BAB I PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang Sasaran Pembangunan Millennium (Millennium Development Goals atau
disingkat dalam bahasa Inggris MDGs) adalah delapan tujuan yang diupayakan untuk dicapai pada tahun 2015 merupakan tantangan utama dalam pembangunan diseluruh dunia. Tantangan-tantangan ini sendiri diambil dari seluruh tindakan dan target yang dijabarkan
dalam
Deklarasi
Milenium
yang
diadopsi
oleh
189
negara
dan
ditandatangani oleh 147 kepala pemerintahan dan kepala negara pada saat Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Milenium di New York pada bulan September 2000. Pada September 2000, Pemerintah Indonesia, bersama-sama dengan 189 negara lain, berkumpul untuk menghadiri Pertemuan Puncak Milenium di New York dan menandatangani Deklarasi Milenium. Deklarasi berisi sebagai komitmen negara masing-masing dan komunitas internasional untuk mencapai 8 buah sasaran pembangunan dalam Milenium ini (MDG), sebagai satu paket tujuan terukur untuk pembangunan
dan
pengentasan
kemiskinan.
Penandatanganan
deklarasi
ini
merupakan komitmen dari pemimpin-pemimpin dunia untuk mengurangi lebih dari separuh orang-orang yang menderita akibat kelaparan, menjamin semua anak untuk menyelesaikan pendidikan dasarnya, mengentaskan kesenjangan jender pada semua tingkat pendidikan, mengurangi kematian anak balita hingga 2/3 , dan mengurangi hingga separuh jumlah orang yang tidak memiliki akses air bersih pada tahun 2015. Sebagai salah satu anggota PBB, Indonesia memiliki dan ikut melaksanakan komitmen tersebut dalam upaya untuk mensejahterakan masyarakat. Kabupaten Aceh Barat sebagai bagian dari negara kesatuan Republik Indonesia juga ikut serta mendukung komitmen pemerintah tersebut, dengan melaksanakan program dan kegiatan yang bertujuan untuk mencapai target MDG’s.
Sanitasi merupakan salah satu faktor terpenting yang difokuskan oleh Kabupaten Aceh Barat dalam mencapai tujuan MDG’s tersebut, karena factor ini erat sekali hubungannya dengan kemiskinan. Sanitasi yang tidak memadai atau kurang baik di daerah berdampak buruk terhadap kondisi kesehatan dan lingkungan hidup, seperti tingginya tingkat kematian bayi didaerah permukiman menjadi tantangan bagi pemerintah dan juga secara umum,
Indonesia termasuk salah satu negara yang
memiliki sistem jaringan air limbah (sewerage) terendah di Asia; kurang dari 10 kota di Indonesia yang memiliki sistem jaringan air limbah dengan tingkat pelayanan hanya sekitar 1,3% dari keseluruhan jumlah populasi. Sesuai UU 32/2004, sektor sanitasi menjadi urusan wajib Pemerintah Kabupaten/Kota. Hal ini kapasitas staf Pemerintah Kabupaten/Kota sanitasi, merancang kebutuhannya, implementasi, operasi dan pemeliharaan, serta monitoring dan evaluasi Dalam konteks yang lebih luas, kondisi diatas tersebut mendorong Pemerintah Kabupaten Aceh Barat untuk ikut serta dalam Program Sanitasi Permukiman, yaitu suatu program yang diprakarsai oleh pemerintah pusat untuk meningkatkan pembangunan sanitasi di Indonesia yang dilaksanakan secara sistematis, terencana, terpadu, terintegrasi, dan berkelanjutan dengan me tingkat pusat maupun daerah. Dalam salah satu misi pembangunan Aceh Barat (2007-212) dinyatakan “..Meningkatkan kerjasama pembangunan dengan semua pihak terkait-dalam dan luar Negeri; dan memfasilitasi percepatan proses rehabilitasi dan rekonstruksi Aceh Barat pasca gempa, tsunami dan konflik dengan prioritas pembangunan pada bidang perumahan, sarana dan prasarana pemukiman, penerangan, air bersih dan sanitasi, perhubungan (Jalan, jembatan, dan pelabuhan), ekonomi rakyat, pendidikan, kesehatan dan pranata sosial …”,. Dalam upaya mencapai segala aspek pembangunan tersebut di Kabupaten Aceh Barat telah dilaksanakan secara partisipatif,
transparan dan akuntabel dengan
berpegang teguh pada prinsip-prinsip dan pengertian dasar pembangunan yang berkelanjutan agar mekanisme pengelolaan, pemanfaatan semua sumber daya yang ada
diharapkan
nantinya
akan
bermuara
kepada
peningkatan
kesejahteraan
masyarakat dan mampu menjamin tetap terjaganya kualitas lingkungan yang memenuhi standar kehidupan.
