BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Perubahan rejim ekonomi politik di Indonesia yang terjadi satu dasawarsa terakhir dalam beberapa hal masih menyisakan beberapa permasalahan mendasar di negeri ini. Dari berbagai studi mutakhir belakangan ini menunjukkan, terjadinya kemiskinan masif yang diderita oleh sebagian besar penduduk khususnya di pedesaan, meningkatnya angka pengangguran terbuka, konsentrasi kepemilikan aset oleh sekelompok kecil masyarakat, sengketa dan konflik agraria, krisis pangan dan energi, dan penurunan kualitas lingkungan hidup merupakan realitas objektif yang menyertai arah perubahan tersebut. Berbagai permasalahan yang bersifat struktural tersebut pada prateknya menyebabkan hilangnya akses masyarakat pedesaan khususnya petani terhadap sumber-sumber penghidupan. Data kemiskinan yang dikeluarkan Biro Pusat Statistik (BPS) pada Maret 2007 menunjukkan, jumlah orang miskin di Indonesia mencapai 37,17 juta jiwa atau 16,58 persen dari total populasi Indonesia. Di kawasan perkotaan, percepatan kemiskinan tersebut adalah 13,36 persen, sedangkan di kawasan perdesaan mencapai 21,90 persen. Hal ini menunjukkan bahwa kemiskinan paling banyak dialami oleh penduduk pedesaan yang pada umumnya bekerja sebagai petani dan buruh tani. Dari total penduduk miskin di Indonesia, sekitar 66 persen berada di pedesaan dan 56 persen di antaranya menggantungkan hidup dari pertanian. Membuka kembali lembaran sejarah dinamika masyarakat pedesaan di Indonesia khususnya Jawa, pada era 70an hingga periode awal 90 atau saat orde pembangunan pro pertumbuhan, pembangunan pertanian sangat bertumpu pada agenda revolusi hijau yang menekankan intensifikasi pertanian pangan khususnya padi sawah di daerah dataran rendah. Hal ini sangat dimungkinkan karena perubahan kebijakan produksi di sektor pertanian padi merupakan faktor yang sangat penting dan dominan mengingat tidak hanya karena banyaknya tenaga kerja pedesaan yang terserap di pertanian padi sawah akan tetapi juga karena padi merupakan tanaman yang secara politis paling sensitif di Indonesia. (White 1996)
2
Seperti yang diutarakan Li (2002), setidaknya selama kurun waktu 60 hingga 80-an, sejumlah studi telah dilakukan untuk melihat perubahan ekonomipolitik khususnya di dataran rendah Indonesia akibat pengaruh agenda “revolusi hijau” pada pertanian padi sawah atau lahan basah. Berkat pengenalan jenis padi unggul baru, penggunaan pupuk kimia industri dan introduksi teknologi telah memungkinkan peningkatan hasil panen yang signifikan. Akan tetapi menurut White (1989) dalam Li (2002), penyebarluasan masukan-masukan teknik tersebut pada prakteknya membawa nilai sosial yang tidak netral. Hal ini tergambar dari adanya program kredit baru dan mahalnya biaya administrasi untuk mengakses berbagai teknologi revolusi hijau sering kali hanya menguntungkan petani lapisan atas di desa sehingga justru terus memperluas jarak kesenjangan. Demikian juga dengan usaha untuk memaksimumkan keuntungan dari kegiatan
usahatani
telah
mendorong
para
petani
di
dataran
rendah
memperkenalkan bentuk serikat pekerja yang lebih restriktif yang sangat merugikan para buruh tani (landless) khususnya kaum perempuan. Selain itu, distribusi sarana usahatani dan pemasaran hasil panen yang menuntut adanya efisiensi memerlukan investasi besar dalam pembangunan infrastruktur pedesaan. Pada gilirannya, kondisi tersebut telah memudahkan penyebarluasan barang konsumsi, gerakan para investor memasuki bidang pertanian di pedesaan dan menyebarnya gaya hidup baru di pedesaan. Hal ini menunjukkan keberhasilan gagasan “revolusi hijau” dibarengi oleh makin meluasnya kemampuan birokrasi negara (pemerintah) dalam mengatur dan mengontrol wilayah pedesaan. (Li 2002) Di tengah fokus perhatian studi masyarakat pedesaan lebih memfokuskan pada wilayah agroekosistem padi sawah di dataran rendah, studi pada tanaman berbasis ekspor atau produksi tanaman perdagangan lainnya sangat terbatas. Dengan demikian, upaya mendapatkan gambaran yang seimbang mengenai corak perubahan pertanian mutakhir di Jawa khususnya di dataran tinggi melalui serangkaian fokus studi yang lebih luas sangat diperlukan sebagaimana studi yang telah dirintis Pelluso (1992) tentang masyarakat hutan dan Hefner (1990) tentang masyarakat dataran tinggi. (White 1996)
