BAB I PENDAHULUAN 1.1.
Latar Belakang Masalah Konferensi Hukum Laut Perserikatan Bangsa-Bangsa III telah berhasil
menghasilkan Konvensi tentang Hukum Laut Internasional/ The United Nations Convention on the Law of the Sea (selanjutnya disebut dengan ”UNCLOS 1982”). Salah satunya poin penting dari UNCLOS 1982 bagi Indonesia adalah diakuinya rezim Negara Kepulauan. Pengaturan hukum mengenai negara kepulauan ternyata memperhatikan hak-hak tradisional di perairan perbatasan antar negara. Dalam Pasal 47 ayat (6) UNCLOS 1982
dinyatakan bahwa apabila suatu bagian perairan kepulauan suatu negara kepulauan terletak di antara dua bagian suatu negara tetangga yang langsung berdampingan, hak-hak yang ada dan kepentingan-kepentingan sah lainnya yang dilaksanakan secara tradisional oleh negara tersebut terakhir di perairan demikian, serta segala hak yang ditetapkan dalam perjanjian antara negara-negara tersebut akan tetap berlaku dan harus dihormati. Sejalan dengan perkembangan hukum laut Internasional, hak tradisional atas penangkapan ikan pun tetap diakui dengan pembatasan-pembatasan tertentu. Artinya, hak ini dapat dilaksanakan dengan tetap memperhatikan kelestarian sumber daya ikan pada laut lepas. Dengan melihat ketentuan yang terdapat di dalam Pasal 51 UNCLOS
mengenai hak penangkapan tradisional, Negara kepulauan akan kehilangan hak tradisionalnya tanpa keberadaan nelayan.1 Selain itu, Pasal 51 ayat (1) UNCLOS 1982 menjelaskan bahwa Negara kepulauan harus menghormati perjanjian dengan Negara-Negara lainnya dan harus mengakui hak penangkapan ikan secara tradisional dari Negara yang berbatasan langsung dalam kawasan tertentu di dalam perairan kepulauan. 2 Adapun syarat dan ketentuan dalam menjalankan hak-hak dan aktivitas tersebut harus berdasarkan permintaan Negara yang berhubungan dan diatur melalui perjanjian bilateral.3 Jika ditinjau dari rumusan tersebut, dapat dilihat bahwa UNCLOS 1982 hanya mengatur secara sekilas mengenai
Hak Penangkapan Ikan Tradisional (untuk
selanjutnya disebut HPIT). Adapun hal teknis mengenai hak tersebut, seperti sumberdaya laut apa yang bisa diambil, karakteristik kapal apa yang akan digunakan dan lain sebagainya harus diatur lebih lanjut di dalam perjanjian bilateral kedua Negara. Kenyataan itu tidak dapat dipungkiri bahwa pengakuan atas HPIT Nelayan Tradisional asing merupakan visualiasasi dari praktik-praktik Negara ke dalam bentuknya yang baru sebagai hukum Internasional tertulis dalam wujud UNCLOS
1
Diantha Made Pasek,1993, Analisis Negara Kepulauan dan Landas Kontinen Dalam Perspektif Kepentingan Indonesia, CV Kayumas Agung, Denpasar, h. 74 2
Lihat Pasal 51 UNCLOS 1982
3 Najmu Laila, 2012, “Pengakuan Terhadap Hak Penangkapan Ikan Tradisional (Traditional Fishing Rights) Menurut Hukum Laut Internasional”, Skripsi Fakultas Hukum Program Kekhususan Hukum tentang Hubungan Transmnasional, Universitas Indonesia, h. 4
1982, kenyataan ini menjadi lebih lanjut maknanya apabila dikaitkan dengan rezim Negara Kepulauan.4 Ketidakjelasan peraturan mengenai hak penangkapan tradisional di dalam hukum laut internasional terkhusus UNCLOS 1982 sangat berdampak pada banyaknya persoalan yang dihadapi oleh nelayan tradisional, tidak hanya di Indonesia namun di seluruh wilayah laut yang ada di dunia ini. Beberapa permasalahan nampak begitu rumit, sebut saja larangan melintas dan aktivitas penangkapan ikan di perairan tertentu, sebagai masalah utama. Sehingga membuat pemerintah memetakan sejumlah titik yang boleh dan tidak boleh menjadi lokasi lintas perahu atau kapal dan menangkap ikan. Persoalannya, secara teknis dan geografis, garis batas di laut tidaklah memiliki bentuk utuh dan tidak jelas,
sehingga
tanpa sepengatahuan
