BAB I PENDAHULUAN
1.2. Latar Belakang Konsep pemberdayaan saat ini semakin banyak diterapkan di masyarakat. Pemberdayaan dinilai sebagai solusi dari sistem pembangunan top-down yang hanya menyisakan ketergantungan kepada pihak lain.
Setiawan (2011: 28)
menjelaskan pengertian pemberdayaan mengandung dua unsur; (1) to give ability or enable to, yaitu upaya meningkatkan kemampuan masyarakat melalui pelaksanaan berbagai kebijakan dan program-program pembangunan agar kondisi kehidupan masyarakat mencapai tingkat kemampuan yang diharapkan; (2) to give power or authority to, yakni memberi kekuasaan, mengalihkan kekuasaan, atau mendelegasikan
otoritas
kepada
masyarakat
agar
masyarakat
memiliki
kemandirian dalam pengambilan keputusan dalam rangka pembangunan diri dan lingkungannya secara mandiri. Dalam konteks seperti itu, kemandirian diartikan sebagai; (1) kemandirian material, yaitu kemampuan produktif guna memenuhi kebutuhan materi dasar serta cadangan dan mekanisme untuk dapat bertahan waktu krisis; (2) kemandirian intelektual, yaitu pembentukan dasar pengetahuan otonom oleh masyarakat yang memungkinkan mereka menanggulangi bentuk-bentuk dominasi lebih halus yang muncul di luar kontrol pengetahuan; (3) kemandirian ketetalaksanaan, yaitu kemampuan otonomi dalam membina diri dan menjalani serta mengelola kegiatan kolektif agar terjadi perubahan dalam suatu kehidupan (World Bank dalam Pedoman Pemberdayaan Masyarakat Desa, Dirjen PMD Depdagri, 2010: 139-141) Setiawan (2011: 30) mengatakan bahwa konsep pemberdayaan mulai menjadi
diskursus
pembangunan,
ketika
orang
mulai
mempertanyakan
pembangunan. Di Eropa, wacana pemberdayaan muncul ketika industrialisasi menciptakan masyarakat penguasa faktor produksi dan masyarakat pekerja yang dikuasai. Di negara-negara sedang berkembang, wacana pemberdayaan muncul ketika pembangunan menimbulkan disinteraksi sosial, kesenjangan ekonomi,
Universitas Sumatera Utara
degradasi sumber daya alam, dan alienasi masyarakat dari faktor-faktor produksi oleh penguasa. Berdasarkan pemahaman umum pemberdayaan dan kemandirian di atas, maka pondok pesantren adalah salah satu lembaga pendidikan di Indonesia yang telah sejak lama menerapkan pemberdayaan. Salah satu ciri khusus pesantren menurut Armando (2005: 296) adalah “kehidupan mandiri dan sederhana para santri”. Hingga kini banyak penelitian yang membuktikan bahwa pesantren merupakan lembaga pendidikan yang mandiri dan khas Indonesia. Sejak kurang lebih 500 tahun yang lalu, lembaga pesantren tersebut telah mengalami banyak perubahan dan memainkan berbagai macam peran dalam masyarakat Indonesia. Nurcholis Majid (dalam Yasmadi, 2005: 121) berobsesi menciptakan pondok pesantren menjadi suatu sistem pendidikan yang memiliki keterpaduan antara unsur ke-Islaman, ke-Indonesiaan, dan keilmuan guna mewujudkan masyarakat madani. Proses pendidikan dan pembangunan tidak dapat dipisahkan, pendidikan harus diperhatikan guna tercapainya tujuan pembangunan nasional. Namun pemerintah belum memiliki master plan jangka panjang yang tepat untuk mencapai tujuan pendidikan seperti yang tercantum dalam jabaran UUD 1945 tentang pendidikan yang dituangkan dalam Undang-Undang No. 20, Tahun 2003. Pasal
3
menyebutkan,
"Pendidikan
nasional
berfungsi
mengembangkan
kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab." Fungsi pendidikan seperti yang tercantum dalam UU di atas masih belum tercapai karena pada faktanya pendidikan hari ini cenderung hanya mencetak peserta didik untuk dapat diterima di dunia kerja, secara kasarnya dapat dikatakan “pendidikan hanya mencetak robot-robot pekerja untuk memenuhi kebutuhan industri”.
