BAB I PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang Kabupaten Sleman merupakan kawasan perkotaan yang memiliki laju pertumbuhan penduduk tertinggi di Daerah Istimewa Yogyakarta. Menurut Badan Pusat Statistik Daerah Istimewa Yogyakarta (2013) laju pertumbuhan penduduk di Kabupaten Sleman pada tahun 2000-2010 sebesar 1,96 persen per tahun. Hal ini berarti bahwa terdapat peningkatan jumlah penduduk yang tinggi di Kabupaten Sleman. Implikasi peningkatan jumlah penduduk terutama pada peningkatan kebutuhan fasilitas, salah satunya perumahan. Perumahan merupakan kelompok rumah yang dilengkapi prasarana dan sarana lingkungan dengan fungsi sebagai tempat tinggal atau lingkungan hunian. Sementara rumah merupakan bangunan yang berfungsi sebagai tempat tinggal dan sarana pembinaan keluarga (Badan Standarisasi Nasional, 2004). Menurut Subhan (2008) rumah memiliki fungsi psikologis sebagai tempat berlindung. Selain itu, rumah dipandang sebagai tempat berinteraksi dengan lingkungan disekitarnya. Oleh karena itu, rumah menjadi kebutuhan dasar yang harus terpenuhi. Susanto dan Sugiyanto (2012) mengatakan bahwa peningkatan jumlah penduduk menjadi permasalahan bagi sebagian daerah. Jumlah penduduk yang meningkat menyebabkan peningkatan kebutuhan rumah. Akan tetapi, ketersediaan lahan yang ada umumnya semakin terbatas. Keterbatasan lahan selanjutnya berdampak pada tingginya harga tanah sehingga sulit dijangkau oleh
sebagian
masyarakat.
Pemenuhan
kebutuhan
rumah
menjadi
1
permasalahan bagi
sebagian masyarakat,
terutama masyarakat
yang
berpenghasilan rendah. Berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28 Ayat 1 Tentang Hak Asasi Manusia menjelaskan bahwa setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta memperoleh pelayanan. Pernyataan ini berarti bahwa bertempat tinggal merupakan hak yang harus terpenuhi untuk setiap orang. Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 Tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman menjelaskan bahwa pemerintah turut menjamin hunian yang layak dan terjangkau bagi masyarakat. Oleh karena itu, pemerintah mengembangkan rumah susun dalam bentuk rumah sederhana sewa sebagai upaya memenuhi kebutuhan rumah layak dan terjangkau bagi masyarakat. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 Tentang Rumah Susun
pemerintah
menyelenggarakan
rumah
susun
sederhana
sewa
(rusunawa) dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan rumah untuk masyarakat berpenghasilan rendah (MBR). Selain itu, penyelenggaraan rusunawa diperuntukan bagi masyarakat yang belum memiliki tempat tinggal tetap. Lux dan Sunega (2010) mengatakan bahwa rumah sewa dapat menjadi alternatif bagi masyarakat yang tidak memiliki rumah pribadi, berpenghasilan rendah, atau terdiskriminasi dari pasar perumahan. Pembangunan rumah susun sederhana sewa di Kabupaten Sleman telah dilakukan oleh pemerintah sejak tahun 2005. Tujuan pembangunan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat berpenghasilan rendah yang belum memiliki tempat tinggal tetap (Peraturan Bupati Sleman No 43 Tahun 2013 Tentang Pemanfaatan Rumah Susun Sederhana Sewa). Hingga saat ini, Kabupaten Sleman telah mendirikan sebelas twin blok rusunawa yang tersebar di Kecamatan Depok dan Kecamatan Mlati. Rusunawa telah dihuni sejumlah 849 kepala keluarga (UPT Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten Sleman, 2011).
2
Menurut Kepala Seksi Bidang Permukiman Formal Dinas Pekerjaan Umum dan Perumahan dalam Rachmawati (2015) bahwa pemanfaatan rumah susun di Kabupaten Sleman secara administrasi telah sesuai dengan aturan yang ditetapkan. Akan tetapi, penyimpangan terjadi oleh penghuni selama menghuni di rusunawa. Misalnya pengalihan pemanfaatan rumah susun tanpa diketahui oleh pengelola. Kepala Bidang Fisik dan Prasarana Bappeda Kabupaten Sleman (Rachmawati, 2015) menjelaskan bahwa terdapat sebagian pemanfaatan rusunawa yang belum sesuai karena rusunawa telah menjadi aset bagi sebagian penghuni. Sejumlah penghuni yang sudah mengalami perbaikan ekonomi masih tinggal di rusunawa. Berdasarkan kondisi tersebut, rusunawa menjadi alternatif dalam penyediaan rumah layak dan terjangkau bagi masyarakat berpenghasilan rendah. Akan tetapi, penyimpangan dalam pemanfaatannya dapat terjadi selama penghuni berada di rusunawa. Oleh karena itu, dibutuhkan penilaian pemanfaatan rumah susun dan kebutuhan pengembanganya. Hal ini perlu dilakukan untuk pengoptimalan rumah susun. Pentingnya penilaian terhadap pemanfaatan rumah susun dan kebutuhan pengembangannya di Kabupaten Sleman dijelaskan juga pada penelitian sebelumnya mengenai pengembangan hunian vertikal di Pinggiran Kota Yogyakarta Rachmawati (2015). 1.2.