nelayan kerap melintasi lokasi terlarang dan melakukan aktivitas penangkapan. Persoalan lain yang tak kalah serius adalah keberadaan nelayan tradisional yang semakin terpinggirkan dengan banyaknya nelayan tangkap yang menggunakan kapal dan peralatan yang lebih canggih. Kondisi semakin diperparah karena tidak adanya keberpihakan pemerintah terhadap nelayan tradisional.5 Selain itu masalah lain yang timbul yaitu banyaknya terjadi konflik antara nelayan tradisional. Konflik yang paling sering terjadi antara nelayan tradisional
4
Ibid
5 Siprianus, 2013 “Nasib Nelayan Tradisional semakin terpinggirkan”, Berita Satu.Com URL : http://www.beritasatu.com/nasional/157944-nasib-nelayan-tradisional-semakin-terpinggirkan.html diakses pada tanggal 27 September 2015
dengan Pemerintah Australia, bahkan sampai terjadi pembakaran kapal. Dari pihak Indonesia yang beranggapan nelayan Indonesia telah menangkap ikan secara turun menurun di sekitar perairan Australia, namun hal ini tidak dapat diterima oleh pihak Australia karena dari karakteristik nelayan Indonesia yang menggunakan peralatan yang sudah maju tidak mencerminkan bahwa nelayan Indonesia merupakan nelayan tradisional. Hal ini bisa sampai terjadi karena dalam Hukum Laut Internasional khususnya UNCLOS 1982 tidak dijelaskan secara menyeluruh mengenai karakteristik nelayan tradisional, hak-hak apa saja yang diperoleh dan perlindungan hukum apa yang memayungi keberadaan Nelayan Tradisonal di Indonesia. Berdasarkan latar belakang tersebut, maka penulis tertarik menulis skripsi dengan judul : “TINJAUAN HUKUM LAUT INTERNASIONAL MENGENAI PERLINDUNGAN HUKUM NELAYAN TRADISIONAL INDONESIA” 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang diuraikan, dapat dirumuskan masalah sebagai berikut : 1. Bagaimanakah pengaturan Hukum mengenai Nelayan Tradisional dalam Hukum Laut Internasional? 2. Upaya hukum apakah yang perlu dilakukan dalam memberikan perlindungan terhadap nelayan tradisional Indonesia? 1.3 Ruang Lingkup Masalah Ruang
lingkup
penelitian
merupakan
bingkai
penelitian,
yang
menggambarkan batas penelitian, mempersempit permasalahan, dan membatasi areal
penelitian. Untuk mencegah agar isi dan uraian tidak menyimpang dari pokok-pokok permasalahan, maka perlu diberikan batasan-batasan mengenai ruang lingkup masalah yang akan dibahas.6 Adapun ruang lingkupnya, pada permasalahan pertama akan dibahas pengaturan hukum yang belum jelas mengenai hak-hak nelayan tradisional dalam UNCLOS 1982 seperti apa, hukum kebiasaan internasional yang menjadi sumber hukum nelayan tradisional, dan kasus hukum terkait nelayan tradisional. Kemudian yang kedua mengenai upaya hukum apa yang akan digunakan untuk mewujudkan perlindungan hukum terhadap nelayan tradisional di Indonesia ditinjau dari hukum nasional Indonesia, di rumusan masalah kedua juga dipaparkan berbagai perjanjian bilateral, dan penyelesaian sengketa antara nelayan tradisional Indonesia dengan Pemerintah Australia. 1.4 Tujuan Penelitian a. Tujuan Umum Sebagai upaya untuk memberikan penjelasan dan pemahaman terhadap pengaturan hukum mengenai nelayan tradisional dalam Hukum Laut Internasional serta upaya hukum
yang perlu dilakukan Indonesia dalam
mewujudkan perlindungan terhadap nelayan tradisional. b.Tujuan Khusus
6
Bambang Sunggono, 2007, Metodelogi Penelitian Hukum, Cet.7, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, h. 111
1. Untuk menganalisis pengaturan hukum mengenai nelayan tradisonal dalam Hukum Laut Internasional. 2. Untuk menganalisis upaya hukum yang perlu dilakukan Indonesia dalam mewujudkan perlindungan terhadap nelayan tradisional. 1.5. Manfaat Penelitian a. Manfaat Teoritis Dapat memberikan sumbangan pemikiran dalam bidang pendidikan terutama untuk mengembangkan ilmu hukum khususnya hukum laut Internasional mengenai pengaturan hukum mengenai nelayan tradisional dalam UNCLOS 1982. b. Manfaat praktis : Secara praktis penelitian ini diharapkan akan bermanfaat bagi sejumlah pihak sebagai berikut: a. Bagi Kementerian Kelautan dan Perikanan Skripsi ini diharapkan mampu memberikan kontribusi positif bagi pemerintah khususnya Kementerian Kelautan dan Perikanan dalam hal penerapan hak penangkapan ikan secara tradisional (Traditional Fishing Rights) di seluruh wilayah laut Indonesia. b. Bagi Perumus Peraturan Perundang-undangan (Legal Drafter) Skripsi ini diharapkan dapat menjadi inspirasi atau menjadi bahan referensi dalam proses pembentukan suatu peraturan perundang-undangan