3
Khusus di wilayah tatar Sunda, Kabupaten Garut merupakan salahsatu daerah dataran tinggi yang merupakan cerminan dari berbagai permasalahan yang hadir ditengah-tengah kehidupan masyarakat pedesaan yang berbasis agraris. Sebagai salahsatu Kabupaten di Propinisi Jawa Barat, kontribusi nilai tambah di sektor pertanian yang tercipta di Kabupaten Garut mencapai 48,03 persen. Angka persentasi tersebut telah memberikan kontribusi pertanian Kabupaten Garut terhadap penciptaan nilai tambah Jawa Barat sebesar 12,63 persen (BPS Kabupaten Garut 2007). Hal ini sangat beralasan mengingat kondisi topografi wilayahnya yang sebagian besar merupakan dataran tinggi atau perbukitan yang berada disekitar kawasan gunung berapi dengan kondisi lahan pertanian memiliki tingkat kesuburan yang baik. Selain lahan pertanian yang dikuasai warga, pola pengusaan dan penggunaan lahan yang dominan adalah hadirnya peran serta negara dan swasta dalam mengelola kawasan hutan dan perkebunan besar yang merupakan jejak tapak atau warisan model penguasaan ruang hidup di pedesaan oleh pemerintah kolonial Belanda. Menurut BPS Kabupaten Garut, hingga tahun 2000 persentase luas wilayah kehutanan dan perkebunan mencapai 50 persen dari keseluruhan wilayah kabupaten dan merupakan persentase terbesar diantara seluruh Kabupaten di pulau Jawa. Seperti yang terlihat pada Kecamatan Cisurupan maupun Cilawu yang merupakan fokus lokasi studi ini, mayoritas areal pertanian warga desa di dua lokasi tersebut berdampingan dengan areal klaim penguasaan perusahaan kehutanan (Perhutani Unit III KPH Garut) dan perkebunan (PTPN VIII Dayeuh Manggung). Hal yang perlu dicatat, sebelum tahun 2000an, profil dari sebagian besar rumah tangga petani (RTP) disekitar kawasan klaim perusahaan kehutanan dan perkebunan negara merupakan kategori petani tuna kisma (landless) dan masuk dalam kategori miskin. Jumlah tersebut untuk sebagian para pemerhati pedesaan diramalkan akan terus meningkat. Meskipun paparan sebelumnya menunjukkan bahwa persentase kontribusi pertanian yang cukup prestisius dan hadirnya perusahaan kehutanan dan perkebunan milik negara dan swasta yang diharapakan mampu mendorong
4
peningkatan pendapatan warga disekitar areal tersebut, pada realitasnya berbanding terbalik dengan kondisi keberdayaan ekonomi warga. Sebagaimana yang disebutkan dalam Nota Pengantar Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Kabupaten Garut 2009-2014, Kabupaten Garut merupakan daerah tertinggal dengan jumlah penduduk miskin berkisar 15,32 persen dari total 2,2 juta penduduk dan jumlah pengangguran terbuka usia 10 tahun ke atas mencapai 10,11 persen. (Harian Kompas, 2009) Pendataan Program Perlindungan Sosial (PPLS) yang dilakukan oleh BPS Kabupaten Garut pada tahun 2008, jumlah Rumah Tangga Sasaran (RTS) yang tergolong hampir miskin, miskin dan sangat miskin di Kabupaten Garut mencapai 221.010 rumah tangga dan kurang lebih 44,5 persen. Diantara jumlah RTS tersebut merupakan rumah tangga yang hampir mendekati garis kemiskinan sehingga berada dalam posisi yang sangat rentan. Dari data PPLS tersebut rumah tangga hampir miskin, miskin dan sangat miskin terbanyak berada di Kecamatan Garut Kota (11.548 RTS), disusul Kecamatan Cisurupan (10.028 RTS) dan Kecamatan Cilawu (9.533 RTS) (Harian Kompas, 2009). Alhasil, besaran persentase tersebut menenempatkan Kabupaten Garut pada urutan ketiga setelah Kabupaten Bogor dan Sukabumi sebagai daerah tertinggal dari 26 kabupaten/kota yang terdapat di propinsi Jawa Barat. Sementara untuk wilayah Priangan (Bandung, Tasikmalaya, Garut dan Ciamis), jumlah tersebut menempati urutan tertinggi (Harian Seputar Indonesia 2009). Selain tingginya angka kemiskinan dan ketuna-kismaan yang dialami warga di pedesaan, Bachriadi (2009) menyebutkan pasca runtuhnya rejim otoriter orde baru turut ditandai dengan hadirnya bentuk-bentuk gerakan yang menuntut keadilan agraria yang tampil ke permukaan. Kondisi yang demikian ini turut mewarnai dinamika sosial-ekonomi warga pedesaan di dataran tinggi Garut khususnya di wilayah Kecamatan Cisurupan dan Cilawu. Oleh Fauzi (2009), gerakan ini pada prateknya juga ikut memanfaatkan kehadiran ruang-ruang politik baru sebagai ajang pertarungan dan perundingan antara berbagai pihak, baik horizontal maupun vertikal. Lebih lanjut, Fauzi (2009) mengungkapkan, kehadiran ruang-ruang politik baru di pedesaan pada dasarnya merupakan akibat dari pengaruh kebijakan desentralisasi, proyek-proyek pengembangan masyarakat