Perumusan Masalah Kabupaten Sleman memiliki laju pertumbuhan penduduk tertinggi di Daerah Istimewa Yogyakarta pada tahun 2000-2010 sebesar 1,96 persen per tahun. Hal ini berarti bahwa terdapat peningkatan jumlah penduduk yang tinggi yang menyebabkan adanya peningkatan kebutuhan fasilitas, terutama perumahan. Di sisi lain, ketersediaan lahan untuk pengembangan perumahan terbatas sehingga harga tanah semakin tinggi dan sulit dijangkau oleh sebagian masyarakat. Dampaknya, pemenuhan kebutuhan rumah yang layak dan terjangkau menjadi permasalahan, terutama bagi masyarakat yang 3
berpenghasilan rendah. Padahal bertempat tinggal mendapatkan lingkungan hidup yang baik adalah hak asasi manusia yang harus terpenuhi. Upaya Pemerintah Kabupaten Sleman untuk memenuhi kebutuhan rumah layak dan terjangkau bagi masyarakat berpenghasilan rendah dengan menyelenggarakan rumah susun sederhana sewa (rusunawa). Pembangunan rusunawa telah dilakukan sejak tahun 2005 dan dihuni oleh 849 kepala keluarga. Pemanfaatan rumah susun di Kabupaten Sleman secara administrasi telah sesuai dengan aturan yang ditetapkan. Akan tetapi, penyimpangan dalam pemanfaatannya dapat terjadi selama penghuni berada di rusunawa. Oleh karena itu, kajian mengenai pemanfaatan rumah susun dan kebutuhan pengembanganya
penting
untuk
dilakukan
guna
mengoptimalkan
pengembangan rumah susun. Berdasarkan uraian di atas, maka terdapat beberapa pertanyaan yang digunakan dalam penelitian ini. 1.
Bagaimana pemanfaatan rusunawa di Kabupaten Sleman?
2.
Apakah masih dibutuhkan pengembangan rusunawa di Kabupaten Sleman?
1.3.
1.4.
Tujuan Penelitian 1.
Mengidentifikasi pemanfaatan rusunawa di Kabupaten Sleman.
2.
Menganalisis kebutuhan pengembangan rusunawa di Kabupaten Sleman.
Manfaat Penelitian Manfaat yang dapat diperoleh dari penelitian ini, sebagai berikut. 1.
Berperan untuk pengembangan ilmu pengetahuan kaitannya dengan permukiman, perkotaan, dan pengembangan wilayah.
2.
Berperan
sebagai
bahan
pertimbangan
penyusunan
rencana
pengembangan rumah susun. 3.
Berperan sebagai referensi penelitian selanjutnya mengenai rumah susun. 4
1.5.
Tinjauan Pustaka
1.5.1. Pengertian Rumah, Perumahan, dan Permukiman Rumah merupakan tempat berlindung dari pengaruh lingkungan, seperti iklim, musuh, penyakit, dan sebagainya. Di sisi lain, rumah dipandang sebagai simbol status sosial
dan tempat berinteraksi dengan lingkungan
sosialnya. Rumah dalam pandangan ekonomi menjadi tempat aktivitas ekonomi dan investasi jangka panjang bagi pemiliknya (Subhan, 2008). Menurut Badan Standarisasi Nasional (2004) rumah merupakan tempat tinggal dan sarana pembinaan keluarga. Selain itu, rumah
dimaknai sebagai tempat tinggal dalam suatu
lingkungan yang mempunyai sarana prasarana yang diperlukan oleh pemiliknya untuk bermasyarakat. Rumah menjadi sarana pengamanan bagi pemilikinya, pemberi ketentraman hidup, dan pusat berbudaya. Rumah juga menjadi
tempat
pembentukan
kepribadian
dan
pembentukan
watak
(Yudohusodo, et al., 1991). Berdasarkan berbagai pengertian tersebut, rumah dapat diartikan sebagai tempat tinggal dan tempat pembentukan karakter. Rumah juga berfungsi sebagai tempat berlindung, berinteraksi, dan menjalankan aktivitas ekonomi. Selain itu, rumah dapat menjadi simbol sosial dan investasi masa depan bagi pemiliknya. Berbeda dengan pengertian sebelumnya, perumahan merupakan kelompok rumah yang dilengkapi prasarana dan sarana lingkungan dengan fungsi sebagai tempat tinggal atau lingkungan hunian. Sementara permukiman dapat dimaknai sebagai bagian dari lingkungan hidup sebagai tempat tinggal atau lingkungan
hunian yang berada di luar kawasan lindung untuk
mendukung perikehidupan dan penghidupan (Badan Standarisasi Nasional, 2004). Menurut Yudohusodo, et al (1991) perumahan dan permukiman merupakan ruang hidup masyarakat dan alam sekitarnya.
5
Perumahan dalam Undang-Undang No 1 Tahun 2011 Tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman adalah bagian dari permukiman yang terdiri atas kumpulan rumah beserta prasarana, sarana, dan utilitas umum sebagai hasil upaya pemenuhan rumah yang layak huni di perkotaan maupun perdesaan. Sementara itu kawasan permukiman adalah bagian dari lingkungan hidup di luar kawasan lindung dengan fungsi sebagai lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian untuk mendukung perikehidupan dan penghidupan di kawasan perkotaan maupun perdesaan. Berdasarkan pengertian tersebut, permukiman dapat diartikan sebagai bagian dari lingkungan hunian yang terdiri atas lebih dari satu perumahan beserta prasarana, sarana, utilitas umum, dan penunjang kegiatan fungsi lain di kawasan perkotaan maupun perdesaan. 1.5.2. Rumah Susun Rumah susun menurut Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 Tentang Rumah Susun merupakan bangunan bertingkat yang dibangun dalam suatu lingkungan. Rumah susun terbagi menjadi beberapa bagian yang memiliki struktur fungsional ke arah vertikal maupun horizontal. Satuansatuan fungsi rumah susun digunakan secara terpisah, terutama tempat hunian. Satuan-satuan yang dapat dimiliki masing-masingnya dan digunakan secara terpisah. Selain itu, rumah susun dilengkapi dengan bagian bersama, benda bersama, dan tanah bersama. Yudohusodo, et al. (1991) mengartikan rumah susun sebagai alternatif perumahan, terutama kota yang sudah padat penduduk. Rumah susun di wilayah perkotaan dapat mengatasi keterbatasan lahan. Selain itu, pemanfaatan rumah susun yang dibangun secara vertikal membuat kota lebih efisien. Pembangunan rumah susun dapat menciptakan ruang-ruang terbuka yang lebih luas dan mengatasi kawasan kumuh yang padat penduduk.
