BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu sentra primer keragaman pisang, baik pisang segar, olahan, dan pisang liar. Lebih dari 200 jenis pisang terdapat di Indonesia. Tingginya keragaman ini, memberikan peluang pada masyarakat untuk dapat memanfaatkan dan memilih jenis pisang komersial yang dibutuhkan oleh konsumen. Selain untuk konsumsi segar, beberapa kultivar pisang di Indonesia juga dimanfaatkan sebagai bahan baku industri olahan pisang misalnya industri keripik, sale dan tepung pisang. Perkembangan kebun rakyat dan industri olahan di daerah sentra produksi, dapat memberikan peluang baik secara langsung maupun tidak langsung terhadap perluasan kesempatan berusaha dan kesempatan kerja. Pengembangan komoditas pisang di Indonesia mengalami kendala perkembangan hama dan penyakit yang semakin komplek. Beberapa penyakit penting seperti banana bunchy top virus (BBTV), layu bakteri dan layu Fusarium telah menyebar di daerah sentra produksi pisang (Nurhadi & Setyobudi 2000; Buddenhagen 2009; Hermanto et al. 2011; Molina et al. 2010). Beberapa kultivar komersial seperti Barangan, Ambon Hijau dan Ambon Kuning sangat rentan terhadap BBTV dan layu Fusarium, sedangkan Kepok rentan terhadap penyakit layu bakteri yang disebabkan oleh Ralstonia solanacearum. Berbagai usaha pengendalian penyakit pisang baik secara kultur teknis, kimia (Nel et al. 2006) dan biologis (Cao et al. 2004) telah dilakukan namun belum memberikan hasil yang maksimal (Huang et al. 2012). Oleh karena itu, pengendalian penyakit menggunakan kultivar tahan adalah alternatif yang dapat ditempuh. Untuk mendapatkan kultivar tahan penyakit dapat ditempuh dengan melakukan seleksi terhadap sumber daya genetik lokal, mendatangkan kultivar dari luar (introduksi) atau melakukan pemuliaan tanaman secara konvensional (persilangan) ataupun non-konvensional (induksi mutasi dan rekayasa genetika). Pemuliaan tanaman pisang secara konvensional menghadapi kendala sterilitas dan inkompatibilitas bunga pisang, serta waktu yang diperlukan relatif lama. Pemuliaan secara non-konvensional dengan induksi mutasi telah banyak dilakukan, namun sebagian besar mutasi yang diperoleh tidak bisa dikendalikan. Perbaikan kultivar dengan teknik rekayasa genetika merupakan teknologi yang menjanjikan, namun demikian memerlukan pemahaman tentang gen-gen yang bertanggungjawab pada ketahanan terhadap penyakit serta interaksi antara tanaman dengan patogen. Dengan ditemukannya struktur DNA pada tahun 1953 oleh Watson & Crick (1953), serta teknologi rekombinasi DNA pada tahun 1973 oleh Cohen et al. (1973), bioteknologi mengalami perkembangan yang sangat pesat, terutama yang berhubungan dengan biologi molekuler dan selanjutnya menjadi dasar dari bioteknologi modern. Selain itu dengan dikembangkannya teknologi polymerase chain reaction (PCR) oleh Kary Mullis pada tahun 1983 (Gibbs 1991) dan
2
penemuan enzim polimerase yang tahan pada suhu tinggi asal bakteri Thermus aquaticus (Taq) (Saiki et al. 1988), perkembangan teknologi berbasis biologi molekuler semakin pesat termasuk identifikasi gen-gen yang berhubungan dengan karakter spesifik seperti identifikasi gen-gen yang berhubungan dengan mekanisme ketahanan dan pertahanan terhadap penyakit tanaman, serta perkembangan teknologi marka molekuler. Salah satu teknologi marka molekuler yang terbaru adalah marka berdasarkan substitusi satu situs nukleotida tertentu atau disebut single nucleotide polymorphism (SNP). Perubahan satu situs nukleotida bisa secara langsung atau tidak langsung berhubungan dengan perubahan ekspresi suatu gen (Sunyaev et al. 2001). Marka SNP secara intensif telah digunakan dalam bidang kedokteran terutama untuk mendeteksi sel-sel kanker pada manusia (Schaid et al. 2004; Engle et al. 2006), sedangkan di bidang pertanian, marka SNP juga sudah dimanfaatkan untuk identifikasi kultivar dan seleksi lokus-lokus yang berasosiasi dengan karakter tertentu dalam pemuliaan tanaman (Yang et al. 2004; Sun et al. 2011). Marka SNP juga sudah mulai digunakan pada tanaman pisang, yaitu di bidang taksonomi dan pengembangan teknologi MAS pada pemuliaan pisang (Umali & Nakamura 2003; Adesoye et al. 2012). Namun demikian masih belum ada informasi mengenai pemanfaatan marka berbasis SNP untuk ketahanan tanaman pisang terhadap penyakit.
Tanaman Pisang (Musa spp.) Taksonomi Pisang dan kerabatnya termasuk dalam genus Musa, ordo Zingiberales, dan family Musaceae. Genus Musa terdiri atas 30-40 spesies yang berasal dari Asia Tenggara (Stover & Simmond 1987). Berdasarkan jumlah kromosom, orientasi dan susunan pembungaan, Musa dikelompokkan ke dalam 5 seksi (Karamura 1998). Terdapat 2 seksi yang beranggotakan spesies dengan jumlah kromosom dasar 10 (2n=20) adalah Callimusa dan Australimusa, dan 2 seksi lainnya yang mempunyai kromosom dasar 11 (2n=22) adalah Eumusa dan Rhodochlamys. Seksi yang terakhir adalah Incerta sedis yang terdiri atas Musa ingens Simmond, Musa boman dan Musa lasiocarpa (Daniells et al. 2001) yang mempunyai jumlah kromosom dasar yang berbeda dan masih memerlukan pengkajian lebih lanjut untuk pengelompokkannya. Spesies yang termasuk dalam anggota seksi Callimusa dan Rhodochlamys hanya sebagai tanaman hias dan tidak menghasilkan buah yang dapat dimanfaatkan untuk konsumsi. Spesies yang merupakan anggota dari Callimusa adalah Musa salaccensis, Musa coccinea, Musa gracilis dan Musa violascens, sedangkan yang termasuk dalam seksi Rhodochlamys adalah Musa laterita, Musa ornata, Musa sanguinea dan Musa velutina (Karamura 1998). Seksi Australimusa beranggotakan Musa textilis Nees (Abaca) yang seratnya mempunyai nilai ekonomis tinggi, Musa lolodensis di Halmahera dan Papua (Nasution 1993), Musa maclayi, Musa peekelii, Musa jakeyi dan beberapa jenis Fe’i banana (pembawa genom T) yang penyebarannya mulai dari Maluku, Papua seperti Tongka Langit (Musa troglodytarum L.), Papua Nugini sampai wilayah Pasifik (Englberger 2003; Sharrock 2002).
3
Seksi Eumusa adalah merupakan seksi yang mempunyai anggota terbesar, yaitu sebanyak 13-15 spesies (Karamura 1998). Sebagian besar pisang yang dapat dimakan adalah termasuk dalam seksi Eumusa yang merupakan hibrida alami diploid atau triploid dari Musa acuminata (pembawa genom A) sendiri atau dengan Musa balbisiana (pembawa genom B) (Simmond 1962), sehingga menghasilkan kultivar-kultivar diploid (AA) dan triploid (AAA, AAB dan ABB). Sejarah dan Sebaran Evolusi tanaman pisang dari liar menjadi kultivar melibatkan proses supresi produksi biji dan perkembangan partenokarpi (Simmond 1962). Keragaman Musa acuminata sangat tinggi dan telah dikelompokkan ke dalam beberapa sub-spesies (Perrier et al. 2009). Nasution (1991) telah mengidentifikasi sebanyak 15 varietas Musa acuminata di Indonesia. Berdasarkan hasil analisis pigmen antosianin setidaknya ada 3 sub-spesies dari Musa acuminata yang terlibat dalam pembentukan kultivar diploid (AA) maupun triploid (AAA), yaitu ssp. malaccensis, ssp. zebrina, dan ssp. banksii (Horry & Jay 1988). Namun demikian hasil analisis restriction fragment length polymorphism (RFLP) dari kloroplas dan mitokondria menyarankan spp. errans juga terlibat dalam pembentukan kultivar pisang modern (Carrel et al. 2002).
AAB Pome AAB Others
M. balbisiana
ABB West
burmanica
AAA cvs
Wilayah pertemuan Utara
errans
malaccensis
AAB
microcarpa
zebrina
AA AAA
Wilayah pertemuan Timur
ABB East AAB Popoulu
Wilayah pertemuan Selatan
banksii
AAB Plantains
AAA Highland
Sumber: Perrier et al. (2011)
Gambar 1 Asal dan penyebaran kultivar pisang subgroup triploid. Garis putus biru menunjukkan migrasi M. balbisiana dari Asia Utara dan bertemu dengan spp. banksii membentuk plantain dan triploid ABB. Garis putus merah meunjukkan migrasi spp. banksii dan bertemu dengan spp. zebrina (daerah pertemuan selatan) yang membentuk diploid dan triploid. Garis putus hijau menunjukkan migrasi diploid kultivar AA ke Afrika dan ke Asia Utara yang membentuk triploid AAA di wilayah pertemuan utara dan AAB maupun ABB di Asia Utara. Garis ungu menunjukkan migrasi plantain ke Afrika dan Pasifik. Garis hijau menunjukkan migrasi triploid AAA dari Asia Tenggara ke Afrika.