Bahkan ketika sebagian lembaga pendidikan
negeri tak mampu
menghasilkan lulusannya untuk diterima di dunia kerja, maka bermunculanlah lembaga-lembaga pendidikan swasta yang menjamin peserta didiknya dapat
Universitas Sumatera Utara
diterima di dunia kerja. Kampus negeri seperti
Universtas Sumatera Utara
misalnya, juga pernah menggukana moto “USU for Industry” yang mana moto USU ini pernah menjadi topik-topik diskusi utama di kalangan mahasiswa USU yang mempertanyakan esensi dari motto tersebut. Jika dilihat dari dari UU di atas, maka tujuan pendidikan intinya adalah pembentukan karakter, membentuk karakter peserta didik menjadi berkarakter kabangsaan, bukan untuk menjadikannya sebagai “robot pekerja” industri. Dari segi kurikulum pun, para pendidik
dibingungkan dengan seringnya berganti
kurikulum, bahkan menjadi kebiasaan “ganti menteri = ganti kurikulum” seperti pada akhir 2012 ini sedang marak dibahas tentang Kurikulum 2013 yang saat ini sedang dilakukan uji publik di lima tempat. Karena tidak ada master plan pendidikan Indonesia, saat ini pendidikan terombang-ambing
tak
tentu
arah,
Undang-Undang
yang
terus-terusan
diperbaharui seolah-olah sebagai ajang “coba-coba” Menteri Pendidikan. Pemerintah yang mencoba membuat Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI) juga
akhirnya dibubarkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) karena
dianggap lalai menjalankan amanat UUD 1945, RSBI memunculkan sikap diskriminasi dalam pendidikan. Pendidikan formal di Indonesia banyak mengadopsi sistem pendidikan modern Belanda pada masa penjajahan dahulu. Sementara, ketika itu di Indonesia sudah memiliki sistem pendidikan lokal yaitu pondok pesantren yang hingga kini tetap eksis dalam dunia pendidikan Indonesia.
Dawam Rahadrjo (1988)
berpendapat bahwa pondok pesantren telah menstabilkan pembangunan di Indonesia di tegah maraknya pemuda berpendidikan formal yang berurbanisasi ke perkotaan. Sementara itu, para santri tetap bertahan dengan usaha kecilnya di pedesaan seperti usaha tambak ikan, kerajinan, dan pertanian di Jawa. Pesantren, dalam perkembangannya, telah menjadi pusat kegiatan masyarakat dalam bidang pendidikan, sosial, kesehatan, dan pelatihan keterampilan melalui teknologi tepat guna. Pesantren sebagai lembaga pendidikan tradisional dianggap efektif dalam menjalankan program pemberdayaan, khususnya bagi komunitas pesantren itu sendiri. Hal ini disebabkan oleh interaksi
Universitas Sumatera Utara
yang intens antar santri dan antara santri dengan kiainya melalui sistem pendidikan dan aktivitas keseharian yang sering dilalui bersama. Bahkan, Riani (2005) menyebutkan bahwa pesantren di pedesaan merupakan lembaga yang cukup potensial dalam mengembangkan kapital sosial para anggota di dalamnya. (Tasbichah, 2011: 3) Penelitian Dhofier (1985:20 dalam Wals 2002: 13) mencatat pertumbuhan jumlah santri di Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur dari tahun 1942 ke tahun 1978 meningkat kurang lebih empat kali lipat. Sementara, data pemerintah Belanda tahun 1885 (dalam Huda, 2003: 90) khusus di tanah Jawa terdapat
14.929 pondok pesantren, dan
data Kementerian Agama
pada
pertengahan 2011 terdapat 25.000 pondok pesantren dengan jumlah santri secara keseluruhan adalah 3,6 juta orang. Meskipun terjadi modernisasi di bidang pendidikan, jumlah santri pondok pesantren yang dianggap masih tradisional itu terus bertambah, hal ini menunjukkan bahwa minat masyarakat untuk menuntut ilmu di pesantren masih tinggi. Menurut Dawam Rahardjo (1988) hal ini disebabkan karena kultur masyarakat petani di pedesaan yang cenderung masih tradisional dan religius sehingga berimbas pada pemilihan lembaga pendidikan pesantren untuk anak-anaknya. Dalam wawancara dengan ANTARA News – 20 Desember 2009, almarhum Gus Dur berstatemen bahwa: ―Sumbangsih yang telah diberikan pesantren bagi bangsa ini telah sangat besar. Karena itu pesantren perlu mendapatkan perhatian, agar perannya dalam mengisi pembangunan semakin dirasakan masyarakat. Dan statemen akan besarnya kontribusi pesantren ini memang sudah menjadi persepsi jamak di beragam kalangan, serta secara yuridis telah dipayungi oleh pemerintah lewat Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, dan Peraturan Pemerintah No. 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Keagamaan. (www.dikti.go.id/index.php?option=com_docman&task, diakses 26 April 2012) Para santri yang berguru pada kiai umumnya berasal dari desa di sekitar pesantren. Mereka ada yang tinggal menetap di pesantren (santri Mukim) dan ada pula yang tidak menetap (santri kalong). Mereka kebanyakan hidup mandiri
