak 256 orang diantaranya laki-laki 241 orang dan
perempuan 3 orang, sementara pada posisi yang tertinggi yaitu eselon I berjumlah 2 orang yang kesemuanya adalah laki-laki. Untuk mengetahui secara lebih jelas perbandingan antara laki-laki dan perempuan menurut eselon pada setiap kabupaten dapat dilihat pada Lampiran 3. Terlihat bahwa pada setiap jabatan eselon jumlah laki-laki jauh lebih banyak dibanding perempuan, kecuali pada jabatan eselon terendah yaitu eselon V semua yang menjabat adalah perempuan. Hal ini kemungkinan besar disebabkan oleh karena sedikitnya perempuan yang dianggap cakap untuk menduduki jabatan-jabatan yang bereselon tinggi karena tidak memadainya tingkat pendidikan mereka, baik pendidikan formal maupun pendidikan-pendidikan penjenjangan karir. Kurangnya perempuan yang memiliki tingkat pendidikan, terutama pendidikan penjenjangan karir, selain karena keinginan perempuan yang masih setengah-setengah juga karena masih seringnya kodrat perempuan digunakan alasan untuk tidak diikutsertakannya perempuan dalam kegiatan-kegiatan pendidikan tersebut.
125
126
BAB VIII. KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN Platform For Action and Beijing Declaration menyatakan bahwa kekerasan terhadap perempuan adalah segala bentuk tindakan kekerasan berdasarkan gender, termasuk ancaman, pemaksaan atau perampasan hakhak kebebasan, yang terjadi baik didalam rumah tangga atau keluarga (privat life), maupun di dalam masyarakat (public life) yang mengakibatkan kesengsaraan atau penderitaan bagi wanita baik secara fisik, seksual maupun fsikologis (United Nations Depertement of Public Relation 1986) Masalah kekerasan pada dasarnya erat kaitannya dengan kekuasaan, dan umumnya tindakan kekerasan dilakukan oleh kaum laki-laki. Dominasi pria terhadap wanita menunjukkan adanya kekuasaan pria untuk berbuat sesukanya terhadap wanita. Hal ini juga di dukung oleh sistem kepercayaan gender yang berlaku dalam masyarakat, sistem kepercayaan gender mengacu pada serangkaian kepercayaan dan pendapat tentang lakilaki dan perempan, sistem ini mencakup pengertian bagaimana sebenarnya laki-laki dan perempuan itu. Pada umumnya laki-laki dianggap sebagai sosok yang lebih kuat, lebih aktif, mempunyai dominasi dan otonomi, sebaliknya perempuan di pandang sebagai mahluk lemah, suka mengalah dan pasif (belenggu patriarki). Jagger dan Rottenberg (2002), memberikan beberapa penjelasan mengenai penindasan terhadap perempuan, yaitu : 1.
Secara historis perempuan merupakan kelompok pertama yang tertindas
127
2.
Penindasan terhadap perempuan terjadi dimana-mana dalam masyarakat
3.
Penindasan perempuan adalah bentuk penindasan yang paling sulit di lenyapkan dan tidak akan bisa dihilangkan melalui perubahanperubahan sosial lain, seperti penghapusan kelas masyarakat
4.
Penindasan terhadap perempuan menyebabkan penderitaan yang paling berat bagi korban-korbannya, meskipunpenderitaan ini berlangsung tanpa di ketahui oleh orang lain.
Perempuan sering di analisis dalam hubungannya dengan kedudukan atau juga dengan kekuasaan yang ada dalam masyarakat, yaitu fungsi mereka dalam keluarga. Menurut Aguste Comte, perempuan secara konstitusional bersifat inferiror, dimana mereka cenderung sedikit memperoleh pengakuan kedudukan didalam keluarga maupun dalam masyarakat yang luas. Kekerasan terhadap perempuan merupakan fenomena sosial yang telah berlangsung lama dari masyarakat yang masih primitive sampai pada masyarakat modern sekarang ini, berbagai tindak kekerasan telah di alami oleh perempuan dari waktu-kewaktu, banyak faktor-faktor yang melatar belakangi timbulnya tindak kekerasan terhadap perempuan, diantaranya faktor budaya, faktor social, dan faktor ekonomi. Kekerasan terhadap perempuan, tidak hanya terjadi pada kelompok usia dewasa tetapi juga pada kelompok usia anak-anak dan lanjut usia, sebagaimana disajikan pada table berikut.
