BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Penelitian ini akan menjelaskan dampak dari proses interaksi norma yang terjadi dalam undang-undang pangan. Penulis melihat bahwa dalam undang-undang ini terjadi proses difusi norma yang melibatkan norma internasional dan norma domestik. Proses difusi norma dijelaskan oleh Amitav Acharya dalam konsep yang dia sebut sebagai constitutive localization. 1 Proses disfusi norma ini kemudian berdampak pada kebijakan pangan Indonesia di tiap periode norma. Dalam kasus, Undang-Undang Nomor 12 tahun 2018, terdapat dua norma yang digunakan Indonesia, kedaulatan panagn dan ketahanan pangan. Dua norma tersebutbersumber dari norma internasional yang bertentangan dalam hal aktor internasional dan praktik kebijakannya. Norma ketahanan pangan yang digunakan sejak orde baru bersumber dari norma food security yang dibawa organisasi keuangan dan organisasi pangan dunia. Dalam kasus Indonesia terdapat tiga organisasi penting yang akan dibahas dalam penelitian ini: World Bank, WTO, FAO. Sedangkan, norma kedaulatan pangan sebagai norma internasional dikenal dengan istilah food sovereignty yang dikampanyekan oleh kelompok petani internasional yang menamai diri mereka sebagai La Via Campesiana.2 Kelompok ini menyebarkan normanya melalui gerakan petani dengan memperkuat jaringan dan ide mengenai pertanian di tingkat lokal dan internasional.3 Secara ide, norma ketahanan pangan mensyaratkan efektivitas produksi 1
Pembahasan mendalam mengenai teori ini ada di Sub bab 3 La Via Campesina atau International Peasant Movement adalah sebuah gerakan sosial yang muncul pada tahun 1993 untuk memperjuangkan kepentingan petani kecil dan petani demi meencapai keadilan sosial dan martabat petani. Gerakan ini kemudian menjadi sebuah organisasi dunia yang fokus mengkampanyekan norma kedaulatan pangan sebagai upaya untuk mewujudkan perjuangan mereka (diakses dari https://viacampesina.org/en/index.php/organisation-mainmenu-44/what-is-la-via-campesina-mainmenu-4 5 pada 4 Oktober 2016) 3 McMichael,Philip, “Peasant Prospects In the Neoliberal Age.” New Political Economy, Vol. 3, No. 11, hal. 416 (407–18). 2
1
pertanian dengan modernisasi alat, bibit, dan sistem perdagangan pangan dengan pembukaan pasar dan investasi langsung terhadap sumber daya pertanian.4 Sebaliknya, norma kedaulatan pangan menolak secara tegas ide tersebut dengan mengajak negara untuk kembali kepada nilai lokal masyarakat dan menghargai budaya-budaya masyarakat petani yang sudah ada (lihat Tabel 1.1).5
Tabel 1.1 Perbandingan antara norma ketahanan pangan dan kedaulatan pangan Ketahanan Pangan
Kedaulatan Pangan
Model produksi
Industrialis
Agroekologis
Model perdagangan
Liberalis
Proteksionis
Aktor internasional
WTO, FAO, World Bank
La Via Campesina
Instrumen
AoA, TRIPS, SAPs,
IPC (International Planning Committee for Food Sovereignty)
Pemanfaatan sumber daya
Private property rights
Anti-patent/komunal
Praktik Ideal Lahan
Sertifikasi lahan
Pembagian lahan (reforma agraria)
Benih
Benih hibrida (GMO)
Benih alami
Teknologi
Teknologi modern
Teknologi disesuaikan dengan kebutuhan petani
(sumber: Lee, Richard, Food Security and Food Sovereignty, Centre for Rural Economy Discussion Paper Series, No. 11, Maret 2007, hal. 12) Dititik ini kemudian dapat diasumsikan bahwa dalam kebijakan yang muncul pasca munculnya Undang-Undang Nomor 18 tahun 2012 akan muncul sebuah wacana dan kebijakan yang berbeda dari kebijakan pangan yang sebelumnya muncul. Perbedaan ini akan menggambarkan norma yang bekerja sekaligus menunjukkan proses 4
FAO, Rome Declaration on Food Security, diakses dari http://www.fao.org/docrep/003/w3613e/w3613e00.HTM diakses pada 28 Desember 2015 5 La Via Campesiana, The International Peasant’s Voice, diakses dari http://www.viacampesina.org/main_en/index.php?option=com_content&task=blogcategory&id=27&Ite mid=44, pada 4 Desember 2015
2
yang dilakukan oleh pemerintah saat itu untuk menyesuaikan dua norma yang bertentangan tersebut.