Universitas Sumatera Utara
sesuai dukungan yang tersedia untuk menopang kehidupan mereka. Bagi yang mempunyai keterbatasan keuangan, mereka ada yang bekerja menggarap lahan yang dimiliki oleh para kiai atau teman mereka sesama santri. Keterlibatan para santri dalam membantu kiai termasuk untuk menggarap lahan pertanian terutama diarahkan untuk mendapatkan kerelaan dan berkah dari kiai. Di tengah perubahan ke arah kapitalisasi pendidikan, saat ini masih ada sebagian pesantren yang bertahan untuk mandiri tanpa bergantung kepada uang pembayaran dari santri maupun bantuan pemerintah. Di Pondok Pesantren Syafi’iyah Al-Falah Bungbulang Garut santri tidak dikenakan biaya SPP dan uang bangunan, santri hanya perlu membawa bekal untuk kebutuhan pribadinya seperti makanan dan pakaian. Di Pondok pesantren Asem Desa Sinarjaya Garut, santri juga tidak dikenakan SPP. Sambil belajar, mereka dilibatkan dalam berbagai kegiatan sosial ekonomi yang dapat menopang kebutuhan selama nyantri. Jadi, santri tidak hanya belajar kitab, tapi santri juga melakukan banyak hal karena santri yang mondok memiliki waktu selama 24 jam di lingkungan pondok pesantren. Pesantren Nurul Iman adalah salah satu pesantren di Bogor, Pesantren ini memiliki jenjang pendidikan formal mulai dari PAUD, SD, SMP, SMA, sampai PT. Adapun jumlah santri secara keseluruhan sekitar 19.000 orang. Uniknya, para santri tersebut dapat mengenyam pendidikan dengan gratis di pesantren ini tanpa dikenai biaya sedikit pun. Selain mendapatkan pendidikan formal, para santri juga dilatih dengan berbagai keterampilan seperti kursus bahasa, kursus komputer, kursus menjahit, pelatihan pertanian, pemanfaatan sampah-sampah menjadi bahan bangunan, peternakan ikan dan kegiatan wirausaha lainnya. (Tasbichah, 2011: 2) Contoh lain adalah di Pondok Pesantren Miftahulhuda Al-Musri’. Andriani (2008: 135) menjelaskan bahwa di sana mengembangkan kelembagaan pada beberapa bidang diantaranya pada bidang sosial keagamaan dan ekonomi. Pada bidang sosial keagamaan, kelembagaan yang dikembangkan adalah pengajianpengajian dengan strategi penyebaran santri ke pelosok desa maupun mengadakan pengajian
di
lingkungan
pesantren.
Sedangkan
pada
bidang
ekonomi,
kelembagaan yang dikembangkan adalah unit simpan pinjam dengan strategi melalui kerjasama dengan pihak luar dalam hal ini pesantren memiliki kerjasama
Universitas Sumatera Utara
dengan Bank Syariah Mandiri untuk lebih memperlancar pengadaan kredit lunak untuk masyarakat. Penelitian Faozan (2006) menyimpulkan bahwa pondok pesantren yang didiami oleh santri yang jumlahnya cukup banyak merupakan konsumen yang positif dan didukung oleh masyarakat sekitarnya. Artinya, santri dan masyarakat sekeliling pada dasarnya adalah konsumen yang kebutuhannya dapat dicukupi secara ekonomi oleh pesantren itu sendiri. Jadi, pesantren hakikatnya bisa mandiri untuk menjadi pusat kelembagaan ekonomi, bagi warganya di dalam pesantren dan di luar pesantren. Adapun kebutuhan kebutuhan pokok atau dasar dari komunitas pondok pesantren (kiai, keluaraga kiai, ustadz dan santri). Menurut Marsono (1995 dalam Arifin, 2008: 7) kebutuhan pokok tersebut mencakup kebutuhan akan pangan, sandang, papan, layanan kesehatan, pendidikan, penyediaan air bersih dan sanitasi. Sebagai satu kesatuan tempat pemukiman, pondok pesantren juga membutuhkan: (a) prasarana lingkungan seperti jalan, saluran air limbah dan saluran hujan; (b) utilitas umum seperti jaringan listrik, gas, air bersih, telepon, pembuangan sampah dan pemadam kebakaran; dan (c) fasilitas sosial yang merupakan kelengkapan lingkungan seperti layanan kesehatan, pelayanan umum, olah raga, lapangan terbuka dan fasilitas umum lainnya. Menurut Andriani (2008: 19) pada saat ini banyak pesantren yang telah maju dalam bidang ekonomi, mereka memiliki lembaga keuangan yang disebut sebagai Kopontren (Koperasi Pondok Pesantren). Lembaga ini telah dikelola dengan baik sehingga dapat mendorong kemajuan ekonomi pesantren dan masyarakat sekitar. Kemajuan sosial ekonomi sebuah pesantren tidak terlepas dari peran santri. Kiai dan ustadz memiliki kekuasaan yang bersifat kharismatik yang mampu mengendalikan santri dalam melakukan kegiatan sosial ekonomi. Dalam mengurus