128
Tabel 8.1. Rekapitulasi Data Korban Tindak Kekerasan (Ktk) Anak Berdasarkan Jenis Kelamin Di Propinsi Sulawesi Selatan Tahun 2009-2010 NO 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23
PROPINSI SUL-SEL
MAKASSAR GOWA PARE-PARE BANTAENG SOPPENG TANA TORAJA PALOPO MAROS BARRU SIDRAP PINRANG WAJO BONE ENREKANG LUWU LUWU UTARA TAKALAR JENEPONTO BULUKUMBA SINJAI SELAYAR PANGKEP LUWU TIMUR JUMLAH
KORBAN TINDAK KEKERASAN (KTK)
ANAK
JUMLAH
L 6 3 11 3 7 11 6 5 9 7 5 5 11 0 2 6 7 5 3 3 0 2
P 21 25 45 38 32 71 51 22 35 24 42 44 46 23 43 48 39 32 29 35 39 11
120
810
3
15
Sumber Data : Dinsos Prov. Sulsel
129
ANAK
27 28 56 41 39 82 57 27 44 31 47 49 57 23 45 54 46 37 32 38 39 13
L 4 2 15 7 9 6 8 2 6 4 7 1 15 1 5 3 9 2 7 5 5 5
P 15 28 36 26 12 71 51 30 17 18 22 19 19 15 29 33 28 25 22 26 25 19
930
137
613
18
9
27
JUMLAH 19 30 51 33 21 77 59 32 23 22 29 20 34 16 34 36 37 27 29 31 30 24 26
750
Berdasarkan table diatas, nampak bahwa kekerasan yang terjadi di tahun 2009 dan 2010 pada anak-anak perempuan jauh lebih banyak jumlahnya dibandingkan dengan kekerasan yang menimpa pada anak laki-laki yaitu 8,4 : 1,5. Jumlah kasus kekerasan pada anak perempuan dari tahun 2009 sampai 2010 berjumlah 1.423 kasus. Apabila dilihat berdasarkan kabupaten, maka tindak kekerasan terhadap anak-anak perempuan yang tertinggi di kabupaten Tana Toraja yakni 71 kasus, dan terrendah di kabupaten Pangkep (tahun 2009) dan Soppeng (tahun 2010). Secara umum ada kecenderungan
penurunan
jumlah
kasus,
namun
di
beberapa
kabupaten/kota menunjukkan kecenderungan naik atau tetap yaitu di kabupaten Gowa, Tana Toraja, Palopo, Maros, Pangkep, dan Luwu Timur. Data tersebut diatas, dikuatkan dengan banyaknya jumlah kasus yang dilaporkan di Polda Sulselbar sebagaimana table berikut. Tabel 8.2. Data Keseluruhan Kasus Yang Melibatkan Pelaku/Korban Anak Periode Tahun 2009 NO
JENIS KASUS
UMUR KORBAN
LAKILAKI
PEREM PUAN
STATUS
1
2
3
4
5
1
-
14 Thn
2
-
13 Thn
√ √
3
Pemerkosaan
15 Thn
P.21
4
Pemerkosaan
16 Thn
5
Traficking
16 Thn
6
-
13 Thn
7
-
3 Thn
√
8
-
13 Thn
√
9
Pelecehan Seksual
15 Thn
√
14 Thn
√
10
√ √ √ √
130
TERSANGKA
PELAKU
6
7
8
P.21
LAKI-LAKI
15 Thn
Sidik
LAKI-LAKI
19 Thn
LAKI-LAKI
27 Thn
Sidik
LAKI-LAKI
40 Thn
-
LAKI-LAKI
-
Sidik
LAKI-LAKI
43 Thn
-
Perempuan
33 Thn
Proses
LAKI-LAKI
45 Thn
Proses
Perempuan
50 Thn
P.21
LAKI-LAKI
-
KASUS
11
6 Thn
12
Perbuatan cabul
16 Thn
13
-
17 Thn
-
14 Thn
14 15
Pemerkosaan
17 Thn
16
-
15 Thn
√
17
-
-
18
-
-
19
-
10 Thn
20
Penganiayaan
17 Thn
21
Pemerkosaan
15 Thn
22
Pemerkosaan
-
23
Pernografi
-
-
-
16 Thn
25
-
7 Thn
26
-
16 Thn
27
-
15 Thn
√
28
-
16 tHN
-
17 Thn
24
29 30
-
17 Thn
31
-
11 Thn
√
-
14 Thn
33
Penganiayaan
60 Thn
34
-
16 Thn
35
-
37 Thn
36
-
16 Thn
32
√ √ √ √ √
Sidik
LAKI-LAKI
50 Thn
Sidik
LAKI-LAKI
-
P.21 Dalam Lidik
LAKI-LAKI
19 Thn
LAKI-LAKI
20 Thn
P.21
LAKI-LAKI
33 Thn
√
Sidik
Perempuan
21 Thn
√
P.21
LAKI-LAKI
15 Thn
P.21
LAKI-LAKI
17 Thn
√ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √
P.21
LAKI-LAKI
40 Thn
Sidik
LAKI-LAKI
17 Thn
Lidik
LAKI-LAKI
20 Thn
Lidik
LAKI-LAKI
-
Sidik Cabut Laporan
Perempuan
17 Thn
LAKI-LAKI
21 Thn
ABH
LAKI-LAKI
35 Thn
ABH
LAKI-LAKI
17 Thn
ABH
Perempuan
17 Thn
ABH Dalam Lidik
LAKI-LAKI
35 Thn
LAKI-LAKI
30 Thn
ABH
LAKI-LAKI
23 Thn
ABH Dalam Proses
Perempuan
25 Thn
LAKI-LAKI
18 Thn
Proses
LAKI-LAKI
19 Thn
Proses
LAKI-LAKI
17 Thn
STM
LAKI-LAKI
15 Thn
STM
LAKI-LAKI
50 Thn
Data kekerasan terhadap anak perempuan yang dilaporkan pada tahun 2009 sebanyak 26 kasus dari 36 kasus atau 72% dari jumlah keseluruhan. Kecenderungan kasus meningkat pada tahun 2010 yaitu sebanyak 32 kasus dari 34 kasus atau 94%, korbannya anak perempuan. 131
Tabel 8.3. Data Keseluruhan Kasus Yang Melibatkan Pelaku/Korban Anak Periode Tahun 2010 NO