6
Sementara Badan Standarisasi Nasional (2004) menjelaskan bahwa rumah susun merupakan hunian yang dikembangkan pada kawasan lingkungan yang memiliki kepadatan penduduk lebih dari 200 jiwa per hektar. Utamanya, pengembangan rumah susun diarahkan pada pusat kegiatan kota dengan kepadatan penduduk lebih dari 200 jiwa per hektar. Selain itu, rumah susun dibutuhkan untuk kawasan industri, pendidikan, dan campuran. Berdasarkan berbagai pernyataan tersebut, rumah susun dapat dimaknai sebagai bangunan vertikal yang memiliki bagian bersama, benda bersama, dan tanah bersama. Penyediaan rumah susun menjadi alternatif untuk mengatasi keterbatasan lahan di daerah yang memiliki kepadatan penduduk yang tinggi. Selain itu, pengembangan rumah susun dapat membuat pemanfaatan ruang lebih efisien. Menurut Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 Tentang Rumah Susun bahwa rumah susun dibedakan menjadi empat kategori, sebagai berikut. 1.
Rumah susun umum Rumah susun umum adalah rumah susun yang diselenggarakan untuk memenuhi kebutuhan rumah bagi masyarakat berpenghasilan rendah, antara lain rumah susun sederhana sewa (rusunawa) dan rumah susun sederhana milik (rusunami).
2.
Rumah susun khusus Rumah susun khusus adalah rumah susun yang diselenggarakan untuk memenuhi kebutuhan khusus.
3.
Rumah susun negara Rumah susun negara adalah rumah susun yang dimiliki negara dan berfungsi sebagai tempat tinggal atau hunian, sarana pembinaan keluarga, serta penunjang pelaksanaan tugas pejabat atau pegawai negeri.
4.
Rumah susun komersial
7
Rumah susun komersial adalah rumah susun yang diselenggarakan untuk mendapatkan keuntungan. Selain itu, menurut Badan Standarisasi Nasional (2004) rumah susun dibedakan menjadi tiga kategori, sebagai berikut. 1.
Rumah susun sederhana sewa Rumah susun sederhana sewa adalah rumah susun yang dibangun tidak lebih dari 45 m2 dengan biaya pembangunan per meter persegi tidak melebihi harga satuan per meter persegi tertinggi untuk pembangunan gedung bertingkat pemerintah kelas C yang berlaku.
2.
Rumah susun menengah Rumah susun menengah dibangun dengan luas lantai bangunan 18 m2 hingga 100 m2 dengan biaya pembangunan per meter persegi antara harga satuan per meter persegi tertinggi untuk pembangunan gedung bertingkat pemerintah kelas C hingga harga satuan per meter persegi tertinggi untuk pembangunan gedung bertingkat pemerintah kelas A yang berlaku.
3.
Rumah susun mewah (apartemen) Rumah susun mewah dibangun dengan luas lantai lebih dari 100 m2 dan biaya pembangunan per meter persegi diatas harga satuan per meter persegi tertinggi untuk pembangunan gedung bertingkat pemerintah kelas A yang berlaku. Berdasarkan pernyataan sebelumnya, rumah susun dapat dibedakan
menjadi beberapa kategori. Kategori rumah susun menurut
tujuan
pengembangannya dapat dibedakan menjadi empat kategori, antara lain rumah susun umum, khusus, negara, dan komersial. Sementara berdasarkan luas lantai dan biaya pembangunan, rumah susun dapat dibedakan menjadi tiga kategori, yaitu rumah susun sederhana sewa, rumah susun menengah, dan rumah susun milik. 8
1.5.3. Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR) Menurut Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 Tentang Rumah Susun, penyelenggaraan rumah susun bertujuan untuk menyediakan rumah layak dan terjangkau untuk memenuhi kebutuhan sosial dan ekonomi penghuni dan masyarakat, terutama masyarakat berpenghasilan rendah. Masyarakat berpenghasilan rendah yaitu masyarakat yang memiliki daya beli yang terbatas. Oleh karena itu, dukungan pemerintah dibutuhkan masyarakat berpenghasilan rendah untuk memperoleh rumah layak dan terjangkau. Peraturan Menteri Negara Perumahan Rakyat Nomor 7 Tahun 2007 Tentang Pengadaan Perumahan dan Permukiman dengan Dukungan Fasilitas Subsidi Perumahan Melalui KPR Sarusun Bersubsidi menerangkan bahwa terdapat tiga kelompok sasaran masyarakat menengah bawah dan masyarakat bepenghasilan rendah (Tabel 1). Kelompok sasaran I memiliki penghasilan per bulan antara Rp3.500.000 hingga Rp4.500.000. Kelompok sasaran II memiliki penghasilan per bulan antara Rp2.500.000 hingga Rp3.500.000. Kelompok sasaran III memiliki penghasilan per bulan antara Rp1.200.000 hingga Rp2.500.000. Tabel 1. Batas Penghasilan Masyarakat Berpenghasilan Menengah Bawahdan Masyarakat Berpenghasilan Rendah Kelompok Sasaran Batasan Penghasilan (Rp/Bulan) I
3.500.000 < Penghasilan ≤ 4.500.000
II
2.500.000 < Penghasilan ≤ 3.500.000
III
1.200.000 < Penghasilan ≤ 2.500.000
Sumber: Peraturan Menteri Negara Perumahan Rakyat Nomor 7 Tahun 2007
Kriteria masyarakat berpenghasilan rendah di Kabupaten Sleman dijelaskan pada Peraturan Bupati Sleman Nomor 43 Tahun 2013 Tentang Pemanfaatan Rumah Susun Sederhana Sewa. Masyarakat berpenghasilan rendah merupakan masyarakat yang memiliki penghasilan per bulan paling
9
banyak tiga kali upah minimum regional Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dan belum memiliki rumah. Berdasarkan Keputusan Gubernur Daerah