4
Selanjutnya Perrier et al. (2011) menyatakan bahwa terdapat 3 wilayah pertemuan antar sub-spesies, yaitu wilayah pertemuan selatan antara New Guinea sampai Jawa merupakan pertemuan antara spp. banksii dan spp. zebrina/microcarpa, wilayah pertemuan utara antara Filipina dan Kalimantan sampai Thailand merupakan pertemuan antara spp. malaccensis/microcarpa dengan spp. errans, dan wilayah pertemuan timur antara New Guinea sampai Filipina merupakan pertemuan antara spp. banksii dengan M. balbisiana yang berasal dari Asia Utara, Filipina dan membentuk kultivar ABB dan AAB (termasuk plantain dan pacific plantain). Dari hasil hibridisasi secara alami tersebut diperoleh progeni-progeni yang dengan campur tangan manusia diseleksi dan disebarkan ke berbagai wilayah di kawasan Asia Tenggara dan sekitarnya sampai ke Afrika (Blench 2009). Ilustrasi asal dan sebaran kultivar pisang triploid ditampilkan pada Gambar 1. Keragaman Pisang Sebagaimana dinyatakan oleh Perrier (2011), bahwa sebagian besar wilyah pertemuan antara spesies/subspesies liar Musa berada di wilayah Indonesia, menjadikan kawasan Indonesia sumber keragaman (centre of diversity) dari kultivar pisang. Dengan ditemukannya kembali 15 subspesies liar Musa acuminata dan 2 spesies liar yaitu Musa salaccensis dan Musa lolodensis (Nasution 1991; 1993), membuktikan bahwa Indonesia juga merupakan sumber asal (centre of origin) pisang dan kerabatnya (Musa spp.). Setidaknya lebih dari 200 kultivar pisang ada di Indonesia (Edison et al. 2001) Keragaman kultivar pisang di Indonesia ditunjukkan dengan ditemukannya semua jenis pisang berdasarkan genomnya, seperti yang bergenom BB: Klutuk Awu dan Klutuk Wulung, bergenom AA: Emas, Berlin/Lampung, Rejang, Lilin/Lidi, Jari Buaya/Rotan, Ketan/Ketip/Uli dan lain-lain, sedangkan yang bergenom AAA seperti Ambon Hijau, Ambon Kuning, Barangan, Ampyang, bergenom AAB seperti Raja Bulu, Raja Serai, Tanduk, Candi, dan yang bergenom ABB seperti Kepok, Sobo, Awak (Edison et al. 2001). Selain itu hampir semua subgroup pisang yang telah teridentifikasi terdapat di Indonesia, dan bahkan masih banyak lagi kultivar yang belum masuk ke dalam kategori subgroup yang sudah ada karena memiliki karakter yang berbeda dari subgroup tersebut (Valmayor et al. 2000). Selain kultivar tersebut di atas, sedikitnya ditemukan juga 3 variasi genetik pisang Tongka Langit (Musa troglodytarum L.) di Maluku dan Irian Jaya (Sutanto et al. 2009). Pisang Tongka Langit adalah jenis pisang yang mempunyai kandungan karoten yang tinggi, ditandai dengan daging buahnya warna berwarna oranye. Produksi dan Kendala Pisang dan plantain merupakan salah satu komoditas penting baik di Indonesia maupun di dunia. Produksi pisang dunia menempati urutan kedua setelah jeruk dengan produksi total 106.54 juta ton pada tahun 2011 (http://www.statista.com/statistics/ 264001/worldwide-production-of-fruit-by-variety/). Produksi pisang Indonesia menempati urutan keenam setelah India, Cina, Filipina, Brazil dan Equador, dengan produksi sebesar 6 132 695 ton (http://www.bps.go.id/tab_sub/view.php?tabel= 1&daftar=1&id_subyek=55¬ab=2), dan menyumbang sebesar 5.8% produksi pisang dunia. Di Indonesia, produksi pisang menempati urutan pertama dan berkonstribusi sebesar 32% produksi buah nasional (Gambar 2).
5
Nangka/Cempedak 3% Rambutan 4%
Durian 5% Pepaya 5% Salak 6%
Nenas 8%
Lain-lain 8%
Jeruk Siam 9%
Pisang 32%
Mangga 11% Jeruk 9%
Lain-lain termasuk: Alpukat, jambu biji, duku/langsat, markisa, sawo, manggis, jambu air, sukun, jeruk besar, belimbing, blewah, sirsak, semangka dan melon
Gambar 2 Produksi buah nasional pada tahun 2011 Luasnya daya adaptasi tanaman pisang menyebabkan tanaman pisang dapat tumbuh di berbagai kondisi lingkungan. Namun demikian pertanaman pisang menghadapi banyak kendala hama dan penyakit tanaman seperti: penggerek batang dan bonggol (stem dan corm borer) (Smith 1995), ulat penggulung daun (Christie et al. 1989), nematode (Marin et al. 1998), banana bunchy top virus (BBTV), cucumber mozaik virus (CMV) (Jones 1991), bract streak virus (BSV) (Dahal et al. 2000), bercak daun sigatoka (Stover 1980), layu Fusarium oxysporum fsp. cubense (Ploetz 2000), layu bakteri Ralstonia solanacearum (dulu Pseudomonas solanacearum) (Hayward 1991) dan Xanthomonas campestris/vasicola pv. Musacearum (Tushemereirwe et al. 2003). Dari beberapa penyakit pisang tersebut di atas, virus BBTV, layu Fusarium (FOC) dan bakteri Ralstonia solanacearum menjadi masalah yang sangat serius di Indonesia. Ketiga penyakit tersebut telah ditemukan di seluruh wilayah Indonesia dengan intensitas yang beragam. Layu bakteri telah menghancurkan pertanaman pisang Kepok di Sumatera Barat, Lampung, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Kalimantan Tengah, Sulawesi Sulawesi Selatan, Kendari dan Maluku. Layu fusarium menghancurkan pertanaman pisang Cavendish di Mojokerto dan Lampung, pisang Barangan di Sumatera Utara dan Aceh, pisang Ambon Hijau di Sumatera Barat, pisang Ambon Kuning di Jawa Timur, Jawa Tengah dan Jawa Barat (Hermanto 2008). Virus BBTV sudah sejak lama endemik di Jawa Barat dan Lampung, dan sudah menyebar ke Jawa Tengah, Jawa Timur, Sumatera Barat, Kalimantan, Sulawesi dan Papua.
Penyakit Layu Fusarium pada Tanaman Pisang dan Usaha Pengendaliannya Dari semua penyakit yang menyerang tanaman pisang, layu fusarium adalah penyakit yang paling sulit ditanggulangi, karena selain penyebarannya yang sangat mudah melalui saluran irigasi, tanah, peralatan dan bahan tanam, keberadaannya dalam tanah dapat bertahan bertahan puluhan tahun tanpa megurangi daya
6
infeksinya (Agrios 2005). Penyakit layu ini pertama kali ditemukan di Queensland bagian tenggara pada tahun 1874 menyerang kultivar Sugar (Silk). Namun demikian penelitian yang lebih intensif tentang penyakit layu ini diadakan di Costa Rica dan Panama pada awal tahun 1890, karena menyerang perkebunan komersial Grosh Michel untuk tujuan ekspor (Ploetz 1994). Oleh karena itu penyakit layu fusarium pada tanaman pisang lebih dikenal dengan Panama disease. Perkembangan cendawan Fusarium oxysporum f.sp. cubense (FOC) penyebab penyakit layu tanaman pisang akibat dari interaksi antara patogen, genotipe tanaman dan pengaruh dari kondisi lingkungan (Moore et al. 1993). Sampai saat ini FOC telah berkembang menjadi 4 ras. Tiap ras menyerang kultivar atau kerabat pisang yang berbeda. Cendawan FOC ras 1 menyerang Ambon Kuning dan Raja Serai, ras 2 menyerang Bluggoe dan beberapa kultivar pisang olah (Moore et al. 1995), ras 3 menyerang Helicona. Ras 4 dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu ras 4 subtropika dan tropika. Ras 4 subtropika menyerang Cavendish dan kultivar yang rentan ras 1 dan ras 2 di Afrika Selatan, Australia, Taiwan dan Canary Island (Gerlach et al. 2000; Su et al. 1986), sedangkan ras 4 tropika menyerang hampir seluruh kultivar komersial di Asia Tenggara dan Australia (Pegg et al. 1994; Ploetz 1994). Berdasarkan sifat kompatibilitas antar isolat, cendawan FOC dikelompokkan menjadi VCG (vegetative compatibility group) (Leslie 1993). Saat ini telah diidentifikasi sebanyak 21 VCG yang menyerang tanaman pisang (Ploetz 1990) dan 15 di antaranya berasal dari Asia Tenggara, 10 VCG telah ditemukan di Indonesia (Pegg et al. 1996). Berdasarkan hasil survey yang dilakukan oleh peneliti Balai Penelitian Tanaman Buah Tropika, diperoleh informasi cendawan FOC VCG 01213/16 (ras 4 tropika) ditemukan pada pertanaman pisang di hampir seluruh propinsi di Indonesia (Hermanto et al. 2011). Bukti-bukti tersebut menunjukkan betapa pentingnya FOC pada pertanaman pisang dan memerlukan langkah-langkah pengendalian yang lebih efektif dan efisien. Berbagai usaha pengendalian penyakit layu fusarium pada tanaman pisang telah banyak dilakukan, baik melalui pendekatan kimiawi, agronomis maupun pemuliaan tanaman. Usaha pengendalian secara kimia melalui metode injeksi, perlakuan tanah yang melibatkan fumigasi dan aplikasi amelioran dapat mengurangi serangan, tetapi sulit diaplikasikan dalam skala komersial (Pegg et al. 1993). Selanjutnya Pegg et al. (1996) menyatakan bahwa pestisida, fumigan, penggenangan, rotasi tanaman dan pemanfaatan bahan organik sedikit memberikan pengendalian jangka panjang pada daerah produksi pisang. Penelitian tentang pengendalian secara biologi (biocontrol) menggunakan agensia hayati seperti cendawan Trichoderma dan bakteri Pseudomonas fluorescence (Fishal et al. 2010), atau bakteri endofit yang berasal dari pertanaman pisang (Jie et al. 2009) juga sudah dilakukan dan memberikan hasil yang positif pada lingkungan rumah kaca, namun demikian penerapan secara luas dan skala komersial masih perlu dikaji. Salah satu strategi pengendalian penyakit tanaman pisang yang sangat efektif adalah dengan menggunakan kultivar pisang yang tahan terhadap penyakit (Rowe & Rosales 1996), karena tidak memerlukan bahan kimia sebagai bahan pestisida sehingga aman bagi lingkungan sekitarnya. Penggunaan kultivar tahan
7
terhadap penyakit bisa berasal dari sumber daya genetik yang telah ada ataupun berasal dari program pemuliaan tanaman atau perbaikan kultivar.