JENIS KASUS
UMUR KORBAN
LAKILAKI
PEREM PUAN
STATUS
1
2
3
4
5
6
-
-
√
Sidik Tidak cukup bukti
1 2
-
19 Thn
3
-
4
-
5
-
13 Thn 15 Thn
-
13 Thn
-
-
8
-
17 Thn
9
-
16 Thn
10
-
16 Thn
11
-
17 Thn
12
-
16 Thn
14
15 Thn
-
-
14 Thn
16
Pencabulan
-
17
-
16 Thn
18
Pencabulan
-
-
19
-
-
20
-
13 Thn
-
-
-
17 Thn
√ √ √ √ √ √
√ √ √ √ √ √ √
-
√
23
-
17 Thn
24
-
19 Thn
25
-
14 Thn
26
-
4 Thn
-
18 Thn
27
√
-
22
√
√
15
21
√
7
-
√
6
13
√
√ √ √ √ √
132
KASUS
TERSANGKA
PELAKU
7
8
LAKI-LAKI
30 Thn
P.18/P.19
LAKI-LAKI
-
Tahap I
LAKI-LAKI
42 Thn
Dalam Lidik
Dalam
-
Damai
LAKI-LAKI
40 Thn
Proses
Perempuan
18 Thn
Tahap I
LAKI-LAKI
16 Thn
Proses
LAKI-LAKI
20 Thn
P.21
LAKI-LAKI
22 Thn
Diversi
LAKI-LAKI
15 Thn
Cabut
Lidik
LAKI-LAKI Dalam Lidik Dalam Lidik
Dalam Lidik
-
35 Thn
-
-
LAKI-LAKI
Sidik
LAKI-LAKI
17 Thn -
Proses
LAKI-LAKI
20 Thn
Sidik
-
-
Cabut
LAKI-LAKI
20 Thn
Proses
LAKI-LAKI
20 Thn
P.21
LAKI-LAKI
17 Thn
Bekar
LAKI-LAKI Dalam Lidik
23 Thn
Limpah
LAKI-LAKI
24 Thn
Diversi
LAKI-LAKI
15 Thn
Proses
LAKI-LAKI
40 Thn
Sidik
LAKI-LAKI
26 Thn
Proses
-
28
-
17 Thn
29
-
15 Thn
Pemerkosaan
17 Thn
30 31
Pemerkosaan
9 Thn
32
-
13 Thn
√ √ √ √ √
P.21
LAKI-LAKI
56 Thn
Sidik
LAKI-LAKI
16 Thn
Sidik
16 Thn
Proses
LAKI-LAKI Dalam Lidik
P.21
LAKI-LAKI
20 Thn
-
33
-
15 Thn
√
Cabut
Perempuan
17 Thn
34
-
14 Thn
√
Sidik
LAKI-LAKI
16 Thn
Sumber data : Polda Sulselbar
Kekerasan yang terjadi pada perempuan usia dewasa dan lansia pada tahun 2009 dan 2010 juga menunjukkan kondisi yang memprihatinkan. Berdasarkan data dari Dinas Sosial Prov. Sulsel, jumlah kekerasan pada perempuan dewasa mencapai 980 kasus (tahun 2009) dan 991 kasus (tahun 2010) atau 89% dari total kasus kekerasan yang terdata. Untuk kekerasan yang terjadi pada perempuan lanjut usia mencapai 293 kasus pada kurun waktu tahun 2009 dan 2010 atau 69 % dari total kasus (lihat table dibawah).
133
Tabel 8.4. Rekapitulasi Data Korban Tindak Kekerasan (KTK Berdasarkan Jenis Kelamin di Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2009-2010 NO
PROPINSI
KORBAN TINDAK KEKERASAN (KTK) DEWASA
SUL-SEL
TH 2009 L
JUM LAH
P
TH 2010 L
P
KORBAN TINDAK KEKERASAN (KTK) LANJUT USIA TH 2009
JUM LAH L
P
JUM LAH
TH 2010 L
P
JUM LAH
1
MAKASSAR
5
41
46
13
55
68
2
7
9
1
4
5
2
GOWA
5
34
39
3
38
41
3
4
7
5
3
8
3
PARE-PARE
3
40
43
7
29
36
0
1
1
1
5
6
4
BANTAENG
15
55
70
9
49
58
6
3
9
8
4
12
5
SOPPENG
12
62
74
3
66
69
5
9
14
0
9
9
6
TANA TORAJA
15
70
85
18
49
67
10
21
31
6
19
25
7
PALOPO
21
31
52
6
44
50
3
11
14
5
11
16
8
MAROS
2
36
38
4
38
42
2
0
2
7
0
7
9
BARRU
5
39
44
8
28
36
0
3
3
1
5
6
10
SIDRAP
0
38
38
3
44
47
0
4
4
2
4
6
11
PINRANG
0
50
50
7
51
58
2
5
7
4
8
12
12
WAJO
7
53
60
4
60
64
6
3
9
1
9
10
13
BONE
4
80
84
8
72
80
6
7
13
4
9
13
14
ENREKANG
6
24
30
3
28
31
0
4
4
4
5
9
15
LUWU
2
56
58
5
42
47
4
8
12
2
8
10
16
LUWU UTARA
2
42
44
3
49
52
3
9
12
2
11
13
17
TAKALAR
1
41
42
6
42
48
0
5
5
3
8
11
18
JENEPONTO
3
51
54
2
48
50
3
6
9
4
7
11
19
BULUKUMBA
0
37
37
3
49
52
0
4
4
2
9
11
20
SINJAI
2
44
46
5
36
41
1
2
3
3
6
9
21
SELAYAR
1
28
29
2
36
38
2
7
9
3
5
8
22
PANGKEP
2
15
17
4
23
27
0
3
3
4
6
10
23
LUWU TIMUR
1
13
14
6
15
21
0
4
4
1
8
9
114
980
1094
132
991
1.123
58
130
188
73
163
236
JUMLAH
Sumber Data : Dinsos Prov. Sulsel
134