usaha
pertanian
pesantren,
kiai
sekedar
mencontohkan
dan
membimbing, untuk selanjutnya akan ditangani oleh para santri, bahkan
Universitas Sumatera Utara
pembagian kerjanya pun biasanya diatur oleh organisasi santri (Dewan Santri yang dipimpin oleh seorang santri senior/mudabbir). Hasil penelitian Tasbichah (2011) menunjukkan bahwa semakin lama santri tinggal di pesantren maka tingkat partisipasinya dalam program pertanian pesantren semakin tinggi. Jadi, santri senior lebih berdaya, santri junior biasanya sebagai pelaksana program sementara santri senior berada dalam tataran manajemen program. Tantangan yang dihadapi pondok pesantren semakin hari semakin besar, kompleks dan mendesak, sebagai akibat semakin meningkatnya kebutuhan pembangunan dan kemajuan pengetahuan dan teknologi. Tantangan ini menyebabkan terjadinya pergeseran-pergeseran nilai di pesantren, baik nilai yang menyangkut sumber belajar maupun nilai yang menyangkut pengelolaan pendidikan,
pergeseran
sistem
dan
metode
belajar,
serta
pergeseran
pengembangan fungsi kelembagaan pesantren itu sendiri (Anas, 2012: 95-96) Problem mendasar mengenai eksistensi pesantren dewasa ini adalah bagaimana dapat menjalankan misi utamanya dalam konteks sekarang ini. Menurut Nurcholis Majid pesantren mengalami kesenjangan antara dunia pesantren dengan realitas abad-20 dewasa ini ( Rahardjo dalam Azhari, 2004: 2). Dalam bukunya yang lain, Rahardjo (1988) menjelaskan bahwa tantangan yang dihadapi pesantren adalah pengaruh model pendidikan Barat. Model pendidikan warisan kolonial ini dijadikan pendidikan formal dan wajib oleh pemerintah Indonesia pasca kemerdekaan, bahkan belakangan muncul program wajib belajar sembilan tahun. hal ini berpengaruh pada pesantren yang mau tidak mau harus memasukkan pendidikan formal ke dalam pendidikan pondok pesantren. Dalam tantangan yang dihadapi ini, pesantren cenderung bersifat konservatif dan tradisional. Dalam semakin hegemoninya sistem pasar (kapitalisme global), ekskalasi pesantren mengalami penurunan. Akibatnya pesantren mengalami dalam beberapa hal disfungsi sosial atau pesantren belum bisa mengimbangi perkembangan zaman (Isnaini, 2012: 3). Huda (2003: 25) melihat secara garis besar persoalan pesantren adalah (1) kurikulum pendidikan yang mencakup literatur, model kepengajaran
Universitas Sumatera Utara
dan pengembangannya; (2) sarana prasarana, seperti perpustakaan, laboratorium, internet, lapangan olah raga, dan tempat makan; (3) wahana pengembangan seperti organisasi, majalah, musyawarah, seminar, dan bedah buku; dan (4) wahana aktualisasi diri di tengah-tengah masyarakat, seperti tabligh dan khotib. Guna mengikuti modernisasi, banyak kebutuhan sosial ekonomi baru yang harus dipenuhi misalnya kebutuhan laboratorium komputer, buku-buku, ruang kelas, LCD projector, klinik kesehatan, mesin percetakan, dan pegawai pesantren. Kini berkembang pesantren modern di mana santri tinggal di pondok (boarding) dengan fasilitas pendukung yang serba modern. Hal ini menyebabkan biaya operasional pesantren modern lebih mahal dari pada pendidikan di sekolah formal pada umumnya. Oleh Karena itu pesantren modern biasanya memungut uang pangkal dan SPP yang mahal dari santrinya seperti di pesantren Al-Zaitun dan Al Kausar. Murid membayar mahal untuk bisa bersekolah di Al-Zaytun. Untuk semua tingkatan, orang tua siswa dan mahasiswa harus membayar USD 3.500 (sekitar Rp29 juta). Biaya sebesar itu digunakan untuk membayar biaya pendidikan dan biaya-biaya
lain
selama
tinggal
di
pondok
selama
masa
belajar.