mengenai penerapan hak penangkapan ikan secara tradisional di seluruh wilayah Indonesia. c. Bagi Akademisi Skripsi ini diharapkan
dapat menjadi bahan kajian untuk menambah
wawasan pengetahuan tentang hak penangkapan ikan secara tradisional di seluruh wilayah Indonesia. d. Bagi Nelayan Tradisional Skripsi ini diharapkan dapat memberikan
pengetahuan secara yuridis
tentang hak- hak serta kewajiban yang harus dilakukan dan dipenuhi oleh masing-masing pihak terkait penerapan hak penangkapan ikan secara tradisional yang ada di wilayah hukum Indonesia. 1.6 Landasan Teori 1.6.1 Pacta Sunt Servanda Istilah Pacta sunt servanda berasal dari bahasa latin yang berarti “janji harus ditepati”. Pacta sunt servanda merupakan asas atau prinsip dasar dalam sistem hukum civil law, yang dalam perkembangannya diadopsi ke dalam hukum Internasional,7 pada dasarnya asas ini berkaitan dengan kontrak atau perjanjian yang dilakukan diantara individu, yang mengandung makna bahwa :8 1. Perjanjian merupakan undang-undang bagi para pihak yang membuatnya. 7 Harry Purwanto, Keberadaan Asas Pacta Sunt Servanda Dalam Perjanjian Internasional, Mimbar Hukum, Jurnal berkala FH UGM, Volume 21, Nomor 1 Februari 2009, h. 162 8
Ibid
2. Mengisyaratkan bahwa pengingkaran terhadap kewajiban yang ada pada perjanjian merupakan tindakan melanggar janji atau wanprestasi. Sedangkan dalam bagian ke III dari konvensi Wina 1969 mengatur mengenai asas Pacta Sunt Servanda yang terdapat dalam Pasal 26. “ Bahwa setiap perjanjian adalah mengikat bagi para peserta perjanjian dan harus dilaksanakan dengan itikad baik. Prinsip itikad baik ini tidak hanya berlaku dalam pelaksanaan perjanjian-perjanjian yang bersifat khusus, tetapi juga berlaku terhadap perjanjian Internasional yang berlaku umum seperti Piagam PBB.”9 Asas ini tentulahlah sangat berkaitan dengan itikad baik sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 26 ini, sebab sejauh mana pihak akan menaati isi perjanjian akan terlihat dalam praktek pelaksanaannya yang tentu saja harus didasarkan pada itikad baik dari para pihak yang bersangkutan. Disini tampak bahwa asas pacta sunt servanda ini berhubungan erat dengan asas itikad baik yakni, kewajiban para piihak untuk menaati dan melaksanakan ketentuan perjanjian asas itikad baik (good faith).10 Keberadaan asas pacta sunt servanda mengawali berlakunya suatu perjanjian termasuk perjanjian internasional. Artinya asas ini dijadikan sebagai dasar beroperasi atau berlakunya perjanjian internasional, karena dengan berpegang pada asas ini
9
Pasal 26 bagian ke III dari Konvensi Wina 1969
10 I Wayan Parthiana, 2002, Hukum Perjanjian Internasional Bagian 2, Mandar Maju, Bandung, h. 262
maka pihak-pihak pada perjanjian internasional telah berjanji untuk menghormati atau melaksanakan apa yang telah disepakati atau diperjanjikan. 11 Hal inilah yang menyebabkan penulisan skripsi ini memakai asas pacta sunt servanda karena untuk mendapatkan pengakuan dan perlindungan terhadap nelayan khususnya nelayan tradisional yang melintasi batas Negara, dibutuhkan suatu kesepakatan atau perjanjian bilateral antar Negara yang bersangkutan. Dalam perjanjian bilateral itulah, asas pacta sunt servanda berlaku guna untuk menghindari berakhirnya perjanjian secara sepihak. 1.6.2 Teori Common Consent Teori positivisme dari Hans Kelsen menyebutkkan adanya persetujuan Negara-Negara yang berdaulat untuk mengikatkan diri pada kaidah-kaidah atau norma hukum Internasional yang terdiri dari teori common consent.12 Jika pada suatu waktu ada satu atau beberapa Negara tidak lagi bersedia untuk tunduk dan terikat pada hukum Internasional, dan bermaksud untuk menarik diri, maka Negara itu tidak dapat menarik diri secara sepihak, melainkan harus mendapat persetujuan bersama