Secara keseluruhan, berdasarkan data dari Dinas Sosial, menunjukkan bahwa jumlah kekerasan pada perempuan pada tahun 2009 mencapai angka 1920 kasus dari 2212 kasus atau 87%, dan untuk tahun 2010 mencapai 1767 kasus dari 2109 kasus atau 84 %. Kekerasan terhadap perempuan sebagai suatu ancaman global terhadap kemanusian, dan telah menjadi isu gender yang cukup sentral, mengharuskan kita untuk mengatasi, dan meminimalisir tindak kekerasan terhadap perempuan. Banyak faktor yang harus di perhatikan dalam usaha untuk menyelesaikan persoalan sosial dalam masyarakat, karena masyarakat merupakan suatu sistem, pada saat salah satu subsistem tidak berfungsi dengan baik maka akan mengakibatkan kerusakan semua sistem, dalam hal ini suatu permasalan sosial, tidak dapat di selesaikan hanya melalui pendekatan sosial, karena semua unsur berpengaruh dalam hal itu, maka sudah menjadi keharusan bahwa setiap bagian dalam masyarakat harus berperan aktif demi terciptanya lingkungan yang adil, tentram, damai, menjadikan masyarakat yang terintegrasi dengan sempurna.
135
136
BAB IX. MASALAH ANAK 9.1.Kepemilikan Akte Kelahiran Akta kelahiran menjadi dokumen yang sangat penting bagi warga negara Republik Indonesia, dokumen akta kealhiran tersebut menjadi dokumen hukum bahwa seseorang memang dilahirkan dari seorang warga Negara Indonesia baik di dalam maupun di luar wilayah jurisdiksi Indonesia. Hal ini juga dapat dikaitkan dengan kewarganegaraan seseorang, karena ia dilahirkan oleh seorang ayah dan/atau ibu yang berkewarganegaraan Indonesia. Dalam kehidupan lebih lanjut bahwa kepemilikan akta kelahiran berdampak cukup luas, dimana seseorang ketika tidak memiliki dokumen berupa akta kelahiran akan cukup sulit dalam melakukan proses-proses administasi selanjutnya,
seperti:
pengurusan
pendaftaran
sekolah,
administrasi pendaftaran pekerjaan, hingga administrasi perolehan passport. Perihal akta kelahiran menjadi penting untuk dikaji setidaknya disebabkan oleh beberapa hal, antara lain bahwa dalam memperoleh sebuah akta kelahiran, maka acapkali pihak pencatat akta kelahiran atau pihak yang berwenang mensyaratkan adanya buku atau akta nikah dari orang tua yang hendak mencatatkan peristiwa kelahiran. Pasal 27 UU No.23 Tahun 2002 juga UU No.23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan jo. Perpres No.25 Tahun 2008 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil tidak mensyaratkan adanya kewajiban untuk melampirkan akta nikah/buku nikah orangtua anak dalam proses perolehan akta lahir bagi anak. Jika anak 137
dilahirkan dari sepasang suami-isteri yang tidak dicatatkan perkawinannya, maka berdasarkan ketentuan Pasal 52 Perpres No.25 Tahun 2008, maka surat tersebut akan menyatakan bahwa anak tersebut dilahirkan dari psangan bapak A dan ibu B. Pihak yang mengetahui terjadinya perkawinan serta kelahiran dihadirkan menjadi saksi dalam proses pencatatan oleh pihak orangtua anak. Bidan atau dokter yang membantu proses kelahiran si anak cukup memberikan surat keterangan mengenai proses kelahiran tersebut dan itu digunakan untuk mengurus keperluan pembuatan akta kelahiran. Pada sisi lain jika si Ayah tidak diketahui keberadaannya, maka akta tersebut hanya menyatakan hubungan hukum dengan pihak Ibu saja. Bahkan jika tidak diketahui siapa orangtuanya, maka anak tersebut tetap mendapatkan haknya untuk memperoleh akta kelahiran cukup dengan keterangan dari orang yang menemukan si anak dan dilengkapi oleh berita acara pemeriksaan dari kepolisian. Tidak wajibnya melampirkan akta/buku nikah dalam hal memperoleh akta kelahiran bagi anak dikuatkan pula oleh Pasal 27 UU No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak: (1) Identitas seorang diri setiap anak harus diberikan sejak kelahirannya (2) Identitas sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dituangkan dalam akta kelahiran (3) Pembuatan akta kelahiran didasarkan pada keterangan dari orang yang menyaksikan dan/atau membantu proses kelahiran (4) Dalam hal anak yang proses kelahirannya tidak diketahui, dan orangtuanya tidak diketahui keberadaannya, pembuatan akta kelahiran
138