(http://www.radarlampung.co.id, diakses 1 Mei 2012 pukul 14.30 WIB) Pesantren modern lain yang biayanya relatif mahal adalah Islamic Boarding School Al Kausar di kaki Gunung Salak Sukabumi Jaba Barat. Begitu diterima di sekolah ini, orang tua harus siap-siap membayar mahal. Biaya masuk yang harus dibayar mencapai Rp42,5 juta per siswa. Hampir setengah dari biaya masuk Fakultas Kedokteran UNHAS dan UMI yang mencapai Rp125 juta. Biaya masuk itu belum termasuk uang pendaftaran Rp600 ribu, uang tahunan Rp3,5 juta, dan uang bulanan Rp4,250 juta. (http://news.fajar.co.id/ read /113471/127/biayanyarelatif-mahal-diminati-orang-berduit-asal-sulsel, diakses 1 Mei 2012 pukul 15.00 WIB) Ditjen Pendis Departemen Agama membagi pesantren ke dalam tiga kategori, pertama Salafiyah (tradisional), kedua, pesantren Ashriyah (modern), dan ketiga, pesantren kombinasi (perpaduan antara tradisional dan modern). Di Kabupaten Deli Serdang Sumatera Utara terdapat 14 Pondok Pesantren yang
Universitas Sumatera Utara
terdiri dari: 4 pesantren modern, 4 pesantren tradisional, dan 6 pesantren kombinasi. Dari kategori di atas, Ditjen Pendis Departemen Agama menggolongkan Pesantren Hidayatullah termasuk ke dalam kategori pesantren modern. Adapun ciri-ciri pesantren Modern adalah sebagai berikut: 1. Penekanan pada bahasa Arab percakapan 2. Memakai buku-buku literatur bahasa Arab kontemporer (bukan klasik/kitab kuning) 3. Memiliki sekolah formal di bawah kurikulum Diknas dan/atau Kemenag dari SD/MI MTS/SMP MA/SMA maupun sekolah tinggi. 4. Tidak lagi memakai sistem pengajian tradisional seperti sorogan, wetonan, dan bandongan. Jika mengacu pada ciri-ciri di atas jelas bahwa Pesantren Hidayatullah Medan merupakan pondok pesantren modern karena berdasarkan data awal yang diperoleh yaitu sebagai berikut: 1. Memakai buku-buku/literatur bahasa Arab kontemporer, di sana tidak lagi digunakan kitab kuning klasik. Bahkan lebih banyak menggunakan buku-buku umum namun dalam penyampaiannya dikemas secara islami. 2. Memiliki sekolah formal yaitu Madrasah Tsanawiyah dan Madrasah Aliyah di mana pendidikan formal mendapatkan porsi lebih banyak yaitu sekitar 70 %. Santri masuk kelas mulai pukul 08.00 dan baru selesai pada pukul 15.00, barulah pada sore harinya ada kegiatan ekstrakurikuler, sementara pada malam hari ada pendidikan agama dan belajar mandiri. 3. Tidak lagi dikenal sistem pengajian tradisional seperti sorogan, wetonan, dan bandongan. Pembelajaran dilakukan di kelas, kecuali saat ada materi ceramah umum dari kiai atau ketika dalam keadaan tertentu. Pada pra observasi para santri belajar matematika bersama guru di masjid karena kondisi kelas sedang panas di siang hari.