5
dan perbaikan lingkungan dari pemerintah dan Perhutani, maupun kerja-kerja dampingan dari organisasi non-pemerintah. Dalam konteks studi ini, kemiskinan tidak dilihat hanya sebagai suatu hasil pengukuran dari aspek ekonomi semata akan tetapi merupakan situasi yang tercipta akibat rejim pembangunan ekonomi yang sangat berorientasi pada ideologi kapitalisme. Selain itu, dari berbagai studi mengenai dinamika sosialekonomi pedesaan agraris di Indonesia, kemiskinan yang dialami suatu komunitas merupakan suatu akibat atau konsekwensi dari hadirnya relasi-relasi kuasa yang timpang atas penguasaan sumber-sumber produksi dan jalur distribusi atau dapat dikatakan sebagai kemiskinan yang bersifat struktural. Situasi kemiskinan suatu komunitas tidak berdiri bebas dalam ruang dan waktu. Dirinya dipandang sebagai suatu proses yang terlembagakan dan hadir dalam sejarah perkembangan komunitas itu sendiri. Mengikuti pendapat Mosse (2007), kemiskinan merupakan hasil dari sejarah dan dinamika kapitalisme kontemporer, meliputi proses-proses akumulasi, perampasan, diferensiasi dan eksploitasi dengan turut mempertimbangkan mekanisme sosial, kategori dan identitas yang melanggengkan ketidaksetaraan dan memfasilitasi hubungan yang eksploitatif. Sebagai lokasi yang dipilih pada studi ini, yakni desa Dangiang (hamparan Gunung Cikuray) dan desa Sukatani (hamparan Gunung Papandayan), hadirnya bentuk-bentuk inisiatif petani kecil dalam memanfaatkan kesempatan politik yang tersedia di desa melalui keterlibatannya dalam organisasi tani lokal, pada satu sisi telah membuka permasalahan ketimpangan agraria akibat masuknya perusahaan perkebunan dan kehutanan baik dari pihak swasta maupun negara dan pada sisi yang lain turut mempengaruhi kondisi kesejahteraan petani dataran tinggi Kabupaten Garut. Dari berbagai ulasan diatas maka pertanyaan penelitian ini (research questions) adalah bagaimana situasi kemiskinan dan proses marginalisasi yang dialami oleh petani di dua dataran tinggi Kabupaten Garut?
6
1.2. Pertanyaan Penelitian 1.
Bagaimanakah situasi dan karakteristik kemiskinan yang dialami oleh petani dataran tinggi Garut?
2.
Bagaimanakah proses marginalisasi komunitas petani yang hadir dalam hubungan-hubungan produksi dan distribusi serta implikasinya terhadap penciptaan kemiskinan petani di dua dataran tinggi?
3.
Sejauhmana inisiatif petani lokal di dua dataran tinggi dalam merespon persoalan kemiskinan dan proses marginalisasi yang hadir dalam hubungan produksi dan distribusi?
1.3. Tujuan Penelitian 1.
Menganalisis situasi dan karakteristik kemiskinan yang dialami oleh petani dataran tinggi Garut.
2.
Menganalisis proses marginalisasi komunitas petani yang hadir dalam hubungan-hubungan produksi dan distribusi serta implikasinya proses penciptaan kemiskinan komunitas.
3.
Memahami inisiatif petani lokal di dua dataran tinggi dalam merespon persoalan kemiskinan dan proses marginalisasi yang hadir dalam hubungan produksi dan distribusi.
1.4. Manfaat Penelitian Hasil studi ini diharapkan dapat memberikan dasar pijakan dalam memahami dan mengupayakan pengentasan kemiskinan di level komunitas dengan memandang kemiskinan sebagai akibat adanya marginalisasi petani di pedesaan yang melekat pada sejarah perkembangan komunitas tersebut. Selain itu, studi ini dapat memberikan penjelasan tentang berbagai inisitaif petani dalam menata relasi kuasa atas sumber-sumber produksi dan jalur distribusi yang timpang di pedesaan. Dengan demikian, studi ini diharapkan dapat menjadi hulu dari wacana dan praktek “industrialiasi pedesaan” dengan mensyaratkan adanya organisasi sosial
7
yang bersifat industrial. Tentu saja, ditengah kompleksitas dan beragamnya fokus kajian, diharapkan hasil dari penelitian ini merupakan suatu wujud dari upaya reproduksi dan akumulasi pengetahuan mengenai proses marginalisasi dan kemiskinan di pedesaan Indonesia serta dapat mendorong penelitian yang lebih beragam dan mendalam.