1.2.
Rumusan Masalah Bagaimana implikasi interaksi norma internasional dan norma domestik dalam
perubahan kebijakan pangan di Indonesia?
1.3.
Kerangka Berpikir Constitutive localization menurut Amitav Acharya menjelaskan proses
reinterpretasi dan representasi dari norma eksternal (norma internasional) kedalam norma internal sebuah negara atau sebuah kawasan. Proses ini juga meliputi proses penyesuaian norma eksternal dengan norma yang telah ada sebelumnya. Dalam konsep ini Acharya menyoroti pentingnya peran aktor domestik dalam melakukan difusi norma. Istilah lokalisasi yang digunakan merujuk pada tindakan konstruktif yang dilakukan oleh aktor domestik melalui pembangunan wacana, membentuk opini, dan pemilihan kultural, atas ide atau norma asing agar sesuai dengan kepercayaan dan praktik lokal.6 Sebagai sebuah praktik yang dijalankan oleh aktor domestik, constitutive localization dapat dipicu oleh fenomena yang terjadi di dalam negeri seperti krisis ekonomi dan perubahan kepemimpinan, tetapi juga dapat dipicu oleh faktor internasional seperti perubahan distribusi kekuatan diantara negara-negara besar. Proses ini juga dapat menjadi sebuah strategi yang dijalankan oleh aktor domestik untuk meningkatakan kekuasaan, efisiensi, ataupun status tanpa mengakui kelemahan budaya ataupun identitas yang lama.7 Salah satu faktor yang penting dalam munculnya proses ini adalah norma atau identitas domestik, yang sebelumnya telah berkembang, yang mana menentukan 6
Acharya, Amitav Whose Ideas Matter? Agency and Power in Asian Regionalism, London: Cornell University Press, 2009, hal. 9 7 Acharya, Amitav, hal. 17
3
penyerapan terhadap norma lama. Amitav menyebut ini sebagai cognitive prior (norma domestik).8 Norma domestik ini dapat bermula dari kepercayaan lokal, budaya lokal, ataupun memori historis yang menetukan sistem kepercayaan dan agama masyarakat. Bahkan dapat pula sumber utama dari norma domestik ini adalah pola diplomasi yang terjadi dan cara pandang pemimpin suatu negara terhadap dunia. Proses lokalisasi dapat terjadi apabila norma domestik ini telah melekat kuat dalam institusi negara. Adanya norma domestik yang telah kuat dalam institusi akan membangkitkan sense of uniqueness terhadap nilai dan identitas yang membuat semangat untuk melakukan lokalisasi muncul. Selain itu, sense of uniqueness dapat memastikan penerima (masyarakat luas) menjadi percaya bahwa norma domestik tidak mengalami kegagalan fungsi tetapi hanya tidak cukup dan oleh sebab itu dibutuhkan norma eksternal agar bertahan. Dalam hubungannya dengan norma domestik, lokalisasi dapat dilihat sebagai keadaan ideal dimana proses adaptasi perilaku yang dilakukan oleh aktor domestik terhadap norma eksternal berhasil. Keadaan ini menjamin norma eksternal diterima oleh masyarakat tanpa membuat norma domestik digantikan. Respon terhadap proses difusi norma dapat digambarkan dengan bagan berikut:
8
Acharya, Amitav, hal. 21
4
Bagan 1.2. Respon Aktor terhadap Norma Transnasional Independent Variable
International Norms
Intervening Variable
Local Agents (cognitive priors)
Dependent Variable Localization
Resistance/Rejection
Norm Displacement
Sumber: Acharya, Amitav Whose Ideas Matter? Agency and Power in Asian Regionalism, London: Cornell University Press, 2009.