Berbeda dengan kebanyakan pesantren modern lainnya yang mengenakan tarif mahal kepada santrinya, Pesantren Hidayatullah Medan justru menampung
Universitas Sumatera Utara
santri yang kurang mampu. Awal kehadiran Pondok Pesantren Hidayatullah di Medan, bermula dari rumah kontrakan di Jln. Karya III Helvetia. Selama satu tahun pengurus menjalin silaturrahim dengan kaum muslimin akhirnya pindah kontrakan di Jln. Bilal Ujung Gg. Arimbi selama dua tahun, bersamaan dengan itulah mendapatkan tanah wakaf di Kec. Pancur Batu dan dimanfaatkan selama 1,5 tahun. Tetapi karena permasalahan klaim pihak ahli waris akhirnya wakaf tidak berlanjut. Namun demikian pada akhirnya Pondok Pesantren Hidayatullah mendapatkan ganti tanah wakaf di Desa Bandar Labuhan, Kec. Tanjung Morawa dengan luas 2,3 Ha. (sekarang sudah berkembang mencapai 7 Ha). Pondok Pesantren Hidayatullah Medan saat ini terletak di Desa Bandar Labuhan, Kecamatan Tanjung Morawa, Kabupaten Deli Serdang Sumatera Utara, didirikan pada tanggal 18 September 1993. Mulanya lokasi ini berupa semak belukar jauh dari rumah penduduk. Tanah ini diberikan oleh Badan Kenadziran Wakaf Departemen Agama Deli Serdang dan diserahkan pengelolaannya kepada Pondok Pesantren Hidayatullah Medan dengan asumsi bahwa Pondok Pesantren Hidayatullah harus memberikan pendidikan gratis bagi anak-anak kurang mampu (dhu'afa). Di sinilah santri pondok pesantren Hidayatullah mula-mula ditempa dan dibina untuk terus membangun fasilitas pondok hingga sekarang. Berkat kerja keras para santri, lokasi yang tadinya semak belukar pelan-pelan diubah menjadi kampus yang asri (Islamic Green Village), mulanya di awali oleh sembilan orang santri. Mereka tidur di bawah pohon besar, kemudian membangun gubuk darurat beratapkan daun pisang, pelan-pelan kini berubah menjadi semi permanen dan satu dua sudah mulai dibangun permanen. Dari hal di atas lah penulis melihat pola pendidikan dan pemberdayaan Pesantren Hidayatullah Medan yang unik, selain itu Pesantren Hidayatulah Medan masih baru berdiri (tahun 1993) jika dibandingkan dengan pesantren lainnya yang sudah berpuluh-puluh tahun. Saat ini Pesantren Hidayatullah Medan sudah tampak perkembangannya. Menurut keterangan Ust. Chaiul Anam (Pimpinan Pesantren), dahulu pesantren ini dibuka di semak belukar, di tengah hutan yang jauh dari pemukiman penduduk. Para Kader mulanya datang ke hutan dan tinggal di bawah pohon besar. Pada akhir tahun 2010 peneliti mengadakan beberapa acara di pesantren ini,
Universitas Sumatera Utara
ketika itu belum ada akses jalan aspal ke pesantren sehingga perjalanan menuju ke sana harus melewati jalanan tanah yang terjal dan panjang. Baru pada tahun 2012 ketika peneliti kembali ke sana kondisinya sudah berbeda, sudah dibangun beberapa gedung baru dan jalan aspal yang menghubungkan Pesantren Hidayatullah Medan dengan dunia luar. Ust. Chairul Anam juga mengatakan bahwa di sekitar Pesantren Hidayatullah Medan sudah mulai bermunculan pemukiman penduduk. Satu demi satu rumah penduduk di bangun di dekat area pesantren, hingga saat ini sudah tumbuh menjadi sebuah perkampungan walaupun rumah-rumahnya masih sedikit. Tapi dengan munculnya akses jalan aspal ke pesantren, dapat dipastikan daerah sekitar pesantren akan berkembang pesat. Dalam hal ini pemukiman penduduk tumbuh bermula dari keberadaan pesantren yang membuka lokasi di tengah semak belukar tidak berpenduduk. Pesantren Hidayatullah memiliki visi menjadi lembaga pendidikan yang maju dalam menegakkan kalimah tauhid dalam rangka mewujudkan peradaban Islam, dan salah satu misi pendirian pesantren Hidayatullah Medan adalah menyelenggarakan pendidikan gratis bagi kaum dhuafa, yatim piatu dan terlantar. Dalam mewujudkan visi dan misinya inilah Pesantren Hidayatullah Medan melakukan upaya-upaya agar santri yang semuanya berasal dari keluarga kurang mampu tersebut dapat mengenyam pendidikan di pesantren ini. Meskipun merupakan cabang dari Balikpapan, Pesantren Hidayatullah Medan tidak mendapat bantuan dana dari pusat, para pendiri berusaha dari nol untuk mendirikan pesantren ini. Saat ini Hidayatullah Medan memiliki 400 santri yang tingkat pendidikan formalnya Madrasah Tsanawiyah (setara SMP) dan Madrasah Aliyah (Setara SMA). Pesantren Hidayatullah Medan sudah memiliki sarana dan prasarana yang cukup memadai, dan semua sarana tersebut dibangun secara mandiri oleh santri. Saat penulis melakukan observasi awal, kondisi kelas puteri sedang dalam tahap penyelesaian dan di sebelahnya para santri sedang bergotong-royong membangun ruang kelas puteri karena santri puteri selama ini masih belajar di mushola atau di bawah pohon.