Istimewa Yogyakarta Nomor 252/KEP/2014 Tentang Upah Minimum Kabupaten/Kota Tahun 2015 di Daerah Istimewa Yogyakarta menyatakan bahwa upah minimum di Kabupaten Sleman pada tahun 2015 sebesar Rp1.200.000. Dengan demikian, masyarakat berpenghasilan rendah di Kabupaten Sleman merupakan masyarakat yang berpenghasilan tidak lebih dari Rp3.600.000. 1.5.4. Peraturan dan Persyaratan Pemanfaatan Rumah Susun Pemanfaatan rumah susun pada Peraturan Bupati Sleman No 43 Tahun 2013 Tentang Pemanfaatan Rumah Susun Sederhana Sewa merupakan pendayagunaan barang milik daerah berupa rumah susun untuk dipergunakan sesuai dengan tugas pokok dan fungsi dinas. Status kepemilikan rumah susun yang telah ditentukan oleh Pelaksana Teknis (UPT) Rusunawa tidak diperbolehkan untuk dirubah. Tujuannya yaitu memfungsikan rumah susun sesuai dengan aturan yang telah berlaku. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 Tentang Rumah Susun menjelaskan bahwa pemanfaatan rumah susun disesuaikan dengan fungsinya, antara lain hunian dan campuran. Setiap penghuni rumah susun yang menempati, menghuni, atau memiliki hunian diharuskan untuk memanfaatkannya sesuai dengan fungsinya. Penghuni rumah susun memiliki hak untuk pemanfaatan bagian bersama, benda bersama, dan tanah bersama. Menurut Peraturan Bupati Sleman No 43 Tahun 2013 Tentang Pemanfaatan Rumah Susun Sederhana Sewa, pemanfaatan rumah susun dilakukan sesuai dengan fungsinya sebagai hunian dan bukan hunian. Fasilitas hunian diperutukan bagi masyarakat berpenghasilan rendah. Sementara fasilitas bukan hunian dapat diperuntukan untuk kegiatan ekonomi dan sosial. Namun, pemanfaatannya dapat dilakukan apabila telah memiliki izin dari 10
pihak yang berwewenang yang berlaku selama satu tahun dan dapat diperbarui hingga enam kali masa berlaku izin. Dasar pemberian izin pemanfaatan hunian rumah susun antara lain kelengkapan persyaratan administrasi, kesesuaian kriteria masyarakat berpenghasilan rendah, dan ketersediaan fasilitas rusunawa. Persyaratan administrasi pemanfaatan hunian rumah susun tertulis pada Peraturan Bupati Sleman Nomor 43 Tahun 2013 Tentang Pemanfaatan Rumah Susun Sederhana Sewa sebagai berikut. a.
Fotokopi Kartu Tanda Penduduk pemohon yang sudah dilegalisasi oleh pejabat yang berwenang atau Surat Keterangan Tinggal Sementara pemohon yang masih berlaku.
b.
Fotokopi Kartu Keluarga pemohon yang dilegalisasi oleh pejabat yang berwenang.
c.
Fotokopi surat nikah atau akte perceraian yang dilegalisasi oleh pejabat yang berwenang.
d.
Slip gaji yang disahkan oleh pimpinan tempat pemohon bekerja.
e.
Surat
pernyataan
penghasilan
bermaterai
bagi
pemohon
yang
pekerjaannya tidak terikat oleh instansi atau perusahaan antara lain wiraswasta, pedagang, atau usaha jasa. f.
Surat pernyataan bermaterai bahwa belum memiliki rumah dari pemohon yang diketahui kepala desa atau pimpinan tempat pemohon bekerja.
g.
Foto berwarna pemohon berukuran 4 x 6 sebanyak dua lembar dan foto berwarna berukuran 4 x 6 suami atau isteri sebanyak satu lembar.
1.5.5. Penilaian Kebutuhan Rumah Penilaian kebutuhan rumah menurut Steiner dan Butler (2007) adalah suatu inventarisasi dan analisis kebutuhan eksisting rumah dan antisipasi kebutuhan suatu periode. Selain itu, penilaian kebutuhan rumah merupakan evaluasi terhadap kemampuan pasar dalam menyediakan rumah dengan 11
berbagai harga dan tingkat sewa. Lebih jauh Steiner dan Butler (2007) menjelaskan bahwa penilaian kebutuhan rumah melibatkan teknik kuantitatif, antara lain peramalan, survei kota, survei kondisi rumah suatu lokasi tertentu, dan kondisi masyarakat. Penilaian kebutuhan rumah digunakan untuk menyiapkan rencana yang bersifat komprehensif bagi pemerintah dan sektor swasta. Penilaian kebutuhan rumah menurut Sastra dan Marlina (2006) sebagai antisipasi perkembangan ruang kota dalam waktu panjang. Kebutuhan rumah merupakan akumulasi kekurangan rumah dan kebutuhan rumah tambahan. Kekurangan rumah tambahan yaitu sejumlah rumah yang diperlukan untuk keluarga yang belum memiliki rumah. Penghitungan kebutuhan rumah membutuhkan informasi banyaknya rumah yang dihuni oleh beberapa keluarga. Sedangkan kekurangan rumah tambahan yaitu jumlah rumah yang dibutuhkan untuk menampung pertambahan penduduk secara alami, pertambahan rumah tangga baru, mengganti kerusakan atau renovasi rumah yang ada, serta menambah rumah bagi pendatang baru. Kebutuhan rumah menurut Muta’ali (2013) akan semakin meningkat dengan bertambahnya jumlah penduduk. Selain itu, Sastra dan Marlina (2006) beranggapan bahwa kebutuhan rumah merupakan kebutuhan yang bersifat objektif. Artinya, pemenuhan kebutuhan sama bagi setiap orang. Secara umum, pemenuhan kebutuhan rumah harus ditunjang berdasarkan aspek kelayakan ekonomi, sosial, dan strategi. Utamanya, pemenuhan kebutuhan rumah mempertimbangkan kelayakan ekonomi. Tujuan penilaian menurut Steiner dan Butler (2007) kebutuhan rumah untuk mendukung perencanaan komprehensif dan persyaratan untuk membuat rencana konsolidasi. Penilaian kebutuhan rumah membantu pemerintah memahami permasalahan kebutuhan rumah dan keterjangkauannya. Penilaian kebutuhan bagi sektor swasta sebagai pertimbangan dalam menyusun proyek perumahan. 12
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 Tentang Rumah Susun bahwa penilaian kebutuhan rumah dapat didasarkan pada beberapa pertimbangan, sebagai berikut. 1.