Perbaikan Kultivar Tanaman Pisang Pengembangan kultivar tahan penyakit dapat dilakukan dengan cara menseleksi sumber daya genetik yang ada (Orjeda et al. 2000) dan menciptakan kultivar baru baik secara induksi variasi somaklonal (Tang 2005), persilangan konvensional (Rowe & Rosales 1996) maupun transformasi genetika (Becker et al. 2000; Maziah et al.2007; Sreeramanan et al. 2010). Pemuliaan Konvensional Pemuliaan tanaman pisang secara konvensional dimulai pada tahun 1984 oleh Fundación Hondureña de Investigación Agrícola (FHIA), Honduras, melalui program perbaikan pisang diploid dari spesies liar yang berasal dari Papua Nugini, Indonesia, Malaysia dan Filipina dan telah menghasilkan sejumlah tanaman diploid superior, salah satunya adalah SH-2095 yang digunakan sebagai tetua persilangan beberapa kultivar FHIA. Salah satu tanaman hibrida yang dihasilkan adalah FHIA-18 (AAAB) yang tahan terhadap bercak daun sigatoka, layu Fusarium dan nematoda Radopholus similis tetapi mempunyai hasil yang masih rendah yaitu 28.5 kg. Sehingga dilakukan seleksi terhadap hibrida lain dan menghasilkan FHIA-01 (AAAB), FHIA-03 (AABB) dan FHIA-23 (AAAA) yang juga tahan terhadap layu Fusarium dan toleran terhadap hama penggerek batang/bonggol (Rowe & Rosales 1996). Program perbaikan kultivar secara konvensional untuk menghasilkan tanaman yang tahan penyakit juga dilakukan oleh International Institute of Tropical Agriculture (IITA) Nigeria sejak 1991 (Vuylsteke et al. 1993) yang bertujuan untuk menghasilkan tanaman pisang tahan terhadap penyakit bercak daun sigatoka dan hama serta penyakit lainnya, terutama pada jenis plantain dan East African Highland Banana (EAHB) (Lorenzen et al. 2010). Strategi yang ditempuh sama seperti yang dilakukan oleh FHIA yaitu menghasilkan tanaman diploid superior terlebih dahulu yang digunakan sebagai tetua untuk persilangan selanjutnya. Hasil persilangan antar diploid lokal dan introduksi diperoleh 2 hibrida yang tahan terhadap bercak daun sigatoka dan nematoda, yaitu TMB2x5105-1 dan TMB2x9128-3 (Tenkouano et al. 2003). Induksi dan Seleksi Variasi Somaklonal Kelemahan perbaikan kultivar pisang secara konvensional adalah sulitnya mendapatkan tanaman hibrida karena masalah poliploidi dan fertilitas dari kultivar komersial sebagai salah satu tetua persilangan serta tahapan seleksi yang membutuhkan waktu yang relatif lama (Roux et al. 2004). Oleh karena itu beberapa lembaga penelitian seperti Taiwan Banana Research Institute (TBRI) Taiwan (Hwang & Ko 2004), United Plantation (UP) dan Universiti Malaya (UM) Malaysia (Chai et al. 2004), menerapkan teknik induksi mutasi untuk program perbaikan kultivar pisang. Beberapa kultivar hasil mutasi tersebut antara lain Formosana dari Taiwan, yang merupakan variasi somaklonal Giant Cavendish, Novaria dan Mutiara dari Malaysia yang merupakan variasi
8
somaklonal dari Grande Naine dan Rasthali. Kultivar-kultivar tersebut menunjukkan sifat ketahanan terhadap layu FOC. Transformasi Genetika Transformasi genetika adalah teknologi alternatif yang mulai banyak dikaji dan dilakukan baik untuk tanaman pisang secara khusus maupun tanaman lain pada umumnya, karena dengan transformasi genetika, gen spesifik yang dikehendaki dapat disisipkan ke dalam tanaman (Escalant et al. 2004). Dengan makin berkembangnya teknologi regenerasi tanaman pisang melalui teknik kultur jaringan seperti embriogenesis somatik (Meenakshi et al. 2011), perbanyakan mikro (Lee 1993) dan kultur protoplas (Assani et al. 2001), dukungan untuk perbaikan kultivar pisang dengan teknik bioteknologi akan semakin besar karena keberhasilan transformasi genetika juga dipengaruhi oleh daya regenerasi tanaman hasil transformasi. Transformasi genetika pada tanaman pisang telah banyak dilakukan baik menggunakan teknologi particle bombardment (Sagi et al. 1995; Becker et al. 2000) maupun menggunakan teknik Agrobacterium-mediated transformation (May et al. 1995; Ganapathi et al. 2001; Sreeramanan et al. 2010; Paul et al. 2011). Penelitian-penelitian tersebut tidak hanya bertujuan untuk meningkatkan efisiensi keberhasilan transformasi saja tetapi juga bertujuan untuk meningkatkan ketahanan tanaman pisang terhadap patogen seperti BBTV dengan menyisipkan gen Replicase-associated protein (Rep) (Borth et al. 2011), sedangkan untuk ketahanan terhadap Fusarium Sreeramanan et al. (2010) menyisipkan gen chitinase dan Paul et al. (2011) menyisipkan gen anti-apoptosis, yaitu gen Bcl-2 3′ UTR.
Interaksi Tanaman dan Penyakit Interaksi antara tanaman dan patogen terdiri atas interaksi kompatibel, apabila tanaman rentan menjadi sakit pada saat terjadi serangan patogen yang virulen, dan interaksi non-kompatibel, apabila gejala penyakit tidak berkembang pada tanaman tahan pada saat adanya serangan patogen yang tidak virulen. Prinsip dari mekanisme yang berhubungan dengan pertahanan tanaman terhadap patogen tersebut disebut konsep gene-for-gene (Fhlor 1946). Mekanisme ketahanan tersebut melibatkan interaksi molekuler secara langsung ataupun tidak langsung antara produk gen avirulence (avr) sebagai elisitor dengan produk gen ketahanan (R) (Dangl & Jones 2001). Interaksi spesifik dari pengenalan produk gen avr/R menghasilkan pemicuan satu atau lebih sinyal transduksi yang akan mengaktifkan respon pertahanan tanaman untuk mencegah pertumbuhan dan perkembangan patogen dalam tanaman. Aktivasi pertahanan tanaman menyebabkan respon pada areal yang terinfeksi dengan menghasilkan reactive oxygen species (ROS), nitric oxide (NO) (Bowell 1999), akumulasi senyawa fenol, yang sering disebut juga hypersensitive response (HR) dan terjadinya penguatan dinding sel (Gurr & Rushton 2005). Reaksi pertahanan juga termasuk dihasilkannya pathogenesis-related proteins (protein PR) (van Loon & Strien 1999), phytoalexin dan akumulasi etilen (ET) dan asam jasmonat (JA) dan juga terjadi penguatan dinding sel (Hammond-
9
Kosack & Parker 2003). Selain itu dihasilkannya asam salisilat (SA) yang akan menyebabkan terjadinya systemic acquired resistance (SAR), sebuah bentuk pertahanan yang terjadi secara menyeluruh pada bagian tanaman (Punja 2001).
Gen Ketahanan (R gene) Klasifikasi Gen Ketahanan (R gene) Berdasarkan runutan asam amino dan/atau adanya motif/domain terkonservasi, gen ketahanan (R gene) dikelompokkan menjadi 8 kelas. Kelas terbesar pertama adalah cytoplasmic coiled coil-NBS-LRR (CC-NBS-LRR). Kelas CC-NBS-LRR terdapat pada tanaman dikotil dan monokotil (Meyers et al. 2005). Contoh dari kelompok ini adalah RPS2 dan RPM1 yang berasal dari Arabidopsis untuk gen ketahanan terhadap P. syringe (Mindrinos et al. 1994; Grant et al. 1995) dan I2 asal tomat untuk gen ketahanan terhadap Fusarium oxysporum (Ori et al. 1997). Kelas kedua adalah cytoplasmic toll-interleukin-1-receptor-NBS-LRR (TIR-NBS-LRR). TIR-NBS-LRR hanya ditemukan pada tanaman dikotil (Miller et al. 2008). Gen N asal tembakau (Whitham et al. 1994) dan L6 asal linseed (Lawrence et al. 1995) adalah contoh dari TIR-NBS-LRR. Kelas ketiga adalah extracytoplasmic LRR (eLRR) yang melekat pada transmembran domain (TrD). Gen Cf asal tomat untuk ketahanan terhadap Cladosporium fulvum termasuk dalam kelompok ini (Thomas et al. 1998). Kelas keempat adalah gen ketahanan yang mengandung eLRR, TrD dan cytoplasmic serine-threonine kinase (KIN) atau disebut eLRR-TrD-KIN. Contoh dari kelas ini adalah Xa21 asal padi untuk ketahanan terhadap Xanthomonas (Song et al. 1995). Gen RPW8 asal Arabidopsis yang mengandung domain TrD dan CC (Wang et al. 2009) adalah kelompok R gene yang kelima. Gen Ve asal tomat untuk ketahanan terhadap Verticillium arboratrum adalah contoh dari kelas keenam, yang mengandung eLRR, TrD, Pro-Glu-Ser-Thr (PEST) dan motif protein pendek sebagai receptor mediated endocytosis (RME) (Kawchuk et al. 2001). Kelas ke7 merupakan anggota terbaru dari TIR-NBS-LRR, tetapi pada ujung C mempunyai nuclear localization signal (NLS) dan domain WRKY. Gen RRS1 asal Arabidopsis untuk ketahanan terhadap bakteri Ralstonia solanacearum adalah contoh dari kelompok ini (Deslandes et al. 2002). Kelas R gene yang kedelapan adalah yang tidak mengandung NBS dan juga LRR. Sebagai contoh gen Hm1 yang mengkode enzim HC toxin reductase, melindungi tanaman jagung dari cendawan Cochliobolus carbonum (Johal & Briggs 1992). Contoh lain adalah gen Pto yang hanya mengandung Ser-Thr kinase tanpa LRR (Kim et al. 2002) dan Rpg1 yang mengkode receptor kinase-like protein dengan 2 protein kinase (Brueggeman et al. 2002). Ilustrasi kelas gen ketahanan ditampilkan pada Gambar 3. Dalam kurun waktu 20 tahun terakhir, sebanyak 91 gen ketahanan telah diisolasi dan dikarakterisasi (Gururani et al. 2012). Lebih dari 70 % di antaranya adalah kelas NBS-LRR. Berdasarkan domain terkonservasi dari R gene, degenerate primer dapat didisain untuk mengamplifikasi resistance gene analogue (RGA) atau sejumlah kandidat gen dari berbagai spesies tanaman seperti kedelai (Kanazin et.al. 1996), slada (Shen et al. 1998), apel (Baek & Choi 2013), linseed (Yaish et al. 2004) dan meggunakan pendekatan PCR. Pendekatan yang sama juga telah digunakan untuk mengamplifikasi RGA dari tanaman pisang.