Universitas Sumatera Utara
Untuk memenuhi seluruh kebutuhan Pesantren, dibutuhkan dana lebih dari Rp52 juta/bulan. Sementara, Pesantren Hidayatullah Medan belum memiliki perencanaan pendanaan tahunan maupun bulanan yang jelas dan terperinci. Pemasukan keuangan belum menentu dan jauh dari cukup secara hitungan matematis, dana BOS dan sumbangan masyarakat yang hanya sekitar Rp8jt/bulan belum mencukupi. Pernah juga terjadi masa-masa sulit dimana pemasukan sangat minim, sementara pengeluaran untuk uang makan santri saja seharusnya Rp300.000,-/bulan per orang, belum termasuk biaya kebutuhan lainnya yang juga dipenuhi oleh pesantren. Namun pihak pesantren menilai bahwa akan selalu ada pertolongan dari Allah swt sehingga mereka masih mampu bertahan dan berkembang. Karena santri hanya membayar murah atau bahkan gratis, maka sebagai gantinya untuk memenuhi kebutuhan pesantren, santri dikaryakan. Dengan dikordinasikan oleh Dewan Santri (organisasi santri), hampir seluruh operasional pesantren dilakukan oleh santri. Dengan demikian Pesantren Hidayatullah Medan mempunyai peran yang cukup signifikan dalam upaya pemberdayaan santrinya. Berdasarkan fenomena di atas, dan mengacu pada beberapa hasil penelitian lainnya diantaranya Studi Potensi Ekonomi dan Kebutuhan Pondok Pesantren Se Karesidenan Kedu Jawa Tengah (Arifin: 2008), Pondok Pesantren dan Pemberdayaan Ekonomi (Faozan: 2006), Pemberdayaan Pesantren Menuju Kemandirian dan Profesionalisme Santri dengan Metode Dauroh Kebudayaan (Malik, 2005), dan Hubungan Kapital Sosial dengan Tingkat Partisipasi Santri Dalam Program Pertanian Pesantren (Kasus: Pesantren Al-Ashriyyah Nurul Iman, Kecamatan Parung, Kabupaten Bogor, Jawa Barat) (Tasbichah: 2011), maka analisis terhadap pemberdayaan santri dalam upaya meningkatkan kemandirian pesantren di Pondok Pesantren Hidayatullah Medan dipandang menarik untuk diteliti mengingat dalam tumbuh kembangnya Pesantren Hidayatullah Medan tidak terlepas dari peran serta santri.
1.2. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas perumusan masalah yang akan diteliti adalah sebagai berikut:
Universitas Sumatera Utara
1. Bagaimana metode pemberdayaan yang berbasis santri di Pesantren Hidayatullah Medan? 2. Apa saja faktor pendorong dan penghambatnya? 3. Apa saja bentuk programnya?
1.3. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Menganalisis metode pemberdayaan yang berbasis santri di Pesantren Hidayatullah Medan 2. Menganalisis faktor pendorong dan penghambat program tersebut. 3. Menganalisis bentuk-bentuk programnya.
1.4. Manfaat Penelitian Adapun manfaat penelitian ini adalah : 1.4.1.
Manfaat Teoritis Untuk menambah referensi hasil penelitian yang juga dijadikan sebagai
bahan rujukan untuk penelitian bagi mahasiswa sosiologi selanjutnya, serta diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran dan memperluas cakrawala pengetahuan sosiologi pendidikan. 1.4.2.
Manfaat Praktis
a. Peneliti ingin mengkaji lebih jauh mengenai metode pemberdayaan berbasis santri di Pesantren Hidayatullah Medan, faktor pendorong dan penghambat program tersebut, serta bentuk-bentuk programnya. b. Menjadi sumbangan pemikiran terhadap pemerintah dalam program penyelenggaraan pendidikan Islam dan menentukan kebijakan di bidang pendidikan Islam. c. Untuk memberikan masukan-masukan kepada pihak-pihak atau lembagalembaga yang membutuhkannya khususnya dunia pesantren, serta memberikan kontribusi bagi pesantren dalam meningkatkan kemandirian sosial ekonominya.
Universitas Sumatera Utara
1.5.Definisi Konsep
2. Pemberdayaan dan Pengkaryaan Suatu usaha untuk melakukan penyadaran, pengapasitasan, dan pendayaan terhadap santri yang akan diberdayakan. Dalam hal ini peneliti melihat bahwa bahwa para santri memiliki peran yang sangat penting dalam mewujudkan kemandirian sosial ekonomi Pesantren Hidayatullah Medan.