Kepadatan bangunan.
2.
Jumlah dan kepadatan penduduk.
3.
Rencana rinci tata ruang.
4.
Layanan prasarana, sarana, dan utilitas umum.
5.
Layanan moda transportasi.
6.
Alternatif pengembangan.
7.
Layanan informasi dan komunikasi.
8.
Analisis potensi kebutuhan rumah susun. Penilaian kebutuhan menurut Yudohusodo, et al (1991) dapat
mempertimbangkan
beberapa
faktor,
antara
lain
kependudukan,
keterjangkauan daya beli masyarakat, dan perkembangan teknologi dan industri
jasa
konstruksi.
Selain
itu,
penilaian
kebutuhan
dapat
mempertimbangkan faktor kelembagaan, peraturan perundang-undangan, swadaya dan swakarsa, serta peran masyarakat. Faktor lain yang dapat menjadi pertimbangan dalam penilaian kebutuhan rumah yaitu perkembangan nilai-nilai budaya masyarakat. Badan Standarisasi Nasional (2004) menjelaskan kebutuhan rumah susun berdasarkan kepadatan penduduk dalam Standar Nasional Indonesia Nomor 03-1733-2004. Penyediaan hunian bertingkat atau rumah susun dapat menjadi pilihan utama untuk dikembangkan pada kawasan yang padat penduduk. Klasifikasi kebutuhan rumah susun berdasarkan kepadatan penduduk sebagai berikut (Tabel 2).
13
Tabel 2. Kebutuhan Rumah Susun Berdasarkan Kepadatan Penduduk Klasifikasi Kawasan
Kepadatan Sedang Tinggi
Rendah
Kepadatan Penduduk
Kurang dari 150 jiwa/ha
150-200 jiwa/ha
200-400 jiwa/ha
Kebutuhan Rumah
Kebutuhan rumah susun untuk kawasan tertentu
Kebutuhan rumah susun untuk pusat kegiatan kota dan kawasan tertentu
Kebutuhan rumah susun untuk peremajaan lingkungan permukiman
Sangat Padat Lebih dari 400 jiwa/ha Kebutuhan rumah susun untuk peremajaan lingkungan permukiman perkotaan
Sumber : Badan Standarisasi Nasional (2004)
Berdasarkan berbagai pendapat, penilaian kebutuhan rumah
dapat
diartikan sebagai analisis kebutuhan eksisting rumah dan pada periode tertentu. Tujuannya sebagai pertimbangan penyusunan rencana yang komprehensif. Faktor penilaian kebutuhan antara lain kepadatan bangunan, kependudukan, peraturan, serta layanan prasarana, sarana, dan utilitas umum. Selain itu, faktor penilaian kebutuhan antara lain layanan moda transportasi, layanan informasi dan komunikasi, alternatif pengembangan, analisis potensi kebutuhan rumah susun, serta kondisi dan karakteristik masyarakat. Penilaian kebutuhan
rumah
dalam
penelitian
ini
berdasarkan
pertimbangan
kependudukan, analisis potensi kebutuhan rumah susun, serta kondisi dan karakteristik masyarakat. 1.6.
Keaslian Penelitian Penelitian mengenai rumah susun telah banyak dilakukan. Penelitian ini merupakan pengembangan dari hasil penelitian yang telah ada sebelumnya (Tabel
3).
Penelitian
Pemanfaatan
Rumah
Susun
dan
Kebutuhan
Pengembanganya di Kabupaten Sleman dilakukan dengan tujuan, metode, dan
14
teknik analisis yang berbeda. Dengan demikian, penelitian ini dapat memberikan hasil yang berbeda untuk pengembangan ilmu pengetahuan. Analisis Kebijakan Rumah Susun Sewa Studi Kasus Rumah Susun Marunda yang dilakukan Kusumaningrum (2012) menjelaskan rumah susun sederhana sewa sebagai kebijakan pemerintah dalam mengurangi kemiskinan dan kekumuhan kota. Penelitian ini dilakukan dengan membandingkan teori dan kenyataan yang berpedoman pada Undang-Undang No 16 Tahun 1985 Tentang Rumah Susun Sederhana Sewa dan indepth interview kepada penghuni, pengelola, dan UPT. Hasil penelitian menunjukan bahwa undangundang tersebut masih terdapat kekurangan untuk menjadi landasan dalam pengembangan rumah susun, utamanya dalam pengaturan perawatan dan pengelolaan. Dampaknya, pengaturan perawatan dan pengelolaan mengalami berbagai kendala sehingga keberadaan rumah susun belum menjadi solusi pengembangan kota yang berkelanjutan. Selain itu, Mauliani (2002) pada sebelumnya mengenai Rumah Susun Sebagai Alternatif Penyediaan Perumahan Bagi Masyarakat Golongan Menengah Bawah mengatakan bahwa rumah susun belum optimal sebagai alternatif
penyediaan
perumahan
bagi
masyarakat
menengah-bawah.