Bertolak dari pemikiran tersebut, maka dalam pelaksanaan pembangunan Kabupaten Aceh Barat harus betul-betul memberikan perhatian lebih besar kepada program peningkatan kualitas lingkungan hidup dan sekaligus mengantisipasi tumbuh dan berkembangnya permasalahan sosial dan peningkatan kwalitas permukiman dan peningkatan derajat kesehatan masyarakat. Satu diantara sekian masalah penting yang dijabarkan dalam RPJMD Aceh barat tersebut
harus
diprioritaskan
dalam
peningkatan
kualitas
lingkungan
adalah
pengelolaan sanitasi, baik sanitasi dalam kedudukan sebagai salah satu kegiatan sektoral yang menjadi bagian dari program pengelolaan lingkungan maupun sanitasi sebagai bagian dari sistem pengembangan kawasan di wilayah permukiman. Sebagai bagian dari pengelolaan lingkungan, peningkatan kualitas sanitasi di Kabupaten Aceh Barat lebih difokuskan kepada upaya peningkatan kualitas sanitasi yang berbasis masyarakat. Sedangkan sebagai subsistem pengembangan kawasan, peningkatan kualitas sanitasi di Kabupaten Aceh Barat difokuskan kepada penataan drainase lingkungan, pengelolaan persampahan dan dapat dicegahnya terkontaminasi air tanah dari limbah hasil kegiatan manusia khususnya di lingkungan pemukiman yang padat penduduk dan atau kawasan kumuh serta peningkatan kwalitas, kuantitas dan kontinyuitas penyediaan air minum bagi masyarakat. Permasalahan sanitasi akan timbul seiring dengan aktifitas pembangunan yang meningkat dengan bertambahnya penduduk dan akan memberikan dampak negatif terhadap lingkungan, apabila tidak dikelola dengan baik. Hal ini akan menyebabkan adanya pencemaran lingkungan, menurunnya kualitas lingkungan dan estetika serta kemungkinan timbulnya penyakit sehingga merugikan masyarakat di sekitarnya. Agar dapat memenuhi kebutuhan riil masyarakat, untuk masing-masing kota/kabupaten perlu dilakukan terlebih dahulu strategi sanitasi kota (SSK) untuk pembangunan sarana dan prasarana perkotaan yang terarah. Penyusunan SSK ini sifatnya sangat mendesak, sehingga proses penyusunannya diharapkan lebih pendek dari penyusunan studi serupa pada kondisi-kondisi normal. SSK akan mengambarkan bahwa perlu adanya proyek pengembangan system sarana dan prasaran perkotaan di Kabupaten Aceh Barat yang dikaitkan dengan kebutuhan dimasa mendatang. Rencana
yang sifatnya strategis ini akan mempelajari, menganalisa dan membandingkan beberapa pilhan system yang dapat dilaksanakan. Pilihan system akan didasarkan kepada barbagai pertimbangan teknis, social dan ekonomis dan aspek lingkungan, yang terkait dengan pekerjaan air minum, air limbah, drainase dan persampahan di wilayah Kabupaten Aceh Barat. SSK akan didasarkan kepada tata guna lahan yang ada serta tata guna wilayah yang tersedia. SSK akan menyajikan kondisi system yang ada dan kebutuhan mendatang yang meliputi komponen air minum, air limbah, drainase dan persampahan. Tahapan selanjutnya dari SSK ini adalah melakukan perencanaan teknis dari program terpilih untuk prioritas pemenuhan pembangunan. Penyususnan SSK ini diharapkan dapat menjadi pemicu bagi implementasi keseluruhan program system air minum, air limbah, drainase dan persampahan di Kabupaten Aceh Barat, terutama sector terpilih yang dianggap sangat mendesak Dalam rangka melaksanakan program tersebut pemerintah Kabupaten Aceh Barat membentuk Kelompok Kerja Sanitasi dengan Surat Keputusan Bupati Aceh Barat Nomor : 111/050/2010, dengan mempertimbangkan keadaan dan keperluan koordinasi antar lembaga/SKPD untuk sektor sanitasi, Kelompok kerja tersebut bertugas antara lain menyusun Strategi Sanitasi Kota. Strategi Sanitasi Kota atau SSK tersebut merupakan dokumen perencanaan yang dijadikan sebagai pedoman semua pihak dalam mengelola sanitasi secara komprehensif, berkelanjutan dan partisipatif untuk memperbaiki perencanaan dan pembangunan sanitasi dalam rangka mencapai target-target pencapaian layanan sektor sanitasi di Kabupaten Aceh Barat. Dengan demikian guna menghasilkan Strategi Sanitasi Kota sebagaimana tersebut di atas, maka diperlukan suatu kerangka kerja yang menjadi dasar dan acuan bagi penyusunan strategi sanitasi kota dengan tujuan agar strategi sanitasi tersebut memiliki dasar hukum yang jelas dan dapat diimplementasikan dengan memperhatikan empat ciri pendekatan yang dikembangkan, yaitu: a) dilakukan oleh Pokja Sanitasi Kota sendiri secara terintegrasi; b) skala kota; c) top-down meets bottom-up; dan d) didasarkan bukti material (evidence-based).