Sebagaimana
dikatakan Faozan (2006: 3) bahwa sasaran akhir dari pemberdayaan ekonomi pondok pesantren adalah kemandirian pesantren.
Di Pesantren Hidayatullah
Medan pemberdayaan disebut juga sebagai “pengkaryaan” artinya mengkaryakan para santri pada berbagai hal di pesantren agar pesantren dapat menjalankan fungsinya dan dapat terus berkembang dengan melibatkan para santri dalam mencapainya. 3. Pengabdian Pengabdian di Pesantren Hidayatullah Medan merupakan kewajiban bagi seluruh santri yang telah lulus dari kelas III Madrasah Aliyah, pengabdian tersebut dilakukan selama satu tahun setelah kelulusan, adapun aktivitas alumni selama pengabdian adalah membantu para ustadz dan guru untuk mengelola pesantren. 4. Alumni Yang dimaksud dengan alumni di Pesantren Hidayatullah Medan ada dua macam, yang pertama adalah alumni yang telah lulus dari pesantren Hidayatullah Medan dan sedang menjalankan tugasnya untuk berdakwah di masyarakat. Kedua, Alumni yang baru lulus secara pendidikan formal (Madrasah Aliyah) namun belum dinyatakan lulus oleh pesantren karena masih harus menimba ilmu di pesantren, melakukan pengabdian, dan mengamalkan ilmunya bersama dengan program-program pesantren Hdiayatullah Medan. 5. Kemandirian Sosial Ekonomi Merupakan suatu kondisi dimana pondok pesantren memiliki kesadaran dan kemampuan untuk memenuhi kebutuhan sosial ekonominya. Menurut Malik (2005: 61) Kemandirian adalah hasrat untuk mengerjakan segala sesuatu bagi diri sendiri yang diwujudkan dalam aspek kreativitas dan kemampuan mencipta.
Universitas Sumatera Utara
Sebagaimana menurut World Bank bahwa kemandirian dapat mencakup material, intelektual, dan ketatalaksanaan. Adapun kebutuhan ada yang bersifat pokok (1995 dalam Arifin, 2008: 7) yang mencakup kebutuhan akan pangan, sandang, papan, layanan kesehatan, pendidikan, penyediaan air bersih dan sanitasi. Ada pula kebutuhan yang bersifat sekunder. 6. Pesantren Merupakan lembaga pendidikan agama Islam, lembaga pesantren disebut juga “surau” (Sumatera Barat), “dayah” (Aceh). Dan “pondok” (Jawa dan daerah lain) (Armando, 2005: 296). Menurut Nurcholis Majid (dalam Yasmadi, 2005: 63) pesantren itu terdiri dari lima elemen pokok yaitu: kiai, santri, masjid, pondok, dan pengajaran kitab-kitab Islam klasik. Dalam hal ini penelitian dilakukan di Pondok Pesantren Hidayatullah Medan yang merupakan pesantren modern. 7. Santri Santri adalah sebutan bagi murid yang mengikuti pendidikan di pondok pesantren. Panggilan Santri Pondok X artinya ia pernah/lulus dari Pondok Pesantren X. Panggilan Santri Kiai KH artinya ia pernah diajar oleh Kiai KH. Umumnya, sebutan santri Kiai juga berarti ia pernah menjadi anak asuh, anak didik, kadang-kadang mengabdi (biasanya di rumah kediaman) kiai yang bersangkutan. Dalam penelitian ini yang termasuk ke dalam santri adalah santri yang masih aktif secara pendidikan formal dan yang sedang menjalankan program pengabdian di Pesantren Hidayatullah Medan. 8. Kiai, Ustadz, dan Guru Di Pesantren Hidayatullah Medan terdapat perbedaan pada ketiga konsep tersebut walaupun ketiganya memiliki peran utama sebagai pengajar. Kiai merupakan pimpinan utama Pondok Pesantren, kiai dipandang memiliki ilmu agama yang lebih tinggi. Kiai biasanya hanya memberikan ceramah-ceramah umum dan melakukan manajemen pesantren. Ustadz merupakan pengajar dibidang keagamaan seperti mengajar Alquran dan Sejarah Kebudayaan Islam. Adapun Guru bertugas mengajarkan ilmu-ilmu umum, kebanyakan guru bukan berasal dari kalangan pesantren, tetapi berasal dari lulusan pendidikan umum.
Universitas Sumatera Utara