untuk anak tersebut didasarkan pada keterangan orang yang menemukan Data kepemilikan akte kelahiran anak usia 0-4 tahun di Sulawesi Selatan sebagaimana table berikut. Tabel 9.1. Penduduk 0-4 Tahun yang Memiliki Akte Kelahiran menurut Kabupaten/Kota, Sulawesi Selatan Perkotaan Propinsi/Kabupaten
Province/District
00. Sulawesi Selatan
Penduduk 0 - 4 Tahun / Population 0 - 4 Years
Perdesaan Memiliki Akte Kelahiran / Have Birth Certificate Banyakn ya / Prose Number ntase
Penduduk 0 - 4 Tahun / Population 0 - 4 Years
Memiliki Akte Kelahiran / Have Birth Certificate Banyakn ya / Prose Number ntase
240,974
115,752
48,00
506,208
127,762
25,24
01. Selayar
1,968
785
39.89
9,583
1,854
19.35
02. Bulukumba
6,119
1,371
22.41
28,086
5,414
19.28
03. Bantaeng
4,366
2,241
51.33
12,888
1,474
11.44
04. Jeneponto
1,825
423
23.18
25,478
1,428
5.6
05. Takalar
3,388
1,452
42.86
21,572
4,433
20.55
06. Gowa
18,294
6,249
34.16
41,732
7,262
17.4
07. Sinjai
4,759
2,059
43.27
18,678
1,961
10.5
08. Maros
6,411
4,190
65.36
22,785
6,784
29.77
09. Pangkajene Kepulauan
5,001
2,473
49.45
23,413
5,474
23.38
10. Barru
3,657
1,438
39.32
12,098
3,315
27.4
11. Bone
10,150
5,900
58.13
58,286
17,044
29.24
12. Soppeng
3,907
2,492
63.78
14,931
3,610
24.18
13. Wajo
7,592
2,067
27.23
21,246
4,425
20.83
14. Sidenreng Rappang
5,688
2,626
46.17
17,201
8,944
52
15. Pinrang
6,555
4,935
75.29
26,740
9,538
35.67
16. Enrekang
2,014
1,706
84.71
17,252
5,918
34.3
17. Luwu
2,210
690
31.22
34,297
4,846
14.13
18. Tana Toraja
5,407
2,897
53.58
37,808
14,064
37.2
22. Luwu Utara
1,634
600
36.72
34,024
11,986
35.23 29.76
25. Luwu Timur
4,911
3,544
72.16
20,756
6,177
71. Makasar
116,193
57,494
49.48
2,808
702
25
72. Pare-Pare
10,300
4,833
46.92
1,645
704
42.8
8,625
3,287
38.11
2,901
405
13.96
73. Palopo
Sumber data : BPS, Sensus Penduduk 2010
139
Berdasarkan data diatas, dapat diketahui bahwa persentase kepemilikan akte kelahiran di Sulawesi Selatan baru mencapai 73,24 %. Ersentase kepemilikan di perdesaan masih sangat rendah, berkisar setengahnya dari persentase kepemilikan di perkotaan.
Hal ini terkait erat dengan
pengetahuan masyarakat, jangkauan layanan petugas catatan sipil, dan kepedulian pemerintah setempat dalam mewujudkan hak anak. Berdasarkan kab/kota, kepemilikan akte terrendah di kabupaten Jeneponto, utamanya di wilayah perdesaannya, yang hanya mencapai 5,6%. Adapun persentase kepemilikan tertinggi di kabupaten Enrekang, utamanya di wilayah perkotaan yakni 84,71%.
9.2. Pekerja Anak Hingga saat ini, tidak ada data mengenai pekerja/buruh anak yang tercatat di Dinas Tenaga Kerja, baik Provinsi maupun Kabupaten/Kota. Namun penelitian LPA Sulawesi Selatan tahun 2008, menemukan anakanak bekerja di sektor formal dan informal, antara lain di KIMA dan pabrikpabrik lain di daerah. Anak-anak juga ditemukan di sektor kontruksi/bangunan, pasar ikan, pasar-pasar tradisional, tukang becak, pemulung, sektor perkebunan (kebun kelapa sawit, cokelat, tebu), pertanian (sawah), nelayan (penangkap ikan dan pembudi daya rumput laut). Di Pelabuhan Paotere, terdapat 117 anak umur 8-15 tahun yang aktif bekerja sebagai tukang bongkar dan pengangkut ikan, pengangkut air, pencuci kapal, dan penjual ikan. Di TPAS Tamangapa terdapat 380 anak 140
(umur 5-17) tahun yang memulung, sekitar 63 % (239 anak) merupakan pemulung aktif. Angka pasti sulit dihitung, namun angka yang diperoleh adalah mengenai pendidikan anak-anak yang bekerja. Anak-anak yang bekerja 53 % putus sekolah. 47 % yang masih di bangku sekolah pun rawan putus sekolah, mencapai 70 %. Tingkat kerawanan putus sekolah dililihat dari : anak sering bolos ke sekolah, tidak ada perhatian orang tua, suasana belajar yang tidak cocok untuk anak, jadwal belajar yang tidak sesuai dengan kegiatan anak.