10
Gambar 3 Kelas utama gen ketahanan (R gene) berdasarkan susunan dan fungsi domainnya, beserta contoh gen. LRR: Leucine rich repeats; NBS: Nucleotide-binding site; TIR: Toll/Interleukin-1-receptors; C-C: Coiled coil; TrD: Transmembrane domain; PEST: Protein degradation domain (proline-glycine-serine-threonine); ECS: Endocytosis cell signaling domain; NLS: Nuclear localization signal; WRKY: Amino acid domain; Hm1: Helminthosporium carbonum toxin reductase enzyme (Gururani et al. 2012) Resistance Gene Analogue (RGA) pada Musa Sejumlah RGA telah diisolasi dari berbagai kultivar/spesies Musa spp., dikarakterisasi dan dideposit di pangkalan data NCBI (GenBank). Pei et al. (2007) berhasil mendapatkan 12 RGA NBS-LRR dari spesies liar Gongjiao (AA), Xinyiyejiao (BB) dan kultivar Zhongshandajiao (ABB), Fenjiao (AAB) dan Williams (AAA). Pereza-Echeverria et al. (2008) berhasil mengisolasi 5 resistance gene candidate (RGC/RGA) asal segregan M. acuminata ssp. malaccensis yang tahan terhadap FOC ras 4 dan menganalisis ekspresi pada tanaman pisang yang diinfeksi oleh cendawan FOC ras 4. Berdasarkan hasil analisis ekspresi, salah satu RGA yaitu RGC2 terekspresi pada saat ada infeksi FOC, 3 RGA terekspresi secara konstitutif dan satu RGA sisanya tidak terekspresi. Resistance Gene Analogue dari kelas serine-threonin kinase juga berhasil diisolasi dari tanaman pisang oleh Pereza-Echeverria et al. (2007) dan diperoleh 7 fragmen RGA yang mempunyai identity 58-68 % dengan gen Pto asal tanaman tomat. Azhar & Heslop-Harrison (2008) berhasil mengisolasi 102 fragmen RGA NBS-LRR dari 42 sampel asal kultivar dan spesies liar Musa, yaitu M. ornata, M. velutina, M. textilis, M. acuminata, M. balbisiana, dan M. sizocarpa. Berdasarkan hasil analisis filogenetik, dari 102 fragmen tersebut diperoleh 3 kelompok RGA. Sun et al. (2009) telah berhasil mengisolasi 20 fragmen RGA asal kultivar
11
Goldfinger (AAAB) yang terbagi dalam 5 kelompok RGA. Sebanyak 4 fragmen RGA asal M. acuminata ssp. malaccensis juga berhasil diisolasi oleh Lu et al. (2011).
Gen Respon Pertahanan Klasifikasi Protein PR Tanaman tingkat tinggi merespon berbagai cekaman fisik, kimia dan biologi dengan berbagai cara. Cekaman tersebut termasuk pelukaan, paparan logam berat seperti merkuri, salinitas, kekeringan, suhu rendah dan serangan patogen cendawan, bakteri dan virus. Tanaman mempertahankan diri dari cekaman tersebut secara fisik dengan menguatkan dinding sel melalui lignifikasi (Bhuiyan et al. 2009), suberisasi (Pla et al. 1998) dan pengendapan callose (Luna et al. 2011); dengan mensintesa senyawa dengan berat molekul rendah seperti phytoalexins yang bersifat racun terhadap organisme pengganggu; dengan menghasilkan beragam protein pathogenesis-related (PR) seperti chitinase, β-1,3glucanase, dan thaumatin-like proteins (Bowles 1990). Sejak ditemukannya protein PR pada tanaman tembakau yang secara hipersensitif bereaksi terhadap infeksi tobacco mosaic virus (TMV) (van Loon & Kammen 1970), penelitian tentang protein PR yang awalnya diberi nama “b” proteins lebih difokuskan pada kemungkinan keterlibatannya untuk pertahanan terhadap patogen. Antoniw et al. (1980) menciptakan istilah ‘pathogenesis-related proteins’ (PRs) yang didefinisikan sebagai protein yang dihasilkan oleh tanaman inang, tetapi diinduksi hanya oleh situasi patogenik atau yang berkaitan. Sampai saat ini protein PR yang telah ditemukan dikelompokkan ke dalam 17 famili berdasarkan struktur primer dan sifat immunologinya (van Loon et al. 2006). Anggota dari PR-1 mengandung protein yang masih belum diketahui cara kerjanya baik secara selular maupun molekular, namun demikian PR-1 telah terbukti menghambat perkembangan cendawan Phytophthora infestans dan Uromyces fabae baik secara in vitro maupun in vivo (Niderman et al. 1995; Rauscher et al. 1999). Famili PR-2 beranggotakan β-1,3-glucanase yang mendegradasi β-1,3-glucan, biopolimer yang ditemukan pada dinding sel cendawan. Famili PR-3, 4, 8 dan 11 beranggotakan chitinase dengan berbagai kelas (I-VII), sedangkan PR-5, 6, 7, 9 dan 10 beranggotakan masing-masing thaumatin-like proteins, protease-inhibitors, endoproteinases, peroxidases, dan ribonuclease-like proteins (van Loon & Strien 1999). Protein yang berfungsi pada permeabilitas membran dimiliki oleh PR-12, PR-13 dan PR-14 yang beranggotakan masing-masing defensin, thionin dan lipid-transfer proteins (LTPs). Oxalat oxidase (OXO) atau germin yang ditemukan pada sereal seperti gandum, padi, jagung, barley, oat termasuk dalam famili PR-15 (Lane et al. 1993; Lane 2000), sedangkan germin-like proteins (GLPs) yang ditemukan pada Arabidopsis thaliana dan Medicago truncata termasuk dalam famili PR-16 (Carter et al. 1999; Doll et al. 2003). Okushima et al. (2000) berhasil mendapatkan satu protein yang tersusun atas 242 asam amino dan berukuran 27 kDa asal kultur sel tembakau. Klon cDNA (NtPRp27) dari gen penyandi protein tersebut mempunyai kemiripan dengan gen WCI-5 asal gandum yang terinduksi oleh BTH yang berperanan dalam mekanisme SAR. Hasil transkripsi gen
12
NtPRp27 terakumulasi pada saat adanya infeksi dari virus mozaic tembakau (TMV), pelukaan dan perlakuan kekeringan. Karena tidak ada kemiripan dengan famili gen PR sebelumnya, maka NtPRp27 dikelompokkan ke dalam PR-17. Satu fitur penting dari kebanyakan protein PR adalah kemampuannya sebagai antifungal effects karena sifatnya sebagai enzim hidrolitik yang berperanan dalam pelemahan dan dekomposisi dinding sel cendawan yang mengandung glucan, chitin dan protein. Enzim tersebut adalah β-1,3-glucanase, chitinase dan proteinase (Selitrennikoff 2001). Sehubungan dengan pengembangan ketahanan tanaman terhadap patogen melalui teknologi transformasi genetika, salah satu strategi yang menjanjikan adalah berdasarkan eksploitasi gen yang menyandi enzim hidrolitik, yaitu β-1,3-glucanase dan chitinase yang berasosiasi dengan respon SAR pada tanaman (Edreva 2005). β-1, 3-Glucanase Enzim β-1,3-glucanases (glucan endo-1,3-β-glucosidases, EC 3.2.1.39) dapat ditemukan pada tanaman, yeast, actinomycetes, cendawan, bakteri, serangga dan ikan (Pan et al. 1989). Enzim ini mengkatalis β-1,3-glucan, yang merupakan polimer dari β-1,3-linked glucose (Simmons 1994). β-1,3-Glucan merupakan komponen utama penyusun dinding sel beberapa cendawan patogen (Wessel & Sietsma 1981; Adam 2004) dan tanaman pada saat perkembangan tertentu (Kaus 1987), yang disebut callose. Walaupun sebagian besar studi β-1,3-glucanase mengenai peranannya dalam pertahanan terhadap patogen, tetapi terdapat bukti yang kuat bahwa enzim tersebut juga terlibat dalam berbagai proses fisiologi dan perkembangan tanaman yang sedang tidak terinfeksi patogen, seperti pembelahan sel (Fulcher et al. 1976), microsporogenesis (Bucciaglia & Smith 1994), perkecambahan dan pertumbuhan tabung polen (Roggen & Stanley 1969), fertilisasi (Lotan et al. 1989; Ori et al. 1990), embriogenesis (Dong & Dustan 1997; Helleboid et al. 1998), pemasakan buah (Hinton & Pressey 1980), perkecambahan benih (Vogel-Lange et al. 1994), dormansi tunas (Krabel et al. 1993), respon terhadap pelukaan, dingin, ozon dan sinar UV B (Thalmair et al. 1996; Hincha et al. 1997). Sejumlah gen β-1,3-glucanase telah teridentifikasi dari berbagai spesies tanaman. Protein yang disandi dari gen tersebut menunjukkan keragaman dalam hal ukuran, isoelectric point (pI), struktur primer, letaknya di dalam sel dan pola regulasinya. Berdasarkan beberapa hal tersebut, β-1,3-glucanase yang ditemukan pada tembakau (Leubner-Metzger et al. 1995), tomat (Domingo et al. 1994), kentang (Oh & Yang 1995) dan tanaman lain, dibagi dalam 4 kelas (LeubnerMetzger & Meins 1999). Sebagian besar β-1,3-glucanase yang telah diteliti termasuk dalam kelas I dan II (Shi et al. 2006). β-1,3-Glucanase yang termasuk dalam kelas I mempunyai berat molekul 33 kDa dan bersifat basic yang ditemukan dalam vakuola sel tanaman. Enzim yang termasuk dalam kelas I ini mempunyai perpanjangan sekuen terkonservasi pada C-terminal yang diduga sebagai sekuen pensinyalan untuk lokalisasi ke dalam vakuola (Shinshi et al. 1988), sedangkan β-1,3-glucanase kelas II, III dan IV bersifat acidic, tidak mempunyai perpanjangan sekuen pada C-terminal dan disekresi ke ruang antar sel dan berat molekul berkisar 34-36 kDa (Beffa et al. 1993; Bucciaglia & Smith 1994). Perbedaan dari ketiga kelas enzim tersebut berdasarkan perbedaan sekuen asam aminonya.