Permasalahan sering timbul pada masyarakat di rumah susun, terutama akibat luas bangunan yang kurang memadai dan pemanfaatan fasilitas bersama. Oleh karena itu, pembangunan rumah susun seharusnya tidak hanya memperhatikan kuantitas, tetapi kualitas pelayanan bagi penghuninya. Selain itu, toleransi yang kuat dalam bertetangga dibutuhkan bagi penghuni rumah susun. Di sisi lain, Randy (2013) mengidentifikasi kemampuan dan kemauan membayar sewa oleh masyarakat berpenghasilan rendah di Rusunawa Marunda. Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah pengumpulan data sekunder dengan studi pustaka dan survei instansi untuk mendapatkan informasi teoritis. Sementara pengumpulan data primer dilakukan dengan wawancara terstruktur pada masyarakat yang belum 15
menempati rumah susun. Penentuan sampel berdasarkan rumus Slovin dengan jumlah sampel sebesar 100 responden dari 3.967 rumah tangga di Kelurahan Marunda, DKI Jakarta. Hasil penelitian menunjukan bahwa kemampuan membayar sewa masyarakat rumah susun sewa sederhana di Kelurahan Marunda antara Rp304.000-Rp371.000 per bulan, sedangkan kemauan membayar sewa berkisar pada rata-rata Rp218.524 per bulan. Muroy dan Elwalt (1996) dalam kajiannya yang berjudul Affordable Housing:
A Basic Need and a Social Issue menjelaskan keterjangkauan
rumah sebagai kebutuhan dasar dan isu sosial. Keterjangkauan diartikan sebagai rasio biaya untuk memenuhi kebutuhan rumah dan pendapatan. Secara umum, keterjangkauan rumah sebesar 30 persen dari pendapatan. Akan tetapi, masyarakat berpenghasilan rendah mengeluarkan lebih dari 50 persen pendapatan untuk memenuhi kebutuhan rumah. Lebih lanjut Muroy dan Elwalt (1996) menjelaskan bahwa penyediaan rumah penting untuk memperhatikan fungsi ketersediaan rumah sehingga dapat tepat sasaran. Sementara Lux dan Sunega (2010) mendeskripsikan perkembangan rumah sewa di Czech Republik dan faktor-faktor yang kepuasan bertempat tinggal dalam penelitiannya berjudul Private Rental Housing in The Czech Republic. Pengumpulan data untuk mendeskripsikan perkembangan rumah sewa dilakukan dengan studi literatur, sedangkan faktor-faktor diidentifikasi berdasarkan hasil wawancara kepada 150 responden secara acak. Hasil penelitian menjelaskan bahwa Czech Republik pada tahun 1920-1938 tidak memiliki aturan dalam pembangunan perumahan sehingga rumah-rumah pribadi banyak terbangun, sedangkan jumlah rumlah rumah sewa sangat rendah. Pada tahun 1992, terdapat regulasi yang mengatur keseimbangan pembangunan perumahan yang menyebabkan pembangunan rumah sewa meningkat hingga 100% di tahun 1992, tetapi kepuasan terhadap rumah sewa masih kurang. Faktor-faktor yang mempengaruhi kepuasan masyarakat antara
16
lain harga lahan, harga harga rumah, kestabilan pemerintah, dan kepastian tinggal di Prague. Selanjutnya, Rachmawati (2014) dalam penelitian dengan judul Pengembangan Hunian Vertikal di Kota Yogyakarta Kajian Aspek Lokasi, Ruang, dan Prilaku mengidentifikasi dan menganalisis lokasi hunian vertikal. Selain itu, Rachmawati (2014) menganalisis pemanfaatan ruang di sekitar hunian vertikal, perilaku pengguna hunian vertikal, serta kebutuhan pengembangan dan pengelolaannya. Penelitian tersebut dilakukan di Kota Yogyakarta dengan menggunakan data primer dan data sekunder. Data primer meliputi profil Kota Yogyakarta, RTRW Kota Yogyakarta, RDTR Kota Yogyakarta, dan laporan penelitian instansi, sedangkan data sekunder diperoleh dari observasi, indepth interview kepada penghuni dan masyarakat di sekitar hunian vertikal, dan FGD (Focus Group Discussion) dengan perwakilan instansi terkait. Hasil penelitian menunjukan bahwa lokasi rumah susun sangat strategis, pemanfaatan ruang di sekitar hunian vertikal memadai, penghuni rumah susun berasal dari masyarakat di lingkungan sekitar, serta kebutuhan pengembangan dapat diarahkan pada pengembangan fisik dan perawatan fasilitas. Lebih lajut Rachmawati (2015) menganalisis kebutuhan dan kebijakan pengembangan hunian vertikal di Pinggiran Kota Yogyakarta. Penelitian tersebut menggunakan data sekunder dari pengelola dan data primer dari wawancara terstruktur, observasi, wawancara mendalam, dan FGD (Focus Group Discussion). Berdasarkan hasil penelitian, rusunawa bagi sebagian penghuni dibutuhkan karena masih terdapat masyarakat yang belum memiliki tempat tinggal tetap. Sementara kebijakan pengembangan rusunawa di Kabupaten Sleman terbatasi oleh ketersediaan lahan, sedangkan di Kabupaten Bantul pengembangannya bergantung pada partisipasi dan keaktifan desa dalam mengajukan proposal pengadaan rumah susun.
17
Berbeda dengan penelitian sebelumnya, penelitian ini dengan judul Pemanfaatan Rumah Susun dan Kebutuhan Pengembangannya di Kabupaten Sleman bertujuan mengidentifikasi pemanfaatan dan menganalisis kebutuhan pengembangan rusunawa di Kabupaten Sleman. Identifikasi rumah susun menggunakan data primer yang diperoleh dari hasil wawancara terstruktur kepada 265 penghuni rumah susun dengan teknik pengambilan data simple random sampling. Sedangkan analisis kebutuhan rumah susun dalam penelitian ini menggunakan data sekunder yang diperoleh dari instansi.
18
Tabel 3. Perbandingan Keaslian Penelitian No 1
2
Nama Penulis
Judul
Aninda Ratih Analisis Kusumaningrum Kebijakan Rumah Susun Sewa dengan Studi Kasus Rumah Susun Maduna (Kusumanin grum, 2012) Lili Mauliani Rumah Susun Sebagai Alternatif Penyediaan Perumahan Bagi Masyarkat Golongan MenengahBawah (Mauliani, 2002)
Tujuan Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis efektifitas kebijakan pemerintah tentang rumah susun sewa bagi masyarakat berpenghasilan rendah yang layak dan terjangkau.
Metode Penelitian
Analisis kebijakan dilakukan dengan membandingkan teori dan kenyataan yang berpedoman pada Undang-Undang No 16 Tahun 1985 Tentang Rusunawa dan indepth interview kepada penghuni, pengelola, dan UPT. Penelitian ini bertujuan untuk Studi literatur menganlisis pembangunan rumah susun bagi masyarakat menengah-bawah di Jakarta.