Dalam bagan tersebut terdapa tiga variabel dependen dari proses difusi norma: resistance rejection, localization, dan norm displacement. Proses ini adalah proses yang dinamis dan berkelanjutan. Perkembangan norma eksternal menuju norma yang lebih baik dapat membuat proses lokalisasi yang awalnya gagal (rejection) menjadi bisa dilaksanakan dan diterima oleh masyarakat. Dalam kondisi yang lain, ketika aktor domestik telah melakukan proses lokalisasi dengan membangun norma dengan fungsi dan instrumen yang lebih maju, proses perlawanan terhadap norma baru akan melemah, dan membuka arah menuju perubahan fundamental, termasuk perubahan sentral kearah penggantian norma (norm displacement).9 Sedangkan dalam kondisi localization tugas dan kebijakan baru akan tercipta. Norma domestik akan diperbaharui tetapi tidak ditinggalkan. Institusi yang lama tetap ada dengan beberapa pembaharuan tambahan yang memungkinkannya bekerja berdasarkan pada norma yang baru. Dalam hal ini 9
Acharya, Amitav, hal. 21
5
memungkinkan juga muncul institusi baru yang mendukung institusi lama dalam bekerja untuk memperkuat norma domestik dan proses lokalisasi di masa depan. Dalam proses lokalisasi sendiri terdapat empat kondisi yang menjadi ukuran sebuah proses lokalisasi. Kondisi pertama adalah kondisi penolakan, dalam kondisi ini, aktor domestik menolak norma eksternal karena ketidakpastian akan masa depan dan keraguannya pada kemampuan dari norma dalam mengubah keyakinan, praktik, dan ide yang sudah berkembang sebelumnya. Hal ini dapat disebabkan karena norma domestik masih sangat kuat dan dipercaya, meskipun dalam beberapa hal sudah kurang tepat. Kondisi kedua adalah inisiatif aktor domestik dan pre-lokalisasi. Kondisi ini posisi aktor domestik sebagai pembawa norma eksternal mulai muncul. aktor domestik mulai melihat fungsi dan nilai potensial dari norma eksternal untuk menambah effisiensi dan menciptakan legitimasi dari insititusi yang sudah ada tanpa mengecilkan institusi tersebut. Kondisi ini mensyaratkan adanya aktor domestik yang kredibel dan mampu membawa norma eksternal kedalam lingkup domestik. Kondisi ketiga adalah lokalisasi. Dalam kondisi ini aktor domestik berusaha mengajak masyarakat untuk menerima norma melalui argumen-argumen dan memodifikasi norma melalui kebijakan-kebijakan agar terlihat sesuai dengan norma domestik. Kondisi terakhir adalah institusionalisasi yagn merupakan tahap dimana instrumen dan praktik baru dilakukan dari norma eksternal yang sudah disesuaikan dengan norma domestik.
1.4.
Argumen Sementara Interaksi yang terjadi antara norma domestik dan norma internasional
berlangsung di dua periode undang-undang pangan. Rentang tahun 1960-an atau awal Orde Baru hingga tahun 1996 ketika Undang-Undang No. 7 tahun 1996 disahkan adalah periode norm displacement atau pergantian norma dari kedaulatan ekonomi petani ke norma ketahanan pangan. Perubahan norma ini ditandai dengan perubahan total terhadap kebijakan pangan di Indonesia. Dimulai dengan dibentuknya Balai Penelitian dan Pengembangan Pertanian (Balitbangtan) dibawah Depatrtemen Pertanian untuk mengatur pengetahuan mengenai pertanian, dijalankannya Bimbingan Masal
6
(BIMAS) dan Intensifikasi Massal Swa Sembada Bahan Makanan (INMAS), dilaksanakannya Proyek Administrasi Pertanahan untuk mengubah pola kepemilikan lahan untuk memperlancar investasi di bidang pertanian, membuka pasar dalam negeri dengan menandatangai Agreement on Agriculture (AoA) dan terakhir mensahkan Undang-Undang No. 7 tahun 1996 tenang Pangan untuk memberikan landasan hukum bagi norma ketahanan pangan. Perubahan ini berdampak pada perubahan kebijakan pangan, dimana petani kehilangan kontrol atas sistem tanam dan pengelolaan pertanian dan digantikan oleh Bank Dunia, WTO, dan FAO sebagai agen norma ketahanan pangan. Pasca Orde