13
β-1,3-Glucanase kelas II asal tembakau yang telah teridentifikasi mempunyai 6 isoform berdasarkan sekuen asam aminonya dengan identity sebesar 82% antar masing-masing isoform, dan sebesar 48.8% bila dibandingkan kelas I (Ward et al. 1991; Leubner-Metzger & Meins 1999). Seperti halnya pada kelas I, sebagian besar β-1,3-glucanase kelas II juga mempunyai signal peptide (Von Heijne 1983). Hasil analisis yang dilakukan oleh Linthorst et al. (1990) menunjukkan bahwa ekspresi acidic β-1,3-glucanase (kelas II) sangat dipicu oleh infeksi TMV atau perlakuan asam salisilat. Protein β-1,3-glucanase kelas III mempunyai berat molekul 35 kDa, mempunyai identity sebesar 43% terhadap kelas I dan kelas II. Gen SGN1 yang termasuk dalam β-1,3-glucanase kelas III berhasil diisolasi dari tanaman kedelai. Hasil karakterisasi dari gen tersebut menunjukkan bahwa ekspresinya dipicu oleh berbagai sinyal yang berhubungan dengan pertahanan, seperti H2O2, asam jasmonat, ethepon, asam salisilat, pelukaan, perlakuan elisitor yang berasal dari Phytophthora spp., dan juga inokulasi dengan Pseudomonas syringae (Cheong et al. 2000). β-1,3-Glucanase kelas IV adalah enzim yang tidak mempunyai sifat antipatogen seperti pada β-1,3-glucanase kelas I, II dan III. Ekspresi dari protein β-1,3-glucanase kelas IV terdapat pada anther dan berhubungan dengan perkembangan polen (Bucciaglia & Smith 1994). Enzim Tag1adalah enzim yang termasuk dalam anggota dari β-1,3-glucanase kelas IV yang ditemukan pada tembakau. Protein Tag1 berukuran 35 KDa dan mempunyai identity 37-38% terhadap β-1,3-glucanase kelas I, II dan III asal tembakau (Leubner-Metzger & Meins 1999). Beberapa hasil penelitian menunjukkan ekspresi enzim β-1,3-glucanase meningkat setelah adanya infeksi patogen, seperti pada barley yang terinfeksi powdery mildew (Ignatius et al. 1994), strawberry yang terinfeksi Colletotrichum fragariae (Shi et al. 2006), cabai yang terinfeksi Xanthomonas campestris pv. vesicatoria dan Phytophthora capsici (Jung & Hwang 2000), kedelai yang terinfeksi Pseudomonas syringae (Cheong et al. 2000), gandum yang terinfeksi Fusarium graminearum (Li et al. 2001), dan peach yang terinfeksi Monilinia fructicola (Zemanek et al. 2002). Chitinase Chitinase (EC. 3.2.1.14) adalah enzim katalis yang memotong ikatan antara C1 dan C4 dari 2 monomer N-acetyl-D-glucosamine dari chitin. Chitinase dihasilkan oleh bakteri, cendawan, hewan dan tanaman. Secara umum chitinase yang dihasilkan oleh tanaman adalah endochitinase yang dapat menghidrolisis chitin. Chitin merupakan komponen penyusun dinding sel cendawan, eksokeleton dari anthropoda dan nematoda (Ebrahim et al. 2011). Chitinase asal tanaman pada umumnya berupa protein dengan berat molekul 25-40 kDa, mempunyai kisaran pH optimum yang cukup lebar, yaitu pH 4-9, dan bersifat stabil pada suhu sampai 60 °C (Collinge et al. 1993). Seperti halnya pada protein PR lainnya, chitinase juga bersifat basic dan acidic. Basic chitinase umumnya ditemukan di vakuola dan acidic chitinase merupakan extraseluler. Berdasarkan aktivitas chitinolytic atau pola hidrolisis chitin, chitinase dibagi menjadi 2, yaitu endochitinase dan exochitinase (Nielsen & Sørensen
14
1999). Endochitinase memotong chitin secara acak pada bagian dalam, menghasilkan molekul-molekul multimer N-acetylglucosamine yang berukuran lebih kecil, seperti chitotriose, chitotetraose dan dimer di-acetylchitobiose. Exochitinase dibagi menjadi 2 sub-kategori, yaitu chitobiodase yang memotong hanya pada microfibril paling ujung dari rantai chitin dan menghasilkan diacetylchitobiose (Harman et al. 1993). Sub-kategori kedua adalah β-1,4-Nacetylglucosaminidase yang memotong produk dari endochitinase dan chitobiodase menghasilkan monomer (Sahai & Manocha 1993). Berdasarkan mekanisme hidrolitik, chitinase dikelompokkan ke dalam 2 famili, yaitu glycoside hydrolase family 18 dan glycoside hydrolase family 19 (Iseli et al. 1996; Henrissat & Bairoch 1993). Berdasarkan struktur primernya, chitinase diklasifikasikan ke dalam 7 kelas, yaitu chitinase kelas I-VII. Chitinase kelas I, II, IV dan VII yang berasal dari tanaman termasuk dalam glycoside hydrolase family 19 (Hamel et al. 1997; Castillo et al. 2007), sedangkan chitinase kelas III, V dan VI yang berasal dari tanaman, cendawan, bakteri, virus dan serangga adalah anggota dari glycoside hydrolase family 18 (Cohen-Kupiec & Chet 1998; Hollis et al. 2000). Chitinase kelas I mempunyai cysteine-rich pada Nterminal dari chitin-binding domain (CBD) dan berhomolog dengan havein, CBD yang berasal dari tanaman karet. Bagian C-terminal dari chitinase kelas I terdapat signal peptide yang berfungsi untuk penempatan ke dalam vakuola (Neuhaus et al. 1991). Antara CBD dengan catalitic domain dipisahkan oleh proline dan glycine-rich hinge. Adanya delesi CBD dan/atau glycine-rich hinge pada chitinase kelas I asal tanaman tembakau dapat mengurangi aktivitas hidrolitik sebesar 50 %, dan fungsinya sebagai anti-cendawan menurun 80 % (Surarez et al. 2001). Chitinase kelas I dibagi menjadi 2, yaitu kelas Ia dan Ib. Perbedaan kelas Ia dan Ib adalah tidak adanya C-terminal signal peptide pada kelas Ib sehingga bersifat acidic dan extracellular (Flach et al. 1992). Chitinase kelas II mempunyai berat molekul 27-28 kDA dan sekuen asam amino yang mirip dengan kelas I tetapi tidak mempunyai N-terminal CBD dan C-terminal signal peptide, dan disekresi di apoplast (Shinshi et al. 1990). Chitinase kelas III merupakan anggota dari PR-8 dan termasuk dalam glycoside hydrolase family 18. Chitinase kelas III mempunyai struktur asam amino catalytic domain yang tidak berbeda dengan kelas I dan II. Sebagian besar chitinase kelas III diklasifikasikan berdasarkan kesamaan yang tinggi terhadap enzim hevamine (lysozyme yang mempunyai aktivitas menyerupai chitinase). asal tanaman karet (Jekel et al. 1991). Chitinase kelas III mempunyai kisaran isoelectric point dan pH optimum yang lebar, dan stabil pada suhu 60-70 °C. Sebagai contoh chitinase dari Beninncasa hispida mempunyai optimum pH 2 tetapi aktivitasnya masih bisa bertahan 50 % pada pH 8 (Shih et al. 2001). Chitinase kelas IV, V, VI dan VII termasuk dalam PR-3. Struktur kelas IV sama dengan chitinase kelas I, mempunyai cystein-rich domain dan struktur utama terkonservasi, tetapi lebih pendek karena terdapat delesi asam amino. Seperti kelas II, chitinase kelas IV juga merupakan extracellular chitinase dan hanya ditemukan pada tanaman dikotil. Sekuen asam amino chitinase kelas V asal tembakau berbeda dengan dengan kelas I-IV, tetapi mempunyai mempunyai kemiripan dengan asam amino dari exochitinase asal bakteri Bacillus circulans, Serratla marcescens and Streptomyces plicatus (Melchers et al. 1994). Chitinase kelas VI berhomolog dengan Ch1 asal sugar beet yang mempunyai setengah sekuen CBD dengan prolin-
15
rich spacer yang panjang (Berglund et al. 1995). Chitinase kelas VII yang diisolasi dari gandum mempunyai identity sebesar 77% dengan chitinase kelas IV asal gandum dan identity yang lebih rendah dari kelas lainnya (Singh et al. 2007). Dinding sel tanaman tidak mengandung chitin, tetapi hama serangga dan sebagian besar cendawan patogen (ascomycetes, basidiomycetes dan deuteromycetes) mengandung chitin dalam dinding selnya (Collinge et al. 1993). Hal ini menimbulkan asumsi bahwa chitinase dihasilkan tanaman terlibat dalam mekanisme pertahanan terhadap patogen baik secara langsung karena sifatnya sebagai anti cendawan atau secara tidak langsung dengan mengeluarkan oligomer chitin yang akan menginduksi respon pertahanan tanaman (Collinge et al. 1993; Surarez et al. 2001; Gomez et al. 2002). Ekspresi sejumlah gen chitinase terinduksi selama infeksi cendawan dan produk chitinase terakumulasi di sekitar dinding sel hifa di daerah infeksi pada tanaman (Wubben et al. 1992). Selain itu terjadi peningkatan ekspresi chitinase yang menyebabkan peningkatan ketahanan terhadap beberapa cendawan yang dinding selnya mengandung chitin (Jongedijk et al. 1995; Jach et al. 1995). Secara alami, chitinase dan β-1,3-glucanase bekerja sama secara sinergis dalam menekan pertumbuhan dan perkembangan cendawan patogen. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Mauch et al. (1988) menyatakan bahwa apabila masing-masing chitinase atau β-1,3-glucanase hanya dapat menghambat pertumbuhan satu cendawan saja. Tetapi apabila dikombinasi akan dapat menekan pertumbuhan semua cendawan yang diuji. Sebuah model mengenai peranan chitinase dan β-1,3-glucanase dalam respon pertahanan tanaman terhadap patogen yang diusulkan oleh Mauch & Staehelin (1989) menyarankan bahwa enzim-enzim tersebut terlibat pada tahapan patogenesis yang berbeda. Ketika hifa cendawan patogen mulai memasuki ruang antar sel tanaman inang, akan bersentuhan langsung dengan acidic β-1,3-glucanase yang berada di lamella tengah, selanjutnya β-1,3-glucanase akan mendegradasi β1,3-glucan yang terkandung dalam dinding sel cendawan dan menghasilkan oligosakarida yang berfungsi sebagai ekso-elisitor untuk produksi phytoalexin (Keen & Yoshikawa 1983) dan protei PR lainnya. Acidic chitinase kelas IV dan VII juga ikut berperan dalam mekanisme awal pertahanan terhadap patogen (Gerhardt et al. 1997). Hasil dari interaksi awal antara cendawan patogen dan sel inang ini akan memicu dihasilkannya basic β-1,3-glucanase dan chitinase yang disimpan dalam vakuola. Infeksi lebih lanjut dari patogen akan menyebabkan pecahnya protoplasma sel inang sehingga β-1,3-glucanase dan chitinase yang tersimpan dalam vakuola akan keluar dengan konsentrasi yang cukup untuk menekan pertumbuhan cendawan patogen. Ilustrasi dari mekanisme peranan chitinase dan β1,3-glucanase dalam pertahanan tanaman ditampilkan pada Gambar 4. Sampai dengan saat ini sudah ada 22 fragmen gen β-1,3-glucanase dan 26 fragmen gen chitinase yang telah dideposit ke dalam pangkalan data NCBI (GenBank). Beberapa studi tentang isolasi dan karakterisasi enzim chitinase dan β1,3-glucanase pada tanaman pisang sudah dilakukan. Ekspresi gen yang menyandi chitinase, β-1,3-glucanase dan protein PR lainnya meningkat pada awal proses pemasakan buah pisang (Clendennen & May 1997). Peumans et al. (2000) berhasil mengidentifikasi adanya konsentrasi enzim β-1,3-endoglucanase yang tinggi pada buah pada saat proses pemasakan buah. Namun demikian peranan enzim tersebut pada proses pemasakan buah masih belum jelas.
16
mRNA ER
NUKLEUS
VAKUOLA GOLGI
phytoalexins
RECEPTOR (?) ELISITORS
exo- endo-
pectinase cellulase
chitinase glucanase
MEMBRAN PLASMA
CENDAWAN
DINDING SEL
LAMELLA TENGAH
CENDAWAN
KALI
Gambar 4 Model yang menggambarkan peranan chitinase dan β-1,3-glucanase melawan serangan cendawan patogen (Mauch & Staehelin 1989) Hasil penelitian Tang et al. (2010) menunjukkan bahwa gen chitinase (MaChit) terekspresi secara konstitutif pada saat perkembangan buah sampai buah dipanen, dan puncaknya pada saat permulaan pemasakan buah. Adanya biosintesis etilen pada awal proses pemasakan buah akan memicu ekspresi gen MaPR1 sampai buah masak. Ekspresi kedua gen (MaChit dan MaPR1) tersebut berperan sebagai anti cendawan pada saat buah sebelum masak sampai buah masak, terutama terhadap penyakit anthracnose pada buah yang disebabkan oleh cendawan Colletotrichum musae (Tang et al. 2013). Penelitian untuk meningkatkan ketahanan terhadap beberapa penyakit pisang berbasis gen PR, telah dilakukan dengan cara transformasi genetika. Gen endochitinase (ThEn-42) yang berasal dari Trichoderma harzianum bersama dengan gen stilbene synthase (StSy) asal tanaman anggur dan gen superoxide dismutase (Cu,Zn-SOD) asal tanaman tomat, berhasil ditransformasi ke pisang Cavendish untuk menghasilkan tanaman pisang tahan terhadap bercak daun Sigatoka (Vishnevetsky et al. 2011) menggunakan metode Agrobacterium-mediated, sedangkan Kovács et al. (2013) menggunakan gen chitinase (rcc2 dan rcg3) asal padi untuk menghasilkan tanaman pisang tahan terhadap penyakit yang sama menggunakan metode particle gun bombardment. Untuk menghasilkan tanaman pisang Rastali tahan terhadap layu FOC ras 1, Maziah et al. (2007) menyisipkan gen β-1,3-endoglucanase (pROKla-Eg) asal tanaman kedelai. Metode transformasi yang digunakan adalah Agrobacteriummediated transformation.
Marka Molekuler Pada Tanaman Pisang Marka genetika pada awalnya digunakan untuk pemetaan genetik untuk menentukan runutan gen sepanjang kromosom. Alfers H. Sturtevant menghasilkan peta
17
genetik pertama menggunakan 6 karakter morfologi (disebut faktor) pada lalat buah (Drosophila melanogaster) pada tahun 1913 (Sturtevant 1913). Selanjutnya Kalr Sax menemukan bukti pertautan genetik antara lokus kualitatif dan lokus kuantitatif (QTL) pada kacang buncis (Phaseolus vulgaris) (Sax 1923). Sejak saat itu marka genetik telah berkembang dari marka morfologi kemudian marka isozyme (biokimia) dan marka DNA. Saat ini marka genetika telah digunakan baik untuk penelitian dasar maupun untuk pemuliaan tanaman. Marka Morfologi Marka berdasarkan karakter morfologi mudah diamati tetapi sangat mudah dipengaruhi oleh lingkungan, polimorfisme dan heritabilitas rendah, dan beberapa di antaranya mempunyai perkembangan yang terlambat seperti perkembangan bunga, yang bisa membuat pengamatan skor menjadi terlambat juga (Smith & Smith 1992). Selain itu adanya fenomena satu marka morfologi juga dapat mempengaruhi marka morfologi lainnya atau disebut “Pleiotropy” (Stearns 2010). Yang terpenting, kelemahan dari marka morfologi adalah jumlahnya yang terbatas, sehingga tidak bisa dilakukan analisis seperti QTL. Hal yang sama juga tidak bisa dilakukan oleh marka isozyme (Liersch et al. 2013). Dengan adanya marka DNA atau disebut marka molekuler, keterbatasan yang ada pada marka morfologi dan isozyme dapat diatasi. Beberapa metode telah digunakan untuk mengkaji variabilitas yang ada pada plasma nutfah Musa. Karakter morfo-taksonomi pertama kali dikembangkan dan dioptimalisasi pada tanaman pisang dan diperoleh 119 diskriptor untuk mengkarakterisasi plasma nutfah pisang (Horry & Arnaud 1997). Diskriptor tersebut didasarkan pada karakter dasar yang dimiliki oleh Musa acuminata (mewakili genom ‘A’) dan Musa balbisiana (mewakili genom ‘B’). Namun demikian besarnya pengaruh lingkungan, tahapan pertumbuhan dan perkembangan tanaman dan besarnya keragaman Musa bisa merupakan faktor pembatas untuk penggunaan karakter morfologis di bidang taksonomi. Selain itu karakter morfologi dikendalikan oleh sejumlah kecil gen yang tidak mewakili keragaman genetik dari keseluruhan genom Musa (Saraswati et al. 2011). Marka Isozyme Sebagian besar studi pada Musa menggunakan marka isozyme adalah untuk analisis keragaman genetik (Bath et al. 1992a) dalam genus, mengidentifikasi variasi somaklonal dan mengidentifikasi tanaman hasil fusi protoplas (Bath et al. 1992b). Rivera (1983) menggunakan peroxidase dan polyphenoloxidase untuk membedakan subgroup Saba (ABB) dengan Bluggoe (ABB). Jarret & Litz (1986a,b) menguji efisiensi dan aplikasi beberapa isozyme seperti shikimate dehydrogenase (SKDH), malate dehydrogenase (MDH), peroxidase (PRX), phosphoglucomutase (PGM) dan glutamate oxaloacetate transminase (GOT). Beberapa di antaranya dapat digunakan untuk membedakan klon pada beberapa subgroup Musa. Espino & Pimentel (1990) menggunakan MDH untuk membedakan genom AAB dan ABB dengan genom BB, sedangkan Liyanage et al. (1998) menggunakan alloenzyme dari esterase untuk membedakan kultivar yang mengandung genom”A” dan “B”. Sementara itu Megia et al. (2001) menggunakan isozyme MDH, PRX dan GOT untuk menganalisa keragaman 100 kultivar Musa asal Indonesia yang bergenom AA, AAA, AAB, ABB dan BB, diketahui bahwa polimorfisme yang tinggi ada pada MDH dan PRX. GOT mempunyai polimorfisme terendah. Dhanya et al. (2006) menggunakan PRX untuk
18