9.3. Kekerasan Terhadap Anak Secara umum kekerasan didefinisikan sebagai suatu tindakan yang dilakukan satu individu terhadap individu lain yang mengakibatkan gangguan fisik dan atau mental. Yang dimaksud dengan anak ialah individu yang belum mencapai usia 18 tahun. Oleh karena itu, kekerasan pada anak adalah tindakan yang di lakukan seseorang /individu pada mereka yang belum genap berusia 18 tahun yang menyebabkan kondisi fisik dan atau mentalnya terganggu. Seringkali istilah kekerasan pada anak ini dikaitkan dalam arti sempit dengan tidak terpenuhinya hak anak untuk mendapat perlindungan dari tindak kekerasan dan eksploitasi. Kekerasan pada anak juga sering kali dihubungkan dengan lapis pertama dan kedua pemberi atau penanggung jawab pemenuhan hak anak yaitu orang tua (ayah dan ibu) dan keluarga. Kekerasan yang disebut terakhir ini di kenal dengan perlakuan salah terhadap anak atau child abuse 141
yang merupakan bagian dari kekerasan dalam rumah tangga (domestic violence). Menurut Indra Sugiarno Kekerasan pada anak atau perlakuan salah pada anak adalah suatu tindakan semena-mena yang dilakukan oleh seseorang seharusnya menjaga dan melindungi anak (caretaker) pada seorang anak baik secara fisik, seksual, maupun emosi. Pelaku kekerasan di sini karena bertindak sebagai caretaker, maka mereka umumnya merupakan orang terdekat di sekitar anak. Ibu dan bapak kandung, ibu dan bapak tiri, kakek, nenek, paman, supir pribadi, guru, tukang ojek pengantar ke sekolah, tukang kebon, dan seterusnya. Kekerasan masih mendominasi laporan yang masuk ke Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Sulawesi Selatan. Demikian juga, kekerasan terhadap anak masih mendominasi pemberitaan di Media Massa yang terbit di Kota Makassar. Kasus kekerasan yang dilaporkan ke LPA Sulawesi Selatan maupun yang diberitakan oleh media massa, didominasi oleh kasus kekerasan seksual, berupa perkosaan, pencabulan, dan pelecehan, serta kekerasan fisik, dengan pelaku utama adalah orang-orang terdekat (Tabel 9.2), seperti orang tua/keluarga, guru, tetangga, teman, dan pacar.
142
Tabel 9.2. Data Kekerasan Anak Di Sulawesi Selatan (2002-2010) Variabel
200 2
200 3
200 4
200 5
200 6
200 7
200 8
200 9
2010* )
Kekerasa n seksual
70
82
92
99
98
99
132
77
82
Kekerasa n fisik
69
77
88
92
96
103
124
110
59
Lain-lain*)
60
49
94
90
99
105
92
68
30
Total
199
208
274
281
293
307
348
255
171
Keterangan : -
Kekerasan seksual (pencabulan, pelecehan, perkosaan)
-
Kekerasan fisik (di sekolah, rumah, jalan, dll)
-
Tahun 2008, data juga diperoleh dari beberapa Polres di Sulawesi Selatan
-
Lain-lain : kekerasan non-fisik, penelantaran, eksploitasi, penculikan, penipuan, dan pemalakan.
-
*) Sampai Oktober 2010
Hanya 18 %, pelaku kekerasan adalah orang tidak mempunyai hubungan dengan korban. Artinya sebanyak 82 %, pelaku kekerasan terhadap anak adalah orang-orang dekat dengan korban. Yang perlu mendapat perhatian dari tabel di atas adalah meningkatnya kasus kekerasan seksual di Sulawesi Selatan. Tahun 2010, sampai bulan Oktober terdapat 82 kasus kekerasan seksual. Di samping itu, meningkatnya kasus inses (hubungan seksual dalam lingkungan keluarga) dan bentuk perkosaan terhadap anak. Sepanjang tahun 2010, terdapat 8 143
kasus inses di Sulawesi Selatan dengan korban anak dan pelaku adalah ayah kandung, paman, dan kakek. Sementara angka kekerasan fisik pada tahun 2010, mengalami penurunan dibanding tahun-tahun sebelumnya. Kekerasan fisik terhadap anak masih seputaran di sekolah dan di rumah tangga. Angka kekerasan fisik yang mengalami penurunan menunjukkan kesadaran di tingkat masyarakat. Berdasarkan data Dinas Sosial, untuk tahun 2009 - 2010 tercatat tindak kekerasan pada anak sebagaimana tabel berikut. Jumlah anak korban tindak kekerasan menurun dari tahun 2009 ke tahun 2010, namun bila dicermati maka akan nampak bahwa terjadi peningkatan kasus pada anak laki-laki dari 120 menjadi 137. Jumlah inipun hanya kasus-kasus yang terlaporkan. Kasus kekerasan pada anak seringkali tidak dilaporkan, karena pemahaman masyarakat yang relatif rendah, yang berpendapat bahwa mereka tidak berkepentingan terhadap anak-anak diluar keluarga mereka dan juga faktor budaya malu dan tersinggung jika kasusnya dilaporkan.