11
Herry Purwanto, 2009, Keberadaan Asas Pacta Sunt Servanda dalam Perjanjian Internasional,
Jurnal Fakultas Hukum Universitas Gadja Mada, Yogyakarta, h. 14 12 Negara Hukum.com, Daya Mengikat Hukum Internasional, 28 Juni 2012, URL: http://www.Negarahukum.com/hukum/daya-mengikat-hukum-Internasional-2.html, diakses pada tanggal 2 April 2015
dari Negara-Negara lainnya. Persetujuan ini juga merupakan manifestasi dan kehendak bersama Negara-Negara.13 Meskipun teori kehendak bersama ini lebih ideal dibandingkan dengan teori kehendak sepihak Negara yang dikemukakan oleh George Jellinek, tetapi tetap masih ada kelemahannya. Dalam beberapa hal, teori kehendak bersama itu seringkali tidak mudah untuk ditemukan.14 Dalam perjanjian-perjanjian Internasional, teori kehendak bersama ini mengandung kebenaran, sebab kehendak Negara untuk membuat, tunduk, dan terikat pada penjanjian Internasional secara jelas dan tegas dapat diketahui.15 Menyangkut hukum kebiasaan Internasional (customary international law), sulit untuk dijelaskan bahwa tunduk dan terikatnya Negara-Negara pada hukum kebiasaan Internasional disebabkan karena adanya kehendak bersama untuk tunduk dan terikat, karena negara-negara tidak pernah menyatakannya. Menurut teori kehendak bersama, bahwa tunduk dan terikatnya Negara-Negara pada hukum kebiasaan Internasional terkandung dalam suatu persetujuan atau kehendak bersama secara diam-diam (implied or tacit consent).16 Teori ini dapat digunakan dalam membahas permasalahan mengenai Nelayan Tradisional, karena sesuai Pasal 51 dalam UNCLOS 1982 dijelaskan bahwa segala syarat dan ketentuan diatur dalam perjanjian bilateral antara ke dua Negara. Dalam 13
Ibid
14
Ibid
15
Ibid
16
Ibid
membuat perjanjian bilateral itulah dibutuhkan teori common consent. Sebagai salah satu contoh, Perjanjian bilateral antara Australia dan Indonesia (selanjutnya MoU Indonesia-Australia 1974) terkait pengakuan Australia terhadap hak penangkapan ikan secara tradisional nelayan Indonesia disepakati di tahun 197417 dan diamandemen pada 1989. Perjanjian ini mengakui hak penangkapan ikan secara tradisional nelayan tradisional Indonesia di sebuah wilayah berbentuk persegi di Laut Timor (selanjutnya MOU Box). Secara hukum Indonesia dan Australia telah membuat, mengingat diri dan tunduk pada kaidah-kaidah hukum internasional dalam hal ini perjanjian bilateral yang dibuatnya. 1.7 Metode Penelitian Penelitian hukum adalah suatu proses untuk menemukan aturan hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin hukum guna menjawab isu hukum yang dihadapi.18 Adapun penulisan skripsi ini menggunakan metode sebagai berikut : 1.7.1 Jenis Penelitian Tulisan ini merupakan penelitian hukum normatif atau penelitian hukum kepustakaan yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka yang ada. 19 Penelitian hukum normatif ini dikonsepkan sebagai apa yang tertulis dalam peraturan 17 Natasha Stacey, 2007, Boats to Burn: Bajo Fishing Activity in the Australian Fishing Zone, Australian National University E Press, Canberra, h. 1 URL : http://press.anu.edu.au//wpcontent/uploads/2011/05/whole11.pdf diakses pada tanggal 21 Juni 2015 18
Peter Mahmud Marzuki, 2011, Penelitian Hukum, Cetakan ke-7, Kencana, Jakarta, h. 35
19 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 2009, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Cetakan ke – 11, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, h. 13–14