1.2.
Maksud dan Tujuan Kegiatan Penyusunan SSK Strategi Sanitasi Kota (SSK) adalah suatu dokumen perencanaan yang berisi
kebijakan dan strategi pembangunan sanitasi secara komprehensif pada tingkat perkotaan yang dimaksudkan untuk memberikan arah yang jelas, tegas dan menyeluruh bagi pembangunan sanitasi Kabupaten Aceh Barat dengan tujuan agar pembangunan sanitasi dapat berlangsung secara sistematis, terintegrasi, dan berkelanjutan. Adapun yang dimaksud perkotaan disini adalah wilayah kecamatankecamatan yang mengililingi ibukota Kabupaten. Guna menghasilkan strategi sanitasi kota sebagaimana tersebut di atas, maka diperlukan suatu kerangka kerja yang menjadi dasar dan acuan bagi penyusunan strategi sanitasi kota dengan tujuan agar strategi sanitasi tersebut memiliki dasar hukum yang jelas dan dapat diimplementasikan. Kerangka kerja sanitasi ini merupakan salah satu produk yang dihasilkan oleh kelompok kerja sanitasi. Tujuan dari penyusunan dokumen SSK ini adalah: a. Tujuan Umum SSK ini disusun sebagai rencana pembangunan 5 tahunan bidang/sector sanitasi dan dijadikan sebagai pedoman pembangunan sanitasi mulai tahun 2010 sampai dengan tahun 2014. b. Tujuan Khusus a. SSK ini dapat memberikan gambaran tentang kebijakan pembangunan Sanitasi Kabupaten Aceh Barat selama 5 tahun yaitu tahun 2010 sampai dengan tahun 2014. b. Dipergunakan sebagai dasar penyusunan Rencana Operasional tahapan pembangunan sanitasi. c. Dipergunakan
sebagai
dasar
dan
pedoman
bagi
semua
pihak
(instansi,masyarakat dan pihak swasta) yang akan melibatkan diri untuk mendukung dan berpartisipasi dalam pembangunan sanitasi daerah Kabupaten Aceh Barat.
1.3.
Landasan Hukum 1. Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 2. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara 3. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional 4. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah 5. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah 6. Qanun Kabupaten Aceh Barat Nomor 2 Tahun 2008 Pembentukan Susunan Organisasi dan Tata Kerja Sekretariat Daerah dan Sekretariat DPRK Aceh Barat 7. Qanun Kabupaten Aceh Barat Nomor 3 Tahun 2008 Tentang Susunan Organisasi Dan Tata Kerja Dinas Kabupaten Aceh Barat 8. Qanun Kabupaten Aceh Barat Nomor 4 Tahun 2008 Tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Lembaga Teknis Daerah Kabupaten Aceh Barat 9. Qanun Kabupaten Aceh Barat Nomor 5 Tahun 2008 Tentang Kecamatan Kabupaten Aceh Barat 10. Qanun Kabupaten Aceh Barat Nomor 6 Tahun 2007 Tentang Pelayanan Kesehatan 11. Peraturan Bupati Kabupaten Aceh Barat Nomor 9 Tahun 2009 Tentang Pokok-Pokok Pengelolaan Keuangan Daerah 12. Qanun Kabupaten Aceh Barat Nomor 14 Tahun 2007 Tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Kabupaten Aceh Barat 2007- 2012. 13. Peraturan Bupati Kabupaten Aceh Barat No. 21a Tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (Review) Kabupaten Aceh Barat 2007- 2012 14. SE Mendagri Nomor 050/2020/SJ tentang Petunjuk Penyusunan Dokumen RPJP Daerah dan RPJM Daerah
1.4.