144
Tabel 9.3. Rekapitulasi Data Korban Tindak Kekerasan (KTK) Anak Berdasarkan Jenis Kelamin Di Propinsi Sulawesi Selatan Tahun 2009-2010 PROVINSI SULSEL MAKASSAR GOWA PARE PARE BANTAENG SOPPENG TANA TORAJA PALOPO MAROS BARRU SIDRAP PINRANG WAJO BONE ENREKANG LUWU LUWU UTARA TAKALAR JENEPONTO BULUKUMBA SINJAI SELAYAR PANGKEP LUWU TIMUR JUMLAH
KORBAN TINDAK KEKERASAN (KTK) Tahun 2009 ANAK JUMLAH L P
KORBAN TINDAK KEKERASAN (KTK) Tahun 2010 ANAK JUMLAH L P
6 3 11 3 7 11 6 5 9 7 5 5 11 0 2 6 7 5 3 3 0 2 3
21 25 45 38 32 71 51 22 35 24 42 44 46 23 43 48 39 32 29 35 39 11 15
27 28 56 41 39 82 57 27 44 31 47 49 57 23 45 54 46 37 32 38 39 13 18
4 2 15 7 9 6 8 2 6 4 7 1 15 1 5 3 9 2 7 5 5 5 9
15 28 36 26 12 71 51 30 17 18 22 19 19 15 29 33 28 25 22 26 25 19 27
19 30 51 33 21 77 59 32 23 22 29 20 34 16 34 36 37 27 29 31 30 24 26
120
810
930
137
613
750
Sumber Data : Dinsos Prov. Sulsel
145
146
BAB X. PENUTUP 10.1. Kesimpulan Dalam
rangka
memperoleh
efek
pengganda,
strategi
pemberdayaan perempuan akan menjadi salah satu instrumen yang penting dalam penyelenggaraan pemerintahan, baik pembangunan nasional dan daerah maupun antara daerah dan sektor serta mancanegara sebagai alat perjuangan
untuk
kepentingan
nasional,
diselenggarakan
melalui
pengarusutamaan gender dalam setiap proses dan tahapan perencanaan pembangunan daerah di rasakan belum sempurna, sehingga kesetaraan dan keadilan gender dimasa mendatang dapat lebih optimal. Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak dalam kaitan statistik gender bertujuan untuk mengidentifikasi jenis data dan informasi yang diperlukan sebagai bahan penentuan kebijakan masalah sosial, sekaligus untuk membangun jaringan system informasi yang diperlukan antara lain meningkatkan fungsi koordinasi yang terpadu dalam penyediaan informasi yang benar dan bertanggung jawab serta mendorong peningkatan kualitas pelayanan data dan informasi pembangunan melalui multi media agar proses sosialisasi, advokasi, dan praktek-praktek terbaik dapat terwujud serta diharapkan tercipta kemampuan masyarakat untuk menyeleksi informasi, agar tercipta rasa saling percaya serta menjaga kesenjangan informasi yang dapat menimbulkan disintegrasi bangsa. Peningkatan kualitas hidup perempuan diharapkan menjadi bagian dari keluarga yang merupakan basis utama terbentuknya generasi sekarang dan masa yang akan datang, oleh karena itu pengkajian kebijakan 147
pembangunan diperlukan dalam rangka mencari alternative-alternative kebijakan yang efektif, terutama memperkuat dan mendorong kemandirian lembaga-lembaga yang memiliki visi yang sama terhadap pemberdayaan perempuan, 10.2. Rekomendasi Statistik Gender merupakan kegiatan dari fungsi management yang saling terkait dan tidak dapat dipisahkan dari perencanaan, pelaksanaan, dan Monev. Kesemuanya saling melengkapi dan masingmasing memberi umpan balik artinya perencanaan yang telah disusun dengan baik, tidak ada artinya jika tidak dapat dilaksanakan. Demikian juga sebaliknya setiap pelaksanaan tidak akan berjalan lancar jika tidak didasarkan kepada perencanaan yang baik. Untuk itu evaluasi menjadi penting, mulai tahap perencanaan (ex-ante evaluation, tahap pelaksanaan (on-going evaluation) dan saat program/kegiatan
selesai (ex-post
evaluation). Dengan demikian program di bawah ini merupakan rekomendasi untuk lebih memperkuat peran masyarakat dan kelembagaan dalam pembangunan pemberdayaan perempuan, untuk meningkatkan kualitas hidup perempuan yakni ; 1). Peningkatan Kualitas Hidup Perempuan Tujuan program ini adalah untuk meningkatkan kedudukan dan peran perempuan sebagai mahluk individu yang merupakan insan dan sumberdaya pembangunan, sebagai bagian dari keluarga yang merupakan basis terbentuknya generasi sekarang dan masa mendatang.
148
Di bertujuan
bidang
pendidikan,
program
ini
secara
khusus
untuk meningkatkan partisipasi perempuan dalam pendidikan,
dan membenahi materi bahan ajar, proses pembelajaran, dan pengelolaan pendidikan, baik di lingkungan pendidikan sekolah maupun luar sekolah. Kegiatan-kegiatan pokok yang akan dipersiapkan adalah: a).Peningkatan peran
aktif
perempuan
dalam
seluruh
pelaksanaan, pengawasan, dan evaluasi dari
proses
perencanaan,
seluruh kebijakan dan
program pembangunan pendidikan; b). Penurunan angka buta huruf, dan peningkatan partisipasi perempuan pada semua jenis dan jenjang pendidikan, termasuk bidang-bidang kejuruan, keahlian, dan pendidikan yang selama ini lebih dianggap cocok untuk laki-laki; c). Evaluasi dan penataan materi bahan ajar agar lebih peka gender di seluruh jenjang dan jenis pendidikan, serta pengembangan mata pelajaran atau mata kuliah yang berkaitan dengan jender pada lembaga-lembaga penataran guru dan pendidikan penjenjangan; d). Pengembangan metoda dan pendekatan pembelajaran baik intra maupun ekstra kurikuler yang lebih berwawasan jender; e). Sosialisasi kesetaraan dan keadilan jender dalam pendidikan, melalui berbagai media, terutama bagi para perencana dan pengambil keputusan—termasuk orang tua, guru, kepala sekolah, dan masyarakat; dan f). Pada daerah-daerah terpencil, dalam situasi konflik, dan darurat, program pendidikan harus dilakukan dengan menggunakan pendekatan khusus yang memungkinkan penduduk usia sekolah, baik perempuan maupun laki-laki, tetap dapat berpartisipasi dalam pendidikan.