perundang-undangan (law in books) atau hukum dikonsepkan sebagai kaidah atau norma yang merupakan patokan berperilaku manusia yang dianggap pantas. Sumber data yang digunakan hanyalah data sekunder, yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, atau bahan hukum tersier.20 1.7.2 Jenis Pendekatan Pendekatan-pendekatan yang digunakan di dalam penelitian hukum umumnya dibagi menjadi 4 jenis, yaitu Pendekatan Perundang-undangan (statute approach). pendekatan kasus (case approach), pendekatan historis (historical approach, pendekatan Fakta21 : a. Pendekatan Perundang-undangan (statute approach). Pendekatan undangundang (statute approach) dilakukan dengan menelaah semua peraturan undang-undang dan regulasi yang bersangkut paut dengan isu hukum yang sedang dianalisis. b. Pendektan Kasus (Case opproach). Pendekatan Kasus dilakukan dengan cara melakukan telaah terhadap kasus yang berkaitan dengan isu yang dihadapi yang telah menjadi putusan pengadilan yang menjadi kekuatan tetap. c. Pendekatan fakta dilakukan untuk mengetahui fakta-fakta yang terjadi di lapangan yang berkaitan keberadaan Nelayan Tradisional dalam perairan 20 Amiruddin dan H. Zainal Asikin, 2010, Pengantar Metode Penelitian Hukum, RajaGrafindo, Jakarta, h.118-119 21 93
Peter Mahmud Marzuki, 2010, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, h.
Indonesia. Fakta itu ditelusur melalui sejumlah sumber informasi baik yang termuat di artikel maupun sumber lainnya. d. Pendekatan historis (historical approach) digunakan untuk menelusuri praktik hak-hak nelayan tradisional dan menganalisis latar belakang dibuatnya pengaturan tentang nelayan tradisional. 1.7.3 Sumber Bahan Hukum Dalam penelitian ini, bahan hukum yang digunakan terdiri dari :22 a. Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat dan terdiri dari : 1. Peraturan perundang-undangan, yakni Undang-Undang dan peraturan yang sederajat, Peraturan Pemerintah dan peraturan yang sederajat, Keputusan atau Instruksi Presiden dan peraturan yang sederajat, Keputusan Menteri dan peraturan yang sederajat, serta Peraturan Daerah. 2. Perjanjian Internasional yang telah diratifikasi yaitu : UNCLOS 1982, Memoandum of Understanding (MoU) 1974 antara Australia dan Indonesia, Perjanjian 1982 antara Malaysia dan Indonesia, Perjanjian garis batas 1973 antara Papua Nugini dan Indonesia. 3. Yurisprudensi. Kasus antara Inggris dan Jerman melawan Islandia yang diputuskan oleh Mahkamah Internasional pada tahun 1974. Dalam kasus ini 22
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, op.cit, h. 13
Mahkamah Internasional mengakui klaim Islandia atas perluasan zona perikanannya hingga 50 mil laut. b. Bahan hukum sekunder, yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer seperti, referensi buku, hasil penelitian dari kalangan akademisi hukum, dan seterusnya. c. Bahan hukum tersier, yaitu bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, contohnya adalah kamus, ensiklopedia, gambar peta, dan seterusnya. 1.7.4 Teknik Pengumpulan Bahan Hukum Teknik pengumpulan bahan hukum/data yang dipergunakan dalam pembuatan skripsi ini yakni teknik studi dokumen. Teknik studi dokumen bagi penelitian hukum meliputi studi bahan-bahan hukum yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier. Setiap bahan hukum ini harus diperiksa ulang validitas dan realibilitasnya, sebab hal ini sangat menentukan hasil suatu penelitian.23 Teknik ini dilakukan dengan cara mencari, menghimpun, menginventarisasi, dan mempelajari peraturan perundang-undangan yang terkait, melalui penelaahan bahan kepustakaan atau data sekunder yang meliputi bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier. 1.7.5 Teknik Analisis
23
Amiruddin dan H. Zainal Asikin, op.cit, h. 68
Sumber hukum yang diperoleh kemudian diolah secara kualitatif. Analisis difokuskan pada instrumen hukum internasional dan nasional yang mengatur isu yang dibahas. Analisis disusun dengan mengacu pada tujuan khusus penulisan skripsi ini. Kemudian analisis ini diuraikan secara sistematis sehingga menjawab keseluruhan rumusan masalah yang diangkat dalam skripsi ini. Terakhir, akan diambil kesimpulan yang menyarikan pokok-pokok analisis yang dilakukan.