Hasil Rusunawa sebagai kebijakan pemerintah yang mengurangi kemiskinan dan kekumuhan kota. Undang-undang tersebut masih terdapat kekurangan untuk menjadi landasan dalam pengembangan rumah susun, utamanya dalam pengaturan perawatan dan pengelolaan. Dampaknya, pengaturan perawatan dan pengelolaan mengalami berbagai kendala sehingga keberadaan rumah susun belum menjadi solusi pengembangan kota yang berkelanjutan. Keterbatasan penyediaan lahan menjadi permasalahan dalam pengadaan perumahan, terutama di perkotaan. Akan tetapi, rumah susun belum menjadi sebagai alternatif penyediaan perumahan bagi masyarakat menengah-bawah belum optimal. Permasalahan sering timbul pada masyarakat di rumah susun, terutama akibat luas bangunan yang kurang memadai untuk sebuah vertical housing dan pemanfaatan fasilitas bersama. Sehingga toleransi yang kuat dalam bertetangga dibutuhkan bagi masyarakat di rumah susun. Selain itu, pembangunan rumah susun seharusnya tidak hanya memperhatikan kuantitas, tetapi kualitas pelayanan bagi penghuninya.
19
Lanjutan Tabel 3. Perbandingan Keaslian Penelitian No
Nama Penulis
Judul
Tujuan Tujuan penelitian ini untuk mengidentifikasi kemampuan dan kemauan membayar rumah susun.
3
Muhammad Randy
Identifikasi Kemampuan dan Kemauan Membayar Sewa Masyarakat Berpenghasilan Rendah Terhadap Rumah Susun Sederhana Sewa dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhinya (Randy, 2013)
4
Elizabeth A. Mulroy dan Patricia L. Ewalt
Affordable Housing: A Basic Need and a Social Issue (Muroy dan Ewalt, 1996)
Metode Penelitian
Pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini antara lain pengumpulan data sekunder dengan studi pustaka dan data primer dilakukan dengan wawancara terstruktur pada masyarakat yang belum menempati rumah susun. Penentuan sampel berdasarkan rumus Slovin sehingga mendapatkan sampel sebanyak 100 responden dari 3.967 rumah tangga. Penelitian ini memiliki Studi literatur tujuan untuk menganalisis keterjangkauan rumah sebagai sebuah kebutuhan dasar dan isu sosial.
Hasil Kemampuan membayar sewa masyarakat rumah susun sewa sederhana di Kelurahan Marunda antara Rp304.000-Rp371.000 per bulan. Kemauan membayar masyarakat untuk menempati rumah susun sederhana sewa berkisar pada rata-rata Rp218.524 per bulan.
Keterjangkauan diartikan sebagai rasio biaya untuk memenuhi kebutuhan rumah dan pendapatan. Secara umum, keterjangkauan rumah sebesar 30 persen dari pendapatan. Akan tetapi, masyarakat berpenghasilan rendah mengeluarkan lebih dari 50 persen pendapatan untuk memenuhi kebutuhan rumah. Penyediaan rumah penting untuk memperhatikan fungsi ketersediaan rumah sehingga dapat tepat sasaran.
20
Lanjutan Tabel 3. Perbandingan Keaslian Penelitian No 5
Nama Penulis Martin Lux dan Petr Sunega
Judul
Tujuan
Metode Penelitian
Hasil
Private Rental Housing in The Czech Republic (Lux dan Sunega, 2010)
Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan perkembangan rumah sewa di Czech Republik dan faktor-faktor yang mempengaruhi kepuasan bertempat tinggal.
Pengumpulan data untuk mendeskripsikan perkembangan rumah sewa dilakukan dengan studi literatur. Sementara pengumpulan data untuk mengetahui faktor-faktor yang memberi pengaruh terhadap kepuasan bertempat tinggal dilakukan dengan wawancara kepada 150 responden secara acak.
Czech Republik pada tahun 19201938 tidak memiliki aturan dalam pembangunan perumahan. Pada saat itu, rumah-rumah pribadi banyak terbangun, sedangkan jumlah rumlah rumah sewa sangat rendah. Kondisi ini berlangsung hingga tahun 1990. Pada tahun 1992, terdapat regulasi yang mengatur keseimbangan pembangunan perumahan. Selanjutnya, pembangunan rumah sewa meningkat hingga 100% di tahun 1992. Akan tetapi, kepuasan terhadap rumah sewa masih kurang. Deregulasi kembali dilakukan pada tahun 2007. Setelah regulasi berlaku, hal ini memberi pengaruh pada kepuasan masyarakat bertempat tinggal. Faktor-faktor yang mempengaruhi kepuasan masyarakat antara lain harga lahan, harga harga rumah, kestabilan pemerintah, dan kepastian tinggal di Prague.
21
Lanjutan Tabel 3. Perbandingan Keaslian Penelitian No 6
Nama Penulis Rini Rachmawati
Judul
Tujuan
Metode Penelitian
Hasil
Pengembangan Hunian Vertikal di Kota Yogyakarta Kajian Aspek Lokasi, Ruang, dan Prilaku (Rachmawati, 2014)
Penelitian ini bertujuan : 1. Mengidentifikasi dan menganalisis lokasi hunian vertikal 2. Menganalisis pemanfaatan ruang di sekitar hunian vertikal 3. Menganalsis prilaku pengguna hunian vertikal 4. Menganalisis kebutuhan pengembangan hunian vertikal dan pengelolaannya.
Penelitian ini dilakukan di Kota Yogyakarta dengan menggunakan data primer dan data sekunder. Data primer meliputi profil Kota Yogyakarta, RTRW Kota Yogyakarta, RDTR Kota Yogyakarta, dan laporan penelitian instansi. Pengumpulan data juga dengan observasi, indepth interview kepada penghuni dan masyarakat di sekitar hunian vertikal, dan FGD (Focus Group Discussion) dengan perwakilan instansi terkait.