mengidentifikasi kultivar yang tahan terhadap banana bract mozaic virus (BBrMv). Marka Molekuler Marka molekuler didefinisikan sebagai segmen DNA tertentu yang mewakili perbedaan pada tingkat genom. Marka molekuler bisa mewakili ekspresi fenotipik suatu karakter ataupun tidak. Marka molekuler menawarkan sejumlah manfaat dibanding marka morfologis antara lain sifatnya stabil dan bisa dideteksi pada semua jaringan tanaman, semua tahap pertumbuhan dan perkembangan tanpa dipengaruhi oleh lingkungan, pleitropic dan epistasi, serta perbedaan genetik dapat diketahui sejak awal pertumbuhan (Agrawal et al. 2008). Marka molekuler secara luas telah digunakan pada tanaman pisang dan kerabatnya (Musaceae) terutama untuk identifikasi variasi dan kekerabatan genetik plasma nutfah pisang, identifikasi duplikasi aksesi pisang di koleksi lapang dan kultur jaringan, monitoring stabilitas genetik materi kultur jaringan, analisis genotipe pisang hasil radiasi dan identifikasi marka suatu karakter dalam program pemuliaan (Pillay et al. 2012). Berdasarkan pola ekspresi polimorfisme, marka DNA dibagi menjadi 2 kategori, yaitu polimorfisme berbasis hibridisasi, dan berbasis polymerase chain reaction (PCR). Marka DNA berbasis hibridisasi yang digunakan adalah restriction fragment length polymorphism (RFLP) (Sanbrook et al. 1989) dan variable number tandem repeats (VNTR) loci (Rogstad 1993; Crouch et al. 1999). Restriction fragment length polymorphism (RFLP) adalah keragaman panjang fragmen DNA karena adanya enzim restriksi yang memotong DNA pada situs yang sesuai dengan situs pemotongan dari enzim restriksi tersebut. RFLP adalah marka kodominan yang dapat membedakan homozigot dan heterozigot. RFLP telah digunakan dalam studi taksonomi, kekerabatan plasma nutfah spesies Musa dan studi keragaman dari genom kloroplas (Gawel & Jarret 1991; Gawel et al. 1992; Nwakanma et al. 2003). Bath et al. (1994) memanfaatkan teknik RFLP untuk membedakan kultivar pisang. Namun demikian RFLP kurang digunakan dalam kegiatan pemuliaan tanaman karena tingginya biaya operasional. Variable number tandem repeats (VTNR) adalah sekuen DNA pendek yang berulang yang ada pada DNA genom. VTNR atau repetitive DNA sequence jumlahnya sangat banyak dan tersebar dalam genom eukariot (Frediani et al. 2004). VTNR bisa berupa minisatelit (10-45 bp) ataupun mikrosatelit (2-6 bp). Identifikasi VTNR pada awalnya menggunakan probe radioaktif, namun demikian sekarang telah banyak menggunakan teknik berbasis PCR. Crouch et al. (1999a) menggunakan analisis VTNR untuk membandingkan kesamaan genetik hibrida full-sib 2x dan 4x plantain dengan genotipe tetuanya. Setelah dipublikasikannya penemuan teknologi PCR oleh Mullis & Faloona (1987), marka molekular berbasis PCR makin berkembang karena kemudahan dan peluang keberhasilannya yang tinggi. Beragam teknik berbasis PCR telah digunakan untuk menganalisis keragaman genetik, hubungan kekerabatan antara spesies liar dengan kultivar Musa, antara lain random amplified polymorphic DNAs (RAPD), microsatellite atau simple sequence repeat (SSR), amplified fragment length polymorphism (AFLP), inter-retrotransposon amplified polymorphism (IRAP), diversity arrays technology (DArT) dan single nucleotide polymorphisms (SNP) . Kelebihan dari RAPD adalah mudah dalam penanganan dan biaya operasional yang relatif murah, dibutuhkan jumlah DNA sedikit dan tidak diperlukan informasi genom dari organisme yang dianalisis. Namun demikian, RAPD mempunyai
19
kelemahan, yaitu reproduktifitas yang terbatas, bersifat marka dominan dan reliabilitas yang tergantung pada keterampilan dari operator. RAPD telah berhasil digunakan untuk menganalisis keragaman plasma nutfah Musa (Howell et al. 1994; Bhat & Jarret 1995; Pillay et al. 2001; Uma et al. 2006; Nsabimana & Staden 2007), membedakan klasifikasi group dari Musa dan kerabatnya (Pillay et al. 2000; Bhat & Jarret 1995), hibrida full-sib populasi pemuliaan plantain (Crouch et al. 2000), menguji keseragaman tanaman hasil perbanyakan embriogenesis somatik (Meenakshi et al. 2011), dan untuk mendeteksi komposisi genom A atau genom B pada plasma nutfah dan hibrida Musa (Oselebe et al. 2006; Pillay et al. 2006). Selain itu peta tautan genetik berhasil dibuat dengan berbagai marka termasuk di antaranya RAPD (Faure et al. 1993). Marka RAPD yang dikonversi menjadi sequence-characterized amplified region (SCAR) digunakan sebagai alat untuk melakukan seleksi tidak langsung ketahanan tanaman pisang terhadap penyakit bercak daun sigatoka (Nwauzoma et al. 2011) dan layu fusarium (Wang et al. 2012). Mikrosatelit atau simple sequence repeats (SSR) dikembangkan untuk menutupi kekurangan yang terdapat pada RAPD (Jarret et al. 1994; Mattos et al. 2010). Lokus SSR jumlahnya berlimpah dan tersebar secara acak, merupakan lokus spesifik, kodominan dan marka multi-allelic. Keuntungan marka SSR adalah marka yang bisa direproduksi karena jumlahnya yang melimpah, polimorfik dan reliabilitas (Kashi et al. 1997; Li et al. 2004). Marka SSR telah banyak digunakan untuk mengidentifikasi keragaman genetik spesies tanaman, analisis sidik jari, pemetaan genetik. Analisis simple sequence repeat length polymorphism (SSRLP) telah dapat mendeteksi tingkat polimorfisme yang tinggi antar individu populasi pemuliaan Musa (Crouch et al. 2000). Saat ini telah diidentifikasi ratusan marka SSR baik yang berasal dari M. acuminata maupun M. balbisiana (Wang et al. 2010; Amorim et al. 2012). Salah satu marka yang bernama Inter-Retrotransposon Amplified Polymorphism (IRAP) adalah merupakan komplementer marka dominan yang digunakan untuk mendeteksi polimorfisme dalam insersi retrotransposon. Retrotransposon bertindak sebagai agen mutagenik yang memberikan sumber keragaman pada tanaman termasuk Musa (Heslop-Harrison 2000). Kelas utama dari retroelement termasuk di dalamnya terbagi dalam beberapa kelas terutama long interspersed elements (LINES), short interspersed elements (SINES), copia dan gypsylike elements, dan retroviruses. Tao et al. (2005) menggunakan marka IRAP untuk mengidentifikasi dan mengkarakterisasi kultivar pisang dan klasifikasi genom Musa. Beberapa penelitian mengenai marka IRAP, menunjukkan bahwa marka IRAP dapat digunakan untuk mengidentifikasi komposisi genom (A atau B) pada pisang-pisang komersial, sehingga akan membantu dalam pengelompokan berdasarkan genomnya (Balint-Kurti et al. 2000; Aert et al. 2004; Nair et al. 2005). Amplified Fragment Length Polymorphisms (AFLP) adalah teknik sidik jari berdasarkan amplifikasi PCR fragmen yang telah dipotong mengunakan enzim restriksi (Vos et al. 1995). Marka AFLP telah banyak digunakan pada berbagai tanaman karena kemampuannya untuk menghasilkan polimorfisme yang tinggi dengan sekali analisis. Marka AFLP telah digunakan untuk mendeteksi keragaman kultivar dan progenitor liar Musa (Ude et al. 2002a,b: Opara et al. 2010). Kelemahan dari AFLP adalah memerlukan manipulasi DNA (ligasi) dan teknik visualisasi yang cukup komplek, serta membutuhkan biaya yang relatif besar. Selain itu analisis AFLP memerlukan kualitas dan kuantitas DNA cukup tinggi. Lheureux et al. (2003) menemukan bahwa 10 marka AFLP bersegregasi dengan ada atau tidak adanya infeksi banana streak badnavirus
20
pada hibrida Musa. Marka AFLP dikombinasi dengan SSR telah digunakan untuk mengidentifikasi sifat partenokarpi, cebol, dan dominasi apikal pada tanaman pisang (Crouch et al. 1999b; Hautea et al. 2004) Diversity Arrays Technology (DArT) teknologi genotyping berbasis hibridisasi DNA tanpa memerlukan informasi sekuen DNA genom. DArT awalnya digunakan pada tanaman padi (Jaccoud et al. 2001) tetapi sekarang sudah digunakan pada tanaman ketela pohon, gandum, Arabidopsis, pisang (Wittenberg et al. 2005; Xia et al. 2005; Zhang et al. 2011; White et al. 2008; Hippolyte et al. 2010). Marka DArT adalah teknologi yang relatif murah yang membutuhkan sedikit DNA, tetapi memberikan hasil yang dapat mencakup informasi genom secara luas (Stodart et al. 2007). Sebanyak 1500 marka DArT telah dihasilkan pada aksesi Musa dan 380 marka di antaranya telah digunakan dalam pembuatan peta genetik BORLI di CIRAD (Hippolyte et al. 2010). Amorim et al. (2009) menggunakan 653 marka DArT untuk mengevaluasi keragaman pisang dengan kandungan karotin tinggi. Kelemahan dari teknologi DarT adalah tergantung pada ketersediaan printer dan scanner microarray, komputer untuk menganalisis, menyimpan dan mengelola data. Namun demikian apabila marka telah disekuen dapat digunakan untuk analisis berbasis PCR dan peralatan elektroforesis standar (Pillay et al. 2012). Single Nucleotide Polymorphisms (SNP) adalah polimorfisme yang disebabkan oleh perbedaan satu situs nukleotida tertentu dalam genom organisme. Keberadaan SNP melimpah dan tersebar pada genom organisme, walaupun kejadian dan distribusinya berbeda tiap organisme, seperti pada jagung terjadi 1 SNP per 60-120 pb (Ching et al. 