Baru hingga masa pemerintahan Presiden Yudhoyono periode ke-dua, tidak ada perubahan berarti dalam hal pangan. Norma ketahanan pangan tetap menjadi norma domestik Indonesia. Dalam periode ini kondisi pangan Indonesia memburuk, sehingga dalam periode ini menjadi masa transisi perubahan norma. Dimulai dengan proses pre-lokalisasi baru terjadi pada akhir periode pemerintahan Presiden Yodhoyono ke-dua hingga saat ini dengan disahkannya Undang-Undang No. 18 tahun 2012. Dalam periode tersebut, norma kedaulatan pangan berusaha disesuaikan dengan norma ketahanan pangan yang telah menjadi norma domestik dalam pembangunan pangan di Indonesia untuk mempertahankan legitimasi pemerintah di dalam politik domestik. Proses ini dilakukan secara bertahap, dimulai dari periode kedua masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (2009-2014) dan dilanjutkan oleh pemerintahan Joko Widodo. Dalam proses localization kebijakan baru akan tercipta. norma domestik akan diperbaharui tetapi tidak ditinggalkan. Institusi yang lama tetap ada dengan beberapa pembaharuan tambahan yang memungkinkannya bekerja berdasarkan pada norma yang baru. Dampaknya, muncul kebijakan seperti MIFEE, program administrasi lahan dan benih. Munculnya kebijakan ini berdampak pada perubahan relasi kuasa, dimana korporasi menjadi aktor baru yang cukup penrting dalam pengelolaan pangan di Indonesia
7
1.5.
Metode Pengumpulan Data Untuk mengamati proses institusionalisasi norma dan perubahan wacana yang
terjadi di tingkat aktor, penulis menggunakan dokumen-dokumen resmi pemerintah seperti undang-undang, peraturan pemerintah, peraturan menteri pertanian, kumpulan pidato presiden dan berita yang terkait dengan norma kedaulatan dan ketahanan pangan. Sedangkan untuk melihat munculnya kebijakan dalam proses institusioanlisasi norma tersebut, penulis menggunakan data yang dirilis oleh Badan Pusat Statistik, jurnal-jurnal dan buku-buku yang berkaitan dengan pangan dan pertanian di Indonesia.
1.6.
Jangkauan Penelitian Penelitian ini akan difokuskan pada tiga norma yang berinteraksi. Tiga norma
tersebut adalah: kedaulatan ekonomi petani, norma ketahanan pangan dan norma kedaulatan pangan. Untuk lebih memperjelas pembahasan dalam penelitian ini, penulis akan menfokuskan norma pangan dalam kaitannya dengan kebijakan pangan di Indonesia.10 1.7.
Sistematika Penulisan Skripsi ini akan dibagi kedalam empat bab, masing-masing bab akan
menjelaskan mengenai:
Bab 1 berisi pendahuluan yang terdiri dari latar belakang masalah, rumusan masalah, kerangka berpikir, hipotesis, metode pengumpulan data, jangkauan penelitian, dan sistematika penulisan. Dalam latar belakang penulis akan menjelaskan mengenai perdebatan norma kedaulatan dan ketahanan dalam konteks ide pembangunan pangan di tingkat internasional.
10
Dalam undang-undang pangan Indonesia, pangan meliputi segala sesuatu yang berasal dari sumber daya biologi baik dari pertanian, perkebunan, kehutanan, perikanan, peternakan, dan hasil alam lainnya.
8
Bab 2 menelaah proses pergantian norma yang terjadi. Pada bagian ini penulis akan melihat bagaimana proses pergantian norma terjadi di Indonesia sehiungga menghasilkan Undang-undang nomor 7 tahun 1996 dan meletakkan ketahanan pangan sebagai norma utama di Indonesia. Dampaknya, pada periode ini muncul kebijakan yang berorientasi pada pasar bebas, masuknya organisasi internasional yang berperan dalam kebijakan pemerintah, dan hilangnya kontrol petani dalam pengelolaan pangan
Bab 3 penulis akan membahas mengenai proses localization antara kedaulatan pagan dengan norma ketahanan pangan yang sudah menjadi norma utama di Indonesia. Proses lokalisasi ini kemudian memunculkan regulasi baru mengenai pangan di Indonesia.
Bab 4 akan menyajikan kesimpulan dari keseluruhan pembahasan dan analisis dalam penulisan skripsi.
9