1. Lokasi rumah susun berada di tengah kota dan sangat strategis karena dekat terhadap Central Bussiness District dan fungsi pelayanan perkotaan, antara lain pasar, sekolah, dan tempat kerja. 2. Pemanfaatan ruang di sekitar hunian vertikal memadai dengan kelengkapan fasilitas antara lain tempat parkir, jaringan listrik, jaringan drainase, dan jaringan air bersih. 3. Penghuni rumah susun berasal dari masyarakat di lingkungan sekitar sehingga mudah beradaptasi dengan masyarakat di sekitar hunian vertikal. 4. Kebutuhan pengembangan bisa diarahkan kepada pengembangan fisik dan perawatan fasilitas, serta pengelolaan yang baik.
22
Lanjutan Tabel 3. Perbandingan Keaslian Penelitian No 7
Nama Penulis Rini Rachmawati
Judul
Tujuan
Metode Penelitian
Hasil
Pengembangan Hunian Vertikal di Pinggiran Kota Yogyakarta: Analisis Kebutuhan dan Kebijakan (Rachmawati, 2015)
Penelitian ini bertujuan : 1. Mengidentifikasi dan menganalisis keberadaan hunian vertikal dan sinergitasnya dengan fungsi-fungsi pelayanan perkotaan, sarana prasana dan utilitas serta aspek lingkungan dan keterkaitannya dengan harga tanah 2. Menganalisis kebutuhan pengembangan hunian vertikal dan keterjangkauannya oleh masyarakat 3. Menganalisis kebijakan pengembangan hunian vertikal serta pengelolaannya
Menjawab tujuan pertama dalam penelitian ini menggunakan data sekunder dari pengelola dan data primer dari wawancara terstruktur penghuni rumah susun. Penentuan sampel berdasarkan tabel KrejcieMorgan. Sebesar 265 sampel merupakan penghuni rusunawa di Kabupaten Sleman dan 185 penghuni rusunawa di Kabupaten Bantul.
Lokasi rumah susun berada di aglomerasi perkotaan sehingga penghuni mudah mengakses fasilitas perkotaan. Rusunawa bagi sebagian penghuni masih dibutuhkan karena masih banyak masyarakat yang belum memiliki tempat tinggal tetap.
Pengembangan rusunawa di Kabupaten Sleman terbatasi oleh ketersediaan lahan. Namun, berbeda dengan Kabupaten Menjawab tujuan kedua dan Bantul, ketersediaan lahan masih ketiga melalui observasi, ada, membutuhkan partisipasi wawancara mendalam, dan dan keaktifan desa dalam FGD. mengajukan proposal.
23
Lanjutan Tabel 3. Perbandingan Keaslian Penelitian No 8
Nama Penulis Diana Febrita
Judul
Tujuan
Metode Penelitian
Pemanfaatan Rumah Susun dan Kebutuhan Pengembangannya di Kabupaten Sleman (2015)
Penelitian ini bertujuan: 1. Mengidentifikasi pemanfaatan rusunawa di Kabupaten Sleman 2. Menganalisis kebutuhan pengembangan rusunawa di Kabupaten Sleman
Menjawab tujuan pertama menggunakan identifikasi data primer yang diperoleh dari hasil wawancara terstruktur kepada 265 responden yang merupakan penghuni rumah susun. Teknik pengambilan sampel dilakukan dengan simple random sampling, sedangkan teknik analisisnya yaitu deskriptif kuantitatif
Hasil
Menjawab tujuan kedua menggunakan data sekunder yang diperoleh dari instansi untuk menganalisis kebutuhan rumah berdasarkan kepadatan penduduk, serta kebutuhan secara umum dan khusus.
24
1.7.
Kerangka Pemikiran Kabupaten Sleman merupakan kawasan perkotaan yang memiliki laju pertumbuhan penduduk tertinggi di Daerah Istimewa Yogyakarta pada tahun 20002010 sebesar 1,96 persen per tahun. Hal ini berarti bahwa terdapat peningkatan jumlah penduduk yang tinggi yang menyebabkan adanya peningkatan kebutuhan fasilitas, terutama perumahan. Di sisi lain, ketersediaan lahan untuk pengembangan perumahan terbatas sehingga harga tanah semakin tinggi dan sulit dijangkau oleh sebagian masyarakat. Dampaknya, pemenuhan kebutuhan rumah yang layak dan terjangkau menjadi permasalahan, terutama bagi masyarakat yang berpenghasilan rendah. Padahal bertempat tinggal mendapatkan lingkungan hidup yang baik adalah hak asasi manusia yang harus terpenuhi. Upaya Pemerintah Kabupaten Sleman untuk memenuhi kebutuhan rumah layak
dan
terjangkau
bagi
masyarakat
berpenghasilan
rendah
dengan
menyelenggarakan rumah susun sederhana sewa (rusunawa). Pembangunan rusunawa telah dilakukan sejak tahun 2005 dan dihuni oleh 849 kepala keluarga. Pemanfaatan rumah susun di Kabupaten Sleman secara administrasi telah sesuai dengan aturan yang ditetapkan. Akan tetapi, penyimpangan dalam pemanfaatannya dapat terjadi selama penghuni berada di rusunawa. Oleh karena itu, penelitian mengenai pemanfaatan rumah susun dan kebutuhan pengembangannya penting untuk dilakukan guna mengoptimalkan pengembangan rumah susun. Hal ini dijelaskan dalam skema pada gambar 1.
25
Kabupaten Sleman
Laju Pertumbuhan Penduduk Tinggi
Jumlah Penduduk Tinggi
Ketersediaan Lahan Terbatas
Kebutuhan Perumahan Tinggi
Kawasan Perkotaan
Pengembangan Rumah Susun
Penilaian
Kebutuhan Pengembangan
Pemanfaatan Rumah Susun Identifikasi Pemanfaatan Rumah Susun
Analisis Kebutuhan Pengembangan Rumah Susun
Pengembangan Optimal
Keterangan
Hubungan
Gambar 1. Kerangka Pemikiran (Sumber: Pemikiran Penulis, 2015)
26