Metode Penyusunan Metode yang digunakan pada proses dan kegiatan penyusunan SSK ini dapat
dijelaskan sebagai berikut : 1. Identifikasi temuan-temuan penting di dalam Buku Putih, 2. Kesamaan pemahaman tentang kondisi sanitasi kota yang ditemukan dalam data skunder, 3. Kesamaan pemahaman tentang kondisi sanitasi kota yang ditemukan dalam data primer (hasil survey EHRA), 4. Kesamaan pemahaman tentang rujukan lainnya, 5. Jadwal, rencana kerja, dan pembagian tugas penyelesaian SSK. Sebelum menyusun SSK, Pokja mengkaji ulang Buku Putih Sanitasi Kota. Beberapa orang anggota yang ditunjuk, membuat ringkasan Buku Putih dan mempresentasikannya di depan para anggota lain, guna mengingatkan kembali hal-hal yang dituliskan dalam buku tersebut. Setelah sebelumnya anggotaanggota Pokja berkunjung ke lapangan untuk memastikan atau mengonfirmasi ulang, bahwa apa yang ditulis di dalam Buku Putih sesuai dengan kondisi nyata di lapangan. Jika ada perbedaan antara kondisi lapangan dan isi Buku Putih, Pokja bisa memperbaiki atau menambahkannya ke dalam Buku Putih. Selanjutnya, Pokja melakukan identifikasi awal tentang isu-isu penting di dalam Buku Putih (‘temuan’), misalnya menyangkut mengapa ‘kondisi
yang
tidak
diinginkan’
bisa
terjadi.
Kemudian
dilanjutkan
dengan
mengidentifikasi berbagai kekuatan, peluang, dan ancaman yang dimiliki kota, yang tertuang di dalam Buku Putih untuk semua subsektor sanitasi. Identifikasi temuantemuan secara cepat tersebut dapat membantu Pokja memperoleh gambaran jelas tentang kondisi umum sanitasi di Kabupaten Aceh Barat. Sementara rujukan yang digunakan Pokja dalam penyusunan SSK, di antaranya: 1. Millenium Development Goals 2. Rencana Pengembangan Kota (RTRW/RDTRK) 3. RPJM Kota, Provinsi, dan Nasional 4. RPIJM 5. Rencana Strategis Kementerian terkait
6. Rencana Strategis masing-masing SKPD 7. Norma, Standar, Pedoman, dan Kriteria (NSPK) 8. Aturan-aturan terkait pengembangan kota dan proses perencanaan dari Pemerintah pusat dan Pemerintah Provinsi (misalnya yang terkait keuangan, penganggaran dan jadwal waktunya)
1.5.
Sistematika Dokumen Dokumen ini terdiri dari enam (6) bagian. Bagian pertama adalah pendahuluan,
sedangkan bagian kedua menyajikan arah pengembangan sector sanitasi kota memuat kondisi umum sanitasi kota yang mendasari perlunya penyusunan SSK, termasuk karakteristik umum sanitasi dari Kabupaten Aceh Barat seperti jumlah populasi dan kepadatan penduduk, wilayah, pembagian pemerintahan, penyediaan sarana dan prasana sanitasi saat ini yang dapat digunakan sebagai konteks untuk pembahasan lebih lanjut termasuk visi, misi sanitasi kota, tujuan, sasaran arah pentahapan pencapaiannya dan kebijakan umum yang merupakan konsep dan asas yang menjadi garis besar dan dasar rencana atas pelaksanaan program pembangunan sanitasi kota tahun 2010- 2014. Bagian ketiga memaparkan isu strategis dan tantangan yang dihadapi dalam mengelola sanitasi, yang mendasari perlunya penyusunan SSK dilihat dari aspek teknis (sub-sektor limbah cair, sub-sektor persampahan, sub-sektor drainase, sub-sektor air bersih dan Higiene/PHBS) dan non-teknis (kebijakan daerah dan kelembagaan, keuangan, komunikasi, keterlibatan pelaku bisnis, dan pemberdayaan masyarakat, aspek jender dan kemiskinan). Bagian ke empat menguraikan strategi untuk keberlanjutan layanan sanitasi Kabupaten Aceh Barat, termasuk tujuan, sasaran subsektor dan aspek higiene serta tahapan pencapaiannya dilanjutkan dengan strategi aspek teknis (sub-sektor limbah cair, sub-sektor persampahan, sub-sektor drainase, sub-sektor air bersih dan Higiene/PHBS) dan non-teknis (kebijakan daerah dan kelembagaan, keuangan, komunikasi, keterlibatan pelaku bisnis, dan pemberdayaan masyarakat, aspek jender dan kemiskinan).
Bagian ke lima merupakan penjabaran dari program dan kegiatan pengelolaan seluruh subsektor sanitasi (sub-sektor limbah cair, sub-sektor persampahan, sub-sektor drainase, sub-sektor air bersih dan Higiene/PHBS) di Kabupaten Aceh Barat dan aspek non-teknis (kebijakan daerah dan kelembagaan, keuangan, komunikasi, keterlibatan pelaku bisnis, dan pemberdayaan masyarakat, aspek jender dan kemiskinan). Bagian ke enam memaparkan pelaksanaan monitoring dan evaluasi pembangunan sanitasi dan bagian terakhir adalah penutup.