2002), pada manusia diperkirakan terjadi 1 SNP per 1000 pb (Sachidanandam et al. 2001). Kebanyakan SNP ditemukan di luar dari gen fungsional (non-coding region) (Sherry et al. 2001). SNP yang terdapat pada gen fungsional (coding region) mendapat perhatian khusus karena secara langsung berhubungan dengan sifat yang diekspresikan oleh gen yang bersangkutan, oleh karena itu marka SNP dibuat berdasarkan sekuen dari expresses sequence tags (ESTs) (Shu et al. 2010). SNP yang ditemukan di coding region dibagi menjadi 2, yaitu yang bersifat nonsynonymous yang bisa merubah asam amino, dan yang synonymous yang tidak merubah asam amino (Sunyaev et al. 2001). Makin berkembangnya teknologi sequencing ditandai dengan munculnya high throughput sequencing platform, antara lain Roche/454 FLX (Margulies et al. 2005), Illumina/Solexa Genome Analyzer (Bentley 2006), Applied Biosystems SOLiDTM System, membuat proses sequencing menjadi lebih efisien dan biaya sequencing secara signifikan dapat dikurangi. Sejumlah besar genom dan transkriptom yang berasal dari tanaman jagung (Barbazuk et al. 2007), rapa (Trick et al. 2009) dan manusia (Li et al. 2009) telah di-sequencing untuk mengidentifikasi SNP. Teknik untuk genotyping SNP juga telah berkembang menggunakan Taqman (Shen et al. 2009), Amplifluor (Myakishev et al. 2001), Multiplexed Anchored Runoff Amplification (MARA) (Shapero et al. 2004) dan SNP array (Shen et al. 2005). Namun demikian teknik tersebut memerlukan biaya yang cukup tinggi dan peralatan khusus, sehingga tidak sesuai untuk genotyping SNP berskala kecil. Oleh karena itu sejumlah laboratorium masih melakulan validasi SNP menggunakan teknik berbasis enzim restriksi dan PCR, seperti Cleaved Amplified Polymorphic Sequence (CAPS), derived CAPS (dCAPS) (Thiel et al. 2004; Nasu et al. 2002) dan Allel Specific-PCR (AS-PCR) atau Single Nucleotide Amplified Polymorphism (SNAP) (Drenkard et al. 2000). Sampai saat ini marka berbasis SNP telah secara luas digunakan sebagai marka,
21
antara lain untuk membedakan spesies pada aksesi jeruk (Jiang et al. 2010), membuat peta tautan beresolusi tinggi pada ketela pohon dan kacang tunggak (Rabbi et al. 2012; Mucheroa et al. 2009), mengidentifikasi varietas ginseng (Sun et al. 2011) dan mengidentifikasi Cannabis yang bersifat narkotika atau tidak (Rotherham & Harbison 2011). Sementara itu Varshney et al. (2007) membandingkan marka berbasis SNP, SSR dan AFLP asal barley dan diperoleh bahwa marka berbasis SNP sesuai untuk karakterisasi dan konservasi, sedangkan SSR dan AFLP sesuai untuk analisis keragaman dan sidik jari. Yang et al. (2004) mengidentifikas 2 SNP yang bertautan dengan QTL yang berhubungan dengan warna buah pada tanaman tomat. Namun demikian informasi pemanfaatan marka berbasis SNP pada tanaman pisang masih terbatas pada studi genetik tanaman. Umali & Nakamura (2003) menggunakan marka dCAPS untuk membedakan sitoplasma pisang yang bergenom “A” dan B”. Adesoye et al. (2012) mengidentifikasi SNP yang dapat digunakan untuk pemetaan QTL yang berhubungan dengan kandungan gibberelin dan sifat partenokarpi. Perumusan Masalah Salah satu kendala dalam budidaya tanaman pisang adalah serangan penyakit. Salah satu penyakit utama yang sulit dikendalikan baik secara kimia, kultur praktis maupun biologis adalah layu yang disebabkan cendawan Fusarium oxysporum f.sp. cubense (FOC). Sampai dengan saat ini telah diidentifikasi bahwa cendawan FOC yang menyerang pertanaman pisang di Indonesia adalah FOC ras 1, 2, 4 dan ras 4 tropika (TR-4). Berdasarkan hasil survey yang dilakukan oleh Balai Penelitian Tanaman Buah Tropika pada tahun 2007, diperoleh data bahwa di hampir semua daerah sentra produksi pisang telah ditemukan penyakit layu FOC ras 4 tropika dengan intensitas serangan yang beragam. Hal ini sangat mengancam keberadaan pertanaman pisang komersial, karena beberapa kultivar yang tahan terhadap FOC ras 1, 2 dan 4, ternyata tidak tahan terhadap FOC ras 4 tropika. Di lain pihak sumber daya genetik pisang di Indonesia sangat melimpah dengan ditemukannya beragam kultivar komersial dan non-komersial maupun spesies liar. Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan juga ditemukan tidak semua kultivar terinfeksi FOC TR-4 walaupun tumbuh di daerah endemik penyakit tersebut. Hal ini menunjukkan adanya mekanisme ketahanan dan pertahanan terhadap penyakit di dalam tanaman tersebut. Dengan telah diidentifikasinya sejumlah gen ketahanan (R gene) dan resistance gene analogue (RGA) pada berbagai tanaman, studi isolasi dan karakterisasi RGA pada tanaman pisang dapat dilakukan berdasarkan motif terkonservasi pada gen ketahanan yang tanaman lain. Isolasi dan karakterisasi RGA pada tanaman pisang yang tahan terhadap penyakit layu FOC diharapkan akan diperoleh kandidat gen ketahanan yang nantinya bisa ditransfer ke kultivar komersial lainnya melalui program pemuliaan tanaman. Selain gen ketahanan, perlu dikarakterisasi juga gen-gen yang berperan dalam mekanisme pertahanan tanaman, 2 di antaranya yang menyandi protein chitinase dan β1,3-glucanase. Kedua kelompok gen baik gen ketahanan maupun gen pertahanan, dapat diidentifikasi adanya SNP yang dapat dikembangkan menjadi marka SNAP, yang bisa diimplementasikan sebagai instrumen seleksi dalam program pemuliaan tanaman.
22
Tujuan Penelitian 1. 2. 3. 4. 5.
Menguji secara dini ketahanan beberapa kultivar pisang terhadap penyakit layu Fusarium VCG 01213/16 (TR4). Mengisolasi dan mengkarakterisasi resistance gene analogue (RGA) pada 3 kultivar pisang tahan terhadap penyakit layu FOC. Mengisolasi dan mengkarakterisasi gen chitinase dan β-1,3-glucanase pada beberapa kultivar pisang. Mengidentifikasi dan menganalisis putatif SNP pada sekuen RGA dan DGA (gen chitinase dan β-1,3-glucanase) asal tanaman pisang. Mengembangkan marka SNAP berbasis RGA dan DGA (gen chitinase dan β-1,3glucanase) untuk marka seleksi ketahanan terhadap penyakit layu FOC.
Manfaat Penelitian Dengan diperolehnya teknik pegujian secara dini, proses seleksi ketahanan tanaman pisang terhadap penyakit layu Fusarium bisa dilakukan lebih awal, membutuhkan waktu yang lebih singkat, biaya yang relatif rendah serta tidak membutuhkan tempat atau ruang yang luas. Adanya informasi karakter RGA dan DGA (chitinase dan β-1,3-glucanase) yang berasal dari tanaman pisang, akan dapat dilakukan pengujian ekspresi untuk menentukan gen-gen yang bertanggung jawab terhadap ketahanan dan pertahanan tanaman terhadap penyakit pisang khususnya layu FOC. Selain itu di dalam sekuen RGA dan DGA, akan dapat diidentifikasi keberadaan SNP yang bisa dibuat marka SNAP untuk ketahanan terhadap penyakit. Marka yang dihasilkan dapat digunakan untuk mendukung pengembangan marker assisted selection (MAS) yang akan membantu percepatan dan peningkatan akurasi proses seleksi dalam program pemuliaan tanaman pisang.
Ruang Lingkup Penelitian Kegiatan penelitian ini mempunyai ruang lingkup yang berbeda, tetapi saling berkaitan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Adapun tahapan-tahapan percobaan yang dilakukan adalah sebagai berikut: Percobaan 1: Menguji dini ketahanan beberapa kultivar pisang terhadap penyakit layu FOC VCG 01213/16 (TR4), untuk menentukan kultivar yang tahan layu FOC yang akan digunakan untuk percobaan 2. Percobaan 2: Mengisolasi dan mengkarakterisasi resistance gene analogue (RGA) asal 3 kultivar pisang yang tahan penyakit layu fusarium, menggunakan degenerate primers. Percobaan 3: mengisolasi dan mengkarakterisasi gen chitinase asal 5 kultivar pisang Percobaan 4: mengisolasi dan mengkarakterisasi gen β-1,3-glucanase asal 4 kultivar pisang. Percobaan 5: mengidentifikasi dan menganalisis keragaman substitusi satu basa nukleotida (SNP) pada sekuen RGA dan DGA berdasarkan hasil proses perunutan (sequensing) DNA genom asal beberapa kultivar pisang. Percobaan 6: Mengembangkan marka SNAP berbasis RGA dan DGA (gen chitinase dan β-1,3-glucanase) asal tanaman pisang untuk marka ketahanan terhadap penyakit layu FOC. Alur kegiatan penelitian disajikan pada Gambar 5.
23
Gambar 5 Diagram alur kegiatan penelitian ‘Karakterisasi Molekuler Ketahanan Beberapa Kultivar Pisang (Musa spp.) Terhadap Penyakit Layu Panama (Fusarium oxysporum f.sp. cubense)’ .