149
2. Penegakan Hukum dan Hak Azasi Manusia bagi Perempuan ; Tujuan program ini adalah untuk mendukung terciptanya sistem hukum nasional yang tidak diskriminatif dan berkeadilan gender, baik dalam hal substansi, struktur maupun budaya hukumnya; serta menegakkan hak azasi manusia (HAM) yang merugikan perempuan yakni ; a). Peningkatan peran aktif perempuan dalam proses perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, dan evaluasi kebijakan dan program pembangunan hukum dan HAM; b). Pembuatan UU dan peraturan-peraturan yang diperlukan dalam upaya menegakkan hak-hak perempuan, seperti UU Anti Kekerasan; d). Perumusan dan penerapan kebijakan dan tindakan khusus bagi upaya promosi aparat penegak hukum perempuan serta penanganan kasus-kasus perempuan; e). Peningkatan akses masyarakat, terutama perempuan untuk memperoleh informasi dan sumberdaya hukum, seperti bantuan hukum, dana, bantuan pendampingan dan pemulihan/kompensasi bagi korban; f). penciptaan sistem komunikasi dan kerjasama antara institusi penegak hukum dengan organisasi masyarakat, lembaga swadaya masyarakat (LSM) dan organisasi perempuan dalam rangka penegakan hukum, terutama dalam penyelesaian masalah-masalah khusus perempuan; g). Ratifikasi Konvensi PBB tentang Larangan Perdagangan Perempuan dan Anak; h). Sosialisasi "budaya damai" agar perempuan terhindar dari berbagai bentuk kekerasan; i). Perbaikan sistem dan perangkat hukum yang dapat menunjang penegakan hak azasi perempuan antara lain melalui pemberian hukuman semaksimal mungkin bagi para pelaku kejahatan serta memberikan pelayanan dan kompensasi bagi para korban kejahatan; j).Penciptaan sistem perlindungan bagi perempuan korban kekerasan dalam rumah tangga dan tempat kerja; k)
Penciptaan sistem perlindungan dan 150
penanganan khusus bagi perempuan dalam situasi konflik maupun kerusuhan yang bersifat penanganan segera, efektif dan menyeluruh; 1). Pembuatan undang-undang dan peraturan-peraturan yang melindungi pekerja kemanusiaan dan pelapor tindak pelanggaran HAM; dan m). Pembentukan tim khusus pelanggaran HAM terhadap perempuan 3.
Penguatan Peran Masyarakat dan Pemampuan Kelembagaan Tujuan program ini adalah untuk memperkuat peran aktif masyarakatl,
meningkatkan kapasitas dan kemampuan institusi-institusi pemerintah dalam melakukan gender mainstreaming dalam setiap tahap dan proses pembangunan, meningkatkan peran dan kemandirian lembaga-lembaga yang memiliki visi pemberdayaan perempuan, termasuk organisasi perempuan, serta mewujudkan hubungan kemitraan yang efektif antara pemerintah dan lembaga-lembaga masyarakat yakni ; a). KIE (Komunikasi, Informasi, dan Edukasi) mengenai kesetaraan dan keadilan jender di lingkungan lembaga-lembaga legislatif, eksekutif, dan yudikatif, termasuk TNI dan Kepolisian RI, serta masyarakat secara keseluruhan; b). Peningkatan kemampuan dan kapasitas institusi-institusi pemerintah untuk melakukan gender mainstreaming dalam proses perencanaan, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi pembangunan, melalui peningkatan keterampilan dan keahlian serta pembentukan unit gender mainstreaming di setiap instansi pemerintah; c). Pengembangan berbagai alat dan metode, termasuk pengembangan materi dan bahan KIE untuk gender mainstreaming; d). pengembangan sistem informasi jender, antara lain melalui penyediaan data dan informasi yang dibedakan menurut jenis kelamin; e). Intensifikasi kegiatan penelitian dan pengembangan tentang masalah-masalah jender,
151
termasuk pemanfaatan dan pendayagunaan hasilnya; f). Peningkatan kemampuan dan kapasitas lembaga-lembaga masyarakat yang memiliki visi pemberdayaan perempuan, termasuk organisasi-organisasi perempuan yang ada di pusat maupun di daerah, melalui peningkatan keterampilan dan keahlian untuk lebih dapat menemukenali dan mengatasi berbagai permasalahan yang dihadapi perempuan, serta bersama-sama pemerintah merumuskan kebijakan dan program pembangunan; dan g). Penciptaan hubungan kemitraan yang efektif antara pemerintah dengan masyarakat sipil dan lembaga-lembaga masyarakat yang memiliki visi pemberdayaan perempuan.
152